Terima kasih. Hai kawan-kawan, selamat datang kembali di podcast Sistomat. Di podcast ini kita akan membahas berbagai fenomena sosial yang ada di sekitar kita secara kritis dan ilmiah.
Nah, sekarang kita sudah bersama sama Bung Muhtarabibi atau biasa kita panggil Bung MH. Apa kabar, Bung? Baik. Gimana, Bung?
Hapal? Baik juga, Bung. Bung, saya ini suka sering dengar kata-kata bonus demografi. Pertama kali saya dengar itu waktu saya awal kuliah, ya berarti sekitar 5-6 tahun yang lalu.
Dan sampai kemarin minggu lalu saya dengar Pak Tito pun di acara APEXI, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia, itu ngingetin para wali kota tuh tentang pentingnya bonus demografi dalam menyongsong Indonesia emas 2045. Sebenarnya apa sih, Bu, yang dimaksud bonus demografi ini? Gimana kira-kira asal-usulnya tuh? Oke, jadi memang sekarang semua orang kayaknya ngomongin bonus demografi ya terutama pemerintah itu. Sebenarnya apa sih binatang bonus demografi ini? Kita bisa melacak istilah ini, sebenarnya istilah ini tidak terlalu, masih relatif baru ya.
Jadi lahir dari di sekitar tahun 90-an, di awal 2000-an gitu. Lahirnya ini dari konteks perdebatan ya di kalangan ilmuwan tentang pembangunan itu antara hubungan dari dua hal, populasi di satu sisi dan ekonomi di sisi yang lain. Nah perdebatan ini kira-kira kayak apa? Kita ringkas aja ya. Kira-kira ada tiga kelompok dalam perdebatan ini.
Yang pertama, kelompok yang optimis nih, bahwa pertubuhan populasi itu akan berdampak buruk bagi ekonomi. Nah ini tokoh utamanya tentu saja Malthus gitu ya, pengikutnya yang udah disebut Malthusian gitu. Argumennya apa kira-kira? Ya mereka argumennya pertubuhan populasi itu kecepatannya akan melebihi ya, kecepatan dari kemampuan kita memproduksi makanan bagi manusia. Nah sehingga...
Sehingga kalau pertumbuhan populasi itu terus tumbuh, kita nggak akan mampu tuh menyediakan makanan atau kebutuhan lain yang sebesar untuk si populasi yang tumbuh tadi. Nah makanya kemudian mereka disebut kalangan yang pesimis gitu ya. Nah lawannya dari mereka ini adalah kalangan yang kemudian disebut kalangan yang optimis nih. Nah ini ada ekonom Simon Kutsnets, kemudian ada Bosrup juga yang kira-kira argumennya kebalikannya.
Mereka bilang populasi nggak ada masalah tuh sama itu. ekonomi, sepanjang ada teknologi yang canggih, yang makin baik, dan itu bisa meningkatkan produktivitas pertanian kita, bisa memproduksi barang-barang yang kita butuhkan dengan lebih baik, there's no problem gitu, populasi. Populasi mau tambah banyak, bukannya memperburuk ekonomi, justru dengan populasi yang makin banyak, ekonomi bisa tumbuh dan berkembang gitu, karena berarti pangsa pasarnya bisa tumbuh, dan juga makin banyak.
pasar kerja juga makin bertambah gitu ya. Nah itu kalangan yang optimis bahwa populasi itu bisa berdampak baik, tumbuhnya populasi berdampak baik bagi ekonomi gitu. Nah ada kalangan ketiga nih yang lebih netral nih, yang kira-kira bilang, oh populasi itu nggak ada kaitan langsung tuh dengan ekonomi, karena pertumbuhan populasi itu akan diperantarai oleh variable perantara gitu ya, bisa berupa kebijakan negara atau berupa... berupa variabel yang lain gitu yang itu membuat populasi itu tidak punya hubungan langsung dengan si ekonomi tadi nah dalam perdebatan kayak ginilah muncullah literatur yang kemudian ya kita sebut saja literatur tentang demographic transition gitu ya transisi demografi nah nanti transisi demografi terkait dengan demografi dividen ini disebut bonus demografi ini yang demografi dividen ini nah apa kira-kira literatur ini pandangannya literatur ini ingin mengkritik perdebatan tiga tadi yang yang menganggap populasi-populasi.
Nah kritik utamanya adalah, kalau ngomongin populasi, jangan ngomongin populasi secara umum dong. Populasi kok terus suka ekonomi gitu ya. Nah literatur demographic transition ini ingin bilang, populasi itu, kelompok-kelompok populasi tertentu itu punya dampak atau punya efek yang berbeda kepada ekonomi itu. Nah, sehingga mereka kira-kira munculkan hipotesis kayak gini.
