Transcript for:
Fenomena One Piece dan Dampaknya

Terima kasih. Psst......untuk mempertahankan kehidupan yang gue miliki. Karena sebelum mampis taman, gue nggak mau mati. Star Wars sudah dimulai sejak tahun 77 dan masih berlanjut sampai sekarang.

Tapi dalam waktu 46 tahun, mereka hanya mampu memproduksi 12 film dan beberapa seris. Mustahil, franchise ini mengalahkan franchise Marvel yang sejauh ini telah merilis lebih dari 50 film. film, dan series hanya dalam 15 tahun. Tapi kuantitas yang banyak ini ternyata malah menciptakan fenomena baru.

Superhero Fetish. Sebuah fenomena di mana orang-orang mulai bosan dan muak dengan yang namanya film superhero. Dan there is one piece.

Selain sudah bertahan 26 tahun lebih, One Piece juga masih konsisten melanjutkan cerita mereka setiap minggunya. Sejauh ini, 1071 episode anime telah mereka rilis, 500 juta kopi manget telah mereka jual, 15 film telah mereka keluarkan. Belum lagi jumlah gamenya yang juga segambering. Tapi, somehow, penggemar-pengemarnya masih tetap menyukai dan menanti franchise ini. Entah cuma kami atau anda juga merasakan hal yang sama.

Apapun sosial media yang kami buka akhir-akhir ini, tidak sedikit kami menemukan penggunanya yang... yang menggunakan foto ini sebagai foto profil mereka. Akun-akun sosial media ini seakan di-hack oleh Echiro Oda, sang kreator One Piece.

Tidak, Echiro Oda tidak meretas akun sosial media mereka, tapi Oda Sensei meretas sesuatu yang lebih berharga dari mereka. Pikiran. Tegang, mungkin cukup menggambarkan suasana saat itu.

Semua murid tahap akhir sekolah menengah atas akan segera berhadapan dengan ujian akhir sekolah dan ujian masuk perguruan tinggi. Ketegangan itu malah terasa mengganda di perasaan salah satu murid di sana, Eshro Oda. Di hari ini, Begitu, dia juga menantikan pengumuman kompetisi manga yang diikutinya pada ajang Tezuka Award. Penerbit Shusha selaku penyelenggara mulai mencetak dan menyebarkan pengumuman hasil kompetisi itu.

Tapi rasa kecewa tersebut sedikit terobati dengan hadiah 500 ribu yen yang Oda dapatkan. Di malam harinya, rasa gundah mulai menghantui Oda. Sambil menatapi tumpukan uangnya, dia mulai terlarut ke dalam lamunan. Oka ne?

Sore wa kono kontesto ni sankasuru watashi no mokuhyou dewa arimasen. Watashi wa saikou ni naritai. Watashi no shigoto o tanoshindeiru hitotachi ni yoi eikyou wo atae.

Setelah melewati hari panjang di sekolah dan pulang di tengah teriknya matahari, rasanya tidak ada yang lebih nikmat selain segelas nutrisari dingin dan sebuah tontonan menarik. Itu juga yang Oda lakukan di tahun 86. Hanya butuh satu episode Kapten Tsubasa untuk membuat Echiro Oda bergabung dengan tim sepak bola sekolahnya. Itulah saat pertama Echiro Oda menyadari betapa luar biasanya pengaruh yang bisa anime berikan kepada hidup penggemarnya.

Untuk memberi pengaruh baik kepada penggemarnya, tidak ada cara lain selain menjadi yang terbaik. Perjalanan Oda untuk menjadi yang terbaik pun berlanjut. Oda mulai bekerja untuk beberapa mangaka terbaik saat itu, dengan tujuan menambah ilmu. Shinobu Kaitani, Masaya Tokuhiro, Nobuhiro Watsuki adalah nama-nama besar yang pernah dilayani oleh Echiro Oda. Setelah cukup lama melayani mangaka profesional, waktunya bagi Echiro Oda untuk mulai merintis karir profesionalnya sendiri.

Sambil merenung, berpikir, dan menganalisa, memori Echiro Oda mulai kembali terangkat satu persatu. Kenapa tidak membuat cerita tentang kaisok? Saya telah menulis buku sejak kelas sekolah.

Hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai Karena mengusung konsep yang anti-mainstream, tidak butuh waktu lama bagi One Piece untuk menguasai pasar Jepang. Tapi Jepang saja tidak cukup. Dengan tujuan untuk menjangkau pasar yang lebih luas, One Piece harus mempromosikan diri ke negara lain juga. Tapi di akhir 90-an, jenis media promosi masih sangat terbatas.

Satu-satunya media dengan jangkauan luas dan cepat. Hanyalah televisi. One Piece pun harus dikonversi ke dalam format anime series untuk tayang di sana.

Kunci dari kesuksesan sebuah series adalah membuat candu penontonnya. Dan cara yang paling mudah untuk melakukan ini adalah dengan membagi setiap episode dari series menjadi tiga bagian. Konflik, solusi, konflik.

Itu yang dilakukan series-series terbaik yang pernah ada. Game of Thrones, Breaking Bad, Frison Break, you name it, semua menggunakan rumus tersebut dan itu juga yang digunakan pada seris One Piece. Tapi tanpa adanya tema yang fresh, penggunaan rumus ini juga akan terasa percuma.

