Jadi jangan berpusat di daya saingnya, tapi berpusat di manusia-manusia
yang mau dibangun memiliki daya kritis, memiliki imajinasi, sangat kreatif. Nanti mereka dengan sendirinya, dengan keahlian yang mereka pilih
dalam bidang ilmunya, itu akan menemukan cara bagaimana bersaing. orang yang berpendidikan adalah
orang yang mengerti betul tugas dia hidup di dunia,
hidup bersama dalam suatu negara, bangsa, dan juga kemanusiaannya. Kepada setiap anak ditanamkan: “Kamu lahir untuk hal-hal besar.” Ad maiora natus sum:
lahir untuk hal-hal besar. Apa itu hal besar? Hal besar itu lebih daripada dirimu sendiri, lebih dari kepentingan empat tembok
rumahmu. Jadi, pendidikan itu
bukan hanya mengolah akal budi, - tapi mengolah batin, emosi.
- EQ dan IQ. Ya. Emosi ini hal yang sering dilupakan. Halo teman-teman.
Selamat datang di seri spesial ini yang melibatkan sosok-sosok
dari berbagai kampus, termasuk Stanford University. Tujuan dari seri ini adalah untuk mendatangkan
ide-ide yang menggugah pikiran yang sangat berharga bagi Anda. Saya berterima kasih atas dukungan Anda dan selamat datang di seri spesial ini. GITA WIRJAWAN: Halo teman-teman,
hari ini kita kedatangan Ibu Karlina Supelli, seorang pengajar di STF Driyarkara
dan tentunya seorang pemikir juga. Ibu Lina, terima kasih banyak,
bisa hadir di Endgame. KARLINA SUPELLI: Terima kasih, diundang. Ini sudah lama banget kita tunggu-tunggu dan tentunya banyak sekali yang minta
untuk saya ngobrol dengan Bu Karlina. Silakan diceritain masa kecilnya. Masa kecil, saya lahir di Jakarta,
tapi besar di Sukabumi. Sukabuminya di kampung, di Selabintana. Dan jadi anak kampung yang main
nggak takut lumpur, pulang sekolah ganti baju, taruh tas,
makan, lalu langsung keluar. Jadi hubungan saya dengan alam
itu sangat dekat, betul-betul dekat karena sehari-hari
seperti itu. Malamnya indah sekali, penuh bintang,
itu membuat saya tertarik. Itu masa kecil. Lalu, pindah sekolah ke Jakarta sebentar,
satu tahun, kemudian ke Bandung,
dan akhirnya sekolah di Bandung - di jurusan Astronomi ITB.
- Kenapa astronomi? Saya sebetulnya sempat terpikir
mau menjadi ahli kimia, karena waktu saya kelas 3 SD atau kelas 4, saya diberi buku oleh kakak saya, pinjam sebetulnya dari perpustakaan,
biografi Madame Curie. - Waktu itu disadur ke...
- Kelas 3 SD? Kelas 3 SD. Saya sangat tertarik, saya jatuh cinta. Waktu kecil, saya sebenarnya 2 dua tokoh
yang saya jatuh cinta. Pertama, Marie Curie,
yang kedua, Don Quixote. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia
Don Quixote. Itu dua sisi yang sangat berbeda; yang satu, fiksi dengan segala imajinasi
yang liar luar biasa, yang satu, seorang ilmuwan
yang sangat pendiam, tapi dengan imajinasi
yang tidak kalah luar biasa. Tapi kan saya tidak mungkin jadi
Don Quixote. Jadi, saya begitu tertarik terhadap
apa yang dilakukan Madame Curie. Jadi, saya mau jadi ahli kimia. Tapi kakak saya lebih dulu masuk
di ITB, dia di jurusan Teknik Mesin, laki-laki. Lalu dia bilang, “Karlina di ITB
ada jurusan Astronomi, tentang bintang-bintang. Saya yakin, kamu pasti senang di situ,
pasti tertarik." Lalu saya cari-cari informasi. Dan ingat masa kecil. Dia ingat bahwa waktu kecil
saya senang lihat bintang, dsb. Ya sudah, akhirnya menemukan pilihan. Dan ketika harus memilih, saya pilih
pilihan pertama: Astronomi, pilihan kedua: Astronomi,
baru pilihan ketiga: Geologi. Tapi nggak banyak partisipannya
saya dengar. Angkatan saya waktu itu
hanya tiga orang dari sekitar 1.200 mahasiswa ITB. Memang sedikit sekali, dan saya satu-satunya perempuan
di angkatan saya, hanya tiga orang; yang dua laki-laki,
saya perempuan (satu) tidak banyak. Jadi kuliahnya sangat intensif, dan lulus sebagai Sarjana Astronomi
waktu itu. Lalu melanjutkan studi space science,
dan akhirnya filsafat. Ini sudah lewat dari masa kecil,
sudah masuk ke masa dewasa. - Tapi di UI ya S3-nya?
- Untuk filsafat, di UI. Kenapa filsafat? Saya sebetulnya ketika di Inggris, dengan mengambil S2 Space Science,
saya sudah masuk, diterima, dan sudah riset untuk PhD
dalam astrofisika energi tinggi; kosmologi. Tapi saya sakit dan cukup serius waktu itu,
jadi dokter bilang perlu waktu, dan memang perlu waktu
untuk pengobatan. Jadi, saya pulang ke Indonesia,
sempat berobat di Belanda, bolak-balik. Banyak sekali waktu habis. Dan saya punya keluarga, waktu itu saya sudah punya 2 anak kecil. Akhirnya saya diskusi
dengan pembimbing saya di Inggris, lalu memutuskan,
saya bilang, “Saya cuti dulu.” Dan mereka selalu bilang,
“Nanti silakan dilanjutkan.” Nah, pada saat-saat itu,
saya sempat mendengarkan kuliah Alm. Prof Toety Heraty,
filsafat ilmu, di UI waktu itu. Lalu saya seperti terbuka,
bahwa sains, hard science, saya dengan astrofisika energi tinggi
itu kan betul-betul hard science, itu bukan satu-satunya. Dan sebetulnya jauh sebelum itu,
saya sudah mulai tertarik dengan problem-problem filosofis
di dalam ilmu tentang alam semesta. Akhirnya saya memutuskan
ini jalan yang terbaik untuk dua hal; untuk saya dan keluarga, tapi juga untuk
perkembangan keilmuan saya. Dan akhirnya saya senang
mengerjakan itu, menemukan dunia intelektual
yang tempat saya bisa dalam masuk. Waktu kecil, ada nggak peristiwa
yang memberikan inspirasi selain baca Marie Curie atau Don Quixote. Saya ini mau gali lebih dari sisi guru. Ada nggak guru yang bikin ibu nyetrum mengenai satu topik
atau satu jalur apa pun? Oh iya jelas sekali,
mulai dari sekolah dasar. Mulai dari sekolah dasar di kelas 3,
kelas 5 SD, saya ingat kalau di kelas 5 SD,
namanya Ibu Lis. Saya agak pemalu kalau disuruh maju
ke depan, entah menyanyi, entah bicara, dsb., tapi dia punya kepercayaan
bahwa setiap murid itu asal ditemani,
(dia) akan bisa berekspresi. Dan dia betul-betul menemani, merangsang murid dengan bertanya dan memberi kebebasan untuk, misalnya,
kalau sesudah akhir pekan, hari Senin masuk sekolah, diberi kesempatan untuk bercerita
apa yang dialami selama akhir pekan. Dan itu bebas.
Jadi diberi kebebasan. Tapi yang kemudian sangat nyata sekali
adalah di SMP. Satu guru ilmu alam, waktu itu disebutnya
ilmu alam memang. Dan dia juga mengajar kosmografi. Dan tidak pernah dia menghentikan
pertanyaan murid. Saya termasuk yang suka nanya
macam-macam. Dia tidak pernah menghentikan,
tapi menggali. Dan sesudah itu, saat istirahat, misalnya, dia akan bilang, “Baca deh buku ini,
baca buku ini.” Yang paling berkesan adalah
satu guru ilmu ukur. Namanya Pak Sinaga.