Kalau suatu negara itu demografinya lebih banyak usia produktif, usia muda, nah, itu kecenderungannya bisa membawa dampak yang positif bagi ekonomi. Karena itu menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, menjadi sumber konsumsi, menjadi sumber pasar baru tadi. Nah, tapi di sisi lain, kalau misalnya itu sebuah negara itu lebih banyak angka ketergantungannya, populasi yang tua, makanya, atau memiliki populasi yang masih muda yang belum bisa bekerja nah itu bermasalah tuh negara misalnya kayak Jepang nih yang hari ini mengalami aging population gitu ya populasi tuanya itu yang di usia pensiun itu lebih tinggi dari proporsi usia yang produktifnya gitu nah ini menimbulkan problem sehingga Ini kan berada di tengah-tengah nih ya, kalau tadi populasi pasti buruk, yang satu pasti baik, nah yang ini, oh tunggu dulu, populasi yang mana nih? Kalau populasi yang muda ini lebih banyak, dia positif nih.
Kalau populasi yang tua atau yang balita, atau yang di bawah usia produktif itu lebih banyak. itu juga akan membawa dampak yang negatif nah ini kemunculan dari demographic transition yang nanti menimbulkan istilah demografi dividend tadi bonus, kenapa bonus? karena tadi yang ketika suatu negara itu mengalami transisi dimana usia produktifnya lebih banyak proporsinya dibanding yang usia ketergantungan tadi ya, baik yang di bawah 15 tahun maupun yang di atas 64 tahun oke Bu, lalu gimana sih sejarah ada munculnya demografis transisi ini atau DT ya, jadi secara sejarah ya, bagaimana transisi demografi terjadi di negara-negara lain misalnya di Eropa...
atau di Asia Timur itu sudah itu yang kemudian didiskusikan dalam literatur demographic transition ini ya jadi kalau di Eropa itu demographic transition dimana populasi usia produktif itu melampaui proporsi usia non-produktif itu terjadi di sekitar pertengahan abad 19 sampai pertengahan abad 20 gitu ya dan di Asia Timur di Jepang, Korea Selatan itu terjadi di tahun 1945 sampai 1990-an gitu nah di Indonesia ini yang baru digadang-gadang Sedang ini baru akan terjadi sekitar ya 5 tahun sampai 10 tahun ke depan gitu. Nah apa yang membuat demografi transisi itu terjadi di Eropa dan juga Asia Timur itu waktu itu yang sering dikali disebut adalah adanya dua hal ya. Yang pertama turunnya angka kematian bayi gitu.
Nah kenapa itu bisa terjadi? Ya karena perbaikan sarana kesehatan ya. Ditemukannya alat-alat kesehatan yang lebih modern. Kemudian juga obat-obatan yang lebih modern yang itu semua.
kontribusi bagi turunnya angka kematian bayi, termasuk tentu saja teknik atau metode perawatan kesehatan anak yang lebih baik, ibu dan anak yang lebih baik, nah itu di satu sisi jadi angka kematian anak itu berkurang, nah di sisi lain juga ada kecendungan turunnya angka melahirkan dari si ibu. Yang itu disebabkan oleh penggunaan kontrasepsi yang meluas. Ketika orang sudah mulai sadar tentang pilihan-pilihan untuk melahirkan atau tidak, dan alat kontrasepsi berkembang, itu menjadi pilihan. Dua hal itu yang membuat usia produktif itu menjadi proporsi yang paling besar di Eropa saat itu. Nah yang menarik adalah, ketika usia produktif ini dominan di Eropa, mengalahkan usia non-produktifnya, apa yang membuat itu kemudian dianggap sebagai bonus karena tadi punya dampak positif kepada ekonomi.
Literatur demographic transition ini ingin bilang, ketika populasi itu produktif dan kemudian diikuti oleh kebijakan ekonomi tertentu, Nah, lahirlah di mana populasi yang produktif itu menjadi positif bagi ekonomi. Nah, apa saja yang kebijakan ekonomi yang membuat demographic transition itu menjadi demographic bonus gitu. Nah, menurut literatur ini ada tiga.
tiga jenis kebijakan yang membuat itu terjadi yang pertama export oriented, nah ini mirip-mirip khas liberal khas neoklasik bahwa dulu dibayangkan ketika semua itu free trade free market dan lain sebagainya itu memfasilitasi tubuhnya bisnis dan itu baik bagi upaya penyerapan usia produktif yang lagi banyak-banyaknya itu, nah yang kedua ini ini yang tadi mungkin di podcast kita sebelumnya sudah dibahas juga ya, soal labor market flexibility lagi-lagi ya, jadi kemudahan perusahaan untuk meng-hire merekrut orang dan memperhatikan orang tanpa aturan yang banyak dan memberatkan usaha itu dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat transisi demografi yang membuat populasi produktif yang lebih banyak itu akhirnya membuat menjadi bonus gitu karena berdampak positif bagi ekonomi ketika tadi ada kebijakan eksportor orientated ya, jadi orientasinya ke pasar global, kemudian ada labor market flexibility yang diterapkan dan juga yang terakhir soal pentingnya pembangunan istilahnya itu human development index, jadi pembangunan manusia, nah itu biasanya lewat pendidikan, nah lebih spesifiknya lagi biasanya dikaitkan dengan tertiary education gitu, jadi pendidikan tinggi. Artinya berarti mencetak sebanyak mungkin sarjana gitu ya. Nah ini argumen dari demographic transition, bagaimana sejarah di Eropa dan Asia Timur itu kemudian di abstraksikan, oh iya ya, kalau kayak gitu seluruh... di tempat lain yang akan mengalami demografi transition akan bisa mengubah demografi transition menjadi demografi bonus kalau melakukan kebijakan-kebijakan tadi.
