Transcript for:
Manajemen Permintaan dan Kolaborasi Efektif

Intro Selamat berjumpa kembali siswa Indonesia X. Kita masuk ke minggu yang ketiga di dalam kursus saya tentang Supply Chain Management. Bagaimana? Anda semua masih semangat? Pasti Anda masih semangat, makanya Anda masih di depan kamera atau di depan layar sekarang untuk mengikuti kuliah saya atau kursus saya ini.

Nah, di minggu yang ketiga ini kita akan masuk ke topik yang baru tentu saja, topik yang sedikit lebih fungsional, yaitu bagaimana kita mengelola permintaan. Jadi, judul dari yang ketiga ini adalah Demand Management dan Collaborative Planning. Jadi, intinya adalah...

Bagaimana kita memastikan bahwa kita memiliki kemampuan untuk memprediksi permintaan dengan cukup baik dan pada saat-saat tertentu mungkin kita tidak cukup hanya meramalkan saja karena mungkin pola permintaan yang kita miliki mungkin fluktuatif, sulit dipenuhi, dan lain sebagainya. Jadi pada minggu ketiga ini kita akan mempelajari beberapa hal antara lain adalah bagaimana pola-pola permintaan. Yang ada, ada pola permintaan yang mungkin sangat fluktuatif, ada yang walaupun fluktuatif dia bisa diprediksi naik turunnya, dan lain sebagainya. Ada permintaan yang mungkin cukup stabil dari waktu ke waktu.

Itu yang pertama yang nanti kita akan bicarakan nanti. Yang kedua, kita akan membahas apa sih itu demand management, esensi demand management itu apa. Jadi di situ kita akan mencoba untuk membedakan sedikit.

antara demand forecasting, yaitu memprediksi permintaan, dan mengelola permintaan, yang tentu saja berbeda. Kita akan mendiskusikan itu di bagian kedua. Di bagian yang ketiga, kita akan membahas hal-hal apa saja yang penting untuk kita ketahui pada saat kita melakukan aktivitas-aktivitas demand management ini.

Kalau ada inisiatif-inisiatif demand management, apa hal-hal yang penting yang perlu kita perhatikan. Itu yang ketiga. Dan yang terakhir, saya akan mengajak Anda untuk berdiskusi tentang dua model integrasi di dalam supply chain, yaitu collaborative planning, forecasting, dan replenishment.

Jadi ini erat kaitannya dengan demand management dan vendor managed inventory atau VMI yang cukup banyak dikenal di lapangan. Jadi kalau kita bicara tentang pola-pola permintaan, tentunya seperti yang saya sampaikan tadi, Ada banyak pola permintaan. Ada yang stabil, yang mungkin akhirnya akan mudah untuk diramalkan.

Ada yang fluktuatif dan tidak pasti, membuat kita akan sulit membuat ramalan yang akurat. Tetapi, apapun yang dihadapi, pola permintaan, apapun pola permintaan yang kita hadapi sebagai orang yang bekerja di perusahaan, terutama bagi mereka yang berada pada fungsi-fungsi supply chain, adalah sangat penting untuk mengupayakan supaya kita bisa mengenal pola permintaan itu dan memprediksinya dengan baik. Ada sebuah studi yang dilakukan oleh Aberdeen Research yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang bagus antara lain dicirikan oleh kemampuannya untuk memprediksi permintaan, untuk menciptakan demand forecast accuracy yang tinggi. Nah, di sini misalnya kalau kita lihat hasil dari studinya, mereka membedakan...

Ada tiga kelompok perusahaan, yaitu kelompok perusahaan yang kategorinya best in class, jadi perusahaan-perusahaan yang bagus, yang kira-kira masuk top 21% dari perusahaan yang mereka survei. Kemudian di kategori kedua, kira-kira setengah dari perusahaan yang disurvei, itu masuk kategori medium, ada di rata-rata. Kemudian yang ketiga adalah perusahaan-perusahaan yang berada di bawahnya, kira-kira 30%.

pada lapisan bawah. Nah ketika dibandingkan tingkat akurasi forecast yang dihasilkan oleh tiga kelompok perusahaan ini, ternyata menarik sekali hasilnya. Forecast akurasi yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang kategorinya best in class itu kira-kira 82 persenan, jadi 82 persen akurat, kemudian yang di tengah-tengah hanya sekitar 68 persen, yang di bawah kira-kira hanya 42 persen. Walaupun mungkin ini tidak berlaku sama untuk semua industri, tetapi setidaknya hasil studi ini menunjukkan bahwa kalau Anda ingin menjadi perusahaan yang kompetitif, perusahaan yang bagus, maka kemampuan... Untuk memforkas permintaan adalah sesuatu yang sangat penting.

Karena apa? Karena permintaan adalah ujung depan dari semua aktivitas supply chain. Apa yang Anda produksi, berapa yang Anda produksi, apa yang Anda kirim, itu sepenuhnya mengikuti prediksi dari permintaan.

Kalau prediksi dari permintaan ini akurat, maka berarti kita akan bisa menyesuaikan aktivitas-aktivitas supply chain seperti produksi dan pengiriman itu sesuai dengan permintaan yang ujung-ujungnya akan menciptakan cost yang lebih murah dan responsiveness yang lebih tinggi. Nah, menarik sekali itu hasil kajian yang dilakukan oleh Aberdeen Research. Saya juga mau menunjukkan hasil kajian yang kedua yang bagi saya ini juga sangat menarik terkait dengan premis yang tadi sudah saya sampaikan bahwa forecast accuracy Itu akan menjadi starting point dari semua aktivitas supply chain.

Oleh karena itu, kalau kita mau benar di awal, maka berarti forecast-nya harus bagus. Karena dia berada di depan. Begitu kita salah di depan, maka yang di belakang akan mengikuti. Oleh karena itu, forecast menjadi salah satu hal yang sangat penting yang pertama harus kita buat benar.

