Nolongi! Nolongi! Nolongi!
Percakapan di media sosial Twitter Facebook segala macam itu menunjukkan bahwa media sosial justru jadi tempat beternak kebencian, bukan beternak pikiran. Dan deteksi itu yang juga membuat kita khawatir, apakah betul kehidupan demokrasi bisa dilanjutkan bilah Pengerasan ideologi entah itu karena sentimen, entah itu karena bias kognisi, entah itu karena ngeyelisme, entah itu karena sebut aja keletihan melihat situasi sehingga orang, udahlah kita ngeyel aja di dalam media sosial. Jadi itu suasana sosiologisnya itu.
Suasana akademis juga berlangsung dengan cara yang sama. Kalau kita perhatikan misalnya argumentasi di ruang kelas, orang mem-bypass isi, substansi, dan pergi pada sensasi, mencari sensasi dengan... guyur istilah, guyur retoriks, yang sebetulnya dipungut dari situs-situs yang berantakan di internet.
Jadi kita mulai mencemaskan, apakah betul satu generasi hari ini bisa membawa Indonesia ke dalam pertandingan global, ke dalam situasi yang disebut sebagai millennial. Mampu nggak? Nah pembuktian itu... Agak hari-hari ini agak sumir karena kalau kita baca data misalnya, indeks kecerdasan matematik, reading, dan sains, anak Indonesia di Asia itu nomor 61 dari 68 negara. Bayangkan.
Jadi nomor 4, 5 dari bawah itu. Padahal, anggaran pendidikan kita itu setara dengan Vietnam misalnya. 20 persen. Vietnam nomor 4. Lalu orang mulai bertanya, bisa gak ketajaman berpikir itu diukurkan pada jumlah uang negara? yang diguyur ke sekolah-sekolah, diguyur ke institusi.
Nah kita lihat argumen pemerintah, kalau begitu kita naikin anggarannya tuh. Loh, belum diperiksa kenapa dia tidak berhasil memberi insentif IQ padahal anggarannya naik terus gitu. Itu pun salah satu sasaran kritik kita tuh. Berarti ada yang keliru, pasti ada yang keliru, karena parameternya tidak menunjukkan perbaikan. Seandainya misalnya orang berpikir, oke dinaikin aja anggarannya tuh.
Saya kasih contoh di dalam sejarah pendidikan dunia. Mesir itu 50% dari anggarannya dipakai buat pendidikan tuh, beberapa tahun lalu tuh. Hasilnya adalah justru menurun kualitas pendidikan.
Jadi ada problem di dalam pembuatan kebijakan, sehingga orang nggak bisa dengan cepat mengambil kesimpulan bahwa anggaran itu fungsional untuk menghasilkan. pendidikan. Sekarang anggaran pendidikan ditambah, tapi IQ menurun. Pasti ada yang keliru di situ. Itu misalnya satu contoh kita mengaktifkan pikiran kritis untuk mengetahui kenapa begitu.
Nah, sesi ini adalah sesi untuk Lebih banyak berdiskusi. Saya tidak mengajarkan cara berpikir kritis. Saya ingin terlibat di dalam sesi ini supaya sama-sama kita menemukan the thing called critical thinking. Jadi kalau ditanya misalnya apa itu berpikir kritis, kalau Anda bisa jawab sekarang, silahkan pulang ke rumah.
Karena artinya Anda sudah tahu itu. Tidak perlu kita kuliah atau kita bahas itu panjang lebar dengan terlibat sekaligus dalam diskursus itu. Jadi ini sesi pertama. Sesi pertama ini saya ingin agar supaya ada diskusi yang tajam. Saya jadi semacam fasilitator sambil saya mendeteksi di mana terjadi Faulty reasoning Jadi di dalam upaya menghasilkan pikiran kritis kita memperhatikan dua hal Yang pertama adalah bernalar yang keliru, bernalar yang palsu Namanya faulty reasoning atau logical fallacies Itu di buku-buku banyak ditulis di seluruh kepustakaan tentang logik misalnya ada Buku tentang argumen ada Jadi kalau ditanya buku apa ini dipakai, taruh aja di internet segala macam, cari sendiri tuh.
Jadi yang pertama kita coba, atau saya mencoba mendeteksi reasoning yang palsu. Itu ada modelnya, ada bahan bakunya, ada pakemnya, yaitu logical fallacies, atau cara berpikir logis ada. Tetapi, reasoning yang palsu juga bisa datang dari situasi mental seseorang, karena gangguan kognisi.
Jadi, nggak ada urusan dengan ilmu former logic misalnya. Gangguan kognisi itu bisa karena... Keinginan untuk menuntut lebih dari kenyataan.
Sehingga reasoning kita juga ditarik oleh keinginan ketimbang dituntun oleh... Pikiran, jadi keinginan menuntun, menarik lebih dulu, dan pikiran itu akhirnya menyerah. Itu bukan urusan logika, itu urusan bias kognisi, di dalam teori disebut cognitive bias.
Tentu ada soal lain, misalnya pilihan yang sifatnya belief system itu. Jadi kendati logika bisa dipelajari, kendati kontrol, kognitif bias itu bisa dipelajari. Tapi ada situasi di mana orang jadi malas untuk mengambil risiko dengan reasoning, lalu dia pergi pada belief, dia pergi pada fundament-fundament.
Epistemologis, fundament-fundament metafisik, fundament-fundament teologis, fundament-fundament kultural. Jadi Anda lihat tadi ada tiga soal yang mau kita ulas secara agak mendalam hari ini, yaitu soal fault reasoning, yang kedua soal cognitive bias, yang ketiga soal fanatisme terhadap nilai. Itu soalnya tuh. Nah saya akan berupaya untuk mengulas itu dalam 5 sesi nanti.
Anggap saja bahwa ini adalah satu komunitas, kita sebut apa ini, community of thought, komunitas berpikir selama 5 sesi ini. Dan kita bawa ke sini segala macam problem untuk kita urai, kita analisis. Karena memberi kritik artinya menganalisis.
Tidak ada kritik tanpa analisis. Analisis dalam tradisi ilmu pengetahuan artinya mengurai, mengurai anatomi. Jadi kita mau mengurai lebih dahulu. Nah selalu ada semacam nyayel di dalam pembicaraan semacam ini. Orang akan tanya, kalau Anda kasih kritik, lalu solusinya apa?
Saya selalu katakan bahwa solusi itu bukan substansi dari kritik. Solusi itu urusan orang yang digaji untuk itu. Gak ada gunanya anda kasih kritik kalau gak kasih solusi.
Kalau saya bilang, eh anda jangan deket-deket dengan power, dengan proyektor itu, karena kelihatannya kabelnya mau putus, mau jatuh di situ. Lalu solusinya apa? Solusinya anda pindah dari situ.
Mau pindah kemana? Aduh, pindah ke jalan itu. Tapi di jalan kan juga lalu lintas padat bisa tabrakan.
Yaudah naik tangga. Tangga juga keropos itu. Jadi, substansi untuk jangan ada di bawah.
Barang itu berubah jadi kemana saya harus pergi. Padahal substansi kritik adalah jangan ada di situ. You mau pergi kemana, saya suka you.
You mau panggil grab sama gojek bersama, sehingga kaki kiri ada di grab, kaki kanan ada di gojek, suka-suka. Bukan itu urusan. Jadi sekali lagi, kita dari awal beritahu dulu bahwa, atau saya mau beritahu bahwa, solusi itu bukan esensi dari kritik. Ada solusi bagus kalau ada solusi. Solusi itu bonusnya aja.
Berkritik adalah fungsi primer menjadi manusia. Dalam kritik seharusnya dengan sendirinya ada solusi. Jadi orang yang menunggu solusi artinya sebetulnya dia tidak ingin dikritik. Jadi dia menunda pembicaraan dengan mengalihkan persoalan.
Nah kita di republik ini juga begitu yang terjadi. Orang nggak mau dikritik. Kalau nggak mau dikritik, mestinya dia bertahan dari kritik. Bukan membalikkan persoalan, emang solusinya apa?
Hal yang sehari-hari sedang berlangsung adalah kritik terhadap pemerintah. Saya kasih pengantar dulu ya, supaya kita panasin pikiran. Lalu semua orang bilang, bisanya cuma kritik, bisanya cuma nyinyir.
Apa namanya? Julid bahasa sekarang. Julid? Oh, apa itu Julid?
