Transcript for:
Kuliah: Membangun Pendidikan yang Berdaya Saing dan Manusiawi

Jadi jangan berpusat di daya saingnya, tapi berpusat di manusia-manusia yang mau dibangun memiliki daya kritis, memiliki imajinasi, sangat kreatif. Nanti mereka dengan sendirinya, dengan keahlian yang mereka pilih dalam bidang ilmunya, itu akan menemukan cara bagaimana bersaing. orang yang berpendidikan adalah orang yang mengerti betul tugas dia hidup di dunia, hidup bersama dalam suatu negara, bangsa, dan juga kemanusiaannya. Kepada setiap anak ditanamkan: “Kamu lahir untuk hal-hal besar.” Ad maiora natus sum: lahir untuk hal-hal besar. Apa itu hal besar? Hal besar itu lebih daripada dirimu sendiri, lebih dari kepentingan empat tembok rumahmu. Jadi, pendidikan itu bukan hanya mengolah akal budi, - tapi mengolah batin, emosi.

  • EQ dan IQ. Ya. Emosi ini hal yang sering dilupakan. Halo teman-teman. Selamat datang di seri spesial ini yang melibatkan sosok-sosok dari berbagai kampus, termasuk Stanford University. Tujuan dari seri ini adalah untuk mendatangkan ide-ide yang menggugah pikiran yang sangat berharga bagi Anda. Saya berterima kasih atas dukungan Anda dan selamat datang di seri spesial ini. GITA WIRJAWAN: Halo teman-teman, hari ini kita kedatangan Ibu Karlina Supelli, seorang pengajar di STF Driyarkara dan tentunya seorang pemikir juga. Ibu Lina, terima kasih banyak, bisa hadir di Endgame. KARLINA SUPELLI: Terima kasih, diundang. Ini sudah lama banget kita tunggu-tunggu dan tentunya banyak sekali yang minta untuk saya ngobrol dengan Bu Karlina. Silakan diceritain masa kecilnya. Masa kecil, saya lahir di Jakarta, tapi besar di Sukabumi. Sukabuminya di kampung, di Selabintana. Dan jadi anak kampung yang main nggak takut lumpur, pulang sekolah ganti baju, taruh tas, makan, lalu langsung keluar. Jadi hubungan saya dengan alam itu sangat dekat, betul-betul dekat karena sehari-hari seperti itu. Malamnya indah sekali, penuh bintang, itu membuat saya tertarik. Itu masa kecil. Lalu, pindah sekolah ke Jakarta sebentar, satu tahun, kemudian ke Bandung, dan akhirnya sekolah di Bandung - di jurusan Astronomi ITB.
  • Kenapa astronomi? Saya sebetulnya sempat terpikir mau menjadi ahli kimia, karena waktu saya kelas 3 SD atau kelas 4, saya diberi buku oleh kakak saya, pinjam sebetulnya dari perpustakaan, biografi Madame Curie. - Waktu itu disadur ke...
  • Kelas 3 SD? Kelas 3 SD. Saya sangat tertarik, saya jatuh cinta. Waktu kecil, saya sebenarnya 2 dua tokoh yang saya jatuh cinta. Pertama, Marie Curie, yang kedua, Don Quixote. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia Don Quixote. Itu dua sisi yang sangat berbeda; yang satu, fiksi dengan segala imajinasi yang liar luar biasa, yang satu, seorang ilmuwan yang sangat pendiam, tapi dengan imajinasi yang tidak kalah luar biasa. Tapi kan saya tidak mungkin jadi Don Quixote. Jadi, saya begitu tertarik terhadap apa yang dilakukan Madame Curie. Jadi, saya mau jadi ahli kimia. Tapi kakak saya lebih dulu masuk di ITB, dia di jurusan Teknik Mesin, laki-laki. Lalu dia bilang, “Karlina di ITB ada jurusan Astronomi, tentang bintang-bintang. Saya yakin, kamu pasti senang di situ, pasti tertarik." Lalu saya cari-cari informasi. Dan ingat masa kecil. Dia ingat bahwa waktu kecil saya senang lihat bintang, dsb. Ya sudah, akhirnya menemukan pilihan. Dan ketika harus memilih, saya pilih pilihan pertama: Astronomi, pilihan kedua: Astronomi, baru pilihan ketiga: Geologi. Tapi nggak banyak partisipannya saya dengar. Angkatan saya waktu itu hanya tiga orang dari sekitar 1.200 mahasiswa ITB. Memang sedikit sekali, dan saya satu-satunya perempuan di angkatan saya, hanya tiga orang; yang dua laki-laki, saya perempuan (satu) tidak banyak. Jadi kuliahnya sangat intensif, dan lulus sebagai Sarjana Astronomi waktu itu. Lalu melanjutkan studi space science, dan akhirnya filsafat. Ini sudah lewat dari masa kecil, sudah masuk ke masa dewasa. - Tapi di UI ya S3-nya?
  • Untuk filsafat, di UI. Kenapa filsafat? Saya sebetulnya ketika di Inggris, dengan mengambil S2 Space Science, saya sudah masuk, diterima, dan sudah riset untuk PhD dalam astrofisika energi tinggi; kosmologi. Tapi saya sakit dan cukup serius waktu itu, jadi dokter bilang perlu waktu, dan memang perlu waktu untuk pengobatan. Jadi, saya pulang ke Indonesia, sempat berobat di Belanda, bolak-balik. Banyak sekali waktu habis. Dan saya punya keluarga, waktu itu saya sudah punya 2 anak kecil. Akhirnya saya diskusi dengan pembimbing saya di Inggris, lalu memutuskan, saya bilang, “Saya cuti dulu.” Dan mereka selalu bilang, “Nanti silakan dilanjutkan.” Nah, pada saat-saat itu, saya sempat mendengarkan kuliah Alm. Prof Toety Heraty, filsafat ilmu, di UI waktu itu. Lalu saya seperti terbuka, bahwa sains, hard science, saya dengan astrofisika energi tinggi itu kan betul-betul hard science, itu bukan satu-satunya. Dan sebetulnya jauh sebelum itu, saya sudah mulai tertarik dengan problem-problem filosofis di dalam ilmu tentang alam semesta. Akhirnya saya memutuskan ini jalan yang terbaik untuk dua hal; untuk saya dan keluarga, tapi juga untuk perkembangan keilmuan saya. Dan akhirnya saya senang mengerjakan itu, menemukan dunia intelektual yang tempat saya bisa dalam masuk. Waktu kecil, ada nggak peristiwa yang memberikan inspirasi selain baca Marie Curie atau Don Quixote. Saya ini mau gali lebih dari sisi guru. Ada nggak guru yang bikin ibu nyetrum mengenai satu topik atau satu jalur apa pun? Oh iya jelas sekali, mulai dari sekolah dasar. Mulai dari sekolah dasar di kelas 3, kelas 5 SD, saya ingat kalau di kelas 5 SD, namanya Ibu Lis. Saya agak pemalu kalau disuruh maju ke depan, entah menyanyi, entah bicara, dsb., tapi dia punya kepercayaan bahwa setiap murid itu asal ditemani, (dia) akan bisa berekspresi. Dan dia betul-betul menemani, merangsang murid dengan bertanya dan memberi kebebasan untuk, misalnya, kalau sesudah akhir pekan, hari Senin masuk sekolah, diberi kesempatan untuk bercerita apa yang dialami selama akhir pekan. Dan itu bebas. Jadi diberi kebebasan. Tapi yang kemudian sangat nyata sekali adalah di SMP. Satu guru ilmu alam, waktu itu disebutnya ilmu alam memang. Dan dia juga mengajar kosmografi. Dan tidak pernah dia menghentikan pertanyaan murid. Saya termasuk yang suka nanya macam-macam. Dia tidak pernah menghentikan, tapi menggali. Dan sesudah itu, saat istirahat, misalnya, dia akan bilang, “Baca deh buku ini, baca buku ini.” Yang paling berkesan adalah satu guru ilmu ukur. Namanya Pak Sinaga. Kalau yang tadi Pak Suyitno. Pak Suyitno masih hidup, beliau masih hidup. Pak Sinaga sudah meninggal. Pak Sinaga ini sebetulnya keahliannya sastra, tapi dia juga punya keahlian matematika, jadi, ilmu ukur waktu itu. Dia mengajar di kelas, saya memang senang matematika, saya senang ilmu alam dan matematika. Jadi, karena senang, lalu cepat selesai di kelas, kalau dikasih tugas. Nah, karena cepat selesai, saya mulai bengong-bengong, ganggu teman ke kiri, ke kanan, nengok ke belakang, ganggu. Dia perhatikan, dia memberi sanksi yang sama sekali tidak terduga. Dia bilang, “Karlina, kamu ke perpustakaan, kamu baca buku, tapi kamu hanya boleh memilih buku sastra Indonesia. Jangan pilih biografi ilmuwan atau apa pun, tapi sastra.” Lalu dia bilang ke guru yang di perpustakaan untuk memperhatikan itu. Jadi saya membaca karya-karya sastra. Dan dia akan tanya, “Karya sastra apa yang kamu baca?” Nah, di sini bagi saya luar biasa dan saya heran sekali. Ini guru matematika, tapi kok saya disuruh baca sastra? Dan ternyata itu mengolah batin. Saya memang sudah senang, karena ibu saya senang membaca sastra, baca novel. Itu sebabnya dari kecil sebetulnya sudah dibiasakan. Tetapi kan, ini khusus sastra Indonesia. Dan itu mengolah batin. Saya sampai sekarang bertanya-tanya, dan kiranya menemukan jawaban. Ketika dalam proses menulis, mencari metafor, lalu saya ingat buku-buku sastra yang saya baca. Ternyata sains pun juga memerlukan. Dan sastra itu betul-betul menghaluskan batin kita. Nah, guru-guru seperti ini yang saya kira, saya tidak akan pernah lupa. Bahkan ketika saya sudah lulus ITB, dengan bangga menunjukkan kepada dia bahwa saya bisa bercerita tentang alam semesta, dia mendengarkan dengan tekun bersama murid-muridnya, saya