Setidak-tidaknya akurasinya harus tinggi. Nah, ini ada satu studi. yang dipublikasikan di Supply Chain Management Review tahun 2012, di mana peneliti ini mencoba untuk melihat apa dampak dari improvement forecast akurasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan. Pada awalnya, akurasi forecastnya hanya sekitar 72 persen.

Kemudian karena mereka melakukan improvement, akurasinya bisa meningkat menjadi 88 persen. Tentu itu berita yang bagus. Tapi tidak hanya berhenti di situ, karena seperti yang saya katakan tadi, begitu forecast accuracy kita menjadi lebih baik, maka mestinya ada performance yang lain yang juga akan tambah baik.

Nah ini juga dibuktikan oleh studi itu. Misalnya dengan akurasi yang lebih baik, ternyata manufacturing performance itu meningkat dari 87% menjadi 92%. Manufacturing performance ini adalah gabungan beberapa indikator yang menunjukkan produktivitas dan performance lain yang ada di pabrik, yaitu di fase pembuatan produk, di fase manufacturing.

Artinya, dengan akurasi forecast yang lebih baik, kita juga bisa mendapatkan hasil yang lebih baik dari kinerja pabrik. Itu yang pertama. Yang kedua, ternyata back order-nya juga menurun, dari 11% menjadi 1%.

Apa itu back order? Back order adalah persentase jumlah order yang tidak kita bisa peduhi pada saat pelanggan itu minta. Jadi katakanlah pelanggan kita minta minggu ini, karena kita tidak punya barang, akhirnya kita tunda pemenuhannya ke minggu depan. Itu namanya back order.

Dengan akurasi forecast yang lebih bagus, ternyata back order itu menurun secara drastis. Service level kita ke pelanggan juga bagus. Yang salah satunya diukur dengan apa yang kita sebut sebagai fill rate atau line fill.

Jadi fill rate itu adalah kemampuan kita memenuhi jumlah yang diminta oleh pelanggan. Jadi berapa persen dari kuantiti yang diminta oleh pelanggan itu bisa kita penuhi. Jadi fill rate-nya naik dari 80% ke 92% dan juga cost-nya per case barang yang di handle, logistiknya itu ternyata turun dari 4,25 dolar. ke 2,5 dolar.

Inventory juga turun dari 40 hari kebutuhan menjadi 35 hari kebutuhan. Jadi sangat menarik, saudara-saudara pemirsa Indonesia X, ternyata forecast accuracy yang bagus itu sangat penting, seperti yang saya sudah sampaikan tadi, karena ini akan berpengaruh pada kinerja-kinerja supply chain yang lain. Dia berada di jajaran yang paling depan.

Dia akan menentukan apakah yang di belakang ini akan bagus kinerjanya. Costnya rendah, kemudian responsivenessnya tinggi, dan lain sebagainya. Nah, itu yang saya kira sangat penting.

Nah, bagian berikutnya, seperti yang saya janjikan tadi, kita akan melihat beberapa pola permintaan, karena kita tahu bahwa forecast itu penting. Tapi persoalannya, tidak semua produk itu permintaannya mudah untuk diramalkan. Nah, kita akan coba lihat beberapa pola permintaan yang ada di pasar.

Ada pola permintaan yang sifatnya stabil. Dari waktu ke waktu kurang lebih jumlahnya sekian. Mudah untuk diprediksi, gampang untuk dipenuhi.

Ya, kita pada minggu sebelumnya sudah berdiskusi tentang produk fungsional, produk inovatif. Ada produk yang permintanya dari waktu ke waktu relatif tidak berubah. Ambil contoh misalnya produk yang paling simple, kalau kita bicara garam. Konsumsi garam setiap orang itu tidak berubah dari waktu ke waktu.

Jenis garam yang ada di pasar juga tidak banyak. Mestinya kalau kita bicara forecast untuk kebutuhan garam, itu tidak terlalu sulit karena polanya relatif stabil dari waktu ke waktu. Itu contoh satu, pola permintaan yang stabil dari waktu ke waktu.

Nah, tentu tidak semuanya segampang itu, tidak semuanya seenak itu. Banyak juga pola permintaan yang fluktuatif. Naik turun dari waktu ke waktu.

Tetapi pola permintaan naik turun ini, ada yang bisa diprediksi kapan naik dan kapan turunnya, ada yang tidak. Nah, kalau misalnya dia bisa diprediksi kapan naik kapan turunnya, maka relatif lebih gampang kalau kita memforkas. Tapi belum tentu gampang untuk dipenuhi.

Mudah diprediksi, tetapi kalau memang permintaannya tinggi, mungkin kapasitas kita tidak cukup. Nah, artinya... Kalau permintaan itu pola naik turunnya bisa diprediksi, itu gampang untuk di-forecast. Ambilah contoh misalnya produk-produk yang cenderung dibutuhkan pada saat musim hujan, seperti payung misalnya, dan tidak dibutuhkan pada musim kemarau atau musim panas.

Tentu pada saat musim hujan tiba, kebutuhan ini akan naik, ketika musim panas kebutuhannya akan turun. Ada dampak musiman dari penggunaan atau dari permintaan. produk tersebut.

Nah, yang ketiga ada juga pola permintaan yang punya trend dari waktu ke waktu. Trend itu bisa positif, bisa negatif. Trend artinya perubahan secara sistematis. Ada produk yang dari tahun ke tahun naik misalnya 10% permintaannya. Jadi dari waktu ke waktu meningkat.

Berarti dia punya positif trend. Tetapi ada juga produk yang mungkin sebaliknya. Dia punya... namanya negative trend.

Jadi kebutuhannya turun dari waktu ke waktu. Nah, yang keempat, ada juga pola permintaan yang mungkin lebih sulit dari itu. Katakanlah kalau kita banyak menuncurkan produk baru, seperti pada minggu kedua kita sudah membahas ada produk inovatif, produk yang sering menuncurkan produk baru, maka pada saat kita menuncurkan produk baru, Anda bisa lihat di ilustrasi. Mungkin dia akan mengikuti grafik yang pertama, yaitu permintaannya kecil dan cepat hilang, artinya life cycle-nya pendek. Kita hanya bisa menjual produk dengan volume yang sedikit, jadi kuantiti yang diserap oleh pasar sedikit.

