Transcript for:
Etika Sokrates dan Kebijaksanaan Manusia

Hai karena kewajiban itu sebenarnya tersebut di dalam yang tugasnya mengeksekusi mati juga kondisi orang-orang yang terbaik hai hai Amma Bhaktu Bismillah, mari kita lanjut ngaji lagi Malam hari ini kita masih ada di tema Sokrat Mbahnya para filosof yang dipandang sebagai pelopor memuncaknya tradisi berfikir filsafat di Yunani Minggu lalu kita sudah belajar tentang beliau dalam aspek Pengenalan diri, malam hari ini kita belajar tentang perilaku, konsep etiknya. Kalau sudah kenal dirinya, sekarang saatnya melakukan ekspresi diri. Ekspresi diri itu ya wujudnya tindakan. Harus baik, harus pas, cocok. Nah, tindakan yang baik, yang sesuai, itu kan ranahnya etik. Jadi malam hari ini kita belajar tentang etikanya Sokrates. Baik, langsung saja ya, bismillah kita awali, kita belajar dulu settingnya. Kemarin saya sebut beliau ini era-era Athena, zaman... kejayaan menuju jatuh sebenarnya. Jadi kalau teman-teman membaca sejarahnya Yunani, ini era Arkaik era klasik sekitar abad 9 sampai abad ke-6 sebelum masehi Saat itu di Yunani banyak negara kota namanya polis Yang polis ini ada dua yang paling besar yaitu Athena dan Sparta Awalnya polis ini diatur dengan model aristokrasi, oligarki, bahkan ada yang sampai model tiran Nah, tapi kemudian belakangan muncul gagasan ide model demokrasi yang diawali di Athena. Saat itu Athena berhasil menjatuhkan seorang tiran namanya Hippias. Jatuhnya tiran ini memunculkan model demokrasi yang saat itu modelnya ya demokrasi langsung. Rakyatnya digilir untuk, jadi disitu ada dewan isinya 500 orang, yang itu gantian. Yang bertugas milih siapa yang harus jadi pimpinan. Jadi kadang disebut demokrasi yang langsung. Tidak serumit sekarang, sekarang kan mau demokrasi kita kan orangnya sangat banyak. Nanti termasuk Sokrates sebenarnya agak kritis terhadap demokrasi ini. Nah, Athena ini Pernah ngalami dua kali serangan dari Persia dan gagal. Pada era Darius pertama itu Athena dan Yunani diserang tapi berhasil menang. Persia balik. Sepuluh tahun kemudian anaknya Darius yang namanya Cereses itu menyerang juga Athena. Menyerang Yunani. Jadi Athena dan sekitarnya ingin menguasai Yunani tapi juga gagal. Itu mungkin teman-teman ingat ya film yang judulnya 300 kalau bahasa Indonesia itu. Itu kan Raja Separta yang namanya Leonidas yang mempertahankan Yunani, mempertahankan Separta dari serangannya Persia. Dengan hanya 300 orang berhasil menahan pasukan Persia meskipun 3 hari bertahannya. Tapi setelah itu memang bareng-bareng Athena, Separta dan sekitarnya Berhasil mengusir Persia Nah setelah Persia yang kedua kalah itu terus negara-negara kota tadi bikin semacam liga Namanya Liga Delos, urunan pokoknya ada kas bersama untuk membangun kekuatan militer Nah cuma Persia tidak balik-balik, akhirnya uang urunan yang banyak ini termasuk kekuatan militer yang luar biasa itu jamannya Athena dikuasai oleh Pericles. menguasai Athena saat itu ini membuat jengkel membuat iri negara kota yang lain ini Athena kok menang-menangan sih kita kan juga ingin punya kekuatan militer yang kuat, akhirnya muncullah perang berkepanjangan antara Separta dan Athena orang menyebutnya perang Peloponesos Ini panjang sekali puluhan tahun perang, akhirnya yang menang Sparta. Menangnya Separta ini melahirkan di, slide itu saya sebut, di Atena ada istilah 30 tiran, seti tiran. Jadi saat itu kemudian Atena diperintah oleh sekelompok elit oligarki Separta yang saat itu menguasai. Oh ya disebut tiran karena memang sewenang-wenang kabarnya 5% lebih penduduk Atena jadi korban dan ya namanya menang perang habis perang disitu dimulai Degradasi, lemah Yunani Baik Athena Maupun Separta Meskipun nanti bisa fight back Balik lagi mengusir Tiran-tiran ini tapi sudah kondisinya Tidak seberapa Seperti dulu. Nah di era 30 tiran. Ketika orang jungkir balik. Mengatasi kesulitan hidup. Inilah muncul Sokrates. Jadi medan filsafatnya Sokrates itu situasi yang semacam itu. Meskipun nanti salah satu dari pimpinannya 30 tiran namanya Critias, orang menyebutnya itu juga muridnya Sokrates. Tapi nanti akhirnya Sokrates juga dieksekusi oleh mereka ini. Jadi itu ceritanya seorang Sokrates. Jadi dakwahnya saat itu, dakwah ya tidak apa-apalah istilahnya dakwah. Si uang dia memang menyeru kebaikan, kebenaran. Jadi dia dianggap membahayakan negara saat itu. Merusak anak-anak muda yang mengakibatkan dia dieksekusi. Jadi itulah arenanya. Makanya dia kritis. pada perilaku-perilaku moral yang menyimpang. Baik, itu dongengnya. Semoga teman-teman pernah baca. tentang ceritanya Yunani beberapa kan sudah di filmkan saya tidak tahu kalau teman-teman nonton film itu terus penasaran ingin tahu cerita aslinya atau pokoknya nonton perang, nonton laga, nonton action terus Selesai padahal dibalik itu ada cerita panjang peradaban nanti setelah Yunani lemah itu datanglah dari arah utara kerajaan kecil sebenarnya tapi terus jadi luar biasa dari mana. Makedonia. Yang Raja Philip bisa menaklukkan Yunani satu-satu. Negara-kota ini ditaklukkan satu-satu. Tapi beliau tidak lama terus meninggal, dilanjutkan anaknya namanya Alexander. Kita nanti mengenalnya jadi Alexander the Great. termasuk muridnya Aristoteles. Di era-era inilah Socrates, Plato, Aristoteles itu berkiprah di dunia filsafat yang Alexander ini nanti bahkan bisa menaklukkan Persia. Baik, itu settingnya, medannya. Sekarang kita mulai belajar ya, ini mungkin beberapa mengulang dulu waktu kita ngomong tentang Socrates. Kita kan dulu pernah ngomong satu saat. sesi Sokrates, tapi kita perdalam malam hari ini pandangannya tentang etika. Nah, Sokrates saat dia berkiprah, berfilsafat, berdakwah tadi, berhadapan dengan antagonisnya, musuhnya, yaitu kaum Sofis. Jadi ada dua kontras pandangan antara Socrates dan kaum Sofis ini. Kalau menurut kaum Sofis, kuncinya kebenaran itu kekuasaan. Siapa punya kuasa, dialah nanti bisa ngatur kebenaran. Nah ini kalau diurekan panjang. Lebih seperti pandangannya. Foucault bahwa power is knowledge, bukan knowledge is power. Siapa punya kekuasaan dia bisa ngatur mana benar mana salah. Kayak misalnya kita punya kekuasaan di lembaga kita, misalnya oh ini yang diajarkan, yang itu jangan, bukunya ini saja, jangan buku itu. Itu relasi kekuasaan yang berhubungan dengan pengetahuan katanya kaum sofis, kebenaran itu kuncinya kekuasaan. Kaum sofis ini banyak isinya guru-guru yang memang pendidikan itu jadi profesi. Jadi mereka kerjanya seperti itu, sehingga kebenaran versi mereka itu sesuai yang bayari mereka. Jadi ini kaya sofis, dulu pernah kita bahas satu sesi penuh sofisme. Yang kedua kata kaum sofis, ukuran kebenaran itu manusia. Manusia adalah ukuran segala sesuatu. Kalau kita bilang seperti Socrates bilang dulu kan kebaikan itu ada standarnya. Kata orang Sofis standar itu kan yang bikin kita. Kalau tidak cocok ya diganti saja standarnya sesuai yang kita inginkan. Karena manusia adalah ukuran dari segala sesuatu Sudahlah kamu mau apa, itu bisa dibuat kok Jadi kalau ini kok rumit sekali Pak dijalankan, ganti saja aturannya Ganti saja standarnya, ini gaya sofis Dan relativis Jadi relativis itu ya kebenaran itu relatif, tergantung. Ini gaya sofis yang bertolak belakang dengan Sokrates. Kalau menurut Sokrates, kebenaran itu memang ada, objektif. Manusia silahkan mencari, silahkan meraihnya. Jadi dia bukan sesuatu yang sifatnya relatif. Jadi baik itu memang ada, benar itu memang ada, indah itu memang ada. Jadi standar itu sifatnya absolut, mutlak. Ini kayaknya Sokrates. Nah saya tidak tahu kalian lebih prefer yang mana Malam hari ini kita membahas Socrates Yang menganggap bahwa ada kebenaran yang sifatnya objektif absolut, yang harus kita pedomani dalam hidup ini. Dari sisi kemudahan sebenarnya lebih masuk Sokrates. Kita hidup itu kan perlu keyakinan-keyakinan akan kebenaran tertentu. Kalau sangat cair, ya kita sulit. Jadi ini dari sisi kemudahan, tapi nanti dari perspektif tertentu mungkin teman-teman lebih prefer sofis. Tapi zaman itu sofis itu dikonotasikan agak negatif sementara kaya Sokrat. Socrates ini dikunuskan positif. Socrates aliran kanan, Sofis ini aliran kiri. Pada zamannya. Nanti kita lihat. Kalau sekilas gini mungkin masih kabur. Tapi paling tidak kelihatan kalau di Socrates itu ya hidup ini perlu standar-standar baku