Sebagaimana yang dilakukan di Eropa dan Asia Timur. Di balik kemudian ya, Bu? Iya.
Oke, Bu. Kalau misalnya kayak gitu asal-usulnya Apakah benar demographic transition atau bonus demografi itu benar-benar membawa bonus bagi Indonesia? Akan gitu ya mungkin.
Karena belum terjadi. Belum, sekarang indikatornya sudah ada. Sebenarnya di literatur demographic transition ini sendiri secara implisit sudah mengakui bahwa tidak ada yang namanya otomatis tadi. Tidak ada yang menjamin.
Tidak ada yang menjamin. Demographic transition itu hanya potensi. Demografi.
Demografi teknis itu kan tadi, ketika populasi produktif itu jumlahnya lebih besar, populasinya dibanding yang tua dan yang remaja gitu ya. Nah tapi, baru bisa menjadi demographic dividend atau bonus ketika tadi melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi yang kayak tadi tuh. Jadi itu pertama nih, jadi memang tidak mengasumsikan itu otomatis terjadi gitu.
Karena ada hal-hal yang harus dilakukan tadi. Kebijakan ekonomi yang liberal tadi harus dilakukan kira-kira, agar menjadi bonus gitu ya. Ada persyaratnya.
Ada persyaratnya. It's all implicit gitu ya. Nah tapi yang kedua, yang lebih problematis sebenarnya kritiknya adalah kalau kita ini, yang tidak disebutkan dalam literatur demographic transition ini kan sebenarnya adalah coba bayangin ya, begitu banyak usia muda produktif muncul di Eropa, Amerika Utara, Jepang, Korea Selatan misalnya. Dan kita tahu semua negara itu mengalami apa yang disebut dengan industrialisasi yang sempat kita diskusikan di kesempatan lain itu.
Nah artinya apa di sini? Kenapa industrialisasi sebagai proses yang begitu luar biasa dalam menciptakan pekerjaan itu tidak disinggung sama sekali dalam literatur ini? Padahal industrialisasi itu punya peran sentral dalam menyerap lapangan pekerjaan. Kenapa?
Nah ini yang saya ingin sederhaskan sedikit ya. Kenapa industri itu sering dianggap sebagai dinamisator utama sebuah ekonomi? Nah Bung Afal mungkin coba kita bayangkan ya. sektor jasa bandingkan membuat mendirikan sebuah kantor bank dengan mendirikan sebuah pabrik mobil nah coba kita bayangkan kalau bankan sektor jasa ya kalau pabrik mobil industri kita bayangkan kalau bank kalau kita mulai dari industri aja kalau pabrik mobil itu selain menciptakan lapangan kerjaan yang menyerap banyak orang disitu akan menciptakan kontrakan baru ya itu semua ada Tapi ada hal yang membuat industri itu kenapa dia lebih.
punya kekuatan untuk mendimensionalisir sektor yang lain. Karena apa? Mobil itu kan butuh barang mentah.
Butuh nikel, butuh aluminium, butuh tembaga, besi, dan lain sebagainya. Artinya, adanya pabrik mobil itu pasti mengerek permintaan di sektor yang lain. Itu baru di hulunya. Itu ada permintaan yang naik di situ. Nah, otomatis kan kalau tambang bertumbuh, kan pasti juga lapangan pekerja di situ juga tumbuh.
Nah, itu satu. Baru hulu. Nah, ketik. Ketika mobil sudah diciptakan, mobilnya dijual dong.
Nah, disitulah menstimulasi lahirnya sektor jasa dalam hal retail, perdagangan. Perdagangan memunculkan lagi. Misalnya, perdagangan suku cadang ya, suku cadang mobil atau motor.
Nah, itu nanti memunculkan sektor jasa yang lain lagi, yaitu servis. Iya kan? Untuk mereproduksi mobil itu agar tetap bisa dipakai.
Terus kan butuh servis berkala itu. Nah itu menimbulkan dampak lagi kan Nah dampak hulu sampai hilir kayak gini Nggak bisa Dilakukan oleh sektor jasa kayak bank misalnya Bank meskipun menciptakan lapangan pekerjaan yes Menciptakan mungkin ekonomi lokal segitu mungkin iya Tapi dia kan nggak memberi stimulan untuk sektor lain Dia nggak butuh raw material Iya benar juga ya Nah setelah itu juga ketika bank menghasilkan komoditas tertentu Berupa pelayan perbankan juga nggak menghasilkan Stimul mulan dalam retail atau jasa-jasa yang lain tadi kayak pabrik mobil tadi. Nah inilah kenapa industrialisasi itu dianggap sebagai dinamisator utama ekonomi.
