Transcript for:
Pemikiran Politik dan Kebebasan Pers

berkuasa dan bisa menggunakan tangan pemerintah, tangan-tangan pemerintah untuk mempersulit kita. Menjalani profesi prof sebagai wartawan dan juga sebagai aktivis dan lain-lain dengan berbagai macam rezim. Presiden itu kan beda-beda.

Prof cari aman itu sekarang atau dari dulu? Pada dasarnya dari dulu. Saya berhati-hati karena saya nggak mau jadi pahlawan. Berlaku oligarki nggak di situ?

Belum. Dan kita bisa jadi korban. Saya tidak mau seperti itu. Pada usia tua saya. Tapi Papua, namanya Irian waktu itu.

Irian Barat. Itu belum mau diserahkan oleh Belanda, akan dibicarakan kemudian. Dan bertahun-tahun itu menjadi soal. Tidak selesai-selesai, sampai akhirnya Bung Karno mengumumkan rencana militer untuk merebut Irian Barat. Tentara itu adalah alat negara.

Timbul persoalan, alat negara apa alat pemerintah? Sajalah, alat negara, bukan alat pemerintah. Hai sensasi baru nikmati waktu Waalaikumsalam kabar baik Corona-coronaan ya itu ya kita nih jadi korban semua Termasuk saya karena tidak keluar-keluar, kan di rumah aja, malas cukur jadi saya bajenggot. Weh!

Buat apa cukur-cukur? Mahal loh cukur itu pisau cukur. Oh iya.

Jadi ya udahlah. Nah sekarang tiba-tiba saya diundang kesini gak sempet cukur juga. Boleh dong kita lepas masker.

Saya lepas aja. Kalian lihat. Biar anda lihat saya bajenggot.

Hai penampilan baru ya Bro Iya jadi berapa lama udah enggak cukur-cukur sudah biasanya sebulan sekali atau minggu sekali karena aneh juga rasanya tapi ini sudah Berapa minggu ini saya belum cukur. Kayaknya termasuk rambut juga gondrung ya sekarang ya? Ya males ketukang cukur. Kan saya ketukang cukur biasanya ke mal. Saya sudah 6 bulan tidak lihat tampak.

lapangnya Molly tuh enggak berani saya kalau cukur sendiri kan bisa tuh prof ya repot gitu dikira pula pelit tidak mau bagi duit sama tukang cukur jadi dirumah ngapain aja Prof membaca Oke kalau enggak saya bisa gila di rumah saya membaca dan berharap bisa menulis buku kan dan memberi kuliah memberi kuliah pakai zoom itu capek saya biasanya memberi kuliah kan di kelas bisa jalan-jalan bisa pamit ke kamar kecil ini sekarang gak bisa duduk disitu satu kali memberi kuliah itu dua jam penuh tidak bisa bergerak bahkan saya bisa tahan tidak ke kamar kecil karena kalau saya meninggalkan kamera kan hilang ya Jadi saya harus duduk menunggu kuliah itu saya berikan, dilanjutkan dengan tanya-jawab dengan para mahasiswa. Dua jam paling tidak harus mengeteng di depan komputer. Iya, metengkren. Metengkren istilahnya. Begitu.

Berarti kegiatan Prof selama masa Corona ini Ngajar lewat Zoom Baca buku Buku apa saja Bukannya udah banyak banget Prof Buku yang Prof baca Untuk Anda ketahui Koleksi buku saya itu yang saya bangun Bertahun-tahun Itu sekitar 10 ribu. Dari tahun berapa itu? Dari tahun sebenarnya ya SMA.

Dan karena saya banyak berpergian, saya kan di Tempo itu saya salah satu pendiri majalah Tempo. Saya itu menjabat dua jabatan di situ. Kepala Des Film, kritik film juga, dan Kepala Des Luar Negeri.

Sebagai Kepala Des Luar Negeri, saya banyak perjalanan ke Jepang, Korea, ke Timur Tengah, ke Eropa. Nah, saya selalu menyempatkan membeli buku. Dari uang saku saya selalu ada, saya sisihkan beli buku. Bahasa setempat atau bahasa Inggris? Bahasa Inggris.

Bahasa Inggris, oke. Saya kan pernah belajar Perancis, pernah belajar Jerman juga. Tapi setengah mati kalau saya pakai itu. Nah, buku-buku itu pada usia saya yang sudah senja ini, harus saya pikirkan jangan tersia-sia.

Itu kan duit banyak itu. Jadi saya putuskan menghibahkan buku itu ke Perpustakaan Universitas Islam Indonesia di Jogja Sudah atau akan? Sudah dalam proses Sudah ditandatangan di MUU MUU MUU Sekarang sudah disusun di rumah Minggu depan akan dia mulai diangkut Wow 10 ribu Kita sudah mulai kemarin dipilih Sejumlah 600 buku Semua koleksi buku film saya sudah mau diberangkatkan.

Kenapa ke Jogja jauh-jauh sekali, Prof? Tidak di Jakarta dulu. Tadinya saya mau di perpustakaan nasional.

Sudah ada understanding, MOU. Tapi rupanya bapak yang mengepalai itu tidak mengerti apa itu corner. Corner itu adalah tempat di satu perpustakaan yang menyimpan koleksi orang-orang tertentu yang dihibahkan ke... perpustakaan itu. Bapak itu gak mengerti.

Jadi saya batalkan. Sebagian buku saya sudah berangkat, ada di perpustakaan nasional. Yang sisanya, yang banyak itu, Insyaallah saya akan serahkan ke UI di Jogja. Nah, saya tadi berbicara dengan rektornya, saya bilang ini sudah siap, Anda kirim orang jemput, saya tambahkan cerita.

saya sedih ketika saya memila-mila ada banyak kenangan ya ya memila-mila buku saya tentang film yang saya yakin banyak sekali yang orang gak punya buku-buku itu karena buku itu tidak dijual di Indonesia kan sebagian besar saya beli di Amsterdam di Paris, di London yang sekarang mungkin sudah tidak dicetak lagi kan iya karena itu buku-buku lama Tapi masih berguna untuk dibaca sebab banyak membicarakan sutradara-sutradara dan film-film yang klasik. Yang bikin Prof sedih apa? Ya saya teringat bagaimana sebagian buku itu belum sempat saya baca. Kan beli-beli-beli dan saya kan sibuk. Ketika sekarang saya ada waktu.

Ya ini harus dikatakan, COVID ini juga menguntungkan loh buat saya. Karena banyak baca? Saya harus di rumah. Dan karena saya punya budaya membaca, saya membaca. Jadi saya tidak bingung begitu loh.

Tidak, tidak, ini menolong saya untuk tidak cepat linglung. Jadi ada hikmahnya. Jadi ketika buku itu saya lihat, buku ini saya beli di Paris, beli di London, di Amsterdam, di Berlin, tidak semua sempat saya baca. Karena setelah buku itu tertumpu, saya belajar politik kan di Amerika. Jadi belum sempat dibaca, sedih saya serahkan kepada perpustakaan.