Salah satu film Marvel yang berhasil di era superhero fetish adalah Guardian of the Galaxy Vol. 3. Cuma ada satu perbedaan antara film ini dengan film-film superhero lain, permainan emosi. Terkadang penonton dibuat tertawa dengan komedi yang film ini sajikan, tapi di tengah gelak tawa tersebut, penonton tiba-tiba ditampar dengan adegan-adegan sedih yang disisipi di antaranya. Itulah yang Oda terapkan di karya One Piece-nya.

Sudah lebih dari 20 tahun, Eichiro Oda berhasil membuat tertawa penikmat One Piece melalui ekspresi-ekspresi lucu yang digambarnya. Sound effect konyol yang dipakai, bahkan kadang-kadang impact dari aksi yang dilakukan oleh karakter di seri One Piece juga disajikan dengan jinaka. Tapi di satu sisi, Eichiro Oda juga tahu.

Penontonnya akan bosen jika terus-terusan dibuat tertawa That's why di tengah momen kocaknya Tidak jarang Oda menyisipkan adegan-adegan deep penuh makna Yang tidak jarang meneteskan air mata Satu hal tentang permainan emosi Hal ini hanya bisa dicapai melalui keberagaman karakter Lebih dari 1100 karakter telah Echiro Oda tuangkan ke dalam mahakaryanya Ada yang membuat tertawa Ada yang berwibawa Ada yang berkarisma Bahkan ada yang menggoda Selain permainan emosi, ribuan karakter tersebut juga memungkinkan Oda untuk menciptakan ribuan konflik. Itulah kenapa Echiro Oda seakan tidak pernah kehabisan ide untuk terus melanjutkan One Piece di setiap minggunya. Di setiap minggu itu pula, karakter-karakter yang ada di dalam One Piece tumbuh berkembang didewasakan oleh konflik-konflik yang mereka alami.

Di ujung perjalanan nanti, Luffy yang ada di sana bukanlah Luffy seperti yang dulunya kita kenal. Karakternya bergeser, bergerak. berevolusi dan berubah. Semuanya itu terasa sangat natural karena dilakukan secara perlahan melalui setiap episodenya yang sekarang berjumlah ribuan.

Dan ribuan pecinta One Piece juga tahu, franchise ini semakin disempurnakan dengan banyaknya penggunaan teknik foreshadowing, sebuah teknik yang seri sekelas Breaking Bad pun juga melakukannya. Selesai menyusun rencana penggarapan, rencana marketing pun mulai direncanakan. TV menjadi media yang dipilih untuk menyayarkan. Ada dua opsi TV yang tersedia saat itu. TV kabel berbayar dan TV free-to-air gratis.

TV berbayar mungkin bisa membayar hak siar One Piece yang lebih tinggi. Tapi ada satu hal yang tidak dimiliki TV berbayar. Jangkauan ke segala lapis masyarakat.

That's why One Piece lebih memilih menjual hak siarnya ke RCTI ketimbang HBO. One Piece ingin masyarakat di segala lapisannya mengenal One Piece terlebih dahulu. Tapi meskipun bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan berarti One Piece bisa menjangkau segala lapisan usia.

Anak-anak tentunya menjadi penonton terbanyak. Ketika One Piece mulai tayang, yang termasuk ke dalam kategori anak-anak adalah mereka-mereka yang lahir di tahun 80 hingga 90-an. Generasi Millennial.

Begitu orang-orang menyebutnya, sebuah generasi paling unik yang pernah lahir ke dunia. Mereka adalah generasi terakhir yang menikmati indahnya masa kecil tanpa intervensi teknologi. Mereka juga generasi pertama yang merasakan kemudahan teknologi di masa mudanya. Generasi di atas mereka sudah terlalu sibuk untuk mempelajari teknologi.

Generasi di bawahnya juga masih terlalu kecil untuk mendalami yang namanya teknologi. Coba buka sosial media Anda, berapa persen influencer yang Anda ikuti? lahir di generasi millennial.

Hampir semuanya mungkin. Tidak sedikit di antara mereka yang dihipnotis oleh One Piece sejak mereka kecil. Melalui televisi, One Piece dikenal oleh banyak orang, termasuk influencer ini. Dan melalui influencer ini, One Piece secara tidak langsung juga terpromosikan ke pengikut-pengikutnya yang tersusun dari generasi sebelum dan sesudahnya.

Dampaknya, walaupun tidak semua orang menonton One Piece, tapi setidaknya semua orang pernah mendengar nama tersebut. Jangan mati sebelum menonton One Piece. Itu juga kata-kata yang sering kita dengar dan tidak sedikit dari kita yang terpengaruh oleh kata-kata ini. Tapi setelah melihat jumlah episodenya, tidak sedikit juga yang kembali mengurungkan niatnya untuk menonton.

Mungkin mereka harus menjalani gaya hidup seperti Echiro Oda, tidur 3 jam sehari untuk menyelesaikan seri sepanjang itu. Selain itu, penonton-penonton baru juga enggan memulainya karena mereka malu jika harus diasosiasikan dengan sebutan wibu. Beberapa oknum wibu kerap kali menodai julukan tersebut dengan kelakuan-kelakuan aneh mereka yang tidak jarang mengarah kepada perbuatan cabul.

Beruntung, Netflix memiliki kedua solusinya, live action. Melalui live actionnya, Netflix sukses mengkompres durasi panjang anime One Piece menjadi lebih singkat tanpa menghilangkan esensinya. Melalui live action ini juga, Netflix membuat orang-orang yang tidak mau diasosiasikan dengan istilah wibu untuk bisa tetap menikmati One Piece.