Transcript for: Kecerdasan Emosional dan Empati dalam Kehidupan
Ada komen di Instagram gue "Mbak kok nikah udah
lama gak hamil-hamil sih?" Emang bener gak
sih kita harus marah dengan pertanyaan
seperti ini gitu. - Dari datanya kepintaran
atau IQ itu cuma mewakili 20% dari keberhasilan seseorang 80%-nya lagi apa? Macam-macam, tapi porsi yang
terbesar salah satunya adalah kecerdasan emosional. Dari Cania Citta, teman
kita yang hari ini akan ngobrol bareng di siniar ini gue belajar mendalami
kepintaran emosional versi bukunya Daniel Goleman. Yang paling bikin gue penasaran
adalah terutama bagian empati, apalagi di saat zaman-zaman ini makin menuntut kita
untuk "lu, lu, gue, gue." Gimana caranya kita bisa lebih sadar
dengan nilai atau dengan nilai hidup kita. Lebih sadqar dengan emosi kita dan disaat bersamanya
juga kita bisa makin efektif dalam hubungan-hubungan
kita baik pertemanan, keluarga, mitra bisnis atau bahkan
dengan pasangan kita. Sebelum dia setuju untuk "Oke deh gue mau nih,
menjalin hubungan sama lu." Dia lihat Delta
perkembangan gue. "Kalau misalnya lu
sampai bulan ke-3 belum ini, gak usah deh." gitu. - Risetnya udah jelas,
orang-orang yang di akhir hidupnya berkata bahwa yang
paling berkontribusi kepada kebahagiaan mereka adalah kualitas hubungan mereka. Episode ini semua tentang
menjadi manusia yang lebih baik dan pada akhirnya
kualitas hidup kita. Mari nikmatin makan siangnya. Halo! Kamu lagi mendengarkan ♫ Thirty Days of Lunch ♫ Selamat datang di
Thirty Days of Lunch. Cania. - Makasih Ario dan Ruby. Udah ngundang gue. - Senang lu hadir di sini, kita udah pernah
ngobrol sama Sabda ya? - Udah pernah.
Jadi ini kayaknya kita ghibahin
Sabda aja hari ini. Gak, gak, gak, supaya teman-teman juga
punya konteks yang kita obrolin hari ini. Gimana lu mau
memperkenalkan diri lu? - Gue pengajar, di
Zenius dan gue juga bikin konten yang
semuanya sebenarnya sejajar dengan satu misi. Gue pengen menumbuhkan
masyarakat yang cerdas cerah asik dalam bahasanya Zenius. - Cerdas, cerah, asik. - Iya jadi tentunya gue akan
mulai dari diri gue sendiri, dan ya jadi gue juga dalam proses
terus belajar menjadi seperti itu. Dan bareng-bareng ngajakin
masyarakat juga, jadi kayak gitu. - Dengan pendidikan? - Gue latar belakangnya
ilmu politik ya, kuliahnya s1-nya
ilmu politik terus emang sempat garap konten
politik juga dulu di Geolive. Terus sekarang masih
ngonten politik juga di siniar Ruang 28 di Noice. - Mungkin gue akan buka
dengan satu tweet lu yang juga bikin penasaran buat pemikiran gue ya, karena gue
ngerasa, satu gue orang introvert, gue lumayan
lebih ke sisi logika. Ada satu komen yang
muncul di Twitter lu yang bilang "Anjir, Cania bisa
tobat juga ya?" - Tobat?! - Terus gue cari tahu dong,
kenapa nih sosok si Cania ini bisa di - Dibilang begitu?
Celetukin gitu kan. Oh ternyata ada cerita-cerita
di masa lalu yang menurut gue menarik banget gitu, terus gue pengen mulai dari
masalah pernyataan kita dulu nih, apa yang mau kita coba
selesaikan bareng-bareng. nah ini adalah obrolan yang
terjadi antara lu dan Sabda gitu. Ketika Sabda bilang, "Lu ngonten tujuannya
buat apa sih?" - Iya.
Iya kan? Nah kelanjutannya gue.. Serahkan - Iya jadi dia nanya ke
gue kayak tadi benar, "Lu tuh ngonten sebenarnya
tujuannya buat apaan sih?" gitu kan. Terus gue bilang, "Gak
ada sih gue memperlakukan media tempat gue
nulis atau bikin video itu sebagai kayak diari aja." maksudnya gue emang suka mikir
dan gue punya pemikiran-pemikiran. Terus ya gue
taruh aja, tanpa gue emang rada-rada apa ya istilahnya gue gak sadar kali ya terhadap masyarakat maksudnya. Bahwa konten itu
akan ada yang nonton atau akan ada baca,
itu gak masuk dalam rangka kerja pengambilan
keputusan gue ketika bikin konten gitu. Terus dia nanya lagi kayak, "Berarti lu gak ada dong
ya tujuan untuk jadi dibenci atau dihujat sama
seluruh masyarakat yang konsumsi konten lu?" gitu kan. Terus gue kayak, "Gak sih gue gak
ada tujuan itu sih." Terus dia balikin lagi kan, "Dalam pengambilan keputusan lu
penting gak sih lu melakukan sesuatu untuk nyampe ke apa
yang lu mau?" gitu kan. "Iya." "Nah terus berarti kalau misalnya lu
gak mau dapat hujatan segala macam terus selalu dapat itu berarti pengambilan
keputusan lu salah gak sih?" gitu. Terus gue kayak,
"Hmm, iya juga ya?" Benar juga ya, gue kayak gue gak mau A, tapi selama ini semua konten gue
menghasilkan A gitu kan ibaratnya. Berarti kan iya pasti ada yang
salah dong di dalam proses pembuatan keputusan gue gitu. Emang gue secara umum sangat-sangat buruk dalam
hal empati atau memahami orang dan nyambungnya ke
kecerdasan sosial lah ya. jadi kecerdasan sosial
gue sangat hancur. - Pada masa itu? - Dalam skalanya Sabda itu ya "Kalau Cania sih
minus satu miliar." - Kayaknya hari ini kita
bakal ngulik perjalanannya lu dari yang tadi sadar bahwa kemampuan untuk kesadaran
diri aja menurut gue udah bagus banget. Karena banyak orang yang bahkan sampai sekarang mungkin minus
satu miliar juga tapi gak sadar. - Iya kalau itu mungkin
ada efek ininya juga ya, ada bucin efeknya juga. - Efek bucin, Sabda
semoga nonton nih. - Tapi cara nyampainnya Sabda
menurut gue bagus banget loh. - Iya.
Karena dia gak nembak. "Lu salah."
Nanya ya? - Tapi nanya, ayo mulai
dari sana kalau gitu. Menurut gue, berarti kan
kesadaran diri itu menjadi penting untuk kita ngulik
si empati ini kan? Lu sendiri akhirnya
bisa mendalami ini tuh mulai dari mana
kesadaran dirinya? Apakah dari pertanyaan
Sabda tadi terus lu ulik lebih dalam
lagi atau gimana? Iya jadi pertama dari
pertanyaan tadi akhirnya gue mengingat-ngingat gitu kan kayak menulusuri lagi gitu, selama ini kehidupan sosial
gue kayak gimana. Dan ya akhirnya
gue nyadar bahwa, "Iya juga ya?." Kayak dari misalnya dari 100
interaksi itu mungkin 99 diantaranya tuh gak efektif gitu
istilahnya jadi, - Bukan cuman Twitter
doang kan? Luring juga gitu? - Iya, iya.
Luring jug gitu? - Dulu pemikiran gue waktu SMP,
gue kan dirundung ya waktu sekolah, waktu SMP gitu jadi kayak, seluruh angkatan benci sama gue. - Oh gitu?
Terus, terus gue ditatar mulu. Hampir tiap hari gue dipanggil sama senior, terus
suruh joget, segala macam. Kayaknya itu momen paling gak
tahu apa-apa dalam hidup gue kali ya gue tuh gak pernah ngerti
kenapanya gitu kayak, "Kenapa ini terjadi?" gitu kan. Nah buat waktu yang lama, gue tuh mikir kayak "Bisa gak ya gue
bikin lingkungan itu jadi gak peduli gitu sama gue." gitu bisa gak ya kalau misalnya
gue gak peduli sama lingkungan mereka jadi gak
peduli juga sama gue. Gue pikir ekspektasi
gue dulu itu kayak gitu. - Oh jadi, yaudah gue hidup
dengan dunia gue sendiri, lu hidup di dunia
lu sendiri aja, gitu. - Iya, ekspektasi gue
seperti itu waktu itu. Kayak buat
bertahun-tahun gitu kan. Nah pas dalam proses titik momen yang tadi gitu
kan itu kayak jadi titik balik untuk gue jadi mengubah
ekspektasi itu gitu. Kayak maksudnya, "Bentar deh
apa gue juga salah ya cara ngeliat masyarakatnya itu sendiri?" Maksudnya bahwa
kan gue mikirnya, "Harusnya kalau misalnya gue gak peduli
sama lu, lu gak peduli dong sama gue." Gitu kan? Nah
tapi ternyata setelah gue kenal dengan antropologi, dengan pengetahuan
tentang manusia, gini-gini. Gak masuk akal juga
sebenarnya untuk sistem sosial kita bekerja dengan efektif
dengan cara berpikir seperti itu, sebenarnya gitu.
Karena sebenarnya kayak kerjasama sosial itu
justru terjadi karena kita saling peduli gitu, saling
peduli dan saling mendukung kayak suatu norma dalam
artian yang kita kayak memberi dan menerimanya
itu gimana? Gitu kan? Nah kalau misalnya ada
orang kayak gue yang benar-benar gak sadar
terhadap ini, sebenarnya gue gak sehat buat
masyarakatnya gitu ngerti gak? Maksudnya dengan untuk
sistem sosial yang bisa bekerja jadinya tuh susah,
karena kita kan kalau untuk kerjasama kan
butuh kayak kesamaan nilai, kesamaan memberi
dan menerimanya itu gitu. Yang gak semua-semuanya itu perlu diomongin
secara verbal gitu kan? Jadi akan ada nilai-nilai yang udah
disepakatin secara sosial tapi gue bener-bener buta
terhadap hal itu. Nah tadinya gue ekspektasinya
kan gimana supaya masyarakat berubah jadi lebih kayak gue, maksudnya gimana supaya - Gak peduli semua.
