Akhir-akhir ini kamu ngerasa otakmu jadi lemot enggak? Kayak gak bisa fokus diajak ngobrol ggak nyambung atau ngerasa malas aja kalau nonton video-video berdurasi panjang? Jangan-jangan. Mungkin ini karena otakmu udah rusak karena kebanyakan nonton video-video receh berdurasi pendek. Setiap kali kamu scroll dan nemu konten seru di sosial media, otakmu ngeluarin dopamin atau zat kimia dari otak yang memberikan rasa senang. Tapi masalahnya dopamin yang kamu dapatkan dari scroll sosm itu adalah dopamin murahan. Ibaratnya kayak kamu makan mie instan setiap hari. Emang ngenyangin sih, tapi lama-kelamaan otakmu jadi kekurangan gizi. Hal ini didukung juga oleh sebuah riset dari Harvard University yang mengatakan kalau kebiasaan ini dapat merusak hipokampus atau area otak yang bertanggung jawab untuk belajar dan mengurus daya ingat. Kalau hipokampusmu bermasalah, dampaknya bisa jadi brain road. Otak jadi malas mikir, fokus gampang buyar, kualitas berpikir jadi anjlok, dan fungsi kognitif jadi turun. Bukan cuma Niki aja yang turun, tapi nalar kritis juga ikut tumpul. Inilah yang disebut dengan brain rod di mana otak literally dikatakan busuk karena kebanyakan konsumsi sampah digital berdurasi singkat. Brain road bukanlah istilah yang berbau mistis. Brain road adalah kondisi di mana kemampuan otak kita untuk berpikir secara mendalam dan berinovasi mulai menurun secara perlahan. Ini juga bukan karena penyakit medis, melainkan sebuah fenomena sosial dan psikologis yang muncul akibat kelebihan informasi dan konsumsi konten-konten receh berdurasi pendek. Penelitian dari Universitas Stanford pernah menyatakan bahwa kebiasaan mengonsumsi informasi yang singkat dapat mengubah cara otak kita bekerja. Otak yang seharusnya mampu menganalisis dan berpikir kritis justru hanya bisa beradaptasi dengan rangsangan instan yang mudah dicerna. Akibatnya, kita jadi sulit mengerahkan energi untuk berpikir secara mendalam. Untuk mengatasi hal ini, kamu bisa mulai melakukan yang namanya digital detox. Sesederhana dengan cara mengurangi penggunaan sosial media atau bahkan menghapus aplikasi kandang Einstein secara penuh. Namun hal ini kayaknya terlalu susah buat dilakuin banyak orang mengingat smartphone dan sosial media sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, daripada menghapus aplikasinya lebih baik kamu mengurangi pemakaiannya dan mengganti waktu yang ada dengan membaca buku. Aku sendiri udah mempraktikkan hal ini di mana 2 tahun lalu aku ngelakuin challenge ke diri sendiri buat baca 36 buku dalam setahun. Itu berarti setidaknya aku membaca tiga buku per bulan atau satu buku per 10 hari. Ini juga sempat aku sharing ke sosial media pribadi terkait review singkat dari keseluruhan buku-buku yang udah pernah aku baca. Dan ya hasilnya juga sangat memuaskan. Hasilnya benar-benar mengubah hidupku. Aku yang dulunya orang yang mudah bosan dan gampang terdistraksi kemudian sedikit demi sedikit mulai bisa fokus dan hidup dengan lebih produktif. Selamat datang di channel Edutektif di mana kita akan bahas semua hal yang berkaitan dengan edukasi, teknologi, dan produktivitas yang berkaitan langsung dengan fenomena sosial di kehidupan sehari-hari. Dan di video kali ini kita akan bahas 10 alasan kenapa membaca buku itu bisa mengubah hidupmu. Yang pertama, membaca buku memungkinkan kita untuk membuka pikiran terhadap berbagai pendapat dan pandangan dari orang lain. Ketika kita memperluas wawasan dengan berbagai jenis bacaan, kita mulai menyadari bahwa setiap individu memiliki perjalanan hidup dan pengalaman yang unik. Baik