Tapi itu lebih baik. Dari pada? Dari pada sia-sia kalau saya meninggal, nanti pasti meninggalkan. Usia saya sudah masuk 78 tahun.

Dan gak ada yang ngurus, anak saya ada yang di Amerika, yang di Indonesia tidak tertarik. Yang di Amerika mungkin tertarik dikit, tapi dia kan sudah di Amerika itu banyak buku. Jadi tersia-sia nanti itu barang diambil-ambilin orang dan tidak dibaca dan tidak dipejaga. Jadi saya hibakan ke perpustakaan. Yang yakin semua orang akan cari untuk baca begitu ya?

Saya berharap begitu, tergantung. prestasi itu. Saya bilang pada rektornya, itu buku saya tentang film itu banyak dan penting-penting. Anda bisa kampanyekan supaya di universitas Anda ada studi tentang film.

Enggak ke IKJ gitu Prof. Saya pernah tawarkan ke Sardono, waktu itu dia rektor, ingat Sardono. Enggak pernah ada tanggapan positif. Terakhir-terakhir ini saya pikirkan lagi, tapi...

Tidak ada tanggapan positif. Mereka tidak perlu. Kalau perlu kan dia ambil.

Saya ada bilang ini buku film, saya banyak. Tidak ada tanggapan sampai dia berhenti jadi rektor. Sekarang sudah diganti. Nah, saya ada kontak dengan rektor Universitas Islam Indonesia.

Yaitu gara-gara wawancara itu. Saya diwawancarai siapa nama itu? Helmi Yahya. Oh, oke.

Saya jelaskan persoalan itu. Dia nonton dan dia tertarik. Langsung kontak?

Dia kontak saya lewat Prof. Didi Rahbini, teman saya. Jadi akhirnya kita ketemu, bikin memberandum kesepakatan. Banyak hal yang kita bicarakan. Dan sebentar lagi sudah mulai dikirim ke Jogja.

Oke. Janjinya satu. Buku itu perlahan-lahan dikirim ke Jogja.

Kalau saya sudah meninggal, sisanya segera angkut. Supaya keluarga saya tidak sibuk ngurusin. Saya punya koleksi buku banyak.

Itu Anda memelihara orang yang membersihkan. Menjaga rumah supaya disuntik. Tidak rayap? Rayap. Biayanya mahal.

Iya. Kira-kira begitu. Oke.

Jadi Prof itu sepanjang masa Corona ini ngajar juga, baca juga. Kalau orang tuh Prof, orang tuh lihat sosial media, baca berita di sosial media, di handphone, baca juga gak Prof? Iya saya pagi-pagi itu menyempatkan membuka saya punya apa, HP membaca itu. Iya. Mula-mula saya suka komentari.

Iya. Lama-lama saya cari aman aja. Kenapa? Ya kita tidak pernah tahu, kita merasa tidak mengkritik pemerintah, tapi ada orang di dekat pemerintah yang punya kepentingan, terganggu dan dia bisa mempersoalkan kita.

Untung perhatikan Presiden Jokowi berapa hari lalu kan, membicarakan, mengevaluasi kembali undang-undang apa, ITE segala macam. Karena banyak orang kena itu. Saya nggak berani. Pada usia saya seperti ini, saya malas kalau harus berhubungan diinterogasi oleh polisi.

Maksudnya bukan gak berani seorang profesor Salim Said, yang bicara cukup keras gitu dengan pengetahuan yang luas, masa gak berani gitu? Bukan gak berani, mungkin malas aja berurusan gitu ya Prof ya? Iya lah, dan begini ya. Saya tadi menjelaskan kepada teman Anda itu, saya ini bekas aktivis tahun 65, 66. Gara-gara itu saya harus pindah sekolah.

Saya kan mahasiswa psikologi tadinya. Karena kerja saya demo, bikin radio gelap. segala macam, terlambat sekolah saya dikeluarkan, tapi tidak diusir, disuruh pilih sekolah. Diurus oleh sekolah saya itu, saya pindah ke FISIP, saya belajar sosiologi. Saya kemudian lulus sebagai sosiolog, yaitu menulis buku Sejarah Sosial Film Indonesia.

Nah, jadi artinya ketika diajari, ayo ikut apa begitu. Saya bilang, saya kan sudah pernah ikut dulu. Masa saya sampai tua kerjanya begitu?

Kalian yang muda-muda dong. Kalau sekarang kan ngasih kritik, ngasih masukkan. Satu dua kali saya lakukan.

Tapi beginilah, karena saya ini kan guru besar politik. Iya justru itu Prof. Ada masalah yang Anda harus tahu. Dalam sistem pemerintahan sekarang, Itu kita tidak tahu sebenarnya siapa yang betul-betul berkuasa. Di zaman Orde Baru gampang, Pak Harto.

Tentara dikuasai Pak Harto. Sekarang ini, siapa sebenarnya yang berkuasa? Karena kalau kita tidak tahu siapa yang berkuasa, kita ngomong merasa mengkritik pemerintah, Pak Jokowi misalnya, ada orang lain yang merasa kepentingannya terganggu.

Karena itu Anda tahu sekarang kenapa kita menyebut sistem kita ini sekarang oligarki. Oligarki itu bukan satu orang yang berkuasa. Banyak orang yang berkuasa. Banyak kepentingan-kepentingan yang kita salah duga, kita mengeriti A, ya marah B, marah C. Jadi cari aman, ya sudahlah.

Kita lihatlah, apakah ada perubahan setelah Pak Jokowi mau mengubah Undang-Undang ITE. ITE, ya. Dan itu juga berhubungan dengan bagaimana polisi menafsirkan itu.

Oke. Kalau polisinya menerima saja laporan, komplain orang, maka habislah kerja polisi meladani akibat ITE itu. Dan saya gak mau jadi korban.

Kira-kira. Jadi saya berharap bisa menulis buku. Dan itu makanya saya membaca banyak, supaya itu lebih aman, lebih akademik.

Oke. Prof, Prof itu mengatakan cari aman. Ya.

Cari aman itu sekarang aja atau dari dulu? Prof itu kan meng... Menjalani profesi prof sebagai wartawan dan juga sebagai aktivis dan lain-lain dengan berbagai macam rezim presiden tuh kan beda-beda tuh ya?

Iya, iya. Prof cari aman itu sekarang atau dari dulu? Pada dasarnya dari dulu.

Saya berhati-hati karena saya gak mau jadi pahlawan. Oke. Gitu kan?

Jadi, tapi kan dulu itu kita ketau betul siapa yang berkuasa. Tadi saya sudah katakan, Orde Baru itu Pak Harto. Jelas, kalau kita tidak menyerang Pak Harto, keluarga Pak Harto, itu relatif kita aman. Pada saat itu ya? Pada saat itu.

Sekarang karena ini yang berkuasa oleh sistemnya oligarki. Jadi pertanyaannya adalah, who is really in charge in this country? Siapa sebenarnya yang berkuasa di negeri? Prof tahu jawabannya. Ya oligarki itu.