tentang kebenaran dan kebaikan. Kalau relatif saja kalian akan bingung nanti. Jadi, Pak ngajinya masuk atau tidak? Wah suka-suka kamu, kamu malah bingung nanti. Lebih enak, tegas, jelas. Nah, standar kebaikan juga begitu. Kalau baik itu disebut relatif semua, kita juga akan kebingungan, mana yang akan kita pilih. Manusia itu kan selalu ingin milih yang paling cocok, paling relevan, paling sesuai untuk hidupnya. Kalau standarnya tidak pasti, ya nanti Nanti kalian kesulitan. Prosesnya melelahkan. Nah itu dari sisi ini mungkin lebih prefer ke Socrates. Tapi kita lihat kenapa Socrates bilang begitu. Nanti di belakang banyak. Nah ini medannya ya. Tadi ada medan sejarahnya. Sekarang pertarungannya. Musuh besarnya Socrates. Orang-orang Sofis. Nanti kalau teman-teman baca dialognya Socrates. Itu misalnya. ini gegeran terus, debat terus dengan kelompok sofis ini cuma yuk karena kita kenal Socrates kan dari tulisan-tulisannya pelatu, sebagian besar pelatu kan muridnya Socrates yuk mesti saja versinya selalu yang menang Socrates baik nah ini kegelisahannya ya Jadi zaman itu Socrates mengkritik orang-orang di sekelilingnya. Misalnya itu satu kalimat yang dilontaran oleh Socrates. Apakah engkau tidak malu begitu peduli menghasilkan? Hasilkan uang, keteneraran, nama baik. Sementara engkau tidak peduli dengan kebijaksanaan, kebenaran, dan perbaikan jiwamu. Jadi ini, Bagian dari degradasi moral saat itu yang dilihat oleh Socrates Ini loh orang-orang ini kok lebih sibuk cari uang Lebih sibuk ingin terkenal Kalau bahasa hari ini ingin viral Dan ingin nama baik, kehormatan lupa bahwa ada yang lebih esensial yaitu wisdom, kebijaksanaan, kebenaran, dan perbaikan hidup nah ini dulu ya zaman Yunani kalau sekarang Sekarang saya tidak tahu kalimat ini relevan atau tidak. Kalau masih relevan berarti memang manusia tidak belajar-belajar sejak zaman Yunani. Pikiranmu yang tidak jauh-jauh dari uang, ketenaran, nama baik. Bahkan beragama pun kadang-kadang hanya jadi kendaraan untuk dapat uang, untuk viral dan dapat status nama baik. Nah, itu degradasi moral di zamannya Socrates. Saya ambil lagi ada kalimat menarik, itu yang berhubungan dengan anak-anak muda. Kalau malam hari ini kan kalian sudah setengah tua lah itu kan, ini yang masih ABG muda-muda. Yang mahasiswa itu kan sudah mulai dewasa. Ini anak-anak mudanya, meskipun mungkin nyambung juga dengan kalian. Kata Socrates, anak-anak muda-muda. Anak sekarang menyukai kemewahan. Mereka perilakunya buruk. Sinis pada otoritas. Mereka menunjukkan rasa hormat, rasa tidak. Tidak hormat pada orang yang lebih tua. Dan lebih suka ngobrol dibandingkan olahraga. Ini saya tidak tahu kamu tersindir atau tidak. Nah, anak-anak sekarang menjadi tiran. Bukan pembantu di rumah mereka. Tiran itu kan berarti ingin selalu dituruti, ingin selalu dilayani. Mereka tidak lagi berdiri saat orang lebih tua masuk ruangan Ini sopan santun Mereka menentang orang tua mereka Ngobrol di depan temannya Melahap makanan lezat di meja Menyilangkan kaki Mendolimi guru mereka Nah ini bisa ditafsirkan satu-satu contohnya banyak Intinya ada krisis moral Nah krisis akhlak dan adab. Kalimatnya Sokrates, anak-anak sekarang, sekarang zaman itu. Kalau sekarang zaman ini mungkin lebih parah dari itu. Saya sebut lebih parah karena memang dunia anak-anak Anak hari ini kan bukan dunia nyata pergaulan sosial pengalaman hidup bersama. Sekarang anak-anak hari ini lebih sibuk di dunia maya. Sehingga kepekaan sosialnya. tidak tinggi. Itu yang membuat sulit mereka bisa peka akhlak, peka adat. Medan mereka tidak panjang bersentuhan dengan dunia sosial konkret, mereka lebih banyak dengan dunia maya. Nah ini kegelisahannya Sokrates, degradasi moral baik orang dewasa maupun anak-anak mudanya. Itu Itulah mengapa nanti dia lebih suka diskusi dengan anak-anak muda, menggarap mereka sampai dianggap meracuni pikirannya anak-anak muda saat itu. Baik, kita lanjutkan. Nah, Sokrates sendiri, terkenal saat itu sebagai seorang yang memang komitmen etiknya tinggi. Ada beberapa fakta profil etiknya seorang Socrates. Yang pertama apa? Socrates ini pemberani. Jadi baik, zaman dia, dia kan pernah ikut perang di pasukan perang, termasuk saat dia menyebarkan ide-ide gagasannya, dia tidak takut, diingatkan banyak orang, sampai ketika terancam hukuman mati pun dia tidak gentar. Dia pemberani ya, bukan nekat. Dia penuh perhitungan, dia cerdas. Nah ini dia dikenal sebagai seorang heroik yang pemberani. Nah ini profil etiknya yang pertama. Jadi kalau dia menganggap itu benar, ya akan dia perjuangkan. Meskipun perjuangannya secara persuasi. Mengajak orang diskusi, bukan maki-maki orang menjatuhkan orang. Diajak ngobrol, mungkin kalau sekarang diajak ke kafe mana gitu terus ngobrol. Ditanya, dikejar-kejar sampai dia enggak menggurui. Sampai orangnya sadar sendiri ternyata yang salah aku. Ini kayaknya Socrates. Minggu depan kita akan belajar tentang metode itu. Jadi itu profil etiknya dia. Yang ketiga. Kedua, Socrates sendiri bilang bahwa saya menerima namanya daimonion. Daimonion itu suara ilahiyah. Jadi dia merasa mendapatkan pesan-pesan ilahiyah yang harus disebarkan kemana-mana. Maka jangan heran kalau ada satu dua orang yang mengejangan-jangan Socrates itu nabi. Jangan-jangan saja kamu tidak perlu tersinggung. Wangyo nabi itu kan ratusan ribu kita hanya wajib kenal dua lima. Berarti ya mungkin-mungkin saja. Toh yang dia lakukan baik. Isi idenya memang kalau teman-teman nanti cek ya, sangat religius. Bahkan di beberapa tempat agak dogmatis memang. Orang harus begini, ada kebenaran absolut ada. Itu kan kayak agama. Dia sendiri nanti banyak pengakuannya yang memang saya semacam dapat suara ilahiyah yang harus saya sampaikan. Istilahnya daimonion. Yang ketiga, selain daimonion tadi, dia menganggap dirinya itu seperti saya bilang minggu lalu, Godfly. Lahlat yang mengganggu orang. Jadi memang cara dakwahnya dia itu mengusik pikirannya orang, membuat orang tidak tenang. Jangan-jangan aku ini keliru selama ini, jangan-jangan aku ini salah selama ini. Itu caranya Sokrates mengusik orang begitu. Jadi misalnya ada orang bilang apa gitu terus ditanya, yang kamu maksud dengan kalimatmu itu apa sih? Masa begitu? Faktanya kok begini? Alasanmu kok enggak nyambung? Terus begitu, itu kan jengkel kamu ketemu teman begitu. Kenapa sih kok harus ke warung itu? Alasannya apa? Kalau alasannya hanya biasa di situ, apa masuk akal? Makan itu kan harusnya alasannya enak atau tidak enak, atau makannya kok malah biasanya. Terus begitu dikejar, kamu harus di jengkel. Kenapa kok tidurmu harus jam 10? Kok enggak jam 11 saja Alasannya apa Kenapa harus 8 jam sehari Kok enggak 7 jam Kok enggak 7 jam setengah Apa harus pas Tiap hari gayanya Socrates begitu Maka istilahnya dia Godfly Kayak lalat Bikin orang sebel saja Tapi kalau enggak begitu Orang enggak mau mikir tentang hidupnya Orang itu kan cenderung alawis, biasanya begitu ya begitu lah. Jadi standarnya begitu, kayak kalian kan ngaji ini biasanya ngunu ya ngunu. Tidak pernah tanya, kenapa kok saya harus begini? Kenapa saya harus begitu? Kadang-kadang perilaku kita kontradiksi. Ngaji datang duluan kenapa? Biar dapat tembok Pak, bisa senden. Kalau bisa senden kenapa? Santai Pak, agak ngantuk-ngantuk dikit. Katanya tidak ingin ngantuk. Kalau tidak ingin ngantuk, jangan senden. Itu kadang-kadang, kita kalau tanya mengejar pilihan kita sendiri, kadang ya menggelisahkan memang. Tapi itu kayak... Gayanya Socrates. Jadi itu profil etiknya. Jadi mungkin secara pribadi banyak orang sebel sama dia, tidak suka. Tapi ya kata dia ya biar saja. Demi agar orang sadar tentang dirinya. Makanya dengan gayanya ini bahkan nanti Socrates dikenal sebagai orang yang paling bijaksana saat itu. Jadi minggu lalu saya ceritakan kan ada peramal oracle dari kuil Delphi yang ketika ditanya apa ada orang yang lebih bijaksana di Athena ini selain Sokrates, jawabannya dia tidak ada. Dialah orang yang paling pinter, yang paling bijaksana. Baik, jadi berarti apa? Paling tidak Socrates ini tidak hanya menceramahkan kebaikan, dia sendiri hakikatnya orang baik. Di profil keperibadiannya, profil etik sesuai prinsip dia sendiri. Meskipun nanti di beberapa tempat memang karena misinya dia ini dipandang mengganggu. Ini Sokrates ini memutuskan hidup dengan mendakwahkan