diminta waktu itu. Setelah sepi, semua selesai, dia datang dan bertanya, “Saya bangga sekali Karlina sudah bisa bercerita dengan ilmunya.” Kepala saya besar, ini guru yang saya hormati bilang saya sudah hebat. Tapi tiba-tiba dia tersenyum, lalu bilang, “Apakah kau akan berhenti di sini?” Jadi tidak cukup hanya ketika saya masih menjadi murid dia dipancing terus untuk melampaui apa yang sudah kita capai. Ternyata setelah saya lulus dan bangga dengan ilmu saya, dia masih menggugat. Saya kira guru seperti ini yang mengajak anak terus bertanya, terus gelisah, berani untuk berimajinasi, kritis. Saya sering kali ngobrol mengenai betapa pentingnya peran guru jauh lebih besar daripada kurikulum. Dan saya sering kali ngomong bahwasanya kalau gurunya itu benar-benar oke banget dia itu dalam setahun bisa ngajar mungkin ajaran selama 1,5 tahun. Tapi kalau dia nggak oke sama sekali, mungkin dalam setahun, dia hanya bisa ngajar setengah tahun ajaran. Dan kita ini dipelototi dengan kenyataan bahwa masih banyak guru-guru yang kurang oke di negara kita. Ini gimana mengenai situasi atau kondisi kayak begini, menurut Bu Karlina? Saya setuju ya dengan pendapat Pak Gita bahwa guru itu penting sekali. Dan kurikulum tentu juga penting, tetapi jauh lebih penting adalah guru. Kurikulum yang begitu padat, dirancang, tanpa guru yang bisa bukan hanya memenuhi tuntutan kurikulum, tapi terutama memancing anak. Kalau saya ingat, tentu tantangan zaman berbeda, tidak bisa dibandingkan. Tetapi, dulu, kurikulum tidak sepadat sekarang. Tetapi guru-guru yang baik bisa menyampaikan tema-tema yang dituntut dalam kurikulum. Di Indonesia memang sangat memprihatinkan, dan saya kira ini sudah banyak dibahas bahwa perhatian kepada guru itu sudah ditingkatkan sekarang ini, tetapi belum cukup. Karena Indonesia begitu bervariasi, dari Sabang sampai Merauke. Tuntutan kurikulum ini disamakan dari Sabang sampai Merauke. Tetapi gurunya tidak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan lokal. Jadi guru itu habis waktunya untuk mengikuti kurikulum. Padahal mungkin guru punya kreativitas untuk melihat apa yang ada di lokal yang dibutuhkan oleh anak-anak. Sehingga dia perlu justru diberi kesempatan untuk itu dan mendapat kesempatan untuk sekolah. Jadi memprihatinkan sebetulnya. Kita perlu, pertama-tama, dalam dunia pendidikan, itu adalah mendukung kemajuan guru. Saya juga melihat sistem kompensasi untuk guru juga tidak selaras dengan kepentingan bangsa ke depan. Oh iya, itu sangat memprihatinkan kalau kita ke daerah-daerah terpencil di Indonesia, nggak usah daerah terpencil, di kota-kota besar itu ada guru yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya ada yang terpaksa jadi supir Gojek, dsb., karena memang sangat minim. Dan sekarang ada tunjangan tambahan, tetapi untuk itu, dibutuhkan sertifikasi. Sementara sertifikasi itu jumlahnya juga terbatas, jadi harus antri. Dan untuk sertifikasinya itu macam-macam, macam-macam persyaratan birokrasinya sehingga tidak mudah. Hal yang sama berlaku untuk dosen juga. Jadi saya menganggap dosen ini juga guru, hanya tempatnya di perguruan tinggi. Itu sama, diberi tuntutan birokratis yang sangat rumit, guru itu banyak waktunya habis untuk memenuhi tuntutan birokratis, bukannya mengembangkan kreativitas yang dia bisa pakai untuk mengajar. Tuntutan kurikulum harus selesai. Sementara itu kaku sekali. Jadi, sangat memprihatinkan sebetulnya. Jadi, yang diberikan itu pelajaran. Sedikit sekali, saya tidak menafikkan bahwa ada sekolah-sekolah yang berhasil memperhatikan betul kebutuhan guru, baik finansial maupun yang untuk pendidikan, tetapi sangat tidak merata. Ini hanya sekolah-sekolah yang berhasil mendapat dana, misalnya. Jadi, yang diberikan itu bukan pendidikan, tetapi pelajaran. Kurikulum itu kan pelajaran, begitu selesai, ya sudah, yang penting dia dapat nilai, lulus. Tapi pendidikan, itu lebih dalam daripada pelajaran. Menurut Ibu, definisi orang berpendidikan itu apa? Wow, ini pertanyaan yang saya kira sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Ini agak-agak nyerempet ke filsuf sekarang. Tapi penting nih. Bahkan kalau gini, saya telusur sedikit dulu. Saya karena mengajar kosmologi di STF Driyakara dari segi filosofis dan budaya. Itu kembali ke ketika sistem tulis itu mulai ditemukan. Itu di Mesopotamia. Lalu ada kelompok kecil di Sumeria, tapi kemudian Babylonia, yang mengembangkan keahlian untuk menulis dan melanjutkan dalam pemikiran, apakah itu sastra, agama, dsb. Dan ini sudah ada definisi kelompok orang-orang yang terpelajar dan berpendidikan. Dan itu artinya adalah mereka yang bisa berpikir. Ini tentu berkembang nanti di zaman filsafat, apakah filsafat Yunani atau filsafat Asia, Barat ataupun Timur. Tapi intinya adalah orang-orang yang bisa berpikir, bisa berimajinasi, dan bukan hanya berpikir untuk dirinya sendiri, tetapi bagaimana itu kemudian dituangkan, diterapkan untuk kebaikan bersama. Jadi pendidikan itu bukan untuk diri sendiri; bahwa kita mencapai, oh hebat, mencapai pendidikan tinggi. Tapi alasan adanya pendidikan itu sendiri apa? Bukan hanya untuk satu orang tumbuh berkembang, lalu memanfaatkan ilmunya untuk kepentingan dia atau keluarga atau kelompok-kelompok terdekat. Tapi alasan adanya pendidikan sejak awal sekali. Apakah itu mulai dari Sumeria, Mesopotamia, Yunani, Tiongkok, dst. Bahkan ketika negara kita ini berdiri, itu adalah untuk menghasilkan warga negara yang bisa mengabdikan keilmuannya itu untuk tujuan kebaikan bersama. Tentu dia punya kepentingan untuk dirinya, punya minat; dia tertarik pada bidang tertentu, itu yang dia kembangkan, tetapi hasil akhir. Jadi, mungkin saya keliru, tapi bagi saya, orang yang berpendidikan adalah orang yang mengerti betul tugas dia hidup di dunia, hidup bersama dalam suatu negara, bangsa, dan juga kemanusiaannya. Jadi, dia mengerti betul posisi dia dan apa yang bisa dia sumbangkan. Sekarang ini, dengan situasi dunia seperti ini, Indonesia, itu suatu keistimewaan, suatu privilese. Coba lihat tenaga kerja Indonesia, presentase yang terbanyak apa? Lulusan SD ke bawah. Jadi betapa istimewanya orang-orang yang bisa mencapai perguruan tinggi, SMA. Nah, ini tentu diharapkan bahwa pendidikan bisa sejak awal menanamkan kepada siswa-siswa dan kemudian mahasiswanya tanggung jawab yang dia pegang dengan ilmu yang dia punya. Saya kira itu. Sekurang-kurangnya saya berpendapat demikian. Jadi berat sekali, tugas guru itu berat sekali. Tapi dengan situasi yang sangat terbatas yang dimiliki oleh para guru karena tuntutan administrasi, lalu keterbatasan apalagi yang di daerah, sulit sekali untuk sampai ke situ. Kalau anak-anak kita itu diharapkan untuk lebih berkontribusi untuk kepentingan komunal atau bahkan bangsa dan negara, tapi mereka nggak diajari oleh guru yang mungkin kualitasnya nggak setinggi seperti apa yang kita inginkan, juga dengan skala yang kita inginkan, ini mau nggak mau perlu adanya keterbukaan. Keterbukaan dalam konteks beberapa hal, salah satunya adalah untuk bisa menghadirkan, mendatangkan guru yang berkualitas dari mana pun di mana kita bisa mendemokratisasikan konsep mencari pengajar yang berkualitas dari Indonesia atau dari luar. Ini saya mau coba sambungkan dengan dua hari yang lalu, saya baru saja ngobrol sama pimpinan dari salah satu universitas terkemuka di Singapura, dia dengan bangganya bercerita bahwa mereka baru saja mendatangkan pemenang Nobel untuk bisa mengajar di kampusnya dengan 2 kondisi. Satu, dia digaji 1 juta dolar setahun. Terus, pemenang Nobel ini datang dari Eropa, dia minta anggaran sampai 30 juta dolar untuk mendirikan laboratorium untuk bisa mengedepankan. Saya pikir ini kendala pertama mungkin, untuk banyak sekali negara-negara berkembang yang kemungkinan besar nggak bisa melakukan hal-hal seperti itu. Tapi yang saya bidik di sini adalah keterbukaan. Dia kan kepentingannya adalah untuk mengajari warganya supaya pintar. Terus saya kupas lagi, “Anda aspirasinya mana?” Kalau kita bisa dapat 100 tahun untuk menyamakan MIT yang punya 100 pemenang Nobel, kita perlu 1 abad. Kita nggak bisa menunggu 1 abad. Jadi mau nggak mau kita beli. Kita beli, targetnya berapa? Mungkin bisa 20-an. Wah, hitung dolarnya berapa. Tapi dia bilang kalau 1 bisa ngajar 