Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk lebih dari 215 juta jiwa, Indonesia berhasil mempraktekan sistem politik demokrasi modern. Demokrasi telah menjadi katup aspirasi bagi ratusan juta warga negara yang berbeda-beda.
untuk hidup berdampingan secara damai. Dalam jangka ke depan, demokrasi juga diharapkan bisa menjadi jalan untuk memujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokratisasi di Indonesia bukanlah sebuah proses yang tiba-tiba.
Pencapaian demokrasi di Indonesia telah melalui proses panjang yang mengiringi jatuh dan bangunan negeri ini. Bahkan, ketika reformasi politik bergulir di negeri ini pada tahun 1998, banyak anggapan bahwa Indonesia akan menjadi negara gagal dan tercabik-cabik oleh konflik internal di antara sesama anak bangsa. Akan tetapi, seluruh pahit getirnya pengalaman di negeri ini ternyata menjadi pupuk penyadaran untuk membangun kematangan demokrasi di negeri ini. Salah satu parameter keberhasilan demokrasi di Indonesia ialah pelaksanaan pemilihan umum yang dilaksanakan secara jujur dan adil. Dalam konteks demokrasi, pemilihan umum merupakan mekanik yang berpengaruh ...organisme politik modern untuk memilih pemimpin berdasarkan keinginan rakyat......dan pergeseran kekuasaan secara damai agar terhindar dari kekerasan berdarah.
Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa Indonesia telah menyelenggarakan beberapa kali pemilihan umum. Pemerintahan Presiden Soekarno hanya sempat menyelenggarakan satu kali pemilihan umum, yaitu pada tahun 1955. Pemerintahan Orde Baru kemudian berhasil menyelenggarakan enam kali pemilihan umum, yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987. 1992 dan 1997. Oleh karena tuntutan reformasi pada tahun 1998, pemilihan umum berikutnya dipercepat pada tahun 1999 dan selanjutnya mulai dilaksanakan secara reguler, yaitu pada tahun 2004 dan 2009. Pasca proklamasi kemerdekaan 1945, negeri ini baru saja tercabik-cabik oleh perang. Stabilitas keamanan belum memungkinkan pemerintah yang baru seumur jagung untuk menyelenggarakan pemilihan umum sebagaimana amanat konstitusi.
Akan tetapi, komitmen untuk menyelenggarakan pemilu sesungguhnya telah muncul dengan dikeluarkannya maklumat ke-10. oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta pada tanggal 3 November 1945. Maklumat ini berisi anjuran untuk membentuk partai-partai politik untuk mengikuti pemilu yang akan diselenggarakan pada awal tahun 1946. Komitmen untuk menyelenggarakan pemilu di awal kemerdekaan ini akhirnya terpaksa menguap. Karena ketidakpastian perangkat sistem pemilu sendiri. Di samping, juga karena energi bangsa sedang tercurah untuk konsolidasi sebagai sebuah negeri yang baru merdeka. Baru pada awal dekade 1950-an, komitmen untuk menyelenggarakan pemilu kembali menguat dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 7 tahun 1953 yang menjadi dasar bagi pelaksanaan pemilihan umum tahun 1955. Dengan demikian, pemilu tahun 1955 merupakan pemilu pertama bagi bangsa Indonesia.
Pemilu 1955 diselenggarakan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante yang akan bertugas untuk membuat konstitusi baru bagi negeri ini. Pada saat itu, digunakan kombinasi sistem distrik dan sistem perwakilan berimbang. Kombinasi kedua sistem ini menisayakan bahwa jumlah anggota DPR dan sistem perwakilan berimbang adalah anggota DPR dan sistem perwakilan berimbang. anggota Badan Perwakilan Rakyat ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk yang sebagian besar dari anggotanya ditetapkan melalui pemilihan dari distrik yang telah ditetapkan.
Pemilu 1955 diikuti oleh 30-an partai politik dan lebih dari 100 daftar kumpulan ataupun perseorangan. Pemilu 1955 ini menghasilkan empat besar partai politik, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI, baik di DPR maupun Dewan Konstituante. Akan tetapi, Dewan Konstituante hasil pemilu 1955 berakhir dengan tragis.
Selama empat tahun bekerja, Mereka tak kunjung menghasilkan konstitusi yang diharapkan. Perbedaan pandangan di antara anggotanya berlangsung sangat tajam dan tidak bisa dikompromikan. Situasi seperti ini dianggap tidak kondusif bagi stabilitas politik.
