Transcript for:
Kecerdasan Emosional dan Empati dalam Kehidupan

  • Ada komen di Instagram gue "Mbak kok nikah udah lama gak hamil-hamil sih?" Emang bener gak sih kita harus marah dengan pertanyaan seperti ini gitu. - Dari datanya kepintaran atau IQ itu cuma mewakili 20% dari keberhasilan seseorang 80%-nya lagi apa? Macam-macam, tapi porsi yang terbesar salah satunya adalah kecerdasan emosional. Dari Cania Citta, teman kita yang hari ini akan ngobrol bareng di siniar ini gue belajar mendalami kepintaran emosional versi bukunya Daniel Goleman. Yang paling bikin gue penasaran adalah terutama bagian empati, apalagi di saat zaman-zaman ini makin menuntut kita untuk "lu, lu, gue, gue." Gimana caranya kita bisa lebih sadar dengan nilai atau dengan nilai hidup kita. Lebih sadqar dengan emosi kita dan disaat bersamanya juga kita bisa makin efektif dalam hubungan-hubungan kita baik pertemanan, keluarga, mitra bisnis atau bahkan dengan pasangan kita. Sebelum dia setuju untuk "Oke deh gue mau nih, menjalin hubungan sama lu." Dia lihat Delta perkembangan gue. "Kalau misalnya lu sampai bulan ke-3 belum ini, gak usah deh." gitu. - Risetnya udah jelas, orang-orang yang di akhir hidupnya berkata bahwa yang paling berkontribusi kepada kebahagiaan mereka adalah kualitas hubungan mereka. Episode ini semua tentang menjadi manusia yang lebih baik dan pada akhirnya kualitas hidup kita. Mari nikmatin makan siangnya. Halo! Kamu lagi mendengarkan ♫ Thirty Days of Lunch ♫ Selamat datang di Thirty Days of Lunch. Cania. - Makasih Ario dan Ruby. Udah ngundang gue. - Senang lu hadir di sini, kita udah pernah ngobrol sama Sabda ya? - Udah pernah.
  • Jadi ini kayaknya kita ghibahin Sabda aja hari ini. Gak, gak, gak, supaya teman-teman juga punya konteks yang kita obrolin hari ini. Gimana lu mau memperkenalkan diri lu? - Gue pengajar, di Zenius dan gue juga bikin konten yang semuanya sebenarnya sejajar dengan satu misi. Gue pengen menumbuhkan masyarakat yang cerdas cerah asik dalam bahasanya Zenius. - Cerdas, cerah, asik. - Iya jadi tentunya gue akan mulai dari diri gue sendiri, dan ya jadi gue juga dalam proses terus belajar menjadi seperti itu. Dan bareng-bareng ngajakin masyarakat juga, jadi kayak gitu. - Dengan pendidikan? - Gue latar belakangnya ilmu politik ya, kuliahnya s1-nya ilmu politik terus emang sempat garap konten politik juga dulu di Geolive. Terus sekarang masih ngonten politik juga di siniar Ruang 28 di Noice. - Mungkin gue akan buka dengan satu tweet lu yang juga bikin penasaran buat pemikiran gue ya, karena gue ngerasa, satu gue orang introvert, gue lumayan lebih ke sisi logika. Ada satu komen yang muncul di Twitter lu yang bilang "Anjir, Cania bisa tobat juga ya?" - Tobat?! - Terus gue cari tahu dong, kenapa nih sosok si Cania ini bisa di - Dibilang begitu?
  • Celetukin gitu kan. Oh ternyata ada cerita-cerita di masa lalu yang menurut gue menarik banget gitu, terus gue pengen mulai dari masalah pernyataan kita dulu nih, apa yang mau kita coba selesaikan bareng-bareng. nah ini adalah obrolan yang terjadi antara lu dan Sabda gitu. Ketika Sabda bilang, "Lu ngonten tujuannya buat apa sih?" - Iya.
  • Iya kan? Nah kelanjutannya gue.. Serahkan - Iya jadi dia nanya ke gue kayak tadi benar, "Lu tuh ngonten sebenarnya tujuannya buat apaan sih?" gitu kan. Terus gue bilang, "Gak ada sih gue memperlakukan media tempat gue nulis atau bikin video itu sebagai kayak diari aja." maksudnya gue emang suka mikir dan gue punya pemikiran-pemikiran. Terus ya gue taruh aja, tanpa gue emang rada-rada apa ya istilahnya gue gak sadar kali ya terhadap masyarakat maksudnya. Bahwa konten itu akan ada yang nonton atau akan ada baca, itu gak masuk dalam rangka kerja pengambilan keputusan gue ketika bikin konten gitu. Terus dia nanya lagi kayak, "Berarti lu gak ada dong ya tujuan untuk jadi dibenci atau dihujat sama seluruh masyarakat yang konsumsi konten lu?" gitu kan. Terus gue kayak, "Gak sih gue gak ada tujuan itu sih." Terus dia balikin lagi kan, "Dalam pengambilan keputusan lu penting gak sih lu melakukan sesuatu untuk nyampe ke apa yang lu mau?" gitu kan. "Iya." "Nah terus berarti kalau misalnya lu gak mau dapat hujatan segala macam terus selalu dapat itu berarti pengambilan keputusan lu salah gak sih?" gitu. Terus gue kayak, "Hmm, iya juga ya?" Benar juga ya, gue kayak gue gak mau A, tapi selama ini semua konten gue menghasilkan A gitu kan ibaratnya. Berarti kan iya pasti ada yang salah dong di dalam proses pembuatan keputusan gue gitu. Emang gue secara umum sangat-sangat buruk dalam hal empati atau memahami orang dan nyambungnya ke kecerdasan sosial lah ya. jadi kecerdasan sosial gue sangat hancur. - Pada masa itu? - Dalam skalanya Sabda itu ya "Kalau Cania sih minus satu miliar." - Kayaknya hari ini kita bakal ngulik perjalanannya lu dari yang tadi sadar bahwa kemampuan untuk kesadaran diri aja menurut gue udah bagus banget. Karena banyak orang yang bahkan sampai sekarang mungkin minus satu miliar juga tapi gak sadar. - Iya kalau itu mungkin ada efek ininya juga ya, ada bucin efeknya juga. - Efek bucin, Sabda semoga nonton nih. - Tapi cara nyampainnya Sabda menurut gue bagus banget loh. - Iya.
  • Karena dia gak nembak. "Lu salah."
  • Nanya ya? - Tapi nanya, ayo mulai dari sana kalau gitu. Menurut gue, berarti kan kesadaran diri itu menjadi penting untuk kita ngulik si empati ini kan? Lu sendiri akhirnya bisa mendalami ini tuh mulai dari mana kesadaran dirinya? Apakah dari pertanyaan Sabda tadi terus lu ulik lebih dalam lagi atau gimana? Iya jadi pertama dari pertanyaan tadi akhirnya gue mengingat-ngingat gitu kan kayak menulusuri lagi gitu, selama ini kehidupan sosial gue kayak gimana. Dan ya akhirnya gue nyadar bahwa, "Iya juga ya?." Kayak dari misalnya dari 100 interaksi itu mungkin 99 diantaranya tuh gak efektif gitu istilahnya jadi, - Bukan cuman Twitter doang kan? Luring juga gitu? - Iya, iya.
  • Luring jug gitu? - Dulu pemikiran gue waktu SMP, gue kan dirundung ya waktu sekolah, waktu SMP gitu jadi kayak, seluruh angkatan benci sama gue. - Oh gitu?
  • Terus, terus gue ditatar mulu. Hampir tiap hari gue dipanggil sama senior, terus suruh joget, segala macam. Kayaknya itu momen paling gak tahu apa-apa dalam hidup gue kali ya gue tuh gak pernah ngerti kenapanya gitu kayak, "Kenapa ini terjadi?" gitu kan. Nah buat waktu yang lama, gue tuh mikir kayak "Bisa gak ya gue bikin lingkungan itu jadi gak peduli gitu sama gue." gitu bisa gak ya kalau misalnya gue gak peduli sama lingkungan mereka jadi gak peduli juga sama gue. Gue pikir ekspektasi gue dulu itu kayak gitu. - Oh jadi, yaudah gue hidup dengan dunia gue sendiri, lu hidup di dunia lu sendiri aja, gitu. - Iya, ekspektasi gue seperti itu waktu itu. Kayak buat bertahun-tahun gitu kan. Nah pas dalam proses titik momen yang tadi gitu kan itu kayak jadi titik balik untuk gue jadi mengubah ekspektasi itu gitu. Kayak maksudnya, "Bentar deh apa gue juga salah ya cara ngeliat masyarakatnya itu sendiri?" Maksudnya bahwa kan gue mikirnya, "Harusnya kalau misalnya gue gak peduli sama lu, lu gak peduli dong sama gue." Gitu kan? Nah tapi ternyata setelah gue kenal dengan antropologi, dengan pengetahuan tentang manusia, gini-gini. Gak masuk akal juga sebenarnya untuk sistem sosial kita bekerja dengan efektif dengan cara berpikir seperti itu, sebenarnya gitu. Karena sebenarnya kayak kerjasama sosial itu justru terjadi karena kita saling peduli gitu, saling peduli dan saling mendukung kayak suatu norma dalam artian yang kita kayak memberi dan menerimanya itu gimana? Gitu kan? Nah kalau misalnya ada orang kayak gue yang benar-benar gak sadar terhadap ini, sebenarnya gue gak sehat buat masyarakatnya gitu ngerti gak? Maksudnya dengan untuk sistem sosial yang bisa bekerja jadinya tuh susah, karena kita kan kalau untuk kerjasama kan butuh kayak kesamaan nilai, kesamaan memberi dan menerimanya itu gitu. Yang gak semua-semuanya itu perlu diomongin secara verbal gitu kan? Jadi akan ada nilai-nilai yang udah disepakatin secara sosial tapi gue bener-bener buta terhadap hal itu. Nah tadinya gue ekspektasinya kan gimana supaya masyarakat berubah jadi lebih kayak gue, maksudnya gimana supaya - Gak peduli semua.
