Intro Saya akan membacakan sebuah buku yang berjudul Filosofi Teras Penulis Henry Manampiring 1. Survei Khawatir Nasional Di bulan November 2017 Saat saya sedang mempelajari Filosofi Teras Saya terpikir untuk mencari tahu apakah orang-orang lain juga merasa khawatir mengenai hidupnya melalui riset. Saya kemudian membuat survei khawatir nasional secara daring atau online. Survei khawatir nasional dilakukan selama seminggu dengan rentang waktu tanggal 11-18 November 2017. Jumlah responden sebanyak 3.634 responden, dengan komposisi responden 70% perempuan.
Sebagai catatan metodologi, karena survei ini dilakukan secara daring atau online, dan disebarkan secara organik suka rela di media sosial, maka hasilnya tidak bisa dianggap mewakili keseluruhan populasi, karena pemilihan sampel tidak acak atau random. Dalam bahasa awam, hasil dari survei ini hanya mewakili responden survei ini saja, dan tidak bisa serta-merta dianggap mewakili populasi umum. Survei ini menanyakan tingkat kekhawatiran responden terhadap kehidupan secara umum dan beberapa aspek hidup yang umum bagi generasi milenial, yaitu mereka yang dilahirkan antara tahun 1980 sampai 2000. Ini artinya, di tahun 2020, penduduk milenial tertua berusia 40 tahun, sudah ada yang menikah dan menjadi orang tua, dan termuda berusia 20 tahun.
usia kuliah atau bekerja. Karenanya, survei khawatir nasional ini juga menanyakan tingkat kekhawatiran di beberapa aspek hidup yang dirasa relevan, yaitu sekolah atau studi, relationship, pekerjaan atau bisnis, sampai topik yang lebih besar, seperti kondisi sosial politik di Indonesia. Pertanyaan mengenai rasa khawatir selalu menggunakan skala 4 poin, yaitu sangat tidak khawatir, Tidak khawatir, sedikit khawatir, sangat khawatir.
Skala ganjil dihindari untuk menghindari kebiasaan banyak orang memilih tengah-tengah saja. Bagaimana hasilnya? A. 63% ketika ditanyakan mengenai tingkat kekhawatiran tentang hidup secara keseluruhan saat ini, hasilnya adalah 63%.
Hampir 2 dari 3 responden. Mengaku merasa lumayan khawatir atau sangat khawatir tentang hidup secara umum. B. 53% dari responden yang masih bersekolah atau kuliah, separuh lebih merasa khawatir dengan pendidikan mereka.
Tiga penyebab kekhawatiran tertinggi adalah tugas atau paper yang tidak lancar, hilangnya motivasi belajar, dan nilai jelek atau tidak lulus. Masalah biaya ada di urutan keempat, dipilih oleh seperempat dari mereka yang khawatir mengenai pendidikan mereka. C.
30% untuk responden yang berada di dalam relationship, pacaran atau menikah, mereka yang mengaku agak khawatir dan sangat khawatir mengenai hubungan mereka ternyata minoritas dengan presentase 30%. Ini artinya, mereka yang tidak khawatir mengenai relationship, Pacaran atau pernikahan lebih banyak dari yang merasa khawatir. D. Bagi mereka yang merasa khawatir soal relationship mereka, tiga kekhawatiran utama adalah 1. Relationship mau dibawa kemana?
Apakah yang jomblo merasa lebih khawatir soal status jomblo mereka? Ternyata tidak. Tingkat kekhawatiran kaum jomblo mengenai kejombloan mereka ternyata sama dengan kekhawatiran mereka yang sudah berpasangan mengenai hubungan mereka, yaitu sekitar 30% dari responden.
Artinya, memiliki pasangan tidak membuat kekhawatiran kamu lebih berkurang dibandingkan dengan saat kamu jomblo. Good news, bagi kamu tuna asmara atau jomblo. F, di antara mereka yang mengaku agak atau sangat khawatir soal status jomblo mereka, tiga kekhawatiran utamanya adalah 1. Khawatir tidak akan pernah menemukan kamu.