Macam-macam kepentingan yang akan mempersulit Anda kalau kepentingan dia terganggu. Mungkin kepentingan Pak Jokowi tidak terganggu. Tapi kan yang berkuasa bukan hanya Pak Jokowi. Dalam satu sistem oligarki, macam-macam kekuatan berkuasa dan bisa menggunakan tangan pemerintah, tangan-tangan pemerintah, untuk mempersulit kita.

Itu makanya saya cari aman. Zaman presiden sebelumnya Pak SBY mundur lagi, di situ ada Ibu Mega, Gus Dur, Pak Habibi, berlaku oligarki nggak di situ? Belum. Belum? Belum.

Nah ini ada cerita aja tentu, bagaimana Pak Jokowi menjadi presiden. Orang-orang yang berkuasa sebelumnya itu dukungannya kan jelas. Gus Dur itu jelas dukungannya.

Pada umumnya orang Islam. khususnya orang-orang NU lalu ketika Ibu Mega kan jelas PDIP SBY itu kan populer mendapat dukungan dia punya partai waktu itu yang sekarang lagi rame-rame katanya mau dikudeta itu Partai Demokrat Pak Jokowi ini nobody child dia tidak punya partai pengalamannya adalah mengurus kota Solo sebentar kemudian mengurus Jakarta. Jadi pengalaman politiknya, koneksi politiknya, tidak seperti politisi-politisi sebelumnya. Dalam keadaan seperti itu, maka dia banyak tergantung kepada kekuatan-kekuatan yang lain. Itulah yang menciptakan oligarki.

Oligarki ini punya kepentingan-kepentingan. Jadi kalau Pak Jokowi bilang, kritiklah pemerintah. Ya kita kritik pemerintah. Betul, Pak Jokowi itu orang baik. Tapi apa tidak ada kepentingan lain yang terganggu?

Dan kepentingan lain itu bisa menggunakan tangan pemerintah. Pemerintah itu isinya kan oligarki aja. Bisa menggunakan kekuatan pemerintah untuk mempersulit kita. Pak Jokowi mungkin tidak terganggu, tapi orang-orang itu terganggu. Dan kita bisa jadi korban.

Saya tidak mau seperti itu pada usia tua saya. Lebih baik saya berkonsentrasi sebagai akademisi. Membaca, mengamati Dan menulis buku Mudah-mudahan saya masih cukup umur Kesehatan Menyelesaikan buku yang saya ingin saya tulis Tentang apa bro? Saya ingin bicara tentang Salah satu yang saya ingin bicarakan adalah Pancasila Sebab menurut saya Kesalahan Sejumlah orang tidak semua melihat Pancasila itu sebagai sesuatu yang sudah selesai.

Saya merasa tidak. Bukannya memang sudah selesai, Prof? Ya, teksnya sudah selesai.

Oke. Tapi teks itu kan tidak mengatur semua sampai detail. Coba lihat, ada nggak undang-undang yang mengatur penyelaksanaan Pancasila? Kan itu tafsiran, tafsiran, tafsiran. Dan itu menarik, Anda lihat.

Kalau yang berkuasa itu, hajemoni, kuat, dia bikin tafsiran sendiri. Oke. Dan kalau Anda lawan, Anda dituduh anti-Pancasila. Oke? Makanya diamatilah perkembangan peran Pancasila itu sejak dipidatokan, sejak disetujui oleh para elit founding fathers.

Itu kan lain dari Bung Karno, lain dari Pak Arto, dan sekarang ini ada percobaan membuat lain lagi. Nah perubahan lain-lain ini itu kan dilakukan oleh kekuatan dominan. Hajemonik istilah politik. Itu yang belum selesai berarti ya?

Nah proses ini kita belum pernah sampai kepada kesepakatan. Jadi masing-masing tafsiran dan bukti bahwa belum selesai, tafsiran itu mendapat tantangan. Nasakom Bung Karno, kan mendapat tantangan kan?

Terjadi gestapo, korbannya banyak. Asas tunggal Pak Harto. Masih ingat persiapan Tanjung Priok?

Nah, mudah-mudahan sekarang ini yang apaan hanya mau dibikin aturan baru lagi membawa-bawa Eka Sila, Trisila, mudah-mudahan itu debat saja. Jangan menjadi yang fisik. ada korban lagi.

Jadi Pancasila ini karena terus menerus tidak established, yang kita punya cuma prinsipnya, maka terjadi terus perkelahian di dalam menafsirkannya. Misalnya nanti rezim sudah berganti, masih terus seperti ini. Begini, ini ada yang baru kan dalam sejarah kita. Dulu itu Pak Bung Karno kan kita tidak tahu kapan berakhir.

Dia pernah jadi presiden seumur hidup. Tapi akhirnya dijatuhkan setelah, sebagai akibat kegagalan beliau, gestapu. Pak Harto juga begitu.

Kita tidak pernah tahu kapan berakhir. Terjadi krismon, jatuh. Lalu kita bikin perubahan.

Saya waktu itu, anggota MPR ikut mendorong pengubahan Undang-Undang Dasar 45 supaya masa jabatan presiden dua saja. Dan itu yang berjalan laku sekarang kan. Nah akibatnya apa? Tiap paling lama, setiap 10 tahun sekali, dua masa jabatan, ada pemilihan umum. Tidak menjadi hegemonik kekuatan yang ada.

Bisa berulang lagi berkuasa. Tapi orangnya akan lain, ya dan masyarakat berubah. Jadi saya harap ini akan menolong kita untuk satu waktu menyadari bahwa Pancasila itu kesepakatan awal.

Kalau tidak dikelola dengan baik, selalu mau dipaksakan tafsiran kekuasaan Haji Monik, ya ribut terus. Nah saya ingin... Meneliti dengan baik dan menuliskan pikiran yang saya ceritakan kepada Anda.

Kapan beres? Sekarang. Well, kan itu kan bacaannya kan banyak. Tapi ada target misalnya tahun 2021, 2022 selesai. Mudah-mudahan sebelum COVID selesai Sebelum COVID selesai Ini waktu saya Membaca ini gara-gara COVID Kalau enggak, enggak sempat dulu Jangan sampai Prof berharap COVID jangan dulu selesai deh Buku saya belum beres Jangan sampai begitu tidak berpikir begitu.

Sebab korbannya akan banyak kan. Saya mungkin aman karena saya di dalam kamar. Tidak ketemu orang. Ketemu orang rumah saya aja.

Pembantu rumah tangga aja gak boleh masuk di kamar saya. Terus transfer makanan itu? Kalau itu kan saya turun ke ruangan makan. Disediakan makan oleh keluarga.

Tapi orang lain gak boleh ikut. Artinya berat juga. Dan banyak orang yang susah.

susah kan. Ekonomi juga turun banyak. Oh iya. Coba misalnya contohnya India itu, orang miskinnya kan banyak betul.

Bahkan mereka tidak punya air mengalir. Saya gak cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir, itu sulit. Banyak korbannya.

Di Amerika aja banyak penganggur. Ya di Indonesia juga. Jadi kalau saya berdoa COVID biar lama-lama supaya saya nulis buku itu kriminal.

Itu kriminal. Itu dosa. Iya, iya, iya.

