Jadi jangan berpusat di daya saingnya, tapi berpusat di manusia-manusia yang mau dibangun memiliki daya kritis, memiliki imajinasi, sangat kreatif. Nanti mereka dengan sendirinya, dengan keahlian kemudian yang mereka pilih dalam bidang ilmunya, itu akan menemukan cara bagaimana bersaing. Orang yang berpendidikan adalah orang yang mengerti betul tugas dia hidup di dunia, hidup bersama dalam suatu negara, bangsa, dan juga kemanusiaannya. Kepada setiap anak itu ditanamkan, kamu lahir untuk hal-hal besar. Atmayoran atusum.
Lahir untuk hal-hal besar. Apa itu hal besar? Hal besar itu lebih daripada dirimu sendiri. Lebih dari kepentingan empat tembok. Rumahmu.
Jadi pendidikan itu bukan hanya mengolah kalbudi, tapi mengolah batin, emosi. IQ dan IQ. Ya, emosi. Ini hal yang sering dilupakan. Hai teman-teman dan teman-teman, selamat datang di seri khusus ini dari perbicaraan mengenai personalitas yang datang dari beberapa kampus, termasuk Stanford University.
Tujuan seri ini adalah untuk mengembangkan ide-ide yang menarik yang saya pikir akan menjadi berharga untuk Anda. Saya ingin berterima kasih atas dukungan Anda sejauh ini dan selamat datang di seri khusus ini. Halo teman-teman, hari ini kita kedatangan Ibu Carlina Supelli.
Seorang pengajar di STF dan tentunya seorang pemikir juga. Bu Lina, terima kasih banyak bisa hadir di Endgame. Terima kasih diundang. Ini udah lama banget kita tunggu-tunggu dan tentunya banyak sekali yang minta untuk saya ngobrol dengan Bu Karina. Silahkan diceritain masa kecilnya.
Masa kecil saya lahir di Jakarta tapi besar di Sukabumi ya. Siap. Jadi suka buminya di kampung di Selabintana dan jadi anak kampung yang main gak takut lumpur, yang pulang sekolah ganti baju, taruh tas, makan lalu langsung keluar gitu.
Jadi hubungan saya dengan alam itu sangat dekat, betul-betul dekat karena sehari-hari seperti itu ya. Malamnya indah sekali penuh bintang dan itu membuat saya tertarik. Itu masa kecil. Lalu pindah sekolah ke Jakarta sebentar satu tahun. Kemudian ke Bandung.
Dan akhirnya ya sekolah di Bandung di jurusan astronomi ITB. Kenapa astronomi? Saya sebetulnya sempat terpikir mau menjadi ahli kimia.
Karena waktu saya kelas 3 SD atau kelas 4. Saya diberi buku oleh kakak saya pinjam sebetulnya dari perpustakaan. biografi Madam Guri waktu itu disadur ke KST itu dan saya sangat tertarik saya jatuh cinta begitu ya waktu kecil saya sebenarnya ada dua tokoh yang saya jatuh cinta pertama Marie Curie yang kedua Don Quixote Diterjemahkan ke bahasa Indonesia Don Quixote Itu kan dua sisi yang Sangat berbeda ya yang satu kan Fiksi yang Dengan segala imajinasi yang liar Luar biasa yang satu Seorang ilmuwan yang sangat pendiam Tapi dengan imajinasi yang Tidak kalah luar biasa Tapi kan saya tidak mungkin jadi Don Quixote Jadi saya Begitu tertarik Terhadap apa yang dilakukan Madam Kuri Jadi saya mau jadi ahli kimia, tapi kakak saya kan lebih dulu masuk di ITB, dia di jurusan mesin, laki-laki. Lalu dia bilang, Karlina di ITB ada jurusan astronomi, tonton bintang-bintang begitu. Saya yakin kamu pasti senang disitu, pasti tertarik.
Lalu saya cari informasi dan ingat masa kecil ya, dia ingat bahwa waktu kecil saya senang lihat bintang dan sebagainya. Ya sudah akhirnya menemukan pilihan dan ketika harus memilih. Saya pilih pilihan pertama astronomi, pilihan kedua astronomi, baru pilihan ketiga geologi. Tapi gak banyak partisipannya saya dengar. Angkatan saya waktu itu tiga orang hanya.
Dari sekitar 1200 mahasiswa ITB. Memang sedikit sekali dan saya satu-satunya perempuan ya di angkatan saya hanya tiga orang. Yang dua laki saya perempuan satu. Tidak banyak. Jadi kuliahnya sangat intensif.
Dan lulus sebagai sarjana astronomi waktu itu. Lalu melanjutkan studi space science dan akhirnya filsafat. Ini udah lewat dari masa kecil nih, udah masuk ke masa dewasa. Tapi di UI ya? S3-nya?
Untuk filsafat di UI. Kenapa filsafat? Saya sebetulnya ketika di Inggris dengan mengambil S2 space science, saya sudah masuk diterima dan sudah research untuk PhD dalam... astrofisika energi tinggi kosmologi tapi saya sakit dan cukup serius waktu itu jadi dokter bilang perlu waktu lah dan memang perlu waktu untuk pengobatan jadi saya pulang ke Indonesia sempat berobat di Belanda bulak balik banyak sekali waktu habis dan saya punya keluarga ya waktu itu saya sudah punya dua anak kecil akhirnya saya diskusi dengan pembimbing saya di Inggris lalu Saya bilang saya cuti dulu dan mereka selalu bilang nanti silahkan dilanjutkan. Nah pada saat-saat itu saya sempat mendengarkan kuliah Prof. Tuti Herati Almarhum Filsafat Ilmu di UI waktu itu.
Lalu saya seperti terbuka ya terbuka gitu bahwa sains. Katakan hard science ya, saya dengan astro fisika energi tinggi itu kan betul-betul hard science. Itu bukan satu-satunya begitu ya. Dan sebetulnya jauh sebelum itu saya sudah mulai tertarik dengan problem-problem filosofis di dalam katakan ilmu tentang alam semesta.
Akhirnya saya memutuskan ini jalan yang terbaik untuk dua hal. saya dan keluarga tapi juga untuk perkembangan keilmuan saya dan akhirnya saya senang mengerjakan itu menemukan dunia intelektual yang tempat apa tempat saya bisa dalam masuk waktu kecil itu ada gak peristiwa yang memberikan inspirasi selain baca Marie Curie atau Don Quixote. Saya ini mau gali lebih dari sisi guru. Ada gak guru tuh yang gak tau gimana bikin ibu tuh nyetrum mengenai satu topik atau satu jalur apapun lah.
Oh iya jelas sekali mulai dari sekolah dasar ya. Mulai dari sekolah dasar di kelas Tiga kelas lima SD itu, saya ingat kalau di kelas lima SD itu namanya Ibu Lis ya. Saya itu agak pemalu kalau disuruh maju ke depan, entah menyanyi, entah bicara, entah apa.
Tapi dia punya kepercayaan bahwa setiap murid itu. Asal ditemani itu akan bisa berekspresi. Dan dia betul-betul menemani merangsang murid dengan bertanya.
Dan memberi kebebasan untuk misalnya kalau sesudah akhir pekan. Hari Senin masuk sekolah. Diberi kesempatan untuk bercerita. Apa yang dialami selama akhir pekan.
Dan itu bebas. Jadi diberi kebebasan. Tapi yang kemudian sangat nyata sekali itu adalah di SMP. Satu guru ilmu alam waktu itu disebutnya ilmu alam memang ya.
Dan dia juga mengajar kosmografi. Dan tidak pernah dia menghentikan pertanyaan murid. Saya termasuk yang suka nanya macem-macem gitu. Dia tidak pernah menghentikan tapi menggali.
Dan sesudah itu. Saat istirahat misalnya dia akan bilang, baca deh buku ini, baca buku ini. Yang paling berkesan adalah satu guru ilmu ukur namanya Pak Sinaga. Kalau yang tadi Pak Suyitno, Pak Suyitno masih hidup, beliau masih hidup. Pak Sinaga sudah meninggal.
Pak Sinaga ini sebetulnya keahliannya sastra, tapi dia juga punya keahlian matematika. Jadi ilmu ukur waktu itu. Dia mengajar di kelas, saya memang senang matematika kan, saya senang ilmu alam dan matematika. Jadi ya karena senang lalu cepat selesai di kelas kalau dikasih tugas.
Nah karena cepat selesai saya mulai bengong-bengong, ganggu teman ke kiri ke kanan gitu kan. Nengok ke belakang, ganggu gitu. Dia perhatikan, dia memberi sanksi. Yang sama sekali tidak terduga.
Dia bilang, Karlina kamu ke perpustakaan. Kamu baca buku tapi kamu hanya boleh memilih buku sastra Indonesia. Jangan pilih biografi ilmuwan atau apapun begitu.
Tapi sastra. Lalu dia bilang ke guru yang di perpustakaan itu. Untuk memperhatikan itu. Jadi saya membaca karya-karya sastra.
Dan dia akan tanya, karya sastra apa yang kamu baca? Nah disini bagi saya luar biasa dan saya heran sekali. Ini guru matematika tapi kok saya disuruh baca sastra?
Dan ternyata itu mengolah batin. Saya memang sudah senang karena ibu saya kan senang membaca sastra, baca novel. Itu sebabnya dari kecil sebetulnya sudah dibiasakan. Tetapi kan ini khusus sastra Indonesia begitu ya.
Dan itu mengolah batin. Saya sampai sekarang bertanya-tanya ya, dan kiranya menemukan jawaban ketika dalam proses menulis, mencari metafor, lalu saya ingat buku-buku sastra yang saya baca. Ternyata sains pun juga memerlukan, dan sastra itu betul-betul menghaluskan batin kita.
Nah guru-guru seperti ini yang saya kira. Saya tidak akan pernah lupa. Bahkan ketika saya sudah lulus ITB dengan bangga gitu ya menunjukkan kepada dia bahwa saya bisa bercerita tentang alam semesta.
Dia mendengarkan dengan tekun bersama murid-muridnya saya diminta waktu itu. Setelah sepi semua selesai dia datang dan bertanya. Saya bangga sekali Karlina sudah bisa bercerita dengan ilmunya begitu. Kepala saya besar. Ini guru yang saya hormati bilang saya sudah hebat.
Tapi tiba-tiba dia tersenyum lalu bilang, apa kau akan berhenti di sini? Jadi tidak cukup hanya ketika saya masih menjadi murid. Dia dipancing terus ya untuk melampaui apa yang sudah kita capai.
Ternyata setelah saya lulus dan bangga dengan ilmu saya, dia masih menggugat. Sekiranya guru seperti ini yang mengajak anak terus bertanya, terus gelisah, berani untuk berimajinasi, kritis ya. Saya seringkali ngobrol mengenai betapa pentingnya peran guru. Jauh lebih besar daripada kurikulum. Oh iya, saya setuju.
Dan saya sering kali ngomong bahwasannya kalau gurunya itu benar-benar oke banget. Dia itu dalam setahun bisa ngajar mungkin ajaran selama satu setengah tahun. Tapi kalau dia gak oke sama sekali, mungkin dalam setahun dia hanya bisa ngajar setengah tahun ajaran. Dan kita ini diplototin dengan kenyataan bahwa Masih banyak guru-guru yang kurang oke di negara kita. Nah ini gimana mengenai situasi atau kondisi kayak begini menurut Bukarina?
