Dunia pernah menghadapi periode di mana jutaan manusia memandang masa depan tampak suram. Tanpa harapan ketika lapangan pekerjaan mendadak banyak yang hilang dan tabungan di bank lenyap begitu saja. Periode yang terjadi selama Great Depression, sebuah sejarah kelam yang dimulai pada akhir tahun 1929 akibat dampak dari kebijakan ekonomi yang salah, ketidakstabilan pasar yang buruk, dan keserakahan yang tidak terkendali. Bagaimana krisis mengerikan semacam ini bisa terjadi? Mungkinkah akan terulang di masa yang mendatang?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengenal lebih jauh tentang Great Depression. Meskipun dalam sejarah tercatat kalau Great Depression baru dimulai di akhir tahun 1929, tapi justru akar masalahnya sudah tumbuh dan terlihat jauh sebelum itu. Pada dekade 1920-an setelah Perang Dunia I berakhir, pada tahun 1918, Amerika Serikat memasuki sebuah periode yang dikenal sebagai periode Roaring Twenties.
Dekade ini dikenal sebagai periode kebangkitan, kemakmuran, dan inovasi di Amerika Serikat dan Eropa. Ekonomi berkembang pesat, pasar saham naik tajam, Dan orang-orang tentu saja merasa optimis memandang masa depan, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar. Dunia bergerak ke arah modernitas secara signifikan.
Ketika memasuki tahun 1929, kemajuan ekonomi semakin meningkat di Amerika. Memang sempat terjadi kecelakaan saham kecil di tanggal 25 Maret 1929, tapi masalah ini dengan cepat distabilkan kembali. Hanya saja dari sini tanda-tanda masalah ekonomi mulai terlihat.
Beberapa ahli bahkan sampai memberikan peringatan. Tapi saat itu belum didengarkan sama sekali karena kondisi pasar saham yang terus membaik. Setidaknya sampai bulan September. Harga saham diketahui anjlok parah di bulan September dan mulai makin tidak stabil di akhir September. Akibat dari kondisi ini, terjadilah aksi jual saham secara besar-besaran yang dimulai pada pertengahan Oktober.
Keruntuhan pasar ditandai dengan Black Thursday atau Kamis Hitam yang terjadi pada tanggal 24 Oktober di tahun 1929 ketika harga saham Amerika anjlok 11%. Di mana ini mulai membuat kepanikan yang serius. Tindakan untuk menstabilkan pasar yang dilakukan berujung pada kegagalan, empat hari setelahnya di tanggal 28 Oktober, yang akan dikenal sebagai Black Monday, pasar saham anjlok sebesar 12 persen.
Kepanikan pecah keesokan harinya dan benar-benar mencapai puncak. Momen ini akan dikenang sebagai Black Tuesday ketika pasar kembali mengalami penurunan mencapai 11% lagi. Ribuan investor hancur, miliaran dolar lenyap begitu saja, dan banyak saham yang tidak dapat dijual dengan harga berapapun.
Meskipun kemudian... pasar mulai pulih lagi peran lahan di hari berikutnya, tapi kerusakan berdampak panjang pada perekonomian dan kemerosotan pasar saham. Pemulihan yang terjadi sejak 14 November 1929 hingga 17 April 1930 tidak memberi perubahan berarti.
Tercatat pula, kalau sejak 17 April 1930 hingga 8 Juli 1932, setidaknya nilai pasar saham menghilang sebanyak 89 persen. Selama tahun-tahun tersebut, krisis menyebar ke seluruh dunia dan diketahui meningkat sejak Desember 1929. 1930 ketika bank-bank yang dikelola oleh Bank of United States tidak mampu membayar semua kreditornya sehingga bank tersebut ditutup uang para nasabah dan kreditor menghilang begitu saja dengan kegagalannya diantara 608 Bank Amerika yang tutup pada bulan November dan Desember 1930 diketahui kalau Bank of United States telah mengambil sepertiga dari total 550 juta dollar simpanan yang hilang Ini menjadi titik kritis bagi perekonomian AS saat itu, diperparah dengan disahkannya Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley pada tanggal 17 Juni 1930, yang memang telah diusulkan pada tahun 1929. Undang-Undang ini memang tampaknya bertujuan untuk melindungi perekonomian AS ketika depresi ekonomi terjadi. Tapi masalahnya, ini justru jadi bumerang dan bahkan menurut beberapa pakar ekonom telah menjadi salah satu faktor yang memperburuk depresi serta membawa bencana di AS. Selain karena undang-undang tersebut, penurunan tajam perdagangan internasional yang terjadi setelah tahun 1930-an pun ikut memperburuk depresi, terutama bagi negara-negara yang tersebut. negara yang memang sangat bergantung pada perdagangan luar negeri.