Lebih gak peduli, iya. "Yaudah kita saling gak
peduli aja deh." gitu kan? Tapi sebenarnya
setelah ditantang dengan kasus, kasus,
kasus, kasus gitu ya. Setelah gue pikir lagi ternyata
yang lebih optimal tuh justru bukan gitu, maksudnya bukan
kayak gue berharap masyarakat jadi gak peduli, karena yang harus berubah
juga jadi lebih banyak, Ya kan? Dibandingin
gue yang berubah kan lebih banyak pasti kalau
masyarakat yang harus berubah kan? Ketika kecenderungan
umumnya udah di situ, gitu kan? Nah jadinya lebih mudah
secara "harga" pun, ya kalau guenya
berubah, gitu kan? Dan sebenarnya berubahnya juga gak se- perjuangan itu juga kok gitu
karena sebenarnya sesimpel gue sedikit menginvestasikan
waktu dan energi untuk mengobservasi. - Salah satu alasan gue bawa ini
karena empati jadi krusial banget di berbagai lapisan
kita berinteraksi gitu. Simpelnya gini keselarasan, keselarasan
itu kan kesannya kayak simpel nih gitu kayak, ya lu tinggal, misalnya
rapat, ya udah lu samain lah di halaman yang sama, ya samain
lah ini tujuannya apa segala macam. Tapi sebenarnya kalau
misalnya lu lihat lagi nih nanti akan ada
kejadian-kejadian di mana "Perasaan kemarin
udah selaras deh, tapi kok bisa ya dia
ke sana?" Iya gak sih? Pernah gak lu ngalamin
kayak gitu?Misalnya kayak "Bentar deh bukannya di rapat
kemarin tuh kita udah sepakat ya? Kita mau gini, kok dia gini
ya tindakannya?" Gitu gak sih? Nah jadi keselarasan
itu gak sesederhana lu membaca satu informasi
yang sama, lu selaras. Karena keselarasan itu
benar-benar mereduksi banget yang namanya kesalahan. Terus harga mengulang sesuatu, karena lu jadi harus
ngulang lagi gitu kayak gitu. Dengan lu memastikan
keselarasan yang bagus di awal itu jadi enak keputusannya gitu ke belakang-belakangnya nah
begitu juga denga keluarga gitu. Jadi kayak gue sama
adik-adik gue tuh sekarang jadi gak harus terlalu banyak yang gue
kasih tahu lagi karena kita udah selaras. Di rangka kerjanya gitu loh. Nah keselarasan ini gak
bisa terjadi hanya dengan "Ya udah nih gue ketik misalnya
di pesan singkat gini-gini." Gak bisa kayak gitu, gue
harus ngerti dianya gimana, cara mikir dia gimana terus gue nyampein informasi A
dengan cara yang masuk di dia gitu. - Jadi agak PR ya sebenarnya - Iya, jadi banyak
kerjaan ga sih? - Dalam komunikasi pun lu harus
menyesuaikan pesan yang sama berempati dengan dia dan
mengubah cara menyampaikannya gitu. - Iya gue ngelihatnya
harga di depannya iya PR repot tapi ya ke
belakangnya enak banget. Karena keselarasan di tingkat
rangka kerja itu membuat lu gak perlu terlalu banyak
ngasih instruksi. - Lu akan mulai dari mana?
Apakah tipe-tipe empati atau kesadaran
dirinya atau gimana? - proses mengenali
diri sendiri ini juga - Panjang? - Menariknya gue sendiri
ngalamin di mana gue ngerasa gue tahunya gue gini. Tapi ketika di tes secara
empiris oleh Sabda maksudnya kayak gini, dia langsung bilang
Pak Guru Sabda. - Ada tes empiris. - Iya, maksudnya ketika ada
satu eksperimen, gue gak tahu nih, tes mendadak, tes mendadak. Terus kayak, dia bilang, "Tuhkan, bener kan, bahwa kamu tuh
maunya bukan ini sebenarnya tapi ini. tapi kamu pikir yang
kamu mau ini." gitu. Contoh sederhana makanan ya makanan.
Luar biasa Sabda. - Makanan, coba makanan. - Contoh makanan ya.
Kita semua ngerti. - Gue dulu bilang, "Ah gue
gak suka sama rendang." - Ini cerita beneran? Gak suka rendang?
Beneran, iya. Gue kira gue gak
suka rendang tuh berarti ya udah universal tuh jadi
kapanpun gue ditawarin rendang, gue bilang gak mau dong? Nah terus Sabda
bilang, "Cobain ini." Dia gak bilang
kalau ini rendang. Jadi dia suruh gue nyobain aja Dan gue juga gak terlalu
ngeh ya karena mungkin bentuknya dibedain
atau apa gitu. Terus gue cobain,
"Enak nih." gitu Terus dia bilang,
"Oke cobain lagi ini." Ada lagi makanan lain
misalnya kayak bebek gitu gue gak mau bebek. Terus dia kasih nanti itu bebek
tapi cara mengolahnya gimana gitu. Terus ternyata gue suka. Nah terus dia bilang, "Tuh kan yang
kamu gak suka tuh bukan ininya." gitu. Misalnya bukan rendangnya tapi
spesifik nih misalnya teksturnya, kamu gak sukanya kayak gini. Asinnya yang kayak gini, nah kalau misalnya ada rendang
yang teksturnya kayak gini, aslinya kayak gini,
kamu suka, gitu. - Proses pengenalan diri
dimulai dari makanan ya? - Nah sampai kayak
yang detail-detail kan maksudnya yang
lebih lebih dalam gitu. Nah dalam konteks pengenalan
diri juga mungkin itu yang perlu diperhatiin sih gitu. - Lebih kompleks ya?
Diperetelin ya? - Misalnya kayak. "Oh gue hobinya
main musik." gitu. "Tapi ternyata kalau gue
main musik sendirian doang gak suka gue tapi kalau
gue nge-band baru gue suka." Berarti kan kayak itu lebih
spesifik kan berarti bukan lu bukan suka main musik gitu akhirnya ketika
misalnya lu punya rumah, gede, alat musik yang udah
banyak lengkap segala macam tapi gak ada temen
lu yang main ke situ, mungkin lu tetap gak bahagia. Gitu loh, karena
ternyata yang lu cari dari main musik tuh pengalaman bareng-bareng ini,
sama orang lain. - Gue juga sempat ngobrol
sama temen gue yang suka musik, tapi ternyata dia bisa
dalamin lagi musiknya itu bagian mana. musiknya itu dia senang
musik yang spesifik, permainan. Jadi dia tuh seneng tuh kayak
lu main permainan RPG ya contohnya Final
Fantasy, Suikoden, itu dia suka tuh, bikin
musik latar belakangnya tuh. Gitu, jadi itu bisa
ngebantu lu untuk mungkin lebih jago menemukan "semangat lu" gitu tapi yang
gue tertarik banget adalah soal values atau nilai. Karena banyak orang
yang susah tuh untuk sampai ke level itu
gitu dan menurut gue penting orang tuh kalau sadar banget sampai nilai-nilai yang
menjadi prinsip yang bisa dia pegang. Karena keputusan hidup sesudahnya akan
jauh lebih ringan diambilnya kalau
dia tahu nilai dia gitu. Dari pengalaman lu gimana? - Kalau orang-orang
kayak gue yang emang maksudnya kita
berorientasi pada tujuan, gue mau bikin keputusan
ya jelas, gue tujuannya ini, gue pengen dapetnya ini kalau
gue dapet yang gak gue mau ya salah keputusannya. Nah kalau lu udah
berangkat dari situ, gampang banget ngevaluasi nilai, karena
tinggal ditabrakin lagi ke empirisnya. Misalnya contoh gampang
ini deh lu punya nilai misalnya ngelarang
orang ngelakuin A, nah tapi A ini gak ada dampak
ngerugiin siapa-siapa, misalnya gitu. Nah ketika ditanyakan, "Kenapa nih? kenapa lu harus
gak ngelakuin A?" gitu kan. Lu bilangnya, "Ya gak boleh
aja." gitu kan misalnya gitu. nah tapi kalau lu
berorientasi pada tujuan kan lu bisa ditanya lagi, "Ih kenapa gak
boleh aja? Tujuannya apaan?" gitu kan? Karena lu berorientasi pada
tujuan lu tinggal digituin kan? Tinggal ditanya lagi kayak gitu "Tujuannya apaan?" gitu kan? Ya terus ketika kalau ditanya ke
gue ya gue pasti mikir "Iya juga ya ngapain gue
ngelarang orang ngelakuin itu padahal gak ada efeknya
ke mana gitu gak ada." Nah kan gue pasti langsung
bisa berubah dong dari situ karena gue lebih mikirin kayak suatu tindakan, suatu keputusan
itu harus jelas objektifnya apa dan harus nyambung antara
tindakan itu ke objektifnya. Nah ini kan tentu nilai
yang gedenya lagi ya kalau gue istilahnya
aksiomanya lah gitu. Nah aksioma ini sebenarnya
gue ngelihat sejauh ini cukup bisa disepakati
sebenarnya secara universal bahwa kita mau
misalnya gak kesusahan, kita mau lebih sejahtera,
kita mau gini-gini, pokoknya kemauan-kemauan
kita sebenarnya cukup banyak yang udah
universal nah artinya turunan untuk menguji
nilai itu tinggal kayak, "Coba deh lu cek bener gak
nilai itu nganter lu ke sana?" Tapi masalahnya ada nih memang
mungkin orang-orang tertentu yang Pilihannya memang bisa
dua sih pertama emang aksiomanya juga udah
ngeselin maksudnya aksiomanya memang
sudah gak bisa nih dia gak bisa pakai berorientasi
pada tujuan gitu kan? Kayak, "Ya pokoknya
harus gini!" gitu kan ada kan orang yang
kayak gitu harus aja gitu. - Ada hal-hal yang
gak boleh ditanyakan. Iya hal-hal yang gak
boleh ditanyakan dan itu emang harus aja ya udah ini Ini gue gak tahu, belum
tahu nih cara ininya gimana. Tapi mungkin dengan empati
akan bisa kali ketemu ya? Tapi belum nih gue belum tahu. Nah atau yang kedua, orang yang sebenarnya
sudah seaksioma ama gue maksudnya kayak tadi dia sebenarnya
sudah berorientasi pada tujuan, tapi memang penalarannya, atau premis-remisnya ada
yang salah, perlu dikoreksi gitu. Dan gue banyak ketemu
dengan kasus-kasus ini gitu kasus-kasus yang kayak gini, iya gampang sebenarnya
maksudnya gak gampang banget tapi emang ada proses
tapi udah jelas nih cara ininya gini gitu. - Setidaknya dasarnya jelas ya? - Untuk bisa ke
sana ya benerin dulu penalarannya,
premis-premisnya dikasih, yang bener kayak gimana,
nanti dia akan dengan sendirinya pindah nilainya gitu. - Salah satu cara untuk menemukan
nilai itu adalah dari apa yang mungkin lu kesel, lu marah,
atau lu benci, gitu? Pilihannya sebenarnya
emang dua kan biasanya, apakah yang lu gak
suka atau yang lu apa katanya yang lu takutkan
atau yang lu harap kan? emang gitu kan?
