Madiun Avers merupakan pemberontakan besar yang pernah terjadi pada tubuh NKRI. Ada sejumlah pihak yang menuduhkan bahwa PKI adalah dalang di balik peristiwa ini. Lantas apa sebenarnya motif yang melatar belakangi terjadi pemberontakan Madiun 1948 ini? Berikut liputannya.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus tahun 1945, muncul berbagai organisasi tak terkecuali organisasi sayap kiri, sosialis dan komunis. Berawal dari Perjanjian Renville, yang diwakili Perdana Menteri Amir Sarifuddin. Di mana wilayah Indonesia menjadi sangat sempit, terdiri dari Keresidenan Banten, Keresidenan Yogyakarta, Keresidenan Bojonegoro dan sebagian Pulau Sumatra.
Sebagai hasil sidang Dewan Partai tanggal 18 Januari 1948, Partai Nasional Indonesia menuntut Amir Sarifuddin untuk menyerahkan mandatnya kepada Presiden. 23 Januari 1948, Amir Sarifuddin meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri dan digantikan oleh Muhammad Hatta yang akhirnya mengakibatkan Amir Sarifuddin menjadi oposisi Kabinet Hatta. Untuk merebut kembali kedudukannya, pada tanggal 28 Juni 1948, Amir Sarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat yang mempersatukan golongan sosialis kiri dan komunis. Untuk memperkuat basis masa, FDR membentuk Organisasi Kaum Petani dan Buruh. FDR juga memancing bentrok antar warga dengan cara menghasut kaum buruh dengan tuan tanah.
Selain itu, FDR juga mengadakan ancaman ekonomi dengan memprakarsai pemogokan buruh di pabrik Delanggu pada 15 Juli 1948. Sebulan sebelumnya, Mei 1948, Mosso kembali dari Moskow. Pria dengan nama lengkap Manowar Mosso ini lahir di Kediri, Jawa Timur pada tahun 1897, merupakan pemimpin Partai Komunis Indonesia pada tahun 1920-an. 11 Agustus 1948, Muso tiba di Yogyakarta dan kembali memegang jabatan sebagai pemimpin Partai Komunis Indonesia.
Kembalinya Muso ke Indonesia, memberikan doktrin baru bagi kekuatan komunis di Indonesia yang diberi nama dengan Jalan Baru. Keadaan ini membuat Amir Sarifuddin, FDR dan Partai Buruh untuk bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Melalui kampanye politiknya, Muso mengecam kabinet Hatta. Menurutnya hanya PKI yang mampu menyelesaikan revolusi di Indonesia. Hatta yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia, mengajukan usul untuk tetap melaksanakan reorganisasi dan rasionalisasi Angkatan Perang atau dikenal dengan RERA, salah satu program kerja diantaranya memangkas jumlah tentara yang awalnya sekitar 350 ribu menjadi 150 ribu saja.
Musom menentang program ini yang menurutnya dapat menyebabkan berkurangnya kadar komunis di TNI. Tetapi usaha Musom menghadapi kegagalan karena kabinet Hatta didukung oleh partai-partai besar seperti PNI dan Masumi, serta organisasi-organisasi pemuda yang tergabung dalam badan perjuangan, seberang di bawah pimpinan MR Latuhar Hari. Merespon hal tersebut, Musom melancarkan propaganda kepada masa akan pentingnya Front Nasional dan muncullah demonstrasi yang berakhir kerusuhan.
Aksi saling menculik dan membunuh pun terjadi. Masing-masing pihak saling menyalahkan satu sama lain. Perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya, diculik dan dibunuh. Bahkan tanggal 10 September 1948, mobil gubernur Jawa Timur RM Aryo Suryo dan mobil dua perwira polisi dicegat masa pengikut PKI di Ngawi.
Aksi kelompok kiri makin memanas. Mereka menduga sejumlah petinggi pemerintah saat itu termasuk wakil presiden Muhammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia. Hal ini didasari dengan adanya pertemuan rahasia pada tanggal 21 Juli 1948 di Hotel Huisje Hansje Sarangan yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukanto, Muhammad Rum, dan Kepala Polisi Sukanto dengan pihak Amerika, Gerald Hopkins, dan Merle Kold.
...Memwakili PBB. Diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui proposal pembasmian kelompok merah sekaligus Indonesia mendapat bantuan untuk Kepolisian Republik Indonesia untuk menumpas kelompok komunis Indonesia. Pada 18 September 1948, musuh didukung oleh Amir Sarifuddin dan tokoh-tokoh PKI memproklamirkan negara Soviet Republik Indonesia di Madiun dan diringi dengan pengibaran bendera merah. Inilah cikal bakal pemberontakan Madiun, dimulai pada pukul 3 subuh, kesatuan PKI mulai menduduki tempat-tempat penting di Madiun.
Tindakan-tindakan yang dilakukan kaum Palu Arit ini terlalu anarkis, seperti penangkapan pejabat pemerintah, perwira TNI, pemimpin partai, alim ulama yang mereka anggap musuh untuk dibunuh secara besar-besaran, bahkan diantaranya dimasukkan ke sumur dan dijadikan kuburan masal. Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno yang disiarkan melalui Radio Republik Indonesia menyuruhkan kepada rakyat untuk memilih salah satu dari dua kubu, Soekarno atau pemberontak yang diwakili oleh Muso dan Amir Sarifuddin, maka pecahlah konflik bersenjata yang pada zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan Madiun. Pemberontakan PKI di Madiun mendorong pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan tindakan tegas.
Maka dilakukan penangkapan terhadap orang-orang yang membahayakan negara dan musuh yang melarikan diri ke Ponorogo tertembak mati pada tanggal 31 Oktober 1948. Gerakan operasi militer yang dilancarkan oleh pemerintahan Republik Indonesia berjalan sangat singkat. 12 hari setelah pemberontakan, Madiun dapat dikuasai kembali tepatnya 30 September 1948. November 1948, seluruh pimpinan dan pasukan pengikut musuh tewas dan ditangkap. Amir dan para tokoh komunis lainnya ditangkap dan dijatuhkan hukuman mati.
Amir Sarifuddin sendiri tertangkap di daerah Grobokan, Jawa Tengah. Tim TVMU memberitakan.