Dari beberapa jurnal ekonomi, sebagian besar sejarawan dan ekonom diketahui telah menyalahkan Undang-Undang Tarif Smooth Holy karena memperburuk depresi dengan mengurangi perdagangan internasional secara serius serta menyebabkan tarif balasan di negara lain. Meskipun perdagangan luar negeri hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan aktivitas ekonomi di Amerika Serikat dan lebih banyak berfokus pada sektor-sektor tertentu seperti pertanian, tapi perdagangan luar negeri ini memiliki peran yang jauh lebih besar di banyak negara lainnya. Pada tahun 1921 hingga 1925, rata-rata tarif ad valorem atau tarif yang diatur berdasarkan nilai atas impor yang kena bea masuk di AS adalah 25,9 persen. dan pada tahun 1931 hingga 1935 tarif tersebut melonjak tinggi hingga mencapai 50% karena undang-undang.
Kenaikan tersebut membuat biaya untuk mengimpor barang Kas menjadi dua kali lebih mahal dan ekspor Amerika pun menurun drastis selama empat tahun berikutnya. Jika di tahun 1929 nilai ekspor Amerika bisa mencapai sekitar 5,2 miliar dolar, tapi pada tahun angkanya turun menjadi 1,7 miliar dolar saja. Jadi, tidak cuma jumlah barang yang diekspor yang menurun, tapi harga barang-barang juga turun sampai sepertiganya.
Komoditas pertanian seperti gandum, kapas, tembakau, dan kayu adalah yang paling terdampak oleh penurunan ekspor ini. Penurunan harga dan volume ekspor menyebabkan kesulitan besar bagi para petani dan pelaku usaha di sektor tersebut. Selama masa Great Depression, pemerintah di seluruh dunia mencoba mengurangi pengeluaran uang untuk barang-barang luar negeri dengan berbagai cara.
Mereka menerapkan tarif pajak atas barang impor, membatasi jumlah barang yang boleh diimpor dengan mengadakan kuota impor dan mengatur nilai mata uang yang bisa dipertukarkan. Pembatasan ini menyebabkan ketegangan antara negara-negara yang biasanya saling berdagangan dalam jumlah besar, sehingga ekspor dan impor menurun drastis. Namun, tidak semua negara menerapkan kebijakan proteksi yang sama.
Beberapa negara ada juga yang menaikkan tarif sangat tinggi dan memperoleh kegiatan. membuat aturan ketat untuk transaksi mata uang asing. Di sisi lain, ada negara yang hanya sedikit mengubah aturan perdagangan dan pertukaran mereka. Perbedaan dalam pendekatan ini mencerminkan bagaimana setiap negara berusaha menghadapi tantangan ekonomi yang dihadapi selama masa depresi.
Selain masalah tadi, standar emas ikut menjadi faktor yang memperparah Great Depression. Dalam sistem standar emas, nilai mata uang dihubungkan langsung dengan jumlah emas yang dimiliki suatu negara. Ini berarti negara-negara yang tidak mengalami krisis bank atau penurunan jumlah uang secara langsung tetap terkena dampak oleh kebijakan deflasi atau penurunan harga di negara-negara lain. Ketika beberapa negara menaikkan suku bunga untuk melawan penurunan harga, hal ini menarik emas keluar dari negara-negara dengan suku bunga lebih rendah.
Negara yang kehilangan emas tetapi ingin tetap pada standar emas harus mengurangi jumlah uang beredar mereka dan menurunkan harga-harga dalam negeri. Selama Great Depression terjadi, banyak ekonom akhirnya menyadari bahwa standar emas yang menghubungkan nilai mata uang dengan emas justru lebih memperparah kemerosotan ekonomi. Itu sebabnya ketika negara-negara mulai meninggalkan standar emas, mereka cenderung pulih lebih cepat dari krisis. Inggris menjadi negara pertama yang meninggalkan standar emas ini pada bulan September 1931 karena mereka menghadapi tekanan spekulasi terhadap mata uang mereka dan berkurangnya cadangan emas.
