Transcript for:
Tantangan dan Kebijakan Pendidikan di Indonesia

Selamat sore, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya ini dikelilingi pendekar-pendekar pendidikan dan kebijakan, jadinya ini merupakan suatu kehormatan untuk saya bisa duduk di atas panggung. Mau mulai dengan ladies dulu atau the men?

Oke, kita mulai dengan Nisa dulu ya. Oke. Nisa mungkin bisa dikasih gambaran ke depan itu yang paling struktural.

Untuk anak muda Indonesia atau generasi muda Indonesia untuk lebih berpendidikan itu gimana sih? Kita melihat adanya kecenderungan anak-anak muda di seluruh dunia itu semakin kurang deksteritasnya dikarenakan mereka tidak menggunakan seluruh anggota badannya. Mereka hanya menggunakan dua jempolnya saja.

Kalau saya bicara dengan Ilmuwan-ilmuwan yang lahir anggaplah 70 atau 80 tahun yang lalu, salah satunya adalah Stephen Chiu yang sempat menang Nobel dalam fisika, dia tuh sudah berhipotesa bahwa ilmuwan di masa depan itu mungkin gak se-lateral, gak se-dexterous seperti apa yang mungkin kita saksikan selama 200 tahun terakhir ini. Nah, gimana untuk kita membina fondasi untuk anak-anak muda kita apakah untuk menjadi empirical scientist, social scientist dan apapun yang sangat bisa berpikir secara lateral Pongo, silahkan pertanyaan pertama langsung berat thank you, saya masih starstruck sebenarnya makasih Pak Gita dari tanya Zodiac dulu Pak Gita biasanya nanya Zodiac dulu oh gitu iya tau-tau langsung berat gitu Mungkin saya mau mundurnya adalah tentang isunya itu sebenarnya di mana gitu ya. Jadi untuk bisa sampai menjadi fokus pada bidang ilmu yang dikuasai gitu seperti yang tadi Pak Gita bilang, itu tuh sebenarnya kita perlu. fondasi yang kuat dulu dalam sistem pendidikan dan fondasi ini dibangun tentu dari pendidikan dasar, bahkan sebelum dasar gitu ya, bahkan kalau mau mundur lagi katanya sampai ke gizinya gitu kan dari mulai.

dalam kandungan bahkan. Tetapi situasi itu masih menjadi tantangan sekali di Indonesia. Pak Gita mungkin juga sudah terinfo dari hasil PISA yang terakhir di 2022. Isu kita masih sama, literasi dan numerasi kita rendah.

Padahal itu adalah modal untuk tadi belajar, itu fondasi. Jadi kenapa PISA tes internasional itu fokusnya pada literasi dan numerasi? Karena itu adalah fondasi untuk belajar segala hal. Jadi mau jadi ilmuwan kah, mau jadi chef gitu kan, itu adalah literasi.

Karena itu adalah modal untuk belajar sepanjang hayat. Nah di Indonesia isu kita masih di sekitar itu. Indonesia sangat rendah, hanya sekitar 25% saja anak-anak 15 tahun yang bisa mencapai standar minimum. Untuk literasi dan numerasi itu bahkan lebih rendah lagi angkanya Nah ini adalah isu yang sangat penting karena ini adalah modal belajar Itu satu Dan yang kedua literasi itu selain memberikan kemungkinan untuk orang belajar Bisa juga mengukur seberapa kita mau belajar Jadi kalau mampu dan mau belajar sepanjang hayat gitu Itu tuh ada kemampuan dari literasi itu sudah berat Dan kemauan Nah kemauan ini juga juga ditunjukkan dengan seberapa yakin anak-anak Indonesia itu mau belajar terus panjang hayat.

Growth mindset. Jadi salah satu juga yang dipelajari atau yang disurvey di dalam PISA itu adalah kemampuan growth mindset, kemampuan percaya bahwa kalau saya belajar, saya akan bisa lebih baik. Kemampuan bahwa kalau saya belajar, saya bisa bikin perubahan.

Anak-anak Indonesia relatif rendah dalam hal itu. Isunya juga adalah karena belajar itu adalah untuk lulus. kita, bukan untuk penasaran sama ilmu pengetahuan, bukan karena curiosity untuk bagaimana supaya saya bisa menyelesaikan masalah-masalah yang semakin kompleks di dunia ini, nanti Mbak Ful cerita bagaimana global warming itu bukan cuma masalah pelajaran Ipa gitu kan, tetapi isu yang begitu kompleksnya ini adalah tantangan-tantangan kita di dunia pendidikan, bahwa pendidikan kita masih belum bisa membangun sepenuhnya rasa curiosity kecintaan terhadap ilmu pengetahuan rasa penasaran untuk mau terus belajar, jadi masih melihatnya Seolah-olah hidup seseorang itu adalah belajar supaya lulus, karena nanti kalau udah lulus kerja, as if kalau kerja tuh udah gak belajar lagi.

Nah ini yang pathways ini yang sebenarnya sedang pelan-pelan diubah gitu. Bagaimana untuk menjadi pelajar sepanjang hayat, cinta ilmu pengetahuan, dan gak gampang bosen gitu dengan proses belajar. Saya ada follow up, ini kedengarannya sangat incrementalis.

Ini akan memakan waktu yang cukup lama, karena cukup struktural. Struktural dalam arti kata kita tidak melihat adanya budaya yang mengharuskan anak-anak kita di rumah tangga, di kantor, di sekolah, di institusi sosial. Di Potato Head, dimanapun untuk berdiskusi atau menunjukkan curiosity, yang mana seringkali saya mengucapkan atau menyatakan bahwa kita gak punya political culture.

untuk mendorong curiosity di kalangan anak-anak kita. Nah, untuk kepentingan kita untuk bisa menggairahkan curiosity atau unsur penasaran, ini gimana untuk bisa disampaikan? di scale up dengan velocity yang jauh lebih tinggi daripada apa yang Anda baru saja ceritakan.

Iya, jadi memang betul perubahannya gak bisa incremental dan perubahannya harus sistemik. Jadi kalau ada perdebatan misalnya ya, mana nih yang lebih penting gitu, karena kami di PSPK fokus pada kebijakan pendidikan Pak Gita, jadi kalau ada orang berdebat tentang mana yang lebih penting, mengubah kurikulum atau meningkatkan kualitas guru, kami udah gak pengen berdebat itu. Dua-duanya sama penting dan harus harus jalan barengan gitu. Karena kurikulum adalah alat bantu untuk guru mengajar. Jadi kalau alat bantunya itu tidak mendukung guru untuk bekerja dengan lebih baik, juga gak bisa ngandelin gurunya.

Karena their accountability itu juga diukur dari bagaimana mereka mampu melaksanakan si kurikulumnya. Jadi sebagus-bagusnya guru, tapi kalau kurikulumnya tidak supportif, itu juga gak bisa. Begitu juga sebaliknya, sebagus-bagusnya alat bantu, kalau di guru.

digunakan sama orang yang gak kompeten juga gak akan jadi apa-apa. Jadi yang pertama kalau menurut saya adalah, kita jangan lagi berdebat mana yang lebih penting. Negara bisa kok ngerjain semuanya dalam satu waktu gitu, barengan semuanya.

Yang penting dan ini yang sangat sering tidak diperhatikan adalah, memberikan waktu. Jadi kalau ditanya apa sih yang kemudian jadi masalah dalam kebijakan pendidikan kita? Waktu.

Seolah-olah kurikulum di-enacted, dicetuskan hari ini, guru akan bisa langsung melaksanakannya besok. Tidak, bahkan... Penelitian menunjukkan guru itu butuh tujuh tahun untuk bisa terampil menggunakan kurikulum apabila guru itu setiap hari mempelajarinya.

Jadi kalau cuma sekali pelatihan, BIMTEK, kemudian... Ditinggal yang gak 7 tahun Nah sementara di negara kita Sering sekali perubahan-perubahan itu terjadi Tanpa memberikan kesempatan Untuk guru belajar dulu Sehingga Bagi kami adalah Kasih waktu Lihat melihat implementasi itu sebagai proses belajarnya guru. Jadi jangan melihat implementasi sebagai suatu kepatuhan. Jadi kenapa kita tidak punya budaya curiosity, the whole system, saya berani bilang, tidak ada rasa percaya. Semuanya top down dan policy itu didasari oleh distrust, bukan berdasarkan trust.