Saya setuju ya dengan pendapat Pak Gita bahwa Guru itu penting sekali. Dan kurikulum tentu juga penting tetapi jauh lebih penting adalah guru. Kurikulum yang begitu padat dirancang tanpa guru yang bisa.
Bukan hanya memenuhi tuntutan kurikulum tapi terutama memancing anak. Kalau saya ingat. Tentu tantangan zaman berbeda, tidak bisa dibandingkan.
Tetapi dulu itu kan kurikulum tidak sepadat sekarang. Tetapi guru-guru yang baik katakannya bisa menyampaikan tema-tema yang dituntut dalam kurikulum. Di Indonesia memang sangat memprihantinkan dan saya kira ini sudah banyak dibahas ya bahwa perhatian kepada guru itu. Ya sudah ditingkatkan sekarang ini tetapi belum cukup. Belum cukup karena Indonesia kan begitu bervariasi ya.
Dari Sabang sampai Merauke katakan seperti itu. Tuntutan kurikulum ini disamakan dari Sabang sampai Merauke. Tetapi gurunya itu tidak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan lokal.
Jadi guru itu habis waktunya untuk mengikuti kurikulum. Padahal kalau mungkin guru punya... Punya kreativitas kan untuk melihat apa yang ada di lokal yang dibutuhkan oleh anak-anak. Sehingga dia perlu justru diberi kesempatan untuk itu. Dan mendapat kesempatan untuk sekolah ya.
Jadi memprihatinkan sebetulnya. Kita perlu pertama-tama dalam dunia pendidikan itu adalah mendukung kemajuan guru. Saya juga melihat sistem kompensasi untuk guru juga gak selaras dengan pentingan bangsa ke depan. Oh iya. Ya itu kan sangat memprihatinkan ya.
Kalau kita ke daerah-daerah terpencil di Indonesia. Ya gak usah daerah-daerah terpencil lah. Di kota-kota besar itu ada guru yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Itu kan ada yang terpaksa jadi. Supir gojek atau apapun begitu karena memang sangat minim dan sekarang ada memang tunjangan tambahan. Tetapi untuk itu dibutuhkan sertifikasi.
Sementara sertifikasi itu. Jumlahnya juga terbatas. Jadi harus antri.
Dan untuk sertifikasinya itu macam-macam. Macam-macam persyaratan birokrasinya sehingga tidak mudah. Hal yang sama berlaku untuk dosen juga. Jadi saya menganggap dosen ini juga guru kan. Kan juga hanya tempatnya di perguruan tinggi.
Itu sama. Diberi tuntutan birokratis yang sangat rumit. Guru itu banyak waktunya habis untuk memenuhi tuntutan birokratis, bukannya mengembangkan kreativitas yang dia bisa pakai untuk mengajar.
Tuntutan kurikulum harus selesai, sementara itu kaku sekali. Jadi sangat memprihatinkan sebetulnya. Jadi yang diberikan itu pelajaran. Sedikit sekali, saya tidak menafikan bahwa ada sekolah-sekolah yang berhasil ya memperhatikan betul kebutuhan guru gitu.
Baik finansial maupun yang untuk pendidikan begitu. Tetapi kan sangat tidak merata. Ini hanya sekolah-sekolah yang berhasil gitu ya mendapat dana misalnya.
Jadi... Yang diberikan itu bukan pendidikan, tetapi pelajaran. Kurikulum itu kan pelajaran. Begitu selesai, ya sudah yang penting dia dapat nilai lulus.
Tapi pendidikan itu lebih dalam daripada pelajaran. Menurut Ibu definisi... Orang itu berpendidikan itu apa sih?
Wow ini pertanyaan yang saya kira. Sudah ada sejak ribuan tahun lalu ya. Sudah ribuan.
Dia agak-agak nyerempet ke filsuf nih sekarang. Tapi penting nih. Ya.
Bahkan kalau gini saya telusur sedikit dulu ya. Saya karena mengajar kosmologi di SF Triarkara. Dari segi filosofis dan budaya begitu.
Itu. Kembali ke ketika sistem tulis itu mulai ditemukan. Itu kan di Mesopotamia ya. Lalu ada kelompok kecil ya.
Kelompok kecil di Sumeria. Tapi kemudian Babylonia. Yang mengembangkan keahlian untuk menulis. Melanjutkan dalam pemikiran apakah itu sastra agama dan sebagainya. Dan ini sudah ada definisi kelompok orang-orang yang berpelajar dan berpendidikan itu.
Dan itu artinya adalah mereka yang bisa berpikir. Ini tentu berkembang nanti di jaman filsafat ya. Apakah filsafat Yunani atau filsafat... Asia begitu, barat ataupun timur. Tapi intinya adalah orang-orang yang bisa berpikir, bisa berimajinasi, dan bukan hanya berpikir untuk dirinya sendiri, tetapi bagaimana itu kemudian dituangkan, diterapkan untuk kebaikan bersama.
Jadi pendidikan itu... Bukan untuk diri sendiri ya bahwa kita mencapai, oh hebat mencapai pendidikan tinggi. Tapi alasan adanya pendidikan itu sendiri apa? Kan bukan hanya untuk satu orang tumbuh berkembang lalu memanfaatkan ilmunya untuk kepentingan dia atau keluarga atau kelompok terdekat. Tapi alasan adanya pendidikan sejak awal sekali.
Apakah itu mulai dari Sumeria, Mesopotamia, Yunani, Tiongkok, dan seterusnya. Bahkan ketika negara kita ini berdiri, itu adalah untuk menghasilkan warga negara yang bisa mengabdikan keilmuannya itu untuk tujuan kebaikan bersama. Tentu dia punya kepentingan ya untuk dirinya, punya minat.
Dia tertarik pada bidang tertentu itu yang dia kembangkan. Tetapi hasil akhir. Jadi mungkin saya keliru, tapi bagi saya orang yang berpendidikan adalah orang yang mengerti betul tugas dia hidup di dunia, hidup bersama dalam suatu negara, bangsa, dan juga kemanusiaannya.
Jadi dia mengerti betul posisi dia dan apa yang bisa dia sumbangkan. Sekarang ini ya dengan situasi dunia seperti ini, Indonesia lah. Itu kan suatu keistimewaan ya, suatu privilese.
Coba lihat tenaga kerja Indonesia. Presentase yang terbanyak apa? Lulusan SD ke bawah.
Jadi betapa istimewanya orang-orang yang bisa mencapai perguruan tinggi, SMA. Nah ini tentu diharapkan bahwa pendidikan bisa sejak awal menanamkan kepada siswa-siswa dan kemudian mahasiswanya tanggung jawab yang dia pegang dengan ilmu yang dia punya. Kira itu. Sekurang-kurangnya saya berpendapat demikian Jadi berat sekali Tugas guru itu berat sekali Tapi dengan situasi Yang sangat terbatas Yang dimiliki oleh para guru Karena tuntutan administrasi Lalu keterbatasan apalagi yang di daerah Sukit sekali Untuk sampai ke situ Kalau anak-anak kita itu Anggaplah Diharapkan untuk lebih berkontribusi untuk kepentingan komunal, untuk bangkan, bangsa dan negara.
Tapi mereka gak diajarin oleh guru yang mungkin kualitasnya gak setinggi seperti apa yang kita inginkan, juga dengan skala yang kita inginkan. Ini mau gak mau perlu adanya keterbukaan kan. Keterbukaan dalam konteks beberapa hal salah satunya adalah untuk bisa menghadirkan, mendatangkan.
guru yang berkualitas dari manapun. Gimana kita bisa mendemokratisasikan konsep nyari pengajar yang berkualitas dari Indonesia atau dari luar. Nah ini saya mau coba sambungkan dengan dua hari yang lalu saya baru aja ngobrol sama pimpinan dari salah satu universitas terkemuka di Singapura. Dia dengan bangganya bercerita bahwa Mereka baru aja mendatangkan pemenang Nobel untuk bisa ngajar di kampusnya.
Dengan dua kondisi. Satu, dia digaji 1 juta dolar setahun. Terus pemenang Nobel ini datang dari Eropa, dia minta anggaran sampai 30 juta dolar untuk mendirikan laboratorium.
Untuk bisa mengedepankan. Saya pikir... Ini kendala pertama mungkin untuk banyak sekali negara-negara berkembang. Iya kan?
Yang kemungkinan besar gak bisa melakukan hal-hal seperti itu. Tapi yang saya didik disini adalah keterbukaan. Dia kan kepentingannya adalah untuk ngajarin warganya supaya pinter.
Terus saya kupas lagi, Anda aspirasinya mana? Ya kalau kita bisa dapat satu setahun. Untuk menyamakan MIT yang punya 100 pemenang Nobel, kita perlu satu abad. Kita gak bisa nunggu satu abad. Jadi mau gak mau kita beli.
Kita beli targetnya berapa? Ya mungkin bisa 20-an. Hitung kan nih dolarnya berapa nih. Tapi dia bilang kalau satu bisa ngajar 300 orang. Terus dalam 10 tahun kumulatif dia ngajar 3000 orang.
Terus kita punya 2000. Semakin simple kan untuk kita bisa membuahkan pelajar-pelajar atau produk pendidikan yang berkualitas. Terus pertanyaan ketiga yang saya tanya ke beliau adalah, dari pengajar yang ada di kampus Anda itu berapa yang asing? Mungkin 75 persen.
Jadi dari sini saya melihat, mereka tuh siap dan berani menunjukkan keterbukaan. Tentunya ditopang dengan ruang fiskal dan segalanya. Ibu melihat nggak sih masa depan Indonesia tuh bisa?
Agak-agak mirip dengan itu atau mungkin itu sesuatu yang mungkin kurang berkenan? Saya setuju ya bahwa perguruan, apalagi perguruan tinggi ya, itu perlu terbuka. Lembaga-lembaga penelitian itu perlu terbuka terhadap dosen asing, peneliti luar. Karena dari situ kan lalu akan muncul berbagai pengalaman yang Hmm Tidak didapat gitu di sini.
Memang banyak dosen-dosen yang sekolah di luar negeri lalu kembali mengajar. Tetapi kan terutama pengajar dosen-dosen yang memang sudah pencapaiannya luar biasa begitu ya. Itu diundang. Di kampus-kampus di Indonesia itu ya tentu tidak merata ya.
Tetapi ada yang punya program-program mengundang sebagai dosen tamu. Ada misalnya untuk tinggal selama 6 bulan, itu sudah ada ya. Atau hanya datang beberapa kali, atau bahkan hanya untuk memberi seminar, itu sudah ada. Tetapi belum merupakan sesuatu yang katakan berkesinambungan. Karena perlu seperti tadi, dia tinggal selama beberapa semester begitu ya, punya program.
Lalu... Ikut mendampingi penelitian, penulisan-penulisan disertasi atau tesis seperti itu. Dan juga para penelitinya. Indonesia itu cenderung sangat tertutup terhadap peneliti asing.