Bank of England berhenti menukar uang kertas pound dengan emas dan membiarkan nilai emas. nilai pun menjadi tidak stabil di pasar valuta asing. Jepang dan negara-negara Skandinavia pun segera mengikuti langkah Inggris pada tahun yang sama. Sementara negara-negara lain seperti Italia dan Amerika Serikat memilih tetap menggunakan standar emas hingga tahun 1932 atau 1933. Beberapa negara yang disebut sebagai blok emas seperti Perancis, Polandia, Belgia, dan Swiss bertahan pada standar emas hingga tahun 1935 dan 1936. Dari banyak hasil studi, terbukti kalau negara-negara yang meninggalkan ...meninggalkan standar emas lebih awal seperti Inggris dan Skandinavia......pulih dari depresi ekonomi lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara......yang bertahan lebih lama pada standar emas seperti Perancis dan Belgia. Sedangkan bagi negara-negara yang tidak menggunakan standar emas seperti China......yang menggunakan standar perak justru hampir sepenuhnya terhindar......dari depresi ekonomi global.
Ini membuktikan kalau semakin cepat suatu negara meninggalkan standar emas......semakin cepat mereka pulih. Hubungan antara emas dan pemulihan ini terbilang konsisten di seluruh dunia... negara-negara berkembang, dan membantu menjelaskan mengapa pengalaman dan durasi depresi bisa bervariasi di berbagai wilayah dan negara.
Namun dalam perjalanan pemulihannya, banyak yang mengalami peningkatan krisis keuangan yang tidak terkendali. Pada pertengahan tahun 1931, krisis keuangan dimulai dengan runtuhnya kredit Anstal di Wina pada bulan Mei. Kejadian ini, Ini memberikan tekanan besar pada Jerman, yang sudah berada dalam kekacauan politik karena meningkatnya kekerasan yang dilakukan oleh gerakan sosialis-nasionalis alias Nazi dan Komunis.
Selain itu, para investor juga mulai gelisah terhadap kebijakan keuangan pemerintah yang keras. Sehingga banyak investor menarik uang jangka pedek mereka dari Jerman karena kepercayaan mereka mulai menurun. Dampaknya terhadap Jerman adalah Ritz Bank kehilangan 150 juta pada minggu pertama bulan Juni, di susul 540 juta pada minggu kedua, dan selama itu, Selama tanggal 19-20 Juni, tercatat investor menarik uang lagi sebanyak 150 juta.
Keruntuhan sudah berada di ambang mata mereka. Presiden AS saat itu Herbert Hoover akhirnya menyerukan moratorium pembayaran rampasan perang atau dengan kata lain penangguan sementara kewajiban pembayaran yang harus dilakukan oleh negara yang kalah perang kepada negara pemenang sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita selama perang. Jerman saat itu memang diwajibkan membayar rampasan perang yang sangat besar kepada negara-negara sekutu. Moratorium Storium ini membuat Paris yang bergantung pada aliran pembayaran Jerman pun marah.
Tapi karena terbukti kalau keputusan ini mampu memperlambat krisis, akhirnya keputusan yang dibuat Presiden AS disetujui pada bulan Juli 1931. Namun, dalam konferensi internasional di London di bulan yang sama, tidak ada kesepakatan yang terjadi dan perjanjian macet yang mewajibkan Jerman melakukan pembayaran utang luar negeri pun dibekukan selama 6 bulan pada tanggal 19 Agustus 1931. Jerman menerima bantuan darurat dari bank-bank swasta di New York, Bank of India. International Settlements, dan Bank of England. Sayangnya, bantuan ini hanya memperlambat krisis ekonomi. Industri mulai runtuh juga di Jerman. Sebuah bank besar tutup pada bulan Juli, dan semua bank Jerman diberi libur dua hari.
Kegagalan bisnis semakin sering terjadi, dan krisis pun menyebar ke Rumania dan Hungaria. Situasi di Jerman memburuk, memicu pergolakan politik yang lebih hebat, dan akhirnya membawa Hitler serta Nazi berkuasa sejak Januari 1933. Krisis keuangan dunia pun mulai melanda Inggris. Investor di seluruh dunia mulai menarik emas mereka dari London dengan nilai 2,5 juta pound per hari.
