Selama abad ke-5 dan ke-4 SM, sebelum Yunani bukan sebuah negara, tetapi masih kumpulan kota independen, warga Athena mulai mengembangkan sistem pemerintahan rakyat yang hampir bertahan hampir dua abad, yang diterjemahkan sebagai kekuatan dari orang-orang atau bisa juga diartikan sebagai memerintah bersama, Demokrasi ini pertama kali diwujudkan dalam bentuk demokrasi langsung, terutama di kota-kota Yunani seperti Athena kuno, di mana rakyat berkumpul untuk menyampaikan kekhawatiran dan pendapat mereka secara langsung di depan para pemimpin kota-negara, serta secara langsung memilih aturan dan undang-undang baru. Ini dianggap sebagai titik awal demokrasi, di mana keputusan dibuat oleh rakyat, bukan oleh penguasa semata. Pada tahun 411 SM, di tengah kerusuhan yang dipicu oleh Perang Peloponnesia yang menghancurkan dan berkepanjangan antara Athena dan Sparta, dan mendirikan sebuah oligarki. Namun, dalam waktu kurang dari setahun, oligarki ini digulingkan dan demokrasi dipulihkan sepenuhnya di Athena. Sembilan dekade kemudian, negara tetangga yang lebih kuat di utara. Makedonia memperkenalkan syarat kepemilikan properti yang efektif mengeliminasi banyak warga biasa Athena dari dēmos, atau kelompok warga negara yang berhak atas hak politik. akibat penaklukan oleh Romawi. Romawi sebelumnya juga mengadopsi konsep mirip dengan nama berbeda, yaitu Republik. mengacu pada sistem yang dimiliki oleh rakyat Romawi. Sistem politik Romawi yang kompleks dan unik melibatkan Senat yang berpengaruh dan empat majelis: yang masing-masing memiliki peran dan komposisi yang berbeda. Meskipun mereka secara kolektif mewakili semua warga negara Romawi, majelis-majelis tersebut tidak berdaulat. Sepanjang seluruh periode republik, Senat sebuah institusi yang diwarisi dari era sebelumnya dari monarki Romawi terus menjalankan kekuatan besar. Senator dipilih secara tidak langsung oleh Comitia Centuriata; selama monarki, mereka diambil secara eksklusif dari kelas patrician yang berprivilegi, meskipun kemudian, selama republik, anggota dari beberapa keluarga plebeian juga diakui. Setelah kehilangan kekuasaan dan pengaruhnya, bentuk awal demokrasi Yunani memudar, Magna Carta merupakan dokumen yang membatasi kekuasaan Raja Inggris, menyatakan bahwa bahkan raja harus tunduk pada hukum dan aturan yang tertulis dalam konstitusi, menandai sebuah langkah penting dalam perkembangan konsep pemerintahan berbasis hukum dan demokrasi. Dan ini menginspirasi revolusi-revolusi setelahnya, yang membentuk dasar konsep pemerintahan konstitutisuional dan hak-hak parlemen, menanamkan benih untuk ide-ide demokratis yang lebih modern dan menetapkan prinsip-prinsip yang menentang kekuasaan absolut monarki dan menuntut agar raja atau ratu mematuhi hukum negara. memperkuat dasar untuk demokrasi modern melalui filsafatnya yang menekankan kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan rakyat. membahas dan mempromosikan ide-ide tentang hak asasi manusia, kontrak sosial, dan pemerintahan oleh persetujuan yang diberikan. dengan penekanannya pada pembagian kekuasaan dan pemerintahan yang berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, menjadi tonggak penting dalam sejarah demokrasi. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat pada tahun 1776, yang menyatakan hak untuk menggulingkan pemerintahan yang tirani, menjadi dokumen penting yang menyebarluaskan ide-ide demokratis. juga merupakan peristiwa penting dalam sejarah demokrasi, dengan semboyan yang menggema ke seluruh dunia. Meskipun revolusi tersebut mengalami periode teror dan kekacauan, ia berkontribusi pada penyebaran ide-ide demokrasi dan hak asasi manusia di seluruh Eropa dan bahkan dunia. Abad ke-19 dan ke-20 menyaksikan perluasan hak pilih, pengenalan sistem pemilihan umum, dan pembentukan institusi demokratis di banyak negara. Perjuangan hak suara perempuan dan gerakan hak sipil di berbagai belahan dunia menegaskan pentingnya inklusi dan kesetaraan dalam demokrasi. Pada abad ke-20, kemenangan sekutu dalam Perang Dunia II dan berakhirnya Perang Dingin membuka jalan bagi penyebaran demokrasi liberal sebagai bentuk pemerintahan yang dominan. Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 memperkuat norma-norma internasional mengenai pemerintahan demokratis dan hak asasi manusia. Dan semua perkembangan ini membentuk pemikiran yang sangat positif di hati kita mengenai demokrasi, sampai-sampai pemimpin-pemimpin yang ingin memenangkan hati rakyat menggunakan kata demokrasi untuk kampanye-kampanye mereka. Namun, warga intelektual tempat dimana demokrasi ini pertama didirikan tidak terlalu menyukai konsep demokrasi ini, apalagi konsep awalnya yang berada di Athena, Semua pemikir paling berpengaruh yang pernah ada dalam sejarah. Socrates, dalam tulisan Plato, di buku 6 Republik, terlihat sangat membenci sistem demokrasi di Athena. Plato menggambarkan Socrates terlibat dalam percakapan dengan seorang karakter bernama Adeimantus dan mencoba membuatnya melihat cacat yang ada dalam demokrasi dengan membuat alegori kapal sebagai simbolisasi negara. Socrates bertanya, Adaimantus menjawab yang kedua, namun Socrates bertanya lagi, Dengan analogi ini, Socrates menunjukkan bahwa hanya individu yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang keadilan dan kebaikan yang seharusnya diberi tanggung jawab untuk memimpin atau mengelola negara. Socrates menekankan bahwa memilih dalam sebuah pemilihan adalah keterampilan, bukan hanya mengikuti insting. Dan seperti tukang sepatu yang bisa membuat sepatu, atau tabib yang bisa menyembuhkan orang, keterampilan, perlu diajarkan secara sistematis kepada orang-orang. Plato menjelaskan lebih lanjut dalam tulisannya: Dalam sistem demokrasi, di mana setiap orang memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, Socrates melihat potensi masalah ketika individu yang tidak terinformasi atau kurang bijaksana diberikan kekuasaan yang sama dalam membuat keputusan seperti mereka yang lebih terinformasi atau bijaksana. Ini bisa berakibat pada keputusan yang tidak menguntungkan kesejahteraan publik secara keseluruhan. Dalam pandangannya, tanpa dasar pemikiran filosofis dan moral yang solid, demokrasi dapat dengan mudah tergelincir menjadi tirani mayoritas atau demagogi, di mana pemimpin yang pandai berbicara dapat memanipulasi opini publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dan konsekuensi ini juga terjadi pada Socrates sendiri, dimana dia mengalami dampak dari kebodohan para pemilih. dikarenakan tuduhan merusak pemikiran pemuda-pemuda Athena dan tidak menghormati dewa-dewa kota, sebuah juri dengan kurang lebih 500 orang Athena diundang untuk mempertimbangkan kasus tersebut, dan mayoritas mengatakan bahwa filsuf itu Socrates bersalah. Proses pengadilan ini dianggap sebagai contoh dari kegagalan demokrasi, dimana pemilih yang tidak terdidik atau mudah dipengaruhi oleh retorika dan emosi daripada rasionalitas dan fakta dapat membuat keputusan yang tidak adil atau bahkan merusak. Ini adalah “bencana dari kebodohan pemilh”. Plato mengkritik demokrasi dengan alasan bahwa jika kekuasaan diberikan kepada massa yang tidak terdidik, maka keputusan yang diambil mungkin tidak akan mencerminkan kebijaksanaan atau kepentingan terbaik masyarakat secara keseluruhan. Plato khawatir bahwa dalam sebuah demokrasi yang tidak terdidik, keputusan bisa saja didorong oleh kepentingan jangka pendek dari mayoritas, bahkan jika itu berarti mengorbankan hak dan kepentingan minoritas, atau bahkan keseluruhan masyarakat. Istilah yang sering digunakan untuk merangkum konsep ini adalah Plato percaya bahwa demokrasi yang tidak terdidik dapat memicu tirani mayoritas ini, di mana kekuasaan politik digunakan untuk memenuhi keinginan dan kepentingan sebagian besar penduduk, bahkan jika itu tidak selalu merupakan keputusan yang bijaksana atau adil untuk keseluruhan masyarakat. Aristoteles, filsuf besar yang merupakan murid dari Plato, yang merupakan murid dari Socrates, mengambil pendekatan yang lebih empiris dalam analisisnya terhadap bentuk-bentuk pemerintahan. Dalam karyanya, dia mengkaji berbagai sistem pemerintahan, termasuk demokrasi dan oligarki, dan mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Aristoteles, mengatakan bahwa Aristoteles khawatir bahwa tanpa pembatasan dan prinsip yang jelas, demokrasi dapat berubah menjadi tirani mayoritas, di mana keinginan mayoritas mengesampingkan segalanya, termasuk hak asasi dan keadilan untuk minoritas. Oleh karena itu, penting bagi sebuah demokrasi yang baik untuk memiliki undang-undang yang dapat melindungi hak-hak kelompok yang lebih kecil dan rentan. Sebuah demokrasi yang sehat harus mencegah situasi