Prof salah satu berita yang sedang rame hari ini juga, hari ini ya hari ini banget. Ini mengenai Papua. Iya.

Mau gak mau saya mau nanya dikit aja sama Prof. Walaupun Prof katanya agak malas lah cerita soal TNI bukan TNI, Papua dan lain-lain ini salah satunya nih Prof. Papua memanas OPM tentang TNI. TNI perang di Bandara Sugapalama ini antara OPM dan TNI panjang sekali. Saya melihat peristiwa ini. Susah saya ngomong, tapi beginilah.

Mungkin, mohon maaf, mungkin kekeliruan kita soal Papua berbulah dari awal. Awal itu? Setelah Belanda pergi.

Kan ada perundingan di KMB, di JNH. Sepakat Indonesia merdeka menjadi negara federal. Ada banyak hal yang disepakati.

Tapi Papua, namanya Irian waktu itu, Irian Barat, itu belum mau diserahkan oleh Belanda, akan dibicarakan kemudian. Dan bertahun-tahun itu menjadi soal, tidak selesai-selesai, sampai akhirnya Bung Karno mengumumkan rencana militer untuk merebut. Irian Barat, yang dulu yang memimpin tentara di Tunjuk waktu itu adalah Pak Harto, Panglimanya.

Akhirnya, singkat cerita. Dengan bantuan tekanan dari Kennedy, Presiden Amerika Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Itu juga tidak mudah waktu itu. Dan yang lebih tidak mudah lagi menurut saya, Belanda sudah menanam bom-bom waktu di Irian Barat yang meledak terus sampai sekarang.

Dengan sengaja menanam itu, dengan tujuan. Belanda itu kan tidak ikhlas menyerahkan Indonesia Merdeka. Jadi, salah satu gagasan dalam zaman revolusi, gagasan Belanda, salah satu, ada beberapa gagasan, adalah Indonesia Merdeka dari negeri Belanda.

Tapi dipimpin oleh orang-orang keturunan Belanda di Indonesia. Soal praktek itu kan kejadian di Afrika Selatan. Merdeka tapi apartheid.

Nah ada gagasan itu. Nah ketika gagasan itu tidak jalan, karena dilawan oleh Indonesia, mereka berharap Papua atau Irian Barat itu menampung orang-orang yang mau merdeka dari Belanda. tetapi tidak berada di bawah Indonesia. Nah, itu sampai sekarang bom-bom waktu itu masih terus meledak sana-sini. Lalu itu menimbulkan akibat lain di Indonesia.

Apa itu? Orang Indonesia bertanya, banyak yang bertanya, loh kalau orang Islam menembak-nembak, apa itu, kok dianggap teroris? Kalau di Irian itu sudah jelas melawan TNI, mau merdeka, itu kok tidak dianggap teroris? Jadi ada komplikasi domestik dan ada komplikasi... Internasional.

Kayak double standard gitu? Begitu pandangan orang. Jadi pemerintah itu memikul beban yang berat soal Papua.

Jadi Papua itu dianggap merontakan bersenjata. Tidak disebut teroris. Padahal tindakannya lebih kejam dari teroris yang dilakukan, dituduhkan. Sebagian tentu benar. Bahwa orang Islam itu mau...

Melepaskan diri dari Indonesia, mau mendirikan syariat. Itu kan, itu belum tentu didukung banyak orang karena orang Indonesia, orang Islam itu kan berubah. Itu tadi. Pancasila itu makin lama makin diterima oleh banyak orang dulu enggak.

Cuman persoalan Pancasila. adalah penafsiran, perbedaan penafsiran. Nah, kembali kepada Irian Barat, kepada Papua tadi, bom-bom yang ditanam oleh Belanda itu tidak seluruhnya berhasil kita atasi. yang sekarang menimbulkan pengacauan.

Nah, yang dilakukan oleh TNI sekarang itu sudah tepat atau belum, Prof? Dalam menangani bom-bom itu tadi. Bom-bom itu adalah politik, bukan teknis. Jadi, karena itu saya bilang saya nggak mau bicara terlalu banyak. Saya nggak tertarik.

Artinya ini akan terus begini? Ya, ya. Bagaimana ya? Gak ada cara yang jitu untuk menyelesaikan Papua misalnya.

Macam-macam cara telah dilakukan. Persisnya apa? Saya lama-lama gak tertarik. Karena saking panjangnya dan gak selesai-selesai.

Kita memerlukan pemikiran-pemikiran dan langkah-langkah yang... Tegas menyelesaikan itu. Nah itu sudah dilakukan pemerintah. Ada OTSUS, ada APA, ada...

Sehingga pernah dikatakan bahwa uang yang dikirim ke Irian Barat... Papua sekarang itu lebih besar dari apa? Saya udah lupa tepatnya, itu Yusuf Kalla pernah ngomong.

Jadi artinya tidak betul kita tidak ngurus Papua. Tapi ya begitu itulah. Apa yang salah? Saya gak bisa jawab. Termasuk antara TNI menembak mati OPM, OPM juga menimbulkan korban di TNI.

Ya itu lah. Dulu waktu Aceh, saya kan pernah sehat Kapolri waktu itu. Ya. Sampai baru, sekarang ini baru saya tidak lagi. Itu saya mengusulkan dalam menghadapi organisasi Aceh Merdeka itu apa namanya, Gok Gam.

Gam. Itu saya usulkan pada Polri, Kapolri waktu itu, siapa namanya sih. Awal reformasi, agar jangan mengirimkan banyak BRIMOP. Kirimlah pasukan-pasukan yang terlatih lebih baik menghadapi perang guerilla.

Pasukan berarti dari? Ya TNI. Tapi saya nggak tahu bagaimana pengaturannya. Tapi Anda ingat waktu itu banyak BRIMOP yang meninggal. Sekarang saya nggak bisa kasih nasihat.

Tak capek saya berpikir-pikirkan itu. Sebab di dalam negeri banyak soal lain yang menarik perhatian. Apa misalnya, Prof? Loh, kekacauan-kekacauan yang timbul akibat perencanaan pemerintah. Yang kemudian dipersulit oleh adanya COVID.

Itu kan duit banyak. Yuk bayangkan. Ada rencana memindahkan ibu kota yang saya kira tidak akan jadi. ada membangun jalan tol, elevated highway di seluruh Jawa, sebagian di Sumatera.

Bahkan ada pembangunan kereta api, rail dari Makassar ke Parepare. Padahal penduduk Sulawesi Selatan itu kan kecil. Dan kalau itu dipaksakan, sudah dibangun railnya beberapa kilometer gitu, itu perusahaan pengangkutan yang pakai mobil bisa mati.

Padahal itu usaha rakyat. Nah banyak hal-hal seperti itu yang menurut saya perencanaannya tidak terlalu teliti, tidak terlalu rapi. Visibility study yang...

Kurang meyakinkan dan itu memberatkan pemerintah sekarang. Terutama menjadi makin berat karena adanya COVID. Banyak orang tidak punya pekerjaan.