Kredit sebesar 25 juta pound dari Bank of Finance dan Federal Reserve Bank of New York serta penerbitan surat fidusias senilai 15 juta pound hanya memperlambat krisis tetapi tidak mengatasinya. Krisis ini menyebabkan krisis politik besar di Inggris pada Agustus 1931. Dengan meningkatnya defisit, para bankir menuntut anggaran yang seimbang. Kabinet pemerintahan Partai Buru yang dipimpin Perdana Menteri Ramsey Mack MacDonald setuju untuk menaikan pajak, memotong pengeluaran, dan memotong tunjangan pengangguran sebesar 20 persen. Pemotongan tunjangan ini tidak diterima oleh gerakan buruh.
MacDonald ingin mengundurkan diri. Tetapi Raja George V memintanya untuk tetap tinggal dan membentuk pemerintahan koalisi, pemerintahan nasional. Partai konservatif dan liberal bergabung bersama dengan beberapa anggota partai buruh.
Tetapi sebagian besar pemimpin partai buruh mengecam MacDonald sebagai pengkhianat. Inggris kemudian keluar dari standar emas dan mengalami... dampak yang relatif lebih ringan dibandingkan negara-negara besar lainnya dalam Great Depression. Pada pemilu Inggris di tahun 1931, Partai Buruh hampir hancur, meninggalkan Macdonald sebagai Perdana Menteri untuk koalisi yang sebagian besar bersifat konservatif.
Pemulihan dari Great Depression di sebagian besar negara di dunia baru dimulai pada tahun 1933. Di Amerika Serikat, pemulihan dari Great Depression dimulai pada awal tahun 1933. Namun AS tidak sepenuhnya pulih ke tingkat ekonomi seperti tahun 1929, selama lebih dari setahun. satu dekade, dan tingkat pengangguran pun masih sekitar 15% pada tahun 1940. Meskipun sudah turun dari puncaknya mencapai angka sebesar 25% di tahun 1933. Saat ini, para ekonom masih tidak sepakat mengenai apa yang mendorong pemulihan ekonomi AS selama pemerintahan Roosevelt. Tapi yang jelas, sebagian besar ekonom percaya bahwa kebijakan New Deal Roosevelt membantu atau mempercepat pemulihan. Meskipun kebijakannya tidak cukup agresif untuk sepenuhnya mengakhiri resesi. Beberapa ekonom ekonom juga menyeroti dampak positif dari harapan akan kenaikan harga dan suku bunga yang lebih tinggi yang dipicu oleh kebijakan Roosevelt.
Namun, pembatalan kebijakan kenaikan harga ini dianggap menyebabkan resesi yang dimulai pada akhir tahun 1937. Salah satu kebijakan yang memperlambat kenaikan harga adalah Undang-Undang Perbankan tahun 1935 yang meningkatkan persyaratan cadangan bank dan menyebabkan kontraksi moneter serta menghambat pemulihan. Ekonom baru perlahan merangkak naik di tahun 1938. Di masa itu, ekonom terkenal bernama John Maynard Keynes percaya bahwa kebijakan pemerintah seperti kebijakan New Deal dari Roosevelt saja tidak akan cukup untuk mengakhiri Great Depression dan bahwa hanya pengeluaran besar-besaran seperti yang terjadi selama perang yang bisa mengatasi krisis tersebut. Apa yang dinyatakan oleh Keynes tidak sepenuhnya salah, sebab ketika Perang Dunia II dimulai dan banyak negara melakukan pengeluaran besar-besaran untuk perang, ternyata dunia jauh lebih cepat pulih dari Great Depression, meskipun memang bukan jadi sebab utama pemulihan terjadi.
kebijakan persenjataan menjaga keamanan. Perang Dunia II setidak-tidaknya membantu untuk menstimulasi perekonomian Eropa pada tahun 1937 hingga 1939. Tercatat bahwa di tahun 1937 pun pengangguran di Inggris turun menjadi 1,5 juta. Mobilisasi tenaga kerja setelah perang dunia ini, Pecahnya perang di tahun 1939 akhirnya mengakhiri masalah pengangguran.
Sementara itu, mobilisasi Amerika untuk Perang Dunia II pada akhir tahun 1941 membuat sekitar 10 juta orang keluar dari pekerjaan sipil dan dikirim sebagai tentara untuk ikut berperang. Hal ini akhirnya menghilangkan dampak terakhir dari Great Depression dan menurunkan tingkat pengangguran AS hingga di bawah 10 persen. Perang Dunia II mempunyai dampak dramatis pada banyak bagian perekonomian Amerika.