Dapatkan pasangan 2. Khawatir dengan umur 3. Khawatir tidak menarik lagi Karena penasaran dan kepo, saya menanyakan kepada para jomblo yang tidak khawatir soal relationship mengenai alasan mereka tidak khawatir. Hasilnya, tiga alasan tertinggi mereka tidak khawatir dengan kejombloannya adalah 1. Memang sedang senang sendiri 2. Jodoh di tangan Tuhan, dipilih separuh dari mereka yang tidak khawatir 3. Sedang terlalu sibuk di kehidupannya untuk punya waktu memikirkan pasangan G. Bagi mereka yang memiliki pekerjaan atau bisnis, kekhawatiran terhadap pekerjaan atau bisnis dialami oleh sekitar 1 per 3 responden, 33 persen.
Kekhawatiran terbesar mengenai pekerjaan atau bisnis adalah 1. Stuck di karir sekarang 2. Gaji tidak mencukupi 3. Khawatir performa di kantor tidak memuaskan 4. H Mengenai aspek keuangan, separuh lebih responden 53% mengaku khawatir atau stres soal kondisi keuangan mereka. Bayangkan, satu dari dua responden khawatir soal ini. I.
Kekhawatiran sebagai orang tua. Menjadi orang tua adalah hal yang dinantikan oleh banyak orang. Tetapi siapa sangka, menjadi orang tua ternyata bisa menjadi sumber kekhawatiran lo.
Separuh lebih responden orang tua, 53% mengaku merasa khawatir, sama dengan proposi mereka yang khawatir soal uang. Apa saja yang dikhawatirkan saat menjadi orang tua? 1. Biaya sekolah anak Opsi ini dipilih oleh lebih dari separuh responden orang tua yang merasa khawatir.
Bagi yang akan menikah dan menjadi orang tua, apakah sudah memikirkan ini? Memiliki anak memang sumber kebahagiaan yang besar. Tetapi, jika kita tidak siap dengan biaya pendidikannya ke depan, hal ini malah bisa menjadi sumber kekhawatiran.
J. Mengenai sosial politik Kondisi sosial politik ternyata menjadi sumber kekhawatiran terbesar dengan 76% atau 3 dari 4 responden merasa agak atau sangat khawatir mengenai ini. Berikut 3 kekhawatiran tertinggi mengenai kondisi sosial politik.
The Cause of Worrying Berdasarkan survei khawatir nasional, ada lebih banyak orang yang merasa khawatir di dalam hidup ini, dengan 2 dari 3 orang merasa khawatir secara umum. Aspek hidup yang berbeda memiliki tingkat kekhawatiran yang berbeda pula. Relationship ternyata relatif tidak menjadi sumber kekhawatiran tertinggi, sementara peran menjadi orang tua dan keuangan cukup menjadi kekhawatiran.
Di luar kepribadian, hidup, kondisi sosial politik Indonesia juga sesuatu yang sangat dikhawatirkan. So what? Mungkin kamu berpikir, tidakkah kekhawatiran akan hidup itu normal? Untuk apa dipusingkan atau dikhawatirkan? Khawatir tentang khawatir?
Menurut saya, kekhawatiran adalah sesuatu yang bisa dan seharusnya dikurangi. Karena menimbulkan banyak biaya, apa saja biaya dari kekhawatiran? 1. Menghabiskan energi pikiran.
Berpikir, termasuk di dalamnya merasa khawatir berlebihan, adalah aktivitas yang membutuhkan energi. Artinya, setiap kalori energi tubuh yang dipakai untuk khawatir adalah kalori yang tidak bisa digunakan untuk hal-hal lain yang lebih produktif. 2. Menghabiskan waktu dan juga uang. Saat kita khawatir soal studi, orang tua kekuatangan dan sosial politik negara tanpa menghasilkan solusi, kita sudah membuang waktu yang sebenarnya bisa digunakan untuk hal-hal lain yang lebih berguna.
Tidak hanya waktu, kita juga harus menghabiskan waktu. Tuh, kekhawatiran juga bisa menghabiskan uang apabila rasa khawatir tersebut membuat kita mengeluarkan uang untuk hal-hal yang dianggap menenangkan pikiran, padahal tidak efektif. Misalnya, sebagian orang yang merasa khawatir biasanya menjadikan makanan sebagai pelipur lara, berkelakuan menyebalkan di depan keluarga dan teman-teman sekitar, atau memutuskan untuk kawin lagi, dan lain sebagainya.