Atau mungkin mengikuti grafik yang kedua, sedikit lebih tinggi, sedikit lebih lama. Atau mengikuti grafik yang ketiga, agak tinggi, agak panjang, bertahan satu tahun misalnya. Dan pada saat kita meluncurkan produk baru, kita mungkin sepenuhnya tidak tahu apakah mau ikut pola grafik yang pertama, atau ngikut yang kedua, atau ngikut yang ketiga.

Jadi ketidakpastiannya sangat tinggi kalau kita bicara pola permintaan yang seperti ini. Dan yang terakhir yang saya mau tunjukkan adalah pola permintaan yang namanya sporadis. Kadang-kadang dibutuhkan, lebih sering tidak. Pada saat dibutuhkan, dibutuhkan 3-4. Kemudian habis itu tidak ada kebutuhan lagi.

Dibutuhkan 5-6. Kemudian tidak ada kebutuhan lagi. Nah, ini kalau misalnya Anda memasok produk seperti spare part dari mesin, yang kebutuhannya jarang-jarang. Karena hanya dibutuhkan ketika mesin ini perlu diganti. Pada saat mereka melakukan replacement dari part, maka akan muncul kebutuhan.

Maka untuk yang seperti ini, pola kebutuhannya adalah Sporadik. Nah, itu saudara-saudara sekalian, pemirsa Indonesia X. Kita sudah membahas beberapa pola permintaan. Nanti kita akan lanjutkan di video berikutnya untuk melihat esensi demand management. Pemirsa Indonesia X, selamat bertemu kembali pada modul yang ketiga tentang demand management.

Nah, sekarang kita akan melanjutkan diskusi kita untuk melihat esensi dari demand management. Namun sebelum masuk lebih jauh tentang demand management, saya akan introduce sedikit tentang konsep tentang demand forecast, yaitu peramalan permintaan. Nah, peramalan permintaan, yaitu prediksi tentang berapa kebutuhan barang, atau jasa yang kita deliver ke market, itu menjadi dasar yang sangat penting untuk membuat berbagai macam keputusan. Ada forecast itu yang menjadi dasar untuk keputusan jangka panjang, ada forecast yang menjadi dasar untuk keputusan jangka menengah, ada juga forecast yang menjadi dasar untuk keputusan jangka pendek. Kalau misalnya kita ingin mendirikan pabrik, berapa kapasitas yang mau kita set?

Apakah kita mau set 2.000 ton, 1.000 ton, atau berapa? Nah, tentu keputusan ini akan sangat tergantung pada prediksi berapa besar permintaan, tetapi berapa besar permintaan itu tidak cukup hanya untuk 6 bulan ke depan. Karena kalau kita mau invest pabrik misalnya, Anda harus memprediksi sampai 5 tahun, bahkan lebih. Berapa kira-kira kebutuhan barang itu selama 5 tahun atau lebih.

Jadi sifatnya long term, itu yang pertama. Nah yang kedua, ada forecast yang digunakan untuk kebutuhan jangka menengah. Ambillah contoh misalnya, grup produk ini akan diproduksi berapa?

Dalam 2 tahun atau 1,5 tahun yang akan datang, atau 1 tahun yang akan datang. Nah ini sifatnya medium term. Kemudian yang ketiga adalah yang mendasari kegiatan-kegiatan operasional. Sehari-hari kita memproduksi berapa produk? sehari-hari kita mengirim berapa produk, itu tentunya juga didasari atas pemahaman kita tentang berapa produk itu dibutuhkan minggu depan, berapa produk itu dibutuhkan dua minggu yang akan datang atau bulan depan misalnya.

Jadi ini akan mendasari keputusan-keputusan operasional. Jadi ramalan permintaan itu akan digunakan untuk berbagai macam keputusan, jangka menengah, jangka panjang, maupun jangka pendek. Nah tentu saja jenis ramalan atau jenis forecast, tipe yang kita gunakan untuk masing-masing keputusan ini bisa berbeda. Untuk misalnya keputusan jangka panjang, sekali lagi kita butuh long term forecast, satuannya mungkin lebih umum, tidak perlu per individual product, tetapi kita akan agregasikan untuk seluruh kapasitas yang akan kita sediakan untuk berbagai macam variasi yang akan kita produksi. Tetapi untuk kebutuhan operasional kita perlu detail.

Per produk kita tahu, per minggu kita tahu. Jadi ada details dari sisi jenis dan details dari sisi waktu. Jadi akan berbeda nature atau karakteristik dari forecast yang kita butuhkan untuk kebutuhan jangka panjang dan kebutuhan jangka pendek.

Nah, ada beberapa tipe forecast yang umum digunakan. Ada yang sifatnya kualitatif, ada yang sifatnya kuantitatif. Kualitatif tentu saja itu berdasarkan pada judgement, pada perkiraan-perkiraan yang mungkin akan banyak menggantungkan pada pengalaman, banyak menggantungkan pada visi atau pada perkiraan yang mungkin diperoleh dari knowledge atau dari pengetahuan dari orang yang kita anggap expert misalnya.

Ada beberapa kategori yang kita sebut sebagai subjective forecast yang berdasarkan pada keputusan-keputusan kualitatif. Nah, sedangkan yang kuantitatif itu berarti forecast kita didasarkan pada data, hard data, numbers. Jadi ada angka di situ. Misalnya kita lihat penjualan kita masa lalu, dari tahun ke tahun berapa, dari bulan ke bulan berapa.