di mana mayoritas menggunakan kekuasaannya untuk memisahkan, mengusir, atau melukai kelompok minoritas. Idealnya, demokrasi yang berfungsi adalah yang menghormati kepentingan dan hak-hak semua warganya, tanpa memandang ukuran atau kekuatan politik mereka. Indonesia adalah negara dengan keberagaman agama dan budaya yang sangat kaya. Namun, kadang-kadang terjadi pemaksaan identitas atau nilai-nilai budaya mayoritas kepada minoritas. Hal ini dapat terlihat dalam penggusuran tempat ibadah minoritas atau dalam tekanan sosial untuk mengikuti adat istiadat yang tidak sesuai dengan kepercayaan atau budaya mereka. Dan juga meskipun secara resmi tidak didukung, diskriminasi terhadap etnis tertentu masih terjadi di beberapa daerah. Misalnya, stereotip negatif dan perlakuan tidak adil terhadap orang Papua atau etnis Tionghoa dalam berbagai aspek kehidupan masih bisa kita lihat di kehidupan kita sehari-hari. Walaupun contoh yang diberikan cuma analisis umum, dikarenakan kondisi realitas sosial politik sangatlah dinamis dan dapat berubah kapan saja dan negara kita jelas memberikan segala yang bisa dilakukan untuk memiliki undang-undang yang dapat melindungi hak-hak kelompok yang lebih kecil dan rentan, tapi kita tidak bisa menolak bahwa realitas itu masih ada. Rakyat Athena menakuti sistem yang merupakan konsekuensi dari keputusan mayoritas, yaitu Demagogi. Demagogi di Athena kuno pernah terjadi dimana seorang demagog dapat memberikan pengaruh, seorang pria yang kaya dan karismatik. Orang yang mempraktikkan demagogi sering kali menggunakan retorika yang menarik secara emosional, tetapi mungkin tidak didasarkan pada fakta atau logika yang kuat. Mereka sering memanfaatkan ketidakpuasan atau kekhawatiran massa untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kekuasaan politik. Alcibiades mampu memanfaatkan retorika yang meyakinkan untuk menghancurkan kebebasan dasar dan membawa Athena ke dalam petualangan militer yang berakhir tragis di Sisilia. Socrates menyadari betapa mudahnya orang-orang yang mencari kekuasaan politik dapat mengeksploitasi keinginan kita akan jawaban yang sederhana dan mudah. Analogi yang diberikan oleh Socrates untuk menjelaskan demagogi adalah dengan membandingkan dua kandidat dalam sebuah pemilihan: satu yang mirip dengan seorang dokter dan yang lainnya mirip dengan seorang pemilik toko permen. Kandidat yang mirip dengan seorang dokter akan berbicara dengan jujur tentang masalah yang ada dan kemungkinan solusi, bahkan jika itu tidak selalu sesuai dengan keinginan atau harapan pendengar. Namun, kandidat yang mirip dengan pemilik toko permen akan menggunakan retorika yang menarik emosi pendengar dengan menjanjikan kenikmatan dan kepuasan yang mudah dan instan, bahkan jika itu tidak realistis atau bahkan bertentangan dengan kepentingan jangka panjang mereka. Dengan analogi ini, Socrates menunjukkan bagaimana demagogi dapat memanipulasi dan memanfaatkan keinginan massa akan jawaban yang sederhana dan kenikmatan instan, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang atau kebenaran dari argumen yang mereka ajukan. Saat ini, sebagian besar demokrasi adalah tidak langsung dipegang oleh rakyat secara keseluruhan, melainkan dibuat menjadi perwakilan rakyat, yang berarti kita tidak perlu memilih undang-undang baru sendiri, tetapi memilih orang-orang yang akan membuat undang-undang baru untuk mewakili kepentingan kita. Ini ditujukan untuk memitigasi masalah dan mempercayakan perwakilan yang diharapkan lebih terinformasi, bijaksana dan mampu menilai kompleksitas kebijakan dan legislatif. Jadi, harusnya, kita harus bijak dalam memilih siapa orang-orang yang dapat mewakili kepentingan ini. Di Indonesia, kecenderungan politik demagogi terlihat dalam berbagai aspek, termasuk kampanye politik yang mengandalkan narasi hasutan demi kepentingan politik tertentu. Politisi dan aktor politik dapat memanfaatkan isu-isu sensitif untuk menggalang dukungan, sering kali dengan mengorbankan diskusi substantif mengenai solusi nyata terhadap masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Hal ini diperparah dengan kurangnya gagasan yang inovatif dan kritis, serta pengabaian terhadap data dan fakta yang relevan dalam menyusun kebijakan publik. Fenomena demagogi juga berkaitan erat dengan kemampuan seorang pemimpin atau aktor politik dalam mempengaruhi