1. Bagaimana kearifan lokal masyarakat Nusantara? Kearifan lokal atau lokal wisdom merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun. Keberadaannya memiliki arti penting bagi keberlanjutan hidup sebuah masyarakat karena berisi nilai-nilai kebijaksanaan terkait kehidupan.
Lalu apakah yang dimaksud dengan kearifan lokal? Di kelas sebelumnya, kalian telah mempelajari bahwa sebuah kebudayaan terlahir dari hasil interaksi antara manusia dan lingkungan alamnya. Oleh karenanya, budaya mencakup segala hal terkait kehidupan masyarakat.
Untuk dapat mengidentifikasinya, menurut J.J. Hoenigman, kita dapat melihat wujud dari sebuah kebudayaan melalui tiga hal, yakni gagasan, aktivitas, dan artefak. Ketiga wujud tersebut tidak dapat dipisahkan karena saling terkait. Wujud dari gagasan adalah kumpulan ide, pemikiran, nilai, norma, peraturan, dan kemampuan. dan lain sebagainya yang bersifat abstrak, tidak terlihat, dan tidak dapat diraba.
Sementara wujud aktivitas adalah upacara, ritual, sikap, kebiasaan sehari-hari, dan lain sebagainya yang dapat dilihat. Di sisi lain, wujud artefak adalah karya seni, pakaian, perkakas sehari-hari, bangunan dan lain sebagainya yang bersifat konkret serta dapat dilihat dan diraba. Dari penjelasan tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa kebudayaan mencakup berbagai aspek kehidupan yang mewujud dalam bentuk ide atau pemikiran, aktivitas sehari-hari, dan berbagai macam hasil karya masyarakat. Berbicara mengenai wujud kebudayaan, apakah kalian tahu jika sudah terdapat banyak produk kebudayaan Indonesia yang masuk dalam kategori warisan budaya dunia? Pendataan warisan budaya tersebut dilakukan oleh UNESCO, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, atau organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan perserikatan bangsa-bangsa.
Dua di antaranya adalah batik dan wayang. Namun, warisan yang dimaksud bukanlah batik dan wayang sebagai sebuah benda, melainkan sebagai seperangkat nilai filosofis dari praktik pembuatan dan pelestariannya di masyarakat. Oleh karenanya produk budaya tersebut masuk ke dalam kategori Intangible Cultural Heritage atau Warisan Budaya Takbenda.
Untuk pertama kalinya Indonesia memiliki Undang-Undang tentang Kebudayaan Nasional. Pada 27 April 2017, Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan pemerintah sebagai acuan untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia. Untuk mendukung pelestarian Warisan Budaya Takbenda, UU Pemajuan Kebudayaan tidak hanya membahas kebudayaan sebagai wujud-wujud yang tampak, seperti alat atau bangunan, tapi turut memperhitungkan proses kehidupan masyarakat yang melatar belakangi lahirnya setiap produk kebudayaan tersebut.
Kearifan lokal yang sedang kita pelajari termasuk ke dalam wujud budaya yang tidak bisa disentuh atau dilihat secara langsung, namun kita bisa mengamatinya dari tindakan atau aktivitas serta produk yang dihasilkan. Kearifan lokal Sesuai dengan arti katanya, adalah nilai-nilai kebijaksanaan atau ajaran kebaikan yang diwariskan secara turun-temurun di suatu masyarakat tertentu. Kearifan lokal lahir dari pengalaman panjang sebuah masyarakat dalam memaknai kehidupannya. Oleh karenanya di dalam kearifan lokal biasanya terdapat panduan hidup mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kelangsungan hidup yang berkelanjutan, sustainable development.
Kita dapat melihat salah satu contoh kearifan lokal misalnya seperti ajaran Pitutur Tilu di masyarakat Sunda yang mendiami daerah Jawa Barat. Pitutur Tilu berarti tiga nasihat. Tiga nasihat tersebut terdiri dari tata wayah, tata waktu, tata lampah, tata perilaku, dan tata wilayah, tata ruang. Tata waktu mengajarkan hal-hal terkait pembagian waktu yang tepat dalam beraktivitas, baik dalam satu hari maupun satu tahun penuh. Termasuk di dalamnya ada anjuran waktu yang tepat untuk memulai pertanian dan memanen hasilnya.
Tata perilaku mengajarkan cara bersikap yang sesuai dengan norma kesopanan, baik untuk berinteraksi dengan orang yang lebih tua, teman sebaya, maupun orang yang lebih muda. Sementara tata ruang mengajarkan cara menatalahan untuk aktivitas penunjang kehidupan. Dalam upaya menatalahan untuk kelangsungan hidup yang berkelanjutan, masyarakat Sunda mengenal ajaran sebagai berikut, Gunung Kaian, Gawir Awian, Cinyusu Rumateun, Sempalan kebonan, pasir talunan, datar sawahan, lebak kaian, legok balongan, situ pula sareun, lembur uruseun, walungan rawateun, basisir jagaun, yang kurang lebih berarti.
