Ada 2 film horror yang ditakuti anak-anak 80-an hingga 90-an. Satu, film-filmnya Susana. Yang kedua, film pengkhianatan G30 SPKI.
Perbedaan antara kedua film tersebut adalah, film pertama beneran ada penampakan hantunya. Sementara film kedua, nggak ada penampakan hantunya, tapi cukup bisa menghantui masyarakat Indonesia selama berpuluh-puluh tahun. Bahkan setelah zaman yang berubah, masih terus berusaha dibangkitkan layaknya hantu. Itu perbedaan pertama. Perbedaan kedua, film yang pertama biasanya kita tonton di pagelaran layar tancep atau video secara sukarela.
Sementara film kedua, kita menikmatinya secara paksa. Tapi bagaimana film G30 SPK ini berhasil membangkitkan ketakutan dalam diri kita? Yuk kita bahas setelah opening berikut. Buat kalian generasi late millennial atau gen Z yang lahir setelah tahun 2000an dan gak ngerti apa yang gue omongin di opening barusan, gue punya 2 pertanyaan yang bisa kalian jawab di kolom komentar sekarang.
Yang pertama, apakah kalian tahu tentang film pengkhianatan G30 SPKI ini? Kalau tahu, dari mana kalian tahu tentang film tersebut? Yang kedua, apakah kalian masih diwajibkan oleh sekolah untuk menonton film tersebut? Nah, coba jawab kedua pertanyaan tersebut di bawah sekarang. Oke, konteks.
Jadi zaman dulu di era 80-an akhir hingga 90-an, setiap tanggal 30 September, guru-guru di sekolah mengingatkan agar nanti malam sekitar jam 8, anak-anak diwajibkan untuk menonton film Penghianatan G30 SPKI yang tayang di TVRI dan akhirnya diikuti pula oleh semua TV swasta. Himbawan ini bersifat wajib untuk semua murid tanpa kecuali. Jadi akhirnya kita anak 80-an dan 90-an... tanggal 30 September jam 8 hingga 12 malam duduk manis di depan TV dan terpaksa menyaksikan film dalam tanda kutip sejarah dengan adegan penyiksaan paling brutal, gori dan kita tahu kalau tahun depan kita akan menyaksikannya lagi entah untuk kurun waktu berapa lama buat kalian generasi internet, youtube, dan tiktok yang sama sekali gak tahu dan pengen tahu tentang film pengkhianatan G30 SPKI ini kalian bisa tonton sendiri deh di youtube Atau kalau ada yang tahu link streaming resmi dari film ini silahkan taruh di kolom komentar.
Atau kalian bisa menghemat 4 jam waktu kalian dan lanjut aja nonton video ini. Dimana gue akan menjabarkan kenapa film pengkhianatan G30 SPKI ini sukses dalam menciptakan ketakutan dan memberikan trauma kepada generasi-generasi sebelum kalian. So stay tune terus. Oke disclaimer dulu, video ini tidak akan membahas apakah film ini sesuai dengan fakta sejarah atau tidak.
Walaupun selama berpuluh-puluh tahun. Film ini pernah dianggap sebagai satu-satunya penggambaran fakta sejarah terkait peristiwa ini. Namun setelah era reformasi dan tumbangnya rezim Orde Baru, banyak perspektif dan fakta-fakta baru yang bermunculan menyangkut apa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 tersebut.
So, gue saranin ke kalian tonton filmnya, lalu simak juga sumber-sumber lain serta diskusi-diskusinya. Menurut gue justru di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini adalah saat yang paling tepat. untuk kembali menonton film ini, sehingga kita bisa membandingkan dari berbagai sumber, dan menilai sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
Setidaknya menurut perspektif kita sendiri, bukan hanya melihat dari satu sumber, lalu dianggap sebagai fakta dan kebenaran sejarah. Di video ini gue cuma akan membahas film pengkhianatan G30 SPKI ini dari sisi komunikasi, bahasa visual, serta aspek sinematografi. Karena walaupun diragukan dalam aspek sejarah, namun tidak bisa dipungkiri, Kalau film ini adalah sebuah masterpiece dari salah satu sineas terbaik yang pernah dimiliki Indonesia yaitu Arifin Senur.