Kalau negara bisa melakukan transformasi lewat industrialisasi, maka biasanya benar-benar tenaga kerja akan terserap semua karena industri itu menjadi kekuatan utamanya dalam menggerakkan sektor-sektor ekonomi yang lain. Nah, tapi literatur demographic transition Entah lupa atau sengaja tidak menyinggung itu. Padahal kan industrialisasi ini yang membiayai tadi, ketika industrialisasi kan nilai tambah sumbangan terhadap GDP juga naik, yang itu bisa dipakai untuk membiayai tadi pendidikan tinggi.
Sehingga human capital-nya naik dan itu makin meningkatkan skill dan bisa di... dalam industri yang lebih lanjut lagi. Ini yang tidak muncul dalam demografi transisi literatur, yang tidak menyinggung itu.
Padahal kalau kita menyinggung itu, ini bahayanya soalnya. Bahayanya apa? Kita tahu industrialisasi di negara Eropa dan negara kapitalisme maju itu tidak terpisah dari proses pembangunan di negara yang lain. Nah dalam banyak kasus, industrialisasi yang terjadi di sana itu justru dimungkinkan berkat proses kolonisasi, proses perampasan yang dilakukan terhadap negara-negara pinggiran.
Indonesia salah satunya. Duitnya dikeruk, raw materialnya dikeruk untuk melawan industrialisasi. di sana. Saya kira itu dugaan saya kenapa mereka nggak menyinggung industrialisasi ini.
Kalau itu disinggung, nanti orang harus diinggung tentang kolonisasi, tentang periode kolonial yang membuat demografi di sana itu bisa menjadi bonus karena hal tersebut. Karena adanya kolonisasi, nanti bisa sangat radikal. Solusinya sangat berbeda dengan kalau mainstream literatur yang tadi. Ketika industri lainnya nggak dibahas, ya sudah, persoalannya cuma sekedar pendidikan, soal labor market flexibility, dsb. Nah makanya, berarti kalau di Indonesia akan bermanfaat nggak betul.
Ya sebenarnya bukan bermanfaat atau tidaknya, tapi lebih ke kita ke depan akan kayak apa gitu. Apakah benar jadi bonus artinya itu baik bagi ekonomi atau sebaliknya. Nah kalau kita lihat kemarin di podcast Sebelumnya kan kita udah bahas, kita mengalami deindustrialization.
Jadi industri kita itu tetap tumbuh tapi stagnan gitu. Artinya tidak bisa menciptakan, menyerap lapangan pekerjaan yang banyak. Padahal tadi sektor industri kan yang paling diharapkan... menjadi dinamisator utama ekonomi. Bisa menyerap lebih banyak lapangan pekerja, tapi juga bisa menstimulan sektor yang lain untuk menyerap tenaga kerja.
Ketika di industriasi terjadi, saya kira akan sulit untuk melihat bahwa usia produktif yang banyak di Indonesia ini akan terserap ke dalam sebuah ekonomi yang besar seperti yang dibayangkan Indonesia Mas tahun 1945. Yang terjadi saya kira justru sebuah populasi yang tidak terserap oleh rektor industri atau tidak terserap oleh ekonomi formal yang kemudian terpaksa hidup dalam pekerjaan-pekerjaan sisa yang kita kemarin sebut pekerjaan rentan. Kalau kayak gitu, kosisinya sebenarnya ini seorang ilmuwan sosial besar, namanya Karl Marx, menyebutnya sebagai surplus populasi relatif. Jadi, alih-alih sebagai bonus demografi, ini surplus populasi.
populasi, populasi yang terbuang, populasi yang tidak diinginkan gitu oleh ekonomi yang kemudian mesti hidup dalam situasi yang sangat rentang berarti justru itu yang sebenarnya terjadi di Indonesia ya Bung saat ini yang lalu sebenarnya penjelasan lebih dalam soal surplus populasi relatif itu apa Bung? Ya, sebenarnya nanti kawan-kawan bisa cek sendiri ya, Marx menyebut surplus populasi relatif ini kan merujuk pada mereka, populasi yang tidak terserap oleh drop akumulasi kapital. Nah, kira-kira gampangannya gini ya.
orang itu kan kalau menginvestasikan duit ya bangun pabrik itu kan pengennya untung nah ketika pengennya untung ya dia pengen cari cara agar bisa menghasilkan lebih banyak produk untuk dijual lebih banyak agar untungnya lebih banyak gitu nah dengan dengan tuntutan kayak gitu, mereka biasanya kemudian mencari cara, mencari teknologi baru, mekanisasi, bahkan mungkin menggunakan AI sekarang ya, agar produktivitas pabriknya itu meningkat. Nah ketika produktivitasnya naik, kebutuhan akan tenaga kerja di pabriknya kan berkurang karena udah di mekanisasi tadi. Nah ini yang menurut Marx, secara kontinu kapitalisme itu selalu akan menimbulkan orang-orang yang terlempar dari pekerjaannya, karena lama-lama mekanisasi membuat banyak orang yang tidak akan terserap dalam.
proses akumulasi kapital ini. Dan kenapa disebut relatif? Karena dalam keadaan apapun, kapital itu, pengusaha tadi ya, ketika menginflasikan modal tetap butuh buruh.