Julid pakai T di belakang atau pakai D? D. D, Julid. Julid, jualan lidah gitu.
Asal ngomong itu. Sebagai contoh misalnya, birokrasi atau negara menganggap bahwa kritik itu justru mengganggu jalannya pembangunan itu. Lalu para pendukung rezim mengatakan bahwa, iya kan presiden telah dipilih secara demokratis. Karena itu jangan lagi dikritik. Oke.
Lalu kalau kita tanya demokrasi apa? Demokrasi artinya... Menjalankan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat dan mempertanggungjawabkan kembali pada rakyat itu.
Jadi pulang perginya adalah rakyat. Berapa lama mandat itu? Ada yang 4 tahun, ada yang 5 tahun. Kalau kita terangkan demokrasi berarti mengevaluasi seluruh mandat itu setiap hari agar supaya 5 tahun itu benar-benar sempurna, maka kita rumuskan dengan cara terbalik bahwa Jangan mengkritik, artinya jangan berdemokrasi.
Kan kontradiksi kan selalu jalan pikiran itu. Karena kritik built in di dalam sistem demokrasi. Justru demokrasi diaktifkan dengan kritik.
Apa namanya kritik? Ya oposisi yang namanya. Kritik dalam demokrasi, kata teknisnya adalah oposisi. Lalu orang bilang, tapi kan oposisi nggak dikenal di Indonesia, di kultur kita. Ya kalau nggak dikenal jangan pakai demokrasi.
Kalau begitu, kalau nggak mau ada oposisi, maka mari kita kembali pada sistem kerajaan. Kalau darahnya biru boleh dipilih, kalau warna darahnya orange masuk KPK. Jadi kita lihat inkonsistensi di dalam penalaran. Nah kita ingin tahu kenapa orang jadi inkonsisten dengan penalaran.
Mau demokrasi tapi nggak mau dikritik. Kalau kita bilang pindah ke sistem feudal, sistem kerajaan, jangan dong, itu lebih berbahaya. Lalu?
Nah di situ kita mau lihat apa sebut yang terjadi sehingga konsistensi di dalam berdalil tidak bisa dipertahankan. Kalau konsisten kan mesti bilang, iya memang demokrasi tidak sesuai. Itu lebih terhormat daripada julid. Jadi ada ideologi baru namanya julidisme sekarang. Akhirnya namanya Julie Dolok.
Dari pengantar tadi saya langsung terpikir di otak saya tentang literasi. Literasi, oke. Literasi, ketika bagaimana anggaran tidak berpengaruh pada...
kata pendidikan, kemudian soal hoax, kebodohan seperti berjamaah netizen yang situasi saat ini dan sebagainya, terlintas di otak saya adalah literasi jadi Mungkin berpuluh tahun saya kuliah tahun 2004 lulus 2009 awal Itu yang sempat menurut saya sangat relevan ya sampai sekarang Dan kebetulan saya sempat juga berbuat kecil-kecilan begitu ya Ini antara curhat dan untuk itu Jadi analisa saya dulu berpikir kalau kebetulan saya suka sastra Saya baca novel dan sebagainya Benar bahwa loncatan budaya Dari... Bagaimana tingkatnya tadi, rendahnya budaya baca, tidak pengaruhnya proses... Proses kebijakan peningkatan pendidikan itu menurut saya sebetulnya karena tidak ada peningkatan kemampuan literasi secara massal di masyarakat di Indonesia.
Jadi belum tentu yang berpendidikan pun punya budaya literasi yang baik. Sebut aja suasana bermasyarakat itu. Tidak dialiri. Oleh pertukaran ide, saya nangkapnya saya merumuskan begitu, karena literasi artinya pertukaran ide, maka kritisisme tak mungkin diaktifkan. Kalau keterangan Afida tadi, kita atau saya, nekatkan dengan kalimat tadi.
Jadi kita langsung bikin poin bahwa literasi hanya disebut literasi bila dia menghasilkan pertukaran ide itu. Anda habis baca novel, Anda tulis di Facebook, ada orang tangkapi itu. Itu literasi.
Tapi kalau kita baca sendiri terus kita anggap ya udahlah saya nikmati sendiri aja tuh. Nonton film terus bikin review artinya memberi kritik pada film, iterasi. Mengajukan problem pada publik dalam upaya untuk mengaktifkan.
Pertukaran ide, literasi. Jadi semakin kita bertransaksi di dalam ide, maka di situ ada literasi. Tapi kalau misalnya Presiden bikin teka-teki, dan pilih teka-teki itu, jawabannya adalah multiple choice. Pasti nggak ada literasi. Karena orang akan pilih, ikan apa yang...
Ayo, ayo, ikan apa. Jadi kita lihat bahwa duel argument tidak mungkin terjadi atau tercapai bila literasi itu Tidak diadarkan dengan maksud edukasi. Kalau maksudnya edukasi maka mestinya misalnya presiden kasih kuis yang benar-benar mengganggu otak anak SD gitu. Atau mengganggu otak mahasiswa.
Atau mengganggu publik yang nonton di televisi. Supaya dihasilkan kontroversi. Karena itu... Kita sebut itu adalah kuis yang edukatif.
Tapi kalau misalnya Anda kasih kritik terhadap keadaan itu dengan mengatakan, ya tapi kan setelah itu dikasih buku kan sebagai hadiah, setelah sepeda. Ya bukan soal hadiahnya, tetapi quiznya sendiri adalah terlalu dangkal, sehingga tidak menimbulkan kontroversi itu. Ini lepas dari soal like and dislike, soal politik ya, tapi barangnya sendiri, metodnya sendiri adalah Tidak menimbulkan percekcokan pikiran.
Sama dengan sampai sekarang di kelas mahasiswa, ujian itu masih ada yang multiple choice. Hanya memilih. Kan sama kan? Yang dilakukan presiden, yang dilakukan dosen di universitas juga sama.
Jadi, lihat beberapa kali misalnya saya kasih kritik soal sepeda itu, saya diomeli itu, ya udah bagus dikasih sepeda, kalau dikasih sekedar bannya gimana coba? Ban sepedanya. Jadi kita lihat, masyarakat ini, Memang lebih suka mengkonsumsi suasana ketimbang memproduksi argumen. Nah kita tadi saya bilang apa itu bias di dalam kognisi, atau ada asal-usul sosial yang kita sebut fanatisme.
Di dalam sistem budaya kita dianggap bahwa Mengajukan pikiran yang terang-terangan itu artinya menghina. Karena itu kris harus ditaruh di belakang, jangan ditaruh di depan. Sembunyiin itu. Tapi tetap lebih berbahaya sebetulnya. Karena orang tidak tahu bahwa Anda punya peralatan yang tak terlihat.
Di dalam perang oke, tapi di dalam kehidupan politik demokrasi, senjata Anda mesti taruh di meja. Supaya kita tahu sama-sama Anda senjata ini senjata ini. Demokrasi artinya terbuka terhadap persaingan. Jadi taruh di meja tuh senjatanya ini. Soal tadi literasi yang adalah deteksi kecil tadi, bisa membuat kita masuk ke dalam kebudayaan politik.
Kita bisa analisis tentang polisi negara tuh. Hanya dengan... satu istilah literasi. Itu yang saya maksud tadi. Ucapkan satu konsep dan kita coba cari keterangan konsep itu bahkan sampai ke dalam wilayah pengambilan keputusan.
Jadi bukan literasi ansih problemnya, tapi literasi ini hidup di dalam satu kultur. Jadi kalau kulturnya tidak, Suka kritik, literasi nggak ada gunanya. Karena fungsi literasi adalah untuk mengaktifkan kritisim.
Nah itu mungkin menerangkan kenapa orang Indonesia nomor bawah di dalam soal membaca. Karena nggak ada feedback kalau saya membaca sesuatu, saya ucapkan, seseorang pasti ya oke ya, ya apa sih isinya. Justru di saman yang Setiap saat orang bisa akses konsep di dalam sistem informasi global.