  • Lebih gak peduli, iya. "Yaudah kita saling gak peduli aja deh." gitu kan? Tapi sebenarnya setelah ditantang dengan kasus, kasus, kasus, kasus gitu ya. Setelah gue pikir lagi ternyata yang lebih optimal tuh justru bukan gitu, maksudnya bukan kayak gue berharap masyarakat jadi gak peduli, karena yang harus berubah juga jadi lebih banyak, Ya kan? Dibandingin gue yang berubah kan lebih banyak pasti kalau masyarakat yang harus berubah kan? Ketika kecenderungan umumnya udah di situ, gitu kan? Nah jadinya lebih mudah secara "harga" pun, ya kalau guenya berubah, gitu kan? Dan sebenarnya berubahnya juga gak se- perjuangan itu juga kok gitu karena sebenarnya sesimpel gue sedikit menginvestasikan waktu dan energi untuk mengobservasi. - Salah satu alasan gue bawa ini karena empati jadi krusial banget di berbagai lapisan kita berinteraksi gitu. Simpelnya gini keselarasan, keselarasan itu kan kesannya kayak simpel nih gitu kayak, ya lu tinggal, misalnya rapat, ya udah lu samain lah di halaman yang sama, ya samain lah ini tujuannya apa segala macam. Tapi sebenarnya kalau misalnya lu lihat lagi nih nanti akan ada kejadian-kejadian di mana "Perasaan kemarin udah selaras deh, tapi kok bisa ya dia ke sana?" Iya gak sih? Pernah gak lu ngalamin kayak gitu?Misalnya kayak "Bentar deh bukannya di rapat kemarin tuh kita udah sepakat ya? Kita mau gini, kok dia gini ya tindakannya?" Gitu gak sih? Nah jadi keselarasan itu gak sesederhana lu membaca satu informasi yang sama, lu selaras. Karena keselarasan itu benar-benar mereduksi banget yang namanya kesalahan. Terus harga mengulang sesuatu, karena lu jadi harus ngulang lagi gitu kayak gitu. Dengan lu memastikan keselarasan yang bagus di awal itu jadi enak keputusannya gitu ke belakang-belakangnya nah begitu juga denga keluarga gitu. Jadi kayak gue sama adik-adik gue tuh sekarang jadi gak harus terlalu banyak yang gue kasih tahu lagi karena kita udah selaras. Di rangka kerjanya gitu loh. Nah keselarasan ini gak bisa terjadi hanya dengan "Ya udah nih gue ketik misalnya di pesan singkat gini-gini." Gak bisa kayak gitu, gue harus ngerti dianya gimana, cara mikir dia gimana terus gue nyampein informasi A dengan cara yang masuk di dia gitu. - Jadi agak PR ya sebenarnya - Iya, jadi banyak kerjaan ga sih? - Dalam komunikasi pun lu harus menyesuaikan pesan yang sama berempati dengan dia dan mengubah cara menyampaikannya gitu. - Iya gue ngelihatnya harga di depannya iya PR repot tapi ya ke belakangnya enak banget. Karena keselarasan di tingkat rangka kerja itu membuat lu gak perlu terlalu banyak ngasih instruksi. - Lu akan mulai dari mana? Apakah tipe-tipe empati atau kesadaran dirinya atau gimana? - proses mengenali diri sendiri ini juga - Panjang? - Menariknya gue sendiri ngalamin di mana gue ngerasa gue tahunya gue gini. Tapi ketika di tes secara empiris oleh Sabda maksudnya kayak gini, dia langsung bilang
  • Pak Guru Sabda. - Ada tes empiris. - Iya, maksudnya ketika ada satu eksperimen, gue gak tahu nih, tes mendadak, tes mendadak. Terus kayak, dia bilang, "Tuhkan, bener kan, bahwa kamu tuh maunya bukan ini sebenarnya tapi ini. tapi kamu pikir yang kamu mau ini." gitu. Contoh sederhana makanan ya makanan.
  • Luar biasa Sabda. - Makanan, coba makanan. - Contoh makanan ya.
  • Kita semua ngerti. - Gue dulu bilang, "Ah gue gak suka sama rendang." - Ini cerita beneran? Gak suka rendang?
  • Beneran, iya. Gue kira gue gak suka rendang tuh berarti ya udah universal tuh jadi kapanpun gue ditawarin rendang, gue bilang gak mau dong? Nah terus Sabda bilang, "Cobain ini." Dia gak bilang kalau ini rendang. Jadi dia suruh gue nyobain aja Dan gue juga gak terlalu ngeh ya karena mungkin bentuknya dibedain atau apa gitu. Terus gue cobain, "Enak nih." gitu Terus dia bilang, "Oke cobain lagi ini." Ada lagi makanan lain misalnya kayak bebek gitu gue gak mau bebek. Terus dia kasih nanti itu bebek tapi cara mengolahnya gimana gitu. Terus ternyata gue suka. Nah terus dia bilang, "Tuh kan yang kamu gak suka tuh bukan ininya." gitu. Misalnya bukan rendangnya tapi spesifik nih misalnya teksturnya, kamu gak sukanya kayak gini. Asinnya yang kayak gini, nah kalau misalnya ada rendang yang teksturnya kayak gini, aslinya kayak gini, kamu suka, gitu. - Proses pengenalan diri dimulai dari makanan ya? - Nah sampai kayak yang detail-detail kan maksudnya yang lebih lebih dalam gitu. Nah dalam konteks pengenalan diri juga mungkin itu yang perlu diperhatiin sih gitu. - Lebih kompleks ya?
  • Diperetelin ya? - Misalnya kayak. "Oh gue hobinya main musik." gitu. "Tapi ternyata kalau gue main musik sendirian doang gak suka gue tapi kalau gue nge-band baru gue suka." Berarti kan kayak itu lebih spesifik kan berarti bukan lu bukan suka main musik gitu akhirnya ketika misalnya lu punya rumah, gede, alat musik yang udah banyak lengkap segala macam tapi gak ada temen lu yang main ke situ, mungkin lu tetap gak bahagia. Gitu loh, karena ternyata yang lu cari dari main musik tuh pengalaman bareng-bareng ini, sama orang lain. - Gue juga sempat ngobrol sama temen gue yang suka musik, tapi ternyata dia bisa dalamin lagi musiknya itu bagian mana. musiknya itu dia senang musik yang spesifik, permainan. Jadi dia tuh seneng tuh kayak lu main permainan RPG ya contohnya Final Fantasy, Suikoden, itu dia suka tuh, bikin musik latar belakangnya tuh. Gitu, jadi itu bisa ngebantu lu untuk mungkin lebih jago menemukan "semangat lu" gitu tapi yang gue tertarik banget adalah soal values atau nilai. Karena banyak orang yang susah tuh untuk sampai ke level itu gitu dan menurut gue penting orang tuh kalau sadar banget sampai nilai-nilai yang menjadi prinsip yang bisa dia pegang. Karena keputusan hidup sesudahnya akan jauh lebih ringan diambilnya kalau dia tahu nilai dia gitu. Dari pengalaman lu gimana? - Kalau orang-orang kayak gue yang emang maksudnya kita berorientasi pada tujuan, gue mau bikin keputusan ya jelas, gue tujuannya ini, gue pengen dapetnya ini kalau gue dapet yang gak gue mau ya salah keputusannya. Nah kalau lu udah berangkat dari situ, gampang banget ngevaluasi nilai, karena tinggal ditabrakin lagi ke empirisnya. Misalnya contoh gampang ini deh lu punya nilai misalnya ngelarang orang ngelakuin A, nah tapi A ini gak ada dampak ngerugiin siapa-siapa, misalnya gitu. Nah ketika ditanyakan, "Kenapa nih? kenapa lu harus gak ngelakuin A?" gitu kan. Lu bilangnya, "Ya gak boleh aja." gitu kan misalnya gitu. nah tapi kalau lu berorientasi pada tujuan kan lu bisa ditanya lagi, "Ih kenapa gak boleh aja? Tujuannya apaan?" gitu kan? Karena lu berorientasi pada tujuan lu tinggal digituin kan? Tinggal ditanya lagi kayak gitu "Tujuannya apaan?" gitu kan? Ya terus ketika kalau ditanya ke gue ya gue pasti mikir "Iya juga ya ngapain gue ngelarang orang ngelakuin itu padahal gak ada efeknya ke mana gitu gak ada." Nah kan gue pasti langsung bisa berubah dong dari situ karena gue lebih mikirin kayak suatu tindakan, suatu keputusan itu harus jelas objektifnya apa dan harus nyambung antara tindakan itu ke objektifnya. Nah ini kan tentu nilai yang gedenya lagi ya kalau gue istilahnya aksiomanya lah gitu. Nah aksioma ini sebenarnya gue ngelihat sejauh ini cukup bisa disepakati sebenarnya secara universal bahwa kita mau misalnya gak kesusahan, kita mau lebih sejahtera, kita mau gini-gini, pokoknya kemauan-kemauan kita sebenarnya cukup banyak yang udah universal nah artinya turunan untuk menguji nilai itu tinggal kayak, "Coba deh lu cek bener gak nilai itu nganter lu ke sana?" Tapi masalahnya ada nih memang mungkin orang-orang tertentu yang Pilihannya memang bisa dua sih pertama emang aksiomanya juga udah ngeselin maksudnya aksiomanya memang sudah gak bisa nih dia gak bisa pakai berorientasi pada tujuan gitu kan? Kayak, "Ya pokoknya harus gini!" gitu kan ada kan orang yang kayak gitu harus aja gitu. - Ada hal-hal yang gak boleh ditanyakan. Iya hal-hal yang gak boleh ditanyakan dan itu emang harus aja ya udah ini Ini gue gak tahu, belum tahu nih cara ininya gimana. Tapi mungkin dengan empati akan bisa kali ketemu ya? Tapi belum nih gue belum tahu. Nah atau yang kedua, orang yang sebenarnya sudah seaksioma ama gue maksudnya kayak tadi dia sebenarnya sudah berorientasi pada tujuan, tapi memang penalarannya, atau premis-remisnya ada yang salah, perlu dikoreksi gitu. Dan gue banyak ketemu dengan kasus-kasus ini gitu kasus-kasus yang kayak gini, iya gampang sebenarnya maksudnya gak gampang banget tapi emang ada proses tapi udah jelas nih cara ininya gini gitu. - Setidaknya dasarnya jelas ya? - Untuk bisa ke sana ya benerin dulu penalarannya, premis-premisnya dikasih, yang bener kayak gimana, nanti dia akan dengan sendirinya pindah nilainya gitu. - Salah satu cara untuk menemukan nilai itu adalah dari apa yang mungkin lu kesel, lu marah, atau lu benci, gitu? Pilihannya sebenarnya emang dua kan biasanya, apakah yang lu gak suka atau yang lu apa katanya yang lu takutkan atau yang lu harap kan? emang gitu kan?
