Dalam sejarah Indonesia, zaman kolonialisme mungkin menjadi zaman yang paling banyak dibicarakan. Mengapa demikian? Sebab banyak terjadi peristiwa sejarah pada zaman tersebut. Beberapa di antaranya adalah perlawanan-perlawanan lokal terhadap pemerintah kolonial, sampai perang besar yang tentunya mengeras kas hingga membuat pemerintah kolonial akhirnya bangkrut.
Nah, kali ini... Inspek Historia akan membahas salah satu peristiwa penting yang pernah terjadi di Indonesia pada zaman kolonial, yaitu Perang Dipenogoro yang menjadi salah satu perang yang membuat kolonial Belanda sampai dilanda krisis ekonomi pasca perang berakhir. Nah, mendengar nama Dipenogoro mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita.
Bahkan bagi yang masih sekolah, mungkin di sekolahnya masih terpampang gambar wajah dari pahlawan-pahlawan nasional dan salah satunya adalah Pangeran Dipenogoro. Lalu, kenapa Pangeran Dipenogoro diangkat sebagai pahlawan nasional? Semua karena perlawanannya terhadap penjajah yang menjadi salah satu perlawanan besar yang dihadapi Belanda selama menjajah Indonesia.
Sekilas tentang Pangeran Dipenogoro, beliau lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Raden Mas Ontowirjo. Ia adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubwono III. Memasuki abad ke-19, situasi di Surakarta dan Yogyakarta saat itu sedang memprihatinkan. Ini disebabkan karena intervensi Belanda terhadap lingkungan keraton, sehingga menimbulkan perpecahan di dalam lingkungan kerajaan.
Dalam buku The Origins of Jawa War, Peter Carey mengatakan bahwa intervensi yang dilakukan oleh bangsa asing menyebabkan keraton dilanda oleh konflik internal. Meninggalnya pendirika Sultanan Nayok Yakarta Hadiningrat, Sultan Hamengkebuwono I, pada 24 Maret 1792, membuka peluang Belanda untuk mengancapkan pengaruhnya ke lingkungan Kesultanan. Tahun 1811, pengaruh Belanda di dalam keraton semakin menjadi.
Bahkan Belanda bisa memaksa Hamengkebuwono II turun tahta, berlari Sultan, lalu diberikan kepada Hamengkebuwono III, ayah dari pangeran di Punogoro. Intervensi yang dilakukan Belanda ini bahkan sampai membawa pergeseran budaya dan adat di keraton hingga tidak sesuai lagi dengan budaya Jawa. Wah, ngeri banget ya pengaruh kolonial ini. Intervensi yang dilakukan oleh Belanda tidak hanya berefek buruk bagi kaum bangsawan dan ngerat di kerajaan, namun juga berefek terhadap kesediataan rakyat yang hanya digunakan sebagai objek pemerasan.
Para petani hidup jauh dari kata sediahtera, karena diharuskan menjadi tenaga kerja paksa. Tidak sampai di situ, mereka yang sudah hidup kesusahan, masih dibebani dengan berbagai macam pajak yang juga menyiksa. Pangeran Dipenogoro, yang melihat rakyat semakin kesusahan di bawah kuasa Belanda, menjadi prihatin dan tidak ingin tinggal diam. Tapi sebenarnya, Pangeran Dipenogoro tidak ingin ikut campur dalam urusan keraton, mengingat ibunya yang bukan seorang parmaesuri.
Saat itu, Hamongu Buwono III berniat untuk mengangkat Pangeran Dipenogoro sebagai putra mahkota Namun keinginan ditolak halus oleh Pangeran Dipenogoro Karena ia merasa tidak pantas untuk menduduki tahta dan tidak berpikir tidak menyukai hidupan di istana. Pada 1814, Hameng Kebuonu ketiga wafat, dan posisinya digantikan oleh Raden Mas Ibnu Jarod, atau Hameng Kebuonu keempat. Tapi yang jadi masalah, usia Hameng Kebuonu keempat saat itu, masih menginjak usia 10 tahun. Bayangin aja, anak kecil itu, gocil, disuruh menjadi pemimpin pemerintahan. Pasti belum siap lah, gak usah jauh-jauh.