Nah, angka penjualan di masa lalu itu kita bisa pakai untuk meramalkan kebutuhan yang akan datang. Jadi ini model objective forecasting atau kita menggunakan angka. menggunakan formula di situ. Nah, secara lebih spesifik, kalau di sini karena kita membahas supply chain management, kebanyakan forecast yang akan kita butuhkan itu adalah untuk jangka pendek dan jangka menengah. Jadi, bukan untuk membuat keputusan strategis, walaupun tentu saja ada beberapa.

Yang paling sering tentu saja adalah untuk kebutuhan jangka pendek dan jangka menengah. Nah, untuk kebutuhan jangka pendek dan jangka menengah, Kebanyakan metode forecast yang kita gunakan adalah itu the forecast yang sifatnya objektif. Jadi kita seringkali membutuhkan data-data masa lalu, historical data tentang penjualan dari produk tersebut. Nah, ambillah contoh misalnya, kalau kita menggunakan mungkin saudara-saudara pemirsa kenal dengan istilah regresi.

Mungkin belajar di statistik misalnya. Regresi adalah mencoba untuk mengkaitkan antara berapa produk yang akan dijual dengan faktor-faktor yang mempengaruhi. Misalnya, volume penjualan kita dipengaruhi oleh harga, dipengaruhi oleh misalnya faktor-faktor yang lain. Nah, Anda mencoba mencari formula hubungan antara harga jual dan faktor-faktor lainnya dengan berapa volume barang yang akan dijual. Itu disebut sebagai causal model, salah satu model kuantitatif.

Nah, kategori yang kedua... adalah kategori time series. Jadi, kalau tadi causal itu mencari hubungan sebab-akibat, kalau time series, kita tidak mencari hubungan sebab-akibat, tetapi besaran permintaan yang akan kita ramalkan sepenuhnya itu adalah fungsi waktu.

Nah, itu sedikit saya kira introduction saya tentang metode-metode forecasting, tetapi yang ingin saya tekankan di sini, tidak cukup sebetulnya bagi perusahaan Terutama yang menghadapi pola permintaan yang fluktuatif hanya melakukan forecasting. Karena ukurannya kalau forecasting yang bagus adalah akurasinya tinggi. Tapi kalau misalnya naik turunnya tinggi, forecast kita juga tinggi naik turunnya mengikuti pola permintaan itu artinya akurat. Tetapi belum tentu forecast yang akurat dan mengikuti naik turunnya pola permintaan itu akan mudah dipenuhi. Nah, kenapa saya gunakan di sini istilah demand management, tidak sekedar demand forecast?

Karena pada intinya kita ingin mencoba untuk mempengaruhi permintaan. Kita mengelola permintaan, tidak sekedar meramalkan permintaan. Jadi tidak sekedar meramalkan, kita ingin mempengaruhi permintaan.

Kenapa kita perlu mempengaruhi permintaan? Banyak sekali perusahaan yang kalau permintaan itu diikuti saja naik turunnya, walaupun kita bisa prediksi dengan akurat, kosnya akan tinggi. Service levelnya ke pelanggan akan rendah.

Ambilah contoh misalnya, sangat banyak perusahaan di sekitar kita yang menghadapi permintaan yang polanya naik turun seperti ini. PLN misalnya, yang mensuplai listrik. Kita tahu pada saat siang hari kebutuhan listrik lebih rendah dibandingkan dengan misalnya jam 6 sampai jam 10 malam. Jadi ada periode yang disebut sebagai beban puncak, di mana demand pada saat itu sangat tinggi.

Kemudian kalau Anda bekerja di airline industry, industri jasa penerbangan, jelas di situ ada fluktuasi naik turun. Pada jam-jam tertentu, kebutuhan orang untuk travel dari satu kota ke kota lain akan tinggi. Pada jam-jam lain tidak. Atau pada bulan-bulan tertentu tinggi.

Pada bulan-bulan lain tidak. Jadi ada fluktuasi di mana naik turun. Banyak industri yang menghadapi seperti itu.

Nah, sekarang pertanyaannya, hanya bisa memprediksi secara akurat, itu tidak selalu menjawab persoalan. Karena boleh dikatakan, oke, misalnya kebutuhan elektrisiti atau listrik pada jam 6 sampai jam 10 sekian megawatt misalnya. Nah, tapi kan kapasitas kita tidak cukup untuk memenuhi itu.

Maka yang perlu dilakukan adalah secara proaktif Mempengaruhi permintaan ini, supaya sebagian dari permintaan yang ada di beban puncak, di periode-periode peak season, itu pindah ke periode-periode yang lainnya. Jadi digeser sebagian. Nah inilah yang disebut sebagai demand management. Jadi kalau demand forecast itu sifatnya reaktif, mencoba menirukan pattern, tapi demand management itu sifatnya proaktif, kita mempengaruhi pattern. Mempengaruhi pola.

Nah pertanyaannya sekarang, apa yang bisa dilakukan? Karena kalau kita langsung mengelola demand yang fluktuatif tadi, mungkin saja forecast errornya cukup rendah, akurasinya bagus, tapi tetap mungkin cost di sepanjang supply chainnya akan tinggi. Nah sekarang bagaimana caranya?

Saya kira banyak sekali metode-metode yang secara tradisional sudah dilakukan oleh perusahaan. Dan yang paling... Menonjol adalah pricing mekanisme. Jadi mekanisme harga.

Kalau kita lihat misalnya, kalau saja tarif listrik pada... Jika pada jam-jam beban puncak itu bisa lebih tinggi dibandingkan dengan pada jam-jam lainnya, pasti sebagian pelanggan akan menggeser kebutuhannya. Nah, dengan demikian maka puncaknya akan turun, lembahnya akan naik.

Kalau puncaknya turun, lembahnya naik, itu artinya permintaan kita lebih stabil. Kalau permintaan kita lebih stabil, maka kita bisa cukup beroperasi dengan kapasitas yang lebih rendah. Seperti grafik yang Anda lihat ini. Ada di situ angka 1 yang menunjukkan demand yang fluktuasinya masih sangat tinggi.