buku fiksi maupun nonfiksi bisa membawa kita untuk melihat dunia melalui perspektif orang lain, memahami perjuangan dan tantangan yang mereka hadapi, dan dapat melihat dunia dengan cara yang berbeda. Proses ini juga mendorong kita untuk menjadi pribadi yang lebih empatik. Karena dengan memahami cerita-cerita yang berbeda, kita lebih mampu berempati dengan apa yang dirasakan orang lain. Riset menunjukkan bahwa empati dapat diperkuat dengan semakin banyaknya kita terpapar dengan perspektif yang beragam, terutama melalui cerita dan narasi yang bisa menumbuhkan rasa keterhubungan secara emosional. Ketika kita mampu meresapi pengalaman orang lain, apa yang kita sampaikan baik itu dalam bentuk kata-kata, sikap atau tindakan akan lebih bermakna dan mampu menyentuh hati orang lain. Jadi, semakin sering kita meluangkan waktu untuk membaca dan mendalami berbagai cerita, kita akan menjadi pribadi yang lebih bijaksana, penuh empati, dan mampu menyampaikan pesan dengan cara yang lebih menyentuh dan berdampak. Kedua, membaca buku dapat memberikan rasa tenang dan motivasi yang lebih mendalam. Saat kita membaca buku, kita terlarut dalam dunia yang penuh dengan pengetahuan, ide, dan pemikiran yang menenangkan. Buku memberi ruang bagi pikiran kita untuk beristirahat sejenak dari kebisingan dunia luar yang pada akhirnya ini memberikan kita kesempatan untuk fokus pada suatu hal dan terus mendapatkan inspirasi untuk berkembang. Di sisi lain, sosial media seringkiali menghadirkan potret kehidupan yang terlihat sempurna yang bisa membuat kita merasa tertekan, minder, atau merasa tertinggal. Sosial media juga lebih sering menyuguhkan kesan instan yang terkadang memperburuk perasaan. Penelitian juga telah menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap media sosial dapat meningkatkan perasaan cemas, kurang percaya diri, bahkan depresi. Hal ini terjadi karena kita seringki membandingkan diri kita dengan orang lain yang tampaknya lebih sukses, lebih bahagia, atau memiliki hidup yang lebih sempurna. Konten-konten pembawa mimpi indah yang sering kamu lihat di internet seringki hanya menunjukkan hasilnya aja tanpa memberitahu apa dan bagaimana proses untuk mencapainya. Bahkan konten-konten seperti ini memang sering didesain dengan cara yang sangat bombastis hanya untuk mendapatkan atensi dari penonton. Perasaan-perasaan seperti ini bisa mempengaruhi semangat kita untuk bergerak maju bahkan bisa menghambat produktivitas dan rasa percaya diri. Ketiga, membaca buku mengajarkan kita untuk melatih fokus dalam jangka waktu yang lama. Ketika kita membaca, kita dihadapkan pada sebuah teks yang memerlukan perhatian penuh tanpa gangguan. Jika kita terlalu sering berpindah dari satu halaman ke halaman lain atau beralih ke topik yang berbeda, kita bisa kehilangan inti dan konteks dari cerita atau argumen yang ingin disampaikan. Di sisi lain, sosial media juga cenderung membuat kita terbiasa untuk berpindah fokus dengan cepat. Kita selalu mengejar dopamin dari konten baru yang menyegarkan perhatian. Kalau enggak seru dikit, scroll. Kalau enggak menarik dikit, ganti. Ketika kita merasa bosan atau tidak tertarik dengan satu hal, kita langsung berpindah ke hal lain tanpa memberikan waktu bagi diri kita untuk benar-benar fokus pada satu topik atau satu pokok masalah. Fenomena ini pada akhirnya mengurangi ketahanan kita untuk bisa mempertahankan fokus terhadap suatu hal. Padahal kemampuan untuk bisa fokus ini sangat penting dan udah jarang banget dimiliki oleh kebanyakan orang di era saat ini. Ini juga yang sedang eduektif rasakan