  • Oh yang ditakutkan dan yang di harap? Iya, yang diharap kan? Rangka kerjanya sebenarnya, menurut gue itu udah cukup konsisten sih emang. jadi kalau lu takut kayak tadi mendapatkan suatu realitas yang gak sesuai rencana. Nah kan lu berarti takut akan hal itu Nah lu bisa jadi akan mengadopsi nilai yang bikin itu gak terjadi kan? Atau lu berharap apa gitu misalnya lu berharap masyarakat jadi sejahtera. Nah itu kan berharap sejahtera, nah lu akan coba mengadopsi nilai yang bisa mengantar lu ke sana. Ini harus di sokong atau didukung dengan pemikiran empirisnya gitu. Bahwa lu menerima, adanya cara pembuktian bagaimana lu bisa mencapai ke yang lu mau itu tadi gitu. - Gue pengen eksperimen deh karena soal pengenalan diri ini, secara spesifiknya nilai, gue pernah ditanya teman gue kayak gini jadi gue boleh coba ke lu ya? Kita lihat berhasil gak. - Oke, ayo. - Pertanyaan begonya dia adalah gini, "Rub, kalau hari ini ya tiba-tiba lu punya satu juta dollar gitu, terus uang bukan lagi jadi masalah buat lu. lu mau pakai apa 14 miliar itu?" gitu. - Rencananya lebih banyak penilaian, untuk orang mendapatkan sesuatu di dalam masyarakat ini. - Oke gimana tuh?
  • Dalam untuk orang bisa dapat SIM, mereka harusnya dikasih penilaian dulu, untuk standar berpikir tertentu. - Nembak-nembak SIM maksudnya.
  • Yang bisa membuat keputusan mereka lebih bagus. - Jadi duitnya mau dipakai buat itu ya? Bukan buat dipakai diri sendiri gitu ya? - Iya kan balik lagi, justru poinnya gini, gue yang dulu bakalan ngelihat semuanya dari sudut pandang gue doang, tapi dengan gue belajar empati gue baru nyadar bahwa, "Oh gak, ternyata hidup ini bisa jauh lebih murah." Ya lebih murah dalam artian jadi lu gak perlu semua-semuanya itu harus privasi kan jadinya. Kalau masyarakatnya membaik gitu. - Dan lu akan bikin masyarakat membaik dengan tadi sesimpel mulai dari situ dulu ya? - Dengan gue melakukan suatu kemampuan berpikir yang bagus ke diri gue sendiri dan tentunya kita semua. - Keren banget ya?
  • Kepada siapapun yang mau bikin SIM. - Dikasih 15 miliar yang pertama dipikirin SIM. - Ya SIM atau apapun yang lain. - Itu menurut gue jawaban yang dalam satu sisi mewakili ketakutan dan harapan tadi kan? Bisa gak kita bilang tadi itu adalah harapannya lu gitu? -Bener banget, secara ideologi, orang akan bilang kayak, "Cania tuh libertarianisme." gitu ya, maksudnya tentunya gue mendukung pemerintahan terbatas, gue gak mau pemerintah terlalu banyak intervensi gini-gini-gini. Tapi sebenarnya secara kepemilikan Kalau orang-orang yang di posisi libertarianisme mungkin akan bilang kayak, "Kita mendukung privasi. Kalau bisa semua hal privasi." gitu kan. Nah sebenarnya gue preferensinya bukan semua privasi, karena menurut gue itu sangat gak efisien gitu. Contohnya kayak misalnya kolam renang aja deh, kalau misalnya setiap rumah itu harus ada kolam renang seberapa gak efisiennya itu sumber daya, ya kan? Bayangin berapa ruang yang dibutuhin buat semua rumah ada kolam renang gitu. - Air yang dibuang, padahal mungkin berenangnya - Cuman waktu.. - Sebulan sekali. - Seminggu sekali.
  • Mending sebulan sekali, baru punya doang.
  • Baru punya doang iya. - Bener, ya kan? Nah jadi gue sebenarnya lebih suka gitu ya, preferensi gue lebih ke sumber daya bersama gitu. Contohnya ber berapa? Berseratus keluarga satu kolam renang gitu misalnya. Nah tapi untuk bisa lebih banyak ada sumber daya bersama yang umum kayak gini. Kita kan mesti cocok ya satu sama lain, ya gak sih? Semakin banyak orang-orang yang bisa nyambung, ya kan? Secara cara berpikir enak nih gitu keputusannya bagus, sehat gini gini kan makin gampang untuk lu berbagi sumber daya. - Caranya adalah bikin peniliaian itu. - Salah satu caranya, tapi ya tentu saja banyak yang harus dilakuin secara bersamaan tapi gue pengen kulturnya mendorong ke sana, iya. - Tapi terbukti udah banyak yang bisa nyetir kayak angka 8 itu loh motor git.
  • Iya ya ya. - Nah itu dia justru kan cara gue ngelihatnya adalah selama ini kita melakukan penilaian itu di tingkatan istilahnya keahlian spesifik ya? Misalnya lu ngetes nyetir buat nyetir, nah padahal maksud gue adalah ada yang mendasar banget nih gitu kan ada yang mendasar nih misalnya kayak, kemampuan baca deh gitu, jadi kalau ada tanda apa, ada instruksi apa, lu bacanya bener, gitu kan? Terus kemampuan menghitung misalnya harga tadi harga-keuntungan gitu, nah itu kan menghitung risiko gini-gini nah menurut gue ini harusnya dasar yang semua orang punya dan tentunya kita bukan cuman ngasih penilaian ya tentunya kita juga harus ngasih proses edukasinya itu sendiri gitu untuk orang bisa punya keahliannya, tapi menurut gue, masyarakat kita hari ini belum terlalu melaksanakan itu gitu. - Padahal dari cara nyetir Itu sangat kelihatan cara berpikir banyak orang loh. - Iya.
  • Bener gak sih? Kalau negara lain itu kerasa banget bedanya, negara yang nyetirnya oke yang nyetirnya kurang tuh. - Iya yang paling lucu tuh gitu kan kayak misalnya dua jalan gitu, harusnya dua jalur gitu, ini harusnya - Gantian kan? - Harusnya tuh justru harusnya beda arah nih, nah tapi yang dari sini nyalip. Nah nyalip, yang sana ternyata ada juga, akhirnya dia gak bisa jalan dong? Dia gak bisa jalan akhirnya ini gak bisa jalan akhirnya malah tambah macet yang tadinya tujuannya mau lebih cepat, malah jadi tambah gak karu-karuan akhirnya, ini mcaetnya gitu kan. - Empati untuk itu juga gak nyambung tuh empati. - Nah itu empati bener tapi juga ya gue sih ngelihatnya alasannya juga ya maksudnya cara lu ngelihat sumber daya gitu ini kan jalannya segini ruangnya ya coba aja mikir yang mana bisa ini ada tiga mobil gitu kan? Pada akhirnya kan gak, ini akhirnya gak harus gantian jadinya dan akhirnya malah jadi macet. - Itu beda banget cara berpikir dari cara nyetir ya? - Itu kemampuan dasar banget tadi yang lu bilang tadi itu ya? - Betul, harusnya itu titik mulanya kayak dari situ gitu sebenarnya. - Oh gitu, menarik. Terima kasih sumbangan 15 M-nya untuk nyetir kita lebih baik. - Sementara, sementara teman gue pas dikasih pertanyaan itu jawaban dia adalah "10 M-nya akan gue pakai di investasi yang sehingga gue gak perlu kerja lagi seumur hidup." Eh tapi pertanyaan gue nih ya kalau ada orang yang ngejawab 15 M tadi dengan bilang 10 M-nya gue mau taruh di sebuah investasi, gue gak perlu kerja seumur hidup. Kira-kira nilai dia apa? kkita berasumsi aja nih. - Nilainya, nilainya kira-kira apa. - Gue kalau pertama ngelihatnya adalah "Oh ini orang berarti sebenarnya bukan pengambil resiko." - Iya, bukan pengambil resiko, bener. - Karena sebenarnya dia pengen supaya.. - Stabil. - Stabil banget nih hidup gue nih kalau bisa nih ya udah gue gak perlu banyaknyari uang, karena kan sebenarnya miliuner masih ada puncaknya lagi kan? Lu bisa naik lagi jadi multimiliuner bisa jadi triliunan, tapi lu "Gak usah, segini aja. Yang penting gak usah kerja lagi seumur hidup." - Bisa jadi. - Sama agak biaya hidupnya tinggi ya? - Biaya hidupnya tinggi gimana nih coba. - Maksudnya nilai, ya gak tahu ya cuman gue ngerasa kayaknya kebutuhan hidup gue gak yang pada tingkat segitu juga deh maksudnya untuk lu bisa aman pun, mungkin kalaupun gue mau ngamanin gitu sebagian dari situ, mungkin gak yang segitu juga sih nilainya. - Gak perlu sampai 10 M untuk gue amankan? - Iya karena balik lagi gue kan tadi konsepnya justru sebisa mungkin di pengeluaran individu itu rendah. Jadi bisa dibilang salah satu nilainya orang yang menggunakan 10 M ini adalah dia mungkin lebih individual mungkin? - Iya, mungkin lebih individual, jadi lebih ada kebutuhan biaya hidupnya itu yang buat pribadi dia maksudnya jadi gak berbagi sama orang lain kan? - Kalau lu.. Menarik jadi berbagi juga salah satu nilai yang lu pegang gitu ya? - Pengeluaran-pemasukan ya tapi pada tingkat global kalau gue ngelihat ya sumber daya yang ada, harusnya seoptimal mungkin, dipergunakan untuk suatu kebutuhan. Nah artinya misalnya ada kebutuhan tempat tinggal. Ya pasti ada cara yang paling efisien untuk mencapai kebutuhan itu gitu loh. Dan ketika ada kelebihan, gitu kan, misalnya tadi gue cuman butuh satu kamar tapi gue beli rumah ada tiga kamar, dua kamar gak kepakai, yaitu sudah gak efisien berarti, gak optimal. Berarti ada pilihan lain harusnya yang lebih optimal dari itu. - Dan lu sangat aman, sangat aman dengan pilihan lu itu ya? - Teman-teman gue kebanyakan ya tipe yang lebih sadar akan sumber daya banget kayak gitu. Sadar akan sumber daya kali ya istilahnya jadi.. - Berarti udah satu nilai dia ya emang? - Iya, iya, nah itu dia maksud gue tuh menyamakan nilai sebenarnya kalau dari pengalaman gue gak sesulit itu juga karena sebenarnya mungkin bisa dibilang kayak mungkin gue menduga lah sebut aja ini pemikiran gue lah ya. Bahwa sebenarnya sebagian besar orang tuh bisa sepakat kok dengan tujuannya itu gitu. Apa yang lu inginkannya gitu ya. - Karena dasar manusia ini sebenarnya mirip-mirip ya yang tadi lu bilang ya? - Bisa dirinciin lah misalnya lu butuh makan tiga kali sehari, lu butuh tempat tinggal. Itu cukup jelas sebenarnya. Nah tinggal emang kita cara berpikir yang akan menentukan bagaimana lu akhirnya mengambil pilihan gitu untuk memenuhi kebutuhan itu. - Gue coba sambungin ke obrolan kita selanjutnya ya tadi - Itu pengenalan diri loh tadi. - Karena tadi dari pengenalan diri yang gue tangkap adalah satu, lu bisa mulai dari apa yang lu takutkan atau lu harapkan. Mungkin lu bisa tanya diri lu sendiri pertanyaan tadi. Kalau lu punya satu juta dolar lu bakal ngapain. Jadi bisa merefleksikan nilai lu, bisa mulai juga dari sesimpel makanan lu. Dari situ lu akan dapat kenapanya, kenapa lu suka gitu ya Bahasanya apa? Decomplex ya? - Decomplex. - Sekarang kita masuk ke empati nih yang yang menurut gue basisnya pengalan diri terus ke empati. harus mulai dari mana kalau kita ngomongin empati? Orang pada umumnya mengartikan empati itu menyetujui, jadi kalau misalnya lu dibilang, "Lu berempati lah sama A." gitu. Maksudnya lu harus menyetujui tindakannya A dengan mengerti alasannya gitu. Ini bukan pengertian empati yang gue pakai, gitu. Jadi kadang-kadang soalnya gini ketika gue bilang "Kita mesti berempati lah sama ini." misalnya sama koruptor gitu. orang tuh ngira gue memaafkan. Gue menyetujui tindakan korupsinya padahal maksud gue bukan itu poinnya justru, kalau lu mau menghilangkan tindakan korupsi, lu mesti berempati pada koruptor. Nah maksudnya berempati apa? Maksudnya memahami, maksudnya memahami akarnya, dari perilaku ini.