Pengeluaran besar-besaran untuk perang telah menggandakan tingkat pertumbuhan ekonomi, baik untuk menutupi dampak dari Great Depression atau bahkan mengakhiri masalahnya. Para pengusaha pun mengabaikan utang negara yang semakin besar dan pajak baru yang meningkat, sehingga mereka melipat gandakan upaya mereka untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. yang lebih besar dengan memanfaatkan kontrak pemerintah yang melimpah.
Selama bertahun-tahun dunia mengalami krisis serius yang membuat banyak orang kehilangan harapan pada masa depan, tampaknya Great Depression telah meninggalkan dampak yang begitu membekas di berbagai lini sosial ekonomi dunia. Sejak awal terjadinya Great Depression, mayoritas negara menyiapkan program bantuan. dan sebagian besar mengalami pergolakan politik, sehingga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari sayap kanan.
Banyak negara di Eropa dan Amerika Latin yang merupakan negara demokrasi akhirnya harus merasakan digulingkan oleh suatu bentuk kediktatoran atau pemerintahan yang sangat otoritas. seperti yang terjadi di Jerman saat Nazi mengambil alih kekuasaan di tahun 1933. Dampak buruknya juga terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk penurunan perekonomian yang berujung pada kerusuhan sosial. Dari segi ekonomi, dampak yang terlihat jelas adalah pengangguran masal yang angkanya luar biasa. Di AS misalnya, pada puncak Great Depression, tingkat pengangguran di AS mencapai sekitar 25 persen.
Jutaan orang kehilangan pekerjaan mereka dan lapangan kerja hampir tidak tersedia sama sekali. Di banyak negara juga pengangguran meningkat tajam. mengakibatkan penderitaan ekonomi yang meluas. Di Jerman, angka pengangguran bisa mencapai sekitar 30% yang saat itu memperburuk ketidakstabilan politik yang memang sedang memanas. Tidak sampai di situ saja masalah ekonomi yang dihadapi.
Great Depression juga mengakibatkan ribuan bank di AS dan di seluruh dunia menjadi bangkrut. Tabungan masyarakat hilang begitu saja. Dan penurunan tajam dalam kepercayaan terhadap sistem perbankan.
Sejalan dengan macetnya pergerakan bank, banyak bisnis dan perusahaan industri pun terpaksa tutup. karena menurunnya permintaan dan ketidakmampuan untuk mendapatkan kredit. Industri yang paling terpukul dari kondisi ini adalah industri otomotif dan konstruksi yang perlu pendanaan besar.
Belakangan, karena banyaknya industri yang tutup dan proses produksi kekurangan biaya, tentu saja produksi industri menurun drastis di banyak negara. Di Amerika Serikat, tercatat kalau produksi industri turun sekitar 50% dari puncaknya sebelum Great Depression. Selain itu, volume perdagangan internasional juga ikut menurun tajam karena tarif tinggi. dan kebijakan proteksionis yang berlaku di beberapa negara, terutama AS yang memiliki Undang-Undang Tarif Semut Hauli yang meningkatkan tarif impor dan memicu perang dagang sehingga memperparah penurunan ekonomi global.
Harga barang dan jasa menurun secara signifikan atau dalam ekonomi disebut sebagai deflasi. Penurunan harga ini mengakibatkan pendapatan petani dan pengusaha pun merosot sehingga memperburuk kesulitan ekonomi di segala bidang. Deflasi juga memperbesar beban utang.
karena nilai utang tetap padahal pendapatan sedang menurun, jadi menyebabkan banyak individu dan perusahaan mengalami kebangkrutan. Kondisi ekonomi semacam itu memaksa jutaan keluarga terjebak dalam kemiskinan. Banyak orang harus kehilangan rumah mereka dan terpaksa tinggal di pemukiman kumuh atau bahkan di jalanan. Angga kemiskinan yang meluas pun menyebabkan kelaparan dan malnutrisi di kalangan masyarakat. Sebuah pemandangan yang sangat menyedihkan.