Kalau yang tadi Pak Suyitno. Pak Suyitno masih hidup,
beliau masih hidup. Pak Sinaga sudah meninggal. Pak Sinaga ini sebetulnya
keahliannya sastra, tapi dia juga punya keahlian matematika, jadi, ilmu ukur waktu itu. Dia mengajar di kelas, saya memang senang matematika, saya senang ilmu alam dan matematika. Jadi, karena senang, lalu cepat selesai
di kelas, kalau dikasih tugas. Nah, karena cepat selesai,
saya mulai bengong-bengong, ganggu teman ke kiri, ke kanan,
nengok ke belakang, ganggu. Dia perhatikan, dia memberi sanksi
yang sama sekali tidak terduga. Dia bilang, “Karlina, kamu ke perpustakaan, kamu baca buku, tapi kamu hanya boleh
memilih buku sastra Indonesia. Jangan pilih biografi ilmuwan
atau apa pun, tapi sastra.” Lalu dia bilang ke guru
yang di perpustakaan untuk memperhatikan itu. Jadi saya membaca karya-karya sastra. Dan dia akan tanya,
“Karya sastra apa yang kamu baca?” Nah, di sini bagi saya luar biasa
dan saya heran sekali. Ini guru matematika,
tapi kok saya disuruh baca sastra? Dan ternyata itu mengolah batin. Saya memang sudah senang,
karena ibu saya senang membaca sastra, baca novel. Itu sebabnya dari kecil sebetulnya
sudah dibiasakan. Tetapi kan, ini khusus sastra Indonesia. Dan itu mengolah batin. Saya sampai sekarang bertanya-tanya,
dan kiranya menemukan jawaban. Ketika dalam proses menulis,
mencari metafor, lalu saya ingat buku-buku sastra
yang saya baca. Ternyata sains pun juga memerlukan. Dan sastra itu betul-betul menghaluskan
batin kita. Nah, guru-guru seperti ini
yang saya kira, saya tidak akan pernah lupa. Bahkan ketika saya sudah lulus ITB, dengan bangga menunjukkan kepada dia
bahwa saya bisa bercerita tentang alam semesta,
dia mendengarkan dengan tekun bersama murid-muridnya,
saya diminta waktu itu. Setelah sepi, semua selesai,
dia datang dan bertanya, “Saya bangga sekali
Karlina sudah bisa bercerita dengan ilmunya.” Kepala saya besar, ini guru yang saya hormati
bilang saya sudah hebat. Tapi tiba-tiba dia tersenyum,
lalu bilang, “Apakah kau akan berhenti di sini?” Jadi tidak cukup hanya ketika saya
masih menjadi murid dia dipancing terus untuk melampaui
apa yang sudah kita capai. Ternyata setelah saya lulus
dan bangga dengan ilmu saya, dia masih menggugat. Saya kira guru seperti ini
yang mengajak anak terus bertanya, terus gelisah, berani untuk berimajinasi,
kritis. Saya sering kali ngobrol mengenai
betapa pentingnya peran guru jauh lebih besar daripada kurikulum. Dan saya sering kali ngomong bahwasanya kalau gurunya itu
benar-benar oke banget dia itu dalam setahun bisa ngajar
mungkin ajaran selama 1,5 tahun. Tapi kalau dia nggak oke sama sekali, mungkin dalam setahun, dia hanya bisa
ngajar setengah tahun ajaran. Dan kita ini dipelototi dengan kenyataan bahwa masih banyak guru-guru
yang kurang oke di negara kita. Ini gimana mengenai situasi atau kondisi
kayak begini, menurut Bu Karlina? Saya setuju ya dengan pendapat Pak Gita
bahwa guru itu penting sekali. Dan kurikulum tentu juga penting,
tetapi jauh lebih penting adalah guru. Kurikulum yang begitu padat, dirancang, tanpa guru yang bisa
bukan hanya memenuhi tuntutan kurikulum, tapi terutama memancing anak. Kalau saya ingat,
tentu tantangan zaman berbeda, tidak bisa dibandingkan. Tetapi, dulu, kurikulum tidak sepadat sekarang. Tetapi guru-guru yang baik
bisa menyampaikan tema-tema yang dituntut dalam kurikulum. Di Indonesia memang sangat memprihatinkan, dan saya kira ini sudah banyak dibahas bahwa perhatian kepada guru
itu sudah ditingkatkan sekarang ini, tetapi belum cukup. Karena Indonesia begitu bervariasi,
dari Sabang sampai Merauke. Tuntutan kurikulum ini disamakan
dari Sabang sampai Merauke. Tetapi gurunya tidak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan
kebutuhan lokal. Jadi guru itu habis waktunya
untuk mengikuti kurikulum. Padahal mungkin guru punya kreativitas untuk melihat apa yang ada di lokal
yang dibutuhkan oleh anak-anak. Sehingga dia perlu justru diberi kesempatan
untuk itu dan mendapat kesempatan untuk sekolah. Jadi memprihatinkan sebetulnya. Kita perlu, pertama-tama,
dalam dunia pendidikan, itu adalah mendukung kemajuan guru. Saya juga melihat sistem kompensasi
untuk guru juga tidak selaras dengan
kepentingan bangsa ke depan. Oh iya, itu sangat memprihatinkan kalau kita ke daerah-daerah terpencil
di Indonesia, nggak usah daerah terpencil, di kota-kota besar itu ada guru
yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya ada yang terpaksa jadi supir Gojek, dsb.,
karena memang sangat minim. Dan sekarang ada tunjangan tambahan,
tetapi untuk itu, dibutuhkan sertifikasi. Sementara sertifikasi itu jumlahnya juga
terbatas, jadi harus antri. Dan untuk sertifikasinya itu macam-macam, macam-macam persyaratan birokrasinya
sehingga tidak mudah. Hal yang sama berlaku untuk dosen juga. Jadi saya menganggap dosen ini
juga guru, hanya tempatnya di perguruan tinggi. Itu sama, diberi tuntutan birokratis
yang sangat rumit, guru itu banyak waktunya habis
untuk memenuhi tuntutan birokratis, bukannya mengembangkan kreativitas
yang dia bisa pakai untuk mengajar. Tuntutan kurikulum harus selesai. Sementara itu kaku sekali.
Jadi, sangat memprihatinkan sebetulnya. Jadi, yang diberikan itu pelajaran. Sedikit sekali, saya tidak menafikkan
bahwa ada sekolah-sekolah yang berhasil memperhatikan betul kebutuhan guru, baik finansial maupun yang untuk pendidikan, tetapi sangat tidak merata. Ini hanya sekolah-sekolah yang berhasil
mendapat dana, misalnya. Jadi, yang diberikan itu bukan pendidikan,
tetapi pelajaran. Kurikulum itu kan pelajaran,
begitu selesai, ya sudah, yang penting dia dapat nilai, lulus. Tapi pendidikan, itu lebih dalam
daripada pelajaran. Menurut Ibu, definisi orang berpendidikan
itu apa? Wow, ini pertanyaan yang saya kira
sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Ini agak-agak nyerempet ke filsuf sekarang. Tapi penting nih. Bahkan kalau gini,
saya telusur sedikit dulu. Saya karena mengajar kosmologi
di STF Driyakara dari segi filosofis dan budaya. Itu kembali ke ketika sistem tulis itu
mulai ditemukan. Itu di Mesopotamia.
Lalu ada kelompok kecil di Sumeria, tapi kemudian Babylonia, yang mengembangkan keahlian
untuk menulis dan melanjutkan dalam pemikiran,
apakah itu sastra, agama, dsb. Dan ini sudah ada definisi kelompok
orang-orang yang terpelajar dan berpendidikan. Dan itu artinya adalah
mereka yang bisa berpikir. Ini tentu berkembang nanti
di zaman filsafat, apakah filsafat Yunani atau filsafat Asia,
Barat ataupun Timur. Tapi intinya adalah orang-orang
yang bisa berpikir, bisa berimajinasi, dan bukan hanya berpikir
untuk dirinya sendiri, tetapi bagaimana itu kemudian dituangkan, diterapkan untuk kebaikan bersama. Jadi pendidikan itu bukan untuk
diri sendiri; bahwa kita mencapai, oh hebat,
mencapai pendidikan tinggi. Tapi alasan adanya pendidikan itu sendiri
apa? Bukan hanya untuk satu orang
tumbuh berkembang, lalu memanfaatkan ilmunya
untuk kepentingan dia atau keluarga atau kelompok-kelompok terdekat. Tapi alasan adanya pendidikan
sejak awal sekali. Apakah itu mulai dari Sumeria,
Mesopotamia, Yunani, Tiongkok, dst. Bahkan ketika negara kita ini berdiri, itu adalah untuk menghasilkan
warga negara yang bisa mengabdikan keilmuannya itu
untuk tujuan kebaikan bersama. Tentu dia punya kepentingan untuk dirinya,
punya minat; dia tertarik pada bidang tertentu,
itu yang dia kembangkan, tetapi hasil akhir. Jadi, mungkin saya keliru,
tapi bagi saya, orang yang berpendidikan adalah
orang yang mengerti betul tugas dia hidup di dunia,
hidup bersama dalam suatu negara, bangsa, dan juga kemanusiaannya. Jadi, dia mengerti betul posisi dia
dan apa yang bisa dia sumbangkan. Sekarang ini, dengan situasi dunia
seperti ini, Indonesia, itu suatu keistimewaan,
suatu privilese. Coba lihat tenaga kerja Indonesia,
presentase yang terbanyak apa? Lulusan SD ke bawah. Jadi betapa istimewanya orang-orang
yang bisa mencapai perguruan tinggi, SMA. Nah, ini tentu diharapkan bahwa
pendidikan bisa sejak awal menanamkan kepada siswa-siswa dan kemudian mahasiswanya tanggung jawab yang dia pegang
dengan ilmu yang dia punya. Saya kira itu. Sekurang-kurangnya
saya berpendapat demikian. Jadi berat sekali,
tugas guru itu berat sekali. Tapi dengan situasi yang sangat terbatas
yang dimiliki oleh para guru karena tuntutan administrasi,
lalu keterbatasan apalagi yang di daerah, sulit sekali untuk sampai ke situ. Kalau anak-anak kita itu
diharapkan untuk lebih berkontribusi untuk kepentingan komunal
atau bahkan bangsa dan negara, tapi mereka nggak diajari oleh guru yang mungkin kualitasnya nggak setinggi
seperti apa yang kita inginkan, juga dengan skala yang kita inginkan, ini mau nggak mau
perlu adanya keterbukaan. Keterbukaan dalam konteks beberapa hal, salah satunya adalah untuk bisa
menghadirkan, mendatangkan guru yang berkualitas dari mana pun di mana kita bisa mendemokratisasikan konsep mencari pengajar yang berkualitas
dari Indonesia atau dari luar. Ini saya mau coba sambungkan dengan dua hari yang lalu, saya baru saja ngobrol sama pimpinan dari salah satu
universitas terkemuka di Singapura, dia dengan bangganya bercerita bahwa mereka baru saja mendatangkan
pemenang Nobel untuk bisa mengajar di kampusnya
dengan 2 kondisi. Satu, dia digaji 1 juta dolar setahun. Terus, pemenang Nobel ini
datang dari Eropa, dia minta anggaran sampai 30 juta dolar untuk mendirikan laboratorium
untuk bisa mengedepankan. Saya pikir ini kendala pertama mungkin, untuk banyak sekali negara-negara berkembang yang kemungkinan besar nggak bisa
melakukan hal-hal seperti itu. Tapi yang saya bidik di sini adalah
keterbukaan. Dia kan kepentingannya adalah
untuk mengajari warganya supaya pintar. Terus saya kupas lagi,
“Anda aspirasinya mana?” Kalau kita bisa dapat 100 tahun
untuk menyamakan MIT yang punya 100 pemenang Nobel,
kita perlu 1 abad. Kita nggak bisa menunggu 1 abad. Jadi mau nggak mau kita beli.
Kita beli, targetnya berapa? Mungkin bisa 20-an.