Perusahaan tidak jalan. Jadi pemerintah sulit mendapatkan duit untuk membiayai biaya negara. Tapi COVID di Indonesia itu memang bisa dikatakan terparah di dunia nggak sih? Saya nggak punya pengetahuan membandingkan.

Saya tidak tegak memperhatikan. Tapi kalau prosentase orang mati katanya, Amerika lebih besar. Nah itu persoalannya lain lagi. Karena Trump itu, yang baru diganti, tidak terlalu memperhatikan soal itu. Yang dia perhatikan membuat pagar yang membatasi.

Meksiko dengan Amerika. Supaya orang Hispanik dari Selatan Amerika dikurangi atau dicegah masuk ke Amerika. Tapi COVID tidak terlalu diperhatikan.

Akibatnya banyak sekali orang Amerika mati. Dan yang banyak yang mati itu yang menarik itu adalah orang-orang hitam. Kenapa? Orang hitam itu kan banyak yang miskin. Kalau Anda miskin, susah menghadapi COVID.

Pertama Anda miskin. COVID itu biaya besar kalau kena. Besar. Misalnya waktu saya di Amerika pertama tahun 80, itu ada serangan bahwa panas.

Seluruh Amerika, saya masih ingat 4 juta ekor ayam meninggal, saya ingat. Itu tahun 1980, saya masuk Amerika 1979. Yang paling banyak mati adalah orang hitam, karena mereka tinggal di perumahan. yang tidak kuat bayar AC banyak yang meninggal nah itu menimbulkan konflikasi baru di dalam politik Amerika yang sekarang dihadapi oleh Joe Biden bahkan ada kampanye di Amerika saya lihat di CNN mengatakan kita semua pindah ke selatan saja, supaya kita menguasai selatan dan kita bisa bicara ke pemerintah pusat yang banyak dikuasai oleh white supremacy. Jadi menjadi komplikatif politik Bukan hanya soal kesehatan Prof itu kan ngajar TNI juga ya? Iya Ngajar TNI itu udah dari tahun sekian sampai dengan sekarang Dan pasti saya yakin banyak murid-murid prof pada saat itu Sekarang sudah jadi petinggi-petinggi TNI Udah pensiun Pak Nurmantio itu pernah jadi mahasiswa saya di SESKO TNI, Kolonel Nurmantio.

Pak Muldoko itu pernah duduk di kelas saya, di SESKO TNI. Dan yang pensiun-pensiun itu yang lain banyak. Pak Bagio itu, KSAD, murid saya di Lemanas. Bernard Sondak, KSAL, itu pernah jadi murid saya di...

Lemah Nas, dan banyak lagi. Yang saya tidak ingat, kalau mereka tidak mengingatkan saya, saya tidak ingat bagaimana mau saya ingat kalau saya mengajar di Sesko TNI di Bandung. Itu satu kelas itu 150 orang.

Oh jadi tidak hafal satu-satu. Dan tentara itu kalau sudah pakai topinya. Sama semua.

Sama saja semua. Jadi ada yang ketemu saya mengatakan, eh Pak saya dulu murid Bapak loh, di mana? Oh.

Oke. Itu menolong saya juga. Dulu saya pernah membaca Henry Kissinger Amerika. Dulu kan guru besar di Harvard. Iya.

Dia pernah bilang, saya gak pernah kenal mahasiswa saya. Saya pikir sombong amat. Sombong amat. Ternyata saya juga mengalami itu. Kayak sekarang, kelas saya di Unhan, Universitas Pertahanan, namanya Perang Semesta.

Tentu saya tidak mengajari perang, saya mengajari politiknya. Saya gak kenal mahasiswa saya itu, apalagi sekarang kan kita pakai Zoom kan. Cuma kelihatan kepalanya doang. Ketika saya ketemu mereka di kelas dulu, ketika belum COVID, itu pun saya nggak ingat mereka.

Kalau ketemu saya, mereka ngingatkan, saya tanya, kapan Anda jadi murid saya? Oh, tahun ini. Sama dengan polisi.

Polisi banyak sekali murid saya. Sampai hari ini saya masih ngajar S2 PT IK. Dulu S1, sekitar tahun lalu.

Dan murid-murid saya saya kira sudah ada yang general juga, polisi. Apa rasanya bedanya ngajar polisi dan ngajar TNI itu? Begini, di zaman Orde Baru sikap saya mengajar adalah membuat TNI itu...

Menyadari bahwa keadaan masyarakat itu membuat mereka diputuhkan untuk terlibat politik. TNI ya? TNI.

Setelah reformasi, saya menjelaskan kepada mereka bahwa keadaan sudah berubah. Dwi fungsi. Kemarin saya mau mengajar, kemarin siang itu, saya mengajar murid saya sekarang di Universitas Pertahanan itu. Satu kelas itu, kolonel, memang gak pernah dibawa itu. Ada satu brigjen.

Saya jelaskan kepada mereka bahwa tentara itu adalah alat negara. Timbul persoalan, alat negara apa alat pemerintah? Saya jelaskan.

Alat negara, bukan alat pemerintah. Harus saya jelaskan sejarahnya. Saya mulai bicara mengenai General Sudirman dan perkembangan.

Dan ini saya sudah nulis buku kan mengenai itu. Jadi silakan baca buku saya mengenai ini, ini, ini. Bahwa sejarah TNI itu bukan alat pemerintah. Alat negara.

Nah, bisa kejadian negara dengan pemerintah itu tidak sejalan. Nah, itu tantangan yang dihadapi oleh TNI. Dia bagaimana harus bersikap?

Saya terus kembali lagi kepada sejarah bahwa kalau rakyat tidak mendukung TNI bedil-bedilnya itu tidak ada gunanya dalam berpolitik. Itu harus ada dukungan dari rakyat. Jadi Anda harus melihat tren itu kemana.

Sehingga ada istilah mengatakan begini, kalau baru satu dua orang demo tentara diem. Kalau lebih banyak demo, maka mereka melihat kalau itu menguntungkan negara, mereka dukung negara. Tapi kalau yang demo sudah sangat banyak, dia akan milih rakyat.

Artinya, dia melawan pemerintah. Sebab memang sumpahnya bukan mendukung pemerintah. Setia kepada negara, bukan kepada pemerintah. Jadi artinya pemerintah sipil yang berkuasa sekarang harus berhati-hati.

Kalau mereka tidak mengelola negara dengan baik, timbul perlawanan banyak, maka tentara pada tingkat tertentu harus bersikap. Oke, walaupun Panglima Tertinggi adalah Presiden. Itu lagi, istilah Panglima Tertinggi itu sebenarnya tidak ada. Itu dulu dipakai Bung Karno.

Dia menafsirkan Pasal 10 Undang-Undang Dasar 45. Dia mengatakan Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas akadara laut dan udara. Dia tidak menghubungkan dengan pasal berikutnya. Pasal-pasal berikutnya menyebutkan Presiden itu mengumumkan perang dan damai.

Artinya presiden itu menguasai tentara sebagai aparat politik bukan untuk dicampuri ke dalam. Nah ini menjadi kacau sebenarnya kalau kita telusuri. Bung Karno itu berpakaian tentara. Pakai bintang kan?