Masalah khawatir bukanlah masalah di pikiran saja. Sederhananya, apakah itu pengobatan psikosomatik? Di ilmu pengobatan psikosomatik, dijelaskan bahwa apa yang terjadi di otak kita bisa mempengaruhi badan secara keseluruhan. Maka, tidak heran ada orang stres mengalami tegang leher, kalau sakit kepala, bisa ngabunian mengalami sakit lambung juga, karena ada interconnection keterkaitan.
Kita sebagai psikiater nggak cuma bilang. Kamu ini sakit kepala karena banyak mikir. Betul, saya lagi mikirin utang sampai jadi sakit kepala.
Akan tetapi pertanyaannya, kenapa jadi sakit kepala? Karena dengan mikirin utang, otak saya bekerja lebih keras. Stres karena utang itu berprepepsinya negatif. Ketika ada persepsi negatif, otak harus bekerja keras untuk beradaptasi dengan persepsi negatif itu.
Otak kita selalu berusaha agar segala sesuatu menjadi seimbang. Ketika ada persepsi negatif, otak itu akan mencoba beradaptasi. Jadi, bagaimana stres bisa merusak kesehatan tubuh kita?
Ada quote dari Hans Selye. Bukan stres yang membunuh kita, tetapi reaksi kita terhadapnya. Karena sebenarnya masalahnya bukan di stres itu sendiri.
melainkan persepsi kita. Misalnya, duh jalanan macet nih, atau utang gue banyak. Itulah yang menyebabkan badan mengeluarkan zat. Pertama, respon adrenalin meningkat, adrenalin meningkatkan tekanan darah, karena jantung menjadi makin berdebar, pembuluh darah menyempit, dan karenanya kepala kita menjadi tegang.
Dalam jangka panjang, kondisi seperti ini akan meningkatkan hormon stres, namanya kortisol. Kortisol adalah zat yang sifatnya oksidatif, merusak ataupun di dalam tubuh kita. Jika dia menempel di pankreas, dia meningkatkan insulin.
Makanya, ada orang yang kalau stres bawaannya mau makan, badannya memanggil-manggil karena berpikir dia sedang membutuhkan energi. Jika stresnya akut atau sementara, reaksi tubuh juga sementara. Namun, jika stresnya lama, reaksi tubuh juga lama. Makanya, saya suka bilang kepada pasien, jangan stres lama-lama, nanti adaptitasinya berubah.
Nanti Anda tidak tahu lagi bahwa Anda sedang stres, karena sudah terbiasa hidup dalam stres. Jika kita stres kelamaan, Badan akan merespon dengan hal-hal yang kita tidak tahu sebagai bagian dari stres. Contohnya penyakit dispepsia atau gangguan lambung. In the long run, bisa muncul gangguan jantung, hipertensi, dan diabetes.
Adakah perbedaan antara takut, stres, khawatir atau cemas, dan depresi? Kalau takut, kita tahu sumbernya. Misalnya takut setan atau takut ujian.
Kalau cemas, berdasarkan definisinya, nggak jelas penyebabnya. Pokoknya, merasa cemas saja. Karenanya, ada diagnosis gangguan cemas menyeluruh, yaitu orang yang suka khawatir berlebihan. Terhadap segala sesuatu di dalam hidupnya, khususnya terhadap orang-orang yang dicintai.
Hai Hai gangguan cemas itu tidak muncul tiba-tiba seperti disurvey khawatir itu di satu sisi saya merasa ini opportunity kesempatan sehingga saya bilang kepada kowas-kowas koasisten saya kamu jadi psikiater deh dibutuhkan banget karena banyak orang yang khawatir apalagi dengan ketidakpastian sekarang Orang menjadi cemas karena dia tidak bisa mengendalikan hidup di situasi ketidakpastian. Kalau stres artinya tekanan, ada sesuatu yang mengganggu keseimbangan di hidup kita. Ada stres fisik, stres psikis, kalau olahraga sampai kecapean itu stres fisik.