300 orang, terus dalam 10 tahun, akumulatif dia mengajar 3.000 orang, terus kita punya 2.000, semakin simpel untuk kita bisa membuahkan pelajar-pelajar atau produk pendidikan yang berkualitas. Terus pertanyaan ketiga yang saya tanya ke beliau adalah “Dari pengajar yang ada di kampus Anda, itu berapa yang asing?” Mungkin 75%. Jadi dari sini saya melihat mereka siap dan berani menunjukkan keterbukaan, tentunya ditopang dengan ruang fiskal, dsb. Ibu melihat nggak, masa depan Indonesia bisa agak-agak mirip dengan itu? Atau mungkin itu sesuatu yang mungkin kurang berkenan? Saya setuju bahwa perguruan tinggi, itu perlu terbuka. Lembaga-lembaga penelitian perlu terbuka terhadap dosen asing, peneliti luar. Karena dari situ, lalu akan muncul berbagai pengalaman yang tidak didapat di sini. Memang banyak dosen-dosen yang sekolah di luar negeri, lalu kembali mengajar. Tetapi, terutama dosen-dosen yang memang sudah pencapaiannya luar biasa, itu diundang. Di kampus-kampus di Indonesia, tentu tidak merata, tetapi ada yang punya program-program mengundang sebagai dosen tamu. Ada misalnya untuk tinggal selama 6 bulan, itu sudah ada, atau hanya datang beberapa kali, atau bahkan hanya untuk memberi seminar. Itu sudah ada, tetapi belum merupakan sesuatu yang berkesinambungan, karena perlu seperti tadi, dia tinggal selama beberapa semester, punya program, lalu ikut mendampingi penelitian, penulisan disertasi atau tesis. Dan juga para penelitinya. Indonesia itu cenderung sangat tertutup terhadap peneliti asing. Ada beberapa kasus yang bahkan tidak diberi izin, sudah diberi izin tapi lalu dicabut izinnya dengan ketakutan bahwa nanti akan membawa kekayaan Indonesia ke luar. Tapi sebetulnya kalau dibuat dalam bentuk kerja sama, itu bisa. Ini yang saya sependapat tadi dengan yang Pak Gita sampaikan, keterbukaan seperti itu. Memang tentu perlu dipikirkan dananya bagaimana. Dan dana untuk pendidikan nampaknya memang perlu ditambah, tapi ditambahnya itu untuk apa? Jadi, prioritas-prioritas yang mau dikembangkan. Tentu memang sulit karena perguruan tinggi banyak sekali. Yang mana yang akan dikembangkan? Tapi kalau sudah ada perguruan tinggi- perguruan tinggi yang terkemuka, dia ini yang punya tanggung jawab kemudian untuk mengirimkan dosen-dosennya ke perguruan tinggi yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Jadi saling berbagi ilmu. Kita ini masih sering sekali kalau punya ilmu, lalu maunya disimpan sendiri. Bahkan sering kali punya buku baru itu disembunyikan, tidak mau dibagi ke teman, takut nanti temannya juga ikut pintar, jadi kalau bisa disembunyikan. Dunia ilmu tidak seperti itu, dunia pendidikan tidak seperti itu. Semakin kita terbuka, semakin ilmu itu akan masuk, dan kita nggak perlu takut bahwa apa yang kita punya itu akan diambil lalu direbut, karena ilmu itu sebetulnya semakin diketahui oleh banyak orang, semakin dia akan berkembang. Jadi sangat perlu (keterbukaan). Saya percaya bahwa ilmu itu harus jauh lebih open source. Dan pertanyaan saya, gimana merobek individualisasi ini agar lebih terjadi kolaborasi, lebih terjadi kolektivisasi? Selain itu juga nasionalisme yang sempit, yang takut sekali. Rasa takut itu sebenarnya karena nggak percaya diri. Jadi, pengertian nasionalisme perlu dipahami lebih luas. Justru dengan kita membuka diri seluas-luasnya, kita akan mendapat kesempatan untuk menjadi semakin Indonesia di tengah pertarungan global. Sekarang kita lihat diaspora, mereka luar biasa maju. Tapi selalu saja masih ada pembicaraan bahwa mereka tidak mengabdi, kurang mengabdi. Tapi itu keliru. Karena justru mereka adalah orang-orang Indonesia yang kemudian berhasil menyumbangkan sesuatu bukan hanya untuk Indonesia tapi untuk dunia. Ini kan sesuatu yang luar biasa. Ketika kesempatan di Indonesia sangat kecil, dan dia mendapat kesempatan di luar, ya sudah. Dia memberi sumbangan untuk umat manusia yang lebih luas. Saya sama sekali nggak percaya dengan konsep ‘brain drain’. Saya lebih percaya dengan konsep ‘brain circulation’ atau ‘brain linkage’. Dan kalau saya melihat, kemarin saya sempat mengajar di Inggris, orang Indonesianya di sana cuma 3 ribu. Tapi orang Cina daratan atau dari Tiongkok itu 200 ribu. Di Amerika Serikat, 8.500 orang Indonesianya. Orang Tiongkok 400 ribu - 450 ribu. India 200 ribu. Zaman saya sekolah dulu di Amerika, itu 16 ribu. Ya, mungkin ada dua observasi di sini. Yang berkesempatan untuk belajar, itu akan memiliki privilese ke depan, tapi yang gak punya kesempatan seperti itu, mungkin mereka lebih sulit untuk mendapatkan peluang atau privilese seperti yang dimiliki. Tapi mungkin yang lebih penting lagi adalah gimana kita bisa bersaing dengan negara-negara besar lainnya yang memiliki representasi yang jauh lebih besar di negara-negara mana pun untuk membidik dan menggali ilmu, termasuk di dalam negerinya juga, tapi di luar negeri itu, mereka, seperti Tiongkok, ini peradaban yang sudah keren selama 5 ribu tahun, tapi masih haus mencari ilmu dari mana pun; Indonesia, Eropa, Amerika. Gimana secara budaya untuk kita mengubah supaya kita haus ilmu? Ini yang memang memprihatinkan. Sebenarnya kalau kita kembali ke tradisi Nusantara, Nusantara itu kalau kita baca naskah- naskah kuno, saya dari Jawa Barat, Sunda, saya membaca naskah-naskah Sunda kuno, itu kita sudah melihat bahkan ada di dalam salah satu naskah itu mengatakan, “Kalau mau belajar tentang pertanian, datanglah ke ahlinya. Kalau mau tahu caranya mencari ikan, carilah ke ahlinya.” Itu disebutkan detail, bahwa carilah ke ahlinya. Dan itu terus menerus begitu dikatakannya. Lalu kemampuan membuat kapal, dsb., pinisi. Tapi kita berhenti pada nostalgia Indonesia pernah, Nusantara pernah seperti itu. Lalu ada periode yang penguasanya begitu ketakutan dengan rakyat yang kritis, maka pendidikannya lalu betul-betul ditekan. Tidak boleh bertanya, tidak boleh mengajukan hal-hal yang kritis. Ini mengkhawatirkan sekali, dan itu sampai sekarang. Yang menarik bagi saya adalah ketika politik etis Belanda diterapkan untuk Indonesia. Waktu itu masih Nusantara. Lalu para pendiri negara ini, yang kemudian menjadi pendiri negara ini, orang-orang mudanya mendapat kesempatan belajar. Ada yang belajar ke Belanda, dst. Tujuannya sebetulnya mau menghasilkan pamong prajanya Belanda, orang-orang yang cukup berpendidikan, tapi patuh. Tapi kita lihat apa hasilnya? Hasilnya adalah justru mereka yang merumuskan kemerdekaan. Jadi berhasil pendidikan itu. Nah, kita setelah itu, sekarang ini untuk periode yang cukup lama, ada masa ketika yang dihasilkan adalah orang-orang yang takut bertanya. Jangankan melahirkan rasa ingin tahu, karena rasa ingin tahu justru ditekan. Tadi bicara tentang Tiongkok masih terus mau mencari ilmu. Kalau kita bicara daya saing, mampu bersaing, ada satu juga kekeliruan dalam pandangan tentang pendidikan. Yang selalu dipromosikan adalah bangun pendidikan yang akan memiliki daya saing. Kalau kita masuk ke alasan adanya pendidikan, tadi sudah saya singgung sedikit, daya saing itu bukan tujuan. Daya saing itu adalah hasil dari pendidikan yang memunculkan orang-orang yang kemudian punya kompetensi. Jadi jangan berpusat di daya saingnya, tapi berpusat di manusia-manusia yang mau dibangun memiliki daya kritis, memiliki imajinasi, sangat kreatif. Nanti mereka dengan sendirinya, dengan keahlian yang mereka pilih dalam bidang ilmunya, itu akan menemukan cara bagaimana bersaing. Jadi keliru sekali kalau slogannya di mana-mana itu adalah membangun pendidikan yang punya daya saing. Jangan mulai dari situ. Mulai dari orang-orangnya. Nah, kalau kita lihat di Tiongkok, mereka memang punya disiplin yang sangat ketat. Nah, disiplin ketat ini juga penting. Jangan sampai otoriter, saya tidak setuju kalau otoriter. Tapi, disiplin ketat itu penting. Tahu kapan belajar, tahu kapan bekerja, tahu kapan bermain-main dengan medsos. Dan itu perlu dari kecil. Sehingga dia lalu bisa mengolah, ini juga masuk dalam pengertian pendidikan. Orang yang berpendidikan itu orang yang bisa mengolah betul pertarungan antara hasratnya yang menggoda terus, hasrat ini tanpa batas, dengan kemampuan dia berpikir untuk, "Tidak, saya harus bisa mengolah ini." Jadi, pendidikan itu bukan hanya mengolah akal budi, - tapi mengolah batin, emosi.