Oh yang ditakutkan dan yang di harap? Iya, yang diharap kan? Rangka
kerjanya sebenarnya, menurut gue itu udah cukup konsisten sih emang. jadi kalau lu takut kayak tadi mendapatkan
suatu realitas yang gak sesuai rencana. Nah kan lu berarti
takut akan hal itu Nah lu bisa jadi akan mengadopsi
nilai yang bikin itu gak terjadi kan? Atau lu berharap
apa gitu misalnya lu berharap masyarakat
jadi sejahtera. Nah itu kan berharap sejahtera, nah lu akan coba
mengadopsi nilai yang bisa mengantar lu ke sana. Ini harus di sokong
atau didukung dengan pemikiran empirisnya gitu. Bahwa lu menerima, adanya cara pembuktian
bagaimana lu bisa mencapai ke yang
lu mau itu tadi gitu. - Gue pengen
eksperimen deh karena soal pengenalan diri ini,
secara spesifiknya nilai, gue pernah ditanya
teman gue kayak gini jadi gue boleh coba ke lu ya? Kita lihat berhasil gak. - Oke, ayo. - Pertanyaan begonya
dia adalah gini, "Rub, kalau hari ini
ya tiba-tiba lu punya satu juta dollar gitu, terus uang bukan lagi
jadi masalah buat lu. lu mau pakai apa
14 miliar itu?" gitu. - Rencananya lebih
banyak penilaian, untuk orang mendapatkan
sesuatu di dalam masyarakat ini. - Oke gimana tuh?
Dalam untuk orang bisa dapat SIM, mereka harusnya
dikasih penilaian dulu, untuk standar berpikir tertentu. - Nembak-nembak SIM maksudnya.
Yang bisa membuat keputusan mereka lebih bagus. - Jadi duitnya mau dipakai buat itu ya?
Bukan buat dipakai diri sendiri gitu ya? - Iya kan balik lagi,
justru poinnya gini, gue yang dulu bakalan ngelihat
semuanya dari sudut pandang gue doang, tapi dengan gue belajar
empati gue baru nyadar bahwa, "Oh gak, ternyata
hidup ini bisa jauh lebih murah." Ya lebih murah
dalam artian jadi lu gak perlu semua-semuanya
itu harus privasi kan jadinya. Kalau masyarakatnya
membaik gitu. - Dan lu akan bikin masyarakat
membaik dengan tadi sesimpel mulai
dari situ dulu ya? - Dengan gue melakukan suatu
kemampuan berpikir yang bagus ke diri gue sendiri dan
tentunya kita semua. - Keren banget ya?
Kepada siapapun yang mau bikin SIM. - Dikasih 15 miliar yang
pertama dipikirin SIM. - Ya SIM atau apapun yang lain. - Itu menurut gue jawaban yang dalam satu sisi mewakili
ketakutan dan harapan tadi kan? Bisa gak kita bilang tadi itu
adalah harapannya lu gitu? -Bener banget, secara ideologi, orang akan bilang kayak, "Cania tuh
libertarianisme." gitu ya, maksudnya tentunya gue mendukung pemerintahan terbatas, gue gak
mau pemerintah terlalu banyak intervensi gini-gini-gini. Tapi sebenarnya
secara kepemilikan Kalau orang-orang yang di
posisi libertarianisme mungkin akan bilang kayak, "Kita
mendukung privasi. Kalau bisa semua
hal privasi." gitu kan. Nah sebenarnya gue preferensinya bukan semua
privasi, karena menurut gue itu sangat gak efisien gitu. Contohnya kayak misalnya
kolam renang aja deh, kalau misalnya setiap rumah
itu harus ada kolam renang seberapa gak efisiennya
itu sumber daya, ya kan? Bayangin berapa
ruang yang dibutuhin buat semua rumah
ada kolam renang gitu. - Air yang dibuang, padahal
mungkin berenangnya - Cuman waktu.. - Sebulan sekali. - Seminggu sekali.
Mending sebulan sekali, baru punya doang.
Baru punya doang iya. - Bener, ya kan? Nah jadi gue sebenarnya lebih suka gitu ya,
preferensi gue lebih ke sumber daya bersama gitu. Contohnya ber berapa?
Berseratus keluarga satu kolam renang gitu misalnya. Nah tapi untuk bisa lebih banyak ada sumber daya bersama
yang umum kayak gini. Kita kan mesti cocok ya
satu sama lain, ya gak sih? Semakin banyak
orang-orang yang bisa nyambung, ya kan? Secara cara berpikir enak
nih gitu keputusannya bagus, sehat gini gini kan makin gampang untuk
lu berbagi sumber daya. - Caranya adalah
bikin peniliaian itu. - Salah satu caranya, tapi ya tentu saja
banyak yang harus dilakuin secara
bersamaan tapi gue pengen kulturnya mendorong
ke sana, iya. - Tapi terbukti udah banyak yang
bisa nyetir kayak angka 8 itu loh motor git.
Iya ya ya. - Nah itu dia justru kan
cara gue ngelihatnya adalah selama ini kita
melakukan penilaian itu di tingkatan istilahnya
keahlian spesifik ya? Misalnya lu ngetes
nyetir buat nyetir, nah padahal maksud gue adalah ada yang mendasar
banget nih gitu kan ada yang mendasar
nih misalnya kayak, kemampuan baca
deh gitu, jadi kalau ada tanda apa, ada instruksi apa,
lu bacanya bener, gitu kan? Terus kemampuan menghitung misalnya harga
tadi harga-keuntungan gitu, nah itu kan menghitung risiko
gini-gini nah menurut gue ini harusnya dasar yang semua orang punya
dan tentunya kita bukan cuman ngasih penilaian ya tentunya
kita juga harus ngasih proses edukasinya
itu sendiri gitu untuk orang bisa punya
keahliannya, tapi menurut gue, masyarakat kita
hari ini belum terlalu melaksanakan itu gitu. - Padahal dari cara nyetir Itu
sangat kelihatan cara berpikir banyak orang loh. - Iya.
Bener gak sih? Kalau negara lain itu
kerasa banget bedanya, negara yang nyetirnya oke
yang nyetirnya kurang tuh. - Iya yang paling lucu tuh
gitu kan kayak misalnya dua jalan gitu,
harusnya dua jalur gitu, ini harusnya - Gantian kan? - Harusnya tuh justru
harusnya beda arah nih, nah tapi yang dari sini nyalip. Nah nyalip, yang
sana ternyata ada juga, akhirnya dia gak
bisa jalan dong? Dia gak bisa jalan akhirnya
ini gak bisa jalan akhirnya malah tambah macet yang
tadinya tujuannya mau lebih cepat, malah jadi tambah gak
karu-karuan akhirnya, ini mcaetnya gitu kan. - Empati untuk itu juga
gak nyambung tuh empati. - Nah itu empati bener tapi
juga ya gue sih ngelihatnya alasannya juga ya maksudnya cara lu ngelihat
sumber daya gitu ini kan jalannya segini ruangnya ya coba aja mikir yang mana
bisa ini ada tiga mobil gitu kan? Pada akhirnya kan gak, ini
akhirnya gak harus gantian jadinya dan akhirnya malah jadi macet. - Itu beda banget cara
berpikir dari cara nyetir ya? - Itu kemampuan dasar banget
tadi yang lu bilang tadi itu ya? - Betul, harusnya itu titik mulanya
kayak dari situ gitu sebenarnya. - Oh gitu, menarik. Terima kasih sumbangan
15 M-nya untuk nyetir kita lebih baik. - Sementara, sementara teman gue
pas dikasih pertanyaan itu jawaban dia adalah "10 M-nya akan
gue pakai di investasi yang sehingga gue gak
perlu kerja lagi seumur hidup." Eh tapi pertanyaan gue nih ya kalau ada orang yang ngejawab
15 M tadi dengan bilang 10 M-nya gue mau taruh di sebuah investasi,
gue gak perlu kerja seumur hidup. Kira-kira nilai dia apa? kkita berasumsi aja nih. - Nilainya, nilainya
kira-kira apa. - Gue kalau pertama
ngelihatnya adalah "Oh ini orang berarti sebenarnya
bukan pengambil resiko." - Iya, bukan pengambil
resiko, bener. - Karena sebenarnya
dia pengen supaya.. - Stabil. - Stabil banget nih hidup
gue nih kalau bisa nih ya udah gue gak
perlu banyaknyari uang, karena kan sebenarnya miliuner
masih ada puncaknya lagi kan? Lu bisa naik lagi
jadi multimiliuner bisa jadi triliunan, tapi
lu "Gak usah, segini aja. Yang penting gak usah
kerja lagi seumur hidup." - Bisa jadi. - Sama agak biaya
hidupnya tinggi ya? - Biaya hidupnya
tinggi gimana nih coba. - Maksudnya nilai, ya gak
tahu ya cuman gue ngerasa kayaknya kebutuhan
hidup gue gak yang pada tingkat segitu juga deh
maksudnya untuk lu bisa aman pun, mungkin kalaupun gue mau
ngamanin gitu sebagian dari situ, mungkin gak yang
segitu juga sih nilainya. - Gak perlu sampai 10
M untuk gue amankan? - Iya karena balik lagi gue
kan tadi konsepnya justru sebisa mungkin di
pengeluaran individu itu rendah. Jadi bisa dibilang salah
satu nilainya orang yang menggunakan 10 M ini adalah dia
mungkin lebih individual mungkin? - Iya, mungkin lebih
individual, jadi lebih ada kebutuhan biaya hidupnya itu yang buat pribadi dia maksudnya
jadi gak berbagi sama orang lain kan? - Kalau lu.. Menarik jadi berbagi juga salah
satu nilai yang lu pegang gitu ya? - Pengeluaran-pemasukan ya tapi
pada tingkat global kalau gue ngelihat ya sumber daya yang ada, harusnya seoptimal mungkin, dipergunakan untuk
suatu kebutuhan. Nah artinya misalnya ada
kebutuhan tempat tinggal. Ya pasti ada cara yang paling efisien untuk mencapai
kebutuhan itu gitu loh. Dan ketika ada kelebihan, gitu kan, misalnya tadi
gue cuman butuh satu kamar tapi gue beli rumah ada tiga
kamar, dua kamar gak kepakai, yaitu sudah gak efisien
berarti, gak optimal. Berarti ada pilihan lain harusnya
yang lebih optimal dari itu. - Dan lu sangat aman, sangat
aman dengan pilihan lu itu ya? - Teman-teman gue
kebanyakan ya tipe yang lebih sadar akan sumber
daya banget kayak gitu. Sadar akan sumber
daya kali ya istilahnya jadi.. - Berarti udah satu
nilai dia ya emang? - Iya, iya, nah itu
dia maksud gue tuh menyamakan nilai sebenarnya
kalau dari pengalaman gue gak sesulit itu juga
karena sebenarnya mungkin bisa dibilang kayak
mungkin gue menduga lah sebut aja ini pemikiran gue lah ya. Bahwa sebenarnya
sebagian besar orang tuh bisa sepakat kok
dengan tujuannya itu gitu. Apa yang lu inginkannya gitu ya. - Karena dasar
manusia ini sebenarnya mirip-mirip ya yang
tadi lu bilang ya? - Bisa dirinciin lah
misalnya lu butuh makan tiga kali sehari, lu
butuh tempat tinggal. Itu cukup jelas sebenarnya. Nah tinggal emang kita cara
berpikir yang akan menentukan bagaimana lu akhirnya
mengambil pilihan gitu untuk memenuhi kebutuhan itu. - Gue coba sambungin ke obrolan kita selanjutnya ya tadi - Itu pengenalan diri loh tadi. - Karena tadi dari pengenalan
diri yang gue tangkap adalah satu, lu bisa mulai dari apa yang lu takutkan
atau lu harapkan. Mungkin lu bisa tanya diri
lu sendiri pertanyaan tadi. Kalau lu punya satu juta
dolar lu bakal ngapain. Jadi bisa
merefleksikan nilai lu, bisa mulai juga dari
sesimpel makanan lu. Dari situ lu akan dapat
kenapanya, kenapa lu suka gitu ya Bahasanya apa? Decomplex ya? - Decomplex. - Sekarang kita masuk ke empati nih yang yang menurut gue basisnya pengalan
diri terus ke empati. harus mulai dari mana
kalau kita ngomongin empati? Orang pada umumnya
mengartikan empati itu menyetujui, jadi kalau
misalnya lu dibilang, "Lu berempati lah sama A." gitu. Maksudnya lu harus menyetujui tindakannya A dengan
mengerti alasannya gitu. Ini bukan pengertian
empati yang gue pakai, gitu. Jadi kadang-kadang
soalnya gini ketika gue bilang "Kita mesti berempati lah sama
ini." misalnya sama koruptor gitu. orang tuh ngira gue memaafkan. Gue menyetujui
tindakan korupsinya padahal maksud
gue bukan itu poinnya justru, kalau lu mau
menghilangkan tindakan korupsi, lu mesti berempati
pada koruptor. Nah maksudnya berempati apa? Maksudnya memahami,
maksudnya memahami akarnya, dari perilaku ini.
