Hai, saya Ridwan Syah. Selamat datang di channel Catatan Siriduan. Dan selamat datang juga di segmen Podstory.
Dan untuk cerita kali ini, saya akan membacakan sebuah cerpen legendaris yang berjudul Robohnya Suraukami, karya A.A. Nafis. Bagaimana ceritanya?
Tonton video ini hingga selesai. Dan mari kita simak ceritanya. Kalau beberapa tahun yang lalu, Tuhan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuhan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.
Dan di ujung jalan nanti, akan Tuhan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau itu, akan Tuhan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin alias penjaga surau itu.
Orang-orang memanggilnya kakek. Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan emas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah idik kepadanya.
Tapi sebagai garin, ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir.
dengan pekerjaannya itu orang-orang suka minta tolong kepadanya sedangkan ia tak pernah minta imbalan apa-apa orang-orang perempuan yang meminta tolong mengasahkan pisau atau gunting memberinya sambal sebagai imbalan orang laki-laki yang meminta tolong memberinya imbalan rokok kadang-kadang wan tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang ia Ia sudah meninggal dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopot di papan dinding atau lantai di malam hari. Jika Tuhan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suat kesucian yang bakal roboh.
Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Setiap hari, Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya, dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongeng yang tak dapat disangkal kebenarannya.
Beginilah kisahnya. Sekali hari aku datang pulang mengupah kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini kakek begitu muram Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya Pandangannya sayu ke depan Seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya Sebuah berbunyi yang menangis Black susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua bersarakan di sekitar kaki kakek. Tidak pernah aku melihat kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu.
Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya kakek. Pisau siapa kek?
Ajo Sidi. Ajo Sidi? Kakek tak menyahut.
Aku ingat Ajo Sidi. Si pembual itu Sudah lama aku tak ketemu dia Dan aku ingin ketemu dia lagi Aku senang mendengar bualannya Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang Dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari Tapi ini jarang jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakan menjadi model orang untuk diajak dan ceritanya menjadi Pameo akhirnya.
Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat sekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya, Pemimpin tersebut kami sebut pemimpin katak Tiba-tiba aku ingat lagi pada kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek?
Aku ingin tahu Lalu aku tanya kakek lagi Apa ceritanya kakek? Siapa? Ajosidi Kurang ngajar dia Kenapa? Mudah-mudahan bisa cukur ini yang kuasa tajam-tajam ini menggokok tenggorokannya Kakek marah? Marah?
Ya, kalau aku masih muda Tapi aku sudah tua Orang tua menahan ragam Sudah lama aku tak marah-marah lagi Takut aku kalau imanku rusak karenanya Ibadatku rusak karenanya Sudah begitu lama aku berbuat baik Beribadat Bertawakal kepada Tuhan Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepadanya Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal Ingin tahuku dengan cerita Ajosidi yang memurungkan kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi. Bagaimana katanya kek?
Tapi kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya kepadaku.
Kau kenal padaku bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari muda aku bukan?
Kau tahu apa yang kulakukan semua bukan? Terkutuklah perbuatanku. Ikut ugi tuanku.
Semua pekerjaanku. Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi, sebab aku tahu kalau kakek sudah membuka mulutnya, dia tak akan diam lagi. Aku biarkan kakek dengan pertanyaannya sendiri. Sedari muda aku disini bukan? Takutnya aku tidak bisa menjawabnya.
Enggak punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain. Tahu, takut pikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku lahir bahwa aku ada. batin kuserahkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala tak pernah aku menyusahkan orang lain telah seekor enggan aku membunuhnya tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk umpah neraka merahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan akan aku tukuinnya kalau aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepadanya takut pikirkan hari esokku karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang yang tahu akal, aku bangun pagi-pagi, aku bersuci aku bukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadanya aku sembahyang setiap waktu aku puji-puji dia aku baca kitabnya Alhamdulillah, kataku bila aku menerima karunianya Astagfirullah, kataku bila aku terkejut, Masya Allah kataku bila aku terkagum apa salahnya pekerjaanku ini tapi kini aku dikasih Katakan manusia terkutuk.
Ketika kakek terdiam lama. Aku menyalahkan tanyaku. Iya katakan kakek begitu kek. Iya tamu katakan aku terkutuk.
Tapi begitulah kira-kiranya. Dan aku melihat mata kakek berlina. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati ajosidi yang begitu memukul hati kakek.
Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya kakek terdiam. Kakek bercerita lagi.
Begini ceritanya. Pada suatu waktu, kata Ajosidi memulai, di akhirat Tuhan akan memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malekat bertugas di sampingnya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia.
Begitu banyak orang yang diperiksa. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu, ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja. Kata-kata, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala kekuduk.
Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyugingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya seolah-olah hendak mengatakan, Selamat ketemu nanti. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya.
Susut di muka bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifatnya. Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama Engkau? Aku Saleh Tapi karena aku sudah ke Mekah Haji Saleh namaku Aku tidak tanya nama Nama bagiku tak perlu Nama hanya buat engkau di dunia Ya Tuhanku Apa pekerjaanmu di dunia?
Aku Aku menyembah engkau selalu Tuhanku. Yang lain, Setiap hari, setiap malam, bahkan setiap masa, Aku menyebut-nyebut namamu. Yang lain, Ya Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembahmu, menyebut-nyebut namamu, bahkan dalam kasihmu ketika aku sakit, namamu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hatimu untuk menginsapkan umatmu.
Yang lain, Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf. Pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja. Tentu ada lagi yang belum dikatakannya.
Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan dia menangis.
Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu. Lainnya lagi, tanya Tuhan. Sudah hambamu ceritakan semuanya, O Tuhanku yang maha besar, bagi pengasih dan penyayang, adil dan mahatau. Haji Saleh yang sudah kuyuh mencobakan siasat merendahkan diri, dan memuji Tuhan dengan pengharapan, semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya, dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi. Tak ada lagi. Eh, eh, ano Tuhanku. Aku selalu membaca kitamu.
Yang lain? Sudah ku ceritakan semuanya, oh Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena engkau lah mahatau.
Sungguh tak ada lagi yang kau kerjakan di dunia selain yang kau ceritakan tadi. Ya, itulah semuanya Tuhanku. Masuk kamu.
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh karena dia tidak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya. Di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpenggang hanus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri.
Bahkan ada seorang yang berpikir, Salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekah Dan bergelar Syekh pula Lalu Haji Saleh mendekati mereka Dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya Tapi sebagaimana Haji Saleh Orang-orang itu pun tak mengerti juga Bagaimana Tuhan kita ini Kata Haji Saleh kemudian Bukankah kita disuruhnya taat beribadat teguh beriman Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita Tapi kini kita dimasukkannya ke neraka Yah kami juga heran Tengoklah Salah itu orang-orang senegeri dengan kita semua dan tak kurang ketaatannya beribadat, kata salah seorang di antaranya. Ini sungguh tidak adil, memang tidak adil, kata orang-orang itu mengulangi ucapan Nizisalah. Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.
Kita harus mengingatkan Tuhan kalau-kalau ia silap memasukkan kita ke neraka ini. Benar, benar, benar. Sorakan yang lain membenarkan Nizisalah. Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapannya bagaimana?
Suatu suara mengalami kesalahan. melengking di dalam kelompok orang-orang banyak itu. Kita protes, kita resolusikan, kata Haji Saleh.
Apa kita revolusikan juga? Tanya suara yang lain yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner. Itu tergantung kepada keadaan, kata Haji Saleh.
Mari kita berdemonstrasi kepada Tuhan. Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja banyak yang kita peroleh. Sebuah suara menyelak.
Setuju, setuju, setuju. Mereka berdoa. bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya, kalian mau apa? Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan jurubicara tampil di depan.
Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya. Oh Tuhan kami yang maha besar, kami yang menghadapmu, ini adalah umatmu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut namamu, memuji kebesaranmu, mempropagandakan keadilanmu, dan lain-lainnya. Kitabu kami hafal di luar kepala kami, tak sesat sedikitpun kami membacanya. Hakan tetapi, Tuhanku yang maha kuasa, setelah kami engkau panggil kemari, engkau masukkan kami ke neraka.
Tuh, ya bener lah itu Tuhanku, tanahnya yang maha kaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tamang lainnya bukan? Benar, benar, benar Tuhan kami, itulah negeri kami. Mereka mulai menjawab serentak, karena pajar kegembiraan telah membayangi di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu. Di negeri yang mana tanahnya begitu subur sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?
Benar, benar, benar itulah negeri kami. Ya Tuhan, benar Tuhanku hingga kami tak mendapat apa-apa lagi sungguh laknat mereka itu di negara yang selalu kacau itu hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi sedangkan hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya bukan benar Tuhanku tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji engkau engkau rela tetap melarat bukan benar kami rela sekali Tuhanku karena kerelaanmu itu anak cucumu tetap juga melarat Melarat bukan? Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengajik kitabmu.
Mereka hafal di luar kepala. Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya bukan? Ada Tuhanku. Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedangkan harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka, dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri. Saling menipu, saling memeras.
Aku beri kau segera yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramah kalau engkau miskin.
Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja? Tidak, kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat, halalah mereka ini kembali ke neraka, letakkan di keraknya. Semua menjadi pucat. pasti tak berani berkata apa-apa lagi tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridoi Allah di dunia tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan dikerjakannya di dunia itu salah atau benar tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan, ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu salahkah menurut pendapatmu kalau kami menyembah Tuhan di dunia tanya Haji Saleh tidak karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri kau tak Takut masuk neraka.
Karena itu kau takat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri. Melupakan kehidupan anak istrimu sendiri. Sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar.
Terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkau. Bersaudara semuanya.
Tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun. Demikianlah cerita Ajosidi yang ku dengar dari kakek. Cerita yang memurungkan hati kakek.
Dan besoknya ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. Siapa yang meninggal? Tanya ku kaget.
Kakek? Kakek? Iya.
Tadi subuh kakek kedapatan mati di suraunya. Dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggok lehernya dengan pisau cukur.
Astaga, Ajosidi punya gara-gara. Kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari Ajosidi di rumahnya.
Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia. Ia sudah pergi? Jawab istri Ajosidi. Tidak ia tahu kakek meninggal.
Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kapan buat kakek tujuh lapis. Dan sekarang?
Tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segera. segala peristiwa oleh perbuatan ajosidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab. Dan sekarang dia kemana?
Kerja? Kerja? Tanyaku mengulang hampa.
Ya, dia pergi kerja. Oke, begitulah akhir dari kisah tersebut. Mungkin di suatu kesempatan, saya akan sharing pandangan saya terkait pesan moral yang bisa diambil hikmahnya dari kisah ini. Dan buat kamu yang mendapatkan pesan dan pembelajaran dari kisah ini, jangan ragu untuk menuliskannya di kolom komentar di bawah, agar kita bisa diskusi bersama-sama. Sekian di video kali ini, sampai jumpa di kisah-kisah menarik selanjutnya.
Dan jangan lupa subscribe.