So, mari kita mulai analisisnya. Pertama, background story dan sedikit sinopsisnya. Film mengkhianatin G30 SPK ini berdurasi total 4,5 jam yang terbagi menjadi 2 babak. Babak pertama menceritakan tentang suasana genting Indonesia di tahun 1965 di mana Presiden Soekarno dikabarkan sakit dan akhirnya terjadi upaya perebutan kekuasaan antara dua kekuatan terbesar saat itu yaitu Partai Komunis Indonesia dan lawan politiknya yaitu TNI Angkatan Darat. Diceritakan PKI yang tidak ingin kehilangan momentum politik akhirnya melalui pasukan Cakrabirawa berusaha menyingkirkan jenderal-jenderal Angkatan Darat dengan cara menculik menyiksa dan membunuh mereka di lubang buaya.
Dan film di babak pertama pun berakhir. Sedangkan film babak kedua yang berjudul Penumpasan Pengkhianatan G30 SPKI lebih menceritakan bagaimana sosok Majen Suwarto sebagai karakter protagonis mengatasi kekacauan yang diakibatkan oleh PKI tersebut. Gue gak tau kalian gimana tapi jujur dulu gue gak pernah nonton babak kedua dari film ini dan gue baru nonton secara lengkap pada saat gue mau bikin video ini. Mungkin karena durasinya yang terlalu panjang dan pada saat masuk ke babak kedua ini biasanya jam tuh udah menunjukkan pukul 10 hingga 11 malam dan waktunya tidur karena besok harus sekolah lagi.
Jadi memori gue tentang film ini selalu ditutup dan diakhiri dengan adegan penculikan dan penyiksaan para jenderal-jenderal pahlawan revolusi di lubang buaya tersebut, which menurut gue mungkin bagian inilah yang terpenting yang ingin dikomunikasikan dari keseluruhan film tersebut. Terlepas dari fakta sejarahnya seperti apa, sebagai film propaganda orde baru, film pengkhianatan G30 SPKI ini ingin mencitrakan bahwa PKI dan simpatisan-simpatisannya adalah sosok yang kejam, sadis, menakutkan, berbahaya, dan sebagainya. Tujuannya... tentu aja perang terhadap ideologi komunisme dan mengingatkan masyarakat tentang bahaya laten PKI dan komunisme. Nah bagaimana storytelling film ini menyampaikan premis tersebut?
Menurut gue strategi besarnya tetap dengan cara membenturkan dua ideologi yang saling bertentangan yaitu komunisme dan agama yang ironisnya dua ideologi tersebut yang ingin dirangkul oleh Bung Karno melalui falsafah nasakomnya. Dan pertentangan kedua ideologi ini terlihat di sepanjang film melalui adegan, dialog, dan penokohan cerita. Sebagian berdasarkan fakta dan kejadian nyata, sebagian lagi adalah bagian dari dramatisasi dan bumbu cerita.
Mari kita lihat beberapa di antaranya. Pertama di menit-menit awal film tanpa bak bibu lagi penonton langsung disuguhi dengan peristiwa Dusun Kanigoro Kediri di mana barisan tani Indonesia dan pemuda rakyat yang berafiliasi dengan PKI menyerbu pelajar Islam Indonesia yang sedang melaksanakan sholat subuh. Digambarkan orang-orang PKI tersebut melukai seorang kiai dan menyobek-nyobek kitab suci Al-Quran. Sebuah adegan yang tanpa bahasa bahasi langsung menjelaskan tentang siapa pihak antagonis di film ini dan dimulainya penggambaran tentang pertentangan kedua ideologi ini.
Ini yang pertama. Dan menurut gue, sangat menarik dan brilliant bagaimana film ini mengenalkan konflik berdasarkan berita, data, dan peristiwa nyata. Membangun kredibilitas sejak awal cerita.