Nggak ada ceritanya. Meskipun nanti semuanya, mayoritas ada AI, ada mekanis. tetep butuh buruh. Namanya kan disebut relatif.
Jadi bukan surplus populasi absolut gitu. Kalau absolutin berarti nggak butuh buruh sama sekali. Nah kalau relatif itu butuh, tapi butuhnya tidak sebanyak populasi yang ada di bumi ini.
Nah makanya disebut surplus populasinya itu relatif. relatif hanya sebagian kecil populasi yang akhirnya dibutuhkan oleh kapital untuk proses membuat komoditas itu gede-gede. itu yang bisa kita sebut SPR, penyebabnya apa itu?
Ya, tadi penyebabnya sebenarnya sudah kita bisa jawabnya di dua level ya. Di level abstrak itu tadi Marx menyebutnya karena ada kecenderungan dalam kapital itu untuk melakukan efisiensi dan peningkatan produktivitas yang itu membuat mekanisasi dan kebutuhan akan buruh itu berkurang. Nah, itu salah satu jawabannya di situ ya. Dari proses inherent ya, proses yang... kapitalis atau kapitalisme selalu akan membuat kayak gitu nah aspek yang lain adalah ya tubuhnya financial capitalism gitu dimana kapital itu sekarang bisa menghasilkan duit tanpa harus memproduksi komoditas.
Lagi-lagi seperti yang sudah kita bahas di kesempatan sebelumnya. Itu finansial kapitalisme yang membuat kebutuhan tanah kerja juga makin berkurang. Itu di level yang abstrak.
Di level yang lebih konkret, di level di suatu negara, kita bisa merujuk kenapa SPR ini tumbuh. Karena ada yang... Kita sebut sebagai inkoherensi kemarin kita.
Kita bahas soal ketidaksinambungan, ketidaknyambungan antara sektor pertanian dengan industri dan dengan sektor jasanya. Nah nanti tidak perlu kita ulang ya, detailnya nanti bisa dilihat di... edisi sebelumnya.
Nah itu penyebabnya kenapa kemudian SPR itu begitu melimpah di dunia maupun di Indonesia. Oke, Bu. Kalau misalnya SPR kemudian akhirnya melimpah, ruah, apa yang kemudian menjadi dampak bagi para pekerja-pekerja lainnya? Oke, pertama tentu saja bagi si SPR sendiri ya, namanya aja mereka ini hidup dalam sebuah pekerjaan sisa-sisa gitu. Nah ketika mereka hidup dalam pekerjaan sisa, ya pertama pasti mereka nggak hidup layak gitu, dari segi upah.
dari segi jaminan sosial, dari segi keseimbangan hidup, dari segi stabilitas pekerjaan, dan lain sebagainya, ini mereka nggak hidup secara layak. Ini konsekuensi dari tidak dibutuhkan. makanya kemudian hanya jadi sisa-sisa populasi yang tidak terlalu dibutuhkan oleh ekonomi gitu.
Dalam kapitalisme ya, kita baca dalam kapitalisme ini. Nah, yang lebih menarik sebenarnya dampaknya bagi pekerja aktif nih. Nah, jadi Marx itu membagi antara, jadi surplus populasi relatif ini bagian dari apa yang dia sebut sebagai pasukan cadangan pekerja.
Nah, namanya aja cadangan nih. Cadangan itu dipakai kalau dibutuhkan dan dibuang kalau tidak dibutuhkan gitu kira-kira. Nah ini berlawanan dengan konsep dia namanya pekerja aktif atau reserve army of labor ya. Jadi kalau yang pasukan cadangan pekerja itu disebut.
Sebutnya Reserve Army of Labor kalau yang aktif itu Active Army of Labor gitu. Nah di ukuran yang lebih konkret yang inti ini ya pekerja inti atau pekerja aktif itu kita bisa sebut saja mereka adalah para pekerja. formal.
Yang jumlahnya lebih sedikit. Nah, nanti kalian kan bisa lihat gambar di ilustrasi ya, bagaimana jumlah pekerja formal itu hanya kecil gitu, di tengah-tengah. Hanya kayak enclave ya, kayak kubangan kecil.
Dikilingi oleh banyak sekali pekerja informal yang mereka ini semua bahkan rela mengantri untuk masuk ke inti ini tadi. Ke intinya pusat kapital ini tadi. Kenapa? Bahkan orang buruh di Bekasi atau Tangerang mungkin rela membayar untuk kerja di pabrik saja.
Jadi ini sebuah peristiwa yang bagi kapital sangat senang sekali. Ini orang buruh mau dieksploitasi saja bayar. Ada yang bayar 5 juta, ada yang bayar 20 juta. Nanti dicicil, dipotong dari gaji mereka.