Wah, hitung dolarnya berapa. Tapi dia bilang kalau 1 bisa ngajar
300 orang, terus dalam 10 tahun,
akumulatif dia mengajar 3.000 orang, terus kita punya 2.000,
semakin simpel untuk kita bisa membuahkan pelajar-pelajar atau produk pendidikan
yang berkualitas. Terus pertanyaan ketiga
yang saya tanya ke beliau adalah “Dari pengajar yang ada di kampus Anda,
itu berapa yang asing?” Mungkin 75%. Jadi dari sini saya melihat mereka siap
dan berani menunjukkan keterbukaan, tentunya ditopang dengan ruang fiskal, dsb. Ibu melihat nggak, masa depan Indonesia
bisa agak-agak mirip dengan itu? Atau mungkin itu sesuatu
yang mungkin kurang berkenan? Saya setuju bahwa perguruan tinggi,
itu perlu terbuka. Lembaga-lembaga penelitian perlu terbuka
terhadap dosen asing, peneliti luar. Karena dari situ, lalu akan muncul
berbagai pengalaman yang tidak didapat di sini. Memang banyak dosen-dosen
yang sekolah di luar negeri, lalu kembali mengajar. Tetapi, terutama dosen-dosen yang memang
sudah pencapaiannya luar biasa, itu diundang. Di kampus-kampus di Indonesia,
tentu tidak merata, tetapi ada yang punya program-program
mengundang sebagai dosen tamu. Ada misalnya untuk tinggal selama 6 bulan,
itu sudah ada, atau hanya datang beberapa kali, atau bahkan hanya untuk memberi seminar. Itu sudah ada, tetapi belum merupakan
sesuatu yang berkesinambungan, karena perlu seperti tadi, dia tinggal selama beberapa semester,
punya program, lalu ikut mendampingi penelitian,
penulisan disertasi atau tesis. Dan juga para penelitinya. Indonesia itu cenderung sangat tertutup
terhadap peneliti asing. Ada beberapa kasus yang bahkan
tidak diberi izin, sudah diberi izin tapi lalu dicabut izinnya dengan ketakutan bahwa nanti akan membawa
kekayaan Indonesia ke luar. Tapi sebetulnya kalau dibuat
dalam bentuk kerja sama, itu bisa. Ini yang saya sependapat tadi
dengan yang Pak Gita sampaikan, keterbukaan seperti itu. Memang tentu perlu dipikirkan
dananya bagaimana. Dan dana untuk pendidikan
nampaknya memang perlu ditambah, tapi ditambahnya itu untuk apa? Jadi, prioritas-prioritas
yang mau dikembangkan. Tentu memang sulit
karena perguruan tinggi banyak sekali. Yang mana yang akan dikembangkan? Tapi kalau sudah ada perguruan tinggi-
perguruan tinggi yang terkemuka, dia ini yang punya tanggung jawab kemudian untuk mengirimkan dosen-dosennya
ke perguruan tinggi yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Jadi saling berbagi ilmu. Kita ini masih sering sekali
kalau punya ilmu, lalu maunya disimpan sendiri. Bahkan sering kali punya buku baru
itu disembunyikan, tidak mau dibagi ke teman,
takut nanti temannya juga ikut pintar, jadi kalau bisa disembunyikan. Dunia ilmu tidak seperti itu,
dunia pendidikan tidak seperti itu. Semakin kita terbuka,
semakin ilmu itu akan masuk, dan kita nggak perlu takut
bahwa apa yang kita punya itu akan diambil lalu direbut, karena ilmu itu sebetulnya
semakin diketahui oleh banyak orang, semakin dia akan berkembang. Jadi sangat perlu (keterbukaan). Saya percaya bahwa ilmu itu
harus jauh lebih open source. Dan pertanyaan saya,
gimana merobek individualisasi ini agar lebih terjadi kolaborasi,
lebih terjadi kolektivisasi? Selain itu juga nasionalisme yang sempit,
yang takut sekali. Rasa takut itu sebenarnya
karena nggak percaya diri. Jadi, pengertian nasionalisme
perlu dipahami lebih luas. Justru dengan kita membuka diri
seluas-luasnya, kita akan mendapat kesempatan
untuk menjadi semakin Indonesia di tengah
pertarungan global. Sekarang kita lihat diaspora,
mereka luar biasa maju. Tapi selalu saja masih ada pembicaraan
bahwa mereka tidak mengabdi, kurang mengabdi. Tapi itu keliru. Karena justru mereka adalah
orang-orang Indonesia yang kemudian berhasil
menyumbangkan sesuatu bukan hanya untuk Indonesia
tapi untuk dunia. Ini kan sesuatu yang luar biasa. Ketika kesempatan di Indonesia
sangat kecil, dan dia mendapat kesempatan
di luar, ya sudah. Dia memberi sumbangan untuk
umat manusia yang lebih luas. Saya sama sekali nggak percaya
dengan konsep ‘brain drain’. Saya lebih percaya dengan konsep
‘brain circulation’ atau ‘brain linkage’. Dan kalau saya melihat,
kemarin saya sempat mengajar di Inggris, orang Indonesianya di sana cuma 3 ribu. Tapi orang Cina daratan
atau dari Tiongkok itu 200 ribu. Di Amerika Serikat, 8.500 orang Indonesianya. Orang Tiongkok 400 ribu - 450 ribu.
India 200 ribu. Zaman saya sekolah dulu di Amerika,
itu 16 ribu. Ya, mungkin ada dua observasi di sini. Yang berkesempatan untuk belajar,
itu akan memiliki privilese ke depan, tapi yang gak punya kesempatan
seperti itu, mungkin mereka lebih sulit
untuk mendapatkan peluang atau privilese seperti yang dimiliki. Tapi mungkin yang lebih penting lagi
adalah gimana kita bisa bersaing dengan negara-negara besar lainnya yang memiliki representasi
yang jauh lebih besar di negara-negara mana pun
untuk membidik dan menggali ilmu, termasuk di dalam negerinya juga, tapi di luar negeri itu, mereka,
seperti Tiongkok, ini peradaban yang sudah keren
selama 5 ribu tahun, tapi masih haus mencari ilmu
dari mana pun; Indonesia, Eropa, Amerika. Gimana secara budaya untuk kita mengubah
supaya kita haus ilmu? Ini yang memang memprihatinkan. Sebenarnya kalau kita kembali
ke tradisi Nusantara, Nusantara itu kalau kita baca naskah-
naskah kuno, saya dari Jawa Barat, Sunda,
saya membaca naskah-naskah Sunda kuno, itu kita sudah melihat bahkan ada di dalam salah satu naskah itu
mengatakan, “Kalau mau belajar tentang pertanian,
datanglah ke ahlinya. Kalau mau tahu caranya mencari ikan,
carilah ke ahlinya.” Itu disebutkan detail,
bahwa carilah ke ahlinya. Dan itu terus menerus begitu
dikatakannya. Lalu kemampuan membuat kapal, dsb.,
pinisi. Tapi kita berhenti pada nostalgia
Indonesia pernah, Nusantara pernah seperti itu. Lalu ada periode yang penguasanya
begitu ketakutan dengan rakyat yang kritis, maka pendidikannya lalu betul-betul ditekan. Tidak boleh bertanya, tidak boleh
mengajukan hal-hal yang kritis. Ini mengkhawatirkan sekali,
dan itu sampai sekarang. Yang menarik bagi saya adalah ketika politik etis Belanda diterapkan
untuk Indonesia. Waktu itu masih Nusantara. Lalu para pendiri negara ini,
yang kemudian menjadi pendiri negara ini, orang-orang mudanya mendapat
kesempatan belajar. Ada yang belajar ke Belanda, dst. Tujuannya sebetulnya mau menghasilkan
pamong prajanya Belanda, orang-orang yang cukup berpendidikan,
tapi patuh. Tapi kita lihat apa hasilnya? Hasilnya adalah justru mereka
yang merumuskan kemerdekaan. Jadi berhasil pendidikan itu. Nah, kita setelah itu, sekarang ini
untuk periode yang cukup lama, ada masa ketika yang dihasilkan adalah
orang-orang yang takut bertanya. Jangankan melahirkan rasa ingin tahu,
karena rasa ingin tahu justru ditekan. Tadi bicara tentang Tiongkok
masih terus mau mencari ilmu. Kalau kita bicara daya saing,
mampu bersaing, ada satu juga kekeliruan
dalam pandangan tentang pendidikan. Yang selalu dipromosikan adalah bangun pendidikan yang akan memiliki
daya saing. Kalau kita masuk ke alasan
adanya pendidikan, tadi sudah saya singgung sedikit,
daya saing itu bukan tujuan. Daya saing itu adalah hasil dari pendidikan yang memunculkan orang-orang
yang kemudian punya kompetensi. Jadi jangan berpusat di daya saingnya, tapi berpusat di manusia-manusia
yang mau dibangun memiliki daya kritis, memiliki imajinasi, sangat kreatif. Nanti mereka dengan sendirinya, dengan keahlian yang mereka pilih
dalam bidang ilmunya, itu akan menemukan cara bagaimana bersaing. Jadi keliru sekali kalau slogannya
di mana-mana itu adalah membangun pendidikan yang punya
daya saing. Jangan mulai dari situ. Mulai dari orang-orangnya. Nah, kalau kita lihat di Tiongkok, mereka memang punya disiplin
yang sangat ketat. Nah, disiplin ketat ini juga penting. Jangan sampai otoriter,
saya tidak setuju kalau otoriter. Tapi, disiplin ketat itu penting. Tahu kapan belajar, tahu kapan bekerja, tahu kapan bermain-main dengan medsos. Dan itu perlu dari kecil. Sehingga dia lalu bisa mengolah,
ini juga masuk dalam pengertian pendidikan. Orang yang berpendidikan itu
orang yang bisa mengolah betul pertarungan antara hasratnya
yang menggoda terus, hasrat ini tanpa batas, dengan kemampuan dia berpikir untuk,
"Tidak, saya harus bisa mengolah ini." Jadi, pendidikan itu
bukan hanya mengolah akal budi, - tapi mengolah batin, emosi.
- EQ dan IQ. Ya. Emosi ini hal yang sering dilupakan. Sering kemudian di … ... sekarang disebut budi pekerti, tapi kemudian mau diisi dengan agama. Budi pekerti itu kemudian dibatasi dengan
pelajaran agama. Munculnya dogma-dogma,
ini yang bahaya. Padahal yang dibutuhkan pengolahan emosi,
pengolahan batin, imajinasi, termasuk membayangkan pengalaman
orang lain. Pelajaran sejarah misalnya, bukan hanya menghafal tahun-tahun,
tapi diajak bercerita. Apa perasaanmu ketika membaca
begitu banyak jatuh korban dalam perang? Dalam pertempuran di Surabaya,
(Raymond) Westerling. Itu jangan hanya ditanya apa yang terjadi. Diminta merefleksikan; apa perasaanmu? Ketika dia bisa melihat perasaannya, lalu mengatakan, “Kok perang seperti ini ya,
kok banyak korban. Saya sedih.” Dia bisa kemudian membayangkan
ada di sepatu korban, dan akan membuat dia peka terhadap
penderitaan orang lain, hanya dari belajar sejarah. Kita lalu pakai ini dari belajar sains,
dari belajar matematika. Keindahan sains, keindahan matematika,
tidak diberikan. Nah ini yang saya kira
di banyak sistem pendidikan di luar negeri, maaf saya terpaksa mengacu ke sana, itu sejak kecil sudah diberikan. Jadi anak diminta untuk merasakan,
lalu bertanya. Ini nyambung. Saya mau coba kemukakan
satu lagi observasi. Kemarin dan tadi pagi, saya juga
sempat ngobrol mengenai ... di Amerika Serikat, i
tu mereka memberikan visa H-1B pada lulusan dari universitas
untuk mereka bisa menetap di sana, bekerja sebagai profesional, itu dari seluruh visa yang diberikan, okupasi oleh orang India itu 75%, padahal representasi mereka di kampus
hanya 200 ribu. Sedangkan representasi orang Tiongkok
450 ribu, okupasi Tiongkok dalam pemberian visa,
itu hanya 10%. Korea Selatan yang diwakili oleh
kurang lebih 150 ribu siswa-siswi di seluruh kampus, begitu lulus, mereka hanya dapat
nggak lebih dari 3%. Indonesia itu nol koma. Tapi di sini saya mau membidik komparasi
antara India dan Tiongkok karena ini nyambung dengan kognisi
dan emosi atau emotif. India yang diwakili hanya 200 ribu,
tapi dia bisa mendapatkan 75% dari visa. Tiongkok yang diwakili 450 ribu,
hanya mendapatkan 10%. Dua-duanya secara kognitif
mungkin sama, bahkan bisa dibilang mungkin ada
yang sedikit lebih tinggi daripada yang satu lagi. Tapi si India ini punya soft skills. Saya sering kali ngomong
mereka jago ngecap, mereka cukup piawai memproyeksikan ide. Tapi itu mungkin agak-agak nyambung
dengan kualitas emotifnya atau emotional quotient-nya
bukan hanya intellectual quotient saja. Mungkin dari sini kita bisa belajar bahkan orang Tiongkok juga perlu belajar;
ini gimana? Bisa juga diargumentasikan
banyak yang mau pulang ke Tiongkok. Tapi saya tahu, saya berteman
dengan banyak sekali dari mereka, banyak yang mau menetap di Amerika, karena apalagi kalau urusan dengan
AI, teknologi, dsb. Terus kalau di Silicon Valley, 30% dari ide-ide baru,
itu keluar dari orang India yang keturunan imigran
atau mau jadi imigran. Nah, itu mungkin nyambung dengan..
nggak tahu nih gimana. Gimana untuk kita membudayakan
atau mendidik kombinasi kognisi dan emotif? Ya, untuk melihat India dan Tiongkok ini, tentu perlu ahli yang betul-betul tahu
perbedaan kebudayaannya. Saya tidak terlalu paham. Tapi menjawab pertanyaan Pak Gita tadi, menggabungkan antara nalar dan emosi, itu perkara yang sebetulnya memang
sangat mendasar dalam pendidikan. Karena apa?