Ya kan ada beberapa kasus gitu ya yang bahkan tidak diberi izin. Sudah diberi izin tapi lalu dicabut izinnya dengan ketakutan bahwa nanti akan membawa kekayaan Indonesia keluar. Tapi kan sebetulnya kalau dibuat dalam bentuk kerjasama itu bisa begitu ya. Nah ini yang saya sependapat tadi dengan yang Pak Gita sampaikan, keterbukaan seperti itu.
Memang tentu perlu dipikirkan dananya bagaimana. Dan dana untuk pendidikan nampaknya memang perlu ditambah, tapi ditambahnya itu untuk apa? jadi prioritas-prioritas yang mau dikembangkan Tentu memang sulit karena perguruan tinggi kan banyak sekali.
Yang mana yang akan dikembangkan. Tapi kalau sudah ada perguruan tinggi-perguruan tinggi yang terkemuka, dia ini yang punya tanggung jawab kemudian untuk mengirimkan dosen-dosennya ke perguruan tinggi yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Jadi saling berbagi ilmu.
Kita ini masih sering sekali kalau punya ilmu itu lalu maunya disimpan sendiri begitu ya. Bahkan sering kali punya buku baru itu disembunyikan gak mau dibagi ke teman gitu ya. Takut nanti temannya juga ikut pinter gitu ya. Jadi kalau bisa disembunyikan.
Dunia ilmu tidak seperti itu. Dunia pendidikan tidak seperti itu. Semakin kita terbuka semakin ilmu itu akan masuk. Dan kita gak perlu takut gitu ya. Bahwa apa yang kita punya itu akan diambil lalu direbut.
Karena ilmu itu kan sebetulnya semakin diketahui oleh banyak orang, semakin dia akan berkembang. Jadi sangat perlu. Saya percaya bahwa ilmu itu harus jauh lebih open source. Dan pertanyaan saya gimana merobek individualisasi ini.
Agar lebih terjadi kolaborasi. Lebih terjadi kolektivisasi. Iya dan juga begini ya.
Selain itu juga nasionalisme yang sempit ya. Yang takut sekali. Rasa takut itu kan sebenarnya karena gak percaya diri. Jadi pengertian nasionalisme.
Perlu dipahami lebih lah gitu ya. Lebih luas lah ya. Justru dengan kita membuka diri seluas-luasnya.
Kita akan mendapat kesempatan untuk menjadi semakin Indonesia di tengah pertarungan global. Sekarang kita lihat diaspora ya. Orang-orang itu kan mereka luar biasa maju. Tapi selalu saja masih ada pembicaraan bahwa ya mereka.
Tidak mengabdilah, kurang mengabdi ya. Tapi itu keliru gitu loh. Karena justru mereka adalah orang-orang Indonesia yang kemudian berhasil menyumbangkan sesuatu.
Bukan hanya untuk Indonesia tapi untuk dunia begitu ya. Ini kan sesuatu yang luar biasa. Ketika kesempatan di Indonesia sangat kecil dan dia mendapat kesempatan di luar.
Ya sudah begitu. Dia memberi sumbangan untuk umat manusia yang lebih luas. Saya sama sekali gak percaya dengan konsep brain drain.
Saya tuh jauh lebih percaya dengan konsep brain circulation. Iya. Atau brain linkage.
Dan kalau saya ngeliat, kemarin saya sempat ngajar di Inggris, itu orang Indonesia-nya disana cuma 3 ribu. Tapi mainland Chinese atau dari Tiongkok itu 200 ribu. Di Amerika Serikat 8.500 orang Indonesia, orang Tiongkok 400-450 ribu, India 200 ribu.
Zaman saya sekolah dulu di Amerika itu 16 ribu. Ya mungkin ada dua observasi disini yang berkesempatan untuk belajar itu akan memiliki privilege ke depan. Tapi yang gak punya kesempatan seperti itu ya mungkin mereka lebih sulit untuk mendapatkan peluang atau privilege seperti yang dimiliki.
Tapi mungkin yang lebih penting lagi adalah gimana kita bisa bersaing dengan negara-negara besar lainnya. Yang memiliki representasi yang jauh lebih besar di negara-negara manapun untuk membidik dan menggali ilmu. Iya kan?
Termasuk di dalam negerinya juga. Tapi di luar negeri tuh mereka seperti China gitu. Ini peradaban yang udah keren selama 5.000 tahun tapi masih haus nyari ilmu dari manapun.
Indonesia kek, Eropa, Amerika. Nah itu gimana ya secara budaya untuk kita mengubah supaya kita tuh haus ilmu. Ini yang memang memprihatinkan ya. Jadi sebetulnya kalau kita kembali ke tradisi Nusantara ya.
Nusantara itu kalau kita baca naskah-naskah kuno ya. Saya dari Jawa Barat Sunda ya. Saya membaca naskah-naskah Sunda kuno itu.
Itu kita sudah melihat bahkan ada di dalam salah satu naskah itu mengatakan kalau mau Belajar tentang pertanian, datanglah ke ahlinya. Kalau mau tahu caranya mencari ikan, datanglah, carilah ke ahlinya. Itu disebutkan detail bahwa carilah ke ahlinya. Dan itu terus menerus begitu dikatakannya. Lalu...
Kemampuan membuat kapal dan sebagainya. Penisi. Tapi kita berhenti pada nostalgia begitu ya. Indonesia pernah, Nusantara pernah seperti itu. Lalu ada periode yang penguasanya itu begitu ketakutan dengan rakyat yang kritis.
Maka pendidikannya lalu betul-betul ditekan. Tidak boleh bertanya. Tidak boleh. Mengajukan hal-hal yang kritis. Nah ini kan mengkhawatirkan sekali.
Dan itu sampai sekarang begitu ya. Yang menarik bagi saya adalah ketika etisya politis Belanda itu diterapkan untuk Indonesia. Waktu itu masih Nusantara lah katanya.
Lalu para pendiri negara ini yang kemudian menjadi pendiri negara ini. Orang-orang mudanya mendapat kesempatan belajar kan. Ada yang belajar ke Belanda dan seterusnya. Tujuannya kan sebetulnya mau menghasilkan omong perajanya Belanda.
Orang-orang yang cukup berpendidikan tapi patuh. Tapi kita lihat apa hasilnya. Hasilnya adalah justru mereka yang merumuskan kemerdekaan. Jadi berhasil begitu ya, berhasil pendidikan itu.
Nah di kita setelah itu sekarang ini. Untuk periode yang cukup lama ada masa ketika yang dihasilkan adalah orang-orang yang takut bertanya. Jangankan lagi kemudian melahirkan rasa ingin tahu. Karena rasa ingin tahu justru ditekat.
Tadi bicara tentang Tiongkok begitu ya. Kok masih terus mau mencari ilmu begitu. Kalau kita bicara daya saing ya. Mampu bersaing. Ada satu juga kekeliruan dalam pandangan tentang.
Pendidikan begitu. Yang selalu dipromosikan adalah bangun pendidikan yang nanti yang akan memiliki daya saing begitu. Kalau kita masuk ke alasan adanya pendidikan, tadi sudah saya singgung sedikit.
Itu daya saing itu adalah, itu bukan tujuan. Daya saing itu adalah hasil dari pendidikan yang... Memunculkan orang-orang yang kemudian punya kompetensi Jadi jangan berpusat di daya saingnya Tapi berpusat di manusia-manusia yang mau dibangun memiliki daya kritis Memiliki imajinasi, sangat kreatif Nanti mereka dengan sendirinya Dengan keahlian kemudian yang mereka pilih dalam bidang ilmunya Itu akan menemukan cara bagaimana bersaing. Jadi keliru sekali kalau slogannya di mana-mana itu adalah membangun pendidikan yang punya daya saing. Jangan mulai dari situ.
Mulai dari orang-orangnya. Nah kalau kita lihat di Tiongkok gitu ya. Itu kan memang mereka punya disiplin yang sangat ketat. Nah disiplin ketat ini juga penting. Jangan sampai otoriter ya.
Saya tidak setuju kalau otoriter. Tapi disiplin ketat itu penting. Tahu kapan belajar.
Tahu kapan bekerja. Tahu kapan bermain-main dengan sosial media. Dan itu perlu dari kecil. Dari kecil.
Sehingga dia lalu bisa mengolah. Nah ini juga masuk dalam pengertian pendidikannya. Orang yang bisa.
Orang yang berpendidikan itu orang yang bisa mengolah betul pertarungan antara hasratnya yang menggoda terus, hasrat ini kan tanpa batas, dengan kemampuan dia berpikir untuk tidak, saya harus bisa mengolah ini. Jadi pendidikan itu bukan hanya mengolah akal budi. Tapi mengolah batin.
Emosi. EQ dan IQ. Ya.
Nah emosi ini hal yang sering dilupakan. Sering kemudian di. Kita sekarang disebut budi pekerti ya.
Tapi kemudian mau diisi dengan agama. Budi pekerti itu kemudian dibatasi dengan pelajaran agama. Munculnya ya dogma-dogma.
Nah ini yang bahaya. Padahal yang dibutuhkan pengolahan emosi. Pengolahan batin.
Imajinasi termasuk membayangkan pengalaman orang lain. Pelajaran sejarah misalnya. Bukan hanya menghafal tahun-tahun, tapi diajak bercerita.
Apa perasaanmu ketika membaca begitu banyak jatuh korban dalam perang? Dalam pertempuran di Surabaya, Westerling. Itu jangan hanya ditanya apa yang terjadi. Diminta merefleksikan apa perasaanmu.
Ketika dia bisa melihat perasaannya lalu mengatakan kok perang seperti ini ya. Kok banyak korban, saya sedih. Dia bisa kemudian membayangkan ada di sepatu korban. Dan akan membuat dia peka terhadap penderitaan orang lain.
Hanya dari belajar sejarah. Nah kita lalu pakai ini dari belajar sains. Dari belajar matematika. The beauty of science. The beauty of mathematics.
Tidak diberikan. Nah ini yang saya kira di banyak sistem pendidikan di luar negeri ya. Maaf saya terpaksa mengacu ke sana.
Itu sejak kecil sudah diberikan. Itu jadi. Anak diminta untuk merasakan lalu bertanya. Ini nyambung nih.
Saya mau coba sharing satu lagi observasi. Kemarin dan tadi pagi saya juga sempat ngobrol mengenai di Amerika Serikat itu mereka memberikan visa H1B pada lulusan dari universitas untuk mereka bisa Menetap di sana bekerja sebagai profesional. Itu dari seluruh visa yang diberikan, okupasi oleh orang India itu 75%.
Padahal representasi mereka di kampus itu hanya 200 ribu, sedangkan representasi orang Tiongkok 450 ribu. Okupasi Tiongkok dalam pemberian visa itu hanya 10%. Korea Selatan yang diwakili oleh mungkin kurang lebih 150 ribu siswa-siswi di seluruh kampus, begitu lulus mereka hanya dapat nggak lebih dari 3 persen.
Indonesia itu 0, ya kan? Tapi disini saya mau membidik komparasi antara India dengan Tiongkok. Karena ini nyambung dengan kognisi dan emosi, atau emotif lah.
India yang diwakili hanya 200 ribu, tapi dia bisa mendapatkan 75 persen dari visa. Tiongkok yang diwakili oleh 450 hanya mendapatkan 10. Dua-duanya secara kognitif mungkin sama. Bahkan bisa diargu mungkin ada yang sedikit lebih tinggi daripada yang satu lagi.