Nah ini yang sedang dicoba diputar oleh Merdeka Belajar dan pasti transformasi budaya ini butuh waktu. yang tadinya guru itu diarahkan sangat-sangat detail oleh kebijakan, kamu harus ngajar ini, habis itu ngajar itu, dan seterusnya dalam setahun kamu harus ngajar ini. Tiba-tiba kurikulum merdeka berubah, memberikan banyak keleluasan buat guru.

Karena filosofinya bergeser dari yang distrust, ngerasa bahwa gurunya gak mampu nih kalau gak dipandu satu persatu, berubah menjadi trust bahwa guru adalah instructional leaders dalam kelas yang harus bisa. Nah perubahan ini pasti perlu waktu, jadi harapan kami juga jangan cepat-cepat berubah lagi. Oke, yang berikutnya mungkin Afu, Mas Yanwar, being a man, tolong sabar dikit. Afu, ini saya mau jemput poin yang disampaikan oleh Nisa terkait PISA.

PISA salah satu bagiannya adalah profisiensi dalam STEM. Kalau kita lihat topik buku-buku yang dipinjem oleh anak-anak muda kita dari perpustakaan, itu komposisinya adalah 32-33 persen. terkait dengan ilmu sosial. 32-33% terkait dengan ilmu hukum.

32-33% terkait dengan ilmu ekonomi. Ilmu terawan 0,5%. Nah ini gimana nih? Iya kan? Jadinya curiosity structurally itu udah kaput.

Gimana untuk mendongkrak ketertarikan terhadap ilmu terawan di kalangan anak-anak muda supaya bisa nyambung dengan aktualisasi aspirasi kita agar skor pisah kita khususnya dalam konteks profisiensi STEM untuk bisa mencuat ke level yang jauh lebih tinggi. Ada beberapa hipotesis mungkin ya tentang mengapa gitu karena Dari pengalaman pribadi saja, mungkin saya bisa pakai cerita personal saya dalam konteks ini. Sampai di titik SMA, ketertarikan terhadap IPA atau STEM itu sepertinya masih bisa diakomodir.

Artinya bahkan kalau kita ngomongin jurusan SMA, IPA atau IPS, seolah-olah masih ada persepsi bahwa yang bisa masuk IPA itu lebih baik atau lebih sulit, mungkin setidaknya. Dan kecintaan saya pada saat itu saya sampai ikut Olimpiade Matematika, Olimpiade Ilmu Pengetahuan Alam, semuanya itu masih sangat bisa ada kompetisinya dan seterusnya. Tapi begitu masuk ke jurusan, seolah-olah semua lingkungan saya, orang tua saya, guru BP di SMA dan semuanya itu bilang jurusan yang lebih memungkinkan untuk membuka kesempatan pekerjaan atau lebih praktikal adalah Justru jurusan-jurusan sosial gitu, apakah itu ekonomi, hukum, ataupun ilmu sosial. Pada akhirnya saya memilih hubungan internasional gitu, padahal sampai di titik SM saya gak ada, saya sangat IPA gitu artinya sampai di titik itu.

Berarti kan ada pertanyaan besar terkait, yang pertama... Seperti sejauh apa kita bisa mengakomodasi rasa penasaran tersebut, kalaupun rasa penasaran atau curiosity itu sebenarnya tumbuh ketika anaknya kecil. Apakah memang ada sebuah titik turning point di mana sampai di titik tertentu kok tidak bisa diakomodasi, akhirnya anaknya sendiri yang harus menjustifikasi bagaimana posisi dia di masyarakat ketika tidak ada next step-nya.

Jadi kita sering dengar jurusan... atau lulusan-lulusan jurusan yang lebih ke arah MIPA atau STEM, apakah itu S1 apalagi S2, tidak necessarily bisa menemukan rumah untuk berkarya atau bisa melakukan penelitian atau scientific discoveries yang meaningful. Jadi akhirnya bahkan the brightest minds yang tadinya bisa jadi awalnya curious atau sebagainya pun berhenti di sebuah titik tertentu. Tapi kemudian mungkin yang nomor duanya, jadi artinya kalau yang tadi kan banyak hubungannya dengan yang lain ya, apakah itu investment, bagaimana kita spending on R&D di negara ini sangat terbatas, bahkan kalau mau lebih mendasar lagi scientific temper dan scientific culture-nya sendiri itu sangat-sangat rendah juga gitu.

Jadi ada hal yang mungkin baik itu kultural maupun secara investment financing dan sistem keseluruhan gitu ya, prioritisasi terhadap riset sendiri, risetnya sifatnya STEM mungkin masih sangat kurang. Sementara di sisi lain tadi yang arahnya ilmu sosial mungkin setidaknya masih bisa, kalau kita bayangin orang pintar atau orang hebat itu lulusan ekonomi, hukum, dan seterusnya. Tapi pertanyaan yang lebih berdasar kedua kemudian adalah lebih filosofis lagi, sebenarnya pendidikan dan terutama pendidikan kemudian di level tinggi, pendidikan tingkat lanjut itu untuk mencetak apa? Artinya ketika tadi Oh nanti kalau misalnya jurusan A, B, C Tidak dapat pekerjaan Berarti kan kita membayangkan pendidikan tingkat lanjut Atau higher education Sebagai batu loncatan saja untuk bekerja Artinya yang kita ingin catak adalah pekerja Padahal di level yang lebih mendalam sebenarnya kita membutuhkan semua gitu, maksudnya sebagai negara kita membutuhkan angkatan cendekiawannya, kita membutuhkan angkatan ilmuwannya, filsufnya.

Sebenarnya mimpi saya ini kalau bisa diperkenalkan di acara kayak gini, kita panggilkan filsuf gitu. Cuma itu bukan sesuatu yang wajar atau dihargai atau suatu profesi yang di Indonesia dianggap sebagai berharga gitu kan. Kalaupun ada ya mungkin sebagian.

Jadi... Fundamentally kita perlu mempertanyakan tadi ya, pendidikan itu secara filosofis di Indonesia untuk apa, proporsi untuk mencetak pekerja versus yang lebih mendasar tentang membentuk individu-individu yang bisa achieve their full potential, itu proporsinya harusnya seperti apa. Terakhir mungkin ya kalau kita kembalikan ke Ki Hajar Dewantara, salah satu yang beliau sering bicarakan dan membekas untuk saya, dibilangnya pendidikan itu sebenarnya untuk menumbuhkan, jadi anak didik itu seperti tumbuhan yang sudah ada kodratnya, tapi harus cuma dengan cara yang tepat itu kita bisa menumbuhkan potensi, tanaman bisa jadi fully bloomed. Kita gak bisa mengubah tanamannya jadi sesuatu yang bukan mereka, tapi ada yang melayu di tengah jalan, ada yang bisa tumbuh mekar berbuah, apapun itu, itu harusnya yang menjadi tujuan pendidikan.

Saya sepakat dengan Anda, kalau kita harus mengulang sistem pendidikan, mungkin topik yang paling utama yang harus dikedepankan itu adalah filsafat. Karena filsafat itu adalah bagaimana kita belajar untuk menginvestigasi kebenaran yang pre-existing ataupun aksiom yang pre-existing. Saya melihat anak-anak muda sekarang itu tidak dijajelin untuk menginvestigasi pre-existing truth ataupun axioms.

Nah mungkin shortcutnya ini kan common denominator antara Nisa dengan Afu adalah Apapun yang sudah dan harus kita lakukan ke depan, ini sifatnya inkrimentalis. Gimana nih sebagai negara demokrasi terbesar nomor tiga, populasi terbesar nomor empat, ada keniscayaan untuk kita harus mengkatalisasi atau mengakselerasi proses ini. Mungkin gak sih kita tuh karbitin aja tiga sampai lima juta guru. yang memenuhi syarat untuk bisa membidik dan membina anak-anak muda atau generasi muda ke depan supaya benar-benar kita melihat Indonesia ke depan penuh dengan kemasan. Follow up question to you.