Ya, silakan. Saya mau menanggapi soal ini, masalah demokrasi di Indonesia. Kalau saya lihat Indonesia ini bergerak dari yang sangat bebas seperti zaman Soekarno dan yang sangat...
terkekang zaman Soeharto jadi itu seperti kayak pendulum dan sekarang kayaknya mau bergerak lagi ke masa-masa yang begitu bebas begitu banyak begitu banyak partai politik seperti zaman Soekarno seperti itu jadi saya saya lihat Indonesia Indonesia nih apalagi sekarang mungkin pada saat Soekarno itu kebebasan berpolitik segala macam itu belum didukung oleh kekuatan kapital karena pada saat itu Indonesia baru merdeka dan belum banyak belum ada konglomerat seperti sekarang. Nah kalau sekarang kita lihat adalah penguasaan kapital juga berarti penguasaan power dan pada saat terjadi kolusi antara penguasaan power dengan penguasaan kapital itu sudah tidak ada ruang lagi buat. Civil society menurut saya sih, itu ada bahayanya pada saat terjadi penyatuan kekuatan kapital dan power yang terus menerus sehingga tidak memberi ruang lagi buat... Buat rakyat, masyarakat sipil untuk mengeluarkan logikanya, karena semua logika itu sudah dikuasai oleh penguasaan kapital, penguasaan power dan kapital yang bersatu sekarang. Oke, kita bikin modelnya.
Ini namanya sistem. Hai ini live world saya terangkan secara agak teoretisnya live world itu artinya Hai dunia yang kita hidupi secara otonom Hai misalnya LSM misalnya panggung Yubani live system adalah koordinasi antara power dan kapital atau state dan kapital hai hai Jadi kalau logik ini melimpah ke situ, maka ini kehilangan otonomi itu. Ini teorinya teori Jürgen Habermas itu.
Kalau mereka yang ingin punya akses terhadap peristilahan teknis tadi. Sekarang kita lihat benar nggak begini yang terjadi di Indonesia. Bisa nanggap tadi? Kolaborasi atau sebut aja oligarki yang terbentuk antara state dan kapital sudah menyebabkan life vote itu menjadi gagu. Silahkan kita diskusi sambil bongkar persoalan.
Siapa yang mau komen tadi? Dengan kata lain, kalau kita hubungkan, tadi ada istilah literasi di sini. Life world itu, dunia kehidupan itu, hidup dengan mengolah transaksi.
Saksi ide, karena kultur isinya adalah ide. Jadi Leifold ini sebetulnya identik dengan ini, literasi. Sekarang kalau literasinya datang dari negara, maka yang terjadi adalah hegemoni. Kalau literasinya diproduksi oleh negara, maka yang terjadi adalah... mekanisasi life world karena disini sistemnya adalah mekanis disini sistemnya adalah value Atau istilah teknisnya kolonisasi, kalau pakai istilah-istilah filosofi.
Pakai aja istilah mekanisasi lebih. Ini mengkoloni ini. Oleh karena itu, kritisisme berhenti di sini. Sekarang kita mau uji kenapa begitu.
Jadi kalau kita cuma nanggap, oh ya modelnya begitu, sekarang kita coba, kita periksa sedikit. Apakah begitu yang terjadi? Dan bila begitu, apa kira-kira momen yang menyebabkan itu bertahan?
Bukankah tadi ibu mengatakan, dulu gak begini tuh jaman awal kemerdekaan gak begini Relasinya tuh Semua founder atau founding person kita terlatih di dalam berargumentasi, terlatih di dalam tuker tambah literasi. Konstitusi kita, konstitusi kita awalnya adalah hasil dari kecerdasan literal, kecerdasan literasi. Semua yang ikut dalam sidang membaca kasanah pengetahuan dunia. Waktu debat konstitusi, setiap Tokoh di situ, entah dia lulusan Leiden, entah dia cuma sampai SMP di Bukit Tinggi, tetap punya akses terhadap literasi. Jadi seluruh pendiri bangsa itu adalah intelektual, karena menguasai kasana pengetahuan dunia.
Sehingga waktu debat konstitusi seluruh gagasan tumpah di meja, debat siang malam tentang satu konsep, yaitu mau diberi nama apa bangsa ini? Republika? Kerajaankah?
Kesultanankah? Sistem agamakah? Jadi pernah di dalam sejarah kita kritik itu tumbuh demikian produktif.
Kemudian hilang. Karena pekerjaan politik setelah Soekarno membubarkan partai-partai, lalu Orde Baru datang dengan teori stabilitas mendahului kesejahteraan, lalu orang berhenti untuk berpikir atau takut berpikir. Kita masuk dalam situasi 1984, situasi... Big Brother is watching you dalam novel George Orwell. Kita mulai dapat semacam keterangan mengapa kita perlu belajar tentang critical thinking ulang mempelajari dengan mengkaitkan kondisi sosial hari-hari ini.
Saya tadi katakan di awal Metode logika bisa dibahas di kelas, tapi itu kalau nggak ada kaitan dengan situasi sosial, tidak produktif untuk menghasilkan kesetaraan seperti yang diinginkan oleh Jurnal Perempuan. Lain kalau itu sekedar kritik, demi kritik di dunia akademis itu. Itu bisa kita aplikasi. Tapi saya mau gabung itu antara kemampuan untuk bernalar. secara koheren dan kemampuan untuk melihat problem dan menghasilkan kritik dengan memanfaatkan fasilitas koherensi itu tadi.
Ya, kira-kira begitu nanti. Lalu di bagian akhir nanti kita lihat apa fungsi feminisme di dalam upaya menghasilkan kritiko atau argumentatif society. Masyarakat kita tidak argumentatif.
Nah, salah satu tugas feminisme atau salah satu kehendak... Urge feminisme adalah menghasilkan masyarakat yang argumentatif. Ya, silahkan.
Saya tumbuh dibesarkan dengan kerangka berpikir, dengan gerakan sosialis feminis. Saya di solidaritas perempuan. Nah, sebenarnya...
Hai cara berpikir saya dibentuk bahwa saya sebagai seorang sosialis dan feminis itu mungkin yang kalau posisi disitu sebagai rakyat yang ketika mengkritisi state dan kapital jadi misalnya apapun yang dilakukan negara itu selalu salah di mata gerakan ini ditanamkan selama saya hampir 12 tahun ada di gerakan tapi kemudian beberapa bacaan Coba saya, apa namanya, saya jadikan pembanding gitu, misalnya seperti Selama saya di SP misalnya, World Bank itu salah, ADB salah Apapun itu salah, jadi harus dihancurkan, dibubarkan dan sebagainya gitu kan Nah kemudian termasuk misalnya kegiatan ekspor-impor gitu ya, itu harus dihentikan gitu kan Kemudian lama-lama saya juga berpikir gitu, saya nggak tahu apakah saya berpikir kritis atau saya sudah mulai jenuh dengan ideologi sosialis yang selalu ditanamkan ke saya gitu. Misalnya saya kebelan muslim gitu ya, misalnya sebelum saya belajar sosialis saya belajar islam gitu ya. kebetulan saya sempat digerakkan fundamentalis kemudian di sosialis gitu ya jadi misalnya umat manusia itu diciptakan kan untuk saling berkenalan saling berkomunikasi atau saling berinteraksi gitu ya kalau dalam konteks sekarang kan kita dalam satu negara kita ya harus berhubungan berkomunisasi apalagi kita misalnya negara Indonesia sebagai anggota ASEAN gitu sebagai anggota PBB dan sebagainya disitu misalnya salah satu aktivitas itu kan misalnya perdagangan gitu kan Kita tidak, kita menurut saya meskipun saya mungkin prinsipnya kita harus berdaulat gitu ya, semua pangan harus kita cukupi sendiri gitu kan. Tapi negara Thailand, negara Australia, negara Finland kan punya susu, punya kurma, punya padi dan sebagainya yang juga butuh dijual. Yang Indonesia mungkin tidak bisa menanam gitu kan.
Jadi kan kita harus memang ada aktivitas ekspor dan impor misalnya. Tapi kalau dalam gerakan yang saya ikuti itu kan, anti-globalisasi istilahnya kayak gitu selama ini ada di... impor harus dihentikan gitu kan, seperti itu.
Nah saya mulai, misalnya ketika saya membaca misalnya visi-misi ADB, visi-misi World Bank gitu kan. selalu bagus, tulisannya bagus semua gitu, gak ada yang menghancurkan rakyat atau mengapa, semua ton elefit apa, poverty gitu kan, seperti itu nah, kemudian saya mulai, sebenarnya ketika temen-temen gerakan sosialis tuh mengkritisi World Bank, ADB dan segala korporat-korporat yang punya kapital gede gitu itu bener-bener pakai data, atau hanya karena ideologi atau kritis atau seperti apa saya mulai, sekarang mulai agak mungkin kalau diskusi agak sama teman-teman gitu sudah mulai agak sedikit memberi apa namanya, warna lain benarkah kita gak bisa hidup tanpa impor misalnya Misalnya Timur Tengah yang di embargo aja sudah kerimpungan apalagi kita menghentikan impor gitu. Sementara realita misalnya kita belum mandiri pangan misalnya, belum mandiri dalam beberapa komoditi gitu, terus tiba-tiba kita mau menghentikan impor. Nah seperti itu, bisa kan hidup misalnya, ya di sisi lain kita harus berdaulat gitu ya dalam konteks seperti itu.