Tapi si India ini punya soft skills. Ya saya sering kali ngomong mereka jago ngecap lah. Iya kan?
Mereka cukup piawai memproyeksikan ide. Tapi itu mungkin agak-agak nyambung dengan kualitas emotifnya atau emotional quotientnya, bukan hanya intellectual quotient aja. Ya mungkin dari sini kita bisa belajar, bahkan orang Tiongkok juga perlu belajar. Ini gimana nih?
Bisa juga diargumentasikan banyak yang mau pulang ke Tiongkok. Tapi saya tahu, saya teman, berteman dengan banyak sekali dari mereka, banyak yang mau menetap di Amerika. Apalagi kalau urusan dengan kecerdasan artifisial, teknologi, dsb.
Terus kalau di Silicon Valley, 30% dari ide-ide baru itu keluar dari orang India yang keturunan imigran atau mau jadi imigran. Itu mungkin nyambung dengan nggak tahu nih gimana. Gimana untuk kita membudayakan atau mendidik.
Kombinasi kognisi dan emotif. Ya. Untuk melihat India dan Tiongkok ini.
Tentu perlu ahli yang betul-betul tahu perbedaan kebudayaan ya. Saya tidak terlalu paham begitu. Tapi menjawab pertanyaan Pak Gita tadi. Menggabungkan antara nawar dan emosi. Itu.
Perkara yang sebetulnya memang sangat mendasar dalam pendidikan. Karena apa? Karena manusia itu kan utuh.
Dia tidak bisa hanya nalar saja, dia nanti akan yang penting pokoknya keputusan-keputusannya itu rasional. Padahal manusia itu bukan sepenuhnya makhluk rasional. Bahkan di bawah rasionalitasnya itu kan tersembunyi hasrat-hasrat irasional yang... Bisa saja mengemukai dikemas dengan cara yang sangat rasional.
Dan itu mengerikan. Pendidikan ini tidak bisa lain memang melalui sejak kecil. Kalau saya percaya seperti banyak, saya belajar ya. Bukan dari saya sendiri tapi saya juga belajar. Itu ada seorang pemikir yang...
Sangat percaya, dia seorang ahli filsafat politik, itu Marta Nusbaum. Dia pernah datang ke Indonesia untuk memberi satu seminar. Dia sangat percaya bahwa emosi itu bisa dididik melalui sastra, seni. Dan saya termasuk yang percaya pada itu.
Dia memberi contoh yang sangat menarik. Anak kecil diajarkan menyanyi twinkle twinkle little star. Tapi sesudah itu kan ada how I wonder what you are. Wonder. Dia bertanya ada apa di situ?
Nah wonder ini dengan lagu itu kemudian ketika dia melihat apapun di sekitar dia itu akan muncul rasa wonder. Wonder ini rasa yang kemudian diisi dengan kognisinya. Nah itu sebabnya tadi saya sekarang mengerti mengapa guru saya tahu saya senang sekali ilmu alam dan matematika.
Memaksa saya membaca sastra. Karena lalu menghubungkan kedua ini. Dan cara mengajar.
Matematika diajarkan rumus-rumus. Fisika sama, diajarkan, sains diajarkan rumus-rumus. Ini sangat problem solving. Jadi ada masalah, pecahkan. Tentu kita perlu penguasaan problem solving.
Tapi kalau hanya menguasai pemecahan masalah, kita akan lupa dengan batin kita, emosi kita. Nah ini tadi yang pentingnya guru ya. Pentingnya guru diberi perhatian sehingga guru pun mengembangkan diri.
Ketika dia mengajarkan sesuatu dia bisa menceritakan. Mengajarkan hukum Newton saja. Dia perlu bisa menceritakan bagaimana itu didapat.
Bagaimana Newton sampai ke situ mengajarkan teori tata surya misalnya. Bagaimana Kopernikus itu mengambil perumpamaan dari sastra klasik Yunani. Para ilmuwan besar itu mengerti sastra itu.
Karena mereka diajarkan dari kecil. Kita sekarang, mungkin saya keliru ya, saya tidak terlalu mengikuti. Tapi saya melihatlah buku-buku pelajaran itu, kurikulum. Penekanannya pada bahasa Indonesia, itu gramatika.
Dulu yang disebut bahasa Indonesia itu dibagi. Ada sastra, ada gramatika. Lalu gramatika dipelajari lewat sastra. Karena kan yang sangat bagus menulis indah itu kan sebetulnya sastra. Nah ini yang perlu dikembalikan lagi.
Karena tanpa dan seni ya. Seni. Di kita itu seni itu sangat disempitkan pada pertunjukan panggung begitu. Anak-anak diajar hanya untuk supaya bisa tampil di panggung lalu lupa. Lupa bahwa seni itu adalah pilar kebudayaan, pilar peradaban.
Itu kan seni, sains dan teknologi, kemudian sistem kepercayaan. Tetapi yang paling utama itu, bahkan yang awal sekali sistem kepercayaan itu mengemuka melalui seni. Sains berkembang.
Dan teknologi juga berkembang kemudian ini bergabung. Sistem di luar negeri ini sekarang sudah banyak. Tadinya kan STEM.
Science, Technology, Engineering, and Mathematics. Tapi beberapa tahun terakhir ini diubah menjadi STEM. Arts.
Dan arts ini dalam pengertian luas. Bukan hanya seni. Di kita bahkan kebudayaan pun disempitkan menjadi pertunjukan. Menjadi barang-barang yang bisa dijual seperti ini. Padahal kebudayaan itu kan cara kita berpikir.
Cara kita bertindak. Cara kita merasa. Itu kebudayaan.
Nah ini yang diolah. Yang menurut saya sangat kurang. sekarang ini. Saya tuh seringkali mengadvokasikan anak-anak muda itu untuk lebih divergen dibandingkan convergen.
Dan kalau ada anak-anak yang ahli coding gitu, datang ke saya, Pak saya harus belajar apa nih supaya lebih bisa divergen. Ya saya bilang. Ya belajar aja ballet.
Atau baca puisi. Atau ngelukis. Apapun lah supaya wawasannya tuh lebih lebar.
Dan saya sangat percaya semakin kita horizontal, semakin kita bisa mengantisipasi blind spot. Semakin kita bisa meng-mitigasi resiko yang lebih sistemik. Dan ini sangat bisa dibungkus dalam kebangsaan kedepan.
Ya kan? Tapi saya belum melihat adanya upaya secara masif untuk mendivergensikan masyarakat luas. Bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Nah ini mungkin karena beberapa hal.
Satu mungkin budaya baca buku juga. Sangat dikecilkan. atau kesampingkan. Kedua juga kita nggak tahu gimana nih agak nyungsep di era pasca kebenaran, yang mana feeling, itu lebih penting daripada bukti empiris. Itu mungkin nggak tahu ya.
Semakin kita tuh gak mau menunjukkan unsur curiosity atau penasaran untuk mencari bukti empiris atau data empiris. Nah itu nyambung dengan incapacitas kita untuk berpikir secara objektif. Jadi kita melihat disini ada dua fenomena. Satu, berkurangnya divergensi.
Dua, berkurangnya kapasitas untuk berpikir secara objektif. Apakah itu sehat ke depan? Itu berbahaya ya dalam arti begini.
Tadi sudah saya katakan emosi penting. Tapi emosi yang mentah. Yang tidak diolah. Itu kan seperti daging teronggok yang berdarah-darah begitu ya. Tapi daging yang teronggok itu kemudian kan bisa diiris dengan sangat halus.
Sehingga kemudian disajikan dengan indah. Seperti sashimi. Iya seperti sashimi. Itu contoh yang sangat bagus. Halus sekali.
Tampilkan. Nah itu. Emosi yang tertata, terolah sehingga orang tuh bahkan bisa tahu kapan dia marah. Kapan dia mau marah.
Dia tahu oh saya ini akan, ini ada persoalan yang akan membuat saya marah. Kan ada persoalan yang membuat saya sedih. Dia sudah tahu sehingga dia bisa menata itu tidak lalu seperti yang kita lihat sekarang di media sosial. Sangat mengerikan.
Jadi ada satu penelitian yang sangat menarik. Berapa tahun yang lalu yang memperlihatkan dia melakukan, dia menyaring jenis-jenis emosi yang ada di dunia maya begitu ya. Lalu dia kumpulkan sampai pada kesimpulan setelah diolah bahwa teknologi digital dengan internet dan segala macam media sosial itu terutama bukan persoalan kemajuan teknologi. Teknologi itu selalu adalah proses perangkat-perangkat yang memungkinkan sesuatu berkembang.
Tapi lebih daripada itu, ini adalah perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan yang memungkinkan orang kemudian meluapkan emosinya dan membagi emosi itu tanpa disaring. Dan ini kemudian memungkinkan yang tadi disebut Ostruth itu ya.
Karena orang lebih tergerak emosinya dan hal-hal yang ditampilkan dan menarik perhatian adalah yang lebih menggerakkan emosi. Bukan ini loh datanya. Dan orang yang emosinya sudah terpicu, sudah suatu informasi telah mengena ke emosinya, itu... Sulit sekali diubah ininya. Mengapa suatu pertimbangan yang masuk akal.
Tidak mudah mengubah seseorang. Karena emosinya tidak tersentuh. Ini sudah dari zaman filsafat Yunani dulu ya.
Di pelajari ya. Kita juga sama di tradisi Nusantara itu ada. Rasa, rasa.
Tapi kalau rasa yang diutamakan. Tidak bisa harus seimbangkan itu. Jadi berbahayanya adalah orang mengabekan data.
Mau dikasih data seperti apapun. Dia, saya tidak suka begitu. Jadi bahkan bayangkan kalau suatu, di suatu negara, dan ini terjadi ya, sudah terbukti di beberapa negara. Orang harus membuat pilihan. Dan pilihan itu adalah pilihan politik atau pilihan etis.
Pertimbangannya adalah suka atau tidak suka. Pertimbangannya adalah emosi, bukan data. Ya kita sudah lihat dalam beberapa pemilihan umum. Dimanapun.
Dimanapun. Jadi postrus itu sejak dulu sudah ada ya. Bahkan sains itu juga sudah maka dalam filsafat itu ada macam aliran-aliran kebenaran dan. Bahkan tidak menyebut kebenaran sama sekali. Tetapi sekarang ini menjadi begitu meluap dan mempengaruhi masyarakat.
Karena ada media sosial. Dan orang menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial. Saya melihat fenomena ini.
sudah sangat mengganggu orang yang sangat berpendidikan. Apalagi yang kurang berpendidikan. Orang yang punya gelar S2, S3. Itu kalau diajak ngobrol, itu predisposisinya kuat sekali. Dan itu kan bisa terjadi mungkin karena apakah itu bias kognitif atau emosional, atau noise kognitif atau emosional juga kan.
Tapi semestinya kalau dia punya S2 atau S3, lebih bisa di filter lah bias dan noise. Itu kan pengandeannya. Pengandean bahwa orang punya gelar, lalu punya gelar tinggi, lalu dia bisa berpikir kritis gitu. Tapi persoalannya kan seringkali dengan gelar itu dia hanya mempelajari hal-hal teknis tapi tidak berpikir.