Atas dasar itulah, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden tanggal 5 Juli 1959. untuk membubarkan Dewan Konstituante dan menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Sejak saat itulah, negeri ini dikelola dengan demokrasi semu yang diistilahkan sebagai demokrasi terpimpin. Di era demokrasi terpimpin, pemilu tak pernah lagi diselenggarakan. Bahkan, wacana tentang presiden seumur hidup mulai didengungkan. Otoritarianisme semakin mewujud ketika Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan membentuk DPR Gotong Royong yang semua anggotanya diangkat oleh Presiden. Akhirnya, rezim ini pun berakhir dengan tragis.
Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui sidang istimewa pada bulan Maret 1967 setelah meluasnya krisis politik, ekonomi, dan sosial pasca meletusnya G30S PKI. Berakhirnya rezim Soekarno, yang biasa disebut sebagai Orde Lama, menandai pergeseran rezim. Setelah krisis politik yang merenggut ratusan ribu jiwa dan menumbangkan kekuasaan Presiden Soekarno, transisi kekuasaan kemudian dimandatkan MPRS kepada Jenderal Soeharto. Transisi ini kemudian berakhir dengan diselenggarakannya pemilihan umum.
pada tahun 1971. Pemilu 1971 bisa dianggap sebagai penanda sejarah munculnya sebuah rezim yang kelak dinamakan Rezim Orde Baru. Dasar pelaksanaan pemilu 1971 ini ialah Undang-Undang No. 15 tahun 1969 dan diikuti oleh 10 partai politik. dengan golongan karya sebagai pemenang. Sistem yang digunakan dalam pemilu 1971 ialah sistem perwakilan berimbang dengan menganut sistem stelsel daftar mengikat.
Artinya, besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD berimbang dengan besarnya dukungan pemilih, karena pemilih memberikan suaranya kepada organisasi peserta pemilu. Atas dasar sistem perwakilan berimbang, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata cukup mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi.
Akan tetapi, kelemahan dari model ini ialah menyebabkan banyak suara partai yang terbuang percuma. Semenjak pemilu 1971, pemerintah Orde Baru semakin menunjukkan potensi otoritarianismenya. Dengan golongan karya sebagai pemenang yang didukung oleh birokrasi dan militer, pemerintah mulai menyederhanakan organisasi peserta pemilu. Melalui Undang-Undang No. 3 tahun 1975, pemerintah menyederhanakan peserta pemilu. Semua partai-partai Islam dilebur, demikian juga halnya partai nasionalis dan non-muslim.
Hasilnya, mulai pemilu 1977, kontestan pemilu hanya diikuti oleh tiga partai, yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Pemungutan suara pada pemilu 1977 Dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977. Sistem yang digunakan pada saat itu ialah sistem proporsional dengan stelsel daftar. Dari sekitar 70 juta pemilih, suara yang sah mencapai 90,93 persen. Dari suara yang sah itu, Golkar kembali meraih kemenangan dengan meraih 62,11 persen.
Namun, perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan pemilu 1971. Pada pemilu 1977, suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di Jakarta dan Aceh. PPP PPP mengalahkan Golkar. Secara nasional, PPP berhasil meraih 99 kursi atau naik 2,17 persen. Peningkatan suara ini tak lepas dari dukungan para tokoh masyumi di berbagai daerah terhadap Partai Islam ini.
PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan. Tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Secara nasional, tambahan kursi bagi PPP hanya 5 kursi.
Sementara itu, perolehan suara PDI pada pemilu 1977 juga merosot, yakni hanya memperoleh 29 kursi. Lima tahun berikutnya, pemilu 1982 dilaksanakan. Pemungutan suara dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pemilu ini merupakan pemilu keempat di negeri ini yang menandakan semakin kuatnya rezim Orde Baru.
Pada pemilu ini, Golkar kembali meraih kemenangan. Perolehan suara Golkar secara nasional meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional, Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi, dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI. Pada saat itu, Golkar berhasil mendapatkan 242 kursi di DPR.
Pada tahun 1987, pemilu kelima di Republik ini diselenggarakan. Pemungutan suara juga dilakukan secara serentak di seantero negeri pada tanggal 23 April 1987. Dari sekitar 93 juta pemilih, suara yang sah mencapai 91,32 persen. Pemilu 1987 ini menandai semakin kuatnya rezim Orde Baru merasuki ranah ideologis semua partai politik. Hasil pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan pemilu pada 1982, sehingga hanya mendapatkan 61 kursi.