Saya lihat kita bisa bagi jadi dua sebenarnya, karena diluar yang generasi selanjutnya yang perlu disiapkan ini secara formal gitu ya, kita juga harus mengejar ketertinggalan dari angkatan hari ini, angkatan produktif hari ini yang harus mengejar gap ketertinggalannya gitu. Sehingga dan pertanyaannya kalau misalnya angkatan kerja hari ini artinya berarti usia produktifnya mungkin 25 sampai sebut saja 50 gitu kan. Let's say kita adalah produk dari sistem pendidikan.

kan sebelumnya yang memiliki banyak kekurangan. Apa yang bisa kita lakukan terhadap angkatan yang sudah terlanjur dalam tanda kutip ini? Ketika kita hanya bergantung pada ruang formal, akhirnya terbatas tuh ruang intervensi untuk mengejar ketertinggalan ini. Mau gak mau memang harus ada demokratisasi ruang-ruang informal dimana kita bisa mengeksplorasi keterampilan, nilai-nilai kemampuan berpikir tadi filosofis maupun bahkan kecintaan terhadap STEM atau apapun itu di ruang-ruang alternatif yang ada.

tentu saja endgame misalnya sebagai its own channel adalah ruang informal yang mendemokratisasi kuliah-kuliah di kampus yang otherwise kita cuma bisa dengarkan mungkin kalau kita ke kampus tapi bisa kita konsumsi lewat ruang-ruang lain tapi untuk bisa menormalisasi kecintaan belajar growth mindset lifelong learning ini memang kita harus terlebih dahulu mengadres saya bilangnya ini apa ya culture nerd shamingnya ya Maksudnya kayaknya kok dari dulu bisa jadi sampai sekarang gitu ya, kalau sebagai orang dewasa sudah bekerja, masih suka belajar, masih suka mencari tahu, dalam tanda kutip mungkin di dalam kelompok komunitasnya masing-masing, oh dia tuh si know it all yang paling suka ngomongin pengetahuan baru gitu, kita harus flip gitu bahwa kita harus mewajarkan kecintaan belajar ini, dan bahkan diselebrasi bukan hanya diwajarkan ya, maksudnya diselebrasi sebagai sesuatu yang sangat, harus kita lakukan atau harus kita dorong kecintaan belajar alternatif ini. Jadi endgame apapun itu platform-platformnya sangat bisa didorong di ruang-ruang informal. Tapi seperti yang, jadi mungkin ini sedikit ngomongin team policy jadinya.

Jadi kami di team policy ini sebenarnya organisasi yang mau mendorong perbaikan ekosistem kebijakan publik di Indonesia. Salah satunya lewat mencetak atau mengejar keterampilan talenta yang... mengurusi kebijakan publiknya sendiri.

Dan kami pelajari di tahun pertama, Yang sangat kayak, wah ternyata seperti ini adalah, mendidik anak kecil itu sangat berbeda, atau pendidikan untuk anak kecil alias pedagogi, itu sangat berbeda dengan andragogi, atau pendidikan untuk orang dewasa. Beda banget. Beda bangetnya dalam beberapa, mungkin manisnya jauh lebih fasi sebenarnya terkait dengan ini. Tapi yang kami discover misalnya, yang pertama, kalau mengajari orang dewasa itu, konsep terhadap self mereka sudah ada.

Mereka sudah punya preconceived notion tentang dunia. Mereka sudah punya nilai-nilai. nilai, mereka sudah punya truth yang mereka percaya, akumulasi dari hasil pengajaran sebelumnya.

Jadi ketika kita berusaha melakukan atau dalam tanda kutip mengedukasi orang dewasa, gak bisa lewat memberi tahu. Jadi kalau anak kecil dari gak tahu jadi tahu. Kalau orang dewasa kita berusaha mendorong alternatif point of view lain.

Jadi yang harus dieksperimentasikan itu justru apa nih discoveries yang bisa terjadi di ruang kelas. pertanyaan yang bisa menimbulkan pemikiran-pemikiran baru di siswanya. Jadi bahkan pertanyaan bukan informasi yang diberikan. Yang kedua lainnya juga adalah cara berpikirnya sendiri. Jadi kalau kita bicara tadi tentang critical thinking atau lateral thinking, creative thinking, pragmatic thinking, pragmatic problem solving.

Kalau orang dewasa Saya sebut aja di umur 35-40 sudah punya cara saklek untuk menyelesaikan masalah gitu. Kita bayangkan mungkin orang-orang yang bekerja di kementerian, sudah otomatis gitu Mas Yanwar jauh lebih banyak pengalaman ini, sudah lebih otomatis ada masalah A saya akan menyelesaikan dengan B. Ada masalah A saya akan bikin event dengan pendekatan ini, udah ada pakem-pakem yang biasa mereka lakukan. Jadi berusaha menudge bahwa eh coba cari cara lain dalam menyelesaikan atau menyusun kebijakan publik yang baru itu. tantangannya berbeda, jadi kita harus ajak pertama ruang belajarnya harus dibuat seaman mungkin untuk mereka merasa, oh saya boleh berubah pikiran, atau saya boleh menitipkan atau melepas ransel saya dulu tentang apa yang saya percaya tentang dunia di luar ruang kelas, masuk ke ruang kelas itu saya mau eksperimentasi dengan ide-ide baru itu tantangannya luar biasa sulit dan yang terakhir mungkin ini ada hubungannya dengan apa yang mereka persepsikan sebagai otoritas pengetahuan itu sudah ada.

Jadi kalau anak kecil, ada guru di ruang kelas itu, ya itu otoritas otomatis. Tapi di ruang yang gate yang sudah terbuka lebar ini, semua orang dapat pengetahuan dari manapun, siapa yang punya otoritas terhadap pengetahuan itu menjadi... kompetisinya sendiri. Saya lupa yang nulis bukunya, mungkin Pak Gita pernah baca juga, Death of Expertise. Jadi bagaimana influencer yang baru baca atau google sedikit itu bisa jadi lebih banyak yang mendengar dibandingkan mas Mas Yan yang udah punya PhD, belajar apa segala macam, itu belum tentu lebih didengarkan.

Jadi bagaimana kita exerting authority sebagai sumber pengetahuan atau alternatif pengetahuan kepada orang-orang dewasa yang ada gap pengetahuan yang memang perlu diadrasi. Gak tau menjawab pertanyaan atau enggak tadi ya, jadi untuk mengejar ketertinggalan tadi ada elemen pertama dibuka ruang alternatif informalnya dan kita memang harus bekerja ekstra keras karena kompetisi kita adalah berbagai konten-konten atau sumber pengetahuan lain yang kadang-kadang justru memanfaatkan. ketidak berpikir kritisan masyarakat pada saat ini?

Oke, itu jawaban yang penuh. Mas Yanwar, ini agak-agak beda topiknya. Saya mungkin mau sharing diskusi saya dengan pimpinan salah satu universitas di Singapura. Baru-baru ini, yang mana dia tuh dengan bangganya mengumumkan baru aja mengekrut pemenang Nobel. asalnya dari Rusia, pasport Inggris untuk ngajar di Singapura, biayanya 1 juta dolar setahun, saya pikir itu aja udah mahal, tapi dia menyampaikan di atas itu dia juga harus mengelontorkan budget untuk riset dan pengembangannya 20-30 juta dolar.

Saya pikir that's where it stops, terus saya tanya lagi, target lo berapa? Ya gini aja deh, di MIT itu pemenang Nobelnya ada 100. Kalau kita aja secara beruntung bisa membuahkan satu pemenang Nobel satu tahun, satu, kita perlu 100 tahun. Kita gak bisa nunggu 100 tahun, kita gak mau nunggu 100 tahun. Kita harus akselerasi ini.

Mau gak mau kita harus mengakusisi pemenang Nobel 20-25 yang mana kalau masing-masing itu bisa ngajar 300 siswa-siswi per tahun, dalam 10 tahun dia udah ngajar 3.000 x 25, selesai. Kita sangat bisa beraspirasi untuk membuahkan 100 pemenang Nobel dalam 50 tahun. Di pemerintah tuh ada gak sih yang berpikir kayak begini?

Jawaban straight forward ya mas ya. Jawaban straight forwardnya, keinginannya ada, mikir sesistematik itu enggak. Beberapa hal mas.

Dari refleksi saya, melihat bagaimana pemerintah bekerja, satu. Pemerintah itu bekerja dengan output, bukan outcome. Itu nomor satu. Jadi output itu apa? Output itu jumlah sekolah yang dibangun Guru yang mendapat sertifikat Kelas rusak yang diperbaiki Itu output Outcome itu Tadi mas kita baru saja bilang kan Punya satu pemenang Nobel Dalam 25 tahun Itu outcome Sama di kesehatan ya Angka kematian ibu melahirkan Itu outcome Outputnya adalah jumlah buskes Mas jumlah Dokter kelahiran yang dibantu di fasilitas kesehatan.

Karena pemerintah berpikir dengan output, gambar besar itu enggak kelihatan. Itu fakta pahit barangkali, pertama. Yang kedua, dalam sistem pemerintahan kita, Kita ini terkekang dengan model budget yang annual. Jadi multi years itu susah. Kita bicara Nobel, enggak ada annual.