Kemudian di situ ada angka 2 yang menunjukkan bahwa demand itu sudah relatif lebih rendah fluktuasinya. Di situ ada dua garis, garis kapasitas yang merah putus-putus itu. Nah kalau kita punya fluktuasi mengikuti angka 1, itu artinya dengan kapasitas yang tinggi pun garis merah yang lebih atas, Itu tidak cukup sebetulnya kapasitas kita.

Masih ada periode waktu tertentu kita tidak mampu memenuhi. Jadi kalau di listrik berarti sebagian harus dipadamkan. Nah, tapi kalau kita bisa mengatur permintaan supaya lebih stabil, kita cukup beroperasi dengan kapasitas di bawahnya, dan masih bisa memenuhi semua permintaan yang ada.

Nah, itulah saudara-saudara pemirsa Indonesia X. Jadi sangat penting bagi kita untuk bisa memanage permintaan. supaya bisa lebih stabil, walaupun tentu saja itu tidak selalu bisa dilakukan untuk setiap industri. Selamat datang kembali di sesi tentang demand management, Saudara Pemirsa Indonesia X. Tadi kita sudah mendiskusikan tentang beberapa instrumen atau teknik yang kita bisa gunakan untuk mengelola permintaan. Nah, tapi tidak sederhana karena banyak sekali hal yang harus kita perhatikan kalau kita menggunakan instrumen demand management.

Katakanlah kalau misalnya kita menggunakan instrumen pricing, seberapa banyak instrumen pricing ini akan dilakukan. Katakanlah diskonnya akan seberapa banyak, perbedaan harganya seberapa tinggi, dan lain sebagainya. Perlu banyak pertimbangan yang harus Anda pikirkan, yang harus Anda perhitungkan. pada saat melakukan atau menggunakan instrumen-instrumen demand management ini. Ada tiga hal yang sangat pokok yang saya ingin ajak saudara-saudara untuk mendiskusikan hal-hal penting yang sangat perlu dalam menjalankan atau dalam melaksanakan program demand management ini.

Yang pertama adalah kita harus memahami seberapa dampak dari instrumen yang kita gunakan itu terhadap pendidikan. perubahan permintaan. Katakanlah kalau misalnya, kalau harga diturunkan 5%, dampaknya berapa terhadap perpindahan customer yang tadinya akan membeli di periode 2, kemudian pindah ke periode 1, karena harganya lebih murah di periode 1 dibandingkan dengan di periode 2 misalnya.

Tadi kita berbicara contoh tentang PLN misalnya, kalau misalnya PLN memberikan diskon 10% pada jam-jam yang tidak. peak atau pada jam-jam yang tidak beban puncak, kira-kira berapa persen demand yang pindah dari beban puncak menuju ke beban atau periode di mana beban itu tidak puncak. Ini sangat penting dan itu membutuhkan data, barangkali kita bisa dapatkan dari experience masa lalu atau dari survei dan lain sebagainya. Itu yang pertama. Yang kedua, yang juga sangat penting kita pahami adalah bagaimana caranya menghubungkan antara program demand management ini dengan eksekusi dari supply chain.

Bagaimana misalnya pada saat kita punya rencana untuk promosi, di mana harga kita cut atau kita memberikan diskon katakanlah selama seminggu, kemudian kita memperkirakan ada peningkatan permintaan 20%, nah bagaimana kemudian menghubungkan rencana supply yang 20% lebih tinggi ini Dengan kegiatan transportasi, seberapa banyak tambahan truk yang kita butuhkan? Apakah truk tersebut tersedia? Apakah kita harus masih mencari ke pemasok truk yang lain atau ke penyedia jasa yang lain? Kemudian dari sisi produksi juga begitu. Apakah kalau misalnya demand-nya naik 20%, kita punya cukup kapasitas untuk menangani kenaikan permintaan yang 20% itu?

Atau kita mungkin... perlu menggunakan external capacity, kita subcontracting ke perusahaan yang lain misalnya. Jadi memang perlu diperhitungkan ketika ada perubahan pola permintaan sebagai reaksi terhadap demand management, kita harus betul-betul menghubungkan atau ngeling antara proyeksi perubahan permintaan tadi dengan rencana pengiriman, dengan rencana produksi, begitu juga dengan rencana pembelian material.

Akan tentu saja sangat mengganggu. Kalau misalnya kita tahu bahwa rencana permintaan itu naik kira-kira 20% dan memang betul terjadi 20%, armada angkut kita sudah siap dengan tambahan, produksi juga kita siap dengan kapasitas tambahan, tetapi material kita tidak ada dari supplier misalnya. Tentu ini akan menjadi sia-sia. Maka koordinasi ini menjadi sangat penting. Apapun instrumen demand management yang kita gunakan, kalau itu mengubah pola permintaan, Membuat permintaan naik pada periode tertentu, maka semua lini harus siap.

Dari belakang sampai ke depan, mereka yang mengirim harus siap dengan tambahan. Mereka yang menyimpan harus siap dengan tambahan beban juga. Mereka yang memproduksi juga harus siap.

Mereka yang memasok material sekalipun harus siap. Jadi dibutuhkan di sini tim lintas fungsi yang harmonis. Jadi orang produksi, orang distribusi, orang warehouse. Pengadaan material, termasuk supplier harus bisa mengantisipasi kenaikan, katakanlah kalau ada 20% permintaan yang naik dari yang diperkirakan sebelumnya.

Itu yang kedua, jadi cross-functional team itu sangat penting. Nah, yang ketiga, kita juga perlu melihat dampaknya terhadap cost. Dan cost yang kita lihat itu betul-betul harus holistik. Nah, saya ambil contoh begini.

Bagian pemasaran melakukan promosi. Seperti yang saya katakan tadi, demand meningkat karena sukses promosinya. Kemudian kapasitas kita ternyata tidak cukup. Akhirnya kita melemburkan sebagian karyawan.