pandangan-pandangannya. Ini sebenarnya pengorbanan besar. Termasuk keluarganya. Jadi pada akhirnya keluarganya. tidak terlalu jadi perhatian makanya diceritakan istrinya Sokrates itu cerewet ngamuan luar biasa karena mungkin tidak terlalu diperhatikan oleh Sokrates meskipun ketika Sokrates mengomentari istrinya tidak apa-apa lah, punya istri kayak gitu tidak apa-apa, malah aku jadi filosof karena diceramahi istrinya tiap hari malah jadi mikir malah aku jadi filosof bahkan ceritanya pernah satu ketika Socrates itu lagi asik-asiknya debat, diskusi, disiram air sama istrinya mungkin saking jengkelnya ya, debat lagi debat lagi, jengkel lagi disiram sama air dan teman-temannya kenal semua bahwa memang istrinya itu agak temperamen cerewet suka marah-marah, meskipun begitu anaknya tiga ini tidak apa-apa, itu kan urusan lain baik kita lanjutkan Kita cek secara umum dulu ya, cara berpikir etiknya Sokrates. Yang pertama memang fokusnya etik oleh Sokrates itu manusianya. Jadi kan ada orang berpikir etik itu yang dilihat perbuatannya. Ini jenis jujur atau jenis bohong? Ini jenis amanah atau jenis curang? Yang dilihat perbuatannya. Kalau Sokrates ini fokus ke orangnya. Jadi berarti apa? Orangnya yang harus digarap jadi baik. Kalau orangnya sudah baik, otomatis nanti keluar perbuatan-perbuatan yang baik. Itu yang disebut fokus pada orangnya. Jadi tidak harus fokus pada, karena ada yang fokus pada efeknya. Belajar etik itu dilihat ini manfaat atau mudhorot perilakunya. Apa membahayakan, apa menguntungkan. Ini lihat efeknya. Ada yang lihat perbuatannya. Nah kalau Sokrates ini lebih lihat ke orangnya. Termasuk nanti murid-muridnya. Jadi lebih utama membereskan manusianya dulu. Kalau kualitas jiwanya manusia itu utama, yang keluar ya berilaku utama. Kemudian orientasinya adalah perubahan dan perbaikan. Jadi perubahan sikap dan tindakan sehingga terjadi perbaikan kualitas hidup. Kalau sudah perbaikan, disitu lahir kebahagiaan. Jadi orang itu kalau hidupnya lebih baik, lebih baik terus terjadi perbaikan, dia akan bahagia. Untuk bisa lebih baik, ya dia harus mau mengubah diri. Untuk mengubah diri jadi lebih baik, ada syaratnya, pengetahuan. Maka dasar etiknya Socrates itu pengetahuan, ilmu. Orang itu harus pinter dulu, berilmu dulu. Baru dia bisa jadi orang baik. Nah, manifestasinya kebajikan, perilaku-perilaku utama. Jadi berarti apa fokusnya manusia? Yang manusia ini harus memperbaiki dirinya terus-menerus. Memperbaiki ini dasarnya pengetahuan yang diwujudkan dalam kebajikan. Jadi berarti kalau versinya Socrates, tugas kita ini belajar terus sehingga kualitas hidup kita jadi lebih baik. Kenapa? Dengan kita belajar kita tahu mana yang lebih baik. Sehingga kita bisa mengubah diri jadi lebih baik. Jadi memang kuncinya prinsip-prinsip etiknya Socrates ini ada di pengetahuan. Yang menurut dia nanti istilahnya your wisdom, pengetahuan yang pas, yang cocok. Yang kita terjemahkan jadi kebijaksanaan. Kalau orang sudah bijaksana, dia akan bahagia. Karena kebijaksanaan itu kan menjalankan ilmu, menjalankan pengetahuan secara tepat. Sesuai konteks ruang dan waktunya. Jadi ini peta umumnya, nanti kita jelaskan satu-satu. Difokuskan pada manusia yang menuju kebahagiaan dengan cara memperbaiki dirinya terus-menerus diawali dari pengetahuan yang diwujudkan melalui tindakan. Inilah prinsip etiknya Socrates. Nah, sebelum itu kita pahami dulu sekarang definisi pengetahuan menurut Socrates. Jadi kuncinya kebaikan itu pengetahuan. Agak berbeda definisi pengetahuan mungkin seperti yang teman-teman pahami dengan definisinya Sokrates. Pengetahuan di Sokrates itu lebih mirip dengan pencerahan. Tidak sekedar tahu, bedakan orang tahu dengan tercerahkan. Orang tercerahkan itu kan orang yang tahu plus sadar. Wah iya, ternyata ini yang lebih baik, saya akan melakukan ini. Ini namanya tercerahkan. Dibandingkan sekedar tahu saja. Kalau tahu saja mungkin nempel di akal saja, nempel di otak saja, tapi tidak ngefek ke hidup kita. Ini masih belum pengetahuan. Kalau di Sokrates, pengetahuan itu ya tahu ya sadar, dan ingin memujudkannya. Maka pengetahuan itu equivalent dengan kebaikan. Orang nambah ilmu pasti dia tambah baik. Kok ada orang ngaku ilmunya banyak, kelakuannya tambah tidak baik, sebenarnya dia belum berilmu. Tidak bisa disebut berpengetahuan. Pak saya ngerti loh Pak, saya sudah ikut ngaji filsafat ini sudah lima tahun terakhir ini Saya istiqomah terus jadi pikiran apa saja saya tahu, saya paham Lah terus hidupmu gimana? Iya seperti lima tahun yang lalu Pak, ya kayak biasanya gitu Iya itu kamu hanya apal pikiran-pikirannya filsafat Belum paham, belum tahu Jadi ini persis seperti pepatahnya orang Jawa itu loh. Ngelmukui kelakone kanti laku. Masih belum tuntas penguasaanmu atas ilmu kalau belum mewujud dalam laku. Kalau tidak diiringi dengan laku. Jadi ini hubungannya dengan pencerahan tadi, ketercerahan tadi. Jadi orang yang paham sekaligus tercerahkan. Itulah pengetahuan. Dan ini dasarnya kebaikan. Dasarnya etika. Oke. Baik, tak berkira nyopo aku Baik ya, jadi kuncinya etik tadi pengetahuan, yang pengetahuan itu setara dengan kesadaran. Banyak orang yang tahu tapi tidak sadar. Mungkin pernah saya sampaikan ya, antara yang kita tahu dengan yang kita sadari untuk diwujudkan itu mungkin perbandingannya bisa 80-20. Berarti yang hakikatnya benar-benar kita tahu ya yang 20 ini saja, yang 80 enggak. Kita masih hanya apal saja. Kita kan sering mengkritik, oh belajar kok cuma dihafalkan saja. Lo ilmu-ilmu ternyata sebagian besar juga begitu, cuma kamu hafalkan saja. Tidak kamu jalankan, tidak mencerahkan hidupmu. Belum bisa disebut orang berpengetahuan. Orang berpengetahuan itu berhubungan dengan eksistensi dirinya. Jadi, aku tahu itu berhubungan dengan keberadaanku. Tidak sekedar aku ngerti dan aku hafal. Saya lanjutkan. Nah, kemudian selain pengetahuan, kuncinya etik itu ada pada kebajikan. atau keutamaan, kalau istilah Yunani arete. Arete itu kebajikan yang terletak dalam kondisi jiwa yang optimal. Jadi jiwa kita ini berfungsi optimal kalau dia coraknya kebajikan. Corak kebajikan itu apa? Tiga, sadar, tahu, dan rasional. Jadi ini lagi-lagi kuncinya ada pada pengetahuan. Jiwa yang utama itu jiwa yang sadar dan tahu dan rasional. Jadi hidupnya terarah, terpola dan disadari. Ini lawannya arete itu ignorance. Ignorance itu kurang ngerti, tidak paham. Meskipun mungkin kamu kalau ceramah. Wah daki-daki tinggi-tinggi tapi kelakuanmu tidak seperti yang kamu ceramahkan. Itu kalau versinya Sokrates, kamu belum disebut orang yang ngerti, orang yang paham. Jadi masih tidak nyambung dengan perilakumu. Maka kata Sokrates, orang itu kalau melakukan perbuatan jahat berarti dia ilmunya kurang. Lupa, itu orang pinter lupa, dokter lupa misalnya, profesor lupa. Tapi kok korupsi misalnya, itu kan kejahatan. Kalau kamu sebut korupsi berarti dia tidak pinter, meskipun dokter, meskipun profesor, meskipun orang penting. Tapi bukunya banyak Pak Ia, tetap tidak bisa disebut orang winter. Tapi dia tahu kok Pak, bahwa kalau misalnya maling atau makan haknya orang lain itu negatif. Ya dia cuma tahu saja, masih belum sadar. Makanya dia masih tega korupsi. Berarti sebenarnya dia belum tahu. Kalau dia tahu sampai dalam, sampai detail tentang larangan mengambil haknya orang lain, efeknya kerusakan jiwanya sendiri. dan kerusakan dunia sosial yang ditimbulkannya pasti dia tidak akan mau maling, tidak akan mau korupsi Perbuatan buruk apapun, saya tahu kok Pak ini dilarang tapi saya terpaksa melakukannya. Itu sebenarnya kamu belum tahu. Kalau kamu sudah tahu benar tentang hakikat larangan itu sampai dalam, kamu pasti tidak akan mau melakukannya. Jadi ini rumus dari Socrates, kok ada orang yang masih mau melakukan keburukan, kejahatan, berarti dia belum pinter, belum sadar dan belum tahu. Mungkin masih hafal saja. Kalau sekedar hafal bisa membunyikan, Google sekarang lebih canggih. Membunyikan ilmu Sekarang kamu ngomong saja dia bisa nulis Sekarang kamu cari apa saja dia tahu Kalau sekedar tahu Mesin sekarang jauh lebih canggih Tapi istimewanya manusia kan tidak di situ, istimewanya di keutamaan arite, kebijaksanaan ini. Hidup yang tidak sekedar tahu, tapi juga sadar dan yang masuk akal, yang rasional. Inilah dua yang utama dasar etiknya Socrates. Makanya dia punya