Berpikir itu kan lain. Berpikir itu beda ya dengan menguasai suatu teknis. Iya, dan kalau saya berdebat dengan orang yang punya predisposisi.
Itu mungkin karena ideologi Oke kita bisa agree to disagree Tapi kalau Semakin kelihatan unsur pokok E nya Nah itu saya agak-agak bingung Ini bukan ideologi nih Ini noise dan bias Dan itu noise dan biasnya sifatnya bisa Kognitif dan emotif Jadi Kalau sudah pokok E itu kan Berarti gak bisa argumen Sementara yang dibutuhkan untuk untuk hidup bersama yang sehat itu adalah berani berargumen kita beda pendapat tapi mari kita berargumen dan kesimpulannya bisa berbeda tidak apa-apa tapi kita bersahabat kita tetap berteman jangan karena beda ideologi atau beda prinsip lalu menjadi persoalannya saya tidak suka dengan dia tidak, bukan itu Karena hidup bersama yang tidak diisi dengan argumen-argumen dan keberanian menunjukkan ini pendapat saya. Anda tidak setuju, mari kita duduk bersama. Kita berargumen.
Itu yang akan membangun sebuah masyarakat. Nah untuk bisa seperti itu kan memang perlu di... Berpikir dengan kritis dan tidak gampang tunduk pada status quo.
Berani untuk melawan status quo. Saya sih memimpikan bahwa pendidikan kita itu berhasil untuk membawa anak-anak muda ini sampai ke titik dia berani untuk mempermasalahkan. Ini yang kelihatannya sudah benar, coba kita periksa.
Kita periksa, apa betul. Menurut Ibu semakin perlu dong mata pelajaran filsafat untuk diajarkan di level serendah mungkin. Karena itu kan berkorelasi dengan peningkatan kapasitas untuk menginvestigasi kebenaran. Atau pre-existing truth yang mungkin perlu direnovasi atau di...
Reinterpretasi atau di apapun Ya banyak Kalau di sekolah-sekolah Di banyak tempat Begitu ya di luar negeri Itu filsafat Diberikan dasar-dasar Memang diberikan sejak Sekolah menengah ya mungkin sekolah menengah atas Begitu ya Di kita Fakultas filsafat saja kan sangat terbatas ya, hanya pada sedikit sekali universitas. Jadi tidak cukup di, saya gak mau mengatakan dihargai ya, tapi dipertimbangkan bahwa itu penting. Filsafat itu memang mengajarkan orang untuk berani membongkar apa yang sudah diyakini sebagai benar. Karena dia terus akan...
Mempertanyakan Dan dengan berani untuk mempertanyakan Itu kan justru akan membawa dia lebih jauh pada Oh sebetulnya apa yang saya terima selama ini adalah pendapat orang banyak Bukan kebenaran Tapi kan banyak orang takut ya Pada kebenaran Banyak orang takut Data banyak ditolak karena persis atau dimanipulasi persis karena data itu juga bisa menyingkapkan apa sih sebetulnya yang terjadi. Jadi tentu sebagai orang yang mengajarkan filsafat dan berkutatlah di dalam filsafat walaupun terbatas filsafat ilmu begitu. Tetapi saya tentu akan Sangat berbesar hati ya kalau filsafat lebih dikenal dan diberikan sejak usia yang lebih awal.
Ada teman-teman di Bandung kelompok yang mengajarkan, jadi mengajak anak-anak untuk sudah mulai berfilsafat. Membaca teks-teks filsafat yang dikemas dengan cara ya bahasa anak-anak. Gimana daya tariknya? Oh luar biasa.
Kan pernah ada filofest ya di waktu itu masih. Suasana pandemi Jadi memang diadakan di lewat Media Maya Ada itu satu sesi atau lebih dari satu sesi Yang anak-anak itu diundang Dan mereka tertarik Dan mereka bisa berargumen Secara filosofis tapi dari Perspektif dan bahasa Anak-anak Filsafat kan juga mengajarkan logika Kita selama ini kalau dengar logika banyak orang takut ya. Berpikirnya itu jika maka lalu seluruh rumus-rumus silogisme dan sebagainya ya. Tapi filsafat itu mengajarkan logika berpikir dengan sangat cermat. Sehingga bahkan membaca satu kalimat saja.
Kita sudah bisa mengenali ini ada yang gak beres dalam kalimat ini. Sementara kita banyak sekali. Maaf begitu ya, orang-orang penting bicara itu sekenaknya begitu ya. Dan itu kan memprihatinkan dan bahkan bisa berbahaya. Lalu nanti dengan enaknya mengatakan, oh maaf maksud saya tidak demikian.
Jadi tidak dipandu dengan keketatan logika. Wow, baik banget ya. Saya tuh akhir-akhir ini sering ngobrol mengenai gimana kita bisa lebih mencari titik optimal untuk kepentingan interseksi antara talenta dengan kekuasaan.
Ibu baru aja ngomong mengenai penguasa di berbagai negara. Ngomongnya mungkin gak nyambung dengan apa yang kita aspirasikan. Nah ini gimana Bu untuk mencari interseksi yang lebih optimal antara talenta dengan kekuasaan? Karena ini cukup global. Saya melihat adanya dua situasi yang cukup menarik.
Di sini negara yang bisa dianggap lembaga atau kelembagaannya itu canggih sekali. Tapi tiba-tiba muncul pemimpin yang kok gak nyambung. Gitu loh.
Saya gak usah sebut negaranya. Terus disini negara yang mungkin lembaga atau kelembagaannya amburadul, tapi timbulah pemimpin yang wow. Dan bisa menyempurnakan atau menyembuhkan, mengobati lembaga-lembaga yang anggaplah chaotic atau apa. Saya semakin berpikir mungkin interseksi antara talenta dengan power.
Ini adalah sesuatu yang serendipitas. Harus ada unsur jodohnya nih. Keberuntungan. Ya, tapi kalau mengandalkan keberuntungan sulit sekali ya.
Kalau tidak beruntung nanti kita bilang aduh. Saya mengerti untuk mancing. Sebetulnya kan begini. Yang diperlukan itu bukan hanya.
Mendidik begitu ya orang-orang yang punya talenta tadi. Tapi juga di dalam talentanya itu dia punya integritas dan punya kesadaran sifik. Untuk hidup bersama, kebaikan hidup bersama.
Nah orang-orang seperti ini yang perlu berani untuk maju di bidang politik. Seringkali justru orang-orang seperti ini karena melihat cuaca politiknya itu memprihatinkan tidak mau maju begitu ya. Itu, tapi tidak cukup hanya adanya orang.
dengan talenta-talenta seperti itu ya diperlukan pendidikan politik masyarakat karena kendati ada orang yang begitu sebetulnya punya kemampuan untuk menjadi pemimpin yang baik katakan tetapi masyarakat itu berhasil digerakkan oleh tadi apakah soal emosi, soal Suka atau tidak suka atau mudah untuk terpengaruh oleh bias dan sebagainya. Itu menyebabkan tadi kelihatannya serendipity itu tadi ya keberuntungan. Karena tidak didukung oleh masa yang mengerti betul apa itu politik. Bahkan di negara seperti Amerika yang begitu maju. Dilihat maju lah begitu Tapi kan kalau kita masuk ke daerah-daerahnya itu Kita akan bertemu dengan orang-orang yang sangat dipengaruhi oleh ideologi seperti itu Kita dari luar banyak soalnya orang melihat Oh memang hebat Negara-negara itu hebat begitu Tapi apakah masyarakatnya sudah punya kematangan politik Jadi yang dibutuhkan sebetulnya kematangan politik Bukan hanya orang-orang tertentu, partai-partai di dalam partai tertentu.
Tapi masyarakat mengerti apa artinya ketika memilih seorang pemimpin. Jadi apapun yang ditawarkan kepada mereka dengan iming-iming segala macam. Salah satunya kalau dikitakan lalu iming agama atau apalah sebagainya.
Dia mengerti. Bukan itu. Nah ini yang, ini pekerjaan sangat besar ya.
Membuat kematangan politik masyarakat. Karena tidak cukup. Karena kalau tidak mudah sekali.
Apalagi ada politik uang dan sebagainya. Hanya jangka pendek begitu ya. Saya melihat di berbagai negara, di mana proses politik itu diwarnai dengan pembentukan koalisi. Common denominator dalam konteks pembentukan koalisi itu bukan ideologi, tapi lebih terkait dengan power sharing. Jadi saya melihat ini merupakan discount.
Kalau ideologi itu bukan merupakan common denominator. Dan saya disini berasumsi bahwa proses politik di Indonesia itu sudah. Menggunakan ideologi.
Tapi kenyataannya, bukan hanya di Indonesia, tapi di berbagai negara, common denominator itu adalah power. Nah itu merupakan discount untuk kepentingan siapapun yang berkuasa untuk melakukan atau membuahkan meritokrasi. Nah ini kan nyata bahwasannya pengseleksian talenta itu lebih berdasarkan patronase dan atau loyalitas, bukan meritokrasi.
Semakin sulit untuk kita berharap bahwa kesejahteraan rakyat itu yang sangat dikedepankan. Nah ini obatnya gimana nih? Dan saya melihat ini fenomena yang terjadi juga di negara-negara maju, tapi lebih banyak di negara-negara berkembang.
Meritokrasi itu selalu hal terakhir ya. Kalau di dalam politik ya karena orang selalu bilang politik adalah tentang kekuasaan. Tentu saja politik selalu berhubungan dengan kekuasaan. Karena bagaimana mau...
nyampaikan atau membuat kebijakan-kebijakan tertentu itu pun kebijakan untuk kebaikan rakyat lah begitu kalau tidak punya kekuasaan. Jadi selalu kekuasaan itu memang ada dalam politik dan ini tidak buruk. Tetapi kekuasaan yang betul-betul kemudian diarahkan untuk kebaikan hidup bersama. Nah tetapi seringkali yang terjadi itu adalah kan Kepentingan, kepentingan kelompok yang diutamakan. Nah ini yang kemudian membuat demi, jadi sekadar demi berkuasa.
Lalu kepentingan-kepentingan kelompok ini dinegosiasikan begitu. Sekarang kan kalau kita lihat bahkan di Indonesia pun gak ada partai oposisi kan. Sulit lah mengatakan ada partai oposisi. Padahal penting sekali dalam sebuah negara demokrasi itu ada partai oposisi. Karena apa?
Karena semua mau mendapat remah-remah, mau mendapat kue lah di dalam kekuasaan itu. Tapi saya bisa menggunakan Singapura sebagai contoh. Yang mana bisa dibilang oposisinya non-existent.
Ada tapi kecil sekali. Tapi yang berkuasa itu nyata bisa mendistribusikan public goods, kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, intelek, integritas. Dan ini termanifestasi dalam beberapa metrik. Salah satunya adalah Penanaman modal asing.
Sering kali saya suarakan. Orang dari seluruh dunia tuh naruh duit di Singapura. Bukan karena ideologi. Tapi karena ya lebih dipercaya aja. Iya.
Dan kalau saya bandingkan FDI di negara-negara ASEAN yang besar. Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Indonesia. Itu kisarannya 100-400 dolar. Tapi Singapura 19 ribu dolar.