Jadi karena kita memproduksi dengan jam lembur, maka biayanya akan naik. Nah, biaya yang seperti ini harus diperhitungkan. di dalam mengevaluasi atau di dalam memperkirakan berapa kos yang akan terjadi sebagai akibat dari instrumen demand management ini. Jadi itu ada tiga hal yang sangat penting yang saudara pemirsa yang kita perlu pahami ketika kita menggunakan instrumen demand management, maka hal-hal yang tadi yang seperti yang saya sampaikan itu sangat penting untuk dimasukkan sebagai pertimbangan dan yang Terakhir yang saya sampaikan adalah bagaimana kita mengestimate keseluruhan biaya yang terjadi dari hulu sampai ke hilir. Nah, yang menarik juga ingin saya elaborate lebih jauh di sini begini.

Katakanlah kalau permintaan itu ternyata meningkat, tetapi kalau inisiatifnya ini katakanlah hanya dari orang sales atau marketing, dan tidak terkomunikasikan dengan baik ke pihak-pihak yang lain, kemudian tiba-tiba saja pabrik itu akan terima order yang lebih besar. atau yang lebih tinggi dari biasanya. Maka akhirnya apa yang terjadi?

Kita terpaksa produksi cepat-cepatan. Mungkin akhirnya akan menggunakan jam lembur, seperti yang saya katakan tadi, yang kosnya lebih tinggi. Atau kalau kita tidak punya material, kita akan minta supplier untuk kirim lebih cepat. Dengan tentu saja konsekuensi biaya kirim akan lebih tinggi.

Nah, kalau ini terjadi, maka bisa jadi sia-sia. Program yang bagus, yang sudah berhasil meningkatkan demand, Itu kemudian kita respon dengan cara yang tidak well prepared, sehingga cost kita akan menjadi tinggi. Nah itu sebabnya maka setiap kali kita punya program seperti demand management, tiga hal yang tadi sangat penting untuk diperhitungkan. Selamat datang kembali siswa Indonesia X. Kita masih mendiskusikan tentang demand management, topik yang tentu saja sangat menarik dan penting di dalam konteks supply chain. Tadi saya sudah menyinggung di video sebelumnya, pentingnya adanya cross-functional team dalam menyikapi instrumen demand management yang sedang dilakukan oleh perusahaan.

Jadi katakanlah kalau perusahaan itu misalnya sedang punya kegiatan untuk promosi, Diman diperkirakan meningkat, maka semua pihak yang kira-kira terkait di dalam perusahaan itu harus mengetahui dan terlibat di dalam perencanaan untuk mengantisipasi kenaikan permintaan yang terjadi. Jadi dibutuhkan dukungan dari mereka yang memproduksi, jadi orang produksi, membutuhkan dukungan dari mereka yang menjual, membutuhkan dukungan dari mereka yang menyiapkan bahan baku. yang mengerjakan kegiatan transportasi dan lain sebagainya.

Jangan sampai misalnya ada empat pihak yang sudah siap, tetapinya satu tidak siap dan ini akan menggagalkan atau membuat rencana kita tidak tereksekusi dengan baik. Nah, itu penting sekali. Nah, sekarang sebenarnya tidak hanya di internal perusahaan saja. Kolaborasi itu penting untuk mengantisipasi terjadinya perubahan atau peningkatan permintaan.

Dibutuhkan juga kolaborasi dengan pihak lain. Nah, saya akan membahas dua konsep yang sangat penting di dalam supply chain. Yang pertama adalah apa yang disebut sebagai collaborative planning, forecasting, and replenishment.

Jadi, singkatannya adalah CPFR. Jadi, ini adalah konsep yang dulu dikembangkan oleh sekumpulan industri yang sifatnya volunteer di Amerika. Yang menyikapi pentingnya perusahaan-perusahaan yang memproduksi dan perusahaan-perusahaan yang menjual produk untuk berkolaborasi pada level perencanaan, kemudian pada saat mereka meramalkan permintaan dan mengkoordinasikan perpindahan barang atau pengisian stok yang kita sebut sebagai replenishment.

Jadi ada tiga kata yang menunjukkan aktivitas yang sangat penting di situ, planning, Yaitu bagaimana kedua belah pihak ini melakukan perencanaan bersama, forecasting, bagaimana kedua belah pihak ini bersama-sama menentukan angka ramalan permintaan, dan replenishment. Jadi yang mengkoordinasikan kapan barang dikirim, pada saat stok tinggal berapa barang itu sudah harus dikirim, dan lain sebagainya. Itu yang ketiga yang kita sebut sebagai replenishment. Nah kenapa inisiatif seperti CPFR ini penting? Karena sebagaimana yang kita ketahui, kita di dalam supply chain ini adalah satu tim sebetulnya.

Mereka yang menjual tentu mengetahui permintaan pasar dengan lebih baik dibandingkan dengan mereka yang memproduksi. Karena mereka lah yang sehari-hari berhadapan dengan M customer. Yang membeli barang itu datang ke toko adalah M customer, dan toko ini mestinya mengetahui lebih baik perilaku pelanggan. kemudian level kebutuhan dan lain sebagainya, dibandingkan dengan pabrik yang mungkin berada di jauh tempatnya, lokasinya bisa jadi di negara yang berbeda, yang tidak memahami bagaimana dinamika demand di end customer itu terjadi. Nah, oleh karena itu diperlukan kolaborasi antara retail misalnya yang menjual produk, yang mungkin memahami karakteristik pelanggan dengan lebih baik, yang juga tahu data dan memiliki data permintaan secara detail dari hari ke hari, bahkan dari jam ke jam, dengan pabrik yang memproduksi produk tersebut, yang mungkin selama ini tidak memiliki akses tentang data permintaan yang ada di end customer.

Nah, sinkronisasi ini sangat penting. Kolaborasi inilah yang diatur dalam model yang disebut sebagai CPFR ini. Nah, sebelum model ini terjadi, biasanya masing-masing punya forecast sendiri-sendiri. Retail punya perkiraan angka, pabrik punya perkiraan angka. Dan bisa jadi, untuk produk yang sama, untuk area market yang sama, dan untuk periode waktu yang sama, angkanya bisa sangat berbeda.