Selanjutnya, konflik pertentangan ini terus dimunculkan lagi dengan cara yang berbeda. Salah satunya adalah melalui perspektif sebuah keluarga yang mengalami kesulitan akibat dari kisruhnya suasana di tahun 1965. Terlihat karakter seorang bapak-bapak tua yang selalu berkeluh kesah bahwa Indonesia sedang dihabisi oleh PKI tentu aja diselipi dengan petua-petua agama sebagai solusinya. Mari kita lihat beberapa diantaranya. Dalam keadaan bobrok seperti sekarang ini, kita harus lebih dekat kepada Allah.
Iman justru harus kita perteguh. Juga jangan takut kepada ancaman komunis, sopsi, fanal semua itu. Saya yakin komunis dan kaum materialis akan hancur di mana-mana. Pungkar Nol sedang dihabisi. Negeri ini sedang dihabisi.
Komunis bergerak seperti setan yang tidak kelihatan. Perspektif dari keluarga... khususnya bapak ini berhasil membangun ikatan emosional di dalam diri penonton sehingga mereka ikut merasakan apa yang terjadi pada saat itu. Dan tentu aja sekali lagi menampilkan konflik pertentangan bahwa negara sedang genting dan PKI sebagai biang keladinya. Semua ini masalah politik dan biangnya adalah PKI.
Nah, dua sekuens dan adegan di awal film tersebut menurut gue sangat cukup untuk membangun karakter antagonis dari PKI dan semua Semua hal yang mereka lakukan sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama. Mulai dari pembunuhan, penculikan, dan penyiksaan yang dilakukan secara kejam. Itu secara premis besarnya. Secara alur cerita sebenarnya film pengkhianatan G30 SPKI ini cukup sederhana dengan pola problem solution. Dimana di babak pertama film menggambarkan tentang situasi genting Indonesia di tahun 1965 dan coba dimanfaatkan oleh PKI sebagai salah satu kekuatan politik terbesar saat itu.
Dan di babak kedua, film menceritakan tentang solusi mengatasi keadaan genting tersebut melalui penokohan karakter protagonis yang ditampilkan oleh Mayor General Soeharto. Penggambaran situasi genting di tahun 1965 tersebut dibuka dengan adegan Presiden Soekarno yang sakit dan difonis oleh tim dokter dari RRC bahwa beliau mempunyai dua kemungkinan, lumpuh atau mati. Dan pemimpin atau raja yang sakit bisa menjadi awal dari sebuah kekacauan karena dibayang-bayangi oleh kekosongan kekuasaan dan pertarungan akan suksesi kepemimpinan.
Menarik bagaimana sutradara Arifin Senur mengemas penggambaran Presiden Soekarno dalam sakitnya. Steel frame, close up shot, yang menampilkan wajah ketidakberdayaannya atau termenung sendirian di ruangan kerjanya. Sungguh penggambaran yang jauh berbeda dengan footage-footage Bung Karno yang sering kita lihat dengan semangat membara dan berapi-api. Adegan ini adalah upaya untuk memberikan pesan psikologis kepada penonton bahwa pemimpin tertinggi yang sudah tidak berdaya adalah sebuah tanda bahwa kekacauan akan segera tiba.
Suasana yang genting dan penuh ketidakpastian dimanfaatkan PKI sebagai pihak antagonis untuk mengambil kesempatan dalam merebut kekuasaan. Di bagian ini alur cerita semakin intens dalam menggambarkan PKI sebagai pihak yang sedang menjalankan sebuah rencana kejahatan yang besar. Menurut gue mulai dari bagian ini hingga akhir film babak pertama adalah bagian terpenting dalam menyampaikan komunikasi dan premis besar dari film ini secara keseluruhan.
Visual, scoring musik, semuanya harus berhasil dalam membuat adegan-adegan ini memorable di benak penonton. Dan sekali lagi, maestro sineas Indonesia Arief Insenur berhasil memuat semuanya dalam bingkai sinema yang bukan cuma menarik, namun impactful. Mari kita lihat beberapa contoh di antaranya.