massa dengan mengedepankan identitas dan emosi daripada argumen rasional. Ini sering kali menciptakan polarisasi dalam masyarakat dan mengancam prinsip-prinsip demokrasi yang sehat. Sejarah telah menunjukkan bahwa demagogi bisa sangat merugikan, seperti yang terjadi di Jerman dengan naiknya Adolf Hitler ke kekuasaan, yang menggunakan retorika demagogi untuk memobilisasi massa. Di Indonesia, praktik demagogi terlihat dalam berbagai skala, dari tingkat lokal hingga nasional, di mana aktor politik menggunakan strategi serupa untuk mempengaruhi opini publik dan mencapai tujuan politik mereka. Perlu untuk melihat kecenderungan demagogi dalam kandidat politik yang ada, sangat dianjurkan untuk menganalisis pidato publik, usulan kebijakan, strategi kampanye, cara berdebat dengan kandidat politik yang lainnya dan cara mereka berinteraksi dengan para pemilih. Bagaimana mereka menggunakan daya tarik emosional, retorika populis, dan janji-janji. Perlu juga untuk mengamati bagaimana para kandidat mengatasi permasalahan yang kompleks, apakah mereka menawarkan soslusi yang praktis atau menggunakan jawaban general, jawaban umum, jawaban yang terlalu sederhana, tapi memiliki dorongan emosional. Dalam karyanya, Plato mengusulkan solusi terhadap masalah-masalah demokrasi dengan konsep dimana menurutnya, individu yang ideal untuk memerintah adalah mereka yang telah mencapai tingkat tinggi pengetahuan dan pemahaman, khususnya pengetahuna tentang ide-ide yang abadi dan sempurna, termasuk kebaikan itu sendiri. Philosopher-king adalah orang-orang yang melalui pendidikan dan pengasuhan yang panjang dan ketat, telah dipersiapkan untuk memahami kebenaran tertinggi, dan oleh karena itu dapat memerintah tidak untuk kepentingan pribadi mereka, tetapi untuk kebaikan bersama masyarakat. Plato berargumen bahwa hanya dengan pemimpin yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan seperti itu, masyarakat dapat diatur dengan adil dan efektif. Sistem pemerintahannya menolak ide demokrasi yang memberikan kekuasaan kepada massa yang tidak terdidik dan lebih menyukai sebuah aristokrasi filosofis di mana penguasa yang paling bijaksana memegang kendali atas keputusan politik. Filsuf-raja atau Philosopher king adalah individu yang telah mencapai pemahaman mendalam tentang realitas, kebenaran, dan kebaikan melalui pendidikan filosofis yang panjang dan ketat. Mereka bukan hanya pemikir spekulatif tetapi juga praktisi yang mampu menerapkan kebijaksanaan filosofis dalam tindakan pemerintahan. Menurut Plato, filsuf-raja memiliki ciri khas berikut: Yang pertama Filsuf-raja memiliki pemahaman mendalam tentang "Bentuk" atau dalam bahasa Yunani: Pengetahuan ini termasuk pemahaman tentang "Bentuk Kebaikan" yang merupakan prinsip tertinggi dan sumber dari semua realitas dan nilai. Yang kedua Mereka didorong oleh hasrat untuk mengetahui dan memahami, bukan oleh keinginan untuk kekuasaan atau kekayaan. Yang ketiga Filsuf-raja memerintah bukan untuk keuntungan pribadi tetapi untuk kebaikan bersama masyarakat, menggunakan pengetahuan dan kebijaksanaan mereka untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Namun, Aristoteles justru menolak solusi ini dikarenakan konsep philosopher-king ini terlalu idealis dan terkadang tidak dapat diaplikasikan secara pragmatis dikarenakan hampir tidak mungkinnya menemukan atau mendidik seorang philosopher-king yang ideal seperti yang dijelaskan Plato, serta kemampuan mereka untuk memerintah secara efektif tanpa menjadi tiran. Konsentrasi kekuasaan dalam tangan satu individu dan kelompok kecil yang absolut, bahkan di tangan orang paling bijaksana sekalipun, terkadang bisa saja dapat disalahgunakan, tangan besi tidak selalu bagus karena seorang manusia rentan dengan emosi, dan terkadang tidak bisa menahan temptation atau keinginan untuk penyalahgunaan. Namun, konsep idealis philosopher king masih bisa diadopsi dengan kreatif terhadap demokrasi modern, seperti yang ada di Indonesia. Mungkin kita bisa menerjemahkan dan menerapkan konsep ini dalam pemilihan umum yang akan datang. Walaupun secara langsung kita tidak dapat mengubah sistem demokrasi atau menciptakan posisi filsuf-raja karena idealismenya yang mungkin terlalu tinggi, ide dasar tentang memilih pemimpin yang tetap relevan dan dapat diintegrasikan dalam cara kita menilai dan memilih pemimpin.