Polisi yang sama juga. juga pernah terjadi pada dinasti terakhir yang berkuasa di China. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh Belanda untuk semakin menancapkan pengaruhnya di Keraton. Kondisi yang labil karena dipimpin oleh Sultan berusia belia.
membuat Belanda semakin leluasa memainkan kepentingannya di lingkungan istana. Melihat kenyataan bahwa pihak Belanda terlalu banyak melakukan intervensi, Pangeran Dipenogoro akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu, yaitu sebuah perlawanan. Perlawanan ini dilatar belakangi oleh dua hal. Pertama, Belanda semakin ikut campur dalam urusan internal keraton.
Dan yang kedua, penderitaan rakyat karena digembandi oleh banyak pajak. Puncahnya terjadi saat Belanda dengan lancang memasang patok-patok untuk membuat jalan kereta api. Kenapa Pangeran Dipenogoro harus marah? Kan cuma masang patok.
Ternyata masalahnya tidak sesederhana itu. Patok yang dipasang Belanda dalam rencananya untuk membuat jalan raya ternyata ditanam di atas makam leluhur Pangeran Dipenogoro. Dalam budaya Nusantara, makam memang dianggap sesuatu yang sangat sakral. Apalagi jika itu adalah makam leluhur. Jadi wajar jika Pangeran Diponegoro menjadi marah dan bertekad untuk melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda.
Pangeran Diponegoro kemudian mengganti patok yang diletakkan dengan sebuah tombak sebagai bentuk pernyataan perang. Perang pun meletus pada 20 Juli 1825. Saat itu, pasukan Belanda diutus ke Tegal Rejo untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Pertempuran pun tidak bisa dihindarkan lagi.
Pasukan Belanda bertempur melawan pasukan Pangeran Dipenugoro Walaupun pada akhirnya pasukan Belanda berhasil menghubungi hanguskan Tegarejo Namun tujuan utama mereka menangkap Pangeran Dipenugoro ternyata tidak berhasil Pangeran Dipenugoro berhasil menyingkir ke desa Selarong untuk menyusun strategi perlawanan baru Kemudian terdapat 4 poin dalam strategi yang disusun tersebut Pertama, rencana serangan ke keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda serta mencegah masuknya bantuan dari luar. Kedua, mengirim utusan kepada para bupati dan ulama agar bersiap untuk ngelawan Belanda. Ketinggalan, memilah para bangsawan menjadi dua golongan, kawan atau lawan.
Yang keempat, membagi wilayah antara wilayah perang dan wilayah pertahanan. Dalam perang ini, Pangeran Ipunogoro turun langsung untuk memimpin. Ia juga didampingi oleh beberapa tokoh.
Seperti Pangeran Mangkubumi yang merupakan pamannya, Ali Basyah Sentot Prawirodirjo, yang menjabat sebagai panglima muda, serta Kiyai Mojo dan para murid-muridnya. Tiga minggu berselang, setelah serangan Tegalrejo oleh Belanda, rencana Pangeran Diponegoro akhirnya dilakukan. Dalam serangan ke Kraton kali ini, pasukan Pangeran Diponegoro berhasil menghidupi Kraton.
Selama berjalannya perang, Pangeran Diponegoro menerapkan strategi perang diriliah. Pasukan perang di Punogoro selalu bergerak keluar masuk hutan, naik turun gunung, dan menjelajahi berbagai wilayah dari Jogjakarta, Jawa Tengah, bahkan sampai ke Jawa Timur. Keberhasilan menuduki keraton ini juga berhasil diikuti pada kemenangan-kemenangan lainnya pada tahun-tahun awal pertempuran Pangeran di Punogoro.