Dan kita tidak siap secara regulasi, secara kelembagaan, ketika ada government spending yang hasilnya enggak segera kelihatan. Itu jadi temuan oleh BPK atau oleh BPKP. Kalau kita punya invensi 100 yang jadi inovasi, paling banyak 10. Di antara invensi dan inovasi, ini ada jurang namanya Valley of Death.

Menjembatani jurang ini tugas siapa? Swasta? Enggak mas, tugas pemerintah. Pemerintah mesti punya alokasi resources yang menjadi jembatan.

Dari yang 100 ini menjadi ke yang mudah-mudahan enggak 10, tapi 11 atau 12. Tapi itu masih berarti 88 gagal. Kalau di audit jadi temuan. Cara berpikir yang se...

Kolot ini membuat kita gak kemana-mana. Satu, berpikir dengan output orientasinya. Kedua, rejim pembangunan kita adalah rejim yang sangat ketat secara finansial.

Saya tidak menyalahkan itu dalam pengertian, ya kan memang pemerintah harus ketat. Iya, tetapi ada sektor-sektor strategis yang jelas-jelas tidak mungkin diselesaikan per tahun. Dan salah satunya adalah education and research. Itu enggak bisa dikembangkan dengan cara berpikir itu. Di mana ujungnya atau di mana akarnya.

Saya melihat mas, sektor riset dan pendidikan kita ini dipolitisasi. Suka atau tidak suka, ngaku atau tidak ngaku, pendidikan, riset, bahkan banyak sektor publik itu menjadi sangat politis. Harus didepolitisasi, itu mesti ditangani profesional.

Kebetulan saya tahu yang disebut Mas Gita tadi karena yang dari Inggris itu dulu di kampus saya di Manchester. Dia memberi kuliah tentang bagaimana dia menemukan grafin itu kan. Kemudian saya baru tahu dia direkrut di Singapura. dengan duit segitu banyak.

Kalau tadi Mas Gita nanya ke Afu tadi ya, bisa enggak 3-5 juta atau 3-5 juta guru di training? Kalau pemerintah punya niat, bisa? Bisa mas, di training.

Itu mesti dikejar, kita ini mas kalau bicara riset apalagi kita punya mimpi menjadi kampus kelas dunia, world class university yang punya pemenang hadiah Nobel. Tanpa terobosan semacam itu gak akan bisa jalan. GERD kita mas, Gross Expenditure on Research and Development kita, itu not even setengah persen dari GDP. Mestinya ya mas ya, di negara-negara maju begitu ya, Gross Expenditure on Research and Development, GERD itu sekitar 2,5-3 persen. Kalau kita ngejar ke situ dan tidak dikejar-kejar oleh rejim audit ala pemerintahan sekarang ini, atau ala cara kita bernegara sekarang ini, kita kejar itu.

Kita bikin proyek. nonton film itu kan mas, apa namanya, kok saya sampai lupa, yang bom atom kemarin itu, Oppenheimer. Menetan project, we need to have something like that, kalau kita mau, dorong. Tapi gini, kalau saya boleh tambahkan, proses itu boleh serigit apapun, tapi rigiditas proses itu sangat bisa diobati oleh pemimpin.

Yes. Iya kan? Nah ini kedengarannya untuk merekonsiliasi antara kerangka pemikiran yang product centric dengan kerangka pemikiran yang outcome centric.

Ini sifatnya top down. Iya kan? Betul.

Itu perlu visi mas. Nah, niscaya ini berkorelasi dengan proses politik. Pasti. Yang mau gak mau harus membuahkan titik temu antara talenta dengan power secara optimal. Selama titik temu antara power dan talenta itu tidak optimal, kita akan selalu terjebak dan terbelenggu oleh rigiditas proses.

Kita gak bisa berinovasi untuk bisa berpikir seperti teman kita atau tetangga kita di Singapura. Iya kan? Dan bahkan kita hanya menggunakan rigiditas proses tersebut sebagai alasan untuk gak bisa berinovasi.

Iya, betul. Kita menjebak diri kita sendiri. Kecuali kalau ada moment of serendipity di mana terjadi titik temu antara talenta dan power yang masuk ke posisi kepemimpinan yang bisa berpikir menunjukkan agency syukur-syukur ownership taking bahwasannya intelektualisasi itu adalah yang terpenting untuk generasi muda ke depan.

Ini struktural kalau menurut saya. Gimana ngobatinnya? Saya kira relasi antara agensi dan struktur itu kita tidak bisa atau tidak boleh terjebak dalam mau voluntarisme, artinya agensi. atau determinisme, deterministik, bahwa struktur.

Tapi dalam beberapa hal, kita mesti cukup jelas dan jernih melihat, ini soal agensi, ini soal struktur. Saat ini, menurut saya. Struktur kita membelenggu Struktur kita tidak membebaskan Padahal pendidikan itu kan proses pendampingan Untuk membentuk selera, untuk membentuk hasrat, untuk membentuk kebiasaan Reset itu proses untuk reasoning, untuk thinking, untuk inquiring Ini terkungkung itu mas dalam struktur Kalau saya meminjam bahasanya Anthony Giddens itu Struktur ini atau struktur ini tidak enabling, tapi struktur ini justru membatasi, justru menutup.

Di situ agensi mesti mengambil perang. Dan saya setuju mas, dalam hal ini, we are missing a visionary leader yang melihat ke sana. Kalau saya melihatnya begitu.

Kita mesti punya, dan itu tidak dalam pengertian satu orang ya mas. Karena pengalaman saya di pemerintah, orang sering melihat pemerintah itu lausi, pemerintah itu semacam sitting duck. Enggak, Mas.

Dulu saya di luar, saya bukan pegawai negeri. Ketika saya dulu bergabung dengan pemerintah, saya dulu sempat berpikir ketika saya dari luar, pulang ke Indonesia, saya mikir ini gimana di pemerintahan. Masuk ke pemerintahan, mata saya terbuka, banyak champion ini di pemerintahan. Di kementerian A pasti ada orang baik, di kementerian B, di kementerian C.

Tugas kita adalah menghimpun para champions ini yang mau berpikir ke depan itu dan untuk berdua bareng. Dan betul mas, itu fungsi leadership. Kalau enggak ada leader yang berani bilang bahwa sektor pendidikan, sektor publik mestinya ya mas ya, pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial itu enggak boleh diisi orang politik.

Enggak bisa. Karena itu jangka panjang, itu outcome. Begitu sektor-sektor itu diisi oleh orang politik yang berpikirnya pendek, apalagi selalu ketakutan untuk di-reshuffle, bubar sektor itu mas, saya jamin.

Saya mau melakukan Thor experiment dengan teman-teman panelis di panggung dan mudah-mudahan teman-teman di audiensi juga bisa partisipasi. Ada yang tahu enggak sih jumlah buku yang sudah terpublikasi itu berapa secara kumulatif? Di dunia.

Ada yang mau tebak? Dari awal waktu sampai hari ini. 140 juta buku, cuman segitu.

Iya, mungkin saya kurang 3 nol tapi yang saya cek tadi segitu. Anggaplah itu angkanya, as a thought experiment jumlah orang dewasa di Indonesia itu 140 juta. Kalau kita assign aja masing-masing orang dewasa di Indonesia untuk baca satu buku, Terus kita kodifikasi, masukin semuanya, kita katalog, semestinya kita udah bisa mengakselerasi proses belajar terhadap apapun yang sudah terpublikasi.

Nah ini saya mau antar nih ke apapun yang tadi kita bicara dengan Nisa maafu mengenai gimana untuk kita bisa membuah. 3-5 juta guru, karena sistem ajaran itu sangat berkorelasi dengan kualitas guru. Saya seringkali ngomong bahwa kalau kita mengseleksi guru dari top 20 percentile, dia bisa ngajar dalam setahun itu 1,5 tahun ajaran.

Tapi kalau yang di bottom, mohon maaf, dalam setahun 6 bulan ajaran. Nah, sesulit apa atau semudah apa atau secepat apa atau selambat apa untuk kita bisa membuahkan 3-5 juta guru yang... Top banget dari level non-tertiar sampai level tertiar.

Silahkan. Secepat apa? Ya mau secepat hari ini atau mau selambat dua abad atau mau selambat berapapun lah.

Saya berpikir begini loh, ini saya mau coba kembangkan lagi ya. Saya tuh agak-agak manggel kalau ngeliat representasi Indonesia di Amerika, di Eropa. Saya baru balik dari Inggris, di sana orang Indonesia cuma 4.000.