Kalau stres mental, saya merasa ex-haunted, kelelahan, adalah sumber stresnya. Jika stres meningkat terus, pada kondisi orang sudah tidak tahu stresnya datang dari mana, artinya dia sudah masuk fase cemas. Makin jauh lagi, jika cemasnya dibiarkan, bisa menjadi depresi. Banyak orang yang awalnya cemas biasa saja, merasa khawatir akan kehidupan, kemudian tidak mendapat solusi dan dia menjadi depresi. Tidak ada solusi, jadi hopeless, lalu jadi depresi.
Ada dua gejala penting depresi. Pertama adalah mood yang sedih, lalu kedua adalah putus asa. Tidak ada harapan, hidup kok begini-begini aja.
Kita harus hati-hati dengan teman-teman yang berkata, hidup gue kok begini-begini aja. Jangan-jangan dia sudah mengalami gejala awal depresi. Karena apa yang terucap oleh seseorang bisa memang menjadi refleks dari hidup dia.
Depresi dan cemas tidak berbeda jauh. Dan secara organ otak juga sama. Karenanya, obatnya pun sama. Depresi mendapat obat antidepresan.
Cemas panik dikasih antidepresan juga. Apakah gangguan tubuh karena pikiran hanya terjadi saat sudah pasrah saja? Atau bahkan cemas sehari-hari saja sudah bisa bermanifestasi fisik? Cemas sehari-hari pun sudah bisa memengaruhi fisik. Contohnya saat mau presentasi, kita bolak-balik ke kamar mandi.
Penjelasannya adalah, saat kita stres, atau tubuh kita memersepsikan adanya stres, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom, saraf yang bertanggung jawab atas organ-organ yang berfungsi sendiri tanpa perintah, seperti jantung, paru, kandung gemih, makanya jadi pengen pipis. Asthma bronchial, misalnya asthma yang dipincu stres. Ketika orang stres, kondisi itu merangsang reaksi alergi imunologi. Maka timbulah asthmanya.
Gangguan cemas tidak datang tiba-tiba. Biasanya pasien datang ke saya sesudah berkeliling ke beberapa dokter, seperti dokter penyakit dalam, dokter jantung, dokter syaraf, atau dokter THT, karena gejalannya seperti vertigo. Tetapi kemudian dinyatakan tidak apa-apa. Tidak ada organ yang rusak. Kata saya, makronya memang tidak.
Artinya jantungnya masih bagus. Namun bayangkan, jantung berdetak 95 kali per menit dibandingkan 65 kali per menit lebih berat mana bebannya. Bisakah saya artikan bahwa pesannya di sini adalah? Jangan anggap remeh khawatir atau cemas, kecil yang terjadi sehari-hari. Secara umum, kita memiliki kemampuan adaptasi.
Bayangkan stres-stres hold sebagai gelas, lalu kita isi sedikit-sedikit dengan stres. Kita harus cari tahu cara supaya gelas itu tidak terlalu penuh, dikeluarkan sedikit-sedikit. Caranya macam-macam, misalnya dengan berbicara, kadang-kadang kita feeling relief, lega hanya dengan berbicara kepada orang atau rekreasi. Mengapa saya katakan persepsi itu penting? Contoh, liburan itu melebih melelahkan dibandingkan praktik atau kerja.
Jalan kesana-sini, tetapi rasanya senang karena kita berkumpul bersama keluarga. Makanya, ada yang bilang, coba ganti suasana biar gak stres. Karena sekarang lagi trennya ke CBT, Cognitive Behavioral Therapy, maka yang paling penting itu perception.
Ada juga alternatif membohongi pikiran untuk sementara waktu dengan zat. Misalnya dengan alkohol, menekan kesadaran sehingga lupa sementara. Namun, besoknya menjauhkan.