ketika memaparkan video berdurasi panjang. Banyak sekali teman-teman yang enggak betah menonton video sampai akhir karena gampang terdistraksi. Kalau dilihat dari data analitik, kurang lebih gambarannya kayak gini. Ini menunjukkan bahwa kebiasaan manusia untuk tetap fokus itu semakin menurun. Sementara media sosial justru memperburuk keadaan dengan memberikan akses yang mudah untuk beralih dari satu hal ke hal lain tanpa benar-benar mendalaminya dengan benar. Yang keempat, pengetahuan yang terdapat dalam buku bersifat komprehensif dan mencakup berbagai aspek yang menyeluruh. Sementara informasi yang ditemukan di sosmet hanya sepotong-sepotong. infonya seringki juga hanya mencakup sebagian kecil dari suatu topik tanpa penjelasan kenapa hal tersebut bisa terjadi. Sebenarnya enggak apa-apa juga kalau mau cari ilmu di SOSM karena masih banyak konten-konten yang berkualitas. Tapi jangan berhenti di situ aja. Kalau kamu udah tertarik, kamu bisa dalamin hal itu dengan baca sesuatu yang formatnya lebih panjang dan konteksnya menyeluruh. Yang kelima, ketika kita membaca buku secara enggak sadar, kita terpapar dengan sebuah tulisan yang sudah berkali-kali direvisi hingga jadi sebuah kalimat yang terstruktur. Proses ini memungkinkan kita untuk secara perlahan mempelajari bagaimana cara menyusun kalimat yang logis dan jelas. Terlebih lagi, jika kebiasaan ini dipadukan dengan kebiasaan menjelaskan ulang apa yang telah kita baca sehingga membuat kemampuan berbicara dan berkomunikasi kita pun akan semakin terasa. Penelitian juga menunjukkan bahwa bacaan yang terstruktur dapat membantu meningkatkan keterampilan berbahasa. Karena kita tidak hanya memahami isi teks, tetapi juga menyerap cara penulis dalam menyampaikan gagasannya dengan efektif dan efisien. Yang keenam, membaca buku memungkinkan kita untuk memperluas perbendaharaan kata yang mungkin sebelumnya kita enggak tahu. Seorang penulis buku biasanya berusaha untuk menggunakan berbagai diksi agar tulisan yang mereka buat tetap menarik dan tidak monoton. Dengan membaca karya-karya tersebut, kita sebagai pembaca secara tidak langsung akan mempelajari banyak kata baru yang dapat memperkaya cara kita berkomunikasi. Kosakata yang kita pelajari ini kemudian bisa kita gunakan di percakapan sehari-hari yang menjadikan kata-kata yang keluar dari mulut kita lebih bervariasi dan ekspresif. Fenomena ini juga sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa semakin banyak seseorang terpapar pada beragam teks, semakin besar pula kemungkinan mereka untuk mengembangkan keterampilan linguistiknya. Kamu juga mungkin udah sadar kalau salah satu ciri seorang public speaker yang baik adalah mereka yang kaya akan kosakata. Seorang pembicara yang memiliki berbagai pilihan kata akan mampu menyampaikan pesannya dengan lebih jelas, menarik, dan mudah dipahami. Jadi, dengan membaca buku secara rutin, kita enggak hanya memperoleh wawasan baru, tetapi juga secara alami akan meningkatkan kemampuan berbahasa yang tentu akan sangat berguna dalam berbagai konteks komunikasi termasuk public speaking. Ketujuh, membaca buku secara enggak langsung dapat membuat kita menjadi lebih mahir dalam menulis. Ketika kita sering membaca buku, kita terbiasa dengan alur cerita atau argumen yang berkembang secara sistematis mulai dari pengenalan, pembahasan, hingga kesimpulan. Hal ini secara otomatis melatih kita untuk menyusun tulisan yang rapi dan koheren. Di sisi lain, scroll media sosial jarang memberikan akses pada tulisan yang panjang dan mendalam. Kalaupun ada, kebanyakan orang cenderung langsung