  • EQ dan IQ. Ya. Emosi ini hal yang sering dilupakan. Sering kemudian di … ... sekarang disebut budi pekerti, tapi kemudian mau diisi dengan agama. Budi pekerti itu kemudian dibatasi dengan pelajaran agama. Munculnya dogma-dogma, ini yang bahaya. Padahal yang dibutuhkan pengolahan emosi, pengolahan batin, imajinasi, termasuk membayangkan pengalaman orang lain. Pelajaran sejarah misalnya, bukan hanya menghafal tahun-tahun, tapi diajak bercerita. Apa perasaanmu ketika membaca begitu banyak jatuh korban dalam perang? Dalam pertempuran di Surabaya, (Raymond) Westerling. Itu jangan hanya ditanya apa yang terjadi. Diminta merefleksikan; apa perasaanmu? Ketika dia bisa melihat perasaannya, lalu mengatakan, “Kok perang seperti ini ya, kok banyak korban. Saya sedih.” Dia bisa kemudian membayangkan ada di sepatu korban, dan akan membuat dia peka terhadap penderitaan orang lain, hanya dari belajar sejarah. Kita lalu pakai ini dari belajar sains, dari belajar matematika. Keindahan sains, keindahan matematika, tidak diberikan. Nah ini yang saya kira di banyak sistem pendidikan di luar negeri, maaf saya terpaksa mengacu ke sana, itu sejak kecil sudah diberikan. Jadi anak diminta untuk merasakan, lalu bertanya. Ini nyambung. Saya mau coba kemukakan satu lagi observasi. Kemarin dan tadi pagi, saya juga sempat ngobrol mengenai ... di Amerika Serikat, i tu mereka memberikan visa H-1B pada lulusan dari universitas untuk mereka bisa menetap di sana, bekerja sebagai profesional, itu dari seluruh visa yang diberikan, okupasi oleh orang India itu 75%, padahal representasi mereka di kampus hanya 200 ribu. Sedangkan representasi orang Tiongkok 450 ribu, okupasi Tiongkok dalam pemberian visa, itu hanya 10%. Korea Selatan yang diwakili oleh kurang lebih 150 ribu siswa-siswi di seluruh kampus, begitu lulus, mereka hanya dapat nggak lebih dari 3%. Indonesia itu nol koma. Tapi di sini saya mau membidik komparasi antara India dan Tiongkok karena ini nyambung dengan kognisi dan emosi atau emotif. India yang diwakili hanya 200 ribu, tapi dia bisa mendapatkan 75% dari visa. Tiongkok yang diwakili 450 ribu, hanya mendapatkan 10%. Dua-duanya secara kognitif mungkin sama, bahkan bisa dibilang mungkin ada yang sedikit lebih tinggi daripada yang satu lagi. Tapi si India ini punya soft skills. Saya sering kali ngomong mereka jago ngecap, mereka cukup piawai memproyeksikan ide. Tapi itu mungkin agak-agak nyambung dengan kualitas emotifnya atau emotional quotient-nya bukan hanya intellectual quotient saja. Mungkin dari sini kita bisa belajar bahkan orang Tiongkok juga perlu belajar; ini gimana? Bisa juga diargumentasikan banyak yang mau pulang ke Tiongkok. Tapi saya tahu, saya berteman dengan banyak sekali dari mereka, banyak yang mau menetap di Amerika, karena apalagi kalau urusan dengan AI, teknologi, dsb. Terus kalau di Silicon Valley, 30% dari ide-ide baru, itu keluar dari orang India yang keturunan imigran atau mau jadi imigran. Nah, itu mungkin nyambung dengan.. nggak tahu nih gimana. Gimana untuk kita membudayakan atau mendidik kombinasi kognisi dan emotif? Ya, untuk melihat India dan Tiongkok ini, tentu perlu ahli yang betul-betul tahu perbedaan kebudayaannya. Saya tidak terlalu paham. Tapi menjawab pertanyaan Pak Gita tadi, menggabungkan antara nalar dan emosi, itu perkara yang sebetulnya memang sangat mendasar dalam pendidikan. Karena apa? Karena manusia itu utuh. Dia tidak bisa hanya nalar saja, dia nanti akan yang penting pokoknya keputusan- keputusannya itu rasional. Padahal manusia itu bukan sepenuhnya makhluk rasional. Bahkan di bawah rasionalitasnya itu tersembunyi hasrat-hasrat irasional yang bisa saja mengemuka dikemas dengan cara yang sangat rasional. Dan itu mengerikan. Ini memang melalui sejak kecil. Kalau saya percaya, saya belajar; bukan dari saya sendiri, tapi saya juga belajar, itu ada seorang pemikir yang sangat percaya, dia seorang ahli filsafat politik, yaitu Martha Nussbaum. Dia pernah datang ke Indonesia untuk memberi satu seminar. Dia sangat percaya bahwa emosi itu bisa dididik melalui sastra, seni. Dan saya termasuk yang percaya pada itu. Dia memberi contoh yang sangat menarik. Anak kecil diajarkan menyanyi “twinkle twinkle little star”, tapi sesudah itu kan ada “how I wonder what you are”. Wonder: dia bertanya, ada apa di situ? Wonder ini dengan lagu itu kemudian ketika dia melihat apa pun di sekitar dia, akan muncul rasa wonder. Wonder ini rasa yang kemudian diisi dengan kognisinya. Nah, itu sebabnya saya sekarang mengerti mengapa guru saya tahu saya senang sekali ilmu alam dan matematika, memaksa saya membaca sastra. Karena lalu menghubungkan kedua ini. Dan cara mengajar; matematika diajarkan rumus-rumus, fisika juga diajarkan, sains diajarkan rumus-rumus, ini sangat problem-solving. Jadi ada masalah, pecahkan. Tentu kita perlu penguasaan pemecahan masalah. Tapi kalau hanya menguasai pemecahan masalah, kita akan lupa dengan batin kita, emosi kita. Nah, ini tadi yang pentingnya guru, pentingnya guru diberi perhatian sehingga guru pun mengembangkan diri ketika dia mengajarkan sesuatu, dia bisa menceritakan. Mengajarkan hukum Newton saja, dia perlu bisa menceritakan bagaimana itu didapat, bagaimana Newton sampai ke situ. Mengajarkan teori tata surya, misalnya, bagaimana (Nicolaus ) Copernicus itu mengambil perumpamaan dari sastra klasik Yunani. Para ilmuwan besar itu mengerti sastra, karena mereka diajarkan dari kecil. Kita sekarang, mungkin saya keliru, saya tidak terlalu mengikuti, tapi saya melihat buku-buku pelajaran itu, kurikulum, penekanannya pada bahasa Indonesia, itu gramatika. Dulu, yang disebut bahasa Indonesia itu dibagi; ada sastra, ada gramatika. Lalu gramatika dipelajari lewat sastra, karena yang sangat bagus, menulis indah, itu sebetulnya sastra. Nah, ini yang perlu dikembalikan lagi, karena di kita, seni itu sangat disempitkan pada pertunjukan panggung. Anak-anak diajar hanya supaya bisa tampil di panggung, lalu lupa. Lupa bahwa seni itu adalah pilar kebudayaan. Pilar peradaban (adalah) seni, sains dan teknologi, kemudian sistem kepercayaan. Tetapi yang paling utama itu, bahkan yang awal sekali, sistem kepercayaan itu mengemuka melalui seni. Sains berkembang, dan teknologi juga berkembang, kemudian ini bergabung. Sistem di luar negeri, sekarang sudah banyak tadinya STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika). Tapi beberapa tahun terakhir ini diubah menjadi STEAM. A: arts (seni). Dan arts ini dalam pengertian luas, bukan hanya seni. Di kita bahkan kebudayaan pun disempitkan menjadi pertunjukan, menjadi barang-barang yang bisa dijual seperti ini, ini kebudayaan. Padahal kebudayaan itu cara kita berpikir, cara kita bertindak, cara kita merasa. Itu kebudayaan. Nah, ini yang diolah, yang menurut saya, sangat kurang sekarang ini. Saya sering kali mengadvokasikan anak-anak muda untuk lebih divergen dibandingkan konvergen. Dan kalau ada anak-anak yang ahli coding datang ke saya, “Pak saya harus belajar apa supaya lebih bisa divergen?” Saya bilang, “Belajar saja balet atau baca puisi, atau melukis, dsb.," supaya wawasannya itu lebih lebar. Dan saya sangat percaya semakin kita horizontal, semakin kita bisa mengantisipasi blind spot, semakin kita bisa memitigasi risiko yang lebih sistemis, dan ini sangat bisa dibungkus dalam kebangsaan ke depan. Tapi saya belum melihat adanya upaya secara masif untuk mendivergensikan masyarakat luas bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Ini mungkin karena beberapa hal. Satu, mungkin budaya baca buku juga sangat dikecilkan atau kesampingkan. Dua, juga kita agak nyungsep di era pasca kebenaran, yang mana perasaan itu lebih penting daripada bukti empiris. Nah, itu mungkin semakin kita nggak mau menunjukkan unsur curiosity atau penasaran untuk mencari bukti empiris atau data empiris. Nah itu nyambung dengan inkapasitas kita untuk berpikir secara objektif. Jadi kita melihat di sini ada 2 fenomena. Satu, berkurangnya divergensi. Dua, berkurangnya kapasitas untuk berpikir secara objektif. Apakah itu sehat ke depan? Itu berbahaya. Dalam arti begini, tadi sudah saya katakan emosi penting. Tapi emosi yang mentah, yang tidak diolah, itu seperti daging teronggok yang berdarah-darah. Tapi daging yang teronggok itu kemudian bisa diiris dengan sangat halus sehingga kemudian disajikan dengan indah. Seperti sashimi, itu contoh yang sangat bagus. Halus sekali ditampilkan. Nah itu, emosi yang tertata, terolah, sehingga orang itu bahkan bisa tahu kapan dia mau marah. Dia tahu, “Ini ada persoalan yang akan membuat saya marah, akan ada persoalan yang membuat saya sedih.” Dia sudah tahu. Sehingga dia bisa menata itu tidak lalu seperti yang kita lihat sekarang di medsos, sangat mengerikan. Jadi, ada satu penelitian yang sangat menarik beberapa tahun yang lalu, yang memperlihatkan dia menyaring jenis-jenis emosi yang ada di dunia maya. Lalu dia kumpulkan. Sampai pada kesimpulan (setelah diolah) bahwa teknologi digital dengan internet dan segala macam medsos itu terutama bukan persoalan kemajuan teknologi. Teknologi