Kenapanya. - Masa lalunya.
Kenapanya dia begini gitu. Bukan kita setuju, justru
kalau kita gak setuju, semakin kita gak setuju
sama sesuatu menurut gue semakin itu mendesak
kita untuk berempati. karena satu-satunya
cara lu mau mengubah perilaku seseorang
ya lu memahami dulu. Awal mulanya lu
memahami orang ini dulu gitu. Nah jadi empati yang
gue maksud adalah memahami, itu satu, makanya gue
biasanya kalau di Zenius karena tadi ada kerangka
kerjanya cerdas, cerah, asik. Empati itu di bagian asik, asik ini kebagi dua,
jadi satu, istilahnya ya itu memahami, jadi intinya lu mengerti gimana orang
lain berpikir, merasa, gimana mereka melihat sesuatu gitu
misalnya sudut pandangnya lah gitu ya sudut pandang orang lain
ini gimana dan seterusnya. Nah A-2, yang satunya
lagi ya, kan ini dua cabang ya, cabang yang keduanya adalah gimana lu bisa
berinteraksi dengan efektif dengan orang lain gitu. - Nah cuman memang
pengertian empati yang lebih umum dipakai
maksudnya misalnya dalam diskursus akademik
juga kebagi tiga. Empati kognitif, itu sebenarnya mirip
A-1 tadi kalau di kerangka kerja gue. Empati emosional, nah
ini gue tadi gak masukin empati emosional tuh lu bisa
ngerasain apa yang orang lain rasain. dan yang terakhir
baru penuh kasih, lebih ke gimana lu milih tindakan
yang penuh kasih atau gak. Artinya lu bakal mencoba
untuk mengurangi penderitaan atau menambah
kebahagiaan si orang lain ini. - Oh gitu, jadi kalau gue
mungkin sederhanakan empati kognitif itu lebih kayak lu bisa berpikir, memahami
cara pikirnya dia gitu lebih sisi pikirnya.. - Memahami cara pikir,
sebenarnya semuanya sih cara pikir, cara merasa juga dan.. - Merasa lebih
kemosionalnya gak sih? - Itu bukan memahami
kalau di empati emosinal. Kalau di empati
emosinal lu merasakan apa yang dia rasakan.
Oke, rasakan. - Iya kalau empati
kognitif itu lu memahami, nah jadi kognitifnya
itu di kitanya sebenarnya. Jadi kita secara kognitif
memahami si orang lain ini nah yang dipahaminya itu
sebenarnya lengkap harusnya. jadi bukan cuman
cara dia mikir doang tapi juga cara dia ngerasa,
rentang emosinya. Kenapa dia gini, kenapa
dia gitu, dan seterusnya gitu. Penuh kasih, kalau lu udah emang - Mengambil tindakan,
yang - Mengambil tindakan untuk membantu.
Yang membantu, betul. Nah orang tuh biasanya cuman
pakai definisi yang ketiga doang. Iya jadi kalau misalnya "Ya lu berempati
lah." itu maksudnya lu - Ngebantu.
Membantu. - Padahal mengerti
aja sudah berempati. - Iya, kalau gue ngelihat
harusnya itu disebut empati juga. Ya karena apa jadinya
istilahnya gitu kan kalau bukan itu maksudnya
secara diskursus tuh ya itu istilah yang paling
tepat untuk menggambarkan memahami sudut
pandang orang lain. Gak masuk akal dong
kalau misalnya lu mau mengubah perilaku tapi lu
gak mau memahami dulu gitu. Nah ini balik masuk ke A-2 nih. Cara lu mengubahnya itu jadi gak
efektif gitu kalau lu gak ngerti orangnya. Dan itu yang terjadi
selama ini menurut gue ya, jadi gue ngasih
contoh banyak gitu misalnya percakapan
di Twitter gitu kan. Kadang-kadang gitu ya
ada isu ideologinya ini, nanti yang seberangnya
yang ngomong ini dan mereka ini ya saling gak
ngerti satu sama lain nih gitu. Ya udah jadi mereka cuma
menunjukkan apa yang mereka ini sendiri, mereka gak, gak berkomunikasi
sebenarnya, gak berdialog gitu loh. Orang-orang yang gak mungkin gak belajar atau kurang juga punya
kemampuan empati. Mereka gak bisa melihat bahwa apa yang mereka
anggap buruk ini tuh dilihat baik sama orang
lain ini gitu loh. - Betul. - Mereka gak
ngerti nih gitu jadi mereka gak bisa ngeliat
bahwa si orang lain itu benar-benar
mereka tuh niat baik, mereka tuh bukan
orang jahat gitu. Mereka bukan
orang-orang jahat gitu Ya contohnya
misalnya ada inilah ya apa, suatu tindakan
yang ini dikecam oleh kepercayaan
tertentu misalnya gitu. Nah kan dari kubu yang
seberangnya bakal bilang, "Loh kepercayaan tuh harusnya
bikin kita jadi mengasihi gini-gini." Loh ya mengasihi dari
sudut pandang lu begini, dari sudut pandang
dia begitu, gitu loh. Itu empati poinnya, lu ngelihat
dari sudut padang lu doang ya iyalah, dari sudut
pandang lu ini gak mengasihi, lah gak, justru dia ngelihat
lu yang gak mengasihi. Jadi akhirnya lucu kan
obrolannya karena lu gak lu gak merespons
dia sebenarnya gitu. Lu cuman ngomong
dari sudut padang sendiri. Sedangkan dari
sudut pandang dia tuh loh dia sangat mengasihi
melakukan itu gitu loh. Justru dia ngelihat lu
yang gak mengasihi gitu. Ngerti gak? - Gue coba tes ya, gue coba tes. Soalnya ini menarik banget. Coba kalau konteks misalkan
kayak di keluarga pertemanan gitu ya, kembali karena menurut
gue tujuan dari siniar ini adalah kita bisa membangun hubungan yang
lebih baik sama sekeliling kita gitu kan. Contohnya gini ada satu
kutipan yang gue suka banget, masa-masa sulit menciptakan
orang-orang yang kuat, lalu orang-orang yang kuat akan
menciptakan masa-masa yang baik, - Oh itu. - Lalu masa-masa yang baik akan
menciptakan orang-orang lemah, dan orang-orang lemah akan
menciptakan masa-masa yang sulit. Jadi itu kayak satu
siklus akhirnya, - Oh muter lagi.