Nah apakah yang sekarang, ini saya sedang galau gitu ya Saya sedang galau, ini bener saya Saya sudah dibentuk di gerakan sosialis, feminis yang kebetulan Tapi yang semangatnya harus melawan karena kita tertindas gitu Begini Saya sempat galau ketika di NGO Merasa saya ini ngapain sih Bergerak dengan donor Dari FAS gitu di Eropa Kemudian saya berpikir Saya bekerja atas nama masyarakat Saya digaji Tapi saya merasa merasa kadang-kadang sebagai mungkin kayak kalau awal-awal lulus kuliah kerja di NGO merasa sebagai hero kali ya saya bekerja menolong perempuan korban kemudian meneliti tentang buru migran ya isunya juga globalisasi maksudnya begini respon saya merasa tercerahkan ketika bertemu pemikiran Fadina Shiva dan Maria Mies Menurut saya merespon tentang kekuatan tadi kalau dulu, menurut saya kekuatan state yang sangat kuat itu kan cenderung dengan komunis, mungkin sosialis, kemudian kan lawan beratnya kapital gitu ya, yang menang kemudian kan ya setelah Perang Dunia. seterang dingin ketika Uni Soviet runtuh gitu kalau menurut saya gerakan-gerakan kiri yang dihabisi Orde Baru itu kan memang hidup dengan habis-habisan mengkritik negara dan sistem kapital yang kemudian belakangan kritiknya kadang benarkah itu kritis gitu ya punya data atau cenderung hanya pokoknya anti kapital, anti imperialis anti neokolonialisme dan sebagainya jargon-jargon itu nah Ketika saya belajar feminisme dan ketemu pemikiran ecofeminis, dia mengkritisi sistem-sistem itu, kapital, komunisme, sama aja dia sangat rentan mendiskrim perempuan dan alam, terutama itu sebagai objek, selalu menjadi korban karena Segala sesuatu yang lemah, terutama alam yang tidak bisa bersuara, tidak melakukan perlawanan, itulah yang selalu menjadi objek. Itu pemahaman saya sendiri ketika membaca pikirannya Fadina Siva, Maria Mesh, yang mengkritik pembangunan. Tapi berdasarkan data, tidak hanya kecurigaan-kecurigaan ya, karena ideologi saya sosialis, saya komunis, pasti saya akan gempur habis-habisan kapitalisme. Semua sistem kapitalis itu merugikan manusia.
Eko-feminisme itu cukup mencerahkan. Kita juga bisa lihat bukti nyata bahwa kerusakan lingkungan itu nyata. Itu bisa jadi pintu masuk bahwa, ya begitu, dua hal itu sama ketika, karena antroposentris yang begitu kuat. Kalau ecofeminist kan menurut saya punya bacaan begitu, dia mengkritik.
Karena manusia itu selalu menjadi center, menjadi pusat seluruh pemikiran, kekuatan, dan semua itu manusia. Jadi manusia lemah dan alam kemudian menjadi... jadi objeknya dan kapitalisme sama komunis sama aja melakukan itu kalau komunisme dia mengkritik kapital yang berkumpul kemudian ada konglomerasi kalau komunisme juga rentan menjadi ya dikatur proletar itu kan belum tentu ke jadi itu bahkan mungkin utopis mungkin sedikit itu kalau saya merasa pernah galau begitu dan ekonomi itu seperti seperti mencerahkan saya juga mungkin harus lagi nanti fanatis lagi pada ekor feminisme, cuma menurut saya sangat cerdas untuk bicara tentang sustainable tentang, jadi mengkritik dua-duanya jadi adil gitu, ketika kita bahaya berpikir ketakutan akan vanitisme karena beliefs dan sebagainya memperhatikan kondisi epistem dari yang Anda sebut gerakan Jadi kondisi epistemik, kondisi struktur pengetahuan.
Kalau misalnya Anda sebut itu di zaman Soeharto, semua orang di zaman Soeharto, mahasiswa itu, kalau nggak kiri, nggak eksis namanya. Karena lawan otoritarianisme. Jadi mesti jadi kiri.
Left is right pada waktu itu. Jadi kita mesti lihat bias kognisinya di mana. Nah sekarang misalnya kalau kita tetap konsisten dengan itu, nggak ada soal buat saya. Tetapi konsistensinya juga di dalam metode kritik. Misalnya, kalau kita stop import hari ini, Stop import, kita jadi autarki menutup diri dari globalisasi.
Kita stop import, seluruh yang disebut barang import kita stop aja. Karena slogan tentang kedaulatan, besok itu, hari ini kita stop import, besok itu kira-kira separoh dari ibu yang melahirkan itu pasti ikut mati. Karena nggak ada antibiotik, antibiotik kita import.
Dua minggu kemudian, bayi yang ada dalam formative years, bisa dipastikan 10 tahun lagi IQ-nya drop 30%. Karena nggak ada iodium. Jadi, itu yang saya sebut sebagai mengevaluasi sampai pada metode.
Jadi kalau kita keluh-keluh saja, orang bilang, iya sih, tiba-tiba udah pindah jadi liberal gitu ya. Itu pentingnya memberi kritik dengan asumsi yang kuat. Di kuliah yang kemarin itu, Pak Roky pernah bilang kalau eco-feminis...
Kuliah kamu ikut kuliah kemarin? Nggak, saya nonton dari Youtube. Oh, oke.
Kalau eco-feminis... atau ethics of care itu cuma bisa diaktifkan di masyarakat yang plural dan sekuler tapi kita lihat dari negara sendiri mereka terus-menerus merepresi diskusi macam ini Kalau kita membuka diskusi tentang sekularisme, otomatis kita dicap ingin memisah agama gitu segala macem kan. Atau dicap ingin membangkitkan partai ini gitu kan. Jadi bagaimana menurut Pak Roki cara yang paling efektif untuk membawa diskusi seperti ini ke publik gitu, ke dalam publik.
Karena kan kita, saya sendiri percaya dalam, arti saya ingin kita masuk. ke dalam sebuah masyarakat sekuler dan pluralis seperti Pak Rocky maksud kemarin. Salah satu penghambat dari critical thinking adalah tadi, fanatisme itu.
New kind of fanatisme termasuk kulturalisme, termasuk antipati. Pada pikiran global, sekularisme dianggap pikiran dari barat, sekularisme dianggap sebagai ateis, segala macam. Itu obstacle dari critical thinking. Dan sialnya, orang nggak mau pergi pada pendalaman untuk mencari semacam alasan kalau saya misalnya bilang saya seorang ateis. Terus orang bilang, itu artinya bertentangan dengan Pancasila.
Lalu saya bilang, Pancasila juga mengandung ateisme. Lalu orang marah gitu. Karena orang di brief untuk melihat Pancasila pada sila pertama. Dalam forum akademi saya musik terangkan bahwa sila kedua itu adalah ateisme.
Humanisme itu adalah ateisme. Kemanusiaan yang adil dan beradab itu adalah satu versi dari ateisme. Apa artinya kemanusiaan itu? Artinya untuk berbuat baik, orang tidak perlu pergi pada pahala di dunia.
di surga. Itu namanya etik seorang humanis. Karena Anda melakukan kebaikan, demi kebaikan itu, di sini, kalau Anda bilang, saya berbuat baik buat dapat pahala di surga, karena ingat silap pertama, itu artinya palsu kebaikan itu. Tapi cukup nggak daya tahan masyarakat intelektual kita khususnya, untuk bertengkar dengan kritik semacam itu. Tapi kan manusia kan diciptakan oleh Tuhan.
Jadi debatnya jadi kacau. Terus kalau kita bilang humanisme itu adalah ideologi di abad 17. Yang dimaksudkan untuk menghentikan dominasi teologi, gereja terutama. Nah itu disebut humanism, karena orang udah capek dengan teologi, dengan ketuhanan.