satu quotes yang terkenal sekali, There is... Only one good knowledge and one evil ignorance. Hanya ada satu kebaikan yaitu pengetahuan dan hanya ada satu kejahatan yaitu kebodohan. Ignorance. Tambah pinter orang pasti dia tambah baik. Tambah tidak pinter orang pasti dia kelakuannya tambah tidak terkontrol, tambah buruk. Kok ada orang ngaku pinter tapi kelakuannya buruk, sebenarnya dia belum pinter. Orang pinter itu kelakuannya baik. Oke, ini rumus ya. Awas jangan dipelesetkan, orang pintar minum. Gak ada hubungannya. Itu yang kamu ikuti saja. Jadi ini rumusnya Socrates, berarti pengetahuan itu berkorelasi dengan moralitas kebaikan. Baik, kita lanjutkan. Nah, ada tiga pertanyaan moral yang dibahas oleh Socrates dari berbagai dialognya. Yang pertama adalah bagaimana seseorang harus menjalankan hidupnya? Yang kedua, jenis tindakan apa saja yang termasuk kebajikan. Dan yang ketiga, bagaimana orang hidup bersama orang lain, bersama masyarakatnya. Kita hidup ini kan diminta benar dan baik. Pernah tidak kita bertanya, hidup yang benar dan baik itu yang seperti apa? Nah ini ditanyakan pertanyaan moral pertama dari Socrates. Kamu tahu tidak sih standar-standar hidup benar dan baik, hidup yang bermoral? Yang kedua, apa saja tindakan yang termasuk benar dan baik tadi atau kebajikan tadi? Mungkin kalian pernah belajar tentang akhlak, tentang moral kan, dijelaskan semua itu. Ini baik, itu baik. Tapi mungkin kalian mengidentifikasi perbuatan baik itu pernah tidak berpikir apa sih yang dimaksud itu dan aku sudah termasuk itu atau belum. Jujur itu baik, apa sih jujur itu, terus aku sudah jujur apa belum. Sabar itu baik dibandingkan pemarah. Luaku itu tergolong orang sabar atau orang pemarah? Cirinya apa? Nah ini Socrates. Jadi kalau kamu ngaku-ngaku, Pak saya itu penyabar loh Pak orangnya. Buktinya apa? Cirinya apa? Sabar itu apa sih? Kamu keseri bilang, sabar kan ada batasnya. Yowis, batasnya sabar itu di mana? Bagaimana? Standarnya orang bisa disebut penyabar itu seperti apa? Bedanya apa sabar dengan takut misalnya? Kadang-kadang kamu sebenarnya takut, tapi kalau ditanya, kok kamu tidak berani? Saya sabar saja lah. Kita kan campur-bawur itu yang begitu-begitu. Ini takut apa sabar? Ini marah apa tegas? Buat kamu jangan marah-marah gitu. Ini bukan marah ini, tegas ini. Kalau macam-macam tak tampai leng kamu. Nah itu kan kita sering mencampur ini. Kita sering tidak kritis. Ayo coba diurai lagi. Pasnya gimana? Standar yang cocok. Kadang-kadang kita itu menjustifikasi perilaku kita yang buruk dengan akal kita. Nah ini yang membuat terus jadi ruwet. Padahal janjanya itu salah. Tapi terus kita benarkan sendiri. Kita tidak jujur. Kita tahu itu salah. Tapi kita tidak jujur pada diri kita. Ini kalau ketemu Socrates kamu habis mesti. Jadi, itu cara dia yang kedua. Dan yang ketiga, penting juga dipertanyakan hidup bersama orang lain yang baik itu yang seperti apa. Ini yang paling rumit yang nomor tiga ini sebenarnya. Kalau yang awal-awal kan hidup individual kita, karena hidup sosial itu melibatkan subyek yang lain, yang sama powernya dengan kita, sama posisinya dengan kita. Ini tidak sederhana. Ini nanti kalau di Socrates melahirkan seni namanya politik. Jadi yang paling rumit itu memang tata hidup bersama yang dikenal dengan politik. Meskipun hari ini kan di pikiran kalian kalau saya ngomong politik, bayanganmu kan partai-partai pilihan presiden, pilih kada. Padahal yang paling urgent dari politik itu kan cara tata masyarakat yang baik. Karena ya sebagian besar hidup kita itu kan berhubungan dengan orang lain. Kalau tata masyarakat kita buruk, kacau, ya kita sendiri nanti yang pontang-pantik. Ini banyak dibahas nanti di pandangan-pandangannya Socrates tentang politik. Baik, kita lanjutkan. Nah. Menurut Socrates, moralitas itu punya dua syarat. Yang pertama reason, yang kedua impartiality. Reason itu nalar, masuk akal. Jadi perbuatan baik itu pasti masuk akal. Berarti apa? Pasti mudah dicari argumen rasionalnya. cirinya rasional tidak ada kebaikan yang tidak masuk akal kenapa sih kok kita harus menghargai orang tua itu kan menjawabnya mudah sekali kenapa kok kita harus jujur tidak boleh bohong itu menjawabnya mudah sekali gampang, masuk akal kenapa kita tidak boleh mengambil miliknya orang lain mencuri haknya orang lain itu kan belum dijawab pun rasanya akal sudah bisa menerima kalau kita itu jangan mengambil hak Hanya orang lain. Ini namanya ciri perbuatan moral itu reason. Kok ada satu perbuatan kamu mengakunya moral. Tapi ketika ditanya alasannya bulet. Ini sebenarnya baik Pak. Tapi kalau dilihat dari sudut sana. Dengan perspektif ini pakai teori ini. Itu baru kelihatan baiknya. Kalau sekilas belum kelihatan Pak. Itu kemungkinan enggak. Terlalu rumit. Biasanya perbuatan baik itu langsung bisa ditangkap dengan akal, masuk akal sudah. Jadi tidak perlu dipikir rumit. Yang kedua, cirinya perbuatan moral itu imparsial. Berlaku untuk siapapun, kapanpun, dimanapun, tidak memihak. Kalau untuk saya Pak, boleh bohong, tapi yang lain harus jujur Pak. Ini namanya tidak imparsial. Jadi ya semuanya sudah, kalau tidak boleh korupsi ya semua tidak boleh korupsi. Dan tidak boleh dicari-cari situasi yang membolehkan korupsi. Jadi ini prinsip imparsial. Kapan pun dan dimanapun, pada siapapun ini bisa diterapkan. Kalau masih milih-milih, menyeleksi dan lain sebagainya, kemungkinan ada pelanggaran moral. Jadi moral itu harus tidak memihak. Harus objektif ruang dan waktunya, kapan pun, dimanapun, hukum itu berlaku. Ini namanya impartiality. Jadi kalau kalian bingung, Pak, yang saya lakukan ini bermoral apa tidak, pertama-tama coba tanyakan pikiranmu. Masuk akal tidak yang kamu lakukan? Ada kegamangan tidak? Makanya Rasulullah itu kan Waktu ditanya dosa itu apa Wahai Rasulullah Jawabnya Rasulullah Apa yang tergetar Membuatmu agak tidak enak Tidak nyaman Ada yang tidak beres ini Kalau istrinya Socrates Mungkin tidak masuk akal Ada yang tidak cocok, tidak masuk Itu kemungkinan dosa. Nanti dilanjutkan oleh Nabi kan ciri kedua, kalau orang lain tahu, kamu malu, kamu tidak suka. Kalau orang lain tahu ini, saya tidak enak. Itu kemungkinan besar tidak beres. Tapi kalau biar saja orang lain tahu, tidak masalah, itu kemungkinan aman perbuatanmu, bukan sesuatu yang salah atau dosa. Ini bagi orang normal ya, karena kadang-kadang ada yang tidak normal itu, perilaku memalukan ya dipamer-pamerkan. Ini sudah memandangnya khusus, tapi secara normal perilaku bermoral itu pasti masuk akal, nyaman dilakukan. Siapapun tahu kita tidak malu. Tapi kalau tidak masuk akal, kita melakukannya maju-montur, ragu-ragu, dan kita malu kalau orang lain tahu, kemungkinan tidak beres. Nyontek misalnya, itu kan kamu tidak tenang. Apakah ada mahasiswa ujian nyontek terus santai, maupun bisa nyontek, tidak. Kan pasti dia, ini harus cepat selesai, ini sebelum ketahuan. Dia tidak mau orang lain tahu. Kalau orang lain tahu gelisah. Itu kemungkinan salah. Jadi kamu tidak perlu nyari ayat Qurannya apa. Dilarang nyontek itu susah. Kamu rasakan saja. Begitu kamu merasa ini tidak pas. Tidak nyaman. Orang lain tahu. Mesti saya malu. Ini kemungkinan keliru. Perbuatan yang salah. Karena memang prasaratnya moralitas itu dua. Reason dan impartiality. Baik, kita lanjutkan. Nah, disitu Socrates nanti bilang bahwa sistem moralitas yang didasarkan pada nilai-nilai emosional sementara itu hanyalah ilusi. si belaka konsep yang kasar, yang tidak masuk akal, dan tidak ada benarnya. Jadi moralitas itu tidak bisa didasarkan pada sentimen kita. Suka dan tidak suka kita. Kita kan itu sering memilih sesuatu dengan dasar suka dan tidak suka. Ini kan dasarnya emosi. Kata Socrates tidak masuk akal yang seperti itu. Kebaikan itu dasarnya pengetahuan, bukan emosi. Bukan kok, ya karena saya sudah suka itu Pak, kayaknya saya sudah cocok dengan itu. Tidak, bukan itu, bukan emosi dasarnya. Dasarnya itu ya pengetahuan. Maka tadi Socrates dikenal alirannya objektifis. Jadi ada kebenaran, ada kebaikan yang objektif. Standar-standar kebaikan itu objektif. Bukan karena perasaan kita. Kalau hanya mengandalkan perasaan kita, mungkin seperti tadi, orang yang tidak blek, melakukan keburukan rasanya bisa nyaman saja. Maka dasarnya harus pengetahuannya. Kalau ini tidak boleh loh, tapi enak ya Pak. Ayo, tidak