Retail meramalkan 1000, pabrik meramalkan 500. Nah, ini kan tidak sinkron. Nah inilah yang hendak dijembatani oleh inisiatif yang disebut sebagai CPFR tadi. Nah, ada beberapa prinsip sebetulnya yang menjadi landasan berpikir dari CPFR.

Yang pertama, kalau kita melakukan kerjasama pada saat meramalkan kebutuhan, maka informasi ini akan mengalir dari satu pihak ke pihak yang lain. Artinya, Katakanlah saya sebagai retail tidak menyimpan informasi permintaan untuk diri saya sendiri. Saya juga share informasi itu kepada pabrik yang juga tentu akan perlu memiliki informasi itu untuk menentukan kapasitas dan keputusan produksi misalnya. Jadi ada joint forecast di antara kedua-duanya dan angka itu ketika sudah disetujui akan menjadi dasar bagi masing-masing pihak untuk menentukan aktivitas mereka masing-masing. Nah, tentu saja hal yang seperti ini akan menjadi lebih penting lagi kalau ada event-event yang direncanakan seperti instrumen demand management yang kita tadi sudah diskusikan, yang sedang direncanakan.

Katakanlah yang punya rencana ini retail, karena tidak jarang ternyata yang promosi itu adalah retail. Tidak selalu pabrik yang menentukan kapan barang itu didiskon. Mau di set harga berapa dan lain sebagainya, tidak selalu pabrik yang menentukan itu.

Ada kalanya retail lagi ulang tahun misalnya, mereka ingin menawarkan program-program seperti promosi, beberapa produk akan didiskon harganya dan lain sebagainya, yang tentu saja dengan demikian mungkin akan meningkatkan penjualan atau perbintan dari produk-produk tertentu tersebut yang harganya di... dipotong atau harganya diberikan diskon atau sedang dipromosikan dan lain sebagainya. Nah, kalau ini adalah programnya retail, jangan-jangan pabriknya tidak tahu. Jangan-jangan pabrik tidak pernah dapat informasi. Ternyata produk kita sedang masuk dalam list yang sedang dipromosikan.

Sedang masuk dalam list yang dapat potongan harga misalnya. Nah, yang seperti inilah yang perlu dikolaborasikan. Artinya informasi yang seperti ini Sedapat mungkin juga diketahui oleh pabrik, sehingga pabrik bisa menyiapkan kapasitas yang lebih banyak misalnya. Dia bisa tahu misalnya, oh di sana sedang terjadi promosi.

Oke, kira-kira permintaan naik 20%. Oleh karena itu, apa yang harus dilakukan oleh pabrik? Nah, inilah kolaborasi yang perlu dilakukan.

Model ini atau cara kolaborasi yang seperti ini, itu diatur. oleh apa yang disebut sebagai CVFR. Satu lagi landasan yang juga cukup penting, yang juga ingin saya sampaikan, karena ini juga merupakan landasan yang sangat mendasar di dalam CVFR, adalah apa yang disebut sebagai exception management. Exception management kurang lebih cara kerjanya begini, masing-masing pihak boleh meramalkan sendiri di awal, retail boleh mengeluarkan angka.

Fabrik juga boleh mengeluarkan angka ramalan, tetapi kemudian dibandingkan satu sama lain. Kalau misalnya ada yang angkanya seribu dan ada yang angkanya lima ratus, terlalu besar bedanya. Maka kedua-duanya harus merundingkan, berapa sih sebetulnya yang masuk akal.

Nah disitulah ketika merundingkan angka, maka pastinya akan terjadi sharing informasi. Apa yang membuat retail berani misalnya mentarjet penjualan seribu? Kenapa pabrik hanya menggunakan angka 500?

Nah, ini yang harus dirundingkan. Nah, perundingan angka dari yang selisihnya besar menjadi yang lebih kecil sehingga bisa diterima oleh kedua belah pihak itu yang disebut sebagai exception management. Nah, tidak harus sama tentunya angkanya.

Katakanlah kalau pabrik misalnya meramalkan 850 tapi retail berakhir dengan angka katakanlah 830 well, oke, itu di bawah Trash hole perbedaan yang bisa diterima, maka jalan masing-masing. Nah, itu konsep dari apa yang kita sebut sebagai exception management. Pemirsa Indonesia X, saya akan menjelaskan sekarang model dari CPFR.

Tadi kita sudah bicara backgroundnya kenapa CPFR itu penting. Nah modelnya seperti apa? Ini kalau Anda lihat yang ada di slide, yang ada di background, Anda bisa dilihat di situ bahwa CPFR model itu ada empat bagian.

Yang pertama adalah bagian yang disebut sebagai strategian planning. Pada tahapan itu, kedua belah perusahaan Atau kedua belah pihak yang berkolaborasi menyetujui adanya kerjasama, bahwa mereka akan masuk arrangement, collaborative planning, forecasting, dan replenishment. Ada kesepakatan di level pimpinan, bahwa keduanya akan sepakat.

Karena tentu saja kalau tidak ada kesepakatan nanti di level operasional mungkin akan sulit. Pegawainya mau share data atau informasi akan takut karena tidak ada kesepakatan di level... strategik atau di level pimpinan.

Jadi itu penting sekali di tahap awal harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak bahwa kita bersama-sama komit akan masuk ke framework atau ke arrangement yang disebut sebagai CPFR ini. Itu yang pertama. Jadi mungkin kita buat juga joint planning selama 3 tahun ke depan atau 2 tahun ke depan kira-kira rencananya seperti apa.

Itu fase pertama yang sangat penting. Nah baru kalau fase pertama ini sudah selesai atau sudah kita lakukan, baru kita masuk ke fase kedua, yaitu demand and supply management. Yang intinya apa yang dilakukan di sana?