  • Kenapanya. - Masa lalunya.
  • Kenapanya dia begini gitu. Bukan kita setuju, justru kalau kita gak setuju, semakin kita gak setuju sama sesuatu menurut gue semakin itu mendesak kita untuk berempati. karena satu-satunya cara lu mau mengubah perilaku seseorang ya lu memahami dulu. Awal mulanya lu memahami orang ini dulu gitu. Nah jadi empati yang gue maksud adalah memahami, itu satu, makanya gue biasanya kalau di Zenius karena tadi ada kerangka kerjanya cerdas, cerah, asik. Empati itu di bagian asik, asik ini kebagi dua, jadi satu, istilahnya ya itu memahami, jadi intinya lu mengerti gimana orang lain berpikir, merasa, gimana mereka melihat sesuatu gitu misalnya sudut pandangnya lah gitu ya sudut pandang orang lain ini gimana dan seterusnya. Nah A-2, yang satunya lagi ya, kan ini dua cabang ya, cabang yang keduanya adalah gimana lu bisa berinteraksi dengan efektif dengan orang lain gitu. - Nah cuman memang pengertian empati yang lebih umum dipakai maksudnya misalnya dalam diskursus akademik juga kebagi tiga. Empati kognitif, itu sebenarnya mirip A-1 tadi kalau di kerangka kerja gue. Empati emosional, nah ini gue tadi gak masukin empati emosional tuh lu bisa ngerasain apa yang orang lain rasain. dan yang terakhir baru penuh kasih, lebih ke gimana lu milih tindakan yang penuh kasih atau gak. Artinya lu bakal mencoba untuk mengurangi penderitaan atau menambah kebahagiaan si orang lain ini. - Oh gitu, jadi kalau gue mungkin sederhanakan empati kognitif itu lebih kayak lu bisa berpikir, memahami cara pikirnya dia gitu lebih sisi pikirnya.. - Memahami cara pikir, sebenarnya semuanya sih cara pikir, cara merasa juga dan.. - Merasa lebih kemosionalnya gak sih? - Itu bukan memahami kalau di empati emosinal. Kalau di empati emosinal lu merasakan apa yang dia rasakan.
  • Oke, rasakan. - Iya kalau empati kognitif itu lu memahami, nah jadi kognitifnya itu di kitanya sebenarnya. Jadi kita secara kognitif memahami si orang lain ini nah yang dipahaminya itu sebenarnya lengkap harusnya. jadi bukan cuman cara dia mikir doang tapi juga cara dia ngerasa, rentang emosinya. Kenapa dia gini, kenapa dia gitu, dan seterusnya gitu. Penuh kasih, kalau lu udah emang - Mengambil tindakan, yang - Mengambil tindakan untuk membantu.
  • Yang membantu, betul. Nah orang tuh biasanya cuman pakai definisi yang ketiga doang. Iya jadi kalau misalnya "Ya lu berempati lah." itu maksudnya lu - Ngebantu.
  • Membantu. - Padahal mengerti aja sudah berempati. - Iya, kalau gue ngelihat harusnya itu disebut empati juga. Ya karena apa jadinya istilahnya gitu kan kalau bukan itu maksudnya secara diskursus tuh ya itu istilah yang paling tepat untuk menggambarkan memahami sudut pandang orang lain. Gak masuk akal dong kalau misalnya lu mau mengubah perilaku tapi lu gak mau memahami dulu gitu. Nah ini balik masuk ke A-2 nih. Cara lu mengubahnya itu jadi gak efektif gitu kalau lu gak ngerti orangnya. Dan itu yang terjadi selama ini menurut gue ya, jadi gue ngasih contoh banyak gitu misalnya percakapan di Twitter gitu kan. Kadang-kadang gitu ya ada isu ideologinya ini, nanti yang seberangnya yang ngomong ini dan mereka ini ya saling gak ngerti satu sama lain nih gitu. Ya udah jadi mereka cuma menunjukkan apa yang mereka ini sendiri, mereka gak, gak berkomunikasi sebenarnya, gak berdialog gitu loh. Orang-orang yang gak mungkin gak belajar atau kurang juga punya kemampuan empati. Mereka gak bisa melihat bahwa apa yang mereka anggap buruk ini tuh dilihat baik sama orang lain ini gitu loh. - Betul. - Mereka gak ngerti nih gitu jadi mereka gak bisa ngeliat bahwa si orang lain itu benar-benar mereka tuh niat baik, mereka tuh bukan orang jahat gitu. Mereka bukan orang-orang jahat gitu Ya contohnya misalnya ada inilah ya apa, suatu tindakan yang ini dikecam oleh kepercayaan tertentu misalnya gitu. Nah kan dari kubu yang seberangnya bakal bilang, "Loh kepercayaan tuh harusnya bikin kita jadi mengasihi gini-gini." Loh ya mengasihi dari sudut pandang lu begini, dari sudut pandang dia begitu, gitu loh. Itu empati poinnya, lu ngelihat dari sudut padang lu doang ya iyalah, dari sudut pandang lu ini gak mengasihi, lah gak, justru dia ngelihat lu yang gak mengasihi. Jadi akhirnya lucu kan obrolannya karena lu gak lu gak merespons dia sebenarnya gitu. Lu cuman ngomong dari sudut padang sendiri. Sedangkan dari sudut pandang dia tuh loh dia sangat mengasihi melakukan itu gitu loh. Justru dia ngelihat lu yang gak mengasihi gitu. Ngerti gak? - Gue coba tes ya, gue coba tes. Soalnya ini menarik banget. Coba kalau konteks misalkan kayak di keluarga pertemanan gitu ya, kembali karena menurut gue tujuan dari siniar ini adalah kita bisa membangun hubungan yang lebih baik sama sekeliling kita gitu kan. Contohnya gini ada satu kutipan yang gue suka banget, masa-masa sulit menciptakan orang-orang yang kuat, lalu orang-orang yang kuat akan menciptakan masa-masa yang baik, - Oh itu. - Lalu masa-masa yang baik akan menciptakan orang-orang lemah, dan orang-orang lemah akan menciptakan masa-masa yang sulit. Jadi itu kayak satu siklus akhirnya, - Oh muter lagi.