boleh kok alasannya enak. Tidak boleh, itu sudah standarnya begitu, dilarang. Jangan nyari enaknya saja, senangmu saja. Ada standarnya sendiri. Ini yang membuat Socrates nanti disebut alirannya objektifis. Kok ada orang memutuskan satu perbuatan hanya dari emosinya saja, hanya dari kesukaannya saja pilihan supaya. objektifnya saja itu bagi Socrates tidak masuk akal dan tidak ada benarnya. Yomileh tindakan itu dasarnya pengetahuan tentang standar-standar kebenaran tadi. Baik, lanjut. Nah, ini agak menarik. Ini sering dihubungkan dengan cinta. Kalau ada kata cinta kamu melay. Jadi orang yang secara sungguh-sungguh menginginkan kebenaran, kebaikan tadi, itu nanti kualifikasinya adalah kualifikasi cinta. Keinginan akan kebaikan itu berhubungan dengan cinta. Makanya ada kalimat dari Socrates, love is desire. Cinta itu menginginkan. Ciri paling dasarnya cinta itu kan menginginkan. Kamu jujur atau tidak kalau ditanya saya mencintai sesuatu, itu kan menginginkan sesuatu. Maka menginginkan kebenaran, kebaikan tadi, ya jenisnya jenis cinta sebenarnya. Nah, Orang itu kenapa mencintai sesuatu, menginginkan sesuatu? Pasti karena dia menganggap dibalik sesuatu yang dia cintai ada kebaikan dan kebahagiaan untuk dirinya. Jadi, aku cinta padamu itu karena aku menganggap dalam dirimu ada kebahagiaan untuk diriku. Itu realistisnya begitu, meskipun nanti nanti bahas cinta kelas tinggi kan bisa, wah itu tidak ada pamrih, tidak ada apa-apa, tidak kata Socrates. Sederhananya kamu mencintai sesuatu itu kan menginginkan sesuatu. Kenapa kamu inginkan? Karena kamu anggap itu membawa kebaikan, membawa manfaat untuk dirimu dan kamu merasa bisa bahagia dengan itu. Itu dasarnya cinta. Jadi, tidak mungkin sejak awal orang mencintai itu tidak berdasar ingin memperolehnya. Dia mesti ingin meraihnya karena aku merasa dalam yang aku cintai ini ada. Ada manfaatnya dan membawaku pada kebahagiaan. Maka moralitas yang menginginkan kebahagiaan, yang menginginkan kebaikan, kebenaran tadi, ini sebenarnya jenis perilaku cinta. Yang tujuannya kebahagiaan. Jadi, Mbak kamu, Pak saya itu cinta, Ekhlas, tulus, rela, Tidak pamrih apa-apa. Tapi ketika kamu melakukan itu pun Sebenarnya kan tujuanmu ingin bahagia. Entah bahagia bersamanya atau Bahagia ditinggal nikah sama orang lain. Tapi kan kamu inginnya bahagia. Jadi jenis perbuatan moral itu pada puncaknya adalah berilaku cinta. Berilaku ingin sepenuhnya meraih sesuatu dan memperoleh kebahagiaan. Ini nanti yang dilanjutkan oleh para filosof muslim Bahwa seperti Imam Ghazali dan Ibn Miskawe Ketika kita menginginkan sesuatu, mencintai sesuatu Yang tujuannya mencari kebahagiaan Jangan cari kebahagiaan yang semu Kalau sekedar harta, kalau sekedar mungkin orang lain, pasangan, kalau sekedar apapun yang kita cintai, hanya se-level itu, ya mungkin kita ketemu kebahagiaan, tapi kebahagiaan yang tidak hakiki. Kejarlah kebahagiaan yang paling hakiki, yang tidak semua. Itu nanti ketemunya di cinta ilahiyah. Kamu menginginkan yang cantik-cantik, yang maha cantik, Tuhan, Allah. Kamu menginginkan yang perkasa, yang kuat, yang gagah, yang maha gagah, Allah. Kalau kebahagiaanmu dari yang baik-baik, yang maha baik, Allah. Nah ini konsep ini nanti dilanjutkan oleh para filosof muslim arahnya ke mahabatullah, cinta ilahiyah. Nanggung kalau hanya mencintai makhluknya, cintai saja sumbernya. Apapun keistimewaan dalam diri makhluk, pasti sempurnanya ada di kholiknya. Kholik yang menciptakan makhluk yang indah, pasti dia juga puncaknya keindahan. Nah itu. Sesi dulu ketika kita membahas mahabatullah Tapi nanti ini hubungannya tadi Moralitas dengan cinta Nah tujuan etik Tujuan moralitas itu kalau di Socrates Ketemunya di kebahagiaan tadi Nanti dalam berbagai dialognya Socrates Ini menguji banyak orang Kesimpulannya Socrates, ada orang yang menganggap kebahagiaan itu sama dengan kesenangan. Ada orang yang menganggap kebahagiaan itu sama dengan kehormatan. Ada pula yang menganggap kebahagiaan itu adalah kebijaksanaan. Nah ini agak beda-beda pandangannya orang. Meskipun nanti setelah dikejar-kejar oleh Socrates ya ketemunya justru yang hakiki itu yang wisdom. Orang yang bahagianya hanya karena kesenangan, kesenangan itu kan rasa berbunga-bunga sesaat, itu kemungkinan dirinya, jiwanya dikendalikan oleh nafsu. Jadi kalau bahasanya para filosof muslim itu jiwanya jiwa bahimah. Bahimah itu binatang ternak. Binatang ternak itu kan enak hidupnya. Makan disediakan, dia tinggal santai-santai. Nanti kawin juga pasangannya disiapkan. Kemudian beranak-pinak, kemudian nyaman hidupnya. Orang mengejar ini saja. Kalau di kepalamu isinya, gimana saya kaya, gimana nanti punya rumah, punya mobil, punya anak, punya istri, punya banyak, anak banyak, punya istri, punya istri, punya anak banyak, kualit re kamu. Jadi, berarti apa? Kamu menganggap kebahagiaanmu hanya dari kesenangan. Jadi kamu tipe orang yang pertama ini. Jangan lupa ini durasi kebahagiaan yang paling singkat. Pleasure. Meskipun karena... Sangat nyata kelihatannya kamu sering terobsesi dengan ini. Enak nih, barang enak itu kan kelihatan dan dekat. Kamu sering tertipu dengan pleasure ini. Kesenangan yang sesaat. Ada yang versi dua. Versi dua ini orang yang menganggap kehormatan sebagai sumbernya kebahagiaan. Kata, Socrates ini orang yang dikendalikan oleh hasrat dan pengakuan orang jadi dia sangat peduli dengan komentarnya orang, pandangannya orang, pengakuannya orang terhadap dirinya Kalau bahasanya para filosof muslim, orang yang menganggap kehormatan level 2 ini sebagai sumber kebahagiaan, itu jenis jiwanya adalah jenis sabu'iyah, sibak. Sabu'iyah itu kalau tadi binatang ternak, kalau sabu'iyah itu binatang buas. Binatang buas itu kan fokusnya mengalahkan yang lain, agresif. Manifestasinya biasanya kalau kalian yang ada di pikiranmu, gimana saya harus menang? Ranking satu semua harus di bawah saya. Yang lain harus jatuh, saya yang harus naik. Saya harus jadi yang paling unggul, yang nomor satu mengalahkan semuanya. Ambisius. Ini berarti kalian menganggap kebahagiaanmu ada pada kehormatan status pengakuan. Ini ya sebenarnya tidak salah kalian punya cita-cita. Sebagaimana tadi tidak salah kalian mengejar kesenangan terpenuhinya hasrat hidupmu. Tapi harus tahu batas. Kalau hanya mikir itu saja, fokus ke situ saja, ya kamu kehilangan banyak. Dalam hidupmu, karena hidup isinya tidak hanya itu. Kalau kamu hanya mengejar pengakuan orang saja, ada banyak sekali dimensi hidupmu yang lain yang akan terbengkalai. Padahal mungkin di situ juga terletak sumber-sumber kebahagiaanmu. Maka, Kalau bisa jangan menumpukan kebahagiaan pada pleasure and honor. Pada kesenangan dan kehormatan, tumpukan saja pada yang ketiga, wisdom. Nah kalau ini yang natikoh, makhluk yang rasional, yang berakal. Jadi pada pengetahuan, kebijaksanaan. Bahagia kok tumpuannya kebijaksanaan itu kamu akan total bahagiamu. Kenapa? Pleasernya dapat, kehormatannya dapat. Tadi saya sebut seneng-seneng itu harus tahu batasnya. Untuk tahu batasnya kamu harus bijaksana. Ambisi boleh, tapi harus ngerti pasnya, batasnya. Untuk tahu batasnya, kamu butuh wisdom-nya. Maka puncaknya bahagia sebenarnya perlu kebijaksanaan, perlu wisdom. Nah, maka menurut Socrates, happiness itu orang itu ada kalanya fokus di pleasure, ada kalanya fokus di honor, tapi yang pas fokusnya di wisdom, kebijaksanaan. Baik, terus menurut Socrates, Rutenya kebahagiaan itu seperti apa? Nah ini rute ke belakang ya Jadi orang bahagia itu Kenapa tadi bukan kesenangan, bukan kehorasan Di situ dijelaskan lagi, karena banyak orang itu yang terpenuhi semua kebutuhan binatang ternyata. Tadi yokaya, anaknya banyak, pokoknya hidupnya makmur, tapi tidak bahagia. Gelisah, kesepian. Banyak juga yang terhormat. Status sosialnya tinggi, dihormati. Tapi dia tidak tenang hidupnya, khawatir, was-was. Tidak nyaman. Jadi pasti bukan dua itu. Rute yang cocok apa? Rute yang saya gambar itu. Bahagia itu terjadi ketika Jiwa kita berada dalam kondisi terbaik. Itu yang disebut perfection of soul. Nah, untuk membuat jiwa kita berada dalam kondisi terbaik, kita perlu jadi orang baik. Perilaku kita harus perilaku yang bermoral. Untuk tahu perilaku moral yang pas. Untuk diri kita, kita perlu kebijaksanaan atau wisdom. Jadi ini konsep kebahagiaannya Socrates. Diawali dari