Orang Tiongkoknya 4.000. Apa 200 ribu, saya bukan mau mengdewakan pendidikan di luar negeri, tapi selama akademisi, institusi akademis di luar negeri itu peringkatnya masih lebih tinggi daripada kita, ya kita harus mengapresiasi lah. Nah gak ada alasan kita gak bisa meningkatkan representasi kita dari 4 ribu ke 200 ribu dalam waktu 5 tahun. Kalau kita bimbelkan untuk anak-anak muda kita itu bisa skor perfect di TOEFL.

Almost perfect di SAT, almost perfect di GMAT, almost perfect di LSAT, almost perfect di GRE. Di Korea Selatan, di Seoul itu ada high school, SMA. Masing-masing produknya yang lulus dari situ itu skor SAT-nya perfect, 1600. Ada yang udah pernah ngambil SAT disini? Oke, coba dibayangin.

1.600 masing-masing yang lulus dari high school ini. Dia mau milih ke Imperial, ke Oxford, ke Princeton, ke MIT, Harvard. No brainer.

Nah, ini bukan karena doa. Bukan karena keberuntungan. Tapi karena praktek dan latihan. Rigor.

Yang dirangkul oleh guru-guru dan pendidik di Korea secara sistemik dan sistematis telah membuahkan produk seperti ini dan saya melihat ini bisa direplikasi atau duplikasi. Kenapa enggak? Ya kalau kita butuh 5 tahun oke-oke aja, syukur-syukur bisa lebih cepat, ya mungkin give and take 1-2 tahun.

Silahkan. Kalau kami di PSPK melihatnya itu lagi-lagi masalah sistemik, structure. Jadi pertama adalah siapa yang jadi guru?

Lulusan SMA mana? Di antara lulusan SMA dengan ranking akademik 1 sampai sekian, ribu atau ratus dalam satu sekolah, anak-anak yang ranking berapa yang mau jadi guru? Itu adalah dari sisi input.

Dari sisi input, Indonesia masih belum berhasil untuk membuat guru menjadi profesi yang atraktif untuk anak muda. Jadi... Mereka bukan yang top students yang mau jadi guru, jadi kalau kita mau belajar dari Finland, misalnya selalu kalau sistem pendidikan seringkali melihatnya dari Finland, itu jauh sekali dari sisi itu saja.

Kenapa mereka tidak tertarik, kemudian harus kita cari tahu itu. Jenjang karirnya tidak menarik buat mereka. Jadi apalagi kalau generasi muda yang sekarang, yang konon lebih ingin bekerja itu lebih bervariasi dan sebagainya, Sementara guru yang mereka lihat adalah orang-orang yang 40 tahun jadi guru, 30 tahun jadi guru. Itu yang langsung di kepala mereka, aku gak kebayang jadi guru berada di satu profesi selama itu.

Jadi ini tidak atraktif. Kalau dari segi gaji sebenarnya, selama kita bicara tentang guru yang sudah tersertifikasi dan sebagainya, sebenarnya bukan profesi yang gajinya super rendah. Jadi bukan yang tidak menarik tetapi lebih menarik. melihat sebagai profesi yang sepertinya monoton.

Kemudian yang selanjutnya adalah orang itu, anak-anak muda itu biasanya terinspirasi dari apa yang mereka lihat di sekitarnya, Pak Gita. Jadi mungkin pengen jadi seorang Gita Wirjawan dibanding jadi guru. Karena guru yang mereka lihat adalah yang seperti itu. mungkin tidak sejahtera dari segi dan sebagainya. Sorry to cut you off, but let's do the math.

Kalau kita kasih satu masing-masing guru itu satu miliar setahun, untuk membuahkan guru yang oke banget, lima juta guru yang oke banget kali satu miliar, itu cuma lima triliun setahun. Budget anggaran atau anggaran pendidikan kita itu berapa setahun? 450 triliun, sorry 45 triliun sampai 50 triliun, 28-30 triliun US. Kalau saya diberikan diskresi, diberikan prerogatif, saya akan mati-matian itu perjuangkan. Dan gak ada alasan kalau saya kasih, saya tawarkan 1 miliar ke orang yang tadinya udah diterima di Google.

pasti belok. Dia bakal ngajar di Sumedang. Di SMP digaji 1M setahun.

Sorry, Fuh. Silahkan. Sorry, Nisa mau nyelesain poinnya.

Poin saya itu adalah sebenarnya ini bukan sesuatu yang tidak disadari pemerintah saat saat ini dengan kebijakan-kebijakan yang baru saja gitu ya, misalkan kayak guru penggerak gitu, bagaimana menguatkan profesi guru itu sebagai profesi yang punya sisi leadership. Balik lagi yang tidak menarik juga salah satunya adalah karena sekian lama budaya kita guru itu seperti, sorry to say, kayak pelaksana kurikulum saja, tidak ditempatkan sebagai instructional leaders. Nah dengan ada program-program yang baru ini kan dengan seperti guru penggerak dan sebagainya, gimana guru-guru itu bisa menjadi influencer.

Tadi nyambung apa yang Afu bilang, bahwa sekarang pun guru itu belajar tidak lagi diperlakukan seperti anak kecil, yang top down disuruh datang ke aula yang isinya 500 orang, terus ada satu orang yang so-called pakar ngajarin mereka. Sekarang yang dilakukan adalah belajar lewat komunitas, refleksi bareng, berbagi bareng, diperlakukan seperti orang dewasa. Ini baru mulai Pak Gita, bayangin sekian puluh tahun.

Guru itu diperlakukannya seperti itu dan ini baru mulai untuk bertransformasi bahwa no, no, you are a leader. Go ahead, belajar sesuai dengan interestmu, mau apa dan tidak lagi terlalu dikekang gitu. Secara regulasi, banyak regulasi yang tadinya sangat mengekang Pak Gita. Jadi ini yang sedang diupayakan, but again, politically mudah-mudahan gak short sighted.

Selalunya selalu ada keinginan dari para pemimpin. Menteri misalnya Untuk meninggalkan jejak yang besar Sehingga mengganti kebijakan Yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya Nah ini yang kami harapkan adalah penghargaan terhadap menteri itu bukan hanya ketika dia meluncurkan satu kebijakan baru, tapi ini adalah suatu penghargaan besar apabila menteri itu bisa mempertahankan kebijakan sebelumnya. Jadi jangan berpikir bahwa sekali jadi menteri itu berarti saya harus bikin sesuatu yang baru, gebrakan baru, enggak. Bahkan mempertahankan yang sebelumnya itu adalah sesuatu yang menurut kami itu mulia juga.

Berikan waktu guru untuk belajar. By the way, anggaran pendidikan 450 triliun. Silahkan Fu Saya mungkin justru akan bilang Saya gak mau orang yang tadi yang mau kerja di Google itu Dibayar buat jadi guru Yang jadi guru harus pintar Tapi tidak semua orang pintar Dalam definisi sempit Harus jadi guru Atau punya keterampilan yang dibutuhkan untuk jadi guru Jadi mau agak Kritis sedikit dalam bagaimana kita Melihat siapa yang seharusnya menjadi guru Atau keterampilan apa yang dibutuhkan Agar guru itu efektif menghasilkan angkatan tadi siswa yang kita inginkan. Karena, dan saya mungkin ingin bahas sedikit satu buku yang saya baru saja selesaikan, di dunia The Intelligence Trap. Jadi ini kritik besar terhadap bagaimana justru kemampuan akademik atau intelektualitas the way we define it, SAT scores, IQ scores, itu ada blind spotnya sendiri.

Nomor satu. Nomor dua, bahkan bahwa ekspertis yang sangat mendalam itu hadir dengan bias-bias yang... yang membuat orang yang paling expert kadang-kadang justru paling beresiko kena atau terjebak dalam bias-bias atau dalam intelligence trap ini. Jadi mereka kadang-kadang membuat bad decisions, not because they don't know, but because they know so much, they don't have the space to think in other ways tadi. Jadi itu big picture-nya kan berarti pertanyaannya apa keterampilan yang dibutuhkan untuk bisa menjadi seorang guru yang efektif.