Intinya sebetulnya adalah joint forecast, yang seperti tadi sudah saya sampaikan, masing-masing pihak mungkin akan membuat ramalan sendiri-sendiri untuk sales, katakanlah beberapa minggu ke depan atau tergantung pada... Periode waktunya kalau taktis mungkin sampai 6 bulan satu tahun ke depan, kemudian akan disepakati satu dengan yang lainnya, kemudian tentu saja ini akan melewati perundingan bagi yang angka awalnya mungkin jauh satu dengan yang lainnya. Itu pada fase yang kedua.

Tentu akan banyak sekali pertemuan-pertemuan yang harus dilakukan di situ, perlu penyamaan persepsi, perlu penyamaan format data dan lain sebagainya, akan sangat teknikal. Meetingnya bisa berkali-kali dalam sebulan antara kedua belah pihak, jadi memang dibutuhkan komitmen dari kedua sisi untuk masuk kepada arrangement ini secara efektif. Nah, itu yang kedua.

Fase ketiga adalah fase eksekusi. Nah, tadi kan fase perencanaan. Forecast itu merupakan satu elemen dari proses perencanaan. Nah, sekarang fase eksekusi.

Fase eksekusi yang terkait dengan kapan barang ini dikirim. Saya punya order sekian, kapan barangnya dikirim? Order yang kemarin ada yang belum datang, barangnya itu ada di mana sekarang, dan lain sebagainya.

Ini fase eksekusi, yang intinya di situ adalah replenishment process. Replenishment process artinya yang terkait dengan pabrik mengirim barang ke pelanggan, pabrik mengirim barang ke toko atau ke retail misalnya, itu fase ketiga. Nah fase keempat adalah fase analisis yang intinya adalah melihat, katakanlah kalau misalnya kita sudah 3 bulan bersama-sama melakukan forecast secara kolaboratif dengan metode CPFR ini, katakan misalnya kok masih errornya masih tinggi gitu.

Kenapa forecastnya masih rendah akurasinya? Nah di sini dibicarakan di fase keempat, kira-kira faktor apa yang kita belum masukkan? Adakah hal penting yang kita lewatkan?

Nah, di situ ada proses, assessment dari apa yang sudah kita lakukan, evaluasi untuk perbaikan pada fase berikutnya. Jadi, model dari CVFR ini kalau Anda lihat, itu berbentuk lingkaran. Nah, kalau kita bicara lingkaran, itu kan seperti roda, mengalir terus-menerus, tidak ada start dan tidak ada finish.

Artinya apa? CVFR ini adalah model yang kental dengan nuansa continuous improvement. Jadi ada perbaikan dari satu siklus ke siklus yang lain. Selalu kita belajar, misalnya, oke, bulan yang lalu banyak sekali kiriman yang datang terlambat, berarti replenishment-nya bermasalah.

Oke, bulan yang lalu misalnya forecast kita error-nya masih 40%, nah, apa yang perlu diperbaiki? Itu di fase keempat, yaitu fase analisis. Nah, itulah model yang kita sebut sebagai CPFR, Collaborative Planning. forecasting dan replenishment. Pemirsa Indonesia X, tadi kita membahas tentang kolaboratif planning, forecasting, dan replenishment.

Nah ini ada satu model lagi yang juga menarik untuk kita pelajari, yaitu yang disebut sebagai vendor-managed inventory. Ini juga model kolaborasi yang melibatkan dua organisasi di dalam supply chain. Nah intinya apa? Vendor-managed inventory atau VMI ini adalah mengalihkan tanggung jawab pengelolaan persediaan kepada vendor.

Jadi kalau secara tradisional kita sebagai pembeli yang memesan barang, menentukan kita minta berapa, kapan dikirim, dan lain sebagainya, maka sekarang yang di sini, vendor manage inventory, tanggung jawab atau keputusan itu dilakukan atau diambil oleh pemasok, oleh vendor. Nah, jadi apa yang harus dilakukan oleh buyer? Buyer hanya akan menyediakan data stok. atau berapa inventory yang tersedia atau yang tersisa, kemudian sehari kira-kira kebutuhannya berapa, nah berbekal pada dua informasi itu, kemudian vendor akan menentukan kapan dia akan mengirim, jumlahnya berapa, dan lain sebagainya. Jadi apa yang sebetulnya terjadi di sini, di samping pemindahan tanggung jawab, di situ sebetulnya terjadi sharing informasi.

Sharing informasi, data yang selama ini mungkin tidak pernah dilihat oleh vendor. Katakanlah kalau vendor ini pabrik misalnya, selama ini vendor ini tidak pernah punya akses ke data penjualan yang diperoleh oleh toko. Jadi berapa barang yang dijual tiap hari, stoknya sisa berapa dan lain sebagainya selama ini tertutup.

Nah sekarang dengan masuk ke arrangement vendor manage inventory, itu artinya terjadi keterbukaan informasi ini. Vendor bisa mengatur lebih baik, tentu dengan demikian bisa jadi atau di kebanyakan kasus akan terjadi peningkatan responsiveness kepada pelanggan, tetapi tentu saja dengan syarat bahwa vendor ini punya kemampuan untuk mengambil keputusan tersebut. Jadi esensi dari vendor managed inventory ini adalah sebetulnya bagaimana kita lebih reaktif atau lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan.

yaitu dengan cara sharing informasi, kemudian keputusan itu pindah dari buyer kepada vendor. Itu adalah esensi dari apa yang kita sebut sebagai vendor managed inventory. Nah, sedara pemirsa Indonesia X, jadi kita sudah menyelesaikan modul di minggu ketiga ini.

Kita sudah berbicara tentang demand management, berbagai macam instrumen yang bisa digunakan untuk mengelola permintaan. Kemudian kita juga berbicara tentang model-model kolaborasi yaitu CPFR dan Vendor Managed Inventory. Sampai jumpa di modul saya di minggu keempat.

Sampai jumpa.