Muter gitu. - Yang gambarnya tuh
ada gambarnya juga tuh. - Nah pertanyaan gue
adalah kan tadi kayak tadi misalkan lu tahu nih
misalkan sekarang nih mungkin karena keluarga dari generasi
sebelumnya ke generasi sekarang udah membaik
secara ekonomi, secara kualitas hidup, sehingga pertama nih kayaknya
adek-adek gue nih ini termasuk yang bagian orang-orang
lemah lagi dibikin nih, gitu kan? Gitu, mungkin lebih manjanyalah, mungkin yang gak
mau repot lah gitu ya, pengennya sesuatu
yang instan gitu. Di satu sisi lu tau,
"Oh gue harus kasih dia semacam tekanan
gitu buat dia untuk melatih untuk gak segampang
itu memecahkan masalah." Tapi di sisi lain kan dia akan ngelihatnya kayak, "Kok lu bikin hidup gue
susah banget sih?" gitu. Bagaimana empati
bisa ngebikin itu jadi hubungan yang baik gitu. Seharusnya sih kalau
misalnya dari setidaknya dari misalnya pengalaman gue
gitu ya sama adik-adik gue gitu. Ya dengan gue memahami
cara dia ngelihat sesuatu gini-gini gue biasanya bakal nemu kayak
apa yang harus gue singkap ke dia, apa yang gue harus sebut
sih sebenarnya lebih tepatnya, untuk dia kemudian
bisa melihat bahwa, "Oh ternyata kalau kayak
gini doang tuh gak cukup." gitu. Jadi sebenarnya memang
per kasus banget sih maksudnya harus dilihat kayak
kasus orangnya kayak gimana nanti biasanya lu akan nemu apa yang harus lu
singkap ke dia gitu cuman emang selama
ini orang tuh mungkin ada juga yang kayak
mikirnya singkap itu harus dalam bentuk lu ngasih
tahu gitu ngasih tahu dia, padahal bisa juga
singkap itu dalam bentuk lu ngajakin dia
nonton film apa gitu. Atau kayak baca novel apa gitu. Tanpa harus lu ngasih tahu gitu. - Yang di dalam itu ada
pesan itu yang mau lu kasih? - Iya, di situ akan
bisa menyingkap dia ke dengan cara
yang tepat buat dia. Memang pilihan novel atau
pilihan filmnya balik lagi nih ini harus pakai sudut pandangnya
dia ya, maksudnya bukan pakai selera gue gitu
misalnya tapi selera dia oh gue tahu nih dia suka
nonton-nonton kayak gini nah ada nih film yang
kayak gini yang bakal bisa menyingkap dia ke sini. - Adik gue males nih,
tapi dia suka K-pop, oh gue kasih lihat nih
ya ini video Blackpink waktu di umur 12 tahun
udah mulai latihan joget gitu ya untuk bisa berhasil gitu ya? - Iya, kayak gitu kan jadi lu berangkat dari kesukaannya
dia kan dari preferensinya dia sehingga dia gak juga
gak ngerasa diganggu, diganggu gitu loh. Kayak lu gak jadi
gak terlalu keras. - Jadi gak bisa pakai kalimat, "Papa ya waktu seumur kamu, sudah jualan bakmi!" - Iya biasanya orang makin
kurang tepatnya di situ emang. dan ke gue sendiri juga gitu maksudnya gue sendiri banyak
mengalami perubahan dengan Sabda tuh ngasih gue kurikulum
dalam bentuk tontonan bacaan gitu-gitu, Jadi bukan dia ngasih tahu harus gini harus gini
gak gitu tapi kayak, "Nih coba tonton ini." gitu. - Iya kayaknya lu bilang
di salah satu Tweet lu, lu punya sudut
pandang yang berubah, waktu lu pertama
kali nonton West Wing. Terus berapa lama kemudian
lu nonton West Wing lagi gitu. Boleh cerita gak di situ,
karena menurut gue menarik tuh. - Orang ngeliat The
West Wing itu seri politik. Tapi Sabda bilang ke gue, "Gak,
menurut aku ini bukan seri politik." - Ini menarik nih kalau Sabda. - Ini seri hubungan masyarakat. Ini seri Humas gitu. Jadi justru itu dia nontonin gue The West Wing
sebenarnya bukan buat gue belajar politik, iya itu kan sebenarnya emang
konteksnya politik Amerika ya? Tapi sebenarnya keahlian yang
kebangun di situ lebih ke arah Humas, lebih ke arah
memahami orang lain ya, empati, ngerti orang lain, melihat bahwa dari sudut
pandang orang lain tuh gini, dari sudut pandang
lu bisa gini gitu. Yang menarik juga di
situ adalah gimana gue jadi ngerti bahwa, "Oh iya ya,
bener juga dalam ngelihat nilai dari suatu hal itu
benar-benar harus tepat nih di sudut padang orang
ini kayak gimana." gitu misalnya kayak sebut
aja gue dalam sebuah negosiasi dengan orang lain gue tawarin dia A gitu, tapi A ini gue lihat dari
nilai-nya tuh dari veri gue, menurut gue A
nilainya tinggi banget. Nah padahal diorang lain itu gak segitunya tuh A gitu. Nah ini bisa diterapkan
dalam konteks Humas juga. Nah The West Wing itu
mengekspos itu banget kan? Karena tim Humasnya si
presidennya ini si Bartlet kan harus dihubungkan
dengan kayak gitu. Misalnya kayak media
tiba-tiba gosipin Bartlet apa, terus mereka harus respon tuh, nah mereka memilih titik
mana yang harus direspons itu mereka ngelihat dari cara
masyarakatnya ngelihat gitu. jadi masyarakat dia
mentingin mananya sih gitu. Gosip-gosip tuh mana yang harus
direspons, mana yang bisa didiemin aja, responsnyag harus kayak
gimana, itu dilihat dari bagaimana masyarakat
memandang hal itu. Cuman di awal gue nonton
tuh gue susah nangkepnya karena gue buta banget
ginian, sejarah, terus politik Amerika
gitu-gitu jadi gue harus belajar itu dulu untuk bisa
nangkap konteksnya gitu. Sebelum itu gue juga
jadinya nonton yang Ibaratnya lebih sedikit
prasyaratnya gitu maksudnya lebih sedikit syarat-syarat
pemahamannya. One Piece, terus si Friends. Gue gak perlu tahu banyak
sejarah apa-apa segala macam, gue bisa menangkap nih. - Terus ditonton dua kali beda
10 tahun juga beda tuh artinya. - Friends gue udah
nonton empat kali deh dan selalu dapat wawasan
baru tiap nonton lagi. - Apa yang lu
dapet dari Friends? - Sebenernya di awalnya
Ini, favoritnya Ruby nih. - Di awalnya banget
gue tipe orang yang gak tau gak kebayang aja ruang
lingkup manusia tuh bisa kayak gimana. Nah dengan adanya
Friends tuh kayak ruang lingkupnya tuh bisa dari
orang kaya Ross sampai ke Joey gitu. Maksudnya orang
yang kayak gini banget sampai kayak gitu
banget maksudnya kayak orang tuh, "Iya juga
ya orang bisa segini mikirnya, maksudnya bisa
sejauh ini bisa sejauh ini." gitu loh pertamanya itu sebenarnya wawasan paling awal
yang gue dapat tuh gue bener-bener kayak gak
kepikiran bahwa suatu situasi sama orang ini bisa
dibacanya gini gitu loh. "Oh iya juga ya jadi
kalau gue ngomong gini harusnya gue cara mikirnya bukan interpretasinya pasti gini nih,
justru interpretasinya gue udah langsung bayangin
dulu ini sama ini gimana, bukan yang lurus." gitu tapi
kayak yang salahnya ke sini sama salahnya ke
situ bakal kayak gimana dan itu gak terhindarkan gitu,
dengan gue ngelihat Friends tuh gue jadi tahu bahwa " Oh itu gak bisa
terhindarkan tuh, adanya interpretasi
yang ke sini." gitu Yang bukan yang lurusnya ya. - Kayak Joey dan Rachel
gitu ya "Kita lagi istirahat!" - Ross? - Oh, maaf, Ross dan
Rachel iya, iya, iya. - Iya perdebatan soal itu
kan pemaknaan "istirahat" kalau itu gue udah cukup ngeh sih,
cuman yang lebih simpel-simpel kayak percakapan-percakapan
simpel mereka ama si Joey kan dia ternyata gak nangkap bahwa
dia mengalami usikan gitu ada momen yang kayak
gitu yang dia jahit celana. - Oh yang dia jahit celana. - Gitu-gitu lah iya, jadi "Oh iya juga ya orang
bisa aja orang gak ngeh dilakuin kayak gini, kayak
gini." gitu, itu kan kayak menyingkap gue ke ini
juga ya kritik terhadap data-data survei
tentang masyarakat gitu. - Dari Friends yang
gue jarak nonton misalnya gue kasih 10 tahun di antara mereka gue nonton
pertama kali sama sekarang, hasilnya di masyarakat
juga berbeda gitu. Celaan fisik, pengalaman
itunya juga banyak dalam artian, "Oh zaman berbeda
itu berarti kita harus berempati orang
tuh juga berubah." gitu. Friends gak akan lebih, gak
akan cocok di zaman sekarang. Jadi kita kalau misalnya mau
melihat mau membuat sesuatu juga kayak lihat empati orang
akan ke arah mana berarti gitu. - Bener, maksudnya lu bisa aja
mau nyampein pesan yang sama dengan Friends
gitu misalnya tapi ya cara nyampainnya kemungkinan
udah harus beda gitu kan dengan generasi yang sekarang. Ya bener sih, nah itu masuk ke
A2 tuh cara interaksi yang efektif. Jadi kayak gimana lu memilih cara interaksi yang tepat ke audiens yang lu pengen targetin
dengan psan yang pengen lu sampein. Sekarang ini sangat sedikit
sekali orang yang berusaha untuk melakukan itu, kalau seenggaknya
kalau gue lihat sosial media ya, jadi itu yang membuat
polarisasi juga jadinya. Karena gak akan ada yang bergeser
gitu loh kalau kayak gini caranya karena lu cuman bisa dipahami oleh yang udah di situ gitu. Itu sebenarnya yang terjadi di diri
gue dulu ya maksudnya ketika gue nulis atau apa tuh ya memang
sih banyak yang kayak wow gitu kayak
super, luar biasa gitu, maksudnya kayak
perspektifnya gini-gini ya itu orang yang udah
setuju gitu loh sama gue. Yang harusnya itu bukan menjadi
target audiens utamanya dong? Karena kan kalau
gue mau menyebarkan sesuatu ide ya harusnya
yang belum dong ya? Kalau misalnya yang
udah sepaham sama gue ya ngapain dia gak perlu
baca tulisan gue bahkan untuk bisa nyampai di sikat itu
dia udah punya sikap itu gitu kan? Harusnya kan gue menulis
atau gue bikin video Itu kan untuk yang belum di situ dong? Nah jadi cara nyampeinnya harus dibentuk ke yang belum justru. Akhirnya kita sampai kembali ke masalah kita di awal gitu. Gimana cara lu setelah
melewati proses ini pengenalan diri dan
empati akhirnya tadi soal konten tadi gitu ya
soal ngadepin hal-hal negatif, apa yang berubah? Gitu. - Justru udah semakin
sedikit negatifnya Berasa banget ya?
Maksud gue dari cara nulis berarti lu juga jadi
bisa lebih berempati gitu sama dengan cara lu
merespon? Atau gimana? Dari cara nulis, pertama-tama
empati, balik lagi ya, gue jadinya bisa memahami perbedaan
interpretasi tadi, kemungkinan, jadi gue dari awal
nulis atau bikin video, itu gue udah antisipasi dulu nanti ini orang bakal mikir kayak
gini, bakal ada yang mikir kayak gini, bakal ada yang mikir kayak gini. Sebisa mungkin memang gue
taruh penafian-penafian yang menyebut itu duluan di depan. Tapi kalau misalnya gak
mungkin misalnya kayak "Kalau kayak gini semua gue
ngomongin kayak kebanyakan." Ya udah sisanya gue akan siap
respon kalau udah ada komentarnya. Jadi sebelum komentar
datang tuh gue udah menduga dan begitu juga kalau gue
salah ya kayak kemarin gue bikin video bahas soal logika gitu. Parah banget tuh
kesalahannya di situ adalah gue lupa bahwa ini gue nulis
eh gue bikin video di YouTube di kanal umum, maksudnya di mana
ada audiens dari berbagai kalangan segala macam, gue gak
jelasin konsepnya dulu. Jadi gue langsung bahas
soalnya dengan asumsi ini kayak yang dengar udah
ngerti logika formal lah gitu bahwa itu konsep
logika formal gitu. Nah akhirnya komennya
jadi kemana-mana karena kan kata logika itu kan memang pengertiannya
bisa macam-macam ya? Nah gue gak jelasin
konsep itu dulu di awal akhirnya ya udah seperti yang
diduga ancur kolom komentarnya maksudnya jadi presentase yang
salah paham itu cukup tinggi gitu. Ya udah jadi evaluasi.