Iya. Itu ada dampaknya. Dampaknya ketika Jogja diduduki, maka tentara kecewa Bung Karno ditangkap.

Kenapa kecewa? Karena sumpah prajurit, sumpah TNI, tidak mengenal menyerah. Jadi Pak Dirman dalam keadaan paru-paru sebelah, ditandu, itu tidak mau menyerah kepada Belanda.

Dan begitulah anggota TNI. Sejak itu timbul masalah sebenarnya antara, bukan konflik, ketidakserasian antara Bung Karno dengan tentara. Itu memuncak setelah Gestapo. Kembali ke tahun sekarang. Sekarang ini mestinya dijelas.

Presiden harus menyadari, dia gak boleh mencampuri tentara. Secara teknis, ngangkat ini, ngangkat itu, itu ada mekanisme di dalam tentara sendiri. Jangan dicampur-campuri, karena dia bukan pimpinan tentara dalam pegerjaan.

Karena mungkin itu ada label panglima tertinggi. Ya itulah kesalahan. Kesalahan yang dikoreksi.

Tapi Pak Jokowi pernah ngomong lagi bahwa dia juga panglima tertinggi. Ada beberapa jenderal yang... Mengatakan itu tidak benar. Saya sebagai ketua institut peradaban pernah mengadakan seminar mengenai itu.

Salah satu pembicaranya almarhum Pak Said Iman, Lieutenant General Said Iman yang baru meninggal bulan lalu, dia mengatakan tidak ada itu. Panglima tertinggi itu nggak ada. Panglima tertinggi itu kalau Anda mau tahu, ada dalam Undang-Undang Dasar Amerika. Disebutkan, the president is the supreme commander of the armed forces. Karena itu pada satu kali, pada satu tingkat perjalanan, jabatan panglima-panglima tentara itu diganti.

Komandan. Jadi the only panglima di Amerika itu sekarang adalah presiden. Dulu ada panglima central command di Florida, ada panglima pasifik di... Hawaii, ada Panglima Eropa di, Sabuwer di Eropa, bahkan ada Panglima Afrika.

Sekarang semuanya menjadi komandan, bukan Panglima. Karena yang Panglima yang bisa mengumumkan perang dan damai di Amerika hanya Presiden. Saat ini di Indonesia sudah on the track atau enggak? Ya sekarang kan itu tadi, masih ada yang menafsirkan, termasuk Pak Jokowi bahwa beliau adalah Panglima tertinggi. Sehingga punya turunan.

Perintah begitu ke TNI padahal seharusnya tidak? Mestinya begitu. Itu sebabnya perlunya di Indonesia dibentuk Dewan Keamanan Nasional.

Bukan Dewan Pertahanan Nasional yang ada sekarang. Dewan Keamanan Nasional itu National Security Council. Siapa aja di dalamnya? Ya, ketuanya ya boleh presiden, memang presiden.

Tapi anggotanya di situ Panglima Tantara, Menteri Keuangan, apalagi beberapa pejabat tinggi. Itulah yang menentukan kalau ada ancaman keamanan dari dalam dan dari luar. Atas dasar itu presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi itu bisa memberi perintah.

Nah itu Dewan Keamanan Nasional itu, saya ikut dari prosedur rapat-rapat awal sampai terakhir 10 tahun lebih, kemudian nggak terbentuk-terbentuk. Kita nggak punya Dewan Keamanan Nasional. Sehingga pernah kejadian, ada kapal velotila Amerika menyeberang dari Australia ke Pasifik sana, itu sudah memberitahu Indonesia. Lalu di tengah jalan pesawat tempur dari kapal Indo itu naik. Pertahanan udara kita di Mediun nggak tahu.

Karena di Jakarta surat itu nggak tahu kemana. Dari Kedutaan Amerika. Mestinya itu kepada Dewan Keamanan Nasional.

Dan Dewan Keamanan Nasional memberi briefing atau petunjuk kepada Angkatan Udara di Mediun supaya akan lewat begini-begini-begini. Kalau dia melanggar, ditegur. Kan bisa ditegur. Tapi karena tidak ada petunjuk dari lembaga yang tidak ada, Dewan Kewenan Nasional, hampir terjadi tembak-menembak di Laut Jawa.

Karena Angkatan Udara kita intercept. Dia nggak tahu, ini ada kapal asing, intercept. Jadi katanya sudah pada lock, apa namanya itu, sisa nembak-menembak saja.

Itu karena kekacauan kita. Kalau sekarang-sekarang ada nggak, Prof? Nggak ada.

Maksudnya ancaman dari luar yang mengancam? Ancaman itu bisa selalu, setiap saat bisa datang. Oke.

Oleh sebab itu satu bangsa, tentaranya harus selalu siap tempur. Itulah makanya kalau Anda ingat awal reformasi, saya selalu berkeluar-keluar mengatakan perlunya memperkuat pertahanan kita terhadap potensi-potensi ancaman. Oke. Dari luar. Oke.

Kapanpun bisa datang. Iya. Bisa datang.

Nah kalau itu datang itu tandanya kita kacau. Sebab ancaman itu datang, gangguan itu datang kalau dia tahu kita lemah. Iya. Karena itu perlunya pertahanan diperkuat, senjata jadi upgrade, tentara jadi latih bagus, dibayar bagus. Supaya negara asing yang punya niat jahat berfikir dua tiga kali sebelum mengganggu Indonesia.

Atau mengganggunya dengan cara lain, dari dalam dulu? Itu soal lain. Mengganggu itu kerja intelijen. Oke.

Apakah ini gangguan dari luar atau dari dalam, itu tugas intelijen kita. Ada gak gangguan itu Prof? Yang dari dalam.

Saya tidak tahu. Saya tidak tahu. Itu yang tahu orang-orang yang intelligent.

Sebab apa yang Anda anggap ada orang bakar mobil di jalan, itu mungkin kriminal kecil. Tapi bisa jadi itu negara asing mencoba-coba, mengetes apakah kita cukup rapi mengurus, mengatas itu. Sebab kalau tidak mereka akan ulangi itu terus karena dia tahu itu kelemahan kita. Nah itulah makanya kita memerlukan Dewan Keamanan Nasional untuk mengevaluasi perkembangan potensi ancaman.

baik dari luar maupun dari dalam. Prof, sampai ada yang menyatakan bahwa kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap TNI itu 89,9 persen. Ini berarti angka yang cukup besar ya Prof? Kepercayaan terhadap institusi dan TNI paling tinggi. Di bawahnya ada Presiden, Gubernur, KPK, Polisi, Kejaksaan, DPD, DPR, dan Partai Politik paling bawah.

Komen soal ini bahwa masyarakat sangat tinggi percayaan terhadap TNI. Itu adalah hasil buah dari TNI tidak lagi berpolitik. Ya kan? Kan pada tahun 2000, rapat pimpinan ABRI, TNI, memutuskan meninggalkan dui fungsi. Artinya tidak terlibat lagi kepada masyarakat.