Karena manusia itu utuh. Dia tidak bisa hanya nalar saja,
dia nanti akan yang penting pokoknya keputusan-
keputusannya itu rasional. Padahal manusia itu bukan sepenuhnya
makhluk rasional. Bahkan di bawah rasionalitasnya itu
tersembunyi hasrat-hasrat irasional yang bisa saja mengemuka
dikemas dengan cara yang sangat rasional. Dan itu mengerikan. Ini memang melalui sejak kecil. Kalau saya percaya, saya belajar;
bukan dari saya sendiri, tapi saya juga belajar, itu ada seorang pemikir
yang sangat percaya, dia seorang ahli filsafat politik,
yaitu Martha Nussbaum. Dia pernah datang ke Indonesia
untuk memberi satu seminar. Dia sangat percaya bahwa emosi itu
bisa dididik melalui sastra, seni. Dan saya termasuk yang percaya pada itu. Dia memberi contoh yang sangat menarik. Anak kecil diajarkan menyanyi
“twinkle twinkle little star”, tapi sesudah itu kan ada
“how I wonder what you are”. Wonder: dia bertanya, ada apa di situ? Wonder ini dengan lagu itu kemudian ketika dia melihat apa pun
di sekitar dia, akan muncul rasa wonder. Wonder ini rasa yang kemudian diisi
dengan kognisinya. Nah, itu sebabnya saya sekarang mengerti mengapa guru saya tahu
saya senang sekali ilmu alam dan matematika, memaksa saya membaca sastra. Karena lalu menghubungkan kedua ini. Dan cara mengajar; matematika diajarkan rumus-rumus,
fisika juga diajarkan, sains diajarkan rumus-rumus,
ini sangat problem-solving. Jadi ada masalah, pecahkan. Tentu kita perlu penguasaan
pemecahan masalah. Tapi kalau hanya menguasai
pemecahan masalah, kita akan lupa dengan batin kita,
emosi kita. Nah, ini tadi yang pentingnya guru, pentingnya guru diberi perhatian sehingga guru pun mengembangkan diri ketika dia mengajarkan sesuatu,
dia bisa menceritakan. Mengajarkan hukum Newton saja, dia perlu bisa menceritakan
bagaimana itu didapat, bagaimana Newton sampai ke situ. Mengajarkan teori tata surya, misalnya, bagaimana (Nicolaus ) Copernicus itu
mengambil perumpamaan dari sastra klasik Yunani. Para ilmuwan besar itu mengerti sastra,
karena mereka diajarkan dari kecil. Kita sekarang, mungkin saya keliru,
saya tidak terlalu mengikuti, tapi saya melihat buku-buku pelajaran itu, kurikulum, penekanannya pada bahasa Indonesia,
itu gramatika. Dulu, yang disebut bahasa Indonesia
itu dibagi; ada sastra, ada gramatika. Lalu gramatika dipelajari lewat sastra, karena yang sangat bagus, menulis indah,
itu sebetulnya sastra. Nah, ini yang perlu dikembalikan lagi, karena di kita, seni itu sangat disempitkan
pada pertunjukan panggung. Anak-anak diajar hanya supaya bisa tampil
di panggung, lalu lupa. Lupa bahwa seni itu adalah
pilar kebudayaan. Pilar peradaban (adalah) seni, sains
dan teknologi, kemudian sistem kepercayaan. Tetapi yang paling utama itu, bahkan yang awal sekali, sistem kepercayaan itu mengemuka
melalui seni. Sains berkembang,
dan teknologi juga berkembang, kemudian ini bergabung. Sistem di luar negeri,
sekarang sudah banyak tadinya STEM
(Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika). Tapi beberapa tahun terakhir ini
diubah menjadi STEAM. A: arts (seni). Dan arts ini dalam pengertian luas,
bukan hanya seni. Di kita bahkan kebudayaan pun
disempitkan menjadi pertunjukan, menjadi barang-barang yang bisa dijual
seperti ini, ini kebudayaan. Padahal kebudayaan itu cara kita berpikir,
cara kita bertindak, cara kita merasa. Itu kebudayaan. Nah, ini yang diolah, yang menurut saya,
sangat kurang sekarang ini. Saya sering kali mengadvokasikan
anak-anak muda untuk lebih divergen dibandingkan konvergen. Dan kalau ada anak-anak yang ahli coding
datang ke saya, “Pak saya harus belajar apa
supaya lebih bisa divergen?” Saya bilang, “Belajar saja balet
atau baca puisi, atau melukis, dsb.," supaya wawasannya itu lebih lebar. Dan saya sangat percaya
semakin kita horizontal, semakin kita bisa mengantisipasi
blind spot, semakin kita bisa memitigasi risiko
yang lebih sistemis, dan ini sangat bisa dibungkus
dalam kebangsaan ke depan. Tapi saya belum melihat adanya
upaya secara masif untuk mendivergensikan masyarakat luas bukan hanya di Indonesia,
tapi di seluruh dunia. Ini mungkin karena beberapa hal. Satu, mungkin budaya baca buku
juga sangat dikecilkan atau kesampingkan. Dua, juga kita agak nyungsep
di era pasca kebenaran, yang mana perasaan itu lebih penting
daripada bukti empiris. Nah, itu mungkin semakin kita nggak mau
menunjukkan unsur curiosity atau penasaran untuk mencari bukti empiris
atau data empiris. Nah itu nyambung dengan inkapasitas kita
untuk berpikir secara objektif. Jadi kita melihat di sini ada 2 fenomena. Satu, berkurangnya divergensi. Dua, berkurangnya kapasitas
untuk berpikir secara objektif. Apakah itu sehat ke depan? Itu berbahaya. Dalam arti begini, tadi sudah saya katakan
emosi penting. Tapi emosi yang mentah,
yang tidak diolah, itu seperti daging teronggok
yang berdarah-darah. Tapi daging yang teronggok itu
kemudian bisa diiris dengan sangat halus sehingga kemudian disajikan
dengan indah. Seperti sashimi,
itu contoh yang sangat bagus. Halus sekali ditampilkan. Nah itu, emosi yang tertata, terolah, sehingga orang itu bahkan bisa tahu
kapan dia mau marah. Dia tahu, “Ini ada persoalan
yang akan membuat saya marah, akan ada persoalan yang membuat saya
sedih.” Dia sudah tahu. Sehingga dia bisa menata itu
tidak lalu seperti yang kita lihat sekarang di medsos, sangat mengerikan. Jadi, ada satu penelitian
yang sangat menarik beberapa tahun yang lalu, yang memperlihatkan dia menyaring
jenis-jenis emosi yang ada di dunia maya. Lalu dia kumpulkan. Sampai pada kesimpulan (setelah diolah)
bahwa teknologi digital dengan internet dan segala macam medsos itu terutama bukan persoalan
kemajuan teknologi. Teknologi itu selalu adalah
proses perangkat-perangkat yang memungkinkan sesuatu berkembang, tapi lebih daripada itu,
ini adalah perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan yang memungkinkan orang
kemudian meluapkan emosinya dan membagi emosi itu tanpa disaring. Dan ini kemudian memungkinkan
yang tadi disebut post-truth, karena orang lebih tergerak emosinya dan hal-hal yang ditampilkan
dan menarik perhatian adalah yang lebih menggerakkan emosi,
bukan "ini loh datanya". Dan orang yang emosinya sudah terpicu, suatu informasi telah mengena
ke emosinya, itu sulit sekali diubah. Mengapa suatu pertimbangan
yang masuk akal tidak mudah mengubah seseorang? Karena emosinya tidak tersentuh. Ini sudah dari zaman filsafat Yunani dulu,
dipelajari. Di kita juga sama, di tradisi Nusantara, itu ada rasa-rasa. Tapi kalau rasa yang diutamakan,
tidak bisa, harus seimbang. Jadi, berbahayanya adalah
orang mengabaikan data. Mau dikasih data seperti apa pun,
dia, “Saya tidak suka.” Bahkan, bayangkan, kalau di suatu negara,
dan ini terjadi, sudah terbukti di beberapa negara, orang harus membuat pilihan. Dan pilihan itu adalah pilihan politik
atau pilihan etis, pertimbangannya adalah suka
atau tidak suka. Pertimbangannya adalah emosi,
bukan data. Ya, kita sudah lihat dalam
beberapa pemilihan umum. Di mana pun. Jadi post truth itu sejak dulu sudah ada,
bahkan sains itu juga sudah, maka dalam filsafat itu ada macam
aliran-aliran kebenaran, dan bahkan tidak menyebut kebenaran
sama sekali. Tetapi sekarang ini menjadi begitu meluap dan mempengaruhi masyarakat
karena ada media sosial. Dan orang menghabiskan waktu berjam-jam
di media sosial. Saya melihat fenomena ini
sudah sangat mengganggu orang yang sangat berpendidikan
apalagi yang kurang berpendidikan. Orang yang punya gelar, S2, S3, kalau diajak ngobrol,
predisposisinya kuat sekali. Dan itu bisa terjadi mungkin karena
apakah itu bias kognitif atau emosional, atau noise; kognitif atau emosional juga. Tapi semestinya kalau dia punya S2
atau S3, lebih bisa difilter lah bias dan noise. Itu kan pengandaian. Pengandaian bahwa orang punya
gelar tinggi, lalu dia bisa berpikir kritis. Tapi persoalannya, sering kali dengan gelar itu dia hanya mempelajari hal-hal teknis
tapi tidak berpikir. Berpikir itu kan lain. Berpikir itu beda dengan menguasai
suatu teknis. Kalau saya berdialog dengan orang
yang punya predisposisi, itu mungkin karena ideologi, oke kita bisa setuju atau tidak setuju. Tapi kalau semakin kelihatan
unsur pokok’e-nya, itu saya agak bingung, ini bukan ideologi, ini noise dan bias. Dan noise dan biasnya sifatnya
bisa kognitif dan emotif. Betul.