Penyebab merosotnya PPP antara lain karena partai ini dipaksa oleh pemerintah untuk mengganti lambang partai dari Ka'bah menjadi bintang agar sesuai dengan lambang sila-sila yang ada dalam Pancasila. Partai ini tidak boleh lagi menggunakan asas Islam, melainkan harus berasaskan Pancasila. Hal ini menyebabkan terjadinya penggembosan oleh tokoh-tokoh partai dari unsur NU, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu, Golkar memperoleh tambahan 57 kursi, sehingga menjadi 299 kursi. Sedangkan PDI berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan, Dari 24 kursi pada pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada pemilu 1987 ini. Pada tahun itu, PDI dianggap mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP-PDI, hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Suparjo Rustam. Memasuki dekade 1990-an, tren politik mulai sedikit berubah, walaupun tidak signifikan. Pemilu 1992 mungkin bisa dijadikan sebagai penanda mulainya pergeseran tren politik tersebut.
Terutama, ketidakpuasan anak-anak muda terhadap fenomena politik yang ada pada saat itu. Hal ini terlihat dari hasil perolehan suara partai-partai politik yang bergeser secara signifikan. Hasil pemungutan suara yang diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 itu menunjukkan bahwa perolehan suara PDI meningkat tajam jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. PDI memperoleh tambahan 16 kursi dari pemilu sebelumnya, sementara Golkar harus kehilangan 17 kursi, dan PPP hanya bisa menaikkan 1 kursi di DPR. Kemunculan figur baru di lingkaran PDI, yaitu Megawati Soekarno Putri, yang merupakan Putri Presiden Soekarno, ternyata berhasil meningkatkan perolehan kursi PDI pada pemilu 1992 sebanyak 16 kursi.
dibandingkan pada pemilu 1987 sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya, dalam dua pemilu, yaitu pada tahun 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI. Peningkatan jumlah perolehan suara PDI pada pemilu 1992 sangat terkait erat dengan kemunculan figur baru di partai itu, yaitu Megawati Soekarno Putri. Kemunculan Putri Sulung Presiden Soekarno pada awal dekade 1990-an seakan menjadi representasi semangat perlawanan zaman atas otoritarianisme pemerintah Orde Baru pada saat itu. Pada tahun 1997, pemerintah Orde Baru kembali menggelar pemilu.
Pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997. Pemilu 1997 ini ditandai dengan konflik internal di tubuh PDI. Konflik ini diakhiri secara tragis dengan mendepak Megawati Soekarno Putri dari pimpinan PDI dan menjadikan Suryadi sebagai pimpinan partai yang direstui oleh pemerintah. Megawati akhirnya menyerukan kepada pendukungnya untuk menyimpan suaranya pada pemilu 1997, sehingga menyebabkan perolehan suara PDI merosot tajam menjadi 11,83 persen dan hanya memperoleh 11 kursi di DPR.
Di sisi yang lain, kemelut di tubuh PDI tidak merembet ke partai lain. Golkar bahkan berhasil kembali meningkatkan perolehan suaranya mencapai 74,51 persen sehingga mendapatkan 325 kursi di DPR. Sementara PPP berhasil meraih 89 kursi. Tak ada yang menyangka bahwa pemilu 1997 bakal menjadi pemilu terakhir di era Orde Baru.
Permintaan MPR kepada Presiden Soeharto pada saat itu untuk kembali memimpin negeri ini. Para pembesar di negeri ini menyulut kemarahan rakyat. Demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa dan anak-anak muda semakin marak di seantero negeri. Oleh karenanya, tepat tanggal 20 Mei 1998, demonstrasi besar-besaran di seluruh negeri digerakkan.
oleh hampir semua elemen anak bangsa, ekonomi, dan pemerintahan menjadi lumpuh. Menghadapi situasi demikian, Presiden Soeharto akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kursi kepresidenan di negeri ini. Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Mundurnya Presiden Soeharto akhirnya menjadi penanda transisi menuju demokrasi di negeri ini. Presiden Habibie yang meneruskan periode kepemimpinan Presiden Soeharto mengambil langkah signifikan, yaitu mempercepat pemilu untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional. Walaupun ini juga berakibat memangkas masa jabatannya sendiri sebagai Presiden. Euforia politik memang terjadi. Partai politik pun akhirnya tumbuh subur, bak cendawan di musim hujan.
Hanya 13 bulan setelah menjabat presiden, Presiden Habibie berhasil menyelenggarakan pemilu 1999 secara kredibel pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu ini diikuti 48 partai politik. Sebagai pemilu transisi, pemilu 1999 sangat menentukan keberhasilan demokrasi di Indonesia di masa depan. Ternyata, pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti.
Hanya di beberapa kabupaten di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur selama satu pekan. Itupun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara. Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai sistem proporsional dengan mengikuti varian roget.
Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk Perolehan kursi berdasarkan The Largest Reminder. Akan tetapi, cara penetapan calon terpilih berbeda dengan pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan.
Hasil pemilu 1999 Menegaskan lima besar partai politik, yaitu PDIP, Golkar, PKB, PPP, dan PAN. Walaupun sempat ditolak oleh 27 partai politik lainnya, hasil pemilu ini akhirnya ditetapkan oleh Presiden Habibie berdasarkan rekomendasi dari Panitia Pengawas Pemilu. Perkembangan demokrasi di Indonesia semakin tertata dengan diselenggarakannya pemilu pada tahun 2004. Dalam konteks ketata negaraan, dilakukan reorganisasi di tingkat lembaga tertinggi negara, yaitu MPR, dengan mengubah sistemnya menjadi bikameral, sehingga perlu dibentuk Dewan Perwakilan Daerah. Sebagai implikasinya, Pemilu legislatif pada tahun 2004 tidak hanya memilih anggota DPR dan DPRD, melainkan juga anggota DPD.
Selain itu, perubahan signifikan juga terjadi pada lembaga kepresidenan. Jika sebelumnya presiden atau wakil dipilih oleh MPR, maka mulai pemilu 2004, presiden atau wakil presiden dipilih secara langsung. oleh rakyat. Hal ini merupakan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen untuk menguatkan sistem presidensial di negeri ini. Oleh karenanya, tahun 2004 menjadi riuh oleh pelaksanaan pemilu.
Setidaknya ada tiga kali pemilu pada tahun 2004, yaitu pemilu legislatif, yang diselenggarakan pada tanggal 5 April 2004, pemilu Presiden Putaran Pertama yang diselenggarakan pada 5 Juli 2004, dan pemilu Presiden Putaran Kedua yang diselenggarakan pada tanggal 5 hingga 20 September 2004. Pemilu Legislatif Tahun 2004 diikuti oleh 24 partai politik. dengan Partai Golkar sebagai peraih suara terbanyak. Sementara pemilu presiden putaran pertama diikuti oleh lima pasangan calon presiden yang akhirnya mengurucut menjadi dua pasangan untuk bertarung pada putaran kedua.
Hasil pemilihan Presiden Putaran ke-2 ini akhirnya mengukuhkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kala sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Ditetapkannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menandai babak baru dalam penyempurnaan sistem demokrasi di Indonesia dengan masuknya pemilihan kepala daerah ke dalam rezim pemilu. Sebelum Undang-Undang ini disahkan, kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota dipilih oleh DPRD masing-masing tingkatan. Dengan disahkannya Undang-Undang ini, maka kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat di wilayah masing-masing dengan difasilitasi oleh KPU di masing-masing wilayah. Pemilu Kada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak saat itu, Pemilu Kada dilaksanakan di berbagai daerah secara beruntun sebagai bagian dari rezim pemilu.
Perkembangan demokrasi di Indonesia semakin mantap dengan pelaksanaan pemilu tahun 2009. Pemilu legislatif dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 dengan menggunakan sistem proporsional terbuka. Pemilu legislatif 2009 ini ditandai sebagai pemilu pertama di Indonesia yang melakukan penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak bukan berdasarkan nomor urut. Artinya, rakyat memilih calon anggota DPR bukan partai politik.
Dengan demikian, pilihan rakyat tidak lagi dipasung oleh kepentingan partai politik. Dari 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh yang mengikuti pemilu 2009, Partai Demokrat keluar sebagai pemenang. Kemenangan partai ini sangat signifikan dan menggeser posisi partai-partai lama. Sementara itu, pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan pada tanggal 8 Juli 2009. Dari tiga pasangan yang mencelonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden pada pemilu 2009 ini, pasangan Susilo Bambang Hidoyono dan Budiono Akhirnya terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014.
Keberhasilan bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan pemilu secara kredibel dan damai telah menuai pujian dunia internasional, sehingga mengantarkan negeri ini menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. setelah Amerika Serikat dan India. Akan tetapi, keberhasilan ini bukanlah tanpa kritik.
Demokrasi di Indonesia diindikasikan berbiaya sangat mahal dan cenderung menjadi demokrasi transaksional. Para calon seakan berlomba untuk membeli suara rakyat, untuk mendapatkan simpati atas pilihan rakyat. Hal ini sekaligus mengubur potensi calon-calon yang kredibel untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat maupun pemimpin. Dalam jangka panjang, fenomena ini bisa membunuh demokrasi itu sendiri. Oleh karenanya, kita perlu sadar untuk kembali pada norma dan nilai demokrasi yang paling esensial.