Sistem itu berfungsi. Dan saya gak ngelihat disana pemimpinnya atau kepemimpinannya itu sibuk diri untuk mengimortalisasikan diri. Iya kan?
Mereka lebih, kayaknya lebih sibuk gimana nih supaya semangat kelembagaannya jalan. Trust itu ya, kepercayaan itu kan bisa muncul. Kalau sistem hukumnya itu baik.
Dan sistem hukumnya itu betul-betul adil. Dan orang betul-betul percaya bahwa hukumnya seperti ini itulah yang akan terjadi. Nah ini yang di kita itu kan saya baru beberapa hari yang lalu dalam peringatan.
25 tahun reformasi mahasiswa minta saya memberi sedikit pengantar gitu ya. Saya katakan perjuangan reformasi itu adalah perjuangan untuk melawan impunitas. Impunitas itu dalam banyak hal ya.
Orang korupsi bisa dengan mudah lepas, perusahaan lingkungan itu tidak tersentuh hukum. termasuk akasasi manusia dan lain-lain. Sehingga orang tidak yakin bahwa penanaman modal misalnya ya, apakah betul-betul akan sesuai dengan apa yang tertulis nantinya. Jadi selama hukum itu masih... Seperti itu hanya ada di atas kertas bahkan yang di atas kertas pun masih punya banyak sekali kekurangan karena hasil tadi koalisi, negosiasi dan sebagainya.
Karena tidak sulit sekali tidak mungkin untuk kemudian menghasilkan kelembagaan yang baik. Masih ditambah lagi perilaku. Jadi kalau kita lihat yang reformasi rame sekali 25 tahun yang lalu.
Itu bolehlah. Tentu ada hasilnya dan kita hargai itu ya. Ada banyak yang maju lah disitu. Tetapi seperti membangun istana.
Tapi perilaku orang di dalamnya tidak berubah. Mau buat hukum sebagus apapun. Kalau perilakunya tidak berubah, tidak akan bisa. Jadi tadi, talenta tadi.
Ketika orang-orang yang dipilih adalah orang-orang yang karena loyalitas, jadi bukan karena talentanya, bukan karena integritasnya, sulit sekali menghasilkan kelembagaan. Lembaganya kelihatan bagus ya, aturan-aturannya semua bagus. Tapi...
Persentukan tetap penting. Ini kan selalu adalah pertarungan kalau dalam filsafat politik. Saya bukan ahlinya tapi sedikit baca. Itu kan antara agen dan struktur. Tidak bisa struktur saja atau agen saja.
Tapi ini betul-betul pertarungan. Nah agen-agennya ini adalah agen-agen yang muncul dengan segala pertimbangan politik untuk bisa ada di situ. Strukturnya bagus seperti apapun. Gak bisa.
Jadi gimana nih Bu? Apakah kita harus lebih banyak ke masjid, gereja, wihara, tempel, sinagog, berdoa? Atau gimana untuk kita bisa menggerakkan supaya lebih terbuahkan agensi? Iya kan? Ini kalau menurut saya kurang sekali agensinya.
Iya. Yang mana masyarakat luas itu sadar dan berani mengambil sikap dan beraksi untuk menyikapi apapun yang harus disikapi untuk kebaikan dan perbaikan. Agar terjadilah interseksi antara talenta dan power secara optimal.
Agama itu penting bagi orang-orang yang ya. Tapi agama dan iman aja kan juga sudah berbeda, tapi kita gak usah masuk ke situ. Tapi menganggap bahwa solusinya itu bisa dari agama saja, itu jelas keliru ya.
Dan itu kekeliruan kita selama ini. Tadi sudah saya katakan, masalah budi pekerti diselesaikan dengan ajaran agama. Hasilnya adalah orang-orang yang semakin saleh, tapi saleh...
Dengan cita-cita mau masuk surga, surga urusan nanti lah begitu ya. Tapi kita hidup di dunia ini, jadi perkara kita adalah perkara dunia. Dan persis disini kemudian dibutuhkan keberanian orang-orang yang berani untuk menunjukkan persoalan kita, persoalan dunia.
Selesaikan dengan bahasa dunia. Kurang sekali agensinya. Iya, dan bahasa dunia ini agensi tadi hanya diperoleh ketika dia memiliki keunggulan. Di dalam bidang-bidang yang dikuasainya.
Karena agensi itu kan perlu unggul pertama di dalam bidang yang akan dia tangani. Itu pertama. Tapi bukan hanya keunggulan keilmuan.
Tapi juga punya integritas dan sifik. Kesadaran sifik. Ini yang kurang di kita. Bahwa saya ini bukan hanya Karlina.
Saya ini bukan hanya Gita Wirjawan. Bukan. Saya ini ya. Adalah Gita Wirjawan, adalah Karlina, Amin, Budi dan sebagainya.
Tapi saya lahir dan hidup di suatu negara. Kesadaran sifik itu penting. Dan dengan kesadaran sifik itu dibangun kepelakuan itu tadi.
Saya adalah orang, ini saya mengambil dari tradisi ratusan tahun di dalam pendidikan itu. Kepada setiap anak itu ditanamkan. Kamu lahir untuk hal-hal besar.
Atmayoran atusum. Lahir untuk hal-hal besar. Apa itu hal besar?
Hal besar itu lebih daripada dirimu sendiri. Lebih dari kepentingan empat tembok. Rumahmu. Hal-hal besar itu adalah seluas langit, seluas dunia, seluas bumi.
Sehingga disitulah kamu berkarya. Dari situ kita lahirkan orang yang sadar betul bahwa saya bisa berbuat sesuatu yang lebih. Ini dikejar terus. Lebih dan menjadi agen.
Nah untuk bisa menjadi agen tentu dia harus bisa membuat keputusan. Berani. Jangan pernah takut. Pendidikan kita itu dari kecil banyak sekali. Apalagi pendidikan agama itu diberikan dengan menakut-nakuti.
Nanti kamu masuk neraka. Takut sekali. bukan itu, jangan takut jangan pernah takut nanti salah ya namanya manusia, kalau salah minta maaf, mengakui saya salah saya minta maaf saya akan perbaiki dan anak yang salah, tidak dimarahi tapi diterima oke, gak apa-apa kamu berbuat salah, entah di sekolah entah di rumah tapi oke Jangan bohong misalnya seperti itu, hal-hal seperti itu. Akuilah. Jadi agen itu terbentuk dari keberanian.
Keberanian dibina dari kecil sekali. Orang tua kita hormati bukan kita takuti. Tuhan itu kita cintai bukan kita takuti. Misalnya seperti itu.
Diajarkan seperti itu. Guru itu kita hormati. Bukan kita takuti, karena kalau sudah takut tertutup ini orang gak bisa jadi agen.
Agen itu kan orang yang tidak takut. Dan kenapa dia tidak takut? Karena dia tahu bahwa kesalahan itu bukan sesuatu yang nista begitu ya.
Yang nista itu justru adalah ketika... Tidak berintegritas ketika dia mencuri korupsi, nah itu baru. Jadi ada jelas sekali nilai-nilai yang dipegang oleh seorang agen.
Mungkin dia tergelincir namanya juga manusia ya. Tapi ketika tergelincir ya bangun lagi. Saya tuh sempat baca bukunya PAP, People's Action Party di Singapura.
Itu dari chapter awal sampai akhir. Itu hanya tiga kata aja yang terulang. Kompetensi, integritas, akuntabilitas. Dan itu termanifestasi dalam segala hal yang mereka lakukan. Dalam pengrekrutan, terus policy, politik, sosialisasi, dan segalanya.
Kita bisa merasakan kan kalau kita tiba di Singapura, public service-nya itu unbelievably good. Dan itu kan manifestasi dari apa yang tercantum di setiap bab. Jadi kalau mereka ngerecruit, mereka gak main-main. Ini orang pokoknya harus cerdas, tapi dia juga harus berintegritas, dan dia harus mengakun apapun yang dia harus lakukan. Saya mau nambah boleh?
Boleh. Conscience dan compassion. Wow. Wah ini bocoran ya untuk Singapura. Semua keninggalin yang lain-lain ya.
Jadi kompetens sangat penting. Compassion and conscience. Kompetens sangat penting.
Ya lalu. Collaboration. Untuk masa depan dengan dunia yang terbuka seperti ini. Collaboration. Kerjasama.
Orang perlu bisa kerjasama. Dan kerjasama tapi juga punya compassion. Belas asih terhadap orang yang menderita. Keadilan itu. Keadilan kan bukan sesuatu yang diajarkan.
Bukan sesuatu yang dibaca. Tetapi yang dialami. Kita hanya bisa menjadi adil kalau kita menerapkan.
Kita tahu ketika bermain dengan teman, ah ternyata saya kok merasakan, saya mengalami ketidakadilan. Jadi dilatih. Saya selalu menggunakan Singapura. Jangan-jangan saya dianggap dutanya Singapura. Tapi saya gak habis pikiran.
Sebetulnya contoh yang bagus itu udah ada di sini. Kenapa gak ditiru aja kan? Dan saya lihat Vietnam itu udah jiplak playbooknya Singapura.
Negara-negara Timur Tengah udah jiplak playbooknya Singapura. Dubai, Abu Dhabi, bahkan Saudi dan Bahrain akhir-akhir ini. Mereka tuh sangat berkonsultasi. Tapi yang saya perhatiin di sini Singapura tuh selain yang tadi itu, kompetensi, integritas, akuntabilitas, syukur-syukur ditambahin conscience dan compassion. Dia tuh bisa memastikan diri sebagai interseksi penyaluran ide.
Dari manapun. Orang Amerika kalau mau tahu mengenai Asia Tenggara yang ditanya orang Singapura. Orang Eropa kalau mau tahu mengenai Asia Tenggara yang ditanya orang Singapura. Tiongkok kalau mau tanya mengenai Asia Tenggara yang ditanya Singapura.
Bukan negara yang terbesar di Asia Tenggara. Karena mereka tuh bisa mengartikulasikan ide. Nah ini kalau menurut saya ini sesuatu yang harus kita pelajari. Tapi juga mereka itu sangat conscious, consciously menghambelkan diri.
Mereka kalau tampil di panggung, aduh kita ini sebetulnya dari negara kecil. Iya kan? Tapi mereka tahu bahwa mereka itu punya ide yang perlu didengar oleh banyak sekali masyarakat luas. Nah ini kan kita bisa belajar lah.
Dan saya peka bahwa mereka tuh gak sempurna. Tapi apapun yang mereka sudah lakukan dengan baik, ya kenapa gak dijiplak aja. Kita selalu bisa belajar dari negara manapun yang punya kelebihan-kelebihan ya.
Dan Singapura tuh tetangga kita. Sebetulnya posisinya kan juga menarik. Baik Singapura maupun Indonesia itu.
Sama-sama negara silam budaya kan dan itu dari sejak zaman dahulu kalah seperti itu. Satu hal yang sering mungkin saya keliru tapi sering saya pikirkan juga banyak orang di Indonesia itu masih Tenggelam di dalam sindrom Indonesia adalah negara besar. Dari zaman Nusantara begitu. Ya memang betul itu betul kerajaan-kerajaan Nusantara itu besar gitu.