itu selalu adalah proses perangkat-perangkat yang memungkinkan sesuatu berkembang, tapi lebih daripada itu, ini adalah perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan yang memungkinkan orang kemudian meluapkan emosinya dan membagi emosi itu tanpa disaring. Dan ini kemudian memungkinkan yang tadi disebut post-truth, karena orang lebih tergerak emosinya dan hal-hal yang ditampilkan dan menarik perhatian adalah yang lebih menggerakkan emosi, bukan "ini loh datanya". Dan orang yang emosinya sudah terpicu, suatu informasi telah mengena ke emosinya, itu sulit sekali diubah. Mengapa suatu pertimbangan yang masuk akal tidak mudah mengubah seseorang? Karena emosinya tidak tersentuh. Ini sudah dari zaman filsafat Yunani dulu, dipelajari. Di kita juga sama, di tradisi Nusantara, itu ada rasa-rasa. Tapi kalau rasa yang diutamakan, tidak bisa, harus seimbang. Jadi, berbahayanya adalah orang mengabaikan data. Mau dikasih data seperti apa pun, dia, “Saya tidak suka.” Bahkan, bayangkan, kalau di suatu negara, dan ini terjadi, sudah terbukti di beberapa negara, orang harus membuat pilihan. Dan pilihan itu adalah pilihan politik atau pilihan etis, pertimbangannya adalah suka atau tidak suka. Pertimbangannya adalah emosi, bukan data. Ya, kita sudah lihat dalam beberapa pemilihan umum. Di mana pun. Jadi post truth itu sejak dulu sudah ada, bahkan sains itu juga sudah, maka dalam filsafat itu ada macam aliran-aliran kebenaran, dan bahkan tidak menyebut kebenaran sama sekali. Tetapi sekarang ini menjadi begitu meluap dan mempengaruhi masyarakat karena ada media sosial. Dan orang menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial. Saya melihat fenomena ini sudah sangat mengganggu orang yang sangat berpendidikan apalagi yang kurang berpendidikan. Orang yang punya gelar, S2, S3, kalau diajak ngobrol, predisposisinya kuat sekali. Dan itu bisa terjadi mungkin karena apakah itu bias kognitif atau emosional, atau noise; kognitif atau emosional juga. Tapi semestinya kalau dia punya S2 atau S3, lebih bisa difilter lah bias dan noise. Itu kan pengandaian. Pengandaian bahwa orang punya gelar tinggi, lalu dia bisa berpikir kritis. Tapi persoalannya, sering kali dengan gelar itu dia hanya mempelajari hal-hal teknis tapi tidak berpikir. Berpikir itu kan lain. Berpikir itu beda dengan menguasai suatu teknis. Kalau saya berdialog dengan orang yang punya predisposisi, itu mungkin karena ideologi, oke kita bisa setuju atau tidak setuju. Tapi kalau semakin kelihatan unsur pokok’e-nya, itu saya agak bingung, ini bukan ideologi, ini noise dan bias. Dan noise dan biasnya sifatnya bisa kognitif dan emotif. Betul. Jadi kalau sudah pokok’e, itu berarti nggak bisa argumen, sementara yang dibutuhkan untuk hidup bersama yang sehat itu adalah berani berargumen. Kita beda pendapat, tapi mari kita berargumen, dan kesimpulannya bisa berbeda, tidak apa-apa, tapi kita bersahabat, kita tetap berteman. Jangan karena beda ideologi atau beda prinsip, lalu menjadi persoalannya, saya tidak suka dengan dia. Tidak, bukan itu. Karena hidup bersama yang tidak diisi dengan argumen-argumen dan keberanian menunjukkan ini pendapat saya, Anda tidak setuju, mari kita duduk bersama, kita berargumen. Itu yang akan membangun sebuah masyarakat. Nah, untuk bisa seperti itu, memang perlu berfikir dengan kritis dan tidak gampang tunduk pada status quo. Berani untuk melawan status quo. Saya memimpikan bahwa pendidikan kita berhasil untuk membawa anak-anak muda ini sampai ke titik dia berani untuk mempermasalahkan ini yang kelihatannya sudah benar, coba kita periksa. Kita periksa, apa betul? Menurut Ibu semakin perlu dong mata pelajaran filsafat untuk diajarkan di level serendah mungkin? Karena itu berkorelasi dengan peningkatan kapasitas untuk menginvestigasi kebenaran atau pre-existing truth yang mungkin perlu direnovasi ulang atau direinterpretasi, dsb. Kalau di sekolah-sekolah di banyak tempat di luar negeri, itu filsafat diberikan dasar-dasar cara berpikir itu memang diberikan sejak sekolah menengah, mungkin sekolah menengah atas. Di kita, fakultas filsafat saja sangat terbatas, hanya pada sedikit sekali universitas. Jadi tidak cukup di … saya tidak mau mengatakan dihargai, tapi dipertimbangkan bahwa itu penting. Filsafat itu memang mengajarkan orang untuk berani membongkar apa yang sudah diyakini sebagai benar, karena dia terus akan mempertanyakan, dan dengan berani untuk mempertanyakan, itu justru akan membawa dia lebih jauh pada, oh sebetulnya apa yang saya terima selama ini adalah pendapat orang banyak, bukan kebenaran. Tapi banyak orang takut pada kebenaran, banyak orang takut. Data banyak ditolak karena persis atau dimanipulasi persis karena data itu juga bisa menyingkapkan apa sebetulnya yang terjadi. Jadi tentu sebagai orang yang mengajarkan filsafat dan berkutat di dalam filsafat walaupun terbatas filsafat ilmu, tetapi saya tentu akan sangat berbesar hati kalau filsafat lebih dikenal dan diberikan sejak usia yang lebih awal. Ada teman-teman di Bandung, kelompok yang mengajarkan, jadi mengajak anak-anak untuk sudah mulai berfilsafat, membaca teks-teks filsafat yang dikemas dengan bahasa anak-anak. - Gimana daya tariknya?
  • Oh luar biasa. Kan pernah ada Philofest, waktu itu masih suasana pandemi jadi memang diadakan lewat media maya. Ada satu sesi atau lebih dari satu sesi yang anak-anak itu diundang, dan mereka tertarik dan mereka bisa berargumen secara filosofis tapi dari perspektif dan bahasa anak-anak. Filsafat juga mengajarkan logika. Kita selama ini kalau dengar logika, banyak orang takut, berpikirnya itu; jika, maka, lalu seluruh rumus-rumus, silogisme, dsb. Tapi, filsafat itu mengajarkan logika berpikir dengan sangat cermat. Sehingga bahkan membaca satu kalimat saja, kita sudah bisa mengenali, ini ada yang nggak beres dalam kalimat ini. Sementara kita banyak sekali, maaf, orang-orang penting bicara sekenanya. Dan itu memprihatinkan dan bahkan bisa berbahaya. Lalu nanti dengan enaknya mengatakan, “Oh maaf, maksud saya tidak demikian.” Jadi, tidak dipandu dengan keketatan logika. Wow, menarik banget. Saya akhir-akhir ini sering ngobrol mengenai gimana kita bisa lebih mencari titik optimal untuk kepentingan interseksi antara talenta dengan kekuasaan. Ibu baru saja ngomong mengenai penguasa di berbagai negara yang kadang-kadang ngomongnya mungkin nggak nyambung dengan apa yang kita aspirasikan. Nah ini gimana, Bu, untuk mencari interseksi yang lebih optimal antara talenta dengan kekuasaan? Karena ini cukup global. Saya melihat adanya dua situasi yang cukup menarik. Di sini, negara yang bisa dianggap lembaga atau kelembagaannya itu canggih sekali. Tapi tiba-tiba muncul pemimpin yang nggak nyambung, saya nggak usah sebut negaranya. Terus di sini, negara yang mungkin lembaga atau kelembagaannya amburadul, tapi timbul pemimpin yang wow, dan bisa menyempurnakan atau menyembuhkan, mengobati lembaga-lembaga yang anggaplah chaotic (amburadul). Saya semakin berpikir, mungkin interseksi antara talenta dengan kekuaasaan ini adalah sesuatu yang serendipitous; harus ada unsur jodohnya, keberuntungan. Tapi kalau mengandalkan keberuntungan, sulit sekali. Kalau tidak beruntung, nanti kita bilang aduh … Saya hanya mau menggelitik atau mengulik. Ya, saya mengerti ini untuk memantik. Sebetulnya yang diperlukan itu bukan hanya mendidik orang-orang yang punya talenta tadi, tapi juga di dalam talentanya itu, dia punya integritas dan punya kesadaran civic untuk hidup bersama, kebaikan hidup bersama. Nah, orang-orang seperti ini yang perlu berani untuk maju di bidang politik. Sering kali justru orang-orang seperti ini karena melihat cuaca politiknya itu memperhatinkan, tidak mau maju. Tapi tidak cukup hanya adanya orang dengan talenta-talenta seperti itu. Diperlukan pendidikan politik masyarakat karena kendati ada orang yang sebetulnya punya kemampuan untuk menjadi pemimpin yang baik, tetapi masyarakat itu berhasil digerakkan oleh apakah soal emosi, soal suka atau tidak suka, atau mudah untuk terpengaruh oleh bias, dsb., itu menyebabkan kelihatannya serendipity, keberuntungan. Karena tidak didukung oleh masa yang mengerti betul apa itu politik. Bahkan di negara seperti Amerika yang begitu maju, dilihat maju, tapi kalau kita masuk ke daerah-daerahnya itu, kita akan bertemu dengan orang-orang yang sangat dipengaruhi oleh ideologi. Kita dari luar, banyak sekali orang melihat, oh memang hebat, negara-negara itu hebat, tapi apakah masyarakatnya sudah punya kematangan politik? Jadi yang dibutuhkan kematangan politik. Bukan hanya orang-orang tertentu, partai-partai di dalam partai tertentu, tapi masyarakat mengerti apa artinya ketika memilih seorang pemimpin. Jadi apa pun yang ditawarkan kepada mereka dengan iming-iming segala macam, salah satunya kalau di kita (adalah) iming-iming agama, dsb., dia mengerti (bahwa) bukan itu. Nah ini pekerjaan sangat besar; membuat kematangan politik masyarakat. Karena tidak cukup. Karena kalau tidak, mudah sekali … apalagi ada politik uang, dsb., hanya jangka pendek. Saya melihat di berbagai