Saya sepakat bahwa nomor satunya tadi mungkin the way you describe it basically traditional intellectualism in a sense of academic ability dan seterusnya. Tapi bahwa ada nomor dua, Dua, tiga, empatnya gitu. Misalnya emotional intelligence-nya, motivation to teach-nya. Jadi yang memang mendapat...

kebahagiaan dari mengajar atau dari mendidik tadi gitu dan dan sebagainya, mungkin justru Mbak Nisa lebih tahu apa saja yang dibutuhkan gitu, tapi yang saya mau khawatirkan itu adalah pendefinisian orang pintar yang sempit dan bahwa semua orang pintar itu pasti bisa menjadi guru yang baik gitu, karena ada tokoh-tokoh guru yang sangat saya hormati dan sangat berperan besar dalam tumbuh kembang saya SD, SMP, SMA, yang bisa jadi they're not the most smart, maksudnya IQ wise, SAT score, never took SATs atau apapun, tapi yang mereka tanamkan di saya adalah tadi, lifelong learning, curiosity, growth mindsetnya, yang goes deeper than kepintaran tadi. Tapi kembali ke pertanyaan pagi, I guess kalau kita sudah mendefinisikan secara lebih luas, pertanyaannya kan tetap sama, bagaimana kita mencetak 3 juta sampai 5 juta guru yang seperti itu. Dan saya, kalau saya mungkin akan mulai dengan, Nomor satunya dari guru yang ada sekarang, kalau sering ngobrol sama Mbak Najila Syihab itu misalnya beliau bilangnya ada komunitas guru-guru juga kemarin waktu ada pekan pendidik nasional gitu ya, ada guru-guru. guru yang memang sudah penggerak istilahnya kalau istilahnya Kementerian Pendidikan sekarang, artinya ini memang mungkin guru yang sudah top tier, mereka punya metodologi pengajaran di kelas yang efektif, mereka punya motivasi yang luar biasa, they know how to handle their students dan sebagainya, kemudian ada guru yang mungkin majority ini yang gak buruk tapi juga gak luar biasa gitu, and then there is the maybe tier terakhir yang paling butuh bantuan gitu kan. Berarti kan sekarang pertanyaannya gimana caranya yang top tier teachers ini, yang punya kemampuan, keterampilan mengajar pedagogi dengan sangat baik ini, either menjadi trainers ke bawah gitu kan, jadi lewat komunitas-komunitas belajar, sekarang ada yang didorong ke MDikbud juga, jadi guru-guru ini membuka ruang-ruang untuk belajar antar peers gurunya juga, tapi yang kedua kemudian, mungkin yang di bawah ini, tapi mungkin ada strategi khusus yang dibutuhkan untuk ini.

Sehingga kalau pun ada angkatan baru yang dimasukkan, tadi kan semangatnya Pak Gita, sebenarnya new blood yang fresh, yang membawa pemikiran terdepan, inovatif segala macam, itu mereka bisa well integrated into this existing ecosystem of teachers. Jadi kalau ditanya berapa tahunnya, menurut saya memang ada elemen, Apa ya, kalau kita ngomongin, banyak kan contoh-contoh kebijakan publik lain di mana ada fresh blood dari luar ditempel. Sebut saja shadow government-nya, misalnya GovTech gitu ya, dari luar ditempel. Sebut saja UKP4 at its glory dulu.

Itu kan orang-orang pintar dari luar yang ditempelkan. Dan selalu pembelajaran kita adalah sustainability problem. Ketika orang pintar ini datang untuk jangka waktu pendek dan tidak terintegrasi ke sistem atau ekosistemnya tadi, mereka bisa jadi hilang motivasinya berhenti di tengah jalan itu juga tidak berkelanjutan. Jadi pertanyaannya tadi kalau misalnya metode dari luar ditempelkan ini, to what extent mereka memang akan jadi bagian dari ekosistem guru jangka panjang?

versus semangatnya training of trainer study. Jadi memang untuk mengembangkan, kita sudah punya tiering, kita punya strategi per tier masing-masing guru ini, dan kalau secara anggaran saya yakin banget, benar tadi 20% dari APBN gitu, harusnya anggarannya ada untuk melakukan apapun yang kita mau. Ada banget, ada banget. Solusinya ini sudah ada di depan mata, tapi it requires I think political leadership and political will. Iya kan?

Dan saya gak bermaksud melakukan oversimplifikasi mengenai proses kurasi. Dan saya gak bermaksud bahwa ini harus fresh blood. Tapi begini, saya mau berlanjut ke mungkin thought experiment berikutnya. Kalau saya lihat, dunia ini semakin kental dengan ketidakpastian.

Dan prospek untuk peace and stability ini semakin agak-agak rentan. Kalau saya lihat, anggaran untuk militer garis miring pertahanan yang digelontorkan oleh Amerika Serikat garis miring NATO dan sekutunya itu kurang lebih 2,15 triliun dolar per tahun. 2,15 triliun dolar.

Total defense spending globally itu 2,7. Iya kan? Jadinya Amerika garis miring NATO dan sekutunya itu menggelontorkan kurang lebih 70-75% dari total penggelontoran untuk militer dan pertahanan. Itu hanya membuahkan hal-hal yang provokatif, bukan damai atau stabil. Ya kan?

Nah, kita melihat telah terjadinya penyusutan atau penurunan institusi multilateral. Namanya PNR. PBB, namanya WTO, dan lain-lain. Kalau saya lihat anggaran PBB itu setahun kurang lebih 3 miliar dolar yang ditugaskan untuk mendamaikan seluruh dunia. Sedangkan Amerika sendiri, anggaran pertahanannya aja 850 miliar dolar.

Dia tugasnya adalah untuk menggontok-gontok apapun yang dia enggak suka. apapun yang dia mau, terus sebagian kecil untuk memberikan lecture ke kita mengenai demokrasi. Iya kan? Nah ini ketimpangan yang sangat, mohon maaf, shamefull, yang mana disini budgetnya cuma 3 miliar dollar, dari PBB ini hampir 1 triliun dollar. Poin saya adalah semakin kita sebagai anggota dari global south berkepentingan untuk bisa berkomunikasi, semakin kita harus berkepentingan untuk untuk menjadi interlokutor.

Kita udah membahas kepentingan kita untuk membidik siswa-siswi kita untuk mereka bisa cerdas. Tapi saya juga pengen untuk mereka juga bisa ngecap, bisa berkomunikasi. Nah ini gimana nih? This is a thought experiment. Gimana menurut Nisa, Mas Yanwar, dan Afu untuk anak-anak muda kita ke depan dalam 10, 20, 30 tahun ke depan mereka bukan hanya cerdas tapi mereka juga bisa ngecap.

Iya kan? Dan gini loh, yang paling gampang metafornya adalah kalau kita ke London, orang di London mau tahu mengenai Asia Tenggara yang dipanggil bukan Dubes Indonesia, yang dipanggil Dubes Singapura. Orang di Beijing mau tahu mengenai Asia Tenggara yang dipanggil bukan Dubes Brunei, Dubes Singapura.

Orang di Tokyo, di Washington DC, di Canberra kalau mau tahu mengenai Asia Tenggara yang dipanggil adalah Dubes Singapura. Kenapa? Karena sudah ada persepsi atau bahkan stereotip bahwasannya orang Singapura itu cerdas. Dan kedua orang Singapura itu bisa mengartikulasikan kecerdasannya.

Nah saya pengen nih Indonesia dalam waktu dekat bisa mencapai titik itu. Yang mana di London, di Beijing, di Tokyo, di Washington, atau di Canberra. Kalau mereka mau tahu mengenai Asia Tenggara yang dipanggil adalah dubes kita. Silahkan, Mas Yanwar. Terima kasih.

Mas kalau dalam bahasa yang simple anak-anak sekarang. Orang-orang kita ini pinter, tapi mainnya kurang jauh. Menurut saya itu. Mainnya kurang jauh.

Kebetulan saya juga di LPDB, saya anggota komite LPDB. Kami itu mau dorong sebanyak-banyaknya sekolah Indonesia sekolah keluar. Saya tidak mengatakan, betul kata Mas Gita tadi, di luar itu selalu lebih luhur. Enggak. Tapi pergaulannya itu ada di situ.

Saya bahkan mau itu ya mas ya, otokritik pada akademisi kita. Kita ini bangga banget nulis di jurnal. Kita sendiri. Nulis sendiri, direview sendiri, dipuji-puji sendiri, untuk dapat angka kredit sendiri.

Kita mesti mau perang di jurnal internasional, titik. Kalau saya ketemu menti saya, saya ketemu anak-anak didik saya, atau teman-teman kolega saya, saya dorong, nulis keluar, pergaulan keluar. Bukan karena di luar itu lebih agung, lebih luhur, enggak.

Tapi kita mesti berani. Ini keluar kandang, main kita mesti jauh. Karena itu, saya nyambungkan tadi sedikit boleh mas ya? Tadi hitung-hitungan tadi.