Tapi malangnya perasaan yang besar itu tidak diisi dengan tadi ya. Dengan kompetensi. Bahkan kolaborasi yang sering disebut di Indonesia buatong royong begitu ya. Itu kan juga pupus ya sekarang ini untuk.
Macam-macam kepentingan. Jadi kita perlu belajar dari tetangga-tetangga kita bahkan dari Malaysia juga. Lalu mengambil apa yang terbaik. Tentu ada sistem budaya sendiri ya di Indonesia yang juga begitu beragam.
Yang kemudian bisa disesuaikan. Tapi mengambil itu kan tidak selalu berarti menjiplak. Mengambil lalu meng...
modifikasi untuk sesuai dengan kebudayaan. Nah kalau kita kembali tadi ke sistem pendidikan, bahkan sistem pendidikannya saja dari Sabang sampai Merauke sudah diratakan kurikulumnya. Sama semua. Diberi kebebasan lah dengan sekolah merdeka, kampus merdeka dan sebagainya.
Tapi dalam prakteknya penyeragaman itu masih ada. Nah bagaimana kita mau meniru misalnya tetangga yang... Punya kelebihan dalam bidang-bidang tertentu lalu menyesuaikan dengan lokal. Ketika lalu sudah ada penekanan bahwa ini loh yang harus diterapkan keseragaman itu tadi. Padahal Indonesia begitu beragam.
Itu perlu diterima kembali gitu keberagaman itu dan membiarkan setiap daerah berkembang sesuai dengan. Talenta dari daerah itu. Lalu memberi kebebasan untuk mengambil contoh.
Saya beri contoh yang sangat menarik. Di satu desa di Yogyakarta. Saya lupa persisnya apa.
Ini beberapa tahun yang lalu. Ketika dia bupatinya. Itu mengambil satu saja kriteria. Untuk.
Menunjukkan bahwa kabupatennya itu maju. Dan itu sangat tidak terduga kriteria itu. Dia katakan kalau kabupaten ini berhasil menurunkan angka kematian ibu.
Maka itulah kemajuan. Karena apa? Dia mempelajari data-data dari luar negeri.
Dari mana-mana dia pelajari. Dan dia lihat Indonesia kan termasuk yang masih tertinggi di kawasan Asia. Untuk angka kematian ibu. Lalu dia mengambil keputusan. Ini kriteria utama.
Untuk kemajuan kabupaten saya. Yang lain-lain oke berjalan ya pembangunan. Tapi pembangunan infrastruktur selalu kriterianya angka kematian ibu harus menurun.
Itu meng-capture segalanya. Dan itu meng-capture segalanya. Karena apa? Untuk bisa mengurangi angka kematian ibu berarti infrastruktur entah dalam ah Fisik maupun tenaga kesehatan.
Bahkan masyarakat yang siap di sekitarnya. Kalau ada tetangganya hamil, sudah hamil tua. Sementara jarak puskesmas jauh, mereka akan melapor kepada lurah. Nanti dicarikan rumah tinggal sementara supaya dekat.
Dan berhasil. Berhasil. Ini contohkan cara berpikir yang berbeda. Terbuka terhadap berbagai kemungkinan kriteria. Lalu dia ambil satu.
Kita butuh pemimpin yang kreatif seperti itu dan berani. Angka kematian kan saya selalu bilang yang paling tragis adalah kita menangis. Tentu kita sedih kecelakaan pesawat, kereta, memakan banyak korban, perang.
Tapi ada kematian senyap setiap jam dua ibu di salah satu pelosok di Indonesia meninggal karena melahirkan. Melahirkan itu peristiwa alami. Dan ini perlu menjadi kriteria keberhasilan pembangunan.
Kita biarkan ibu di Indonesia itu meninggal. Dan belum berhasil. Baru meningkat sedikit tapi belum berhasil. Secara signifikan.
Dan ini sudah berdekade tidak berhasil. Bagi saya itu tragis. Kita punya sila kemanusiaan ya.
Tapi masih angka yang cukup tinggi di Asia. Gitu-gitu. Nah maksud saya jadi ketika kita bicara talenta.
Ini kan membutuhkan talenta yang luar biasa. Agensi. Bahwa dia memutuskan sendiri sebagai kepala daerah. ini. Tidak tergoda ya oleh slogan-slogan entah partai, entah apapun begitu, tapi buat seperti ini.
Sorry, balik lagi ke Singapura nih. Iya. Singapura termasuk yang rendah kan kematian. Sangat. Dan saya melihat mereka tuh bisa mengamalgamasikan dua budaya.
Satu budaya pragmatisme. yang sangat dirangkul oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk kepentingan kedamaian. Dan terbukti kan, damai dan stabil selama 2000 tahun.
Angka kematian karena fliksi dan segalanya itu relatif rendah sekali dibandingkan angka di Eropa dan tempat-tempat lain. Itu membuktikan bahwa DNA kita tuh memang gak mau berantem. Satu sama lain.
Ya kalau bisa kita damai. Sesama tetangga. Tapi budaya yang satu lagi adalah budaya prinsip. Ini yang Singapura tuh kalau menurut saya jelas mengedepankan. Budaya prinsip tuh kalau menurut saya berkorelasi dengan excellence.
Jadi dia bulat untuk memastikan bahwa gue pengen warga gue tuh sangat berpendidikan. Kualitas kesehatannya. top notch, kualitas pendidikannya top notch, dan redistribusi sejahteraan juga top notch, dan harus berintegritas, harus bisa membuahkan akuntabilitas, dan segalanya.
Itu yang agak-agak kurang di negara-negara lain di Asia Tenggara. Jadi mereka lebih memprioritaskan budaya pragmatisme dibandingkan budaya prinsip. Nah ini kalau menurut saya penting untuk kita mengedukasi adik-adik kita agar mereka Bukan hanya bisa lebih mengedepankan budaya prinsip, tapi mengamalgamasikan budaya pragmatisme dan budaya prinsip.
Gimana Bu? Dalam hal-hal tertentu ketika pengambilan keputusan terutama untuk kebijakan publik ya, seringkali memang lalu pertimbangan pragmatis itu yang menjadi pilihan. Karena seringkali ada hal-hal yang harus diputuskan dengan cepat. Tetapi lalu disini pentingnya lalu tadi yang kalau menurut istilah Pak Gita itu budaya prinsip ya.
Ini hal-hal yang menyangkut etika, hal-hal yang menyangkut ideologi dan lain-lain pertimbangan baik dan buruk dan sebagainya ya. Ini perlu diimbangi tentu saja. Tapi kita ambil contoh ketika pandemi.
Itu kan betul-betul pertimbangannya adalah pragmatik. Pertimbangan pragmatik bahwa Vaksin dikembangkan dengan sangat cepat, pengujiannya sangat cepat, banyak jalur yang harus dipotong yang idealnya tidak. Tetapi karena ini ada sekian puluh juta nyawa yang harus diselamatkan. Miliaran bahkan. Jadi itu diambil.
Nah ini pengambilan kebijakan yang memerlukan langkah-langkah pertimbangan pragmatik seperti itu. In the meantime, proses yang didasarkan pada... Prinsip tadi itu tetap berjalan.
Karena riset tetap berjalan menurut jalur yang memang seharusnya. Nah dalam pengambilan kebijakan sebuah negara. Pembentukan atau pengembangan sebuah negara. Saya setuju sekali ada hal-hal yang memang tidak bisa lain diambil dengan pertimbangan pragmatik.
Dan pertimbangan pragmatik selalu adalah kebaikan terbanyak untuk... sebanyak mungkin orang kelemahannya adalah kemudian ada kelompok yang dikorbankan karena kan sebanyak mungkin orang kebaikan terbanyak untuk sebanyak mungkin orang nah bagaimana kelompok yang tertinggal ini tidak diabeikan nah ini pengertian kita kalau mengatakan demokrasi seringkali mengatakan demokrasi itu suara terbanyak, kita lupa bahwa ada sekelompok demokrasi sebetulnya kan satu suara satu orang satu suara, berarti kelompok yang tertinggal ini tetap perlu kemudian didengar misalnya melalui Pendekatan-pendekatan di dalam politik yang Saya lupa istilahnya Semacam intervensi Begitu ya Jadi memang perlu kecerdasan politik ya Dan saya kira Singapura memiliki itu Kecerdasan politik Nah ini yang tidak mudah kan Kita membutuhkan orang-orang yang Pak Gita tadi punya talenta Dan talenta itu terutama Salah satunya adalah kecerdasan politik Dan kesediaan Untuk melihat data Dan data ini kan berarti Dari ilmu Dari teknologi Kebijakan publik itu kan Perlu dilandasi dengan penemuan-penemuan Ilmiah Dan ini yang masih sangat sedikit Di kita Maaf sekali kita Terbuka saja masih ada kebijakan Yang pertimbangannya itu lalu Karena bisikan Padahal tidak bisa Nah disini kemudian diperlukan Pemimpin yang tadi mengapa Conscience itu penting Dan compassion itu penting Karena antara data-data Hasil-hasil Studi Tentang mana yang paling dibutuhkan Masyarakat dan seorang Pemimpin Ini kan ada satu jurang. Karena kan dia tidak bisa begitu saja. Ini data ilmiah kok. Data ilmiah itu kan tidak bisa menghasilkan kebijakan.
Tapi menjadi dasar bagi kebijakan. Tetapi ini ada jurang dan inilah jalan sepi seorang pemimpin. Nah jurang ini persis adalah pertimbangan-pertimbangan yang tadi.
Antara yang pragmatis dan yang ada compassion, ada conscience di situ. Makanya jalan pemimpin itu jalan sangat sepi. Karena dia harus berani dan dia harus punya kemampuan itu.
Berat ya tugas pemimpin. Berat dan memang dibutuhkan orang yang punya banyak bukan hanya pengalaman. Tapi dipenuhi dengan banyak sekali insight.
Entah dari membaca, entah dari divergensi. Dan belajar dari pengalaman sekitar. Bu, saya mau nanya. Agak shifting dikit.
Orang yang bahagia tuh, apa sih? Gimana sih definisi? Bahagia.
Ini sulit ya. Sebelum kita transisi ke astronomi setelah ini. Orang yang bahagia.
Tentu setiap orang punya ininya sendiri ya. Pengertiannya sendiri karena ada yang mengatakan itu suatu keadaan mental gitu ya. Itu pertimbangan psikologis tentu saja. Tapi ada juga yang melihat itu dari segi virtue, segi keutamaan gitu ya.
Segi makna. Apakah dia menjadi bahagia karena dia... Mencapai hal-hal baik di dalam hidupnya dan hal-hal baik itu bermakna bukan hanya dirinya tapi terutama juga bagi orang sekitarnya. Ada yang begitu tapi ada juga yang oh saya bahagia kalau hati saya gembira atau apa itu. Jadi ada yang seperti itu.
Jadi ya susah menjawab definisi bahagia karena itu pertanyaan apakah saya bahagia atau tidak begitu kan. Tapi orang kalau tidak bahagia, sulit ya. Saya sering bilang ke anak-anak saya, kalau kamu milih apapun dalam hidup kamu, kalau kamu tidak bahagia itu sulit.