Sementara polisi kan mendapat tugas di dalam masyarakat dan lembaga-lembaga lain. Tentara artinya terbebas dari kemungkinan berbuat salah. Jadi populer.

Oke, oke. Jadi ini adalah bisa juga dianggap sebagai... Vote populer kepada TNI karena TNI yang dulu pernah tidak disenangi orang, sekarang tidak lagi berbuat sesuatu yang memungkinkan orang tidak senang.

Jadi orang jadi senang sementara lembaga-lembaga lain berbuat banyak dan salah banyak. Berbuat banyak dan salah banyak. Oke, tapi Prof tidak surprise, tidak kaget dengan ini bahwa TNI lebih disukai dibandingkan dengan... pihak kepolisian atau KPK bahkan gubernur bahkan presiden ini soal persoalan trust saya mau mengatakan bahwa salah satu tafsiran terhadap ini adalah karena tentara kan tidak lagi terlibat seperti dulu tidak ada defungsi, tidak ada laksus, tidak ada apa artinya dia tidak terlibat banyak di dalam masyarakat itu artinya kemungkinan berbuat salah menjadi hampir tidak ada Dan itu menyebabkan mereka populer.

Setelah orang dulu takut kepada tentara, sekarang berali. Banyak yang takut kepada polisi. Takut? Iya. Kan banyak tuh di WA-WA tuh, ya menanggapi seruan Pak Jokowi supaya dikritik.

Ada yang menulis, iya dikritik nanti ditangkap polisi. Artinya orang takut kepada polisi, sementara tentara tidak ada alasan ditakuti. Ya jadi populer. Ini adalah akibat daripada sistem kita yang oligarki.

Oligarki itu maksudnya yang berkuasa itu tidak satu orang. Karena itu kalau bahasa Inggrisnya kerennya adalah, pertanyaannya adalah, who is really in charge in this country? Siapa sebenarnya yang berkuasa di negeri ini? Jelas tidak Pak Jokowi sendiri.

Kalau Pak Jokowi sendiri itu kayak Pak Harto dulu. Siapa saja sih, Prof? Kekuatan-kekuatan politik.

Apa sih kekuatan politiknya? Partai bisa. Lembaga-lembaga bisa.

Duit bisa. Kalau banyak orang yang punya duit terlibat politik, langsung atau tidak, mereka punya kekuasaan. Dan kalau dia punya kekuasaan, dia bisa mempersulit orang yang bikin pernyataan yang merugikan kekuasaan mereka.

Jadi, makanya saya bilang, saya takut. Zaman Pak Harto saya nggak terlalu takut. Soalnya saya tahu, asal saya tidak menyerang Pak Harto, keluarga Pak Harto, kroni Pak Harto, saya lebih aman.

Saya tidak mengkritik tentara. Kenapa? Karena tentara itu hanya alatnya Pak Harto. Karena itu saya setuju dengan General Sumitra waktu itu, Pak Ngop Kam Tim, setelah pensiun bahwa tidak ada itu, duit fungsi nggak jalan di Indonesia.

Soalnya yang berkuasa adalah Pak Arto. Alatnya adalah tentara. Partai terkuat di Asia Tenggara waktu itu, kata orang, adalah ABRI.

Yang menang pemilu Golkar. Lah Golkar itu kan alatnya Pak Arto. Jadi makanya saya bilang orang Golkar itu jangan sombong, yang memenangkan kalian itu adalah Abri.

So the real parte parto itu adalah Abri. Nah kita tahu saja lah, ini yang berkuasa ini, ya kita harus berhati-hati. Ngerti Golkar masih berani.

Karena Golkar itu tidak punya kekuatan. Tugas Golkar waktu itu adalah menduduki kursi-kursi DPR, MPR untuk melegalisir kekuasaan Pak Harto. Jadi kita tahu, ah ngeritik Akbar Tanjung aman. ya tidak ditangkap tapi kita ini sekarang gak ngerti siapa aja yang berkuasa di Indonesia who is really in charge ini sekat itu kira-kira sebagai wartawan Prof masa yang paling maksudnya bukan paling sulit ya masa yang mau bicara soal wartawan soal berita apapun gitu diberikan kebebasan pers itu yang paling bebas di jaman siapa dan kurang bebas di jaman siapa?

Setiap ada perubahan sosial, perubahan politik, maka pada awalnya ada kebebasan. Saya teringat tahun 70 saya di Belanda, di stasiun kereta api di Amsterdam, saya ketemu Almarhum P.K. Ooyong, pendiri Kompas. Kita ngobrol. Dia bilang kepada saya, Soekarno, ini tahun 70 loh.

Orde baru, baru mulai. Di Indonesia itu kebebasan perus kita hebat. Kala itu Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, bebas sekali.

Setelah saya berusia tua mengalami banyak perubahan politik di Indonesia, saya berkesimpulan bahwa semangat... Sangat reformasi, antara lain kebebasan, itu pada tahun-tahun pertama reformasi. Begitu establis kekuasaan, mulailah dia menindas, mempersulit kebebasan pers.

Dan selalu berlaku seperti itu? Itulah. Karena apa? Nah ini yang hasil penelitian saya.

Setiap dan saya bikin perbandingan dengan negara. Tiongkok, Uni Soviet, negara-negara Timur Tengah. Begini, setiap ada perubahan sosial, perubahan politik, maka ternyata kebanyakan yang berubah, yang digulingkan dan yang menggulingkan itu elit kecil.

Rakyat tidak banyak terlibat. Tentu sekarang makin banyak yang terlibat. Tapi pada awalnya itu hanya gelonggan kecil.

Nah, kalau salah satu golongan ini menang, Haji Monik, maka dia memaksakan kehandaknya kepada lawan-lawannya, yakni elit yang lain. Karena rakyat kan tidak ditindas sebenarnya. Yang ditindas itu elit, kalau Anda bicara kebebasan pers, kebebasan akademik, itu bukan urusan rakyat.

Itu urusan sejumlah kecil orang Indonesia di dunia akademik atau di dunia politik. Partai-partai dan sebagainya. Jadi masyarakat kan menjadi terbatasi dapat informasi kalau kayak gitu kan?

Ya informasi banyak, tapi mengerti nggak mereka? Bangsa yang masih berlenda perekonomiannya, maka mereka tidak terlalu memikirkan itu. Pokoknya gue makan apa, sekolah anak saya bisa sekolah di mana, nggak terlalu memikirkan.

Tidak tahu dia. Gue bicara politik sama mereka. Saya ingat tahun-tahun pertengahan Orde Baru ketika makin berkuasa Orde Baru, ada rombongan mahasiswa yang mulai bicara, mengkritik.

Jadi ada sejumlah mahasiswa naik bus dan bercerama di bus kepada penumpang bus. Kamu tidak boleh diam, kamu harus melawan. Mereka pulang aplom aja melihat mahasiswa. Dia gak merasakan itu.

Yang merasakan itu makin lama, makin banyak memang. Karena bangsa kan berkembang, buta huruf makin berkurang. Atau mungkin tidak ada lagi buta huruf.