Saking susahnya nyari pekerjaan dan saking pengennya para pekerja. pekerja informal ini masuk ke sektor ekonomi inti kapitalis tadi ya, pekerja formal ini. Nah kenapa itu begitu menjanjikan?
Kenapa bagian orang ingin masuk ke rebutan, masuk ke... inti yang kecil tadi. Gampangnya gini, Bong.
Kalau Anda itu pekerja formal di pabrik sekarang aja, Anda itu punya kartu, kartu pegawai atau kartu karyawan di sebuah pabrik. Nah dengan kartu itu Anda bisa main ke dealer, Anda bisa main ke bank. Anda bisa bawa pulang motor dari situ, karena si dealer melihat, oh ini punya pendapatan yang pasti, reguler, tiap bulan.
Nah ini kan yang nggak diperoleh ketika Anda jadi buruh informal, jadi buruh tukang majikan miayam, majikan warung padang, menjadi pekerja burjo, atau yang lain, yang mereka nggak punya kartu pegawai, yang itu... dibutuhkan untuk mengakses kredit di bank maupun mengakses kredit di dealer. Sehingga banyak orang berlomba-lomba untuk masuk ke sektor ekonomi formal kapitalisme ini.
Yang tadi jumlahnya sangat kecil. Nah ketika banyak orang, surplus populasi relatif ini mengantri, mau masuk ke inti kapitalis yang kecil ini, otomatis daya tawarnya si buruh yang aktif ini lemah. Ya misalnya buruh pabriknya mau demo nih, mau... nuntut macam-macam. Nanti kapitalisnya tinggal bilang.
Kalau kamu macam-macam, yaudah. Keluar aja. Yang ngantri masih banyak. Bahkan renang bayar. Nah ini dampaknya bagi si pekerja aktif ini.
Pekerja aktif sendiri sebenarnya dirugikan oleh begitu melimpahnya SPR tadi. Dan ini membawa konsekuensi ke yang konsekuensi berikutnya ya, yaitu lahirnya semacam kompetisi dan fragmentasi di antara pekerja sendiri. Fragmentasinya tadi kan, ada yang jadi pekerja aktif di pusat.
Kapitalisme tadi, di sektor formal yang produktif tadi, sama pekerja yang jadi surplus populasi relatif ini, jadi pasukan cadangan tadi. Fragmentasi, akhirnya kompetisi, berebut. yang ini SPR pengen masuk jadi aktif cadangan pengen jadi yang inti dan itu membuat otomatis tentu saja lemahnya bear gaining power buruh secara keseluruhan, karena buruh kemudian dipecah-pecah antara yang kerja di sektor inti kapital dengan mereka yang cuma di pinggirannya yang cuma jadi sisa-sisa dari menjadi pasukan cadangan tadi nah ini efek lainnya adalah ketika buruh itu secara kekuatannya berkurang...
di sisi lain kapitalis paling suka jadi berganding ke power kapitalis ini luar biasa meningkat dengan melimpahnya surplus populasi relatif ini dan ini terjadi di level global ini Jadi kalau kita pakai ukuran angka ILO saja, ILO menyebut lebih dari separuh angkatan kerja dunia itu kerja di ekonomi informal atau pekerjaan rentang. Dan jumlahnya sekitar lebih dari 1,5 miliar populasi. Nah kalau poolnya, cadangannya saja segede itu, Kapitalis di seluruh dunia itu dengan mudah pindah-pindah tempat saja.
Misalnya ada demo di Surabaya, nanti ancamannya kan aku akan pindah nih, hengkang dari Indonesia. Demo di Bekasi, nanti ancamannya pindah ke Vietnam, dan lain sebagainya tadi. Jadi ini memperkuat...
kita bisa mendapatkan capital secara global, bukan hanya Indonesia. Dan di mana-mana itu, capital itu memang lebih suka buruh yang banyak, tersedia secara banyak, karena buruh yang tersedia banyak itu pasti murah. Ini beda kalau buruh itu susah.
Kalau buruh susah dicari, jumlahnya sedikit, nah itu pasti mahal. Seperti terjadi di Eropa kan. Makanya mereka punya bergeni posisi yang lebih tinggi. Ya. Karena tadi di sana kan ada industrialisasi.
Tapi industrialisasinya kan dilakukan berkat berkat adanya kolonialisasi. Ada proses-proses perampasan di negara pinggiran gitu yang membuat mereka bisa melakukan itu. Oke.
Dan Indonesia tidak melewati tahap-tahap itu. Apalagi tidak optimal lah kayak gitu kan. Ini saya jadi teringat juga dengan skripsi saya dulu Memesan Ojek melalui aplikasi Kemudian aplikasinya Nurunin harga tarifnya Banyak yang protes Ojeknya dengan gampang yaudah Protes aja gak usah narik Orang banyak yang mau narik lewat Aplikasi saya kira-kira sama gitu ya Iya Dan ini bukan hanya untuk gojek ya hampir di semua Sektor produksi kayak gitu Si pengusaha bisa dengan mudah bilang, ya silahkan, kalau nggak mau.