Kalau narkoba bekerja dengan mengelabui otak, seperti sabu, yang meningkatkan dopamin dan serotonin, sehingga seseorang happy berlebihan. Setiap kita pakai sabu, di otak kita sebenarnya seperti ada luka atau rusak permanen yang tidak hilang selama 10 tahun. Depression Heart Depresi itu melukai, melukai otak, tetapi juga bisa diartikan melukai orang-orang di sekitar penderita, karena penderita memandang segala sesuatu gelap.
Apakah artinya manajemen cemas sehari-hari sama dengan manajemen persepsi? Benar, misalnya terjebak di tengah macet, wah sialan, gue gak bisa jalan, itu persepsi negatifnya. Namun, persepsi positifnya, wah terjebak macet di jalan di sebelah cewek cakep, istri, gue bisa ngobrol lama-lama sama dia.
Sama macetnya, tapi beda cara bersikapnya. Mengapa? Karena beda persepsi dan jadinya less stress bagi kita.
Benarkah bahwa saat ini lebih banyak orang muda yang berkonsultasi pada psikiater? Yang saya amati memang seperti itu. Penyebabnya beberapa mereka semakin well informed mengenai kesehatan jiwa. Awalnya adalah para sarjana yang sebelumnya kuliah di luar negeri, yang kemudian kembali ke Indonesia untuk menetap. Masalah timbul karena penyesuaian.
Mulanya, pas kuliah di luar negeri, mereka mengalami kultur shock. Sesudah lama di sana dan menyesuaikan diri dengan budaya di sana. Saat kembali ke Indonesia, mereka mengalami kembali kultur shock. Belakangan, makin banyak yang datang karena isu relationship baper, galau, itu kan bahasa awamnya. Tetapi dalam bahasa kedokteran, ada beberapa perilaku baper atau galau yang sudah masuk sindrom depresi.
Ketika dia kehilangan seseorang yang sangat dia sayangi, dia merasa terganggu. Diagnosis klinisnya mungkin yang disebut depresi ringan. Tidak sampai gejala ingin bunuh diri.
Kalau pasiennya anak muda, saya lebih sering mendengar masalah relationship dengan teman-teman dan orang tua. Dengan teman sebaya, umumnya masalahnya dengan teman dekat, best friend mereka atau hubungan dengan kolega di pekerjaan. Lewat ilmu kedokteran jiwa, kami tahu kalau sebenarnya yang bermasalah bukan temannya, kerjaannya, atau lingkungannya, tetapi dia, pasien, jadi ujung-ujungnya dia. Sekarang kita bicara konteks lebih besar. Tahun pilkada dan pilpres akan memanas.
Ada efeknya pada tingkat kecemasan individu? Mungkin kita harus membatasi punya WhatsApp group. Saya percaya, too much information will kill you.
Terlalu banyak informasi dari mana-mana, informasi itu belum tentu benar. Tapi kan itu hanya informasi doang, kata orang. Saya percaya kalau karakter kita pada dasarnya sudah negatif.
Lalu, misalnya kita sedang terses dengan kehidupan pribadi kita. Kemudian kita membaca berita yang jelek, efeknya akan berbeda dengan jika kita membaca berita tersebut saat sedang normal. Adakah pesan-pesan untuk pembaca? Coba kenali sumber stresnya.
Kalau kita merasa sedang berada dalam sebuah keadaan, kenali kenapa. Kalau kita bisa mengenali sumbernya, kita bisa melawannya. Catat hal-hal dalam hidup yang bisa atau pernah membuat kita bahagia. Misalnya olahraga, ngobrol, punya teman. Lalu, lakukan aktivitas yang membahagiakan.
Intisari wawancara dengan Dr. Andri Yang pertama, kondisi psikis berkaitan dengan kesehatan tubuh kita Kedua, jika dalam keseharian kita terbiasa hidup dengan cemas dan stres untuk jangka waktu panjang, tubuh kita akan berubah tubuh juga beradaptasi dalam rentang waktu tertentu. Yang ketiga, bukan situasi penyebab stresnya yang menjadi masalah, tetapi persepsi kita akan situasi tersebut. Manajemen cemas sama dengan manajemen persepsi. Yang terakhir, dengan media sosial, kita mengalami banjir informasi yang belum tentu benar. Ini bisa menambah kekhawatiran.
Terima kasih dan bersambung ke bab 2.