Tapi responnya tinggi dong? Gak deng. - Iya sih tinggi tapi.. Gue mengharapkan arah yang
lebih baik ya dari responnya. Gue bukan tipe yang kayak publisitas buruk
itu tetap publisitas. Karena itu gak
relevan buat tujuannya. Tujuannya kan gue mau
tadi ya menanamkan apa masyarakat yang gini-gini
ya harus efektif dong ininya, materinya gitu. Saat orang salah paham ya gak
nyampe berarti tujuan gue, gak efektif. - Berarti yang lu sadari pertama lu belajar untuk menaruh
lebih banyak konteks ke dalam konten-konten lu. Kedua penafian
apa yang lu ngerasa ini gak usah lu bahas karena yang lagi gue pengen bahas
cuman lingkup ini doang gitu. Gue coba ngetes ke- mungkin
kehidupan sehari-hari gitu ya. Gimana proses berpikir
ini dan berempati ini kalau kejadiannya adalah
ada seorang pemimpin yang lu hormati banget, terus tiba-tiba dia melakukan
sesuatu yang mengecewakan lu? - Kalau dalam bahasanya
Sabda "buatlah itu masuk akal" latihan empati gue
adalah itu penilaiannya. Misalnya gue - Menerima
dia mengecewakan lu? - Bukan. Ya tapi bisa juga, di
masa depan, mungkin. - Buat dilatih, buat dilatih. - Misalnya gue nyeletuk gitu
kan gue baca apa gitu di Twitter, terus gue kayak, "Apaan dah
nih orang kok gini sih?" gitu kan? Gue ngomong gitu kan, itu
langsung dijadiin tugas sama Sabda, "Ya udah coba
bikin essaynya." gitu. Jelasin, jelasin kenapa? Terus gue jadi kayak
mikir, "Oh iya juga ya?" Gue harus jadiin itu masuk
akal, jadi gue cari tahu kayak jadi gue akhirnya
liatin akun orangnya, cara berpikirnya
gimana gini-gini. Ya jadi gue bisa nyusun
"Oh iya yang bikin dia jadi gini masuk akalnya
berarti gini gini." - Jadi kenapa dia membuat pernyataan
yang menurut gue gak masuk akal karena dia pola pikirnya
begini gitu misalnya? - Iya itu gak masuk akal
dari kerangka kerja gue. Iya kan? makanya pas gue lihat, "Oh iya iya kan dia
awalnya akarnya gini kerangka kerjanya ini gini."
yaudah jadi masuk akal gitu. Prinsip dari si Sabda
yang akhirnya gue juga pakai gitu ya dia
bilang bahwa dalam mengubah perilaku
biasanya orang tuh mengubah perilaku itu dengan
mengubah perilaku tersebut, jadi kayak lu ngelihat ke perilakunya
terus lu berusaha mengubah perilakunya padahal harusnya yang
lu ubah tuh paradigmanya. Jadi apa yang ada
di balik perilaku itu. Jadi prinsipnya tuh sebenarnya ubah paradigmanya,
berakibat merubah perilakunya. Jadi yang harus lu cari itu
sebenarnya paradigma di baliknya gitu bukan tindakannya biasanya
kan kita ngelihat tindakannya nih. misalnya contoh orang mencuri. Ya udah lu mikirnya kayak jangan
mencuri padahal bukan gitu harusnya kayak dibalik mencuri ini tuh apa nih
faktor-faktor yang ngedorong, misalnya kayak gue tadi, ketika Sabda
ngajarin gue berempat, dia bukan kayak "Lu pelajarin
tuh orang lain." bukan gitu. Tapi apa nih
paradigma dibalik itu? Nah itu kan paradigma di
balik itunya adalah gue ngerasa gak ngerti orang lain
tuh gak, gak apa-apa. Ya kan? Gue ngerasa
gak ngerti orang lain itu gak ada efek, gak
ada kerugian apa-apa. Nah ketika dia singkap bahwa,
"Gak dong, rugi dong kalau gini gini." Nah berubah perilakunya. - Seinget gue di salah satu
video lu, lu pernah sebut bahwa ada kemungkinan
juga orang yang bisa punya empati kognitif, tapi gak punya empati
emosionalnya gitu. Itu contohnya kayak gimana
sih gue gak kebanyang. - Contohnya gue. - Gimana tuh, gimana tuh? - Iya gue memahami orang lain
itu gue gak bisa pada tingkat sampai gue ngerasa juga nih
gitu gue gak bisa tapi gue ngerti bahwa hal seperti ini
akan membuat dia merasa begini gitu dari yang gue pelajari
dari gue mengamati dia, dan gue belajar referensi-referensi
ini juga tentang manusia. Tapi gue gak bisa
ikut ngerasain itu gitu. Nah cuman kan ada
orang yang bisa ya sampai pada tingkatan dia
ngerasain apa yang orang lain rasain. - Mungkin bisa, pernah
mengalami juga kali? Hal yang serupa? - Tapi kalau di gue
kasusnya gini juga sih kayak teman-teman
gue sendiri sering bilang gampangnya, cara gue
beremosi itu gak umum. Maksudnya emosi yang untuk
situasi yang membuat gue marah, itu biasanya gak di orang lain. Dan sebaliknya, yang di orang
lain dia marah tuh biasanya gak, kayak contoh gini ada komentar di Instagram gue gue peringatan pernikahan
kemarin gitu berapa, apa bulan Mei. Kemarin jadi
beberapa minggu lalu. Terus gue kirim di Instagram
gue terus ada yang komen kayak, "Mbak kok, nikah udah lama
gak hamil-hamil sih?" gitu. Kayaknya tuh buat
orang umum kayaknya itu langsung membuat
marah gitu, menurut gue. Atau beberapa, karena banyak
yang marah di komentar itu. - Marahin dia yang komentar itu. - Terus gue, bukan
marahin, tapi gue jadi kayak menegur atau kayak ini-in yang marah itu gitu. Karena menurut gue, gak, gue
mau media sosial gue memang terbuka untuk orang
ngomong kayak gini, gue gak mau nih ada lingkungan buruk dimana orang komentar disalahin.
Yang salah digebukin? - Iya, dirundung gitu. Nah jadi gue negor nih
yang komen-komen ini, - Jadi ada yang komennya
menurut lu bisa bikin orang marah, yang ngebelain lu
malah lu marahin? - Ya gak gue marahin sih
cuman gue kayak yang gue bilang "Eh maaf." gitu kayak
gue nyampeinnya santai. - "Ini gimana sih
dibelain malah.." - Nah cuman.. - Makanya dia bilang
gak masuk akal, apa yang bikin dia
kesel, ke orang lain gak, eh apa yang bikin orang
lain kesel, bikin lu gak. - Maksudnya mungkin jangkauan
emosi gue lebih ke arah gak umum, terus gini juga, ada hal-hal
seperti itu juga yang gue bilang emang kan gue
sering ditanya kayak "Kak, kok lu bisa sih diginiin
gini gak marah gini-gini." Iya itu natural gue emang gak emosinya gak ada di gue
gitu untuk seperti itu tuh bikin gue marah
bahkan bukan cuma itu, gue justru memang
mengoreksi juga dalam artian kayak emang benar
gak sih kita harus marah dengan
pertanyaan seperti ini gitu karena menurut gue,
sangat masuk akal pertanyaannya bahkan
gue jelasin di situ gitu bahwa asumsi umumnya orang mau punya anak, ya secara umum ya dan emang gue sendiri
juga mau punya anak sih gitu tapi kayak maksudnya secara umum asumsi umumnya
orang mau punya anak dan ekspektasinya
adalah kalau menikah lu udah mulai
mencoba membuat anak dan harusnya
terjadilah anak gitu kan. jadi kalau gak terjadi ya itu
pertanyaan yang bagus gitu. Secara dasarnya itu kayak
"Lu udah masukin roti ke oven selama 2 tahun kok gak
jadi jadi rotinya?" gitu kan? Kayak ngerti kan? - Roti ke oven..
Kayak maksud gue lu ngerti? Itu masuk akal banget,
justru itu pertanyaan yang benar jadi menurut gue gak ada alasan
untuk orang ini dirundung gitu jadi gue jadi gue juga
ikut kayak apa ya yuk coba refleksikan
ini gitu kayak bener gak sih bahwa kita
harus marah soal ini gitu loh. Jadi gue juga
ngebuat diskusi gitu. Dengan orang-orang
yang komen di situ gitu loh. Gue emang sangat-sangat memelihara gitu suatu situasi di media
sosial gue di mana orang harus bisa masukkan yang jujur banget,
jadi kalau ada orang yang komen gimana-gimana terus
dimarahin orang tuh biasanya gue bakal bikin diskusi
di situ kayak ini harusnya gak gini doang
gitu cara ngelihatnya gini-gini gitu. - Apakah jadinya buat
lu penting orang untuk tadi, lu sebut tentang
jangkauan emosi, tapi kan kalau sepintas
ngelihat gitu kayaknya hampir gak ada emosi. - Di hal yang ini, mungkin
gue gak ada emosi, tapi nanti ada di
hal lain yang di mana di situlah emosi
gue akan terpicu. Tapi orang gak, gitu. Hal seperti itu yang kayak ya memang mesti justru itu
maksud gue berempati itu kan justru kita memang ngelihat
adanya keberagaman ini gitu. Bahwa gak selamanya apa yang
bikin lu sedih itu orang lain sedih gitu. Atau gak, situasi, jadi
gini, misalnya situasi itu dihadapkan ke lu, lu sedih. Terus situasi itu dihadapkan ke orang lain
sedih juga, belum tentu sebenarnya gitu. Kayak misalnya gue apa namanya? Menyikapi situasi di mana
teman gue ada yang cerai gitu. Perceraian misalnya, mungkin di
temen gue yang ini kalau dia bercerai dia bakal sedih misalnya gitu, tapi temen
gue yang ini tuh gue tahu gak nih gitu. - Dia bahagia banget sebenernya. - Iya, dia bahagia
banget gitu kan. Nah kan gak bisa, di situ
kan poinnya empati kan ya lu jangan proyeksikan gitu, lu jangan lihat dari
kacamata lu doang, justru lu melihat di orang
ini gini, di orang ini gini. - Atau bertanya dulu. - Iya, bertanya dulu dengan
lebih netral misalnya ngomongnya, atau bahkan ya "Eh maaf nih korek
nih koreksi kalau gue salah ya." gitu "Tapi, apakah ini hal yang
baik?" gitu bahkan bisa gitu mungkin kalau gue
ke temen gue ya gitu. - Empati membutuhkan
emosi gak sebenarnya? - Kalau dalam standar memahami dan sehingganya untuk mencapai