Jadi kalau sudah pokok’e, itu berarti nggak bisa argumen, sementara yang dibutuhkan untuk
hidup bersama yang sehat itu adalah berani berargumen. Kita beda pendapat,
tapi mari kita berargumen, dan kesimpulannya bisa berbeda,
tidak apa-apa, tapi kita bersahabat, kita tetap berteman. Jangan karena beda ideologi
atau beda prinsip, lalu menjadi persoalannya,
saya tidak suka dengan dia. Tidak, bukan itu. Karena hidup bersama yang tidak diisi
dengan argumen-argumen dan keberanian menunjukkan
ini pendapat saya, Anda tidak setuju,
mari kita duduk bersama, kita berargumen. Itu yang akan membangun
sebuah masyarakat. Nah, untuk bisa seperti itu,
memang perlu berfikir dengan kritis dan tidak gampang tunduk pada
status quo. Berani untuk melawan status quo. Saya memimpikan bahwa pendidikan kita
berhasil untuk membawa anak-anak muda ini sampai ke titik dia berani
untuk mempermasalahkan ini yang kelihatannya sudah benar,
coba kita periksa. Kita periksa, apa betul? Menurut Ibu semakin perlu dong
mata pelajaran filsafat untuk diajarkan di level
serendah mungkin? Karena itu berkorelasi dengan
peningkatan kapasitas untuk menginvestigasi kebenaran
atau pre-existing truth yang mungkin perlu direnovasi ulang
atau direinterpretasi, dsb. Kalau di sekolah-sekolah di banyak tempat
di luar negeri, itu filsafat diberikan dasar-dasar
cara berpikir itu memang diberikan sejak
sekolah menengah, mungkin sekolah menengah atas. Di kita, fakultas filsafat saja
sangat terbatas, hanya pada sedikit sekali universitas. Jadi tidak cukup di … saya tidak mau mengatakan dihargai,
tapi dipertimbangkan bahwa itu penting. Filsafat itu memang mengajarkan orang
untuk berani membongkar apa yang sudah diyakini sebagai benar, karena dia terus akan mempertanyakan, dan dengan berani untuk mempertanyakan, itu justru akan membawa dia
lebih jauh pada, oh sebetulnya apa yang saya terima
selama ini adalah pendapat orang banyak,
bukan kebenaran. Tapi banyak orang takut pada kebenaran,
banyak orang takut. Data banyak ditolak karena persis
atau dimanipulasi persis karena data itu juga bisa menyingkapkan
apa sebetulnya yang terjadi. Jadi tentu sebagai orang yang
mengajarkan filsafat dan berkutat di dalam filsafat
walaupun terbatas filsafat ilmu, tetapi saya tentu akan sangat
berbesar hati kalau filsafat lebih dikenal dan diberikan
sejak usia yang lebih awal. Ada teman-teman di Bandung,
kelompok yang mengajarkan, jadi mengajak anak-anak
untuk sudah mulai berfilsafat, membaca teks-teks filsafat
yang dikemas dengan bahasa anak-anak. - Gimana daya tariknya?
- Oh luar biasa. Kan pernah ada Philofest, waktu itu masih suasana pandemi jadi memang diadakan lewat media maya. Ada satu sesi atau lebih dari satu sesi
yang anak-anak itu diundang, dan mereka tertarik dan mereka bisa berargumen
secara filosofis tapi dari perspektif dan bahasa
anak-anak. Filsafat juga mengajarkan logika. Kita selama ini kalau dengar logika,
banyak orang takut, berpikirnya itu; jika, maka,
lalu seluruh rumus-rumus, silogisme, dsb. Tapi, filsafat itu mengajarkan
logika berpikir dengan sangat cermat. Sehingga bahkan membaca satu kalimat saja, kita sudah bisa mengenali, ini ada yang nggak beres
dalam kalimat ini. Sementara kita banyak sekali, maaf,
orang-orang penting bicara sekenanya. Dan itu memprihatinkan
dan bahkan bisa berbahaya. Lalu nanti dengan enaknya mengatakan,
“Oh maaf, maksud saya tidak demikian.” Jadi, tidak dipandu dengan
keketatan logika. Wow, menarik banget. Saya akhir-akhir ini sering ngobrol
mengenai gimana kita bisa lebih mencari
titik optimal untuk kepentingan interseksi
antara talenta dengan kekuasaan. Ibu baru saja ngomong mengenai
penguasa di berbagai negara yang kadang-kadang ngomongnya
mungkin nggak nyambung dengan apa yang kita aspirasikan. Nah ini gimana, Bu, untuk mencari
interseksi yang lebih optimal antara talenta dengan kekuasaan? Karena ini cukup global. Saya melihat adanya dua situasi
yang cukup menarik. Di sini, negara yang bisa dianggap
lembaga atau kelembagaannya itu canggih sekali. Tapi tiba-tiba muncul pemimpin
yang nggak nyambung, saya nggak usah sebut negaranya. Terus di sini, negara yang mungkin
lembaga atau kelembagaannya amburadul, tapi timbul pemimpin yang wow, dan bisa menyempurnakan
atau menyembuhkan, mengobati lembaga-lembaga yang anggaplah
chaotic (amburadul). Saya semakin berpikir, mungkin interseksi
antara talenta dengan kekuaasaan ini adalah sesuatu yang serendipitous;
harus ada unsur jodohnya, keberuntungan. Tapi kalau mengandalkan keberuntungan,
sulit sekali. Kalau tidak beruntung,
nanti kita bilang aduh … Saya hanya mau menggelitik
atau mengulik. Ya, saya mengerti ini untuk memantik. Sebetulnya yang diperlukan itu
bukan hanya mendidik orang-orang yang punya talenta tadi, tapi juga di dalam talentanya itu,
dia punya integritas dan punya kesadaran civic
untuk hidup bersama, kebaikan hidup bersama. Nah, orang-orang seperti ini
yang perlu berani untuk maju di bidang politik. Sering kali justru orang-orang seperti ini karena melihat cuaca politiknya itu
memperhatinkan, tidak mau maju. Tapi tidak cukup hanya adanya orang
dengan talenta-talenta seperti itu. Diperlukan pendidikan politik masyarakat karena kendati ada orang yang sebetulnya
punya kemampuan untuk menjadi pemimpin yang baik, tetapi masyarakat itu berhasil digerakkan
oleh apakah soal emosi, soal suka atau tidak suka, atau mudah untuk terpengaruh
oleh bias, dsb., itu menyebabkan kelihatannya serendipity,
keberuntungan. Karena tidak didukung oleh masa
yang mengerti betul apa itu politik. Bahkan di negara seperti Amerika
yang begitu maju, dilihat maju, tapi kalau kita masuk
ke daerah-daerahnya itu, kita akan bertemu dengan orang-orang
yang sangat dipengaruhi oleh ideologi. Kita dari luar, banyak sekali orang melihat, oh memang hebat,
negara-negara itu hebat, tapi apakah masyarakatnya sudah punya
kematangan politik? Jadi yang dibutuhkan kematangan politik. Bukan hanya orang-orang tertentu,
partai-partai di dalam partai tertentu, tapi masyarakat mengerti apa artinya
ketika memilih seorang pemimpin. Jadi apa pun yang ditawarkan
kepada mereka dengan iming-iming segala macam, salah satunya kalau di kita (adalah)
iming-iming agama, dsb., dia mengerti (bahwa) bukan itu. Nah ini pekerjaan sangat besar;
membuat kematangan politik masyarakat. Karena tidak cukup.
Karena kalau tidak, mudah sekali … apalagi ada politik uang, dsb.,
hanya jangka pendek. Saya melihat di berbagai negara di mana proses politik itu diwarnai dengan
pembentukan koalisi, common denominator dalam konteks
pembentukan koalisi, itu bukan ideologi. Tapi lebih terkait dengan power sharing. Jadi saya melihat ini merupakan diskon kalau ideologi itu bukan merupakan
common denominator. Dan saya disini berasumsi bahwa
proses politik di Indonesia sudah menggunakan ideologi, tapi kenyataannya,
bukan hanya di Indonesia tapi di berbagai negara,
common denominator-nya itu adalah kekuasaan. Itu merupakan diskon untuk kepentingan
siapa pun yang berkuasa untuk melakukan atau membuahkan
meritokrasi. Nah, ini kan nyata bahwasannya
penyeleksian talenta lebih berdasarkan patronase dan /atau
loyalitas, bukan meritokrasi. Semakin sulit untuk kita berharap bahwa
kesejahteraan rakyat itu yang sangat dikedepankan. Nah, ini obatnya gimana? Dan saya melihat ini fenomena
yang terjadi juga di negara-negara maju, tapi lebih banyak di negara-negara
berkembang. Meritokrasi itu selalu hal terakhir kalau di dalam politik karena orang selalu bilang
politik itu perihal kekuasaan. Tentu saja, politik selalu berhubungan
dengan kekuasaan, karena bagaimana mau menyampaikan
atau membuat kebijakan-kebijakan tertentu, itu pun kebijakan untuk kebaikan rakyat, kalau tidak punya kekuasaan, jadi selalu kekuasaan itu memang ada
dalam politik. Dan ini tidak buruk. Tetapi kekuasaan yang betul-betul
kemudian diarahkan untuk kebaikan hidup bersama. Nah, tetapi sering kali yang terjadi
itu adalah kepentingan, kepentingan kelompok yang diutamakan. Ini yang kemudian membuat demi...
jadi sekedar demi berkuasa, lalu kepentingan-kepentingan kelompok ini
dinegosiasikan. Sekarang kalau kita lihat
bahkan di Indonesia pun nggak ada partai oposisi. Sulit mengatakan ada partai oposisi. Padahal penting sekali dalam sebuah
negara demokrasi itu ada partai oposisi. Karena apa?