perfection of soul, kemudian perfection of soul ini adalah buah dari kebajikan moral. Dan kebajikan moral itu kuncinya wisdom, wisdom itu sumbernya adalah pengetahuan. Maka orang yang tidak mau belajar, tidak mau menambah wawasan, sulit bahagia. Kenapa? Karena dia tidak akan sampai pada wisdom. Nanti banyak keputusan yang meleset, tidak cocok, tidak sesuai, karena mungkin pengetahuannya kurang. Kalau keputusannya meleset, perbuatannya juga pasti tidak sesuai, tidak cocok. Kondisi jiwanya tidak optimal, makanya dia tidak bahagia. Jadi rumusnya kebahagiaan dari Socrates itu kuncinya wisdom yang dimanifestasikan lewat perbuatan baik yang itu nanti membuahkan perfection of soul, jiwa kita yang jadi. Utama, optimal. Jadi kita itu, jiwa kita itu dayanya luar biasa. Untuk bisa optimal dia harus kita wujudkan melalui perbuatan-perbuatan baik yang sumbernya wisdom, yang wisdom sumbernya pengetahuan. Nanti boleh dicoba. Coba kamu cek dirimu sejauh mana pengetahuanmu berefek pada perbuatanmu dan perbuatanmu membuat nyaman batinmu. Semakin tinggi pengetahuan, semakin puas rasa batinmu. Nah ini bahagia yang lebih hakiki dibandingkan bahagia kesenangan-kesenangan sementara kehormatan pengakuan. Kalau kalian mengalami perfection of soul, komentar-komentarnya orang kritiknya haters itu tidak terlalu penting lagi kita sudah nyaman, puas dengan diri kita kenapa kok kita sering gelisah, itu karena biasanya kita belum puas dengan diri kita maka kita mencari keluar kemana-mana Akhirnya hanya gelisah. Makanya kadang-kadang banyak cerita-cerita ini orangnya terkenal, kaya raya, sering main film, banyak main drama, kok tiba-tiba bunuh diri. Itu dia gelisah. Dalam dirinya tidak mengalami tadi perfection of soul. Nah, ini argumennya Socrates ini mungkin menarik kalau teman-teman ditanya orang kenapa sih kita harus berbuat baik. Jadi selama ini mungkin kita menganggap berbuat baik itu manfaat untuk orang lain. Amal soleh itu menguntungkan orang lain. Kalau pakai teorinya Socrates ini enggak. Perbuatan baik kita itu menguntungkan kita sendiri. Karena disitulah terjadi perfection of soul. Kondisi jiwa kita jadi optimal. Akhirnya kita nyaman, kita tenang. Enggak gelisah lagi. Itulah mengapa ada quotes yang mungkin agak berat dari Sokrates Lebih baik menderita ketidakadilan daripada kita yang melakukannya Memahami ini harus hati-hati Jadi, maksudnya bukan berarti kalau kita ditidak adili diam saja. Tapi seandainya harus milih, kita yang didolimi orang, ataukah kita yang mendolimi orang, ya pastinya jangan dua-duanya. Tapi kalau harus milih, pilihlah biarlah aku saja yang didolimi, jangan aku yang dolim. Kenapa? Karena kalau aku yang dolim, itu sebenarnya yang rusak diriku sendiri. Kalau aku yang menyusahkan orang, itu kita tidak sadar sedang meruntuhkan jiwa kita sendiri, mengacaukan jiwa kita sendiri. Jadi memang jangan dua-duanya, kalau dalam Islam itu kan unsur akhokah, dholiman atau madhuluman. Bantulah saudaramu baik dalam kondisi dholim atau madhuluman, karena dua-duanya ini kondisi tidak adil. Tapi seandainya harus mele Kalau versi quote-nya Sokratas ini Ini kalau harus mele loh ya Ya kalian harus mele Biarlah enggak apa-apa orang jahat padaku Asal jangan aku yang jahat padanya Karena kalau aku yang jahat padanya Bukan urusan dia tersakiti Tapi urusan jiwaku ini loh yang rusak Ada kotoran sekarang, ada kegelapan yang masuk dalam diriku. Makanya di beberapa kesempatan kan sering saya sampaikan, jangan sampai buruknya orang lain menjadi awal buruknya diri kita. Orang lain misuh-misuh, maki-maki pada kita. Itu jangan jadikan ini. Terus, oh dia maki-maki saya ya Pak. Saya harus bales maki-maki. Ya mungkin kamu puas karena sekarang skornya seri satu-satu. Tapi ada ruginya. Ruginya apa? Dia mungkin jiwanya sudah keruh sejak tadi. Kamu yang awalnya jernih sekarang jadi ikut keruh. Kamu kalah sebenarnya. Seolah-olah satu-satu, tapi itu dua-satu. Kamu kegulan dua kali. Kamu kegulan ketika dia maki-maki kamu dan kamu marah. Dan sekarang kamu ikut bales maki-maki dia, itu gul kedua. Kalau dia sih memang awalnya sudah gelap, ya tetap gelap. Kamu yang awalnya terang, sekarang jadi gelap. Kamu yang kalah. Maka kata Socrates lebih baik menderita ketidakadilan daripada melakukannya. Ya kalau mungkin memang jangan ada saling tidak adil. Tapi kalau halus milih. Tidak apa-apalah Daripada Saya ikut kotor karena Mendolimi orang, biarlah orang mendolimi Aku Dengan argumen ini Semoga teman-teman bisa Menangkap maksudnya Karena kadang-kadang kalau di medsos itu kan menangkapnya, wah itu tidak boleh tidak adil itu. Cuma ini konteksnya pilihan. Kalau harus milih antara ditidak adili atau mentidak adili, ya mending kamu milih ditidak adili. Pertimbangannya apa? Jiwamu yang harus sehat. Oke, baik. Nah kita lanjutkan. Kebajikan itu nanti, atau virtu kalau bahasa Inggrisnya, menurut Socrates, apa sih kebajikan itu? Kebajikan itu adalah kebijaksanaan. Jangan lupa wisdom, ternyata perbuatan baik itu perbuatan yang bijaksana. Untuk bertindak secara efektif atau tepat dalam situasi tertentu Berdasarkan pengetahuan tertentu Jadi kalau kalian tanya Apa ini perbuatan baik atau buruk? Coba dicek itu ada dasar pengetahuannya tidak? Ada dasar ilmunya atau tidak? Kemudian pas atau tidak situasinya? Efektif atau tidak? Kalau pakai bahasa epistemologi, dasar pengetahuan itu namanya know that, kesesuaian dalam pelaksanaan, kecocokan dalam pelaksanaan, baik. itu namanya know how jadi baik itu know that dan know how know that itu tahu apa know how itu tahu bagaimana jadi know that saya tahu bahwa Allah itu satu-satunya tauhid know how itu saya tahu bagaimana caranya menomorsatukan Allah Secara pas, secara tepat. Inilah baik namanya. Jujur itu baik. Dalam posisi situasiku saat ini, cara jujur yang pas itu begini. Itu namanya know-how. Itulah yang disebut bijaksana. Makanya kalau ada pernyataan, kebenaran itu belum cukup. Kita perlu sampai pada kebijaksanaan, kebenaran itu know that. Kebijaksanaan itu know-how. Jadi saya ngerti Pak yang benar ini. Nah know-how-nya lah terus kamu melaksanakannya bagaimana? Kamu menjalankannya bagaimana kebenaran itu? Itu know-how. Ada banyak kebenaran yang kalau dijalankan tanpa kamu pertimbangkan situasi, dia bisa berubah jadi keburukan. Berarti kamu tidak bijaksana, tidak pinter know-how-nya. Jadi, karena hidup itu kan enggak sesimpel di teorinya, kadang situasinya kompleks sudah. Ada temenmu dandan berjam-jam terus, aku cantik enggak? Itu kan pertanyaan menjebak itu. Ini mau jujur apa mau? Itu kan kamu harus ngerti know-how-nya. Jadi makanya kamu jawab saja, perlu jawaban kebenaran atau kebijaksanaan. Karena ini isinya bisa beda antara know that dan know how tadi. Jadi justru kebajikan itu yang mix dua-duanya. Mix itu berarti kebenarannya tidak boleh ditinggal. Tapi diaplikasikan secara tepat. Yaitu know how-nya. Nah selanjutnya Sokrates menjelaskan ada empat kardinal virtus. Ini nanti dilanjutkan juga oleh muridnya Plato. Kebajikan yang paling utama, semua kebaikan yang lain sumbernya empat ini. Yang pertama berani, keberanian. Yang kedua kesederhanaan atau moderasi. Moderasi itu maksudnya pas, tidak kurang, tidak lebih. Tidak berlebihan juga, tidak kekurangan. Yang ketiga kebijaksanaan, wisdom tadi. Dan yang keempat keadilan. Kebaikan apapun, kebenaran apapun, sumbernya empat ini. Keberanian. Keberanian itu jangan dikira sepele. Kalian yang mengaku pemberani apa benar, kalian pemberani. Wang banyak kebenaran yang kalian tahu, menghidupkannya kalian males. Itu namanya enggak berani. Saya tahu kok Pak, sodakoh itu sesuatu yang benar. Cuma kamu kan tidak berani mulai. Eman-eman nanti kalau sudah kaya. Nanti kalau sudah kaya, nanti kamu nawar terus. Ini namanya kamu kekurangan sikap berani. Saya tahu kok Pak, solat malam itu utama dia. Lah kok kamu enggak solat? Nanti lah Pak, ini masih. Itu berarti kamu kurang berani. Jangan dikira keberanian itu simple. Justru kebaikan enggak akan lahir kalau enggak ada keberanian. Yang kedua moderasi, moderasi itu maksudnya pas, tidak kurang, tidak lebih. Kalau memang perlunya 10 ya 10, tidak kurang, tidak lebih. Kayak makan tadi yuk, satu piring cukup, yuk jangan dua piring. Jangan setengah piring, nanti kamu kurang, cukupnya satu piring. ini namanya moderat tidak berlebihan makanya