  • Muter gitu. - Yang gambarnya tuh ada gambarnya juga tuh. - Nah pertanyaan gue adalah kan tadi kayak tadi misalkan lu tahu nih misalkan sekarang nih mungkin karena keluarga dari generasi sebelumnya ke generasi sekarang udah membaik secara ekonomi, secara kualitas hidup, sehingga pertama nih kayaknya adek-adek gue nih ini termasuk yang bagian orang-orang lemah lagi dibikin nih, gitu kan? Gitu, mungkin lebih manjanyalah, mungkin yang gak mau repot lah gitu ya, pengennya sesuatu yang instan gitu. Di satu sisi lu tau, "Oh gue harus kasih dia semacam tekanan gitu buat dia untuk melatih untuk gak segampang itu memecahkan masalah." Tapi di sisi lain kan dia akan ngelihatnya kayak, "Kok lu bikin hidup gue susah banget sih?" gitu. Bagaimana empati bisa ngebikin itu jadi hubungan yang baik gitu. Seharusnya sih kalau misalnya dari setidaknya dari misalnya pengalaman gue gitu ya sama adik-adik gue gitu. Ya dengan gue memahami cara dia ngelihat sesuatu gini-gini gue biasanya bakal nemu kayak apa yang harus gue singkap ke dia, apa yang gue harus sebut sih sebenarnya lebih tepatnya, untuk dia kemudian bisa melihat bahwa, "Oh ternyata kalau kayak gini doang tuh gak cukup." gitu. Jadi sebenarnya memang per kasus banget sih maksudnya harus dilihat kayak kasus orangnya kayak gimana nanti biasanya lu akan nemu apa yang harus lu singkap ke dia gitu cuman emang selama ini orang tuh mungkin ada juga yang kayak mikirnya singkap itu harus dalam bentuk lu ngasih tahu gitu ngasih tahu dia, padahal bisa juga singkap itu dalam bentuk lu ngajakin dia nonton film apa gitu. Atau kayak baca novel apa gitu. Tanpa harus lu ngasih tahu gitu. - Yang di dalam itu ada pesan itu yang mau lu kasih? - Iya, di situ akan bisa menyingkap dia ke dengan cara yang tepat buat dia. Memang pilihan novel atau pilihan filmnya balik lagi nih ini harus pakai sudut pandangnya dia ya, maksudnya bukan pakai selera gue gitu misalnya tapi selera dia oh gue tahu nih dia suka nonton-nonton kayak gini nah ada nih film yang kayak gini yang bakal bisa menyingkap dia ke sini. - Adik gue males nih, tapi dia suka K-pop, oh gue kasih lihat nih ya ini video Blackpink waktu di umur 12 tahun udah mulai latihan joget gitu ya untuk bisa berhasil gitu ya? - Iya, kayak gitu kan jadi lu berangkat dari kesukaannya dia kan dari preferensinya dia sehingga dia gak juga gak ngerasa diganggu, diganggu gitu loh. Kayak lu gak jadi gak terlalu keras. - Jadi gak bisa pakai kalimat, "Papa ya waktu seumur kamu, sudah jualan bakmi!" - Iya biasanya orang makin kurang tepatnya di situ emang. dan ke gue sendiri juga gitu maksudnya gue sendiri banyak mengalami perubahan dengan Sabda tuh ngasih gue kurikulum dalam bentuk tontonan bacaan gitu-gitu, Jadi bukan dia ngasih tahu harus gini harus gini gak gitu tapi kayak, "Nih coba tonton ini." gitu. - Iya kayaknya lu bilang di salah satu Tweet lu, lu punya sudut pandang yang berubah, waktu lu pertama kali nonton West Wing. Terus berapa lama kemudian lu nonton West Wing lagi gitu. Boleh cerita gak di situ, karena menurut gue menarik tuh. - Orang ngeliat The West Wing itu seri politik. Tapi Sabda bilang ke gue, "Gak, menurut aku ini bukan seri politik." - Ini menarik nih kalau Sabda. - Ini seri hubungan masyarakat. Ini seri Humas gitu. Jadi justru itu dia nontonin gue The West Wing sebenarnya bukan buat gue belajar politik, iya itu kan sebenarnya emang konteksnya politik Amerika ya? Tapi sebenarnya keahlian yang kebangun di situ lebih ke arah Humas, lebih ke arah memahami orang lain ya, empati, ngerti orang lain, melihat bahwa dari sudut pandang orang lain tuh gini, dari sudut pandang lu bisa gini gitu. Yang menarik juga di situ adalah gimana gue jadi ngerti bahwa, "Oh iya ya, bener juga dalam ngelihat nilai dari suatu hal itu benar-benar harus tepat nih di sudut padang orang ini kayak gimana." gitu misalnya kayak sebut aja gue dalam sebuah negosiasi dengan orang lain gue tawarin dia A gitu, tapi A ini gue lihat dari nilai-nya tuh dari veri gue, menurut gue A nilainya tinggi banget. Nah padahal diorang lain itu gak segitunya tuh A gitu. Nah ini bisa diterapkan dalam konteks Humas juga. Nah The West Wing itu mengekspos itu banget kan? Karena tim Humasnya si presidennya ini si Bartlet kan harus dihubungkan dengan kayak gitu. Misalnya kayak media tiba-tiba gosipin Bartlet apa, terus mereka harus respon tuh, nah mereka memilih titik mana yang harus direspons itu mereka ngelihat dari cara masyarakatnya ngelihat gitu. jadi masyarakat dia mentingin mananya sih gitu. Gosip-gosip tuh mana yang harus direspons, mana yang bisa didiemin aja, responsnyag harus kayak gimana, itu dilihat dari bagaimana masyarakat memandang hal itu. Cuman di awal gue nonton tuh gue susah nangkepnya karena gue buta banget ginian, sejarah, terus politik Amerika gitu-gitu jadi gue harus belajar itu dulu untuk bisa nangkap konteksnya gitu. Sebelum itu gue juga jadinya nonton yang Ibaratnya lebih sedikit prasyaratnya gitu maksudnya lebih sedikit syarat-syarat pemahamannya. One Piece, terus si Friends. Gue gak perlu tahu banyak sejarah apa-apa segala macam, gue bisa menangkap nih. - Terus ditonton dua kali beda 10 tahun juga beda tuh artinya. - Friends gue udah nonton empat kali deh dan selalu dapat wawasan baru tiap nonton lagi. - Apa yang lu dapet dari Friends? - Sebenernya di awalnya
  • Ini, favoritnya Ruby nih. - Di awalnya banget gue tipe orang yang gak tau gak kebayang aja ruang lingkup manusia tuh bisa kayak gimana. Nah dengan adanya Friends tuh kayak ruang lingkupnya tuh bisa dari orang kaya Ross sampai ke Joey gitu. Maksudnya orang yang kayak gini banget sampai kayak gitu banget maksudnya kayak orang tuh, "Iya juga ya orang bisa segini mikirnya, maksudnya bisa sejauh ini bisa sejauh ini." gitu loh pertamanya itu sebenarnya wawasan paling awal yang gue dapat tuh gue bener-bener kayak gak kepikiran bahwa suatu situasi sama orang ini bisa dibacanya gini gitu loh. "Oh iya juga ya jadi kalau gue ngomong gini harusnya gue cara mikirnya bukan interpretasinya pasti gini nih, justru interpretasinya gue udah langsung bayangin dulu ini sama ini gimana, bukan yang lurus." gitu tapi kayak yang salahnya ke sini sama salahnya ke situ bakal kayak gimana dan itu gak terhindarkan gitu, dengan gue ngelihat Friends tuh gue jadi tahu bahwa " Oh itu gak bisa terhindarkan tuh, adanya interpretasi yang ke sini." gitu Yang bukan yang lurusnya ya. - Kayak Joey dan Rachel gitu ya "Kita lagi istirahat!" - Ross? - Oh, maaf, Ross dan Rachel iya, iya, iya. - Iya perdebatan soal itu kan pemaknaan "istirahat" kalau itu gue udah cukup ngeh sih, cuman yang lebih simpel-simpel kayak percakapan-percakapan simpel mereka ama si Joey kan dia ternyata gak nangkap bahwa dia mengalami usikan gitu ada momen yang kayak gitu yang dia jahit celana. - Oh yang dia jahit celana. - Gitu-gitu lah iya, jadi "Oh iya juga ya orang bisa aja orang gak ngeh dilakuin kayak gini, kayak gini." gitu, itu kan kayak menyingkap gue ke ini juga ya kritik terhadap data-data survei tentang masyarakat gitu. - Dari Friends yang gue jarak nonton misalnya gue kasih 10 tahun di antara mereka gue nonton pertama kali sama sekarang, hasilnya di masyarakat juga berbeda gitu. Celaan fisik, pengalaman itunya juga banyak dalam artian, "Oh zaman berbeda itu berarti kita harus berempati orang tuh juga berubah." gitu. Friends gak akan lebih, gak akan cocok di zaman sekarang. Jadi kita kalau misalnya mau melihat mau membuat sesuatu juga kayak lihat empati orang akan ke arah mana berarti gitu. - Bener, maksudnya lu bisa aja mau nyampein pesan yang sama dengan Friends gitu misalnya tapi ya cara nyampainnya kemungkinan udah harus beda gitu kan dengan generasi yang sekarang. Ya bener sih, nah itu masuk ke A2 tuh cara interaksi yang efektif. Jadi kayak gimana lu memilih cara interaksi yang tepat ke audiens yang lu pengen targetin dengan psan yang pengen lu sampein. Sekarang ini sangat sedikit sekali orang yang berusaha untuk melakukan itu, kalau seenggaknya kalau gue lihat sosial media ya, jadi itu yang membuat polarisasi juga jadinya. Karena gak akan ada yang bergeser gitu loh kalau kayak gini caranya karena lu cuman bisa dipahami oleh yang udah di situ gitu. Itu sebenarnya yang terjadi di diri gue dulu ya maksudnya ketika gue nulis atau apa tuh ya memang sih banyak yang kayak wow gitu kayak super, luar biasa gitu, maksudnya kayak perspektifnya gini-gini ya itu orang yang udah setuju gitu loh sama gue. Yang harusnya itu bukan menjadi target audiens utamanya dong? Karena kan kalau gue mau menyebarkan sesuatu ide ya harusnya yang belum dong ya? Kalau misalnya yang udah sepaham sama gue ya ngapain dia gak perlu baca tulisan gue bahkan untuk bisa nyampai di sikat itu dia udah punya sikap itu gitu kan? Harusnya kan gue menulis atau gue bikin video Itu kan untuk yang belum di situ dong? Nah jadi cara nyampeinnya harus dibentuk ke yang belum justru. Akhirnya kita sampai kembali ke masalah kita di awal gitu. Gimana cara lu setelah melewati proses ini pengenalan diri dan empati akhirnya tadi soal konten tadi gitu ya soal ngadepin hal-hal negatif, apa yang berubah? Gitu. - Justru udah semakin sedikit negatifnya Berasa banget ya? Maksud gue dari cara nulis berarti lu juga jadi bisa lebih berempati gitu sama dengan cara lu merespon? Atau gimana? Dari cara nulis, pertama-tama empati, balik lagi ya, gue jadinya bisa memahami perbedaan interpretasi tadi, kemungkinan, jadi gue dari awal nulis atau bikin video, itu gue udah antisipasi dulu nanti ini orang bakal mikir kayak gini, bakal ada yang mikir kayak gini, bakal ada yang mikir kayak gini. Sebisa mungkin memang gue taruh penafian-penafian yang menyebut itu duluan di depan. Tapi kalau misalnya gak mungkin misalnya kayak "Kalau kayak gini semua gue ngomongin kayak kebanyakan." Ya udah sisanya gue akan siap respon kalau udah ada komentarnya. Jadi sebelum komentar datang tuh gue udah menduga dan begitu juga kalau gue salah ya kayak kemarin gue bikin video bahas soal logika gitu. Parah banget tuh kesalahannya di situ adalah gue lupa bahwa ini gue nulis eh gue bikin video di YouTube di kanal umum, maksudnya di mana ada audiens dari berbagai kalangan segala macam, gue gak jelasin konsepnya dulu. Jadi gue langsung bahas soalnya dengan asumsi ini kayak yang dengar udah ngerti logika formal lah gitu bahwa itu konsep logika formal gitu. Nah akhirnya komennya jadi kemana-mana karena kan kata logika itu kan memang pengertiannya bisa macam-macam ya? Nah gue gak jelasin konsep itu dulu di awal akhirnya ya udah seperti yang diduga ancur kolom komentarnya maksudnya jadi presentase yang salah paham itu cukup tinggi gitu. Ya udah jadi evaluasi.