Karena semua mau mendapat remah-remah, mau mendapat kue
di dalam kekuasaan itu. Tapi saya bisa menggunakan Singapura
sebagai contoh. Yang mana bisa dibilang oposisinya
non-existent; ada tapi kecil sekali. Tapi yang berkuasa itu nyata, bisa mendistribusikan barang-barang publik; kesejahteraan, kesehatan, pendidikan,
intelek, integritas. Dan ini termanifestasi
dalam beberapa metrik, salah satunya adalah penanaman modal asing. Sering kali saya suarakan orang dari seluruh dunia itu menaruh duit
di Singapura bukan karena ideologi,
tapi karena lebih dipercaya saja. Dan kalau saya bandingkan FDI
di negara-negara ASEAN yang besar; Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina,
Indonesia, itu kisarannya 100-400 dolar. Tapi Singapura 19 ribu dolar. Sistemnya berhasil. Dan saya nggak melihat di sana
pemimpinnya atau kepemimpinannya itu sibuk diri untuk mengimortalisasikan diri. Mereka kayaknya lebih sibuk gimana
supaya semangat kelembagaannya jalan. Trust (kepercayaan) itu bisa muncul
kalau sistem hukumnya itu baik. Dan sistem hukumnya itu betul-betul adil dan orang betul-betul percaya bahwa hukumnya seperti ini,
itulah yang akan terjadi. Nah, ini yang di kita itu kan ... saya baru beberapa hari yang lalu
dalam peringatan 25 tahun reformasi, mahasiswa minta saya
memberi sedikit pengantar, saya katakan perjuangan reformasi
adalah perjuangan untuk melawan impunitas. Impunitas itu dalam banyak hal. Orang korupsi bisa dengan mudah lepas. Perusahaan lingkungan itu
tidak tersentuh hukum, termasuk hak asasi manusia, dll. Sehingga orang tidak yakin bahwa
penanaman modal misalnya, apakah betul-betul akan sesuai dengan
apa yang tertulis nantinya. Jadi selama hukum itu masih seperti itu,
hanya ada di atas kertas, bahkan yang di atas kertas pun
masih punya banyak sekali kekurangan karena hasil koalisi, negosiasi, dsb., sulit sekali, tidak mungkin untuk kemudian
menghasilkan kelembagaan yang baik. Masih ditambah lagi perilaku. Jadi kalau kita lihat reformasi ramai sekali
25 tahun yang lalu, itu boleh, tentu ada hasilnya,
dan kita hargai itu, ada banyak yang maju di situ. Tetapi seperti membangun istana, tapi perilaku orang di dalamnya
tidak berubah. Mau buat hukum sebagus apa pun, kalau perilakunya tidak berubah,
nggak akan bisa. Jadi tadi, talenta tadi, ketika orang-orang yang dipilih adalah
orang-orang yang karena loyalitas, jadi bukan karena talentanya,
bukan karena integritasnya, sulit sekali menghasilkan kelembagaan. Lembaganya kelihatan bagus,
aturan-aturannya semua bagus. Tapi orang itu tetap penting. Ini selalu adalah pertarungan
kalau dalam filsafat politik, saya bukan ahlinya, tapi sedikit baca. Itu kan antara agen dan struktur. Tidak bisa struktur saja atau agen saja,
tapi ini betul-betul pertarungan. Agen-agennya ini adalah agen-agen
yang muncul dengan segala pertimbangan politik
untuk bisa ada di situ. Strukturnya bagus seperti apa pun,
tidak bisa. Jadi gimana nih, Bu? Apakah kita harus lebih banyak ke masjid,
gereja, wihara, temple, sinagog, berdoa? Atau gimana untuk kita bisa
menggerakkan supaya lebih terbuahkan agensi? Ini kalau menurut saya kurang sekali
agensinya yang mana masyarakat luas itu sadar
dan berani mengambil sikap dan beraksi untuk menyikapi apa pun
yang harus disikapi untuk kebaikan dan perbaikan agar terjadilah interseksi antara talenta
dan kekuasaan secara optimal. Agama itu penting bagi orang-orang. Tapi agama dan iman saja
juga sudah berbeda, tapi kita nggak usah masuk ke situ. Tapi menganggap bahwa solusinya itu
bisa dari agama saja, itu jelas keliru, dan itu kekeliruan kita selama ini. Tadi sudah saya katakan, masalah budi pekerti diselesaikan
dengan ajaran agama. Hasilnya adalah orang-orang
yang semakin saleh, tapi saleh dengan cita-cita
mau masuk surga. Surga urusan nanti. Tapi kita hidup di dunia ini,
jadi perkara kita adalah perkara dunia. Dan persis di sini
kemudian dibutuhkan keberanian orang-orang yang berani
untuk menunjukkan persoalan kita (adalah) persoalan dunia,
selesaikan dengan bahasa dunia. - Kurang sekali agensinya.
- Iya, dan bahasa dunia ini, agensi tadi, hanya diperoleh ketika dia memiliki
keunggulan di dalam bidang-bidang yang dikuasainya. Karena agensi itu kan perlu unggul, pertama, di dalam bidang
yang akan dia tangani, itu pertama. Tapi bukan hanya keunggulan keilmuan, tapi juga punya integritas dan civic, kesadaran civic ini yang kurang
di kita. Bahwa saya ini bukan hanya Karlina,
saya ini bukan hanya Gita Wirjawan, bukan. Saya ini adalah Gita Wirjawan,
adalah Karlina, Amin, Budi, dsb., tapi saya lahir dan hidup di suatu negara;
kesadaran civic itu penting. Dan dengan kesadaran civic itu dibangun
ke perlakuan itu tadi. Saya adalah orang … ini saya mengambil dari tradisi
ratusan tahun dalam pendidikan itu
kepada setiap anak ditanamkan: “Kamu lahir untuk hal-hal besar.” Ad maiora natus sum:
lahir untuk hal-hal besar. Apa itu hal besar? Hal besar itu lebih daripada dirimu sendiri, lebih dari kepentingan empat tembok
rumahmu, hal-hal besar itu adalah seluas langit,
seluas dunia, seluas bumi, sehingga di situlah kamu berkarya. Dari situ kita lahirkan orang
yang sadar betul bahwa saya bisa berbuat sesuatu
yang lebih, itu dikejar terus, lebih dan menjadi agen. Untuk bisa menjadi agen, tentu dia harus
bisa membuat keputusan, berani, jangan pernah takut. Pendidikan kita itu dari kecil
banyak sekali, apalagi pendidikan agama itu
diberikan dengan menakut-nakuti "nanti kamu masuk neraka."
Takut sekali. Bukan itu, jangan takut,
jangan pernah takut. Nanti salah. Ya namanya manusia,
kalau salah, minta maaf, mengakui, “Saya salah, saya minta maaf,
saya akan perbaiki.” Dan anak yang salah, tidak dimarahi. Tapi diterima, “Oke, enggak apa-apa, Nak,
Kamu berbuat salah entah di sekolah, entah di rumah,
tapi jangan bohong,” misalnya hal-hal seperti itu. Akuilah. Jadi, agen itu terbentuk dari keberanian. Keberanian dibina dari kecil sekali. Orang tua kita hormati, bukan kita takuti. Tuhan itu kita cintai, bukan kita takuti,
misalnya seperti itu. Diajarkan seperti itu. Guru itu kita hormati,
bukan kita takuti. Karena kalau sudah takut, tertutup,
ini orang enggak bisa jadi agen. Agen itu kan orang yang tidak takut. Dan kenapa dia tidak takut? Karena dia tahu bahwa kesalahan itu
bukan sesuatu yang nista. Yang nista itu justru adalah ketika
tidak berintegritas, ketika dia mencuri, korupsi, itu baru. Jadi ada jelas sekali values (nilai-nilai)
yang dipegang oleh seorang agen. Mungkin dia tergelincir,
namanya juga manusia, tapi ketika tergelincir, ya bangun lagi. Saya sempat baca bukunya PAP
(People's Action Party) di Singapura. Dari chapter awal sampai akhir,
itu hanya tiga kata saja yang terulang: kompetensi, integritas, akuntabilitas. Dan itu termanifestasi dalam segala hal
yang mereka lakukan dalam perekrutan, kebijakan, politik
sosialisasi, dsb. Dan kita bisa merasakan
kalau kita tiba di Singapura, pelayanan publiknya itu sangat bagus. Dan itu manifestasi dari
apa yang tercantum di setiap bab. Jadi kalau mereka merekrut,
mereka nggak main-main. Ini orang pokoknya harus cerdas,
tapi dia juga harus berintegritas, dan dia harus mempertanggungjawabkan
apa pun yang dia harus lakukan. - Saya mau tambahkan, boleh?
- Boleh. Conscience (suara hati) dan compassion
(welas asih). Wah, ini bocoran untuk Singapura,
semakin meninggalkan yang lain-lainnya. Jadi, kompeten sangat penting.
Lalu, kolaborasi. Untuk masa depan dengan dunia
yang terbuka seperti ini (perlu) kolaborasi, kerja sama. Orang perlu bisa kerja sama. Kerja sama perlu punya compassion,
welas asih terhadap orang yang menderita. Keadilan itu bukan sesuatu yang diajarkan,
bukan sesuatu yang dibaca, tetapi yang dialami. Kita hanya bisa menjadi adil
kalau kita menerapkan. Kita tahu ketika bermain dengan teman, Ah ternyata saya kok merasakan
saya mengalami ketidakadilan. Jadi dilatih. Saya selalu menggunakan Singapura. Jangan-jangan saya dianggap
dutanya Singapura. Tapi saya nggak habis pikir, sebenarnya contoh yang bagus
sudah ada di sini, kenapa nggak ditiru saja. Dan saya melihat Vietnam
sudah menjiplak playbook-nya Singapura. Negara-negara timur tengah
sudah menjiplak playbook-nya Singapura; Dubai, Abu Dhabi, Saudi dan Bahrain.
akhir-akhir ini. Mereka sangat berkonsultasi. Tapi yang saya perhatikan di sini,
Singapura itu, selain yang tadi; kompetensi, integritas, akuntabilitas, syukur-syukur ditambahin conscience
dan compassion, dia bisa memastikan diri sebagai
interseksi penyaluran ide dari mana pun. Orang Amerika kalau mau tahu
mengenai Asia Tenggara, yang ditanya orang Singapura. Orang Eropa kalau mau tahu
mengenai Asia Tenggara, yang ditanya orang Singapura. Tiongkok kalau mau tanya mengenai
Asia Tenggara, yang ditanya Singapura, bukan negara yang terbesar
di Asia Tenggara. Karena mereka bisa mengartikulasikan ide. Nah, ini kalau menurut saya
sesuatu yang harus kita pelajari. Tapi juga mereka sangat conscience,
secara sadar rendah diri. Mereka kalau tampil di panggung,
“Aduh kita ini sebetulnya dari negara kecil.” Tapi mereka tahu bahwa
mereka punya ide yang perlu didengar oleh banyak sekali masyarakat luas. Nah ini kan kita bisa belajar, dan saya peka bahwa mereka nggak
sempurna, tapi apa pun yang mereka sudah lakukan
dengan baik, kenapa nggak dijiplak saja. Kita selalu bisa belajar dari negara mana pun
yang punya kelebihan-kelebihan. Dan Singapura itu tetangga kita.
