Ini adalah pembunuh faham. Kan untuk ke daerah terpecah seperti ini, di daerah-daerah protokol juga, guru-guru PNS itu kurang. Jadi ya, kasihan ke anak-anak sih.
Terima kasih telah menonton! Iiih, kuat dong. Namanya Bu Ade Irma, usianya 30 tahun. 11 tahun sudah ia menjadi guru untuk anak-anak di kampung kami, sebagai tenaga honorer.
Sempat 4 tahun ia menetap di kampung kami, namun pindah karena ikuti suami. Tapi, ia tetap pilih mengajar di sekolah kami, meski harus pulang pergi 12 km setiap hari. Padahal ini akses satu-satunya yang menghubungkan dua kampung, Cilampahan dan Kiara Lawang.
Namun sekian tahun tetap tak ada perbaikan. Pertama-tama semangat buat anak-anak, kasihan. Kalau kita nggak datang gimana, kadang-kadang kalau misalnya sakit sedikit juga berpikir dua kali, kasihan ya anak-anak, nggak ada yang ngurus.
Kan kalau nggak ada ngurus satu orang kan jadi banyak kan yang korbannya. Bapak, ya biasa, apa-apa. Intro Rarimbunan pohon karat menjadi tirai cerita kampung kami bermula. Kampung Cilampahan, Desa Sumberjaya, Kejamatan Tegal Bulet, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dari pusat Kabupaten Sukabumi dapat menempuh waktu hingga 4 jam untuk kesini.
Soal perkembangan, jelas jauh berbeda. Hanya segelintir yang mau mengabdi demi mengawal kemajuan kampung kami. Sebagian warga bekerja di perkebunan karet milik perusahaan. Tapi, kebanyakan berprofesi sebagai petani dan pembuat gula merah. Alhamdulillah, 1-2 juta rupiah bisa kami dapatkan per bulannya.
Namun cemas menyelimutiku karena pendidikan tinggi belum jadi orientasi warga. Aku Eka Puspitasari, usiaku 26 tahun. ...nya Ma'uwa Triangu Praharja.
Panggil saja awak, usianya masih 3 tahun. Kami akan berangkat ke sekolah, tak jauh dari rumah. Sejak usia 2 bulan, awak selalu kebawa mengajar di SD Negeri Sukasari, karena tak ada yang mengasuhnya. Ribet pasti sih ribet, malah kan apalagi ngajarnya kan kelas 1. Kan anak-anak kelas 1 kan masih kanak-kanak banget, jadi kekulupan, rewel. Ada 76 siswa kami di sini.
Sama dengan Bu Ade, aku pun tenaga honorer. Sudah 6 tahun aku mengajar. Siswa-siswa kami jarang bertemu orang tua mereka. Saat berangkat dan pulang sekolah, orang tua sedang menyadap pohon kelapa.
Alhasil banyak siswa yang belum bisa membaca karena tak ada yang membimbing di rumah. Memang hanya lulusan SMA, karena itulah baru sedikit yang ku bisa. Tapi, aku pernah dengar pepatah, tak akan hilang ilmu yang diamalkan.
Justru akan semakin berkembang. Sedangkan Bu Ade, ia lulusan Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Dulu kan saya sekolahnya di Cianjur.
Karena kekurangan guru, ya dari dulu memang enggak ada yang suka guru, saya diajak honor, honornya dari sini gitu, masuk jadi honor. Ia pernah dua kali ikut tes calon pegawai negeri, tapi selalu gagal. Hingga kini, Bu Ade masih mengajar di kelas 3. Honor kami setiap bulan sama, 300 ribu rupiah.
Sebagai sarjana, awalnya Bu Ade masih mendapatkan tunjangan guru daerah terpencil. Namun sejak Sukabumi melepaskan status sebagai daerah terpencil pada Januari lalu, tunjangan itu pun hilang. Kalau mengenai kita penyediaan tenaga honorer, itu hanya kesanggupan sekolah untuk membayar honornya.
Dan kalau misalkan sekolah SD Sukasari... Menambah lagi tenaga honorer, jembahnya kepada pembayaran, jadi beban. Tapi apa daya, hanya ada satu guru PNS dengan tiga guru bantu.
Apapun itu, sebagai guru tugas kami hanya satu, menularkan kebaikan lewat ilmu. Kalau kita jam 6 berangka ke sini, kalau guru suka terlambat gitu. Ya, makasih.