Karena sistem kerajaan di Eropa itu membenarkan diri dengan menganggap bahwa raja itu adalah titisan Tuhan. Ketika Kepala Raja Louis XVI berpisah dari tubuhnya di satu pagi di tahun 1789 di Alun-Alun Kota Paris. Baru orang tahu bahwa ternyata Kepala Raja nggak suci. Buktinya itu bisa mental oleh pisau gilotin bisa terpisah dari.
Lalu orang sadar bahwa kekuasaan itu adalah misong sakre. demi hak rakyat untuk mengatur diri sendiri, bukan diatur oleh sistem-sistem teologi. Dari situ kita tahu tentang demokrasi. Dari situ kita belajar tentang humanisme.
Karena pada humanisme, bekerjalah tiga prinsip revolusi Perancis. Liberté, égalité, fraternité. Kemerdekaan. kesetaraan dan persaudaraan fraternitas antar manusia bukan antar manusia dengan Tuhan dengan cara itu kita oh itu asal-usul sekularisme lalu sila kedua dari mana sumbernya ya Bung Karno membaca revolusi Prancis maka ada ide itu ah nggak mungkin kalau itu yang mungkin apa Lawan debat Anda nggak bisa terangkan, tapi dia akan marah.
Anda nggak Pancasila-i sih? Jadi tiba-tiba kita di-stop argumentasinya karena fanatisme tadi. Padahal supaya Pancasila itu jadi peralatan berpikir, dia mesti jadi metode.
Metode itu artinya bisa dikritik. Dan Pancasila justru dimaksudkan untuk menghasilkan pikiran baru. Karena itu...
dia mesti jadi ideologi terbuka, bukan ideologi tertutup. Ideologi tertutup artinya dia membenarkan dirinya sendiri. Dan itu nanti saya uraikan secara akademis bahwa di dalam doktrin Pancasila, itu satu antarsila tabrakan. Jadi sila yang sering tabrakan tidak koheren bukan ideologi.
Ideologi harus koheren. Tadi soal sosialisme. Salah satu bapak sosialisme 300 tahun sebelum atau 200 tahun sebelum Marx namanya Thomas More yang menulis buku Utopia.
Yang tahun ini buku itu... Itu diperingati usia buku itu sekarang 500 tahun. Peringatan ke 500 tahun buku Thomas More, Utopia.
Sosialisme tumbuh di dalam satu utopia, pikiran utopis. Itu bahwa dimungkinkan satu keadaan di mana manusia hidup di dalam... Hidup di dalam utopia. Utopia ini bahasa latinnya u ini, atau au artinya good. Utopia ini artinya tempat, lokasi.
Hai topos topografi jadi Utopia adalah tempat yang baik jadi kata Hai au enak au you daimonya eudaimonia idt you the toilet enak wangi itu Hai dari kata itu hai hai Jadi sosialisme selalu punya semacam imajinasi yang utopis. Itu disebut sosialisme utopis. Yang utopis ini kemudian berhenti menjadi utopia ketika 1960-an Stalin... Mengirim tank-tank Rusia ke Polandia.
Mengkomuniskan Eropa Timur. Dengan kekuatan totaliter. Diokupasi, dianeksasi, diduduki oleh kekuatan militer Soviet di bawah Stalin.
Maka berhentilah utopia, karena yang ada adalah pemerintahan otoriter. Seluruh komponen intelektual kiri di Eropa memutuskan untuk tidak lagi menjadi pendukung Partai Komunis. Termasuk Jean-Paul Sartre, seorang eksistensialis.
Yang tadinya adalah pendukung utopia Marxisme. Jadi kalau kita pelajari sejarah, seluruh intelektual... Eropa dulu adalah, sebagian besar adalah, ada di dalam payung Marxisme.
Tapi yang sifatnya utopis, yang mengambil inspirasi dari Hegelianisme. mudah dari pikiran-pikiran dari Marx muda yang Marx yang Hegelian jadi kalau kita sekarang menganggap bahwa apa masih ada utopia ada gagasan itu ada utopia itu tetap ada terutama di kalangan intelektual yang menganggap bahwa dimungkinkan dicapai satu masyarakat yang good, yang baik. Tapi kalau Anda baca banyak literatur dalam 1-2 bulan terakhir ini, orang menganggap bahwa imajinasi dari penulisnya Thomas More pada waktu itu, hari-hari ini tidak mungkul lagi dibayangkan karena kita masuk di dalam distopia. Di sini bahasa...
Greek-nya dus, artinya buruk. Keadaan yang terbalik. Karena di Eropa orang tidak melihat utopia, orang melihat Brexit. Orang melihat ancaman terhadap kemanusiaan karena penolakan pengungsi. Orang tidak melihat utopia pada rejim Donald Trump.
Karena Donald Trump justru bikin tembok untuk bedain Amerika dengan Mexico. Jadi kita juga di dunia ada semacam tadi pakai istilah apa tadi? Istilah apa tadi? Cemas apa tadi?
Siapa yang pakai istilah? Galau. Dunia juga menghadapi kegalauan yang sama. Seolah kita ingin agar dunia ini ditata dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang hanya mungkin dicapai dengan mengaktifkan semacam imajinasi utopis.
Tapi faktanya real politics hari ini adalah distopia. Itu di dunia. Di Indonesia, kita punya utopia dengan revolusi mental.
Tapi setiap hari kita lihat kebijakan yang sifatnya distopia. Terutama kebijakan publik. Kalau saya lihat sekarang justru, yang ada sekarang adalah suatu hal yang lebih mengerikan dari sekedar ekses buruk kapitalisme ataupun ekses buruk dari komunisme.
Karena semua itu bersatu. Kita khawatir efek dari kapitalisme itu akan penguasaan dominasi sekelompok orang yang menguasai kapital terhadap mayoritas yang tidak mempunyai kapital. kapital, tapi efek ekses dari komunisme yang hal kita khawatirkan adalah tangan besi pemerintahan yang terjadi sekarang menurut saya ini terjadi sekarang adalah dua-duanya terjadi dalam satu waktu, penguasaan kapitalisme yang mulai menguasai partai politik pemimpin partai politik pemilik juga media masa juga pemilik semua hajat hidup manusia banyak, menguasai semua proyek-proyek proyek infrastruktur, itu dikuasai kapitalisme, sedangkan tangan besi pemerintahan itu bergerak juga, jadi menurut saya ini adalah suatu suatu saat dimana efek komunisme dan efek kapitalisme yang kita khawatirkan itu bersatu, itu menurut saya yang saya pikirkan karena negara tidak punya satu jalan pikiran yang komprehensif, jadi bagian yang buruk dari dua ideologi itu disatuin Bagi orang kiri atau marxis, atau mungkin ketika saya mengkritik, oh tiba-tiba saya akan gender yang tidak. Karena maka tiba-tiba, apakah kamu seorang feminis? Jadi seolah-olah di ruang itu kita harus memiliki standing position.
Seolah-olah semua pendapat itu di... Kategorisasi ideologinya, jadi saya seperti ingat dengan tweet dari Prof bahwa itu akan terhapus oleh mikro ideologi. Dan apakah hari ini memang tidak ada ruang bagi kita untuk independen tanpa terkaut dengan ideologi apapun ketika kita mengkritik.
Terutama di situasi... Oke Mariam misalnya kita berpegang pada metodologi kita diperlukan kita usahanya salah satu ideologi gitu misalnya tapi kan Pak sebenarnya metodologi itu had hadir dengan basis ideologi di belakangnya gitu ada banyak macam metodologi yang bersumber dari ideologi yang berbeda gitu jadi rasanya kayak sirkuler aja gitu kita berdebat nih dengan perspektif metodologi A dan orang lain dengan metodologi yang berbeda gitu berdasar dari ideologi yang beda jadi kayak nggak selesai gitu berdebat atau bertengkarnya misalnya gitu nah itu gimana Pak? mestinya kita uji dulu apa betul bahwa metodologi itu di belakangnya memangnya ada ideologi itu Kenapa kamu ambil kesimpulan itu paradigma aja kan beda ada misalnya yang saya pernah pada misalnya ada yang positif is ada yang interpretatif itu juga akan berdasarkan apa mendasarkan keputusannya pada data yang berbeda sifatnya jadi ada paradigma di belakangnya yang berbeda memang gitu jadi seringkali debatnya enggak enggak bisa disatukan gitu karena beda kita menganggap bahwa di belakang metode selalu ada ideologi. Kita menganggap begitu. Dan karena kita menganggap begitu, maka kita menganggap juga sebagai konsekuensi bahwa debat metodologi pasti berakibat konflik ideologi.