negara di mana proses politik itu diwarnai dengan pembentukan koalisi, common denominator dalam konteks pembentukan koalisi, itu bukan ideologi. Tapi lebih terkait dengan power sharing. Jadi saya melihat ini merupakan diskon kalau ideologi itu bukan merupakan common denominator. Dan saya disini berasumsi bahwa proses politik di Indonesia sudah menggunakan ideologi, tapi kenyataannya, bukan hanya di Indonesia tapi di berbagai negara, common denominator-nya itu adalah kekuasaan. Itu merupakan diskon untuk kepentingan siapa pun yang berkuasa untuk melakukan atau membuahkan meritokrasi. Nah, ini kan nyata bahwasannya penyeleksian talenta lebih berdasarkan patronase dan /atau loyalitas, bukan meritokrasi. Semakin sulit untuk kita berharap bahwa kesejahteraan rakyat itu yang sangat dikedepankan. Nah, ini obatnya gimana? Dan saya melihat ini fenomena yang terjadi juga di negara-negara maju, tapi lebih banyak di negara-negara berkembang. Meritokrasi itu selalu hal terakhir kalau di dalam politik karena orang selalu bilang politik itu perihal kekuasaan. Tentu saja, politik selalu berhubungan dengan kekuasaan, karena bagaimana mau menyampaikan atau membuat kebijakan-kebijakan tertentu, itu pun kebijakan untuk kebaikan rakyat, kalau tidak punya kekuasaan, jadi selalu kekuasaan itu memang ada dalam politik. Dan ini tidak buruk. Tetapi kekuasaan yang betul-betul kemudian diarahkan untuk kebaikan hidup bersama. Nah, tetapi sering kali yang terjadi itu adalah kepentingan, kepentingan kelompok yang diutamakan. Ini yang kemudian membuat demi... jadi sekedar demi berkuasa, lalu kepentingan-kepentingan kelompok ini dinegosiasikan. Sekarang kalau kita lihat bahkan di Indonesia pun nggak ada partai oposisi. Sulit mengatakan ada partai oposisi. Padahal penting sekali dalam sebuah negara demokrasi itu ada partai oposisi. Karena apa? Karena semua mau mendapat remah-remah, mau mendapat kue di dalam kekuasaan itu. Tapi saya bisa menggunakan Singapura sebagai contoh. Yang mana bisa dibilang oposisinya non-existent; ada tapi kecil sekali. Tapi yang berkuasa itu nyata, bisa mendistribusikan barang-barang publik; kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, intelek, integritas. Dan ini termanifestasi dalam beberapa metrik, salah satunya adalah penanaman modal asing. Sering kali saya suarakan orang dari seluruh dunia itu menaruh duit di Singapura bukan karena ideologi, tapi karena lebih dipercaya saja. Dan kalau saya bandingkan FDI di negara-negara ASEAN yang besar; Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Indonesia, itu kisarannya 100-400 dolar. Tapi Singapura 19 ribu dolar. Sistemnya berhasil. Dan saya nggak melihat di sana pemimpinnya atau kepemimpinannya itu sibuk diri untuk mengimortalisasikan diri. Mereka kayaknya lebih sibuk gimana supaya semangat kelembagaannya jalan. Trust (kepercayaan) itu bisa muncul kalau sistem hukumnya itu baik. Dan sistem hukumnya itu betul-betul adil dan orang betul-betul percaya bahwa hukumnya seperti ini, itulah yang akan terjadi. Nah, ini yang di kita itu kan ... saya baru beberapa hari yang lalu dalam peringatan 25 tahun reformasi, mahasiswa minta saya memberi sedikit pengantar, saya katakan perjuangan reformasi adalah perjuangan untuk melawan impunitas. Impunitas itu dalam banyak hal. Orang korupsi bisa dengan mudah lepas. Perusahaan lingkungan itu tidak tersentuh hukum, termasuk hak asasi manusia, dll. Sehingga orang tidak yakin bahwa penanaman modal misalnya, apakah betul-betul akan sesuai dengan apa yang tertulis nantinya. Jadi selama hukum itu masih seperti itu, hanya ada di atas kertas, bahkan yang di atas kertas pun masih punya banyak sekali kekurangan karena hasil koalisi, negosiasi, dsb., sulit sekali, tidak mungkin untuk kemudian menghasilkan kelembagaan yang baik. Masih ditambah lagi perilaku. Jadi kalau kita lihat reformasi ramai sekali 25 tahun yang lalu, itu boleh, tentu ada hasilnya, dan kita hargai itu, ada banyak yang maju di situ. Tetapi seperti membangun istana, tapi perilaku orang di dalamnya tidak berubah. Mau buat hukum sebagus apa pun, kalau perilakunya tidak berubah, nggak akan bisa. Jadi tadi, talenta tadi, ketika orang-orang yang dipilih adalah orang-orang yang karena loyalitas, jadi bukan karena talentanya, bukan karena integritasnya, sulit sekali menghasilkan kelembagaan. Lembaganya kelihatan bagus, aturan-aturannya semua bagus. Tapi orang itu tetap penting. Ini selalu adalah pertarungan kalau dalam filsafat politik, saya bukan ahlinya, tapi sedikit baca. Itu kan antara agen dan struktur. Tidak bisa struktur saja atau agen saja, tapi ini betul-betul pertarungan. Agen-agennya ini adalah agen-agen yang muncul dengan segala pertimbangan politik untuk bisa ada di situ. Strukturnya bagus seperti apa pun, tidak bisa. Jadi gimana nih, Bu? Apakah kita harus lebih banyak ke masjid, gereja, wihara, temple, sinagog, berdoa? Atau gimana untuk kita bisa menggerakkan supaya lebih terbuahkan agensi? Ini kalau menurut saya kurang sekali agensinya yang mana masyarakat luas itu sadar dan berani mengambil sikap dan beraksi untuk menyikapi apa pun yang harus disikapi untuk kebaikan dan perbaikan agar terjadilah interseksi antara talenta dan kekuasaan secara optimal. Agama itu penting bagi orang-orang. Tapi agama dan iman saja juga sudah berbeda, tapi kita nggak usah masuk ke situ. Tapi menganggap bahwa solusinya itu bisa dari agama saja, itu jelas keliru, dan itu kekeliruan kita selama ini. Tadi sudah saya katakan, masalah budi pekerti diselesaikan dengan ajaran agama. Hasilnya adalah orang-orang yang semakin saleh, tapi saleh dengan cita-cita mau masuk surga. Surga urusan nanti. Tapi kita hidup di dunia ini, jadi perkara kita adalah perkara dunia. Dan persis di sini kemudian dibutuhkan keberanian orang-orang yang berani untuk menunjukkan persoalan kita (adalah) persoalan dunia, selesaikan dengan bahasa dunia. - Kurang sekali agensinya.
  • Iya, dan bahasa dunia ini, agensi tadi, hanya diperoleh ketika dia memiliki keunggulan di dalam bidang-bidang yang dikuasainya. Karena agensi itu kan perlu unggul, pertama, di dalam bidang yang akan dia tangani, itu pertama. Tapi bukan hanya keunggulan keilmuan, tapi juga punya integritas dan civic, kesadaran civic ini yang kurang di kita. Bahwa saya ini bukan hanya Karlina, saya ini bukan hanya Gita Wirjawan, bukan. Saya ini adalah Gita Wirjawan, adalah Karlina, Amin, Budi, dsb., tapi saya lahir dan hidup di suatu negara; kesadaran civic itu penting. Dan dengan kesadaran civic itu dibangun ke perlakuan itu tadi. Saya adalah orang … ini saya mengambil dari tradisi ratusan tahun dalam pendidikan itu kepada setiap anak ditanamkan: “Kamu lahir untuk hal-hal besar.” Ad maiora natus sum: lahir untuk hal-hal besar. Apa itu hal besar? Hal besar itu lebih daripada dirimu sendiri, lebih dari kepentingan empat tembok rumahmu, hal-hal besar itu adalah seluas langit, seluas dunia, seluas bumi, sehingga di situlah kamu berkarya. Dari situ kita lahirkan orang yang sadar betul bahwa saya bisa berbuat sesuatu yang lebih, itu dikejar terus, lebih dan menjadi agen. Untuk bisa menjadi agen, tentu dia harus bisa membuat keputusan, berani, jangan pernah takut. Pendidikan kita itu dari kecil banyak sekali, apalagi pendidikan agama itu diberikan dengan menakut-nakuti "nanti kamu masuk neraka." Takut sekali. Bukan itu, jangan takut, jangan pernah takut. Nanti salah. Ya namanya manusia, kalau salah, minta maaf, mengakui, “Saya salah, saya minta maaf, saya akan perbaiki.” Dan anak yang salah, tidak dimarahi. Tapi diterima, “Oke, enggak apa-apa, Nak, Kamu berbuat salah entah di sekolah, entah di rumah, tapi jangan bohong,” misalnya hal-hal seperti itu. Akuilah. Jadi, agen itu terbentuk dari keberanian. Keberanian dibina dari kecil sekali. Orang tua kita hormati, bukan kita takuti. Tuhan itu kita cintai, bukan kita takuti, misalnya seperti itu. Diajarkan seperti itu. Guru itu kita hormati, bukan kita takuti. Karena kalau sudah takut, tertutup, ini orang enggak bisa jadi agen. Agen itu kan orang yang tidak takut. Dan kenapa dia tidak takut? Karena dia tahu bahwa kesalahan itu bukan sesuatu yang nista. Yang nista itu justru adalah ketika tidak berintegritas, ketika dia mencuri, korupsi, itu baru. Jadi ada jelas sekali values (nilai-nilai) yang dipegang oleh seorang agen. Mungkin dia tergelincir, namanya juga manusia, tapi ketika tergelincir, ya bangun lagi. Saya sempat baca bukunya PAP (People's Action Party) di Singapura. Dari chapter awal sampai akhir, itu hanya tiga kata saja yang terulang: kompetensi, integritas, akuntabilitas. Dan itu termanifestasi dalam segala hal yang mereka lakukan dalam perekrutan, kebijakan, politik sosialisasi, dsb. Dan kita bisa merasakan kalau kita tiba di Singapura, pelayanan publiknya itu sangat bagus. Dan itu manifestasi dari apa yang tercantum di setiap bab. Jadi kalau mereka merekrut, mereka nggak main-main. Ini orang pokoknya harus cerdas, tapi dia juga harus berintegritas, dan dia harus mempertanggungjawabkan apa pun yang dia harus lakukan. - Saya mau tambahkan, boleh?
