Pada 1 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI, tengah sampai pada hari terakhir dari rapat pertamanya. Pada saat itu, Soekarno memberikan sebuah pernyataan yang menarik. Dia berkata, Bahwa kemerdekaan, political independence, ialah satu jembatan emas. Dan di seberang jembatan itulah, kita akan menyempurnakan masyarakat kita.
Pada dasarnya, bila Indonesia ingin sejahtera atau cerdas, ya kita merdeka dulu. Tahukah kalian, bahwa pendapat yang mirip juga diutarakan oleh tokoh Tan Malaka dalam bukunya Madilog. Guru dan tokoh revolusioner ini berkata, kalau Indonesia tidak merdeka, maka ilmu alam itu akan terbelenggu pula.
Kini, setelah 75 tahun Indonesia merdeka, apakah kita sudah menggunakan jembatan emas ini dengan benar? Apakah ilmu-ilmu alam sudah bebas dari belenggunya? Bagaimanakah nasib Indonesia, khususnya dalam pendidikan? Berdasarkan data World Bank mengenai net enrollment rate Indonesia, partisipasi pendidikan di Indonesia sedikatakan sangat tinggi.
Meski demikian, Indonesia juga menempati peringkat yang sangat rendah dalam hal membaca, matematika, dan IPA. Bahkan, dalam keadilan gender pun, kita tidak terlalu baik. Sebelum kita mulai, saya mau mengatakan bahwa permasalahan pendidikan di Indonesia sangatlah kompleks.
Kita belum bisa membahas semuanya di sini. Namun, pemikiran akan pendidikan yang ideal memang sudah dicanangkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Tan Malaka misalnya, menganggap pendidikan sebagai alat untuk bertahan hidup, sejahtera, dan membantu kaum jelata.
Idealnya, pendidikan harus membuat masyarakat mampu menghadapi kenyataan dengan berpikir secara logika, dan tidak mengandalkan hal-hal yang gaib. Ilmu alam dan matematika memang harus dikuasai. Namun tentu, tidak semua anak sama.
Disinilah Ki Hajar Dewantara dengan sistem pendidikan AMONG-HADIR. Sistem ini mengedepankan unsur-unsur pembelajaran, keterampilan, dan nilai-nilai tradisional yang mengasah keterampilan yang diminati oleh sang anak. Masing-masing anak tidak diwajibkan untuk memahami dan mendalami seluruh mata pelajaran. Dan tentunya, Kartini memiliki semangat bahwa pendidikan harus bisa didapatkan secara setara oleh kaum pria maupun wanita.
Lalu, mengapa impian dan idealisme dari ketiga toko ini masih terhambat? Sementara Indonesia masih kekurangan guru yang kompeten, stabilitas Indonesia sudah terancam oleh perpecahan dan perang dingin yang berkecamuk. Pemerintahan belum sempat mencetak guru-guru berkualitas. Bahkan, dari sedikit guru yang sudah ada, banyak yang bergabung dengan angkatan bersenjata untuk berjuang. Dalam situasi ini, kuantitas guru lebih diprioritaskan dari kualitas.
Tujuan guru dan pendidikan pun lebih diarahkan ke menanamkan patriotisme. Sehingga, pengembangan sains seperti yang diimpikan oleh Tan Malaka pun masih harus menunggu. Pada era ini, intervensi pemerintahan pusat terhadap pendidikan yang kuat tidak serta-merta hilang begitu saja. Malah, meningkat.
Lebih parahnya lagi, Semua guru PNS harus mendukung haluan partai tertentu dan sesuai dengan kebijakan negara. Karena fokusnya pendidikan diarahkan ke pembangunan negara, pendidikan terlalu seragam dan fokus ke ilmu eksak, sehingga tidak terlalu membuka ruang bagi minat kesenian dan ilmu sosial. Siswa-siswi pun diharapkan mempelajari semua hal, walaupun tidak diminati. Pendidikan terus memerlukan guru yang berkualitas. Namun di Indonesia, hal ini masih jauh dari kenyataan.
Berdasarkan data Kemendikbud, rata-rata hasil dari uji kompetensi guru di Indonesia masih tidak jauh dari angka 50. Tentu, ini tidak sepenuhnya salah guru itu sendiri. Ada banyak permasalahan seperti insentif menjadi guru berkualitas yang masih kurang, dan berbagai hal lainnya. Pemerintahan harus turut segera meningkatkan kinerja guru. Bila tidak, Bagaimana mungkin siswa dipaksa untuk menjadi lebih baik? Ada hal menarik dari hasil PISA 2018. Di Indonesia, siswi cenderung jauh lebih baik dalam matematika, IPA, dan membaca daripada siswa.
Namun, di saat kita melihat data, potensi ini tidak berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan riset dari Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak-Anak, persentase laki-laki 15 tahun ke atas yang telah menamatkan pendidikan SMA ke atas lebih tinggi dibandingkan perempuan. Di sisi lain, persentase perempuan 15 tahun ke atas yang tidak menamatkan pendidikan sekolah dasar dan tidak atau belum pernah bersekolah sama sekali lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Dan di pedesaan maupun perkotaan, persentase perempuan yang tidak tamat SD lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Ditambah lagi, berdasarkan riset Bank Dunia, tingkat partisipasi tenaga kerja dari laki-laki pun masih jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sepertinya, impian Kartini masih jauh dari kenyataan. Sekali lagi, video ini memang belum membahas segala permasalahan pendidikan di Indonesia. Namun, secara sekilas, Kita melihat bahwa kita tidak kehilangan murid yang cerdas atau guru yang kompeten.
Kita hanya belum memiliki sistem pendidikan yang kondusif untuk mengembangkan bakat dan minat siswa ataupun kompetensi dari guru. Meskipun demikian, kita tidak boleh hanya mengandalkan situasi. Apapun yang kita hadapi ke depan, pendidikan dan kegiatan belajar adalah sesuatu yang harus terus kita kejar.
Bila kalian ingin belajar lebih lanjut, Kalian dapat melakukannya dengan aplikasi Zenius yang bisa kalian dapatkan di App Store maupun Play Store. Zenius dilengkapi dengan Zenius Learning Framework atau cara belajar ala Zenius, di mana kalian diperkenalkan dengan konsep-konsep sains, matematika, dengan secara konseptual dan bukan hafalannya menggosankan. Zenius juga dilengkapi dengan fitur Zencore, di mana kita akan diberikan soal-soal latihan agar melatih cara kita berpikir dengan lebih disiplin. Alhasil, kita dapat mengambil keputusan yang lebih baik dalam kehidupan kita sehari-hari.
Zenius juga terinspirasi dari pemikiran tiga tokoh tersebut, Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, dan R.A. Kartini. Jangan lupa untuk menyaksikan video serupa oleh Inza Ricardo, Ferry Irwandi, Kevin Anggara, Koharo, dan Neuron.