Pertama penggambaran antara dua pihak yang berkonflik yaitu PKI dan Jenderal-Jenderal Angkatan Darat digambarkan secara kontradiktif. Para Jenderal Angkatan Darat divisualisasikan secara hangat dengan setting yang menampilkan keluarga mereka dengan kesehariannya. Sebuah upaya membangun emosi dan keterikatan penonton dengan apa yang akan mereka alami nantinya. Secara kontradiksi, orang-orang PKI selalu digambarkan secara individual dan hari-hari mereka selalu dipenuhi dengan rapat, berdiskusi, dan merencanakan sebuah aksi. Visualisasi rapat dan diskusi tersebut ditampilkan dalam bingkai voyeurism atau mengintip serta angle-angle kamera yang tidak biasa, mensimbolkan bahwa ini adalah sebuah rencana rahasia.
Kemudian soal penokohan, tongkoh antagonis utama seperti DN Aidit dan Syam Kamaruzaman ditampilkan dengan gerak-gerik yang mengintimidasi. Sang sutradara sukses membangun kedua karakter ini menjadi seorang antagonis sejati melalui casting yang tepat, pengadeganan, serta simbol-simbol visual. Aidit dan Syam seringkali ditampilkan dalam lighting yang keras atau hard light sehingga menimbulkan efek bayangan yang kuat.
Sebuah upaya untuk membangun perasaan yang mencekam dan tidak nyaman dalam diri penonton. Lalu mereka pun selalu ditampilkan dalam keadaan merokok tanpa putus-putusnya. Sesekali melalui framing close up, bahkan extreme close up, sebagai simbol bahwa mereka berdua sangat berpikir keras untuk merencanakan aksi yang maha penting ini.
Belum lagi dialog-dialog matang yang keluar dari bibir mereka yang sampai saat ini masih sangat memorable di benak penonton. Satu detik pun kita tidak boleh kalah. Hubungi kawan-kawan.
Halo, untung disini. Jadi Jawa adalah kunci. Oke setelah bagian persiapan dan rapat-rapat PKI, alur cerita pun maju ke bagian utama dalam film ini yaitu penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan General-General Angkatan Darat pada tanggal 30 September 1965. Kenapa bagian ini adalah bagian utama dari keseluruhan film?
Well, menurut gue, pada saat komunikasi dan propaganda film ini bertujuan untuk perang terhadap ideologi komunisme dan mencitrakan PKI sebagai golongan yang kejam dan tidak manusiawi, di bagian inilah semuanya terlihat. Mari kita analisi sedikit bagaimana sang sutradara mengemas adegan ini sehingga menjadi salah satu adegan paling horror dan menyeramkan dibanding film horror manapun yang pernah ada. Pertama, awal dari sekuens panjang ini dibuka dengan menampilkan suatu hal yang sangat relate dengan masyarakat kita yang berbudaya ketimuran. Apa itu? Virasat, nubuat, dan perasaan tidak enak.
Sebagai penonton, kita mulai digiring bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Mari kita lihat beberapa contohnya. Malam apa ini?
Malam Jumat. Gambar apa itu mas? Rencana museum perjuangan di Jogja Kok kaya kuburan toh? Ada burung sui tidur ruangan ini perasaan saya gak enak Mimpi kamu Yang kedua adalah adegan-adegan pada saat penculikan para jenderal-jenderal dari rumah mereka. Di bagian ini berbagai macam bentuk teror dari pasukan Cakrabirawa pun dimulai.
Mulai dari masuk ke dalam rumah secara paksa, perusakan barang-barang, suara teriakan yang diri dengan tembakan dan senapan mesin, intimidasi, hingga pembunuhan. Salah satu adegan yang tidak mungkin dilupakan penonton adalah momen pembunuhan Jenderal D.I. Panjaitan ini. Jendral D.I. Panjaitan, seorang Kristen yang taat dan dibunuh pada saat sedang husyuk berdoa.