Ekonomi lebih baik daripada dulu. Makin banyak orang memikirkan soal-soal kebebasan. Pada mulanya itu hanya sejumlah kecil elit. Tapi setelah berjalannya waktu, mulailah.

Kita berharap begitu. Bahwa makin lama, kesadaran akan kemerdekaan pers, itu bukan lagi urusan elit, tapi urusan rakyat. Mereka bisa mengatakan, ah buat apa saya langganan koran.

Isinya itu juga, pernyataan pemerintah. Sekarang kan tidak begitu, atau tidak begitu seperti dulu. Dulu itu begitu.

Orang nggak peduli. Koran-koran isinya itu-itu aja. Dulu isinya Pak Harmoko semua ya? Apalagi zaman Pak Harmoko. Pak Harmoko itu orang baik.

Dia mau menyenangkan Pak Harto. Karena yang ngangkat adalah Pak Harto. Dia nggak pernah menyangka dirinya jadi ketua Gorkar.

Jadi ketua Gorkar, jadi menteri, jadi ketua DPR. Karena dia kecewa Pak Harto, akhirnya dia termasuk orang yang pertama menjarankan Pak Harto mundur, masih ingat? Iya.

Oke, Prof, ini ngobrolnya seru semuanya, tapi kita kan nggak bisa panjang-panjang ya, Prof ya. Sedikit aja nih, mungkin pesan Prof untuk generasi muda. Jangan, dan ini bukan pesan saya. Oh, apa dong? Saya mengulangi apa yang dikatakan Bung Karno, yang saya dukung.

Jangan pernah meninggalkan sejarah. Kalau you tidak tahu sejarah, you nggak tahu ke mana bangsa ini. Nah itu yang saya takutkan karena pengetahuan pengajaran sejarah katanya gak sebagus jaman saya masih SMA dulu.

Jadi anak-anak kita tidak tahu banyak. Ketika anak saya masih SMA, SMP, SMA itu mempelajari, ini masih jaman order baru, belajar mengenai apa nama ilmu itu PBB, PPB, PSB. PSPB. Ada PMP, PKN. Ya, yang macam-macam.

Tapi itu kan semua di-tailor untuk kepentingan pemerintah. Jadi anak saya tanya, saya kuliahin dia. Dan dia bingung.

Beda, ada perbedaan? Iya. Dia bingung bahwa di rumahnya, bapaknya, bisa cerita banyak mengenai itu.

Tak terbayangkan oleh dia, bapaknya itu pelaku. Nah, berapa banyak pelaku seperti itu yang tahu, menganalisa apa yang terjadi, dan menjelaskan kepada anak-anaknya atau kepada murid-muridnya. Itu saya agak cemas. Apalagi ketika rame-rame terakhir ini, Beredar berita Menteri Pendidikan kita mengatakan dia hanya mikirkan masa depan, tidak mikirkan sejarah. Saya bikin protes.

Bangsa itu tidak bisa hanya punya masa depan, dia harus punya masa lalu. Karena orang tidak pernah mulai dengan masa depan, tidak mulai dengan masa kini. Kita harus mulai dari masa lalu. Kita harus mengerti kita dari mana, kita mau kemana, dan apa yang harus kita lakukan. Yang membuat Prof cemas adalah kekhawatiran?

Orang nggak tahu sejarah. Dan itu banyak orang yang nggak tahu. Dan banyak elit yang nggak tahu. Tidak tahu sejarah, tidak tahu masyarakat. Tidak tahu sejarah, tidak tahu masyarakat.

Dan juga bukan pelaku gitu ya? Ya pelaku itu kan tidak selalu bisa. Kebetulan saya lahir pada zaman tertentu dan mengalami masa tertentu.

Tapi itu bisa diketahui kalau kita belajar sejarah. Jadi satu kali pernah di sebuah stasiun TV. Saya diinterview bersama...

Putrinya Pak, siapa namanya, Panjahitan yang dibunuh. Yang interview itu, interviewernya cantik. Ini malam di Gestapo, saya di interview karena saya kan menulis buku Gestapo 65. Dia mulai dah mengatakan, maaf ya Pak, saya tuh gak tahu apa-apa. Saya kan baru lahir tahun seget, saya spontan aja menjawab.

Saya itu mengerti Romawi, apa saya lahir zaman Romawi. Karena saya mau tahu. Saya mengerti mengenai Kesultanan Turki.

Saya lahir sekarang itu Kesultanan itu seribu tahun yang lalu. Atau berapa ratus tahun yang lalu. Karena saya ingin tahu. Ya, saya baca. Nah kalau Anda gak baca, Anda gak pernah tahu.

Terus wawancara berlangsung tapi? Berlangsung tapi kacau. Misalnya dia tanya putrinya Pak Pangga apa siapa, Njaitan.

Hal yang dia gak tahu. Bingung dia. Kacau wawancara itu. Aduh males.

Dan yang bikin saya paling marah sudah begitu, saya dibayar murah pula. Loh, sudah saya... Kalau bermutu, ya, saya senang. Saya berkontribusi kepada masyarakat. Menjelaskan kepada masyarakat.

Ini sudah kacau, saya harus menjelaskan kepada dia, si interviewer, sudah dibayar murah pula. Aduh. Kalau gitu, satu lagi pesan untuk para wartawan muda. Ya wartawan harus tahu sejarah.

Semuanya ya. Sebagai bagian dari satu masyarakat. Terutama wartawan karena kalau dia nggak mengerti bagaimana dia mau menulis dengan benar.

Itu sebabnya saya menulis buku sejarah sosial film Indonesia. Saya kan kritikus film, majalah Tempo, dan penulis masalah-masalah film. Saya nggak ngerti apa-apa waktu mulai.

Saya dipaksa belajar, baca, meneliti. Lalu kemudian hasil itu jadi bahan skripsi saya untuk jadi dokter Andes. Pesan Yaakob Utama Almarhum kepada wartawan-wartawan, mereka harus menulis buku.

Any kind of book aja. Pokoknya sesuai dengan keahlian Anda sebagai wartawan. Saya kan belajar mengenai, saya didorong mengajar...

Belajar mengenai film Karena saya harus menulis tentang film Kalau saya gak ngerti sejarahnya bagaimana Kenapa film Indonesia jelek-jelek Waktu itu Kenapa yang bagus-bagus tidak banyak Ada sejarahnya Saya harus baca mulai dari awal Film masuk di Indonesia dan perkembangannya, dan saya nulis buku. Begitulah. Zaman dulu mau cari informasi harus cari buku, cari majalah, cari clipping koran.

Sekarang kan tinggal... Ya itulah. Yang sekarang yang diperlukan itu kesadaran, kemauan, sehingga tidak kejadian reinterview televisi, di depan kamera, di depan mikrofon mengatakan, saya tuh gak tahu apa-apa loh Pak. Saya belum lahir waktu itu. Apa jenis jurnalis itu?

Oke, Prof. Terima kasih untuk waktunya. Semoga sehat selalu. Banyak sekali yang didapat hari ini.

Luar biasa. Dan harus punya toilet dekat. Oke, Prof. Siap. Terima kasih, Prof.