  • Tapi responnya tinggi dong? Gak deng. - Iya sih tinggi tapi.. Gue mengharapkan arah yang lebih baik ya dari responnya. Gue bukan tipe yang kayak publisitas buruk itu tetap publisitas. Karena itu gak relevan buat tujuannya. Tujuannya kan gue mau tadi ya menanamkan apa masyarakat yang gini-gini ya harus efektif dong ininya, materinya gitu. Saat orang salah paham ya gak nyampe berarti tujuan gue, gak efektif. - Berarti yang lu sadari pertama lu belajar untuk menaruh lebih banyak konteks ke dalam konten-konten lu. Kedua penafian apa yang lu ngerasa ini gak usah lu bahas karena yang lagi gue pengen bahas cuman lingkup ini doang gitu. Gue coba ngetes ke- mungkin kehidupan sehari-hari gitu ya. Gimana proses berpikir ini dan berempati ini kalau kejadiannya adalah ada seorang pemimpin yang lu hormati banget, terus tiba-tiba dia melakukan sesuatu yang mengecewakan lu? - Kalau dalam bahasanya Sabda "buatlah itu masuk akal" latihan empati gue adalah itu penilaiannya. Misalnya gue - Menerima dia mengecewakan lu? - Bukan. Ya tapi bisa juga, di masa depan, mungkin. - Buat dilatih, buat dilatih. - Misalnya gue nyeletuk gitu kan gue baca apa gitu di Twitter, terus gue kayak, "Apaan dah nih orang kok gini sih?" gitu kan? Gue ngomong gitu kan, itu langsung dijadiin tugas sama Sabda, "Ya udah coba bikin essaynya." gitu. Jelasin, jelasin kenapa? Terus gue jadi kayak mikir, "Oh iya juga ya?" Gue harus jadiin itu masuk akal, jadi gue cari tahu kayak jadi gue akhirnya liatin akun orangnya, cara berpikirnya gimana gini-gini. Ya jadi gue bisa nyusun "Oh iya yang bikin dia jadi gini masuk akalnya berarti gini gini." - Jadi kenapa dia membuat pernyataan yang menurut gue gak masuk akal karena dia pola pikirnya begini gitu misalnya? - Iya itu gak masuk akal dari kerangka kerja gue. Iya kan? makanya pas gue lihat, "Oh iya iya kan dia awalnya akarnya gini kerangka kerjanya ini gini." yaudah jadi masuk akal gitu. Prinsip dari si Sabda yang akhirnya gue juga pakai gitu ya dia bilang bahwa dalam mengubah perilaku biasanya orang tuh mengubah perilaku itu dengan mengubah perilaku tersebut, jadi kayak lu ngelihat ke perilakunya terus lu berusaha mengubah perilakunya padahal harusnya yang lu ubah tuh paradigmanya. Jadi apa yang ada di balik perilaku itu. Jadi prinsipnya tuh sebenarnya ubah paradigmanya, berakibat merubah perilakunya. Jadi yang harus lu cari itu sebenarnya paradigma di baliknya gitu bukan tindakannya biasanya kan kita ngelihat tindakannya nih. misalnya contoh orang mencuri. Ya udah lu mikirnya kayak jangan mencuri padahal bukan gitu harusnya kayak dibalik mencuri ini tuh apa nih faktor-faktor yang ngedorong, misalnya kayak gue tadi, ketika Sabda ngajarin gue berempat, dia bukan kayak "Lu pelajarin tuh orang lain." bukan gitu. Tapi apa nih paradigma dibalik itu? Nah itu kan paradigma di balik itunya adalah gue ngerasa gak ngerti orang lain tuh gak, gak apa-apa. Ya kan? Gue ngerasa gak ngerti orang lain itu gak ada efek, gak ada kerugian apa-apa. Nah ketika dia singkap bahwa, "Gak dong, rugi dong kalau gini gini." Nah berubah perilakunya. - Seinget gue di salah satu video lu, lu pernah sebut bahwa ada kemungkinan juga orang yang bisa punya empati kognitif, tapi gak punya empati emosionalnya gitu. Itu contohnya kayak gimana sih gue gak kebanyang. - Contohnya gue. - Gimana tuh, gimana tuh? - Iya gue memahami orang lain itu gue gak bisa pada tingkat sampai gue ngerasa juga nih gitu gue gak bisa tapi gue ngerti bahwa hal seperti ini akan membuat dia merasa begini gitu dari yang gue pelajari dari gue mengamati dia, dan gue belajar referensi-referensi ini juga tentang manusia. Tapi gue gak bisa ikut ngerasain itu gitu. Nah cuman kan ada orang yang bisa ya sampai pada tingkatan dia ngerasain apa yang orang lain rasain. - Mungkin bisa, pernah mengalami juga kali? Hal yang serupa? - Tapi kalau di gue kasusnya gini juga sih kayak teman-teman gue sendiri sering bilang gampangnya, cara gue beremosi itu gak umum. Maksudnya emosi yang untuk situasi yang membuat gue marah, itu biasanya gak di orang lain. Dan sebaliknya, yang di orang lain dia marah tuh biasanya gak, kayak contoh gini ada komentar di Instagram gue gue peringatan pernikahan kemarin gitu berapa, apa bulan Mei. Kemarin jadi beberapa minggu lalu. Terus gue kirim di Instagram gue terus ada yang komen kayak, "Mbak kok, nikah udah lama gak hamil-hamil sih?" gitu. Kayaknya tuh buat orang umum kayaknya itu langsung membuat marah gitu, menurut gue. Atau beberapa, karena banyak yang marah di komentar itu. - Marahin dia yang komentar itu. - Terus gue, bukan marahin, tapi gue jadi kayak menegur atau kayak ini-in yang marah itu gitu. Karena menurut gue, gak, gue mau media sosial gue memang terbuka untuk orang ngomong kayak gini, gue gak mau nih ada lingkungan buruk dimana orang komentar disalahin.
  • Yang salah digebukin? - Iya, dirundung gitu. Nah jadi gue negor nih yang komen-komen ini, - Jadi ada yang komennya menurut lu bisa bikin orang marah, yang ngebelain lu malah lu marahin? - Ya gak gue marahin sih cuman gue kayak yang gue bilang "Eh maaf." gitu kayak gue nyampeinnya santai. - "Ini gimana sih dibelain malah.." - Nah cuman.. - Makanya dia bilang gak masuk akal, apa yang bikin dia kesel, ke orang lain gak, eh apa yang bikin orang lain kesel, bikin lu gak. - Maksudnya mungkin jangkauan emosi gue lebih ke arah gak umum, terus gini juga, ada hal-hal seperti itu juga yang gue bilang emang kan gue sering ditanya kayak "Kak, kok lu bisa sih diginiin gini gak marah gini-gini." Iya itu natural gue emang gak emosinya gak ada di gue gitu untuk seperti itu tuh bikin gue marah bahkan bukan cuma itu, gue justru memang mengoreksi juga dalam artian kayak emang benar gak sih kita harus marah dengan pertanyaan seperti ini gitu karena menurut gue, sangat masuk akal pertanyaannya bahkan gue jelasin di situ gitu bahwa asumsi umumnya orang mau punya anak, ya secara umum ya dan emang gue sendiri juga mau punya anak sih gitu tapi kayak maksudnya secara umum asumsi umumnya orang mau punya anak dan ekspektasinya adalah kalau menikah lu udah mulai mencoba membuat anak dan harusnya terjadilah anak gitu kan. jadi kalau gak terjadi ya itu pertanyaan yang bagus gitu. Secara dasarnya itu kayak "Lu udah masukin roti ke oven selama 2 tahun kok gak jadi jadi rotinya?" gitu kan? Kayak ngerti kan? - Roti ke oven..
  • Kayak maksud gue lu ngerti? Itu masuk akal banget, justru itu pertanyaan yang benar jadi menurut gue gak ada alasan untuk orang ini dirundung gitu jadi gue jadi gue juga ikut kayak apa ya yuk coba refleksikan ini gitu kayak bener gak sih bahwa kita harus marah soal ini gitu loh. Jadi gue juga ngebuat diskusi gitu. Dengan orang-orang yang komen di situ gitu loh. Gue emang sangat-sangat memelihara gitu suatu situasi di media sosial gue di mana orang harus bisa masukkan yang jujur banget, jadi kalau ada orang yang komen gimana-gimana terus dimarahin orang tuh biasanya gue bakal bikin diskusi di situ kayak ini harusnya gak gini doang gitu cara ngelihatnya gini-gini gitu. - Apakah jadinya buat lu penting orang untuk tadi, lu sebut tentang jangkauan emosi, tapi kan kalau sepintas ngelihat gitu kayaknya hampir gak ada emosi. - Di hal yang ini, mungkin gue gak ada emosi, tapi nanti ada di hal lain yang di mana di situlah emosi gue akan terpicu. Tapi orang gak, gitu. Hal seperti itu yang kayak ya memang mesti justru itu maksud gue berempati itu kan justru kita memang ngelihat adanya keberagaman ini gitu. Bahwa gak selamanya apa yang bikin lu sedih itu orang lain sedih gitu. Atau gak, situasi, jadi gini, misalnya situasi itu dihadapkan ke lu, lu sedih. Terus situasi itu dihadapkan ke orang lain sedih juga, belum tentu sebenarnya gitu. Kayak misalnya gue apa namanya? Menyikapi situasi di mana teman gue ada yang cerai gitu. Perceraian misalnya, mungkin di temen gue yang ini kalau dia bercerai dia bakal sedih misalnya gitu, tapi temen gue yang ini tuh gue tahu gak nih gitu. - Dia bahagia banget sebenernya. - Iya, dia bahagia banget gitu kan. Nah kan gak bisa, di situ kan poinnya empati kan ya lu jangan proyeksikan gitu, lu jangan lihat dari kacamata lu doang, justru lu melihat di orang ini gini, di orang ini gini. - Atau bertanya dulu. - Iya, bertanya dulu dengan lebih netral misalnya ngomongnya, atau bahkan ya "Eh maaf nih korek nih koreksi kalau gue salah ya." gitu "Tapi, apakah ini hal yang baik?" gitu bahkan bisa gitu mungkin kalau gue ke temen gue ya gitu. - Empati membutuhkan emosi gak sebenarnya? - Kalau dalam standar memahami dan sehingganya untuk mencapai A-1 atau A-2 ya, yang gue mau. Gak