Tapi sayangnya tidak banyak yang bisa masyarakat lakukan di tengah kondisi semacam itu. Sebagian orang mungkin akan tetap berusaha mencari peruntungan dengan pergi ke kota-kota yang lebih baik. Makanya saat Great Depression terjadi, angka migrasi dan perpindahan penduduk pun meningkat. Banyak orang pindah dari pedesan ke kota dalam rangka mencari pekerjaan. Meskipun sebenarnya, kesempatan kerja di kota-kota juga sangat amat terbatas.
Sempitnya lapangan kerja dan menurutnya penghasilan telah membuat dunia mengalami perubahan sosial-kultural yang signifikan. Hal yang paling mudah dilihat. adalah perubahan hidup dalam keluarga. Karena struktur keluarga mengalami tekanan besar akibat ekonomi yang memburuk.
Akhirnya, banyak anak yang terpaksa putus sekolah untuk bekerja atau membantu orang tuanya di rumah. Tidak berhenti sampai di situ, angka pernikahan dan kelahiran pun akhirnya menurun drastis karena ketidakpastian ekonomi. Contohnya di Kanada, karena krisis ekonomi ini, separuh wanita Katolik Roma memilih untuk menentang ajaran gereja dengan menggunakan kontrasersi demi menunda keamilan.
Kondisi yang mengkhawatirkan ini pun... Berdampak pada masalah kesehatan mental yang meningkat, tingkat stres dan depresi akibat tekanan ekonomi dan ketidakpastian masa depan menjadi pembicaraan sehari-hari. Masyarakat di masa Great Depression butuh harapan baru untuk masa depan mereka yang saat itu terasa suram.
Disinilah, sosok-sosok dengan ideologi ekstrimnya mengambil momentum dalam ketidakstabilan ekonomi politik. Di Eropa, kesulitan ekonomi dan pengangguran massal membantu kebangkitan ideologi ekstrim seperti fasisme di Italia dan nazisme di Jerman. Hitler telah memanfaatkan keputusan ekonomi untuk mendapatkan dukungan dan akhirnya berhasil berkuasa pada tahun 1933. Beberapa negara juga memperlihatkan peningkatan dukungan mereka untuk partai komunis yang menjanjikan alternatif. terhadap kapitalisme yang dianggap gagal untuk menjamin kehidupan dan masa depan mereka. Bergerak dan berubahnya kondisi politik dunia pun tentu saja mendorong reformasi dan kebijakan-kebijakan baru di berbagai negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyediakan jaringan pengaman sosial yang jauh lebih baik sehingga mereka bisa mencapai titik kestabilan lagi.
Tidak dipungkiri kalau Great Depression ini telah mengubah dunia secara keseluruhan. Great Depression yang menyebar dari AS ke seluruh dunia telah memicu krisis keuangan global. di mana negara-negara dengan ekonomi yang bergantung pada ekspor KAS atau Eropa jadi sangat terpukul sehingga volume perdagangan internasional pun menurun tajam. Ini yang membuat kebijakan tarif tinggi dan pembatasan impor diberlakukan.
Dan negara-negara lain ingin melindungi ekonomi mereka. Sayangnya, hal ini justru memperparah dampak Great Depression dan memperlama pemulihan. Hasilnya bukan cuma membuat keruntuhan ekonomi saja, tetapi juga guncangan dalam dunia politik global yang memicu pecahnya Perang Dunia II.
Keputus asaan ekonomi dan sosial di banyak negara membuat mereka lebih rentan terhadap pemahaman radikal dan perang. Great Depression adalah hantu mengerikan yang bisa saja kita hadapi lagi di masa depan. Tapi kemungkinan terjadinya kembali peristiwa semacam ini tentu harus dibarengi dengan peristiwa yang kompleks seperti faktor ekonomi, kebijakan pemerintah, dan kondisi global.
Namun, Jika dilihat kembali, setelah krisis keuangan global di tahun 2008, banyak negara telah memperkuat regulasi perbankan dan keuangan untuk mencegah terjadinya krisis serupa. Misalnya di Amerika Serikat, Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act diberlakukan pada tahun 2010 untuk meningkatkan pengawasan terhadap lembaga keuangan, memperkuat perlindungan konsumen, dan mengurangi resiko sistemik. Selain itu, bank-bank saat ini umumnya lebih baik dikapitalisasi dibandingkan era sebelum Great Depression terjadi.