Sebetulnya posisinya juga menarik, baik Singapura maupun Indonesia itu sama-sama negara silang budaya, dan itu dari sejak zaman dahulu kala
seperti itu. Satu hal yang sering mungkin saya keliru,
tapi sering saya pikirkan juga, banyak orang di Indonesia itu
masih tenggelam di dalam sindrom Indonesia adalah negara besar
dari zaman Nusantara. Memang betul, kerajaan-kerajaan Nusantara
itu besar. Tapi malangnya perasaan yang besar itu
tidak diisi dengan kompetensi bahkan kolaborasi yang sering disebut
di Indonesia 'gotong royong', itu juga pupus sekarang ini
untuk macam-macam kepentingan. Jadi kita perlu belajar dari tetangga-
tetangga kita, bahkan dari Malaysia juga, lalu mengambil apa yang terbaik, tentu ada sistem budaya sendiri
di Indonesia yang juga begitu beragam
yang kemudian bisa disesuaikan. Tapi mengambil itu kan tidak selalu berarti
menjiplak. Mengambil, lalu memodifikasi
untuk sesuai dengan kebudayaan. Nah kalau kita kembali ke sistem pendidikan, bahkan sistem pendidikannya saja
dari Sabang sampai Merauke sudah diratakan kurikulumnya sama semua. Diberi kebebasanlah dengan
Sekolah Merdeka, Kampus Merdeka, dsb. Tapi dalam praktiknya,
penyeragaman itu masih ada. Nah, bagaimana kita mau meniru
misalnya, tetangga yang punya kelebihan dalam bidang-bidang tertentu,
lalu menyesuaikan dengan lokal, ketika lalu sudah ada penekanan bahwa
ini loh yang harus diterapkan, keseragaman itu tadi. Padahal Indonesia begitu beragam, itu perlu diterima kembali
keberagaman itu, dan membiarkan setiap daerah berkembang
sesuai dengan talenta dari daerah itu, lalu memberi kebebasan
untuk mengambil contoh. Saya beri contoh yang sangat menarik. Di satu desa di Yogyakarta,
saya lupa persisnya apa, beberapa tahun yang lalu,
bupatinya mengambil satu saja kriteria untuk menunjukkan bahwa
kabupatennya itu maju. Dan itu sangat tidak terduga kriteria itu. Dia katakan, “Kalau kabupaten ini
berhasil menurunkan angka kematian ibu, maka itulah kemajuan.” Karena apa?
Dia mempelajari data-data dari luar negeri, dari mana-mana,
dia pelajari. Dan dia lihat Indonesia termasuk
yang masih tertinggi di kawasan Asia
untuk angka kematian ibu. Lalu dia mengambil keputusan, "Ini kriteria utama
untuk kemajuan kabupaten saya." Yang lain-lain oke, berjalan, pembangunan. Tapi pembangunan infrastruktur selalu kriterianya
angka kematian ibu harus menurun. Dan itu menangkap segalanya,
karena apa? Untuk bisa mengurangi angka kematian ibu, berarti infrastruktur entah dalam fisik
maupun tenaga kesehatan bahkan masyarakat yang siap
di sekitarnya; kalau ada tetangganya hamil
sudah hamil tua, sementara jarak puskesmas jauh, mereka akan melapor kepada lurah, nanti dicarikan rumah tinggal sementara
supaya dekat, dan berhasil. Ini contoh cara berpikir yang berbeda, terbuka terhadap berbagai kemungkinan kriteria,
lalu dia ambil satu. Kita butuh pemimpin yang kreatif seperti itu
dan berani. Saya selalu bilang yang paling tragis
adalah kita menangis, tentu kita sedih,
kecelakaan pesawat, kereta, memakan banyak korban,
perang, tapi ada kematian senyap; setiap jam, dua ibu di salah satu pelosok
di Indonesia, meninggal karena melahirkan. Melahirkan itu peristiwa alami. Dan ini perlu menjadi kriteria
keberhasilan pembangunan. Kita biarkan ibu di Indonesia meninggal, dan belum berhasil,
baru meningkat sedikit, tapi belum berhasil secara signifikan. Dan ini sudah berdekade, tidak berhasil.
Bagi saya, itu tragis. Kita punya sila kemanusiaan, tapi masih angka (kematian ibu)
yang cukup tinggi di Asia. Nah, maksud saya, ketika kita bicara
talenta, ini membutuhkan talenta yang luar biasa;
agensi. Bahwa dia memutuskan sendiri
sebagai kepala daerah (adalah) ini. Tidak tergoda oleh slogan-slogan
entah partai, entah apa pun, tapi, buat seperti ini. - Maaf, balik lagi ke Singapura.
- Iya. Singapura termasuk yang rendah (AKI). Sangat. Dan saya melihat mereka bisa
mengamalgamasikan dua budaya. Satu, budaya pragmatisme yang sangat dirangkul oleh negara-
negara Asia Tenggara lainnya untuk kepentingan kedamaian. Dan terbukti damai dan stabil
selama 2000 tahun. Angka kematian karena friksi
itu relatif rendah sekali dibandingkan angka di Eropa
dan tempat-tempat lain. Itu membuktikan bahwa DNA kita
memang nggak mau berantem satu sama lain; kalau bisa, kita damai sesama tetangga. Tapi budaya yang satu lagi adalah
budaya prinsip. Ini yang Singapura itu kalau menurut saya
jelas mengedepankan. Budaya prinsip itu kalau menurut saya
berkorelasi dengan keunggulan. Jadi dia bulat untuk memastikan bahwa gue pingin warga gue sangat berpendidikan. Kualitas kesehatannya top notch,
kualitas pendidikannya top notch, dan redistribusi kesejahteraan juga
top notch. Dan harus berintegritas, harus bisa
membuahkan akuntabilitas, dsb. Itu yang agak kurang di negara-negara lain
di Asia Tenggara. Jadi mereka lebih memprioritaskan
budaya pragmatisme dibandingkan budaya prinsip. Nah, ini kalau menurut saya, penting
untuk kita mengedukasi adik-adik kita agar mereka bukan hanya bisa lebih
mengedepankan budaya prinsip, tapi mengamalgamasikan budaya
pragmatisme dan budaya prinsip. Gimana Bu? Dalam hal-hal tertentu
ketika pengambilan keputusan terutama untuk kebijakan publik, sering kali memang pertimbangan
pragmatis itu yang menjadi pilihan. Karena sering kali ada hal-hal
yang harus diputuskan dengan cepat. Tetapi lalu, di sini pentingnya, yang kalau menurut istilah Pak Gita budaya prinsip,
ini hal-hal yang menyangkut etika, hal-hal yang menyangkut ideologi, dll.,
pertimbangan baik dan buruk, dsb., ini perlu diimbangi tentu saja. Tapi kita ambil contoh ketika pandemi. Itu betul-betul pertimbangannya
adalah pragmatis. Pertimbangan pragmatik bahwa
vaksin dikembangkan dengan sangat cepat, pengujiannya sangat cepat,
banyak jalur yang harus dipotong, yang idealnya tidak, tetapi karena ada sekian puluh juta nyawa
yang harus diselamatkan, miliaran bahkan. Jadi, itu diambil. Nah, ini pengambilan kebijakan
yang memerlukan langkah-langkah pertimbangan pragmatik
seperti itu. Sementara itu, proses yang didasarkan
pada prinsip tadi, itu tetap berjalan. Karena riset tetap berjalan
menurut jalur yang memang seharusnya. Nah, dalam pengambilan kebijakan
sebuah negara, pembentukan atau pengembangan
sebuah negara, saya setuju sekali, ada hal-hal yang memang tidak bisa
selain diambil dengan pertimbangan pragmatik. Dan pertimbangan pragmatik selalu
adalah kebaikan terbanyak untuk sebanyak mungkin orang. Kelemahannya adalah kemudian ada
kelompok yang dikorbankan. Karena sebanyak mungkin orang;
kebaikan terbanyak untuk sebanyak mungkin orang. Nah, bagaimana kelompok yang tertinggal ini
tidak diabaikan. Nah, ini pengertian kita
kalau mengatakan demokrasi sering kali mengatakan demokrasi itu
suara terbanyak. Kita lupa bahwa ada sekelompok … demokrasi sebetulnya (adalah)
satu orang satu suara. Berarti kelompok yang tertinggal ini
tetap perlu kemudian didengar, misalnya, melalui pendekatan-pendekatan
di dalam politik yang, saya lupa istilahnya, semacam intervensi. Jadi memang perlu kecerdasan politik. Dan saya kira Singapura memiliki itu,
kecerdasan politik. Nah ini yang tidak mudah. Kita membutuhkan orang-orang yang,
pakai istilah Pak Gita tadi, punya talenta. Talenta itu terutama salah satunya adalah
kecerdasan politik dan kesediaan untuk melihat data. Dan data ini berarti dari ilmu,
dari teknologi. Kebijakan publik itu perlu dilandasi
dengan penemuan-penemuan ilmiah. Dan ini yang masih sangat sedikit di kita. Maaf sekali, kita terbuka saja, masih ada kebijakan yang
pertimbangannya itu karena bisikan. Padahal tidak bisa. Nah, di sini kemudian diperlukan
pemimpin yang tadi, mengapa conscience itu penting
dan compassion itu penting. Karena antara data-data,
hasil-hasil studi tentang mana yang paling dibutuhkan
masyarakat dan seorang pemimpin, ini kan ada satu jurang. Karena dia tidak bisa begitu saja,
"Ini data ilmiah kok." Data ilmiah itu kan tidak bisa
menghasilkan kebijakan. Tapi menjadi dasar bagi kebijakan. Tetapi ini ada jurang, dan inilah jalan sepi
seorang pemimpin. Nah, jurang ini persis adalah
pertimbangan-pertimbangan antara yang pragmatis dan yang
ada compassion, ada conscience di situ. Makanya jalan pemimpin itu
jalan sangat sepi. Karena dia harus berani
dan dia harus punya kemampuan itu. Berat ya tugas pemimpin. Berat dan memang dibutuhkan orang
yang punya banyak bukan hanya pengalaman tapi dipenuhi dengan banyak sekali wawasan entah dari membaca, dan belajar
dari pengalaman sekitar. Bu saya mau nanya, agak geser dikit. Orang yang bahagia itu apa sih?
Gimana sih definisinya? Bahagia. Ini sulit ya. Sebelum kita transisi ke astronomi
setelah ini. Orang yang bahagia, tentu setiap orang
punya pengertiannya sendiri, karena ada yang mengatakan itu
suatu keadaan mental. Itu pertimbangan psikologis, tentu saja. Tapi ada juga yang melihat itu
dari segi virtue, segi keutamaan, segi makna; apakah dia menjadi bahagia
karena dia mencapai hal-hal baik di dalam hidupnya dan hal-hal baik itu
bermakna bukan hanya (bagi) dirinya, tapi terutama juga bagi orang sekitarnya.
Ada yang begitu. Tapi ada juga yang, "Oh saya bahagia
kalau hati saya gembira," dsb. Jadi ada yang seperti itu.