sekarang kan banyak itu proyek-proyek moderasi beragama yang bahasa Arabnya wasatiyah, wasatiyah itu kan tengah-tengah Tidak berat ke kiri, tidak berat ke kanan. Tidak kekurangan, tidak berlebihan. Tidak ifrot, tidak tafrit. Ini sumbernya kebaikan. Yang kurang dan yang lebih berarti tidak baik. Berlebihan tidak baik. Makan berlebihan tidak baik. Makan kekurangan tidak baik. Tidur berlebihan jelek. Kurang tidur juga jelek. Tidur yang pas saja. Pas ngantuk tidur, kalau saya ngantuk terus pak, ya tidur terus. Itu jenengnya males. Jadi ini teori moderasi, sumbernya kebajikan. Yang ketiga kebijaksanaan, tadi sudah banyak dijelaskan. Dan yang keempat keadilan. Tentu saja semua yang baik pasti adil. Yang buruk pasti tidak adil. Boleh kalian cari contoh sebanyak mungkin. Bahkan empat itu kalau harus diperas hanya satu, satu-satunya prinsip kebajikan keadilan. Makanya keadilan itu banyak filosof yang membahasnya secara khusus. Jadi kebajikan moral versi Socrates yang kardinal ya empat ini. Kardinal berarti yang paling utama. Keberanian, moderasi kadang diterjemahkan kesederhanaan, kemudian kebijaksanaan dan keadilan. Nah, kita singgung sedikit, tadi sempat disebut etika di ranah politik, hubungan dengan orang lain tadi. Menurut Socrates justru ini yang paling penting. Etik tanpa politik itu tidak aktual. Tidak ada nilainya. Sebaliknya, politik tanpa etik bahaya. Rusak nanti hidup ini. Politik di sini artikan politeia. Politeia itu tata masyarakat. Tata masyarakat kok enggak ada etiknya, bahaya. Etika kok enggak bahas tata masyarakat, kurang lengkap. Kurang aktual. Maka ini penting, sisi politiknya ini. Hari ini kan kalau ngomong politik kita lebih sifatnya pragmatis kekuasaan. Kalau di Socrates bahas politik itu. Itu sisi etiknya. Bagaimana pengendalian perilaku manusia dalam hidup bersama yang mendukung perfection of soul tadi. Jadi gimana hidup politik yang kondusif terhadap perkembangan jiwa? Nah ini tidak sederhana. Kata Socrates yang tertinggi dari semua kebanyakan. adalah seni politik yang mencakup tata negara dan membuat seorang menjadi politisi dan pejabat publik yang baik. Ini puncaknya ilmu etik, itu etika politik. Nanti kapan-kapan kita bahas panjang lebar etika politik ini, mumpung deket-deket tahun keramat. Karena hari ini banyak orang lupa, ketika ngomong etik itu bayangannya hanya kekuasaan. Nah, etika politik membuat warga negara jadi warga yang baik dan benar, kata Socrates. Etika politik akan melahirkan politikus sejati. Politikus sejati. Jadi itu insan kamil atau manusia sempurna yang jiwanya memuncak, perfection of soul tadi, sekaligus dia mampu mempengaruhi jiwa-jiwa yang lain sehingga juga sama-sama memuncak. Hidup bersama di tengah masyarakat yang sama-sama mendukung pertumbuhan jiwa Tidak malah merusaknya Inilah sisi etiknya politik Dan ini menurut Socrates tidak bisa instan Harus ada pendidikan politik yang mengajarkan etika politik Jadi pendidikan Tentang etika politik. Nah ini. Saya tidak tahu. Kalian di kampus ada tidak. Meskipun jurusannya. Bukan politik. Ada tidak. Mata kuliah etika politik. Oke. Kan kalian gelisah. Belakangan ini dengan politik. Coba ada enggak ya? Atau mungkin di lembaga-lembaga apa, silahkan diikuti. Karena ini nanti berhubungan dengan tata masyarakat, sementara hidup kita itu enggak bisa dilepaskan dari hidupnya masyarakat. Baik ini waktunya sudah mepet Sekarang kita jelajahi beberapa prinsip besar etik dari Socrates Ini yang saya sebut tahu diri dan tahu batas Versi Socrates Kata Socrates Orang tahu diri itu adalah orang yang sadar bahwa masih sangat banyak hal yang belum dia tahu. Ini penting, rasa tidak tahu itu. Jadi kita ini kan sering lebih merasa tahu apa-apa. Justru kata Sokrates harusnya kita lebih merasa tidak tahu apa-apa. Kenapa? Ketika kita merasa tidak tahu berarti kita akan belajar. Berarti kita akan nambah wawasan baru, nambah ilmu baru. Nah disinilah nanti kita tambah meningkat kualitasnya. Kalau kita merasa sudah tahu tidak akan meningkat lagi. Sudah selesai, kita merasa sudah. Ini rumus pertama, orang yang tahu diri dan tahu batas. Orang yang merasa tahu segalanya berarti dia tidak tahu dirinya. Tidak kenal dirinya. Sepiter apapun dia, pasti masih sangat banyak hal yang dia tidak tahu. Harus tetap sadar, aku belum tahu. Aku masih harus banyak tahu. Ini prinsip sehubungan dengan tadi loh, karena dasarnya moral itu pengetahuan, kita kalau ingin semakin baik, semakin baik harus terbuka untuk belajar. Kalau kita ingin terbuka diri kita sendiri, siap belajar, mental kita adalah mental tidak tahu dan ingin tahu. Bukan mental sudah tahu. Biasanya kalau orang sudah tahu itu akhirnya jadi tukang ngasih tahu. Padahal dia belum tahu. Ini bahaya kalau kata Imam Ghazali kan, kalau ada orang yang tidak sadar, tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, ini orang ini bahaya, harus segera diingatkan. Karena kalau orang tidak tahu, kalau aku ini tidak tahu, itu kan gayanya kayak seperti orang tahu, padahal dia tidak tahu. Akhirnya Abayo Kayaknya kayak kiai kemana-mana, kamu harus sabar, kamu harus banyak ibadah, kamu... Lho dia pengetahuannya hanya kopi pasta misalnya, orang itu coba nge-share postingannya orang saja, tapi kamu merasa seolah-olah aku sudah tahu. Nah ini yang kita pakai rumus ini kurang tahu diri. Harus tahu diri. Kemarin saya ada yang bertanya itu, pertanyaan sangat fikih sekali. Kan sudah saya bilang di mana-mana saya bukan ahli fikih. Ketika pertanyaannya fikih, ya saya jawabnya mohon maaf, saya tidak tahu. Ah Pak Faiz, kalau saya yang tanya mesti males nyari jawabannya. Loh ya memang kalau tanya filsafat, ayolah, kalau saya tidak tahu, tak cari-cari, orang saya bukan ahli fikih, kalau filsafat oke. Kalau fikih bukan ahlinya, nanti dianggap kayak orang ahli fikih, padahal bukan ahli fikih, nanti ngasih falsifat. fatwa yang menjerumuskan. Harusnya haram terus dibilang bisa saja itu halal. Caramu kan begitu. Tergantung perspektifnya dari mana. Itu kan kamu sering ngamur begitu. Intinya enggak tahu. Jangan kalau enggak tahu, bilang saja enggak tahu. Kalau kamu sesat sendirian enggak apa-apa. Tapi kalau kamu menyesatkan orang itu bahaya. Itu prinsip tahu diri tahu batas. Yang kedua adalah ada lagi prinsip tahu batas ini kalimat terkenal dari Socrates orang yang tidak puas dengan apa yang dimilikinya dia tidak akan puas dengan apa yang ingin dia miliki Ini sebenarnya penjelasan tentang orang yang tadi ambisius, orang yang hanya fokus pada kesenangan dan pengakuan orang lain. Orang ambisius itu biasanya tidak menikmati yang sekarang dinikmati, mikirnya yang lain terus. Akhirnya apa? Dia tidak bisa bahagia. Jadi orang yang tidak bisa menikmati yang dia miliki sekarang, karena mikir target sesuatu, seandainya yang dia target itu sudah kena, dia pun akan tidak bahagia juga. Kenapa? Dia pasti ingin yang lebih, yang lagi. Jadi itu ciri, kata Socrates. Berarti apa? Ini sebenarnya kalau pakai bahasa agama, jadilah pribadi yang bersyukur. Bersyukur bukan berarti mandek, tapi iya saya punya target ke depan ini, tapi saya bisa menikmati yang saya miliki sekarang. Ya nanti kalau dapat lebih, saya syukuri lagi, saya nikmati lagi. Jadi karena mentalnya memang mental bersyukur. Tapi kalau mentalnya menuntut, ya sekarang punya berapa dia menuntut lebih, besok dapat lebih pun dia menuntut lebih lagi. Tidak ada titiknya, koma terus, itu kan capek hidupmu kalau koma terus. Ya harus bisa menikmati situasimu hari ini, mensyukuri. Sekarang jumlah bersyukur Alhamdulillah, Pak, tidak ada yang ganggu. Besok mungkin dapat pasangan Alhamdulillah, sekarang tidak sendirian lagi. bahagia jadi kalau kamu belum mikir gimana dapat pasangan, kamu tidak bahagia sekarang mungkin besok juga tidak bahagia begitu dapat pasangan bayangan saya tidak seperti ini loh pak punya pasangan itu ternyata beda nah itu bagian dari ayo kenali diri tahu batas kita yang ketiga Socrates bilang Ingatlah tidak ada sesuatu yang tetap dalam urusan manusia, oleh karena itu hindari kegembiraan berlebihan dalam kemakmuran atau kesedihan berlebihan dalam kesengsaraan. Kalau baca kalimat ini terus kamu tidak tahu bahwa ini yang ngomong Sokrates, mungkin kamu anggap ini Sufi yang ngomong. Karena kalimatnya sangat sufistik. Jangan berlebihan, apapun nanti akan lewat dan berlalu. Kamu