Dari sisi angka, anggaran sangat mungkin mas. Tapi keragaman Indonesia ini tidak bisa kemudian semuanya dijadikan satu pendekatan. maka saya tetap melihat satu secara prinsip depolitisasi pendidikan dan riset itu nomor satu. Nomor dua, mesti ada projectnya mas. Iya tapi itu akademis.

Kita ngomong yang realistis saja. Apakah di tahun 2024 kita akan menyaksikan kepemimpinan yang bisa melakukan apa yang Anda aspirasikan? Wah nanti saya dianggap mendukung salah satu paslon mas. Tapi menurut saya mas, kita mesti menuntut. Mesti menuntut.

Karena satu, oke lah kalau satu saya corek dulu ya mas ya, itu jadi poin terakhir. Sebenarnya, Selama sektor pendidikan itu sektor politis dipimpin oleh menteri politis, susah. Yang kedua tadi, projek. Ada projek yang memang mesti mengarah ke sana, sementara yang lain itu stage implementation.

Kalau dalam bahasa kebijakan, saya sama Afu berbicara cerita itu sandbox. Karena kita enggak punya mekanisme sandbox. Yang ada adalah kebijakan langsung nasional.

Setelah diprotes baru dikoreksi lagi. Enggak, kita bikin kebijakan, kita bikin sandbox. Untuk membentuk tadi, struktur tadi.

yang ketiga perbanyak orang-orang kita terekspos ke dunia luar. Tendang keluar, sekolah keluar, jadi pakar di sana. Karena selama ini Kita mikirnya enggak gitu mas.

Itu menurut saya. Saya melihat, saya kebetulan juga sekarang di kampus, di luar kota, di luar negeri, kecenderungan orang Indonesia kalau nulis, itu yang ditulis mengenai Indonesia. Tapi kalau saya ketemu orang India, dia bisa nulis mengenai Burkina Faso.

Dia bisa nulis mengenai HIV, dia bisa nulis mengenai decoupling antara Tiongkok dengan Amerika Serikat, dia bisa nulis mengenai Gaza. Sebenarnya menulis tentang Indonesia itu tidak apa-apa. outletnya itu di luar agar orang tahu.

Itu point taken. Tapi beyond that, kalau menurut saya kita harus bisa membiasakan diri untuk menginternasionalisasikan wawasan kita. Iya kan? kecenderungannya adalah orang Indonesia yang pakar kalau sudah keluar dia hanya mau ngomong mengenai Indonesia dia hanya mau nulis mengenai Indonesia mohon maaf ya ini saya sangat hormati untuk para akademis tapi kalau saya perhatiin orang-orang dari India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka bahkan dari Nigeria dan Kenya itu mereka memberanikan diri untuk nulis yang sangat eksternal sifatnya dengan apa yang mereka lewati seumur hidup. Kalau menurut saya itu adalah inovasi yang kita harus coba.

It's a thought experiment. Dan semakin kita berani mendobrak batasan-batasan seperti itu, semakin kita mampu untuk menjadi interlokutor yang piawai untuk kepentingan yang tadi saya utarakan sebelumnya. Iya kan? Saya mau buka ke floor. Ada yang mau nanya?

Silahkan Pak. Saya terus terang sangat merasa cemas dengan kemampuan kita untuk betul-betul bahwa nanti generasi 2045 itu betul-betul yang kita harapkan sebagai generasi yang sangat produktif. Saya sangat cemas. Indonesia nanti akan terperangkap dalam middle income trap.

Dan saya sendiri melihat negara-negara lain di Asia seperti China, Korea Selatan saya tidak tahu sampai kapan kita bisa menyusul mereka. Dan salah satunya tentu saja itu adalah di bidang pendidikan. Saya setuju dengan Pak Yanuar tadi mengindikasikan perlunya kita memiliki blueprint pendidikan dan saya kira itu sudah diinisiasi oleh oleh Bapenas di bawah pembimbinan Kang Amih Alhumami mereka membuat rpjp rencana pembangunan jangka panjang yang melibatkan berbagai stakeholders baik dari pendidikan berbasis masyarakat maupun juga merkaian dari public schools dan sekiranya sangat baik sekali kita punya sudah membudayakan sebuah rencana jangka panjang pendidikan dimana nanti tidak segmented setiap menteri ada kebijakan yang yang yang mungkin sangat baru berbeda harus berbeda dari yang sebelumnya dan lain sebagainya tapi tetap bisa mengacu kepada blueprint dan salah satunya Pak Gita saya setuju dengan Pak Gita juga tentang penguasaan STEM itu harus perlu sekali masuk dalam RPJP itu kebetulan saya PhD di bidang antropologi sama dengan Pak Amik Alhumami juga, saya kira cukuplah kita punya antropologis, kita perlu banyak mereka yang menguasai STEM, science, technology engineering and mathematics kami mengirim guru-guru pertanyaan Pertanyaannya Pak, mohon maaf.

Pertanyaannya adalah. Saya kasih warning nih sama Panitia, waktunya berjalan. Ya baik.

Saya ingin bertanya kepada panelis, seperti apa langkah radikal yang perlu kita lakukan untuk bisa mengejar 2045 itu kita tidak terjerembab kepada middle income trap dan generasi kita pada saat itu betul-betul menjadi generasi yang produktif untuk kemajuan bangsa kita. Sekiranya saya cukupkan demikian, terima kasih Pak Gita. Siap. Saya kasih salah satu panelis. kesempatan siapa yang mau jawab, kalau enggak saya jawab enggak enggak, aku aja enggak enggak, ini kesempatan untuk panelis nih ini bisa tiga jam nih jawabannya ayo bu, silahkan yang pertama setelah berkecimpung di kebijakan publik sistem kita tidak merespon baik terhadap apa-apa yang radikal, itu dulu perubahan yang drastis itu selalu langsung dimusuhi responsnya, jadi saya enggak tahu soal efektif apa kalau kita berusaha mendorong sesuatu yang radikal versus incremental.

Sayangnya, artinya memang tadi mungkin ada elemen kepemimpinan tertinggi, presiden tertinggi yang memang membuka ruang-ruang untuk intervensi yang sifatnya fundamental, dramatis atau besar. Saya kira yang dilakukan Mas Nadiem mungkin dalam konteks Merdeka Belajar itu cukup radikal meskipun tetap mungkin dilakukan secara incremental karena batasan-batasan tadi. Jadi fundamentally kan mereka belajar itu membuka ruang belajarnya menjadi lewat misalnya profil Pancasila, kemudian kampus-kampus merdeka lain, internship di mana dan sebagainya itu kan sebenarnya upaya membuka ruang-ruang belajar tadi lebih luas. Tapi kalau saya, kalau misalnya kemudian kita punya kepemimpinannya yang saya gak tahu radikal enough atau tidak gitu ya, tapi jadi Kerangka besarnya adalah bahwa kita harus fokus ke both container dan content.

Jadi untuk menjawab pertanyaan Pak Gita tadi tentang kenapa kita tidak fasih dalam membicarakan negara kita dalam konteks luar, memang ada dua aspek. Yang pertama memang kontennya sendiri, dalam arti wawasan kita terhadap dunia luarnya sendiri terbatas. Saya mungkin kalau tidak mengambil jurusan hubungan internasional tidak tahu apa yang terjadi di belahan dunia lain.

Saking fokusnya segala macam yang kita bahas itu tentang Indonesia yang kebetulan memang sudah banyak banget masalahnya. Jadi memang kontennya harus diperkaya dengan berbagai referensi yang luas ini. Tapi kemudian nomor dua adalah kontenernya atau...

Bagaimana analytical capacity kita dalam mengkoneksikan titik-titik yang otherwise terpisah, mengkomunikasikan secara fasih dan efektif, mengarticulate bahasanya, apa yang kita pikirkan tersebut, itu juga perlu dilatih. Untuk saya yang paling fundamental, penting itu adalah debat. Klub debat di semua sekolah kalau misalnya ada semua, bahkan kalau perlu benar-benar semua dari SMP harusnya udah bisa ya, SMP, SMA itu debat jangan jadi pilihan bahkan tapi semua orang harus ada kelas debatnya gitu.

Karena bukan saja ini membolehkan kita untuk melihat persepsi orang lain, tapi berempati sama persepsi yang kadang-kadang kita gak setuju secara langsung gitu. Jadi debat itu kan kita mendukung emosi gitu ya, kadang-kadang kita gak setuju sama pernyataannya. Tapi kita harus berempati atau berusaha berhipotesis atau berargumen yang berbeda dengan posisi kita. Dan secara analitis menyusun argumen dan mengkomunikasikan argumen tersebut.