Jadi, susah menjawab definisi bahagia. Karena itu pertanyaan
apakah saya bahagia atau tidak? Tapi orang kalau tidak bahagia, sulit ya. Saya sering bilang ke anak-anak saya, kalau kamu milih apa pun dalam hidupmu,
kalau kamu tidak bahagia, itu sulit. - Iya, sama saja bohong.
- Iya. Dan bagaimana dia menjadi bahagia
adalah dengan menemukan hal-hal yang baik, yang bermakna, bukan hanya bagi dirinya,
tapi bagi orang lain. Apakah orang yang bahagia itu
orang yang lebih bisa mengikhlaskan, apa pun konsekuensinya? Orang kalau sudah bahagia,
dia merasa cukup. Saya ini bahagia. Sehingga apa pun yang terjadi,
dia terima, karena kebahagiaannya tidak ditentukan
oleh hal-hal yang kemudian terjadi di sekitarnya,
tapi ditentukan oleh dirinya yang bisa kemudian mencapai
atau memberikan yang baik. Jadi tidak ditentukan oleh
apa yang terjadi. Tapi, apa pun yang terjadi,
tapi dari dalam dirinya, dia mengeluarkan hal-hal yang baik dan bermakna. Akhir-akhir ini kita dengar wacananya
Elon Musk untuk membuahkan sistem
yang lebih multi planetary. Pandangan Ibu gimana? Dia ngomongnya, kemungkinan
atau kemungkinan besar akan terjadi kepunahan secara masif. Jadi kita harus memikirkan alternatif. Tapi alternatifnya ke planet yang merah.
Nah, itu gimana? Manusia sudah memimpikan bisa terbang
dan tinggal di planet lain itu dari mungkin kalau kita ingat fiksi-fiksi ilmiah itu dari sejak abad ke-17, 16,
dan sebelumnya, bahkan Johannes Kepler pun menulis
fiksi ilmiah hidup di bulan. Tapi kalau kita bicara tata surya, sejauh ini memang bumi
tempat yang paling tepat untuk bentuk kehidupan seperti kita. Mars, ya, tapi Mars itu tidak punya
kandungan oksigen yang cukup bagi makhluk bukan hanya manusia
tapi makhluk di bumi, sehingga kalau mau pindah ke Mars, perlu dibuat semacam lingkungan hidup
yang menghasilkan oksigen yang cukup, mungkin teknologi bisa suatu ketika
ke situ. Tapi ini suatu pertimbangan
yang sangat mahal. Siapa yang nanti bisa sampai ke sana? Akan muncul lagi persoalan ketimpangan, ketimpangan generasi manusia
yang bisa tinggal di Mars; hidup nyaman, membangkitkan temuan-temuan baru
hidup ini, tapi lalu bumi yang ditinggalkan
merana. Dan ini menjadi manusia-manusia
yang menderita. Jadi kalau saya, dengan pemahaman
tentang sistem planet itu, alih-alih mencari planet baru, mengapa tidak sejak sekarang, sebetulnya sudah sedikit terlambat, tapi sudah lah,
kita mulai mengubah gaya hidup, sehingga bumi itu pelan-pelan
bisa pulih kembali. Karena dengan gaya hidup sekarang ini, bumi itu, sebagai sistem alam,
selalu bisa memulihkan siklusnya, tetapi dengan gaya hidup seperti ini,
eksploitasi seperti ini, kesempatan untuk memulihkan dirinya itu
yang tidak ada. Jadi tidak bisa lain kecuali mengubah
gaya hidup. Kalau tidak, silakan orang-orang yang
punya modal yang cukup memikirkan itu, tapi lalu meninggalkan bumi bagi makhluk
yang pelan-pelan punah. Tapi Mars tidak akan bisa seindah
seperti bumi secara alamiah, karena beda sekali, beda. Tapi kalau argumennya
bukan perubahan iklim, tapi merupakan kepunahan masal
kalau ada asteroid, dsb., makanya kita harus punya cadangan. Kita perlu punya tempat persediaan. Tapi begini, NASA itu membuat
beberapa skenario, termasuk kan bisa tahu dengan teknologi
yang ada sekarang, kapan akan ada benda yang mendekat,
yang membahayakan kita, lalu mengirim pesawat antariksa
untuk menghancurkan itu sebelum tiba ke bumi. Contoh benda langit yang jatuh
itu di Padang Tunguska, di Rusia, ada banyak lubang-lubang meteor
yang sangat besar, dan itu memang selalu bisa terjadi. Tapi kalau mau pindah masal,
apa mungkin? Berapa miliar (populasi dunia)?
8 miliar. Berapa pesawat antariksa, berapa biaya. Jadi, saya lebih mendukung
yang NASA kembangkan, membangun teknologi, kemampuan-
kemampuan untuk intersepsi. Jadi sebelum mendekat, dihancurkan, itu kan batu-batuan,
kalau meteor atau komet, dihancurkan. Tapi bumi kemudian dirawat. Yang terakhir, kecerdasan artifisial. Pandangan Ibu gimana?
Utopia atau distopia? Saya tidak mau jatuh ke dua-duanya, karena AI, kecerdasan buatan itu
fakta yang ada. Jadi, itu adalah tanda-tanda zaman,
katakan demikian. Yang, ya sudah, kita terima
dan kita butuhkan. Tetapi, kita sadar betul apa yang akan
dihasilkan, apa yang akan dimunculkan. Dan justru menantang kita
untuk menanyakan di mana manusia berdampingan
dengan mereka. Mereka adalah ciptaan kita. Saya sebut ‘mereka’
karena dalam filsafat teknologi itu sudah berkembang 4 jenis
kecerdasan mesin, termasuk salah satunya itu
yang punya kesadaran subjektif manusia. Kesadaran yang betul-betul tersembunyi. Sehingga bahkan kita tidak bisa tahu
mesin ini berpikir apa. Itu sudah sampai level manusia.
Jadi, ya sudah, kita terima. Artinya, terima dalam arti
ya sudah kita kembangkan. Tetapi, kita mengerti betul
seluruh konsekuensi dan risikonya; pekerjaan-pekerjaan apa
yang akan diambil alih. Sehingga kemudian apa yang perlu dikembangkan
oleh suatu negara, misalnya. Dan ini perlu dari awal,
sehingga nggak selalu ketinggalan. Lalu persoalan menata emosi
ketika berhadapan. Jadi ya sudah, dijadikan rekan kerja saja. Tapi jangan sampai kemanusiaan kita
hilang. Justru bagaimana kemanusiaan kita
menjadi matang ketika mesin itu sudah bisa ber-partner
menjadi teman kerja kita. Bukan dalam arti bercakap-cakap saja, tetapi banyak hal yang tidak bisa
dikerjakan oleh manusia, karena kecepatan terbatas
dari berpikirnya, itu bisa dikerjakan dengan jauh lebih efisien
oleh kecerdasan buatan. Kemarin si Yuval menulis artikel bahwasanya AI ini merupakan hack
terhadap peradaban. Saya secara intuitif berpikir bahwa selama ini peradaban kita
memang selalu di-hack; kita mengalami evolusi,
apakah itu alamiah atau apa pun. Apakah itu yang benar cara berpikirnya; kita terima saja bahwa ini bagian
dari proses evolusi ke depan untuk kepentingan peradaban kita? Terima bukan dalam arti pasrah, karena ini juga teknologi
yang dikembangkan oleh manusia. Kita terima dalam arti
kita memang memerlukan itu. Kalau kita lihat sejarah peradaban,
selalu teknologinya maju, ilmunya juga maju, tetapi manusianya ketinggalan atau tidak? Dan kita tidak diperalat nantinya. Sebetulnya diperalatnya bukan oleh teknologi, tapi oleh kelompok-kelompok manusia
yang berhasil menciptakan teknologi itu; oleh para pemilik modal. Jadi bagaimana manusia lainnya ini kemudian tetap mengembangkan
kemampuan untuk mengelola teknologi ini. Yang dikhawatirkan memang
nggak sampai pada satu titik di mana teknologi ini tidak bisa di... manusia menciptakan teknologi
yang tidak bisa dia kendalikan lagi. Saya melihat kemungkinan;
ketika robotnya Facebook tiba-tiba mengembangkan bahasa sendiri yang tidak bisa dipahami lagi
oleh manusia. Itu bisa terjadi begitu. Tapi kita bersiap-siaplah untuk menghadapi
segala macam teknologi seperti itu. Saya punya kepercayaan manusia itu
selalu bisa mengatasi teknologi kalau dia betul-betul mengembangkan
dirinya bukan hanya untuk dikendalikan oleh
apa yang dia hasilkan. Saya punya keyakinan seperti itu juga. Tapi dengan asumsi bahwa
ini margin of error-nya semakin kecil. Ini hanya bisa dikendalikan atau dikelola kalau kita peka dengan kepentingan
untuk terus-menerus memultidisiplinerkan diskusi,
syukur-syukur diskursus. Ini yang saya agak kadang-kadang khawatir. Sering kali lebih terjadi individualisasi
untuk tidak melakukan diskusi apalagi diskursus yang multidisipliner. Ini yang kalau menurut saya
akan membuahkan risiko yang bisa nyambung ke distopia. Saya setuju sekali. Sekarang ini,
ilmu itu tidak bisa lagi monodisiplin. Kalau untuk kita bicara ilmu, kita bicara perguruan tinggi dan lembaga riset, itu perlu interdisiplin
dan bahkan transdisiplin. Interdisiplin itu antar bidang ilmu. Transdisiplin itu bahkan sudah keluar
melampaui lintas disiplin ini karena melibatkan hal-hal dari luar ilmu, dari masyarakat, dari dunia bisnis,
dari agama, dsb., untuk membuat pertimbangan
apa yang perlu kita lakukan. Di sini, dengan tetap satu unsur penting,
kemanusiaan kita tetap kita jaga. Sulit, tidak mudah.
Tapi kita jadikan tantangan. Jangan sesuatu yang kemudian
membuat kecil hati. Tetap perlu cermat selalu.
Teknologi itu cepat sekali. Jauh lebih cepat daripada filsafat, daripada etika yang selalu muncul belakangan
dampaknya. Nah, ini yang perlu kita pikirkan betul. Maka anak-anak muda itu perlu
menguasai kemajuan ilmu dan teknologi. Ilmu dan teknologi itu bahasa
untuk memahami kinerja dunia. Jadi perlu dikuasai dengan unggul. Tapi seni, sastra, lalu kepekaan batin,
emosi, itu berjalan seiring. - Wow!
- Ya terlalu ideal kali ya. Ini bisa ngobrol 4 jam,
kita sudah ngobrol 2 jam. Asyik banget. Tapi saya tahu
Anda harus pergi. - Terima kasih banyak, Bu, atas waktunya.
- Banyak terima kasih, diberi ruang. Semula gugup, tapi akhirnya jalan juga. Santai saja. Kita harus teruskan ini, Bu,
di lain kesempatan. Terima kasih. Teman-teman, itulah Ibu Karlina Supelli,
dosen di STF Driyarkara, seorang pemikir yang luar biasa. Terima kasih.