Saya nggak larang itu. Yang saya larang adalah mengambil konklusi yang pasti. Istilah paradigma misalnya menjadi kacau karena orang ilmu sosial mengambil itu dari wilayah fisika.
Sehingga kita mendalilkan bahwa paradigma itu selalu bekerja semacam social determinant of thought. Di dalam teori paradigma, gejala yang diamati itu dituntun oleh semacam kesepakatan asumsional di antara ilmuwan. Misalnya, Kalau Anda psikolog misalnya atau belajar psikologi, di Eropa Anda dituntun oleh psikoanalisis. Tapi kalau Anda ada di Amerika, orang Amerika nggak percaya pada psikoanalisis. Karena segala sesuatu adalah modeling, behavior.
Tetapi, kalau kita bilang bahwa, atau kita anggap bahwa psikoanalisis itu adalah ideologi, Dan behavioralism Amerika itu adalah juga ideologi. Kita gagal untuk melihat bahwa psikoanalisis punya objek yang memang berbeda dengan behavioralistik. Dan objeknya itu dimaksudkan untuk menjauhkan dua metode itu. Jadi pada tingkat mana kita menganggap bahwa disitu ada konflik di dalam paradigma, dan pada tingkat mana kita anggap bahwa konflik itu sebetulnya bukan konflik paradigma, tetapi akibat langsung dari penggunaan satu paradigma.
Jadi ada dua paradigma. Dengan kata lain, sesuatu, kita sebut aja ini jiwa manusia, yang bisa diuraikan dengan dua cara, cara psikoanalisis Eropa dan cara behavioral Amerika, menjadi dua soal, bukan lagi satu jiwa. Karena keterangan ini menyebabkan akumulasi pengetahuan menjadi A, keterangan ini menyebabkan akumulasi pengetahuan menjadi bukan A.
Nah saya... Tidak mengatakan bahwa tidak ada fungsi paradigma, tidak ada fungsi ideologi di dalam paradigma. Karena paradigma itu adalah asumsi saja, kesepakatan di antara akademisi.
Kalau misalnya 20 tahun lalu, Kolesterol anda 400-300 dianggap sehat saja. Sekarang, kalau dokter bilang, kok kolesterolnya 300? Itu udah berat.
Maka dia disebut penyakit. Jadi yang dulu bukan penyakit, sekarang jadi penyakit. Karena perubahan paradigma. Paradigma apa?
Paradigma sehat. Yang nentuin itu siapa? Saya, sebagai pasien bukan, yang nentuin adalah konferensi ahli jantung.
Yang sponsori konferensi itu siapa? Ya obat jantung, farmasi, yang adalah kapital. Merokok itu buruk. Maka ada konferensi internasional tentang bahaya merokok.
Sponsornya siapa? Ya pabrik obat untuk menurunkan kadar nikotin dalam tubuh. Dia turunin kadar nikotinnya.
Tapi dia harus mengajurkan orang merokok supaya obat itu laku terus. Kalau nggak, ngapain dia sponsori? Jadi dia ingin angkrisnya orang merokok, tetapi kadarannya diterunin.
Maka belilah produk saya. Kalau saya berhenti merokok, berhenti seminarnya. Jadi di dalam paradigma itu bekerjalah politik. Tadi kita bicara tentang Thomas More tadi soal utopia.
Sekarang kita bicara tentang Thomas Kuhn. Teori paradigma adalah teori yang dibuat oleh Thomas Kuhn yang berupaya untuk menerangkan bahwa kondisi sosial mempengaruhi kondisi riset ilmiah. Jadi kondisi sosial mempengaruhi kondisi riset, bukan ideologi. Yang dimaksud oleh Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution. Tadi buku Thomas More judulnya Utopia.
Kalau kita bicara mengenai sistem pengetahuan yang sudah disediakan pemerintah, atau katakanlah badan pemerintahan, lalu dunia kapitalis yang bergandengan tangan, kita sudah bicara itu sudah lama berarti ya mulai dari... dari runtuhnya order lama karena sebelum order lama dunia pendidikan sangat ramai dengan perdebatan-perdebatan intelektual sepeda sudah disampaikan oleh masrut yang perlu kita pahami adalah sudah sangat lama kita ditakuti oleh dipertakutkan dibuat takut oleh satu monster yang monster ini kemudian dicoba diselamatkan oleh satu pahlawan nasional bernama Pancasila sementara monster itu sendiri adalah ketidaktahuan terhadap usul Pancasila Nah, saya mengalami pengetahuan baru mengenai hal ini bahwa ketika negara memberikan teks-teks kepada dunia pendidikan, dalam ini adalah pendidikan dasar, maka guru akan sangat... Tersiksa untuk mencoba memberikan peluang kepada siswa untuk berpikir secara merdeka, secara kritis.
Karena guru tahu bahwa Pancasila itu tidak digali dari akar budaya Indonesia, tidak digali dari akar pengalaman manusia Indonesia, tapi justru digali oleh pengalaman-pengalaman multikultural, bahwa itu pengalaman-pengalaman internasional. Teks yang sudah disediakan adalah teks yang dilokalisasi Dan kita menjadi sangat tersiksa bahwa ketika kita ingin Sekarang dikembalikan dulu ya ketika kritik itu tidak harus memberikan solusi Alur belajar sekarang di sekolah adalah buatlah hipotesis, carilah penyebab, carilah akibatnya dan akhirnya adalah buatlah solusinya yang memang ini sangat membebani dunia pendidikan sehingga yang mencari penyebab masalah dan menjadi akibat masalah justru terkunci Terkubur dengan keinginan untuk menyelesaikan masalah. Sehingga kita kembalikan ke Pancasila.
Kita kembalikan kepada monster yang merupakan ketidaktahuan terhadap Pancasila. Guru akan sangat sulit untuk membicarakan mengenai mengapa ada fundamentalisme. Karena ada sila pertama yaitu ketuhanan yang maha desa.
Guru juga akan sangat sering untuk berbicara mengenai mengapa ada pertikaian-pertikaian antar suku, antar kelompok-kelompok masyarakat karena kita punya sila ketiga, persatuan Indonesia. Jadi kalau kita ingin mengatakan bahwa pendulumnya memang tidak kembali ke masa sudah lama ya Saya tidak tahu pendulumnya seperti apa, tapi ini kembali ke suatu masa yang mungkin balik ke jamannya kegelapan Eropa mungkin Mungkin lebih parah, aku tidak tahu, tapi intinya adalah ketika hegemoni ini Memang dipelihara oleh negara yang itu kita, dalam tanda kurib, aku ingin merumuskan sampai di order baru saja ya. Itu sudah dimulai dari order baru, kemudian dicoba diurai di katakanlah order reformasi, kemudian terjadi setback, kembali ke, balik lagi ke sebelum, ke sesudah order lama, yang seperti order baru juga sih, tapi aku kurang bisa menyimpulkan ya.
Intinya adalah... Kita kembalikan ke sekolah, kita kembalikan ke dunia pendidikan secara khusus dan ini mengatakan seperti ini sebenarnya cukup beresiko bagi saya seorang guru karena artinya saya dengan terang-terangan mengatakan something is wrong in educational field in Indonesia kayaknya bagusnya ini dikatakan jadi ini Tapi pada saat saya dan siswa-siswa kelas 8-9 mencoba untuk melakukan uji literasi, karena kebutuhan kami juga diminta untuk melakukan uji literasi terhadap data dan fakta, ada satu sisi yang pengalaman manusia itu bisa, mungkin tidak bisa menerobos hegemoni, mungkin tidak bisa menerobos hegemoni, tapi dia bisa... Katakanlah kalau dia alir sungai, dia mungkin bisa menerobos secara pelan, dia mungkin bisa membuat apa ya istilahnya, luberan-luberan kecil yang kalau kita terus Pelihara semakin lama bisa semakin membesar kalau kita memang membina alur literasi, uji literasi.