hari ini senang, pasti tidak akan senang selamanya. Kamu hari ini sedih, yakinlah tidak akan sedih selamanya. Bahkan kalau kamu hari ini senang itu mungkin hanya satu bagian dari hidupmu saja. Di bagian yang lain mungkin ada masalah. Ketika kamu hari ini sedih mungkin itu hanya satu sisi saja dari hidupmu. Sisi-sisi yang lain itu sebenarnya kegembiraan dan kesenangan. Cuma tidak kamu tengok. Misalnya, Pak saya sedih Pak, semester ini nilai saya jatuh misalnya. Kamu hanya lihat ini, kamu tidak melihat. Kamu sehat, ada temanmu yang sakit. Kamu masih enak, masih nyaman. Meskipun nilai kamu jatuh, kamu bisa lanjut kuliah. Temanmu nilainya tidak jatuh, tapi dia tidak lanjut. Uangnya habis, tidak bisa membayar lagi. Dan banyak yang bisa kita syukuri, cuma kita biasanya hanya lihat satu sisi, satu sudut itu. Bahkan seandainya memang hampir semua sisi hidup kita sedih, pasti juga akan lewat kok tidak mungkin sedih terus. Mesti nanti masa itu akan ganti-ganti. Tidak ada kok monotone, senang terus, sedih terus. Bahkan seandainya, enggak pak, lama saya sedih terus. Itu pun nanti intensitasnya beda. Sedih di serangan pertama dengan sedih lama-lama, lama-lama sedih itu kan jadi biasa. Kamu lama-lama jumlo, itu kan biasa. Jadi justru, kesenangan juga begitu. Senang kan? Tidak mungkin senang terus. Seandainya memang senang terus hidupmu, tapi rasa senangnya kan intensitasnya turun. Main game lah kamu, menang. Kan kamu senang. Menang terus ternyata pak, itu kan harusnya senang terus. Tapi kan enggak, begitu menang terus, begitu menang selanjutnya kan kamu biasa. Biasa pak, ya menang. Kemarin-kemarin juga menang, dulu juga menang, jadi enggak excited. Itu kayak mahasiswa mulai semester satu nilainya A terus. Itu kan semester pertama dia dapat nilai A, itu kan senangnya luar biasa. Sekarang semester... Tertuju dia dapat nilai A. Dia tidak kaget lagi. Nilai ku A ya. Ah biasa. Padahal temannya dapat nilai C+. Saja sujud syukur. Dia dapat abiasa. Nah ini intensitas. Makanya kata Sokrates, sudah lah, enggak usah terlalu heboh dengan situasi batinmu. Nanti juga akan berlalu. Apapun itu, senang atau sedih. Kalau yang terakhir ini mirip dengan yang tadi. Rahasia kebahagiaan itu tidak ditemukan dalam mencari lebih banyak, tetapi dalam mengembangkan kemampuan untuk menikmati. Menikmati yang sedikit. Ayo latihan menikmati yang kita miliki sekarang. Yang itu mungkin menurut kita masih sedikit. Sehingga kita jadi tangguh. Besok kalau dapat lebih banyak, Alhamdulillah. Sedikit saja kita bisa bersyukur apalagi dapat banyak. Nah ini kuncinya kebahagiaan. Jadi tidak pada ambisi untuk memperoleh lebih banyak, tapi kemampuan kita untuk mensyukuri yang sedikit. Ini sama dengan tadi. Baik, masih ada lagi beberapa tentang kebajikan dan kebijaksanaan. Kata Sokrates, umat manusia ini ada dua jenis orang, yaitu orang bijaksana dan orang bodoh. Orang bijaksana tahu dirinya bodoh, orang bodoh itu yang mengira dirinya bijaksana. Jadi ini kebalikannya, ini semacam hukum kontradiksi. Begitu kamu merasa pinter, saat itu juga kamu bodoh. Tapi orang yang sadar bahwa dia bodoh, saat itu dia pinter, karena berarti setelah ini dia akan belajar. Ini kebalikannya. Baik, jadi kalian ya kalau di level kesadaran, sadarilah bahwa masih sangat banyak hal yang kita belum tahu, maka kesadaran kita adalah kesadaran belum tahu dan ingin tahu. Sokrates juga bilang kebajikan tidak datang dari kekayaan, tetapi kekayaan dan segala hal yang lain yang dimiliki manusia berasal dari kebajikan. Jadi yang tadi kehormatan, kemudian kesenangan, tolong jangan jadi tujuan. Tujuan kita adalah kebajikan, kebijaksanaan. Itu saja tujuan kita. Lupa lagi mana kita hidup butuh harta, kita hidup butuh kehormatan juga. Kalau kita menetapi dua ini di antara efek dari kebajikan dan kebijaksanaan itu kesenangan dan kehormatan. Jadi akan jadi efeknya. Tapi kalau kalian hanya mengejar kesenangan saja, mengejar pengakuan orang saja, kebijaksanaan dan kebajikan tidak akan ikut. Karena misalnya kamu mengejar pengakuannya orang, kebaikanmu kan hanya kebaikan pencitraan. Tidak bisa disebut kebajikan. Misalnya kamu mengejar harta, kebaikanmu kan dalam rangka dapat reward harta. Belum bisa disebut kebajikan karena ikhlasnya kurang. Maka dibalik rumusnya, kebajikan dan kebijaksanaannya dulu dijalankan. Di antara efeknya nanti kesenangan dan pengakuan orang. Kalau kita melakukan kebajikan ikhlas lillahi ta'ala, otomatis orang. orang ngakui kita, kok kita enggak usah minta akan diakui. Dan kita juga akan senang. Nah itu rumus kedua. Nah ini juga pesan dari Socrates, kalau engkau menginginkan kebaikan, segera laksanakan, bahkan sebelum engkau mampu. Tetapi jika engkau menginginkan kejelekan, segeralah hardik jiwamu karena telah menginginkannya. Ini hubungannya dengan keberanian tadi. Begitu ada niat baik, ayo segera diwujudkan. Jangan ditunda, jangan ditawar, jangan cari alasan. Niat baik yang muncul di hati kita, di pikiran kita itu kalau pakai bahasa agama itu kan sebenarnya bagian dari ilham, bagian dari pancaran cahaya dari Allah. Itu mungkin doa kita dikabulkan. Ih dinasirotol mustaqim. Sama Allah. Ya ini ada jalan lurus. Muncul keinginan untuk melakukan kebaikan. Itu kalau kita tawar. Kita tunda. Kita cari alasan untuk tidak melakukan. Ya mungkin lama-lama yang ngasih jalan. Males ngasih lagi. Maka begitu punya niat baik, siapapun kalian teman-teman tentang apapun segera dieksekusi. Ya tentu saja semampu kita. Makanya tadi bahkan sebelum mampu, itu maksudnya semampu kita, ayo dijalankan. Kuatnya baru 10% nya ya tidak apa-apa. Tapi kan paling tidak kita mengikuti petunjuk kebaikan itu. Yang oleh Allah dilimpahkan langsung dalam diri kita. Baik, ini silahkan direnungi nanti. Karena saya melihat teman-teman hari ini kan sering menunda-nunda barang baik. Nanti saja lah Pak, besok saja lah Pak. Ah masih ada waktu Pak. Kebiasaan seperti ini ayo diperangi sekarang Kalau itu kebaikan, lebih cepat lebih baik Kalau untuk keburuan sebaliknya Begitu muncul niat buruk, segera bersihkan Istilahnya Sokrates, hardiklah dirimu Kok bisa mikir kayak gitu? Nah itu segera keluarkan. Kok pikiranmu tiba-tiba ngeres? Segera bersihkan. Kok iso-iso ini membayangkan yang begitu-begitu? Jangan dibiarkan terlalu lama. Kotoran itu kalau terlalu lama, membersihkannya susah. Pikiran buruk, keinginan buruk itu kalau masuk di dalam diri kita terlalu lama selain membersihkannya susah akan mengotori yang lain. Jadi, mungkin membuat ini instalasi dalam dirimu konsulat sudah. Pikiranmu ngeres tadi, itu akhirnya kan terus kamu kemana-mana, ya liatnya ngeres sudah. Kacamata mu kacamata ngeres, kacamata buram. Maka begitu ada keinginan buruk, cita-cita buruk, pikiran buruk, cepat-cepat dibersihkan. Ya manusia memang alamiah saja kadang-kadang mikirnya aneh-aneh, jelek-jelek, tapi jangan dibiarkan. Bersihkan secara sengaja. Anda boleh aku mikir gini, mikir kok aneh-aneh. Bersihkan. Nah, ini dawuhnya Socrates ya. Ini bukan sufi siapa. Jadi level seorang filosof. Terakhir ini hubungannya dengan kebaikan dengan sesama tadi kata Sokrates, bersikaplah baik kepada semua orang yang engkau temui karena setiap orang punya pertempurannya sendiri. Jadi jangan menganggap dirimu paling malang, jangan menganggap dirimu paling layak dikasihani, jangan nuntut orang ini itu, setiap orang punya peperangannya sendiri. Maka, maka hargai setiap orang. Kadang-kadang ada orang yang kelakuannya kok tidak cocok dengan keinginan kita, dengan visi kita, dengan pikiran kita. Ya mungkin masalah yang dia hadapi berbeda. Kok ada orang sebegitu tersinggungannya? Mungkin dia punya peperangannya sendiri. Kok ada orang pemarah sekali? Kok ada orang, ya setiap orang kata Socrates, punya pertempurannya sendiri. Hargai setiap orang. Jangan hanya... melihat dengan kacamata kita kacamata kita tidak selalu cocok dengan orang lain maka bersikaplah baik pada semua orang karena semua orang punya pertempurannya sendiri. Baik saya kira itu untuk malam hari ini etikanya Sokrates. Minggu depan kita lanjutkan mungkin agak teknis kita belajar cara berpikir, cara berdiskusi, berdialog sebagaimana dilakukan oleh Sokrates. Oke, saya akhiri. Kurang lebihnya mohon maaf. Wallahu'l-mu'afiq, wallahu'a'lamu'bis-sawab. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.