Sekali lagi menegaskan tentang premis besar dan komunikasi film pengkhianatan G30 SPKI ini. Dan sepertinya tidak ada yang akan bisa melupakan adegan paling ikonik ini. Adegan yang menyayat-nyayat hati penonton hingga saat ini.
Ketiga adalah adegan-adegan yang terjadi di setting lubang buaya di mana para jeneral disiksa, dibunuh, dan akhirnya dibuang di sebuah sumur tua. Di bagian ini, teror pun semakin terekskalasi. Terlepas dari horornya adegan-adegan ini, menurut gue yang brilian adalah bagaimana sang pembuat film berhasil mengawinkan antara pengadeganan dan dialog-dialog untuk membangun teror yang lebih menakutkan lagi. Contoh, Darah itu warnanya merah, General. Seperti amarah.
Penderitaan itu pedih, General. Pedih. Sekarang coba rasakan sayatan silat ini. Juga pedih, tapi tidak sepedih penderitaan rakyat. Saya memahamkan.
Sekarang saya akan memaham muka jenderal. Harit ini harit kumpul jenderal. Sekarang jenderal akan menikmati karat.
Nah itu baru teror Bagaimana mengintimidasi melalui dialog, kalimat, dan kata-kata Harusnya sampai disini kita udah bisa mengerti kenapa film ini Dianggap sebagai film masterpiece yang pernah dibuat oleh sinias Indonesia Sekali lagi terlepas dari fakta sejarahnya seperti apa Semua aspek dari film ini mulai dari pengadeganan, karakterisasi, shot dan framing dan yang paling gak bisa dilupakan juga adalah scoring musiknya yang membuat bulu kuduk merinding hingga saat ini. Tapi pertanyaannya, apakah faktor bahasa visual dan sinema adalah alasan utama kenapa film ini begitu memorable? Menurut gue tentu aja enggak.
Sebenarnya faktor intensitas penayangan lebih berperan dibanding aspek kreatif dari film itu sendiri. Ya bayangin aja, kalian dijejali dan dipaksa menonton film yang sama setiap tahun selama puluhan tahun. Dilakukan oleh rezim yang represif dan kita tidak bisa mempunyai referensi lain selain dari film tersebut.
Kreatif dan estetika tentu aja iya, namun mekanisme doktrinasi lebih berperan kenapa film ini meninggalkan memori yang kuat bagi kita khususnya generasi 80 hingga 90an. Kesimpulan yang bisa gue berikan adalah terlepas dari fakta sejarahnya seperti apa, peristiwa ini adalah bagian dari sejarah kelam bangsa ini dan jangan sampai terulang lagi. Bukan untuk memumpuk dendam, namun untuk dijadikan pelajaran.
Dan selalu ingat bahwa sebaiknya jangan pernah melihat dari satu sisi sejarah lalu menganggapnya sebagai sebuah kebenaran tanpa bisa terbantah, apalagi di era internet dan keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Kalau generasi dulu hanya tahu film pengkhianatan G30 SPKI terkait dengan peristiwa di tahun 1965, generasi sekarang bisa melanjutkannya dengan menonton film The Act of Killing dan The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer yang menceritakan tentang genoside atau pembunuhan masal. kepada orang-orang yang diduga dan terlibat dengan PKI. Pada akhirnya, sejarah adalah sebuah rangkaian peristiwa, sebab dan akibat untuk dijadikan pelajaran bagi generasi selanjutnya, supaya kita tidak mengulangi dan mengalaminya kembali. Nah, segitu aja video kali ini.
Pertanyaan video kali ini, 1. Ada yang belum pernah nonton sama sekali film G30 SPKI ini? Nah, coba komen ya. Kayaknya menarik juga nih, kalau ada yang sama sekali belum pernah nonton film ini.
Pertanyaan kedua, apa pengalaman kalian? Terkait dengan film ini Nah anak-anak 90an Nah coba komen di bawah Seperti biasa Klik like kalau kalian suka video ini Dislike aja kalau nggak suka Follow Instagram buat tangan belang Cek link di deskripsi untuk informasi lebih lanjut tentang video ini Thanks for watching I'll see you next time Terima kasih.