sih sebenarnya. Lu tanpa emosi pun tetap bisa. Kalau misalnya emang lu secara alami bukan yang "Gue emang gak bisa beremosi apa-apa nih." gitu. Apa? Emosi AAA kali ya istilahnya gitu. Yang kemudian lu gak bisa beremosi, ya gak apa-apa juga. Karena kan A1 poinnya lu paham orang lain kayak gimana. A2 poinnya lu interaksi sama orang lain efektif. Itu aja, gitu kan? Lu efektifnya gimana kan ya dilihat ya konteksnya kayak gimana gitu. Gak selalu itu dibutuhkan, lu harus beremosi gitu. Ada satu kutipannya dari Gary Vee yang gue suka banget dia bilang kebaikan tanpa kejujuran menciptakan hak. jadi kalau kita berempati membutuhkan kita untuk bisa baik sama orang lain gitu. Tapi kalau kita baik terus tanpa kita bisa berterus terang juga, apa adanya di satu titik, itu akan membuat orang jadi merasa dia berhak (menerima kebaikan) gitu. Ya mungkin di sisi seberangnya yang gak paham. Dia kasih contoh kayak gini misalkan, dia punya anggota tim gitu yang dia udah mencoba untuk menjadi baik, kasih selalu kasih masukkan positif sebisa mungkin, melihat sisi bagusnya orang ini tapi gak bisa jujur, apa adanya, berterus terang, kalau dia juga butuh ruang untuk berkembang gitu. Akhirnya orang itu jadi gak berkembang, akhirnya malah jadi secara jangka panjang, dia mau gak mau harus pecat orang itu gitu. Di titik mana, lu pernah ngerasa ada kasus empati itu jadi gak bekerja, atau mungkin ya udah gak usah berempati lagi ini udah panggilan yang hilang sama orang gini gitu? Pertama mungkin, gue mesti balikin lagi ke konsep empati yang gue pake tadi, sebenernya itu gak mensyaratkan kebaikan sih, karena kan, kalau itu kan masukknya ke dalam 3 tipe empati, itu empati penuh kasih, lu milih tindakan penuh kasih. Tapi kan sebenernya tanpa lu memilih tindakan penuh kasih pun lu tetep bisa berempati misalnya secara kognitif. Lu bisa aja memahami orang tapi emang lu memilih tindakan yang gak baik kan bisa aja, jadi sebenernya yang diomongin sama Gary Vee itu mungkin lebih ke arah empati penuh kasih, untuk lu bisa melakukan empati penuh kasih, lu butuh kebaikan. Lu butuh memilih tindakan yang bikin si orang ini senang, gitu kan, atau rasa sakit yang lebih sedikit. Nah itu kan empati penuh kasih. Tapi kan sebenernya pilihan untuk kapan lu harus mengurangi rasa sakit ini kan sebenernya ditangan lu sendiri ya. Kalau misalnya ada momen dimana "Gak, ini justru harus gue tambah nih rasa sakitnya", gitu misalnya ya, katakanlah gampangnya gini deh, dalam kita membuat istilahnya rekayasa perilaku ya. misalnya kita mau merekayasa untuk gimana ya supaya orang-orang di tim gue nih perilakunya jadi kayak gini. Nah kita kan mungkin akan melakukan suatu sistem insentif disinsentif. Jadi kalau ada yang ngelakuin ini, insentifnya gini, kalau ada yang ngelakuin ini, disinsentifnya gini. Nah pas dia mengalami disinsentif, kan sebenernya kita tingkatkan rasa sakit dia dong. Nah sebenernya pada saat itu kita tidak memilih untuk penuh kasih, gitu, ya kan. Nah jadi, balik lagi, kita memilih kapan penuh kasih tuh sebenernya secara bebas tuh, dalam pilihan kita. Nah tadi, bagus pertanyaannya bahwa kapan? Misalnya gitu ya mungkin kapan kita harus penuh kasih gitu kan, atau kapan harus berhenti gitu kayak berhenti nyenengin orang ini, gitu misalnya atau berhenti udah gak perlu, berusaha untuk nyenengin si orang lain ini. Nah kalau pertanyaannya kapan berhenti berempati menurut gue, gak ada. Gak ada titik dimana lu harus berhenti berempati. Tapi kalau, ada gak titik dimana lu berhenti nyenengin, mungkin. Balik lagi ke emang objektifnya. Makanya di A-2 itu kan kita bicara efektif, ya kan. Jadi tujuan gue apa nih? Nah kalau misalnya dengan gue nyenengin dia ini gak nyampe ke tujuan gue, ya udah salah berarti cara berinteraksinya, gitu loh. Misalnya tadi, tujuan gue gue pengennya dia bisa berkembang gitu kan, nah kalau gue gak ngasih masukkan secara brutal, gue gak ngasih masukan yang sebenar-benarnya ini dia gak berkembang nih. Ya berarti itu udah kontradiktif dong kalau gue terusin dengan tujuan gue? Nah berarti dengan kerangka itu udah jelas sebenernya, kapan lu harus gak nyenengin. Ya pada momen tersebut, itu gak sesuai tujuan gitu loh. Tujuan lu dengan orang ini apa gitu kan. Gitu, nah itu titik mungkin yang tadi lu bilang misalnya hilang panggilan, gitu kayak ya misalnya gue tujuannya gue pengen bisa temenan sama dia nih. Deket gitu kan, tapi cara berpikir dia disini disini misalnya salah, jadi gue gak bisa percaya sama dia, gitu. Karena dia kemungkinannya nanti keputusan-keputusannya bakal gak bagus gitu misalnya kan, jadi bakal bisa ngerugiin dirinya sendiri, dan bahkan orang lain terutama misalnya gue, karena gue posisinya misalnya temen dia gitu kan, Nah, supaya gue bisa temenan deket sama dia, gue mesti koreksi ini nih, Nah tapi misalnya gue kasih linimasa gitu, misalnya katalanlah kita coba bikin uji coba lah ya 3 bulan gitu kan, 3 bulan, gue liat nih deltanya gitu. Misalnya delta di awalnya segini, terus pergerakannya misalnya dari target 100% pergerakannya 20% 3 bulan. Berarti, kalau kita konstan aja ya kecepatan perkembangannya berarti kita butuh berapa coba kalau 3 bulan baru 20%? 15 bulan ya, setahun 3 bulan. Apakah gue punya sumber dayanya? Untuk melanjutkan ini. gitukan, gitu cara berpikir berikutnya kan? Gue aja gak pernah ngukur tuh pertamanya tuh kayak deltanya. Jangan salah, gue belajar itu juga dari Sabda. Dia ngelakuin itu ke gue. Jadi dia ngitung sebelum dia bukti untuk "Ok deh gue mau nih berhubungan dengan lu" Dia liat delta perkembangan gue. Kayak. "kalau misalnya lu" "sampe bulan ke 3 belum ini," "kayaknya gak usah deh", gitu. - Ya Tuhan.
  • Selesai. Iya. Dan perkembangan itu diliat dari dari efektivitas gue berinteraksi sama orang lain, gitu. Jadi kalau misalnya Ketidak-nyambungan komen di cuitan gue atau di konten gue tuh belum turun presentasinya, berarti ini udah nih latihannya, gitu. Berarti gue belum meningkatkan kemampuan gue menyampaikannya orang masih tidak sambung juga sama gue gitukan. Nah itu misalnya gitu, gue bisa terapin ke orang lain juga kan jadinya kayak, "Oh iya juga ya, kalau gue misalnya untuk" "berapa bulan gitu" "gini, gue tetapin gitu kan linimasanya" "gue punya sumber daya nih setahun", misalnya. Kalau ternyata dengan kecepatan perkembangannya dia segini gue butuh setahun 3 bulan, gue gak punya nih gak cukup sumber daya gue, ya udah. Dan itu bisa berlaku di level perusahaan juga tentunya. Misal lu bangun tim di perusahaan atau apa, sama, menurut gue, latihan itu adalah modelnya kayak tadi kan, sebenernya lu mencoba untuk menjadi kompatibel, misalnya tim ini, ya lu kasih jangka waktu, lu punya berapa sumber dayanya, gitu. Dan kalau cara lu misalnya Gak gerak-gerak nih, 2 bulan gak ada perubahan apa-apa, ya berarti, antara lu gak tau caranya gimana atau lu nyari tau dulu caranya gimana, gitukan, dan kalau lu nyari tau dulu, cukup gak nih waktunya. Kalau gak, ya udah, mau gak mau gitu. Lu udah gagal gitu berarti dalam proyek itu, gitu kan. Ini, kembali lagi ya ke kutipannya "Make it Make Sense", gitu ya. - Gue suka itu, makasih, karena
  • Buat memahami perilakunya. susah kan ya, soalnya kalau ngomongin kayak empati kan kebanyakan kita tuh mengaitkan empati itu ke sisi emosionalnya. Padahal di kasusnya tadi yang lu cerita - A-1 A-2, dari sisi pemikiran dulu gitu kan, - Betul. - sama efektivitasnya.
  • Betul. Sementara orang Indonesia kan kayaknya susah ya kalau mengaitkannya. "Oh gue mau punya hubungan sama dia" "gue ukur dulu nih deltanya nih" "seberapa cepet gue bisa" - ya kan.
  • Ya itulah yang efektif sih. Justru yang sering terjadi adalah ketika lu dari cuman rasa nyamannya doang, ya itu yang biasanya justru gagal hubungannya. Karena justru lu gak gak berpijak pada realitas gitu, lu berpijak pada khayalan. Lu rasanya kayak nyambung nih, padahal lu gak bener-bener tau indikator-indikator nyambungnya itu bener gak secara realitas? Gimana? Jadi lu punya khayalan lu berhubungan sama dia, gini-gini nyambung, tapi sebenernya lu gak bener-bener tau nih kenyambungan ini datang dari mana, dan ketika ternyata faktor itu tidak berkelanjutan, ya akhirnya itu jadi gak nyambung kan? Nah terus bingung sendiri, kayak "Kenapa jadi gak nyambung ya sekarang?" Ya tepat sekali, lu dari awal cuman berdasarkan perasaan nyaman doang. Yang mana irasional. Gak apa-apa punya perasaan nyaman, seperti kayak, gue juga bukan tipe yang kayak "Kita harus hilangin perasaan nih" Gak ya, gitu. Ya kita bisa merasa nyaman dengan orang, merasa senang gitu kan. "Ini rasanya, suasananya enak nih", gitu - temenan sama dia gini-gini.