Perlawanan atas nama Pangeran di Punogoro pun meluas ke daerah lain, seperti Banyumas, Gedi, Halongan, Semarang, dan Rembang. Perlawanan bahkan meluas ke daerah Jawa Timur, seperti Madiun, Magetan, Cediri, dan daerah sekitarnya. Perang yang semakin meluas ini akhirnya disebut juga dengan Perang Jawa. Strategi Perang Rilie yang dilancarkan oleh pasukan Pangeran Diponegoro kemudian cukup merepotkan pihak Belanda.
Pihak Belanda bahkan memanggil pasukan mereka dari Sumatera Barat, yang pada saat itu juga sedang menghadapi pertempuran dalam Perang Padri. Melihat perlawanan terhadap Belanda semakin meluas, di bawah Komando Pangerani Penoboro, pemimpin perang Belanda, General de Koo, lalu memutuskan untuk mengubah strategi. Pihak Belanda lalu menggunakan sebuah strategi sistem perbentengan darurat di medan tempur yang dikenal dengan nama Benteng Style Cell. Strategi ini dikombinasikan oleh pihak Belanda dengan pengarahan jumlah pasukan gerak cepat dalam jumlah yang besar. Dengan strategi ini, pihak Belanda ternyata berhasil mempersempit ruang gerak perlawanan Pangeran Dipenogoro.
Tidak hanya itu, para pimpinan yang membantu Pangeran Dipenogoro. Seperti Kiai Mojo dan Alibasa Sentot Prawirodirjo pun ditangkap satu persatu. Dalam kondisi seperti ini, Belanda menawarkan gencatan senjata.
Pada awalnya, Pangeran Niponogoro kukuh tidak mau melakukan gencatan senjata, namun demi keselamatan pasukan dan para pengikutnya, Pangeran Niponogoro menyanggupi untuk berunding dengan syarat keluarga serta pengikutnya agar digelaskan. Tak disangka. Perundingan yang diadakan pada 28 Maret 1830 itu hanyalah sebuah siasat licik Belanda, Pangeran Dipenugoro, yang datang ke tempat perundingan tanpa menggugah senjata, malah ditangkap oleh Belanda.
Dengan ditangkapnya Pangeran Dipenugoro, berakhir pula perlawanannya terhadap Belanda, yang sudah berlangsung selama 5 tahun. Ia pun dikirim untuk diasingkan ke Monado, lalu dipindahkan ke Makassar hingga akhir hayatnya. pada 8 Januari 1855. Sebagai salah satu perlawanan besar terhadap kolonialisme Belanda, Perang Niponogoro atau Perang Jawa juga menimbulkan dampak yang tidak kecil bagi Indonesia. Perang ini mengakibatkan tewasnya 200 ribu jiwa, diantaranya 7 ribu dari pihak pribumi, dan sementara itu dari pihak Belanda sebanyak 8 ribu. Kekalahan yang diderita pangeran Niponogoro justru lebih menegaskan kembali kekuasaan Belanda atas Pulau Jawa.
Oleh karena itu, para raja serta bupati Jawa semakin tunduk di bawah kekuasaan Belanda. Para keturunan pangeran Ikunogoro kemudian dicap sebagai keturunan dari pemberontak. Mereka pun terusir dan kemudian dikejar-kejar oleh pemerintah kolonial. Keturunannya yang hidup di pengasingan juga tak diizinkan untuk pulang ke Jawa hingga menjelang kemerdekaan.
Namun, Perang ini juga membuat pihak Belanda mengalami kerugian yang tidak sedikit. Perang ini bahkan menguras sumber daya Belanda, termasuk pasukan dan keuangan, sehingga menyebabkan pemerintah kolonial dilanda krisis keuangan. Lalu menurutmu, apakah sebenarnya Pangeran Dipenogoro masih punya peluang untuk memenangkan perang? Coba tulis di kolom komentar.
Hai, terima kasih sudah menonton dan belajar sejarah bersama Inspek Histori. Jangan ragu untuk berikan komentar, like, dan bagikan bila kamu merasa konten ini bermanfaat.