Alhamdulillah. Buat apa sekolah tinggi kalau hasilnya di dapur juga? Ungkapan ini sering kali sampai telinga. Tak jarang banyak siswaku yang akhirnya menikah muda. Rispi misalnya, usianya masih 17 tahun.
Ia adalah salah satu siswa terbaikku dulu. Selepas SMP, ia memutuskan lanjut ke pesantren. Nikah pun jadi pilihan.
Anak didiku yang melanjutkan ke SMA bisa dihitu dengan jari. Ah, ini masih jadi pekerjaan rumah kami. Menanamkan bibit semangat bersekolah tinggi sejak dini. Alhamdulillah, sekitar 5 tahun belakangan jalur KSMP mulai terbuka.
Angka menikah dini pun perlahan bisa ditekan, dari lulusan SD menjadi lulusan SMP. Salah satu SMP terdekat berada di desa Cibitung, kecamatan Cibitung, Kabupaten Sukabumi. Jaraknya sekitar 6 km dengan menyeberang sungai Cikaso. Keberadaan perahu cukup membantu, meski harus mengorbankan uang saku.
Saat kemarau tiba, sungai justru meluang. Karena arus menuju laut tertutup gunungan pasir di muara. Bugel istilahnya. Saat itu terjadi, sekolah pun terpaksa diliburkan.
Musik Setiap pagi, anak-anak selalu sampai duluan. Belum ada guru yang datang. Kalau kita jam 6 berangka ke sini, kalau guru suka terlambat gitu, jam 9. Ya, bentang alam juga menjadi tantangan para guru setiap hari. Jika hujan, mereka pun harus memutar haluan. Tak ada pelajaran.
Beruntung, cuaca hari ini terang benderang. Saya rumah di kecamatan Cibitung memang, desa Cibitung. Masih satu desa dengan sekolah, tetapi akses jalannya sangat rumit, ditempuh.
Apalagi kalau lewat hutan, kalau musim hujan, banyak saya pulang lagi. Karena kalau diteruskan, sering jatuh. Tak lebih beruntung dari sekolahku, SMP pun hanya ditopang 11 guru. 9 diantaranya masih tenaga bantu. Ya, guru ibarat roda.
Terus berputar tanpa jeda hingga mengantar ke gerbang cita-cita siswa. Setidaknya sebulan sekali, Bu Ade menjadi roda-roda kami. Belanja bantuan operasional sekolah atau BOS untuk kebutuhan siswa.
Biasanya satu mata pelajaran minimal, satu buku ya. Kadang-kadang anak suka disatuin. Mau buku matematika, IPA, IPS, mau disatuin. Seperti itu.
Kalau misalnya, apalagi kelas 1, bu pensilnya hilang. Kita gak sih seperti itu. Kan kalau anak kelas 1, kalau hilang nangis. Tulis bagi siswa-siswa kami, bak barang langka. Tidinya berarti harus benerobos jalur perkebunan.
Jadi mereka kalau mau beli buku tulis, ke daerah sini, ke Suradeh, kalau enggak ke Chinagen, mencapai 2 jam. Bagi kami tak ada upah yang senilai semangat siswa. Ada penat yang sebanding tawa mereka. Bu Ade, aku maupun guru lainnya kami punya tanggung jawab berbeda. Sekalian mengajak awak jalan sore, biasanya aku sempatkan menyambangi orang tua siswa.
Hari ini ke rumah Angga, siswaku di kelas 6. Hari ini, saya akan berumur berapa? Mungkin saya akan berumur berapa, menurut saya. Biasanya, saya belajar. Rajin gitu, ada damel-damel gitu, gitu, gitu, gitu.
Oh, sup deh kan, nggak bantuinnya gitu. Sup-sup-sup-sup-supu. Oh, rajin aja nih, Angga. Tak lama lagi, Angga menghadapi ujian kelulusan. Para guru khawatir karena semangat belajarnya menurun di kelas.
Kalau kelas ini kan menghadapi ujian, tuh ya. Ujian itu kan nggak dibantu, salah guru. Jadi takutnya dia nggak bisa memakai. Nggak bisa ujian aja, jadi nggak bisa ngejari ujian. Hitung nah susah, anggatnya jadi males weh, gitu belajar deh.
Jadi ngeblank, tengarti. Tengarti weh ya sama sekali. Kasah hawe, badai kaibu, badai kabu ade, naras na nama.
Nye, entong diem. Komo macan antas lancarnya bagus. memaksa mereka menjadi yang kami mau. Mau jadi apapun, tak masalah.