  • "Butterflies in the Stomach" Ya gak apa-apa, nah cuman perlu diingat aja bahwa kalau lu mau jangka panjang, ya lu mesti ada pijakan rasionalnya, gitu. Bahwa lu harus liat lagi nih Bener gak ya gue bisa percaya dia segini, gitu kan, dia juga bisa percaya gue segini. Dimananya ya yang kita gak konek gini-gini. Gue biasa sih, melakukan obrolan seperti ini sama temen-temen gue. Nah jadi kita emang bener-bener mengevaluasi kayak "Gue sebenernya gak suka tuh kan kemarin lu kayak gini", misal gitu, Ok mari kita pecahin, kayak "lu gak sukanya dimananya?" Dan segala macem, gitu. Itu menurut gue kuat sih. Menurut gue, itu juga satu hal yang gue tadi cari-cari dalam bentuk contoh nyata yang lu lakukan ya. Dalam hal hubungan sama temen-temen lu tadi boleh gak lu kasih contoh kayak lu ngobrolnya gimana, apakah jadinya kan cara lu ngobrol ke dia juga bagian dari empati kan, gitu. Tapi ini balik lagi sih. Ini memang akan bergantung lagi ke orangnya, kan empati mulai dari memahami dulu, nah kalau udah kultur di lingkungan gue adalah kultur yang emang brutal, maksudnya, jadi kita gak perlu ada filter apa-apa sih kalau ngomong, gitu. Jadi kalau ngomong ya ngomong aja. Ya, cuman kan gak semua orang kayak gitu ya. Jadi emang harus disesuaiin lagi, gitu. Jadi kayak Netflix nih, gak ada peraturan, peraturan. Bener. harus disesuain lagi, di lingkungan pertemanan lu kayak gimana, gitu kan, maksudnya temen-temen lu ya lu lah yang ngerti temen lu kayak gimana berarti kan nanti lu akan nemu cara nyampein yang ke dia kayak gimana, yang penting adalah emang kesadaran bahwa dialog-dialog seperti ini tuh penting untuk menjadi fondasi dari suatu hubungan. gue dulu juga termasuk yang salah dalam mendekati suatu hubungan dengan sangat-sangat mengikuti arus dan seneng, berorientasi kesenangan kali ya, jadi kayak, selama itu menyenangkan itu gak masalah, padahal sebenernya itu bukanlah fondasi yang baik lah, gitu untuk hubungan dalam bentuk apapun ya. Bahwa akan ada, istilahnya mungkin percakapan yang sulit. Gak bisa, suatu hubungan itu lu cuman ibaratnya "Duh, ini gak enak nih kalau ngomongin ini" akhirnya ditutup, akhirnya jadi kotak hitam gitu. Gak justru, apa yang lu ngerasa secara insting, "Ini kayaknya gak enak nih, ngomongin ini" itu mungkin yang penting untuk diomongin, gitu. Kayak gitu loh. Kayak misalnya mungkin hal-hal sesimpel kayak "Ni orang tiap makan kok gak pernah patungan ya?" misalnya gitu. - Kena deh.
  • Kok kayak kan misalnya ber-4, tapi dia gak pernah bayar nih selalu kita ber-3 nih yang bayar, gitu kan, misalnya. Mungkin kerasanya kayak remeh banget ya gue ngomongin duit, gitu gak sih? Tapi itu bisa jadi pertanda sesuatu yang lebih besar di baliknya, gitu kan sebenernya. Kayak misalnya sesimpel ya gimana cara dia ngeliat bahwa dalam hubungan itu mesti semuanya kontribusi. Berarti kan kalau kayak gini dia gak ngeliat itu dong? Ya kan, tadi gak ada prinsip itu, dan ini bisa jadi teraplikasi di hal-hal lain, bukan cuman urusan "duit" lah ya, kayak itu mungkin sesuatu yang dangkal, atau remeh, tapi ya bisa jadi itu, misalnya gejala dari sesuatu yang lebih besar. Nah justru itu harus diomongin berarti, gitu. Nah kalau gue sama temen-temen gue tipe yang kita bisa mikir nih, "Oh, untuk nyampein ini ke dia," "gak pas nih kalau gue yang ngomong, lebih tepat dia" Ya kita bisa kayak janjian gitu. "Lu aja yang kasih masukan", gitu. Tapi kita yang emang ngebahas kayak, ini kayaknya perlu di perbaiki ini. Mereka juga mungkin gitu, misalnya ke gue "Eh Cania, kayaknya kurang disini-sini" nanti yang ngomong ke gue bakal yang tepat. Gitu, si ini nih yang pas buat ngomong itu ke gue, kayak gitu. - Pemberi pesan penting ya.
  • Balik lagi, A-2 ya, gue dulu juga tipe yang kayak Pesan lebih dari pemberi pesan, gitu kan, dimana-mana kayak gue dateng ke suatu acara dimanapun yang gue mau gitu kan, kayak gue mau pake baju apa kek, - rambut gue - Bagaimana kek, dengan oranye terang terang gak jelas gitu kan gue ngerasa ya pesan lebih dari pemberi pesan dong, gitu kan. Nah itulah seseorang yang gak punya empati. Gue cuman liat dari sudut pandang gue sendiri, gitu. Iya, padahal kalau gue liat dari sudut pandang orang, ya gak dong kan, orang ngeliatnya gimana coba? Ketika ini, ya gimana gue mau menganggap lu secara serius? rambut lu aja absurd gitu, misalnya kan ya. Bukan berarti solusinya adalah "Oh berarti kebebasan ekspresi orang harus ditutup dong?" Bukan gitu. Kebebasan ekspresi itu kita bicara secara hukum, secara kebijakan, gak apa-apa. Kayak misalnya orang dibebasin, gak ada tuh pidana rambut oranye gitu, ya gak ada. Cuman kan ini kita bicara soal sopan santun sosial, dan lu kan punya tujuan disitu, ketika lu ngomong, lu punya tujuan mau didengerin, gini gini. Ya lu mesti empati dengan pendengarnya, untuk dia bisa dengerin lu gimana nih baju yang masuk ke mereka, rambutnya, kalau ini mengganggu gak ke mereka? Gini gini. Kan itu kan empati. Itulah empati, gitu. Lu punya tujuan, ya lu pikirin yang tepat gimana gitu, atau langsung tadi, ke temen gitu. Ya lu maunya dia berubah, ya lu harus pikirin nih, strateginya yang pas buat dia apa. Gak bisa cuman asal aja semau gue sendiri gitu, kayak "Ya gue pokoknya gini gini, perasaan gue gini gini," "udah gue ngomong, perasaan gue yang sah" Ya iya, perasaan lu yang sah, tidak membuat sekonyong-konyong, tujuan lu langsung tercapai gitu loh, dengan lu nyampain perasaan lu gitu kan. Kan gak gini, justru lu harus evaluasi lagi. Ok, ya perasaan gue sah. Tapi kalau gue nyampein ke dia efeknya apa? Hasilnya gimana? Bener gak bahwa dia akan ngerti gue terus berubah, atau justru sebaliknya malah makin parah misalnya. Itulah berbagai hal yang mesti dipikirin dalam A-1 A-2 itu poinnya itu. Ini yang nonton lagi ketusuk-tusuk nih jleb jleb jleb, oh iya ya karena gue ngerasa hal seperti itu juga. Tapi kalau punya 30 temen ada kemungkinan lu mesti harus dan lu emang serius sama temen lu ini lu mesti punya cara ke 30 orang ini berbeda-beda gitu ya.
  • Ya, gue juga cukup berinvestasi dalam pertemanan sekarang ya, kalau gue yang dulu, gak. Gue yang dulu, bahkan mungkin bisa dibilang mungkin gue gak punya temen kali ya, maksudnya gue gak punya suatu hubungan mungkin bahkan lebih ekstrimnya lagi. Karena itu tadi, gue gak bener-bener apa ya, hadirlah gitu, disitu. Ya otomatis umur kita segini kan juga pertemanan makin kecil juga gitu, - Kalau gue justru pertemanan makin besar.
  • disaringlah, makin banyak? Justru gue dulu gak punya temen. Berhasil, A-1 A-2 nya berhasil. Justru temen lebih banyak, dan ya itu tadi, lebih terpenuhi sih. Atau gue ketuaan, ok. Jadi gue belum nyampe fasenya? Jadi dengan gue lebih memahami itu, juga lebih terpenuhi buat guenya ternyata, gitu. Ini bukan pertanyaan terakhir dari gue, gue cuman mau, sedikit yang gue pelajari dari sini. Pertama, temen-temen harus nonton atau dengerin dulu episode yang ada Sabdanya. Karena sangat sering disebut dalam episode ini, dan kita ada dalam versi podcastnya waktu itu kenapa dia ngobrol tentang belajar, hilangkan pelajaran, belajar kembali. Iya dia ngobrol itu semua, dan banyak banget nyambungnya kesini, Ini kasusnya langsung nih, Cania. dan bikin gue penasaran, pengen banget nih gue ajak berdua ngobrol di podcast gue yang tentang hubungan, kayaknya seru banget. Boleh boleh. Gue juga banyak belajar gue seneng banget dari podcast ini banyak contoh tentang belajar empati dari film juga. Kita nyebut beberapa, Dari "The West Wing", sampai - "Friends" - "One Piece". karena itu cara belajar gue gitu, Jadi kalau misalnya mau berempati ke gue dan mau ngobrol, mestinya kasih contoh film gitu. "Oh, nonton film yang ini deh" ok gue coba nonton gitu, misalnya, hal-hal seperti itu. Gue gak begitu bisa baca buku misalnya, nah lalu gak betah, lama, segala macem, jadi gue harus belajar dari dokumentari, satu film gitu. Gak apa-apa, itukan masalah perbedaan cara belajar, segala macem. Jadi berempati ini banyak banget bisa dipelajari kalau lu caranya adalah film ya mungkin bisa dicocok-cocokin sama film itu dan dilihat dari segi-segi yang berbeda yang udah diomongin sama Cania disini, gitu. Gue sih itu aja sih, jadi lebih mudah buat gue untuk untuk belajar, gue pulang nonton "The West Wing" lagi, untuk "Oh iya ya, ternyata itu film PR, bukan politik" - Iya coba deh, perhatiin
  • hal-hal seperti itu. strategi-strateginya C.J. Bener bener, udah lama banget itu asli. Gimana kalau lu Rub? Menurut gue kita bisa bungkus episode ini menurut gue banyak banget yang kita bisa bawa pulang ya temen-temen ya. Praktek-praktek kasarnya juga banyak banget, dan dengan cara yang menurut gue pastinya gak langsung serta merta bisa kita berubah atau kita menyesuaikan tapi setidaknya kalian waktu dengerin udah memulai sesuatu yang baru. Gue sendiri mulai belajar dari 2018, dan sampai hari ini masih belajar. Jadi, ya masih melakukan kesalahan, masih mengoreksi dan seterusnya, tapi yang penting ya mulai dari kesadaran dulu kan. Ya udah yang penting kita udah sadar, bahwa ada orang-orang di dunia ini, dan akan selalu lebih baik untuk mengerti satu sama lain, dibanding mengabaikannya sih. Dan kita berterima kasih untuk itu, - Terima kasih Cania untuk waktunya, - Terima kasih Ruby dan Ario. Terima kasih udah undang kesini. Udah berbagi-bagi juga, kalau temen-temen dapet sesuatu di episode ini, jangan ragu untuk ramein, karena menurut gue konten berkualitas tidak akan bergerak jauh kalau gak ada temen-temen yang juga bantu untuk suarakan, sekalian ngebantu misinya dia nih. Karena 15M aja mau dipake, buat SIM gitu ya. Jadi, mari saling membantu, ya kan, bisa tandai Cania di - Instagram boleh.
  • Instagram, tulisannya @caniacitta ya, atau gue, @fellexandro dan - Ario di - @sheggario. @sheggario. Sampai jumpa di Lunch selanjutnya. Terima kasih. ♫♫♫