  • Boleh. Conscience (suara hati) dan compassion (welas asih). Wah, ini bocoran untuk Singapura, semakin meninggalkan yang lain-lainnya. Jadi, kompeten sangat penting. Lalu, kolaborasi. Untuk masa depan dengan dunia yang terbuka seperti ini (perlu) kolaborasi, kerja sama. Orang perlu bisa kerja sama. Kerja sama perlu punya compassion, welas asih terhadap orang yang menderita. Keadilan itu bukan sesuatu yang diajarkan, bukan sesuatu yang dibaca, tetapi yang dialami. Kita hanya bisa menjadi adil kalau kita menerapkan. Kita tahu ketika bermain dengan teman, Ah ternyata saya kok merasakan saya mengalami ketidakadilan. Jadi dilatih. Saya selalu menggunakan Singapura. Jangan-jangan saya dianggap dutanya Singapura. Tapi saya nggak habis pikir, sebenarnya contoh yang bagus sudah ada di sini, kenapa nggak ditiru saja. Dan saya melihat Vietnam sudah menjiplak playbook-nya Singapura. Negara-negara timur tengah sudah menjiplak playbook-nya Singapura; Dubai, Abu Dhabi, Saudi dan Bahrain. akhir-akhir ini. Mereka sangat berkonsultasi. Tapi yang saya perhatikan di sini, Singapura itu, selain yang tadi; kompetensi, integritas, akuntabilitas, syukur-syukur ditambahin conscience dan compassion, dia bisa memastikan diri sebagai interseksi penyaluran ide dari mana pun. Orang Amerika kalau mau tahu mengenai Asia Tenggara, yang ditanya orang Singapura. Orang Eropa kalau mau tahu mengenai Asia Tenggara, yang ditanya orang Singapura. Tiongkok kalau mau tanya mengenai Asia Tenggara, yang ditanya Singapura, bukan negara yang terbesar di Asia Tenggara. Karena mereka bisa mengartikulasikan ide. Nah, ini kalau menurut saya sesuatu yang harus kita pelajari. Tapi juga mereka sangat conscience, secara sadar rendah diri. Mereka kalau tampil di panggung, “Aduh kita ini sebetulnya dari negara kecil.” Tapi mereka tahu bahwa mereka punya ide yang perlu didengar oleh banyak sekali masyarakat luas. Nah ini kan kita bisa belajar, dan saya peka bahwa mereka nggak sempurna, tapi apa pun yang mereka sudah lakukan dengan baik, kenapa nggak dijiplak saja. Kita selalu bisa belajar dari negara mana pun yang punya kelebihan-kelebihan. Dan Singapura itu tetangga kita. Sebetulnya posisinya juga menarik, baik Singapura maupun Indonesia itu sama-sama negara silang budaya, dan itu dari sejak zaman dahulu kala seperti itu. Satu hal yang sering mungkin saya keliru, tapi sering saya pikirkan juga, banyak orang di Indonesia itu masih tenggelam di dalam sindrom Indonesia adalah negara besar dari zaman Nusantara. Memang betul, kerajaan-kerajaan Nusantara itu besar. Tapi malangnya perasaan yang besar itu tidak diisi dengan kompetensi bahkan kolaborasi yang sering disebut di Indonesia 'gotong royong', itu juga pupus sekarang ini untuk macam-macam kepentingan. Jadi kita perlu belajar dari tetangga- tetangga kita, bahkan dari Malaysia juga, lalu mengambil apa yang terbaik, tentu ada sistem budaya sendiri di Indonesia yang juga begitu beragam yang kemudian bisa disesuaikan. Tapi mengambil itu kan tidak selalu berarti menjiplak. Mengambil, lalu memodifikasi untuk sesuai dengan kebudayaan. Nah kalau kita kembali ke sistem pendidikan, bahkan sistem pendidikannya saja dari Sabang sampai Merauke sudah diratakan kurikulumnya sama semua. Diberi kebebasanlah dengan Sekolah Merdeka, Kampus Merdeka, dsb. Tapi dalam praktiknya, penyeragaman itu masih ada. Nah, bagaimana kita mau meniru misalnya, tetangga yang punya kelebihan dalam bidang-bidang tertentu, lalu menyesuaikan dengan lokal, ketika lalu sudah ada penekanan bahwa ini loh yang harus diterapkan, keseragaman itu tadi. Padahal Indonesia begitu beragam, itu perlu diterima kembali keberagaman itu, dan membiarkan setiap daerah berkembang sesuai dengan talenta dari daerah itu, lalu memberi kebebasan untuk mengambil contoh. Saya beri contoh yang sangat menarik. Di satu desa di Yogyakarta, saya lupa persisnya apa, beberapa tahun yang lalu, bupatinya mengambil satu saja kriteria untuk menunjukkan bahwa kabupatennya itu maju. Dan itu sangat tidak terduga kriteria itu. Dia katakan, “Kalau kabupaten ini berhasil menurunkan angka kematian ibu, maka itulah kemajuan.” Karena apa? Dia mempelajari data-data dari luar negeri, dari mana-mana, dia pelajari. Dan dia lihat Indonesia termasuk yang masih tertinggi di kawasan Asia untuk angka kematian ibu. Lalu dia mengambil keputusan, "Ini kriteria utama untuk kemajuan kabupaten saya." Yang lain-lain oke, berjalan, pembangunan. Tapi pembangunan infrastruktur selalu kriterianya angka kematian ibu harus menurun. Dan itu menangkap segalanya, karena apa? Untuk bisa mengurangi angka kematian ibu, berarti infrastruktur entah dalam fisik maupun tenaga kesehatan bahkan masyarakat yang siap di sekitarnya; kalau ada tetangganya hamil sudah hamil tua, sementara jarak puskesmas jauh, mereka akan melapor kepada lurah, nanti dicarikan rumah tinggal sementara supaya dekat, dan berhasil. Ini contoh cara berpikir yang berbeda, terbuka terhadap berbagai kemungkinan kriteria, lalu dia ambil satu. Kita butuh pemimpin yang kreatif seperti itu dan berani. Saya selalu bilang yang paling tragis adalah kita menangis, tentu kita sedih, kecelakaan pesawat, kereta, memakan banyak korban, perang, tapi ada kematian senyap; setiap jam, dua ibu di salah satu pelosok di Indonesia, meninggal karena melahirkan. Melahirkan itu peristiwa alami. Dan ini perlu menjadi kriteria keberhasilan pembangunan. Kita biarkan ibu di Indonesia meninggal, dan belum berhasil, baru meningkat sedikit, tapi belum berhasil secara signifikan. Dan ini sudah berdekade, tidak berhasil. Bagi saya, itu tragis. Kita punya sila kemanusiaan, tapi masih angka (kematian ibu) yang cukup tinggi di Asia. Nah, maksud saya, ketika kita bicara talenta, ini membutuhkan talenta yang luar biasa; agensi. Bahwa dia memutuskan sendiri sebagai kepala daerah (adalah) ini. Tidak tergoda oleh slogan-slogan entah partai, entah apa pun, tapi, buat seperti ini. - Maaf, balik lagi ke Singapura.
  • Iya. Singapura termasuk yang rendah (AKI). Sangat. Dan saya melihat mereka bisa mengamalgamasikan dua budaya. Satu, budaya pragmatisme yang sangat dirangkul oleh negara- negara Asia Tenggara lainnya untuk kepentingan kedamaian. Dan terbukti damai dan stabil selama 2000 tahun. Angka kematian karena friksi itu relatif rendah sekali dibandingkan angka di Eropa dan tempat-tempat lain. Itu membuktikan bahwa DNA kita memang nggak mau berantem satu sama lain; kalau bisa, kita damai sesama tetangga. Tapi budaya yang satu lagi adalah budaya prinsip. Ini yang Singapura itu kalau menurut saya jelas mengedepankan. Budaya prinsip itu kalau menurut saya berkorelasi dengan keunggulan. Jadi dia bulat untuk memastikan bahwa gue pingin warga gue sangat berpendidikan. Kualitas kesehatannya top notch, kualitas pendidikannya top notch, dan redistribusi kesejahteraan juga top notch. Dan harus berintegritas, harus bisa membuahkan akuntabilitas, dsb. Itu yang agak kurang di negara-negara lain di Asia Tenggara. Jadi mereka lebih memprioritaskan budaya pragmatisme dibandingkan budaya prinsip. Nah, ini kalau menurut saya, penting untuk kita mengedukasi adik-adik kita agar mereka bukan hanya bisa lebih mengedepankan budaya prinsip, tapi mengamalgamasikan budaya pragmatisme dan budaya prinsip. Gimana Bu? Dalam hal-hal tertentu ketika pengambilan keputusan terutama untuk kebijakan publik, sering kali memang pertimbangan pragmatis itu yang menjadi pilihan. Karena sering kali ada hal-hal yang harus diputuskan dengan cepat. Tetapi lalu, di sini pentingnya, yang kalau menurut istilah Pak Gita budaya prinsip, ini hal-hal yang menyangkut etika, hal-hal yang menyangkut ideologi, dll., pertimbangan baik dan buruk, dsb., ini perlu diimbangi tentu saja. Tapi kita ambil contoh ketika pandemi. Itu betul-betul pertimbangannya adalah pragmatis. Pertimbangan pragmatik bahwa vaksin dikembangkan dengan sangat cepat, pengujiannya sangat cepat, banyak jalur yang harus dipotong, yang idealnya tidak, tetapi karena ada sekian puluh juta nyawa yang harus diselamatkan, miliaran bahkan. Jadi, itu diambil. Nah, ini pengambilan kebijakan yang memerlukan langkah-langkah pertimbangan pragmatik seperti itu. Sementara itu, proses yang didasarkan pada prinsip tadi, itu tetap berjalan. Karena riset tetap berjalan menurut jalur yang memang seharusnya. Nah, dalam pengambilan kebijakan sebuah negara, pembentukan atau pengembangan sebuah negara, saya setuju sekali, ada hal-hal yang memang tidak bisa selain diambil dengan pertimbangan pragmatik. Dan pertimbangan pragmatik selalu adalah kebaikan terbanyak untuk sebanyak mungkin orang. Kelemahannya adalah kemudian ada kelompok yang dikorbankan. Karena sebanyak mungkin orang; kebaikan terbanyak untuk sebanyak mungkin orang. Nah, bagaimana kelompok yang tertinggal ini tidak diabaikan. Nah, ini pengertian kita kalau mengatakan demokrasi sering kali mengatakan demokrasi itu suara terbanyak. Kita lupa bahwa ada sekelompok … demokrasi sebetulnya (adalah) satu orang satu suara. Berarti kelompok yang tertinggal ini tetap perlu kemudian didengar, misalnya, melalui pendekatan-pendekatan di dalam politik yang, saya lupa istilahnya, semacam intervensi. Jadi memang perlu kecerdasan politik. Dan saya kira Singapura memiliki itu, kecerdasan politik. Nah ini yang tidak mudah. Kita membutuhkan orang-orang yang, pakai istilah Pak Gita tadi, punya talenta. Talenta itu terutama salah satunya adalah kecerdasan politik dan kesediaan untuk melihat data. Dan data ini berarti dari ilmu, dari teknologi. Kebijakan publik itu perlu dilandasi dengan penemuan-penemuan ilmiah. Dan ini yang masih sangat sedikit di kita. Maaf sekali, kita terbuka saja, masih ada kebijakan yang pertimbangannya itu karena bisikan. Padahal tidak bisa. Nah, di sini kemudian diperlukan pemimpin yang tadi, mengapa conscience itu penting dan compassion itu penting. Karena antara data-data, hasil-hasil studi tentang mana yang paling dibutuhkan masyarakat dan seorang pemimpin, ini kan ada satu jurang. Karena dia tidak bisa begitu saja, "Ini data ilmiah kok." Data ilmiah itu kan tidak bisa menghasilkan kebijakan. Tapi menjadi dasar bagi kebijakan. Tetapi ini ada jurang, dan inilah jalan sepi seorang pemimpin. Nah, jurang ini persis adalah pertimbangan-pertimbangan antara yang pragmatis dan yang ada compassion, ada conscience di situ. Makanya jalan pemimpin itu jalan sangat sepi. Karena dia harus berani dan dia harus punya kemampuan itu. Berat ya tugas pemimpin. Berat dan memang dibutuhkan orang yang punya banyak bukan hanya pengalaman tapi dipenuhi dengan banyak sekali wawasan entah dari membaca, dan belajar dari pengalaman sekitar. Bu saya mau nanya, agak geser dikit. Orang yang bahagia itu apa sih? Gimana sih definisinya? Bahagia. Ini sulit ya. Sebelum kita transisi ke astronomi setelah ini. Orang yang bahagia, tentu setiap orang punya pengertiannya sendiri, karena ada yang mengatakan itu suatu keadaan mental. Itu pertimbangan psikologis, tentu saja. Tapi ada juga yang melihat itu dari segi virtue, segi keutamaan, segi makna; apakah dia menjadi bahagia karena dia mencapai hal-hal baik di dalam hidupnya dan hal-hal baik itu bermakna bukan hanya (bagi) dirinya, tapi terutama juga bagi orang sekitarnya. Ada yang begitu. Tapi ada juga yang, "Oh saya bahagia kalau hati saya gembira," dsb. Jadi ada yang seperti itu. Jadi, susah menjawab definisi bahagia. Karena itu pertanyaan apakah saya bahagia atau tidak? Tapi orang kalau tidak bahagia, sulit ya. Saya sering bilang ke anak-anak saya, kalau kamu milih apa pun dalam hidupmu, kalau kamu tidak bahagia, itu sulit. - Iya, sama saja bohong.