A-1 atau A-2 ya, yang gue mau. Gak sih sebenarnya. Lu tanpa emosi pun tetap bisa. Kalau misalnya emang lu
secara alami bukan yang "Gue emang gak bisa
beremosi apa-apa nih." gitu. Apa? Emosi AAA
kali ya istilahnya gitu. Yang kemudian lu gak bisa
beremosi, ya gak apa-apa juga. Karena kan A1 poinnya lu
paham orang lain kayak gimana. A2 poinnya lu interaksi
sama orang lain efektif. Itu aja, gitu kan? Lu efektifnya gimana
kan ya dilihat ya konteksnya kayak gimana gitu. Gak selalu itu dibutuhkan, lu harus beremosi gitu. Ada satu kutipannya dari
Gary Vee yang gue suka banget dia bilang kebaikan tanpa kejujuran
menciptakan hak. jadi kalau kita berempati membutuhkan kita untuk
bisa baik sama orang lain gitu. Tapi kalau kita
baik terus tanpa kita bisa berterus terang juga, apa adanya di satu titik, itu akan membuat orang jadi merasa
dia berhak (menerima kebaikan) gitu. Ya mungkin di sisi
seberangnya yang gak paham. Dia kasih contoh
kayak gini misalkan, dia punya anggota tim gitu yang dia udah mencoba
untuk menjadi baik, kasih selalu kasih masukkan positif sebisa
mungkin, melihat sisi bagusnya orang ini tapi gak bisa jujur, apa
adanya, berterus terang, kalau dia juga butuh ruang
untuk berkembang gitu. Akhirnya orang itu
jadi gak berkembang, akhirnya malah jadi
secara jangka panjang, dia mau gak mau harus
pecat orang itu gitu. Di titik mana, lu pernah ngerasa ada kasus empati itu jadi gak bekerja, atau mungkin ya udah gak usah berempati lagi ini udah panggilan yang
hilang sama orang gini gitu? Pertama mungkin,
gue mesti balikin lagi ke konsep empati
yang gue pake tadi, sebenernya itu gak
mensyaratkan kebaikan sih, karena kan, kalau
itu kan masukknya ke dalam 3 tipe empati, itu empati penuh kasih, lu milih tindakan penuh kasih. Tapi kan sebenernya tanpa lu memilih tindakan
penuh kasih pun lu tetep bisa berempati
misalnya secara kognitif. Lu bisa aja memahami orang tapi emang lu memilih
tindakan yang gak baik kan bisa aja,
jadi sebenernya yang diomongin sama Gary
Vee itu mungkin lebih ke arah empati penuh
kasih, untuk lu bisa melakukan empati
penuh kasih, lu butuh kebaikan. Lu butuh
memilih tindakan yang bikin si orang ini senang, gitu kan, atau rasa
sakit yang lebih sedikit. Nah itu kan empati penuh kasih. Tapi kan sebenernya pilihan untuk kapan lu harus mengurangi rasa sakit ini kan
sebenernya ditangan lu sendiri ya. Kalau misalnya ada momen dimana "Gak, ini justru harus gue
tambah nih rasa sakitnya", gitu misalnya ya, katakanlah
gampangnya gini deh, dalam kita membuat istilahnya rekayasa perilaku ya. misalnya kita mau
merekayasa untuk gimana ya supaya orang-orang di tim gue nih
perilakunya jadi kayak gini. Nah kita kan mungkin
akan melakukan suatu sistem
insentif disinsentif. Jadi kalau ada yang
ngelakuin ini, insentifnya gini, kalau ada yang ngelakuin
ini, disinsentifnya gini. Nah pas dia
mengalami disinsentif, kan sebenernya kita
tingkatkan rasa sakit dia dong. Nah sebenernya pada saat itu kita tidak memilih untuk
penuh kasih, gitu, ya kan. Nah jadi, balik
lagi, kita memilih kapan penuh kasih tuh
sebenernya secara bebas tuh, dalam pilihan kita. Nah tadi, bagus
pertanyaannya bahwa kapan? Misalnya gitu ya mungkin kapan kita harus
penuh kasih gitu kan, atau kapan harus
berhenti gitu kayak berhenti nyenengin orang
ini, gitu misalnya atau berhenti udah gak perlu, berusaha untuk
nyenengin si orang lain ini. Nah kalau pertanyaannya
kapan berhenti berempati menurut gue, gak ada. Gak ada titik dimana lu
harus berhenti berempati. Tapi kalau, ada
gak titik dimana lu berhenti nyenengin, mungkin. Balik lagi ke emang objektifnya. Makanya di A-2
itu kan kita bicara efektif, ya kan. Jadi tujuan gue apa nih? Nah kalau misalnya dengan gue nyenengin dia ini gak nyampe ke tujuan gue, ya udah salah berarti cara
berinteraksinya, gitu loh. Misalnya tadi, tujuan gue gue pengennya dia bisa
berkembang gitu kan, nah kalau gue gak ngasih masukkan secara brutal, gue gak ngasih masukan
yang sebenar-benarnya ini dia gak berkembang nih. Ya berarti itu udah kontradiktif
dong kalau gue terusin dengan tujuan gue? Nah berarti dengan kerangka itu udah jelas sebenernya,
kapan lu harus gak nyenengin. Ya pada momen tersebut,
itu gak sesuai tujuan gitu loh. Tujuan lu dengan
orang ini apa gitu kan. Gitu, nah itu titik
mungkin yang tadi lu bilang misalnya hilang
panggilan, gitu kayak ya misalnya gue tujuannya gue pengen bisa
temenan sama dia nih. Deket gitu kan, tapi cara berpikir dia
disini disini misalnya salah, jadi gue gak bisa
percaya sama dia, gitu. Karena dia kemungkinannya nanti keputusan-keputusannya bakal gak bagus gitu misalnya kan, jadi bakal bisa
ngerugiin dirinya sendiri, dan bahkan orang lain terutama misalnya gue, karena gue posisinya
misalnya temen dia gitu kan, Nah, supaya gue bisa
temenan deket sama dia, gue mesti koreksi ini nih, Nah tapi misalnya
gue kasih linimasa gitu, misalnya katalanlah kita coba bikin uji coba lah ya 3 bulan gitu kan, 3 bulan, gue liat
nih deltanya gitu. Misalnya delta
di awalnya segini, terus pergerakannya
misalnya dari target 100% pergerakannya 20% 3 bulan. Berarti, kalau
kita konstan aja ya kecepatan perkembangannya berarti kita butuh berapa coba kalau 3 bulan baru 20%? 15 bulan ya, setahun 3 bulan. Apakah gue punya sumber dayanya? Untuk melanjutkan ini. gitukan, gitu cara
berpikir berikutnya kan? Gue aja gak pernah ngukur tuh pertamanya tuh kayak deltanya. Jangan salah, gue
belajar itu juga dari Sabda. Dia ngelakuin itu ke gue. Jadi dia ngitung sebelum dia bukti untuk "Ok deh gue mau nih
berhubungan dengan lu" Dia liat delta perkembangan gue. Kayak. "kalau misalnya lu" "sampe bulan ke 3 belum ini," "kayaknya gak usah deh", gitu. - Ya Tuhan.
Selesai. Iya. Dan perkembangan itu diliat dari dari efektivitas gue berinteraksi
sama orang lain, gitu. Jadi kalau misalnya Ketidak-nyambungan komen di cuitan gue atau di konten gue tuh belum
turun presentasinya, berarti ini udah
nih latihannya, gitu. Berarti gue belum meningkatkan kemampuan gue menyampaikannya orang masih tidak sambung
juga sama gue gitukan. Nah itu misalnya gitu,
gue bisa terapin ke orang lain juga
kan jadinya kayak, "Oh iya juga ya, kalau
gue misalnya untuk" "berapa bulan gitu" "gini, gue tetapin
gitu kan linimasanya" "gue punya sumber daya
nih setahun", misalnya. Kalau ternyata dengan kecepatan
perkembangannya dia segini gue butuh setahun 3
bulan, gue gak punya nih gak cukup sumber
daya gue, ya udah. Dan itu bisa berlaku di level perusahaan juga tentunya. Misal lu bangun tim di
perusahaan atau apa, sama, menurut gue,
latihan itu adalah modelnya kayak tadi
kan, sebenernya lu mencoba untuk
menjadi kompatibel, misalnya tim ini, ya lu kasih jangka waktu, lu punya berapa
sumber dayanya, gitu. Dan kalau cara lu misalnya Gak gerak-gerak nih, 2 bulan gak ada
perubahan apa-apa, ya berarti, antara lu
gak tau caranya gimana atau lu nyari tau
dulu caranya gimana, gitukan, dan kalau
lu nyari tau dulu, cukup gak nih waktunya. Kalau gak, ya udah,
mau gak mau gitu. Lu udah gagal gitu berarti dalam proyek itu, gitu kan. Ini, kembali lagi ya ke kutipannya "Make it
Make Sense", gitu ya. - Gue suka itu, makasih, karena
Buat memahami perilakunya. susah kan ya, soalnya
kalau ngomongin kayak empati kan kebanyakan kita tuh mengaitkan empati itu
ke sisi emosionalnya. Padahal di kasusnya
tadi yang lu cerita - A-1 A-2, dari sisi pemikiran
dulu gitu kan, - Betul. - sama efektivitasnya.
Betul. Sementara orang Indonesia kan kayaknya susah ya kalau mengaitkannya. "Oh gue mau punya
hubungan sama dia" "gue ukur dulu nih deltanya nih" "seberapa cepet gue bisa" - ya kan.
Ya itulah yang efektif sih. Justru yang
sering terjadi adalah ketika lu dari cuman
rasa nyamannya doang, ya itu yang biasanya
justru gagal hubungannya. Karena justru lu gak gak berpijak pada realitas gitu, lu berpijak pada khayalan. Lu rasanya kayak nyambung nih, padahal lu gak bener-bener tau indikator-indikator nyambungnya
itu bener gak secara realitas? Gimana? Jadi lu punya khayalan lu berhubungan sama
dia, gini-gini nyambung, tapi sebenernya lu
gak bener-bener tau nih kenyambungan ini
datang dari mana, dan ketika ternyata faktor itu tidak berkelanjutan, ya akhirnya itu jadi
gak nyambung kan? Nah terus bingung sendiri, kayak "Kenapa jadi gak
nyambung ya sekarang?" Ya tepat sekali, lu dari
awal cuman berdasarkan perasaan nyaman doang. Yang mana irasional. Gak apa-apa punya
perasaan nyaman, seperti kayak, gue juga
bukan tipe yang kayak "Kita harus hilangin
perasaan nih" Gak ya, gitu. Ya kita bisa merasa
nyaman dengan orang, merasa senang gitu kan. "Ini rasanya,
suasananya enak nih", gitu - temenan sama dia gini-gini.