Yang penting, profesi halal dan membawa bekal ilmu pengetahuan. Berpendidikan dari cara bicaranya juga sudah kelihatan, cara berpenampilannya sehari-hari, kadang cara merawat di rumah, cara merawat suami atau anak. Musim ini, hama makin banyak menyerang sawahku.
Alamat padi yang dihasilkan akan jauh dari harapan. Eee, dibuat makan sendiri. Sekarang kan, tuh, lagi banyak sama tuh. Jadi kadang-kadang panennya ada yang gagal. Kalau misalkan nggak banyak sama kayak ini, satu ton lebih dapat kehasilannya setiap kali panen.
Sawah ini pemberian dari bapakku. Saat senggang, ku garap berdua dengan suamiku. Suamiku dulunya juga guru honorer.
Setelah menikah, dia pun bekerja di swasta. Tongkat estafet mengajar lalu berpindah ke tanganku. Cita-citanya sih tadinya pengen jadi seorang bidan ya.
Cita-citanya asalnya pengen jadi bidan. Kan di sini belum ada bidan, guru juga masih dari luar. Di antara kerabat usia kami menikah tergolong telat.
Padahal saat itu usiaku masih 21 tahun, sementara suamiku 22 tahun. Nah tadinya kan setelah SMA mau melanjutkan kuliah, eh, walau... Walaupun karena faktor ekonomi sih, saya melihatnya orang tua saya mungkin sudah lelah atau kecapean.
Jadi saya mikirnya berhenti aja dulu gitu. Jadi ditunda ternyata nikah. Alhamdulillah saat semangat lagi jatuh, dialah yang selalu menghidupkan harapanku. Intro Guruku dulu pernah berkata, Ibu yang cerdas akan melahirkan generasi yang cerdas pula.
Ini yang selalu menjadi pedomanku. Wanita yang berpendidikan dari cara bicaranya juga udah kelihatan, cara berpenampilannya sehari-hari, kadang cara merawat di rumah, cara merawat suami atau anak keluarga aja, termasuk sikap ke orang tua juga kayak gimana kan, namanya juga kan pasti dididik. Aku ingat pesan Ibu Kartini.
Dalam pangkuan Ibu, seorang anak belajar merasa, berpikir, dan berbicara. Bagaimana Ibu bisa mendidik jika tak berpendidikan? Karena kami tumbuh dan besar di lumbung padi negeri ini. Tanaman menjadi sahabat sehari-hari.
Pendidikan seiring sejalan dengan tumbuh kembang budaya. Karena itulah, apa yang kami tularkan tak akan mengubah siapa diri mereka. Hai soal kan disini wilayah perkampungan jadi wilayah pertanian begitu belajar sedikit-sedikit nanti kalau kalau sudah ke keluarga ya udah-udah masyarakat mungkin bisa diresesi kali keluarganya masing-masing karena kalian tahu ini pohon apa apa Bisa kita tanam ya, ini udah banyak.
Kalian tahu apa saja yang biasa digunakan dari serta apa ini? Apa yang bisa kita gunakan? Sebenarnya kami tak lebih pandai dari mereka. Soal menanam pisang dan kelapa, anak-anak lebih terampil dan terlatih. Tugas kami hanyalah menanamkan kebanggaan pada apa yang mereka miliki Ambil, apa namanya?
Airnya, apa namanya airnya itu? Tahan kalau di kita Jemir, tak Ya, itu yang terakhir Dikin gelam merah Penuh, penuh, penuh. Dapat lebih mengetahui tentang cara menanam. Bertanah mampu meleburkan kami, belajar tentang arti bahagia.
Meski hanya dari setan dan pisang, buah dari tunas yang kita tanam sendiri. Mereka lah tunas-tunas muda sesungguhnya. Senyum mereka yang kami rindukan setiap hari.
Pengobat penat saat beban hidup terasa berat. Saya ingin ada satu orang atau bahkan semuanya lah menjadi lebih baik, menjadi sukses dari daerah sini seperti itu. Pengen jadi cerminan anak-anak lah, supaya anak-anak ada, oh ini ibu juga bisa, dari kampung juga bisa gitu, nggak hanya orang kota yang bisa sekolah nih, orang kampung juga harus bisa gitu, anak-anak pengennya sering ngeliatnya gitu.
Status sebagai guru honorer tak membuat kami berkecil hati. Kami hanya orang biasa yang ingin jadi guru luar biasa. Masa depan anak-anak membesarkan keyakinan agar kami tetap tegar di pilihan ini.
Untuk pendidikan, untuk masa depan.