  • Iya. Dan bagaimana dia menjadi bahagia adalah dengan menemukan hal-hal yang baik, yang bermakna, bukan hanya bagi dirinya, tapi bagi orang lain. Apakah orang yang bahagia itu orang yang lebih bisa mengikhlaskan, apa pun konsekuensinya? Orang kalau sudah bahagia, dia merasa cukup. Saya ini bahagia. Sehingga apa pun yang terjadi, dia terima, karena kebahagiaannya tidak ditentukan oleh hal-hal yang kemudian terjadi di sekitarnya, tapi ditentukan oleh dirinya yang bisa kemudian mencapai atau memberikan yang baik. Jadi tidak ditentukan oleh apa yang terjadi. Tapi, apa pun yang terjadi, tapi dari dalam dirinya, dia mengeluarkan hal-hal yang baik dan bermakna. Akhir-akhir ini kita dengar wacananya Elon Musk untuk membuahkan sistem yang lebih multi planetary. Pandangan Ibu gimana? Dia ngomongnya, kemungkinan atau kemungkinan besar akan terjadi kepunahan secara masif. Jadi kita harus memikirkan alternatif. Tapi alternatifnya ke planet yang merah. Nah, itu gimana? Manusia sudah memimpikan bisa terbang dan tinggal di planet lain itu dari mungkin kalau kita ingat fiksi-fiksi ilmiah itu dari sejak abad ke-17, 16, dan sebelumnya, bahkan Johannes Kepler pun menulis fiksi ilmiah hidup di bulan. Tapi kalau kita bicara tata surya, sejauh ini memang bumi tempat yang paling tepat untuk bentuk kehidupan seperti kita. Mars, ya, tapi Mars itu tidak punya kandungan oksigen yang cukup bagi makhluk bukan hanya manusia tapi makhluk di bumi, sehingga kalau mau pindah ke Mars, perlu dibuat semacam lingkungan hidup yang menghasilkan oksigen yang cukup, mungkin teknologi bisa suatu ketika ke situ. Tapi ini suatu pertimbangan yang sangat mahal. Siapa yang nanti bisa sampai ke sana? Akan muncul lagi persoalan ketimpangan, ketimpangan generasi manusia yang bisa tinggal di Mars; hidup nyaman, membangkitkan temuan-temuan baru hidup ini, tapi lalu bumi yang ditinggalkan merana. Dan ini menjadi manusia-manusia yang menderita. Jadi kalau saya, dengan pemahaman tentang sistem planet itu, alih-alih mencari planet baru, mengapa tidak sejak sekarang, sebetulnya sudah sedikit terlambat, tapi sudah lah, kita mulai mengubah gaya hidup, sehingga bumi itu pelan-pelan bisa pulih kembali. Karena dengan gaya hidup sekarang ini, bumi itu, sebagai sistem alam, selalu bisa memulihkan siklusnya, tetapi dengan gaya hidup seperti ini, eksploitasi seperti ini, kesempatan untuk memulihkan dirinya itu yang tidak ada. Jadi tidak bisa lain kecuali mengubah gaya hidup. Kalau tidak, silakan orang-orang yang punya modal yang cukup memikirkan itu, tapi lalu meninggalkan bumi bagi makhluk yang pelan-pelan punah. Tapi Mars tidak akan bisa seindah seperti bumi secara alamiah, karena beda sekali, beda. Tapi kalau argumennya bukan perubahan iklim, tapi merupakan kepunahan masal kalau ada asteroid, dsb., makanya kita harus punya cadangan. Kita perlu punya tempat persediaan. Tapi begini, NASA itu membuat beberapa skenario, termasuk kan bisa tahu dengan teknologi yang ada sekarang, kapan akan ada benda yang mendekat, yang membahayakan kita, lalu mengirim pesawat antariksa untuk menghancurkan itu sebelum tiba ke bumi. Contoh benda langit yang jatuh itu di Padang Tunguska, di Rusia, ada banyak lubang-lubang meteor yang sangat besar, dan itu memang selalu bisa terjadi. Tapi kalau mau pindah masal, apa mungkin? Berapa miliar (populasi dunia)? 8 miliar. Berapa pesawat antariksa, berapa biaya. Jadi, saya lebih mendukung yang NASA kembangkan, membangun teknologi, kemampuan- kemampuan untuk intersepsi. Jadi sebelum mendekat, dihancurkan, itu kan batu-batuan, kalau meteor atau komet, dihancurkan. Tapi bumi kemudian dirawat. Yang terakhir, kecerdasan artifisial. Pandangan Ibu gimana? Utopia atau distopia? Saya tidak mau jatuh ke dua-duanya, karena AI, kecerdasan buatan itu fakta yang ada. Jadi, itu adalah tanda-tanda zaman, katakan demikian. Yang, ya sudah, kita terima dan kita butuhkan. Tetapi, kita sadar betul apa yang akan dihasilkan, apa yang akan dimunculkan. Dan justru menantang kita untuk menanyakan di mana manusia berdampingan dengan mereka. Mereka adalah ciptaan kita. Saya sebut ‘mereka’ karena dalam filsafat teknologi itu sudah berkembang 4 jenis kecerdasan mesin, termasuk salah satunya itu yang punya kesadaran subjektif manusia. Kesadaran yang betul-betul tersembunyi. Sehingga bahkan kita tidak bisa tahu mesin ini berpikir apa. Itu sudah sampai level manusia. Jadi, ya sudah, kita terima. Artinya, terima dalam arti ya sudah kita kembangkan. Tetapi, kita mengerti betul seluruh konsekuensi dan risikonya; pekerjaan-pekerjaan apa yang akan diambil alih. Sehingga kemudian apa yang perlu dikembangkan oleh suatu negara, misalnya. Dan ini perlu dari awal, sehingga nggak selalu ketinggalan. Lalu persoalan menata emosi ketika berhadapan. Jadi ya sudah, dijadikan rekan kerja saja. Tapi jangan sampai kemanusiaan kita hilang. Justru bagaimana kemanusiaan kita menjadi matang ketika mesin itu sudah bisa ber-partner menjadi teman kerja kita. Bukan dalam arti bercakap-cakap saja, tetapi banyak hal yang tidak bisa dikerjakan oleh manusia, karena kecepatan terbatas dari berpikirnya, itu bisa dikerjakan dengan jauh lebih efisien oleh kecerdasan buatan. Kemarin si Yuval menulis artikel bahwasanya AI ini merupakan hack terhadap peradaban. Saya secara intuitif berpikir bahwa selama ini peradaban kita memang selalu di-hack; kita mengalami evolusi, apakah itu alamiah atau apa pun. Apakah itu yang benar cara berpikirnya; kita terima saja bahwa ini bagian dari proses evolusi ke depan untuk kepentingan peradaban kita? Terima bukan dalam arti pasrah, karena ini juga teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Kita terima dalam arti kita memang memerlukan itu. Kalau kita lihat sejarah peradaban, selalu teknologinya maju, ilmunya juga maju, tetapi manusianya ketinggalan atau tidak? Dan kita tidak diperalat nantinya. Sebetulnya diperalatnya bukan oleh teknologi, tapi oleh kelompok-kelompok manusia yang berhasil menciptakan teknologi itu; oleh para pemilik modal. Jadi bagaimana manusia lainnya ini kemudian tetap mengembangkan kemampuan untuk mengelola teknologi ini. Yang dikhawatirkan memang nggak sampai pada satu titik di mana teknologi ini tidak bisa di... manusia menciptakan teknologi yang tidak bisa dia kendalikan lagi. Saya melihat kemungkinan; ketika robotnya Facebook tiba-tiba mengembangkan bahasa sendiri yang tidak bisa dipahami lagi oleh manusia. Itu bisa terjadi begitu. Tapi kita bersiap-siaplah untuk menghadapi segala macam teknologi seperti itu. Saya punya kepercayaan manusia itu selalu bisa mengatasi teknologi kalau dia betul-betul mengembangkan dirinya bukan hanya untuk dikendalikan oleh apa yang dia hasilkan. Saya punya keyakinan seperti itu juga. Tapi dengan asumsi bahwa ini margin of error-nya semakin kecil. Ini hanya bisa dikendalikan atau dikelola kalau kita peka dengan kepentingan untuk terus-menerus memultidisiplinerkan diskusi, syukur-syukur diskursus. Ini yang saya agak kadang-kadang khawatir. Sering kali lebih terjadi individualisasi untuk tidak melakukan diskusi apalagi diskursus yang multidisipliner. Ini yang kalau menurut saya akan membuahkan risiko yang bisa nyambung ke distopia. Saya setuju sekali. Sekarang ini, ilmu itu tidak bisa lagi monodisiplin. Kalau untuk kita bicara ilmu, kita bicara perguruan tinggi dan lembaga riset, itu perlu interdisiplin dan bahkan transdisiplin. Interdisiplin itu antar bidang ilmu. Transdisiplin itu bahkan sudah keluar melampaui lintas disiplin ini karena melibatkan hal-hal dari luar ilmu, dari masyarakat, dari dunia bisnis, dari agama, dsb., untuk membuat pertimbangan apa yang perlu kita lakukan. Di sini, dengan tetap satu unsur penting, kemanusiaan kita tetap kita jaga. Sulit, tidak mudah. Tapi kita jadikan tantangan. Jangan sesuatu yang kemudian membuat kecil hati. Tetap perlu cermat selalu. Teknologi itu cepat sekali. Jauh lebih cepat daripada filsafat, daripada etika yang selalu muncul belakangan dampaknya. Nah, ini yang perlu kita pikirkan betul. Maka anak-anak muda itu perlu menguasai kemajuan ilmu dan teknologi. Ilmu dan teknologi itu bahasa untuk memahami kinerja dunia. Jadi perlu dikuasai dengan unggul. Tapi seni, sastra, lalu kepekaan batin, emosi, itu berjalan seiring. - Wow!
  • Ya terlalu ideal kali ya. Ini bisa ngobrol 4 jam, kita sudah ngobrol 2 jam. Asyik banget. Tapi saya tahu Anda harus pergi. - Terima kasih banyak, Bu, atas waktunya.
  • Banyak terima kasih, diberi ruang. Semula gugup, tapi akhirnya jalan juga. Santai saja. Kita harus teruskan ini, Bu, di lain kesempatan. Terima kasih. Teman-teman, itulah Ibu Karlina Supelli, dosen di STF Driyarkara, seorang pemikir yang luar biasa. Terima kasih.