Sama aja bohong. Iya. Dan bagaimana dia menjadi bahagia adalah dengan tadi itu menemukan yang hal-hal yang baik, yang bermakna, bukan hanya bagi dirinya tapi bagi orang lain. Apakah orang yang bahagia itu orang yang lebih bisa mengikhlaskan? Apapun konsekuensinya.
Orang kalau sudah bahagia itu kan dia merasa cukup ya. Cukup. Saya ini bahagia begitu.
Sehingga. Apapun yang terjadi itu ya dia terima begitu. Karena kebahagiaannya tidak ditentukan oleh hal-hal yang kemudian terjadi di sekitarnya. Tapi ditentukan oleh dirinya yang bisa kemudian mencapai atau memberikan yang baik. Jadi tidak ditentukan oleh apa yang terjadi.
Tapi apapun yang terjadi tapi dari dalam dirinya dia. mengeluarkan hal-hal yang baik dan bermakna. Ini akhir-akhir ini kita dengerin wacananya Elon Musk untuk membuahkan sistem yang lebih multi-planetary. Pandangan Ibu gimana?
Ini kan ya kalau dia kan ngomongnya kan ya ini kemungkinan atau kemungkinan besar akan terjadi ekstingsi secara masif. Jadi kita harus memikirkan alternatif. Tapi alternatifnya kok ke planet yang merah sih tuh. Nah itu gimana tuh?
Manusia udah mengimpikan ya bisa terbang dan tinggal di planet lain tuh dari mungkin kalau kita ingat fiksi-fiksi ilmiah kan dari sejak abad ke 17, 18, 16 sebelumnya itu ya. Bahkan Johannes Kepler pun menulis fiksi ilmiah hidup di bulan begitu. Tapi kalau kita bicara tata surya sejauh ini memang bumi tempat yang paling tepat. Untuk bentuk kehidupan seperti kita. Mars ya, tapi Mars itu tidak punya kandungan oksigen yang cukup bagi makhluk seperti bukan hanya manusia tapi makhluk di bumi.
Sehingga kalau mau pindah ke Mars itu perlu dibuat semacam lingkungan hidup yang menghasilkan oksigen yang cukup. Mungkin teknologi bisa suatu ketika ke situ. Tapi ini suatu pertimbangan yang sangat mahal.
Siapa yang nanti bisa sampai ke sana? Akan muncul lagi persoalan ketimpangan, ketimpangan generasi manusia yang bisa tinggal di Mars, hidup nyaman, membangkitkan apapun lah ya, temuan-temuan baru hidup ini. Tapi lalu bumi yang ditinggalkan merana.
Dan ini menjadi manusia-manusia yang menderita. Jadi kalau saya dengan pemahaman tentang sistem planet itu, Itu alih-alih mencari planet baru, mengapa tidak sejak sekarang, sebetulnya sudah sedikit terlambat ya, tapi sudah lah kita mulai mengubah gaya hidup sehingga bumi itu pelan-pelan bisa pulih kembali. Karena dengan gaya hidup sekarang ini, bumi itu sebagai sistem alam, Selalu bisa memulihkan siklusnya, tetapi dengan gaya hidup seperti ini, eksploitasi seperti ini, kesempatan untuk memulihkan dirinya itu yang tidak ada. Jadi tidak bisa lain kecuali mengubah gaya hidup.
Kalau tidak, silahkan orang-orang yang punya. modal yang cukup memikirkan itu, tapi lalu meninggalkan bumi bagi makhluk yang pelan-pelan punah. Tapi Mars tidak akan bisa seindah seperti bumi secara alamiah. Karena beda sekali. Tapi kalau argumennya bukan perubahan iklim.
Ini merupakan mass extinction. Kalau ada asteroid atau apa. Makanya kita harus punya contingency.
Kita perlu punya tempat persediaan. Tapi begini. NASA itu membuat beberapa skenario. Termasuk kan bisa tahu. Dengan teknologi yang ada sekarang.
Kapan sih akan ada benda yang mendekat. Yang membahayakan kita. Lalu mengirim. Mengirim pesawat antariksa untuk menghancurkan itu sebelum tiba ke bumi.
Contoh benda langit yang jatuh itu kan di Padang Tunguskaya di Rusia. Ada banyaklah lubang-lubang meteor yang sangat besar dan itu memang selalu bisa terjadi. Jadi ya tapi kalau mau pindah massal apa mungkin?
Berapa miliar? 8 miliar? Berapa pesawat antariksa, berapa biaya.
Jadi seperti saya lebih mendukung yang NASA kembangkan ya, membangun teknologi kemampuan-kemampuan untuk intersepsi. Jadi sebelum mendekat dihancurkan. Dan kita itu kan batu-batuan ya, kalau meteor atau komet dihancurkan.
Tapi bumi kemudian dirawat. Yang terakhir kecerdasan artifisial. Pandangan Ibu gimana? Utopian atau dystopian?
Saya tidak mau jatuh ke dua-duanya ya. Karena artificial intelligence, kecerdasan buatan itu kan fakta yang ada. Jadi itu adalah tanda-tanda zaman katakan demikian.
Yang ya sudah kita terima dan kita butuhkan. Tetapi kita sadar betul apa yang akan dihasilkan, apa yang akan dimunculkan, dan justru menantang kita untuk menanyakan di mana manusia bergampingan dengan mereka. Mereka adalah ciptaan kita. Saya sebut mereka karena dalam filsafat teknologi itu sudah berkembang empat jenis kecerdasan mesin.
Termasuk salah satunya itu yang punya kesadaran subjektif manusia. Kesadaran yang betul-betul tersembunyi. Sehingga bahkan kita tidak bisa tahu mesin ini berpikir apa. Itu sudah sampai level manusia. Jadi ya sudah kita terima.
Artinya terima dalam arti. Ya sudah kita kembangkan, tetapi kita mengerti betul seluruh konsekuensi dan risikonya. Pekerjaan-pekerjaan apa yang akan diambil alih.
Sehingga kemudian apa yang perlu dikembangkan oleh suatu negara misalnya. Dan ini perlu dari awal, sehingga gak selalu ketinggalan gitu ya. Lalu persoalan menata emosi ketika berhadapan. Jadi ya sudah dijadikan rekan kerja saja.
Tapi jangan sampai kemanusiaan kita hilang. Justru bagaimana kemanusiaan kita menjadi matang ketika mesin itu sudah bisa berpartner. Menjadi teman kerja kita.
Bukan dalam arti bercakap-cakap saja, tetapi kan banyak hal yang tidak bisa dikerjakan oleh manusia. Karena kecepatan terbatas dari berpikirnya. Itu bisa dikerjakan dengan jauh lebih efisien oleh kecerdasan buatan.
Kemarin si Yuval menulis artikel bahwasannya AI ini merupakan hack terhadap peradaban. Saya secara intuitif berpikir bahwa selama ini peradaban kita emang selalu di-hack. Kita mengalami evolusi kan. Apakah itu alamiah atau apapun lah.
Apakah itu yang benar cara berpikirnya? Kita terima aja bahwa ini bagian dari proses evolusi ke depan. Untuk kepentingan peradaban kita.
Terima bukan dalam arti pasrah ya. Karena kan ini juga teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Kita terima dalam arti kita memang memerlukan itu. Kalau kita lihat sejarah peradaban, selalu teknologinya maju, ilmunya juga maju.
Tetapi manusianya ketinggalan atau tidak begitu. Dan kita tidak diperalat nantinya. Sebetulnya kan diperalatnya bukan oleh teknologi. Tapi oleh kelompok-kelompok manusia yang berhasil menciptakan teknologi itu. Oleh para pemilik modal lah katakan.
Jadi bagaimana manusia lainnya ini kemudian tetap mengembangkan kemampuan untuk mengelola si teknologi ini. Yang dikhawatirkan memang sampai pada satu titik dimana. Teknologi ini tidak bisa, manusia menciptakan teknologi yang tidak bisa dia kendalikan lagi.
Itu ya. Saya melihat kemungkinan ada satu kan ketika robotnya Facebook itu tiba-tiba mengembangkan bahasa sendiri loh. Yang tidak bisa dipahami lagi oleh manusia. Itu bisa terjadi begitu.
Tapi kita bersiap-siaplah untuk. Untuk menghadapi segala macam teknologi seperti itu. Saya punya kepercayaan manusia itu selalu bisa mengatasi teknologi. Kalau dia betul-betul mengembangkan dirinya bukan hanya untuk dikendalikan oleh apa yang dia hasilkan. Saya punya keyakinan seperti itu juga.
Tapi dengan asumsi. Bahwa ini kan margin of errornya semakin kecil kan. Ini hanya bisa dikendalikan atau dikelola kalau kita tuh peka dengan kepentingan untuk terus menerus memultidisiplinerkan.
Diskusi, syukur-syukur, diskursus. Nah ini yang saya agak-agak kadang-kadang khawatir. Seringkali lebih terjadi individualisasi. untuk tidak melakukan diskusi apalagi diskursus yang multidisipliner. Ini yang kalau menurut saya akan membuahkan resiko.
Yang bisa nyambung ke distopia. Saya setuju sekali sekarang ini ilmu itu tidak bisa lagi monodisiplin. Ya sebuah perguruan tinggi kan negara. Kalau untuk kita bicara ilmu kita bicara perguruan tinggi dan lembaga research.
Itu perlu interdisiplin dan bahkan. Trans disiplin, inter disiplin itu antar bidang ilmu. Trans disiplin itu bahkan sudah keluar melampaui lintas disiplin ini karena melibatkan hal-hal dari luar ilmu. Dari masyarakat, dari dunia bisnis, dari agama dan sebagainya ya untuk membuat pertimbangan apa yang perlu kita lakukan.
Dan disini dengan tetap satu unsur penting. Kemanusiaan kita tetap kita jaga. Sulit, tidak mudah.
Tapi itu kita jadikan tantangan. Jangan sesuatu yang kemudian membuat kecil hati. Tetap perlu cermat selalu. Teknologi itu cepat sekali. Jauh lebih cepat daripada filsafat.
Daripada etika. Yang selalu muncul belakangan dampaknya. Nah ini yang perlu kita. Pikirkan betul maka anak-anak muda itu perlu menguasai kemajuan ilmu dan teknologi.
Ilmu dan teknologi itu bahasa untuk memahami kinerja dunia. Jadi perlu dikuasai dengan unggul tapi seni, sastra, lalu kepekaan batin ya, emosi. Itu berjalan seiring.
Wow. Ya terlalu ideal kali ya. Mimpi. Ini bisa ngobrol 4 jam. Kita udah ngobrol 2 jam.
Asik banget sih. Tapi I know you have to go. Iya. Terima kasih banyak loh Bu. Banyak terima kasih.
Banyak terima kasih justru diberi ruang semula gugup tapi akhirnya jalan juga. Santai aja. Kita harus terusin nih Bu. Lain kesempatan. Terima kasih.
Terima kasih. Teman-teman itulah Ibu Carlina Supeli dosen di STF. Seorang pemikir yang luar biasa.
Terima kasih. Terima kasih lho Bu. Sama-sama ya.
Bagaimana waktu itu? Iya, saya... Tujuan berarti di mana?
Saya ke kampung.