Gunung harus dibiarkan menjadi hutan, tebing harus ditanami bambu, mata air harus dipelihara, tanah kosong harus dijadikan kebun, bukit harus ditanami. Dataran luas untuk dijadikan sawah. Daerah rendah untuk menampung air, cekungan dijadikan kolam, danau harus dipelihara, pemukiman harus diurus dengan baik, sungai harus dirawat, dan pesisir harus dijaga.
Ajaran penataan alam tersebut bertujuan untuk memastikan agar masyarakat di daerah setempat dapat memanfaatkan alam dengan bijak. Konsep kearifan lokal yang ada di daerah Jawa Barat seperti yang dicontohkan di atas juga terdapat di hampir seluruh kebudayaan masyarakat di Nusantara dari kebudayaan masyarakat di daerah Aceh hingga daerah Papua. Bahkan di beberapa daerah, ajaran kearifan lokal tersebut masih diatur oleh hukum adat sehingga bersifat mengikat terhadap masyarakatnya. Beberapa informasi kearifan lokal yang tersaji di atas hanya sebagian gambaran saja dari kearifan lokal Indonesia yang sangat kaya.
Jika dilihat benang merahnya, Ajaran kebaikan yang luas dan beragam tersebut memiliki kesamaan dalam dua hal, yakni terkait dengan interaksi sesama manusia dan interaksi dengan alam. Interaksi dengan sesama manusia mewujud dalam tradisi gotong royong, sementara interaksi dengan alam mewujud dalam tradisi melestarikan alam. Tradisi gotong royong atau saling bekerjasama untuk melakukan sesuatu bisa kita temukan di semua kebudayaan masyarakat Nusantara.
Bentuk aktivitasnya bermacam-macam. seperti membangun atau memindahkan rumah, mengelola perkebunan atau pertanian, mengadakan kenduri, pesta syukuran atau selamatan, membantu orang sakit, membantu prosesi pemakaman, dan lain sebagainya. Sementara tradisi melestarikan alam adalah hal yang juga bisa kita temukan di semua kebudayaan masyarakat Nusantara dengan karakteristiknya masing-masing.
Masyarakat pedalaman mengatur pengelolaan hutan sementara masyarakat pesisir mengatur pengelolaan laut. Lain halnya masyarakat di sekitar aliran sungai yang lebih banyak mengatur pengelolaan sungai. Meski memiliki ciri khas masing-masing, namun semua kebudayaan memiliki satu tradisi yang sama, yakni menghargai dan melestarikan lingkungan alam dimanapun mereka berada. 2. Bagaimana kondisi pelestarian kearifan lokal di tengah arus modernisasi dan globalisasi?
Sebagai budaya yang berwujud gagasan, masyarakat Nusantara melestarikan kearifan lokal dalam bentuk pepatah, cerita rakyat, syair, peribahasa, dan lain sebagainya. Bagaimanakah kondisi pelestariannya saat ini? Apakah kearifan lokal hanya ada di masyarakat-masyarakat pedalaman yang masih memegang adat tradisi?
Atau kearifan lokal juga masih dilestarikan oleh masyarakat kota dan masyarakat Indonesia secara umum? Kearifan lokal sebagai sebuah ajaran kebaikan memiliki tujuan untuk memberikan pedoman kepada masyarakat dalam melakukan aktivitas kehidupan yang berkelanjutan. Kearifan lokal memastikan adanya keteraturan dan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Jika kearifan lokal di sebuah kebudayaan dapat terus diikuti, dipastikan masyarakat tersebut akan terhindar dari berbagai potensi kerusakan.
Misalnya tradisi yang terkait dengan tata perilaku sesama manusia yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan masyarakat, jika tidak diikuti maka kemungkinan potensi konflik dan perpecahan akan terjadi. Begitu pula tradisi yang terkait dengan pengelolaan lingkungan yang bertujuan menjaga keberlanjutan alam, jika tidak diikuti maka kemungkinannya adalah rusaknya sumber daya alam yang dapat dikonsumsi bahkan hingga terjadinya bencana alam akibat perbuatan manusia seperti kekeringan, Longsor, banjir, dan lain sebagainya. Sayangnya, saat ini kearifan lokal sebagai sebuah bentuk budaya yang tidak tampak mulai memudar dan ditinggalkan oleh generasi penerus kebudayaan di Nusantara. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangan zaman, kearifan lokal kini perlahan mulai ditinggalkan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Deni Hidayati, seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, yang telah mengamati dan mempelajari keberlangsungan kearifan lokal di berbagai pulau di Nusantara.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kearifan lokal masyarakat di berbagai daerah terkait dengan tradisi gotong royong dan pelestarian alam semakin memudar seiring dengan adanya perubahan sosial di tengah pembangunan dan modernisasi.