Kita berdiskusi kepada anak-anak melalui lingkar literasi cycle, apa sih silahkan bahasa Indonesia, bahwa kita mendiskusikan data yang kita dapat ini apa, maknanya apa, apa hubungan antara satu statistik terhadap pengalaman manusia di suatu daerah. Kita tidak bisa meminta solusi, iya, tapi kita hanya bisa membangun daya nalarsiswa melalui bacaan-bacaannya. Dan kepada Ibu Mabu, saya juga tidak ingat nama, Ibu Tini. Ya, kepada Ibu Tini, saya sangat paham mengenai satu titik kita kan sangat benci ini, ini kayak di Cekoki ya, kayak di Cekoki. Saya paham sekali perasaan-perasaan itu.
Tapi ketika saya memutuskan untuk kembali ke dunia pendidikan yang merupakan basis saya, yang saya tahu adalah satu, hanya literasi, hanya kemampuan membangun dialog dengan anak-anak, hanya dengan berani didebat oleh anak-anak mengenai data dan fakta, hanya dengan berani mengakui bahwa ya sebagai guru saya punya kesalahan menerima apa adanya data-data, teks-teks yang disediakan pemerintah. Yang saya ingin tekankan disini dari apa yang saya ungkakan adalah pengalaman manusia itu bisa menubar mungkin dia tidak bisa merobohkan kapitalisme atau negara pada saat yang seketika tapi kalau tidak salah Mandela mengatakan butuh sekitar 500 tahun membangun pendidikan di Afrika Selatan Dan ketika Afrika Selatan memutuskan untuk bersenjata Bersenjatai dirinya itu hanyalah berbasis dari 500 tahun pendidikan itu Jadi artinya ketika dia mendoprak dia sudah siap untuk menjadi negara yang Aku gak tau sih sekarang tapi hari itu keputusannya mereka mengatakan seperti itu Nah yang saya ingin Lemparkan kepada teman-teman adalah Daya berpikiran seperti apa yang ingin kita kembangkan kepada generasi sekarang atau kepada kita Karena dari tadi yang aku dengarkan adalah kita berkeluh kesah Dan saya capek dengan keluh kesah itu karena Saya menginginkan bahwa disini kita coba membentuk sebuah sistematika. Oke, yang cara berpikir seperti apa? Pertanyaan how-nya, why-nya, nggak lagi what-nya.
Saya sih berpikirnya berharapnya seperti itu. Bahwa disini kita membentuk how dan why secara sistematis. Terima kasih. Ada ketidakcukupan.
Di dalam cara kita mengevaluasi satu soal, sehingga timbul ketak lengkapan kritik, atau kedangkalan kritik. Jadi kita nggak sampai ke dalam. Itu yang menyebabkan kita bereaksi terhadap soal tanpa berefleksi terhadap problem.
Kita lebih sering bereaksi daripada berefleksi. Coba kita urai satu-satu soal itu ya. Kritik dimaksudkan untuk tiba pada lapisan terakhir dari problem.
Berupaya untuk tiba di situ. Mudah-mudahan kritik itu bisa sampai segitu. Jadi kritik selalu harus maksimal. Yaitu melihat yang tak dilihat.
oleh banyak orang di unthinkable ini Hai problem kalimat itu bilang ada tiga kesalahan di dalam diri saya kata si kalimat itu Hai dari Sri mistake jadi santan kita mau kasih kritik apa aja kalau dia bilang ada tiga kesalahan di dalam diri saya apa Hai 123 yang ada temukan disitu hai hai Satu, apa lagi? Asyalan. Oke.
Mustinya ini? Oke. Ini? Oke.
Jadi ada dua kesalahan yang terlihat. Kalau saya matikan lampu dan saya ucapkan secara verbatim, misalnya ini, matikan lampu, atau saya nggak tulis, there is three mistakes in this sentence. Masih samakah keputusan Anda buat cuma ada dua kesalahan?
Sama, kecuali pendengaran Anda kurang baik. Jadi yang bisa dideteksi oleh indera kita, ada dua kesalahan. Satu kesalahan grammar, satu kesalahan spells. Gitu.
Kita kalau kasih kritik biasanya kita memang cuma lihat apa yang ditampilkan di depan kita. Kita nggak bisa sampai dalam. Padahal dia bilang ada tiga kesalahan. Dia ngotot ada tiga kok. Itu cuma dua.
Ya kesalahan ketiga dia berbohong, dia bilang ada dua, ada tiga, ternyata cuma dua. Anggap. Kesalahan ketiga tidak bisa dilihat oleh mata atau didengar oleh kuping. Tapi ditemukan oleh logika. Itu yang saya maksud tadi, kalau kita berkritik sampai ke dasar.
Jadi dia bilang, ada tiga kesalahan, ternyata cuma dua. Kesalahan ketiga adalah, isi kalimat ini salah. Itu kesalahan ketiga.
Dapat poin itu. Begitu cara mengkritik itu. Kita, sudah dibiasakan untuk menerima Pancasila as such. Sehingga kita tidak mau lihat yang tak terlihat.
Tidak mau think the unthinkable. Karena kita dibiasakan untuk menemukan kesalahan yang sudah dipamerkan melalui sistem multiple choice. Ada tiga pilihan.
Hanya satu yang benar. Berarti yang dua pasti salah. Kita tidak mau berpikir kenapa dia salah yang dua itu. Jadi pedagogi kita adalah pedagogi menerima sodoran jawaban, bukan menjawab. Kita nggak pernah menjawab, kita memilih jawaban yang sudah disediakan oleh pemerintah, oleh orang tua, oleh ustadz, oleh pendeta, oleh mantan pacar.
Kan itu yang terjadi kan? Jadi kenapa kita gagal memberi kritik? Pertama karena kita hidup di dalam wilayah doktrinasi.
Doktrinasi artinya mengkonsumsi jawaban yang disiapkan, diajukan, disodorkan, bahkan disuapkan oleh otoritas kepada warga negara. Jadi, ingin jadi kritikus, berhentilah mengkonsumsi jawaban. Bagaimana caranya? Temukan yang tidak diperlihatkan, itu artinya kritik. Temukan yang tidak diperlihatkan.
Ini tidak bisa kita lihat tadi. Tapi otak kita bisa mengatakan, Anda mengatakan tiga, ternyata cuma dua. Berarti yang ketiga, Anda salah. Siapa yang salah? Ya kalimat itu yang salah.
Selain kesalahan grammar, selain kesalahan spell, juga ada kesalahan makna. Menafsirkan sesuatu, misalnya kita percaya adanya mafia gitu. Padahal mafia kan nggak bisa dibuktikan karena rapat-rapatnya nggak ada notulensi kan.
Kalau saya lempar koin, Maka secara statistik peluang jatuhnya head dan tail adalah 50-50. Seksik saya lempar. Maka dalil statistik saja melempar koin itu 50-50.
Right. Itu dalilnya. Sekarang saya lagi berjudi di meja judi.
Lemperan pertama keluarnya pilihan saya, kepala. Untung saya dapat. Lemperan kedua, keluar lagi kepala. Saya tambah stake saya, taruhan saya saya tambah dua kali lipat.
Lemperan ketiga, dapat lagi kepala. 4 kali saya dapat. Sekarang lemparan kelima, saya taruh seluruh modal saya dan berhutang.
Saya pinjam dari tetangga karena saya ingin langsung dapat lebih dari yang saya inginkan. Lemparan kelima, tail, bukan head. Bangkrut lah saya. Karena disitu bekerja bukan ilmu stasiunik lagi, tapi harapan dari seorang penjudi. Karena 3 kali, 4 kali dapat, maka dia pikir 5 kali akan dapat.
Dan kelima dia bangkrut. Nah kita sering juga berpikir begitu. Didorong oleh ambisi, dan terus-menerus lalu bangkrut. Bikin terus infrastruktur, bikin terus jalan tol, lama-lama sekarang kita jual satu-satu BUMN. Begitu yang terjadi.
Di dalam teori namanya Bayesian Fallacy. Nama yang membuat model itu namanya... Romo Bias ini seorang Romo yang ahli logika.
Bias yang fallacy atau biasa disebut fallacy background belief. Jadi kita punya background belief. Percaya bahwa akan terjadi. Sehingga kita tidak mau kasih kritik untuk mencegah background belief kita. Kita percaya bahwa nanti jalan tol itu jadi semua.
Tadi juga di radio yang sama diberitakan bahwa Mulai 1 Januari 2018, jalan tol di Jakarta, jalan tol di Indonesia akan dinaikkan tarifnya. Alasannya, inflasi. Karena harga-harga naik, maka tarif jalan tol juga akan naik.