Dan ini kan, kalau dulu kan banyak sekali ya, Bu, demo-demo teman-teman driver itu. Ini yang Bu sebutkan. bilang juga yang terjadi fragmentasi sehingga lama-lama teman-teman OJK tidak punya solidaritas dan meluntut bersama-sama kira-kira udah gak ada kan sekarang demo-demo OJK oke bang, gitu ya teman-teman kita jadi paham sekarang dan itu realitanya terjadi di Indonesia saat ini nah ini pertanyaan pemungkas paling Kalau memang Bung sudah berhasil menjelaskan situasi saat ini, yaitu terjadi SPR, surplus population relative, lalu apa jalan keluarnya Bung?
Apakah sudah ada solusi ataukah? Mars pernah menyebutkan. Pertama kita perlu mengakui dulu bahwa melimpahnya surplus population relative ini fenomena global.
Jadi ini bukan khas Indonesia. ya, seluruh negara pinggiran itu mengalaminya, gitu. Dan memang kebanyakan di negara pinggiran, negara kapitalis maju karena mereka punya industrialisasi, sektor jasanya itu produktif, ya, mereka cenderung tidak mengalaminya, gitu. Nah, pertama, artinya kalau ini fenomena global, maka memang butuh pendekatan yang saya kira juga butuh pendekatan yang global. Nah, untuk itu kita perlu tahu dulu nih, sistem sosial apa sih yang sekarang dominan di level global, gitu.
Ya, kita kan hari ini hidup di sistem sosial yang kita bisa sebut kapitalisme gitu, dimana hukum ekonomi yang mengatur kapitalisme ini kan hukum utamanya kan kompetisi efisiensi, produktivitas nanti ujung-ujungnya itu profit gitu, dan akumulasi, nah kalau sistem sosial kayak gini, ya memang Anda jangan pernah berharap sistem kayak gini akan take care of population gitu akan peduli sama manusia... kepedulian mereka cuma satu akumulasi kapital profit maximization nah kalau kita masih hidup dalam sistem sosial yang mengedepankan, mementingkan profit dibanding manusia ya kita gak akan kemana-mana, jangan harap ada perubahan yang signifikan gitu, nah sehingga Barangkali memang kita butuh sistem sosial yang baru, yang memang sejak awal menekankan pentingnya bagaimana mengurus manusia, mengurus gimana orang punya pekerjaan yang layak, mengurus gimana caranya agar... pekerjaan yang layak itu dimiliki oleh sebanyak mungkin orang, bukan hanya sekarang diintis-intis negara-negara di kapitalisme maju. Ketika sistem sosial yang baru, maka memang akan butuh sebuah perencanaan global yang baru juga.
Kemarin kita sudah menyinggung soal pergeseran pembagian kerja, dari sebelumnya pembagian kerja di level nasional menjadi pembagian kerja di level global. Tapi sayangnya global division oleh berhari ini dipimpin oleh para korporasi. para kapital yang tentu saja kepentingan utamanya profit bukan ngurus manusia gitu.
Jadi kalau mereka itu ngatur supply chain-nya misalnya, oh nanti ini kalian dari Indonesia, semi-konduktornya dari Vietnam, diraket di Cina. dijualnya di Eropa dan itu bagi mereka yang penting profit maximization nggak peduli kalau di Indonesia kemudian nanti banyak orang nganggur, di Vietnam juga sama, di Cina juga sama, itu bagi mereka dan Ya memang kita nggak bisa mengharapkan, kan? Masa kapitalis kita harapkan mengurus populasi, gitu ya?
Dan ini yang mestinya menjadi refleksi kita. Apakah kita masih menyerahkan perencanaan global produksi itu di tangan mereka segelintir orang yang tidak pernah kita pilih? Ingat ya, kapitalis itu kan nggak ada yang milih, kan?
Jadi artinya tidak demokratik. Nah ketika tidak dipilih, tidak demokratik, ya kita nggak bisa ngontrol. Ini kan beda kalau misalnya ada model lain gitu, di mana ada sebuah organisasi, di mana sebanyak mungkin orang terlibat di situ, dipilih secara demokratis, sehingga kita bisa mengontrol mereka ini.
Dan itulah perencanaan baru bisa dilakukan di situ. Perencanaan dalam level... global ya, sehingga misalnya nih oh suatu negara kan semua orang itu butuh makan, artinya butuh pertanian kan, semua orang juga butuh barang industri, seperti laptop yang Anda pakai, handphone yang Anda pakai hari ini kecuali Anda mau kembali ke zaman batu, dia nggak butuh industri.
Tapi pada umumnya manusia butuh itu. Jasa juga semua orang butuh. Nah, kalau ada perencanaan global bisa didiskusikan. Tapi perencanaan global ini diprakasari oleh pekerja, bukan oleh pemilik kapital yang segedean orang ini, tapi oleh rakyat pekerja secara umum. Kemudian nanti kita bisa berunding.