Untuk saya the one single training yang paling sangat mengubah hidup saya itu debat. Dan mungkin MUN atau model UN yang sama sebenarnya konsepnya adalah berdebat, berkomunikasi. Jadi kalau misalnya ini bisa diterapkan sebagai basis saja, menurut saya akan ada banyak hal yang berubah dan tadi mungkin yang kedua adalah kelas-kelas filosofi.

Artinya ruang... kelas dimana kita bisa mempertanyakan semua yang kita anggap truth hari ini, aksiom-aksiom yang kita anggap sebagai kenyataan, dan diperbolehkan, jadi secara radikal boleh berpikir, mempertanyakan status quo, mempertanyakan semua kebiasaan-kebiasaan, menurut saya kalau ini saja terjadi, keluar ruang kelas, akan sangat beda kontainer yang ada di kepala pemikiran anak-anak didik kita ke depan. Kalau menurut saya karena PSPK banyak bekerja di kebijakan, hal radikal yang bisa dilakukan adalah keberanian pemerintah untuk konsisten pada filosofi pendidikan kita sebagai hak asasi manusia, sebagai hak untuk hak pendidikan yang berkualitas.

Jadi saat ini saya rasa masih kita berdasarkan refleksi kami kerja dengan pemerintah itu belum konsisten. konsisten dalam menjalankan filosofinya itu. Jadi apakah pendidikan ini berbasis pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, atau pendidikan masih dilihat oleh negara sebagai investment private, jadi investment keluarga. Silakan keluarga berlomba-lomba untuk mendapatkan pendidikan yang baik, ataukah negara harus sebaik-baiknya memberikan pendidikan berkualitas untuk semua rakyatnya.

Nah ini saya rasa belum ada konsistensi yang kuat, walaupun kita sudah merdeka sebegitulah. lama tetapi kayak masih agak bingung, sebenarnya pendidikan itu private investment atau sebenarnya public goods, apakah ini kebutuhan negara atau ini kebutuhan rumah tangga bahkan pemikiran yang mendasar itu menurut saya bisa membuat kebijakan-kebijakan yang sangat berbeda jadi saya sangat berharap pemerintahan berikutnya juga akan selalu konsisten dan berani kenapa saya bilang berani? karena mengubah dari paradigma pendidikan yang seperti private goods tadi dan menguntungkan kelas sosial yang lebih sejahtera, itu ketika mengubahnya menjadi pendidikan sebagai basic human rights, itu ada pengorbanan-pengorbanan. yang mungkin tidak populer gitu ya, misalnya siapa yang berhak mengakses public education misalnya, apakah yang pintar atau seluruh rakyat sebenarnya.

Karena sekarang public education kita terbatas, kalau kita merit based itu secara sistematik yang diuntungkan adalah dari kelas menengah dan menengah atas yang mereka punya capital lebih untuk menyiapkan anak-anak mereka keterima di sekolah negeri gitu. Nah ketika mengubah itu, saya sangat menghargai menteri-menteri yang melakukan itu. Ini saya bilang menteri-menteri karena ini di...

dimulai dari Pak Muhadjir sebenarnya ide bahwa public education harus lebih accessible ke masyarakat miskin. Dilanjutkan dengan Pak Nadiem. Nah ini menurut saya adalah suatu konsistensi kebijakan yang berdasar pada satu filosofi yang lebih jelas.

Harapannya adalah konsisten dengan filosofi tersebut supaya kebijakan kita juga lebih jelas. Pendidikan itu sebagai apa sih? Siap.

Silahkan. Panitia oke dengan timing? Nambahin singkat saja.

Nanti nambah, saya juga nambah dikit. Oke. Saya nambah 2 jam aja. Mas.

Di sekolah negeri SD, SMP, SMA gratis ditambah satu tahun paut, itu mesti. Tahun 1946, Jawaharlal Nehru di India itu bilang, satu-satunya yang bisa membawa India maju itu scientific temper. Tadi Afu sudah nyebut, scientific temper itu the only way yang Nehru melihat akan membawa India maju.

Setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, pertanyaan pertama Hirohito adalah, berapa banyak guru yang tersisa? Sepenting itu menurut saya dalam kontrol pemerintah untuk kita melakukan sandboxing kebijakan mulia. Tapi menurut saya, Mas sahabat lama sebenarnya ini, Mas Alva ini, paut SD, SMP, SMA negeri free termasuk kampus negeri. Menurut saya, duit kita ada. Ini persoalan visi, ini persoalan niat politik.

Saya gak ngeliat keemasan negara manapun itu terjadi tanpa adanya kepemimpinan yang visioner. Dan kepemimpinan visioner itu termanifestasi dalam banyak hal. Tapi tiga atribut yang kalau menurut saya itu sangat nyata, itu adalah adanya neuron. Adanya hati dan adanya balls, guts.

Tanpa kombinasi tiga hal ini, saya enggak melihat adanya prospek pembuahan kepemimpinan atau pemimpin yang visioner. Satu. Dua, ada hal yang cukup paradoksal.

Kalau kita secara logis, intuitif berpikir bahwasannya Pemimpin itu akan dibuahkan oleh sistem yang sudah mapan, enggak semestinya. Kita lihat Inggris, kita lihat Amerika Serikat dengan sistem institusi yang sudah bisa dibilang sangat mapan, tapi tetap terjadi neurosis politik, psikosis politik, schizophrenia politik. Iya kan? Saya enggak usah sebut namanya. Saya lebih percaya dan berani berhipotesa bahwasannya kepemimpinan yang visioner itu bisa dibuahkan lewat serendipity atau keberuntungan.

Saya akan point out dua observasi. Yang pertama adalah Korea Selatan. Kalau Bank Dunia dan siapapun itu berkunjung ke Korea di tahun 50-an, itu analoginya adalah dengan Ghana.

GDP per kapitanya Korea itu lebih rendah daripada GDP per kapitanya Ghana di tahun 50-an. Dan asosiasi terhadap orang Korea itu adalah males, bego, dan kotor. Tapi tiba-tiba terbuahlah pemimpin namanya Park Chung-hee. Itu serendipitas.

Yang mengubah secara revolusioner sistem yang pre-existing menjadi sistem yang membuahkan suksesi kepemimpinan yang luar biasa. Walaupun ada stress episodic dengan asasinasinya beliau. Tapi sampai sekarang mereka bisa membuahkan hardware dan software. Kalau bicara software, K-pop, Dracore, BTS, dan lain-lain. Nah dalam konteks itu pun juga ada keberuntungan, mereka mulai lewat dua korporasi, salah satunya adalah CNJ untuk membuahkan aktor-aktor dan penyanyi yang luar biasa.

Di tahun 95 gagal, jatuh bangun, jatuh bangun, jatuh bangun tapi terjadi disrupsi, disrupsi hardware yang mana Samsung, LG dan lain-lain bisa memproduksi produk-produk yang luar biasa secara hardware. Terus terjadi disrupsi software yang namanya Twitter, Facebook, Youtube, Google, dan segalanya yang bisa mendistribusi, mendiseminasi produk-produk mereka. Terus keempat, demokrasi yang berkesinambungan. Kelima, koordinasi antara pemerintah dengan swasta.

Ini semuanya keberuntungan, enggak direncanakan di tahun 95, enggak direncanakan di tahun 55. Observasi kedua yang kental dengan keberuntungan adalah Singapura. Di tahun 60-an timbulah orang namanya Lee Kuan Yew, top scholar, sekolah di Oxford, pindah ke Cambridge. Dia bisa jadi lawyer yang terhebat di dunia, bisa berbasiskan di London, di Beijing, Tokyo, New York, dimanapun.

Tapi gak tau gimana dia milih untuk balik ke Singapura kerja gratis, membelain Serikat Buruh secara gratis. Tapi dia sangat berintegritas, sangat kompeten, dan sangat merangkul akuntabilitas. Itu serendipitas. Coba kalau yang balik ke Singapura namanya Robert Mugabe, beda hasil Singapura. Nah jadinya kita harus berdoa, bakar lilin.

Sembelih ke kambing, ke sinagog, ke gereja, ke masjid, berdoa, tapi juga berupaya. Semakin kita berupaya, semakin kita beruntung, semakin kita beruntung, semakin kita bisa melihat adanya pemimpin atau pemimpinan yang visioner. Nah kalau itu terjadi, itu merupakan infleksi yang luar biasa yang membuahkan keemasan yang kita dambakan di tahun 2045. Terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Inilah NG. Terima kasih.