Berdasarkan data Bank for International Settlements, rasio modal untuk bank-bank global utama telah meningkat secara signifikan sejak krisis 2008. Peningkatan modal tersebut memberikan bantalan lebih besar terhadap kerugian potensial dan mengurangi resiko kebangkrutan. Regulator seperti Federal Reserve di AS juga secara rutin melakukan street test pada bank untuk memastikan mereka dapat bertahan dalam kondisi ekonomi yang sangat buruk. Stress test ini membantu memastikan bahwa bank memiliki cukup modal untuk menghadapi krisis ekonomi.
Saat ini pun. Bank sentral dan pemerintah sudah memiliki pengalaman dan alat yang lebih baik untuk menangani krisis. Misalnya selama krisis keuangan 2008 dan pandemi COVID-19. DGT Federal Reserve dan bank sentral lainnya menurunkan suku bunga ke hampir nol dan melakukan program pelonggaran besar-besaran untuk mendukung kestabilan ekonomi. Selama pandemi COVID-19 juga, pemerintah di seluruh dunia mengeluarkan paket stimulus fiskal besar-besaran untuk mendukung perekonomian.
Di AS misalnya, stimulus fiskal yang diberikan mencapai lebih dari 3 triliun dolar. pada tahun 2020 saja. Dukungan semacam ini jelas membantu menstabilkan perekonomian dan mencegah kemenosotan yang lebih dalam.
Jadi, apakah ini artinya Great Depression tidak akan terjadi lagi? Jawabannya belum tentu. Meskipun ekonomi global saat ini lebih beragam dibandingkan tahun 1930-an dengan sektor jasa, teknologi, dan informasi telah berkembang pesat dan berkontribusi besar terhadap peningkatan ekonomi di banyak negara.
Tetapi ini tidak menjamin ekonomi lebih tahan terhadap guncangan di satu sektor tertentu. Globalisasi juga telah menjadi resiko tersendiri yang bisa mengancam kestabilan dan hubungan ekonomi antar negara. Apalagi negara-negara sekarang juga saling ketergantungan dalam perdagangan serta investasi. Yang jika krisis atau perang pecah, maka dampak negatifnya bisa menyebar ke berbagai lini dan negara lain.
Contohnya saja ketegangan geopolitik, seperti perang dagang antara AS dan China, konflik regional, dan isu-isu politik dalam negeri bisa menjadi resiko tinggi bagi stabilitas ekonomi global. Perang dagang bisa saja mengganggu rantai pasokan global, dan menekan atau bahkan mengacaukan pertumbuhan ekonomi. Belum lagi, sekarang tingkat utang global telah mencapai rekor tertinggi.
Menurut Data Institute of International Finance, pada akhir 2020 lalu, utang global sudah mencapai 281 triliun dolar. Utang yang tinggi jelas meningkatkan resiko ketidakstabilan keuangan, terutama jika terjadi kenaikan suku bunga yang tajam. Tidak hanya itu yang menjadi faktor pemicu terulangnya kembali Great Depression, tapi perubahan iklim juga bisa menjadi resiko.
Sikut jangka panjang yang mampu mengganggu stabilitas ekonomi. Bayangkan jika bencana alam atau sosial lebih sering terjadi. Maka ini bisa mengganggu produksi karena kerusakan infrastruktur, serta jatuhnya korban jiwa sehingga akan mempengaruhi berbagai sektor ekonomi.
Contohnya saja, saat pandemi COVID-19 terjadi, kita bisa melihat betapa rentannya ekonomi global. Bahkan ketika baru dihadapkan krisis kesehatan, kegiatan produksi terganggu, roda perekonomian macet, dan krisis ekonomi mulai terjadi di mana-mana. Meskipun tanggapan kebijakan yang cepat bisa membantu mencegah keruntuhan ekonomi yang lebih parah, tapi beberapa ahli ekonomi mencatat kalau pandemi COVID-19 telah menyebabkan resesi global terbesar sejak Great Depression. Ini artinya, meskipun langkah-langkah regulasi dan kebijakan yang lebih baik telah mengurangi kemungkinan terjadinya krisis sebesar Great Depression, resiko-resiko baru tetap ada. Kombinasi antara penguatan sistem keuangan, kebijakan moneter, dan fiskal yang responsif Dan ekonomi yang lebih beragam memberikan bantalan pengaman terhadap krisis besar.
Namun, ketidakstabilan geopolitik, utang global yang tinggi, perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan risiko pandemi tetap menjadi tantangan serius. Karena kemungkinan peristiwa seperti Great Depression akan terulang. Masih ada.