Di mana dan siapa yang akan menghasilkan pertanian untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia? Di mana dan siapa yang akan memproduksi barang-barang manufaktur? yang kita butuhkan, di mana dan siapa yang akan mengurus sektor jasa untuk menopang pertanian dan industri tadi. Nah kalau kayak gitu, mestinya secara logik nggak akan ada lagi yang namanya surplus populasi relatif, karena ekonomi didrive untuk kepentingan manusia itu sendiri, bagaimana mereka mendapatkan pekerjaan dengan cara tadi, perencanaan tadi.
Tidak dibiarkan dalam... proses kompetisi alam liar pasar bebas yang dikomandoi oleh para korporasi multinasional tadi. Baik, baik.
Baik, Bu. Kalau begitu kan dari awal pemerintah, karena bonus demografi kan digaung-gaungan oleh pemerintah, dari awal berarti identifikasi masalahnya udah error ya? Iya.
Jadi ini mirip yang kemarin ya. Pemerintah ini memang suka error. Jadi identifikasi masalahnya itu biasanya mengikut pada pandangan ekonomi mainstream.
Kenapa? Salah satunya karena duitnya dari mereka, yang ngasih duit donor untuk menjalankan proyek-proyek pembangunan. Makanya bagi pemerintah sekarang itu, mereka sangat optimis bahwa bonus demografi itu akan jadi bonus.
Atau istilah yang lebih tepatnya tadi ya, demographic transition itu, transition di demografi, demografi akan menjadi bonus demografi. Ya, arti kata positif. Positif. Dengan catatan tadi, melakukan sport oriented ya, liberalisasi ekonomi, kemudian menerapkan.
pasar kerja fleksibel, dan kemudian menyelenggarakan pendidikan tinggi. Nah, ini kembali lagi nih. Pendidikan tingginya pun sebenarnya strateginya sama. Training. Jadi menyesuaikan bagaimana pendidikan tinggi itu sesuai dengan kebutuhannya ini.
industri. Jadi kembali logikanya ada link and match itu yang sering disebutkan oleh pemerintah. Karena dalam rangka orang-orang produktif ini harus bisa mengikuti perkembangan teknologi. Sehingga harus diupdate dengan pengetahuan teknologi. Sehingga nanti bisa terserap dalam pekerjaan tadi.
Sehingga kalau identifikasinya aja keliru, resepnya juga keliru. Resepnya lagi-lagi ke situ. Karena hanya percaya pada tadi literatur demografi transaksinya memang nggak menyinggung problem tadi soal industrialisasi. Karena memang kalau orang menyinggung industrialisasi, orang harus bicara sejarah industrialisasi. Dan ketika bicara sejarah industrialisasi, mau nggak mau harus bicara kolonialisme, imperialisme, pembagian kerja di tingkat global, dan peran korporasi multinasional yang memporak-poradakan ekonomi-ekonomi nasional di berbagai negara.
Kalau gitu, Seandainya Bung bisa menyampaikan ke pemerintah sarannya apa? Ya ini sebenarnya Semua saran udah Implicit yang sudah saya jelaskan tadi ya Dan Sebaiknya kita gak mengasih saran Karena pemerintah itu Bukan untuk diberi saran Pemerintah itu lebih tepatnya perlu di kalau bahasa Bung bukan diminta tapi kemarin ditekan ditekan ya dituntut gitu karena ingat pemerintah itu dipilih oleh kita artinya mereka juga bertanggung jawab dong sama kita gak sembarang barangan ngambil strategi yang ternyata nggak bisa ngurus populasi yang seminggan banyak di Indonesia tadi ya, yang begitu banyak orang yang tidak terserap, dan nanti cuma tadi jadi populasi yang tidak diinginkan oleh ekonomi, yang akhirnya terumbang-ambing hidup dalam ketidakpastian, dalam kerentanan, dan itu jumlahnya luar biasa. Jadi kalau nggak ada diskusi tentang industrialisasi, nggak ada diskusi tentang bagaimana perencanaan di tingkat global, maupun nasional ya ya bonus demografi ini akan jadi surplus populasi yang membuat banyak orang menderita kira-kira oke Bu, baik teman-teman, jadi kita sama-sama dengar ya dari Bung MH kalau ternyata Bonus demografi itu adalah konsep yang bermasalah ketika kita secara ilmiah, secara real melihat Fenomena yang terjadi di Indonesia dengan tidak adanya industrialisasi yang baik dan berbagai tahapan-tahapan yang Bung sebutkan tadi yang seperti yang terjadi.
terjadi di negara-negara maju sana. Nah, sebenarnya menarik, Bu, untuk membicarakan bagaimana misalnya soal keberpihakan negara terhadap kan kalau kata Mas juga negara jadi pertarungan ya, Bu, arena kepentingan. Mungkin di episode selanjutnya ya, Bu, karena memang waktu kita terbatas dan teman-teman kalau bingung tadi soal kita udah nyebut. menyebutkan negara pinggiran, itu bisa cek juga di episode sebelumnya.
Untuk episode kali ini soal bonus demografi, dalam tanda kutip, dan SPR, kita tuntaskan dulu. Sampai ketemu di episode selanjutnya. Terima kasih.