"Butterflies in the Stomach" Ya gak apa-apa, nah cuman perlu
diingat aja bahwa kalau lu mau jangka panjang, ya lu mesti ada
pijakan rasionalnya, gitu. Bahwa lu harus liat lagi nih Bener gak ya gue
bisa percaya dia segini, gitu kan, dia juga
bisa percaya gue segini. Dimananya ya yang
kita gak konek gini-gini. Gue biasa sih, melakukan obrolan seperti
ini sama temen-temen gue. Nah jadi kita emang
bener-bener mengevaluasi kayak "Gue sebenernya gak suka tuh
kan kemarin lu kayak gini", misal gitu, Ok mari kita pecahin, kayak "lu gak sukanya dimananya?" Dan segala macem, gitu. Itu menurut gue kuat sih. Menurut gue, itu
juga satu hal yang gue tadi cari-cari dalam bentuk contoh nyata yang lu lakukan ya. Dalam hal hubungan
sama temen-temen lu tadi boleh gak lu kasih contoh kayak lu ngobrolnya gimana,
apakah jadinya kan cara lu ngobrol ke dia juga
bagian dari empati kan, gitu. Tapi ini balik lagi sih. Ini memang akan bergantung lagi ke orangnya, kan
empati mulai dari memahami dulu, nah kalau udah kultur di lingkungan gue
adalah kultur yang emang brutal,
maksudnya, jadi kita gak perlu ada filter apa-apa
sih kalau ngomong, gitu. Jadi kalau ngomong
ya ngomong aja. Ya, cuman kan gak
semua orang kayak gitu ya. Jadi emang harus
disesuaiin lagi, gitu. Jadi kayak Netflix nih, gak
ada peraturan, peraturan. Bener. harus disesuain lagi, di lingkungan pertemanan lu kayak gimana, gitu kan,
maksudnya temen-temen lu ya lu lah yang ngerti
temen lu kayak gimana berarti kan nanti lu akan
nemu cara nyampein yang ke dia kayak gimana, yang penting adalah
emang kesadaran bahwa dialog-dialog seperti ini tuh penting untuk menjadi fondasi dari suatu hubungan. gue dulu juga termasuk yang salah dalam mendekati suatu hubungan dengan sangat-sangat mengikuti arus dan seneng, berorientasi
kesenangan kali ya, jadi kayak, selama
itu menyenangkan itu gak masalah,
padahal sebenernya itu bukanlah fondasi
yang baik lah, gitu untuk hubungan dalam
bentuk apapun ya. Bahwa akan ada, istilahnya
mungkin percakapan yang sulit. Gak bisa, suatu hubungan itu lu cuman ibaratnya "Duh, ini gak enak nih
kalau ngomongin ini" akhirnya ditutup, akhirnya
jadi kotak hitam gitu. Gak justru, apa yang lu ngerasa secara insting, "Ini kayaknya gak
enak nih, ngomongin ini" itu mungkin yang penting
untuk diomongin, gitu. Kayak gitu loh. Kayak misalnya mungkin hal-hal sesimpel kayak "Ni orang tiap makan kok
gak pernah patungan ya?" misalnya gitu. - Kena deh.
Kok kayak kan misalnya ber-4, tapi dia gak
pernah bayar nih selalu kita ber-3 nih yang
bayar, gitu kan, misalnya. Mungkin kerasanya kayak remeh banget ya gue
ngomongin duit, gitu gak sih? Tapi itu bisa jadi pertanda sesuatu yang lebih besar
di baliknya, gitu kan sebenernya. Kayak misalnya sesimpel ya gimana cara dia ngeliat bahwa dalam hubungan itu
mesti semuanya kontribusi. Berarti kan kalau kayak
gini dia gak ngeliat itu dong? Ya kan, tadi gak ada
prinsip itu, dan ini bisa jadi teraplikasi di hal-hal lain, bukan cuman urusan
"duit" lah ya, kayak itu mungkin sesuatu yang
dangkal, atau remeh, tapi ya bisa jadi itu,
misalnya gejala dari sesuatu yang lebih besar. Nah justru itu harus
diomongin berarti, gitu. Nah kalau gue sama
temen-temen gue tipe yang kita bisa mikir nih, "Oh, untuk nyampein ini ke dia," "gak pas nih kalau gue yang
ngomong, lebih tepat dia" Ya kita bisa kayak janjian gitu. "Lu aja yang kasih
masukan", gitu. Tapi kita yang emang
ngebahas kayak, ini kayaknya perlu di perbaiki ini. Mereka juga mungkin
gitu, misalnya ke gue "Eh Cania, kayaknya
kurang disini-sini" nanti yang ngomong
ke gue bakal yang tepat. Gitu, si ini nih yang pas buat ngomong itu
ke gue, kayak gitu. - Pemberi pesan penting ya.
Balik lagi, A-2 ya, gue dulu
juga tipe yang kayak Pesan lebih dari pemberi
pesan, gitu kan, dimana-mana kayak gue dateng ke suatu acara dimanapun yang gue mau gitu kan, kayak gue mau pake baju apa kek, - rambut gue - Bagaimana kek, dengan oranye terang terang gak jelas gitu kan gue ngerasa ya pesan lebih dari pemberi
pesan dong, gitu kan. Nah itulah seseorang yang gak punya empati. Gue cuman liat dari sudut
pandang gue sendiri, gitu. Iya, padahal kalau gue liat
dari sudut pandang orang, ya gak dong kan, orang
ngeliatnya gimana coba? Ketika ini, ya gimana gue mau
menganggap lu secara serius? rambut lu aja absurd
gitu, misalnya kan ya. Bukan berarti solusinya adalah "Oh berarti kebebasan ekspresi
orang harus ditutup dong?" Bukan gitu. Kebebasan ekspresi
itu kita bicara secara hukum, secara
kebijakan, gak apa-apa. Kayak misalnya orang
dibebasin, gak ada tuh pidana rambut oranye gitu, ya gak ada. Cuman kan ini kita bicara
soal sopan santun sosial, dan lu kan punya tujuan disitu, ketika lu ngomong, lu punya tujuan mau
didengerin, gini gini. Ya lu mesti empati
dengan pendengarnya, untuk dia bisa dengerin lu gimana nih baju yang masuk ke mereka, rambutnya, kalau ini mengganggu
gak ke mereka? Gini gini. Kan itu kan empati. Itulah empati, gitu. Lu punya tujuan, ya lu pikirin yang
tepat gimana gitu, atau langsung
tadi, ke temen gitu. Ya lu maunya dia berubah, ya lu harus pikirin nih,
strateginya yang pas buat dia apa. Gak bisa cuman asal aja semau gue sendiri gitu, kayak "Ya gue pokoknya gini
gini, perasaan gue gini gini," "udah gue ngomong,
perasaan gue yang sah" Ya iya, perasaan lu yang sah, tidak membuat sekonyong-konyong,
tujuan lu langsung tercapai gitu loh, dengan lu
nyampain perasaan lu gitu kan. Kan gak gini, justru lu harus evaluasi lagi. Ok, ya perasaan gue sah. Tapi kalau gue nyampein
ke dia efeknya apa? Hasilnya gimana? Bener gak bahwa
dia akan ngerti gue terus berubah, atau
justru sebaliknya malah makin parah misalnya. Itulah berbagai hal yang mesti dipikirin dalam A-1
A-2 itu poinnya itu. Ini yang nonton lagi
ketusuk-tusuk nih jleb jleb jleb, oh iya ya karena gue ngerasa
hal seperti itu juga. Tapi kalau punya 30 temen ada kemungkinan lu mesti harus dan lu emang serius
sama temen lu ini lu mesti punya cara ke
30 orang ini berbeda-beda gitu ya.
Ya, gue juga cukup berinvestasi dalam pertemanan sekarang ya, kalau gue yang dulu, gak. Gue yang dulu, bahkan
mungkin bisa dibilang mungkin gue gak punya
temen kali ya, maksudnya gue gak punya suatu
hubungan mungkin bahkan lebih ekstrimnya lagi. Karena itu tadi, gue gak bener-bener apa ya, hadirlah gitu, disitu. Ya otomatis umur
kita segini kan juga pertemanan makin
kecil juga gitu, - Kalau gue justru pertemanan makin besar.
disaringlah, makin banyak? Justru gue dulu gak punya temen. Berhasil, A-1 A-2 nya berhasil. Justru temen lebih banyak, dan ya itu tadi, lebih terpenuhi sih. Atau gue ketuaan, ok. Jadi gue belum nyampe fasenya? Jadi dengan gue
lebih memahami itu, juga lebih terpenuhi
buat guenya ternyata, gitu. Ini bukan pertanyaan
terakhir dari gue, gue cuman mau, sedikit
yang gue pelajari dari sini. Pertama, temen-temen harus
nonton atau dengerin dulu episode yang ada Sabdanya. Karena sangat sering
disebut dalam episode ini, dan kita ada dalam
versi podcastnya waktu itu kenapa dia ngobrol tentang belajar, hilangkan
pelajaran, belajar kembali. Iya dia ngobrol itu semua, dan banyak banget
nyambungnya kesini, Ini kasusnya
langsung nih, Cania. dan bikin gue penasaran, pengen banget nih gue
ajak berdua ngobrol di podcast gue yang
tentang hubungan, kayaknya seru banget. Boleh boleh. Gue juga banyak belajar gue seneng banget
dari podcast ini banyak contoh tentang belajar empati dari film juga. Kita nyebut beberapa, Dari "The West Wing", sampai - "Friends" - "One Piece". karena itu cara
belajar gue gitu, Jadi kalau misalnya
mau berempati ke gue dan mau ngobrol, mestinya kasih contoh film gitu. "Oh, nonton film yang ini deh" ok gue coba nonton gitu, misalnya, hal-hal seperti itu. Gue gak begitu bisa baca buku misalnya, nah lalu gak betah,
lama, segala macem, jadi gue harus belajar dari dokumentari, satu film gitu. Gak apa-apa, itukan
masalah perbedaan cara belajar, segala macem. Jadi berempati ini banyak banget bisa
dipelajari kalau lu caranya adalah film ya mungkin bisa dicocok-cocokin
sama film itu dan dilihat dari segi-segi yang berbeda yang
udah diomongin sama Cania disini, gitu. Gue sih itu aja sih, jadi lebih mudah buat gue untuk untuk belajar, gue pulang nonton "The West Wing" lagi, untuk "Oh iya ya, ternyata
itu film PR, bukan politik" - Iya coba deh, perhatiin
hal-hal seperti itu. strategi-strateginya C.J. Bener bener, udah
lama banget itu asli. Gimana kalau lu Rub? Menurut gue kita bisa bungkus episode ini menurut gue banyak
banget yang kita bisa bawa pulang ya temen-temen ya. Praktek-praktek kasarnya
juga banyak banget, dan dengan cara yang menurut gue pastinya gak langsung serta merta bisa kita berubah atau
kita menyesuaikan tapi setidaknya kalian waktu dengerin udah memulai
sesuatu yang baru. Gue sendiri mulai
belajar dari 2018, dan sampai hari
ini masih belajar. Jadi, ya masih melakukan
kesalahan, masih mengoreksi dan
seterusnya, tapi yang penting ya mulai dari
kesadaran dulu kan. Ya udah yang penting
kita udah sadar, bahwa ada orang-orang
di dunia ini, dan akan selalu lebih baik untuk mengerti satu
sama lain, dibanding mengabaikannya sih. Dan kita berterima
kasih untuk itu, - Terima kasih Cania untuk
waktunya, - Terima kasih Ruby dan Ario. Terima kasih udah undang kesini. Udah berbagi-bagi juga, kalau temen-temen dapet
sesuatu di episode ini, jangan ragu untuk ramein, karena menurut gue konten berkualitas tidak akan bergerak jauh kalau gak ada temen-temen yang
juga bantu untuk suarakan, sekalian ngebantu
misinya dia nih. Karena 15M aja mau dipake, buat SIM gitu ya. Jadi, mari saling membantu, ya kan, bisa tandai Cania di - Instagram boleh.
Instagram, tulisannya @caniacitta ya, atau gue, @fellexandro dan - Ario di - @sheggario. @sheggario. Sampai jumpa di
Lunch selanjutnya. Terima kasih. ♫♫♫