skip atau hanya membaca sekilas aja. Penelitian menunjukkan bahwa pembaca yang terbiasa dengan teks yang lebih panjang dan terstruktur cenderung memiliki kemampuan menulis yang lebih baik karena mereka secara tidak sadar menginternalisasi cara penyusunan ide dan argumentasi yang sistematis. Kedelapan, membaca buku dapat melatih kita untuk mengembangkan pola pikir kritis. Ketika kita membaca, kita enggak hanya menerima informasi begitu aja, tetapi kita juga belajar bagaimana menyusun argumen yang logis dan terstruktur serta tahu bagaimana cara memecahkan berbagai masalah dengan pendekatan yang berbeda. Buku seringkiali menyajikan perspektif yang luas dan mendalam mengenai suatu topik yang memungkinkan kita untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang. Hal ini kemudian membantu kita untuk lebih memahami suatu isu secara menyeluruh. Jadi, enggak hanya dari satu perspektif aja. Penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan membaca buku, terutama buku yang berbasis argumen atau analisis, dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis karena kita diajak untuk mengevaluasi dan mempertanyakan informasi yang diberikan, bukan hanya menerima secara pasif. Kesembilan, ketika kita memilih untuk membaca buku di malam hari, tubuh kita secara alami akan meresponnya dengan rasa kantuk yang lebih cepat. Hal ini terjadi karena membaca buku dapat memberikan efek relaksasi yang dapat membantu menenangkan pikiran yang pada gilirannya bisa meningkatkan kualitas tidur. Sebaliknya kalau kita bukanya sosmate terutama di jam sebelum tidur, kita malah susah mengantuk karena paparan cahaya biru dari layar ponsel atau komputer dapat mengganggu produksi hormon melatonin yang membuat kita tetap terjaga. Hal ini pada akhirnya membuat kita jadi begadang dan bikin tidur jadi enggak berkualitas. Penelitian dari Harvard Medical School di tahun 2020 pun juga mengatakan hal serupa. Penelitian ini menyatakan bahwa penggunaan perangkat digital terutama sebelum tidur dapat mengurangi kualitas tidur bahkan berpotensi menyebabkan insomnia. Mungkin segitu aja ya. Kayaknya sembilan alasan itu juga udah cukup soalnya aku ngantuk karena habis baca buku. Dan sebagai penutup ini ada kutipan menarik dari Radityya Dika terkait keistimewaan membaca buku. Ini adalah return on investment paling tinggi. Buku-buku ditulis sama penulisnya itu bisa setahun, 2 tahun, 3 tahun. Kita cuma duduk 3 hari, kita lahap semua isi kepala dia yang dia dapetin selama 3 tahun. Jadi tidak ada investasi yang lebih besar daripada baca buku. Betapa banyak riset yang dia lahap terus kita konsumsi hanya dalam hitungan hari. Padahal dia bertarung dengan editor, bertarung dengan buku-buku dia tahunan kadang-kadang. Menurut riset dari University of London, menggunakan Mindmap ketika mempelajari sesuatu dapat meningkatkan kapasitas memori sebesar 24%. Oleh karena itu, melalui channel membership kamu dapat menikmati mind map eksklusif dari semua video eduktif, baik video terdahulu maupun video yang akan datang. Selain itu, kamu juga dapat menikmati fitur-fitur lain yang tersedia melalui tiga jenis penawaran. Namun yang paling penting mulai dari penawaran terendah kamu sudah dapat menikmati semua mind map eksklusifnya. Dan sebagai tambahan dengan berlangganan membership, kamu juga mendukung channel UMKM ini untuk terus berkembang dan membuat kami lebih semangat untuk melakukan riset mendalam terkait topik edukasi, teknologi, dan produktivitas sehingga pada akhirnya edektif dapat menghasilkan konten-konten lain berkualitas tinggi. [Musik]