Kedengaran masuk akal. Tapi coba kita periksa, sekuensis logiknya. Barang itu lebih murah pakai jalan biasa atau pakai jalan tol? Tanpa harus jadi seorang ekonomi.
Kita pakai logiknya aja. Angkut barang pakai jalan tol sama jalan biasa lebih murah mana? Tadi ya, kontrol tentang...
There is three mistakes in this sentence. Konsepnya adalah tol, artinya bayar. Kalau saya angkut satu peti telur ayam dari sini ke... Koko depan, kalau pakai tol saya mesti bayar, maka saya akan jual lebih tinggi karena saya masukin tarfi itu sebagai kos.
Tapi kalau saya pakai jalan biasa kan nggak nambah. Ya tapi kan jalannya berlubang, bisa pecah telurnya tuh. Itu argumen tambahan. Emang kalau jalan tol nggak bisa pecah. Kalau banyak pecah, terbalik juga kan terkenyakan karena cepat samah kondisinya.
Jadi orang suka ngeyel gitu kan. Kan jalan tol mulus, justru karena mulus, banyak cepat aus, pecah di tengah jalan. Terbalik juga, sama. Jadi logiknya adalah, namanya tol berbayar, jadi harga barang pasti naik, karena ongkos bayar tol itu dimasukkan pada beban konsumen.
Jadi asumsinya adalah, ya jalan biasa juga musinya gak macet, jalan tol gak macet. Oke, satu poin. Jadi kalau dia pakai jalan tol pasti biayanya lebih besar gitu, sampai di konsumen. Terus dia bilang saya mau naikkan karena harga-harga naik, inflasi namanya, jalan tol.
Loh, justru kalau lewat tol, harganya makin mahal karena Anda pasang harga tol yang dinaikkan. Harganya juga lebih mahal, akibatnya inflasi lebih jauh lagi. Jadi dia bikin kebijakan atas inflasi yang kebijakannya itu menghasilkan inflasi ulang.
That's logic-nya begitu. Itu soal sederhana yang dibikin rumit, diputar-putar. Ini karena ini, nanti dia pakai istilah-istilah macam-macam. Ini karena, apa namanya, pakai istilah teknis segala macam itu.
Bisa dapat poin itu ya? Jadi kita sering kali mendengar berita, lalu kita konsum, dan kita hanya melihat di dalam argumen negara. Itu mistakes.
Kita cuma lihat itu. Yang satunya disembunyikan. Itu maksudnya kritik adalah melihat yang disembunyikan. Jadi opini publik itu dikelola dengan mengeksploitasi background belief.
Kalau dianggap bahwa nanti jalan tol lebih cepat nyampeannya, iya itu orang percaya jalan tol lebih cepat nyampeannya, benar lebih cepat nyampeannya, tapi harganya pasti lebih tinggi. Anak ekonomi bisa bikin model untuk lihat itu. Itu sama dengan misalnya gini, kita selama ini NGO gitu ya, selalu ada istilah pemiskinan gitu kan.
Di dalam program-program negara gitu, misalnya di Bapak Penang nggak ada istilah pemiskinan. Paling nggak kalau misalnya sedang evaluasi. program itu ada deviasi pembangunan kan gitu Iya jadi kalau pemiskin kan eh dari kacamata perspektif ideologi sosialis itu ada-ada kesengajaan-kesengajaan yang memang dibikin untuk istilah merampas mengeruk menghasilkan hancurkan dan sebagainya.
Tapi kalau negara kan tidak ada istilah pemiskinan. Maksudnya seperti itu. Oke, sama seperti itu.
Maksudnya ada deviasi. Dan seorang kritikus akan persoalkan istilah itu. Deviasi.
Deviasi terjadi secara natural kah? Atau karena kegagalan policy kah? Atau karena force majeur? Kan musik kita ura itu. Supaya nggak terlihat kesalahan ketiga, dipakai istilah keren deviasi pembangunan.
Masyarakat kita kan juga kecenderungan satu tafsir, yang perempuan, bahwa soal tubuh perempuan, begitu kan nilai-nilai, selalu pakai nilai-nilai ketimuran, padahal kalau kita menggali ketimuran, akar lokal Indonesia itu seperti apa. apa cuman kan begitu ya yang kemudian di apa ya di bahkan sekarang secara dunia populer yang menang itu kan istilah hijrah itu adalah perempuan yang dari bertidak berjilbab menjadi berjilbab jadi Jadi selain soal-soal serius negara, kalau tadi juga di kuliah ini kan karena yang diadakan jurnal perempuan ya, kaitannya selain soal kemiskinan juga bahkan tubuh perempuan itu kan objek dijajah gitu ya. Ketika kita mengkritisi sampai ke situ bahwa ya oleh pandangan secara umum di sosial media, di media mainstream, semuanya bahwa hijrah itu adalah perempuan yang kelihatan rambutnya menjadi tertutup rambutnya. Maksudnya, tiba-tiba, maaf, dari tadi kan kita lebih banyak mengkritisi negara. Jadi, kita kan sedang belajar berpikir kritis, jadi bahkan dari hal-hal kecil pun itu bisa kita bongkar.
Yang itu, obstacle tadi sangat menghambat kita berpikir kritis karena itu beliefs tadi, tafsiran yang dianggap tafsiran mainstream. segala sesuatu yang menghigumoni yang bersifat mayoritas dan sebagainya. Nah, yang tadi Pak Roky sampaikan salah satu penghambat gratisisme adalah fanatisme. Lalu pertanyaan adalah apa yang menyebabkan fanatisme semakin meluas pada kondisi belakangan ini?
Terima kasih. Fanatisme itu meluas karena kita nggak mau bongkar detail. Contoh tadi soal jilbab ya.
Kalau misalnya saya pakai jilbab, Lalu orang bilang saya ISIS gitu. Saya bilang, enggak, saya pakai jilbab sebagai fashion. Jadi jilbab sebagai fashion itu.
Bisa nggak? Bisa. Karena dia pilih sebagai fashion. Tapi pada tahap berikut, dia pakai jilbab sambil memberitahu bahwa ini adalah simbol bahwa saya seorang muslim.
Oke? Supaya orang berinteraksi ke dia dengan asumsi itu. Bahwa saya muslim pakai jilbab. Oke, nggak ada soal. Bisa yang ketiga lebih dalam lagi, dia bilang, saya pakai jilbab sebagai seorang muslim, bukan sekedar fashion.
Dan bila Anda muslim tidak pakai jilbab, maka Anda musuh saya. Hai ada di pening ada pendalaman value itu tadi dalam sebab yang sama warna bentuknya sama statusnya dari sebagai fashion Hai sebagai perkakas aksesoris perempuan status kedua dia jadi simbol Hai dari satu nilai dalam hal ini adalah Islam Status ketiga dia menjadi identitas. Menjadi pembeda sekaligus akibat-akibat dari pembedaan itu.
Tiga-tiganya berhak dilakukan. Sebagai fashion oke dia berhak, sebagai simbol berhak, sebagai pembeda berhak. Tapi bila pada tingkat ketiga itu menghasilkan tertutupnya percakapan warga negara, maka disitu ada problem tentang pluralisme. Karena kalau saya pakai jilbab saya akan bilang saya...
Bukan teman Anda yang tidak pakai. Pada tahap itu bekerja politik identitas. Pada tahap kedua tadi, simbol, bekerja politik rekognisi.
Politics of recognition. Saya ingin direkognisi sebagai muslim. Oke. Pada tahap ketiga, bekerja sebagai politik identitas.
Saya terangkan ini bukan dalam rangka agama, tapi dalam rangka hermeneutics. Kehidupan bernegara. Sama halnya dengan seorang Kristen mungkin pakai kalung salib dengan motif yang sama.
Jadi kewargane kehidupan kita bernegara berlapis-lapis elemen value-nya, tapi kita seringkali anggap satu aja. Padahal kita mesti uji sebetulnya. Itu namanya mengkritik simbol dengan fasilitas. hermeneutik itu dia mau mengucapkan apa dengan semua itu performa titiknya demi apa itu silakan yang salah penjajahan terhadap tubuh wanita Apakah dengan berjilbab itu menjajah kebebasan perempuan atau justru sebaliknya orang yang kalau misalnya terbuka-terbuka itu dia terjajah oleh keinginan dia mendapat simpati dari laki-laki dia terjajah seperti itu, terjajah oleh perasaannya dia ingin mengeksplorasi dia ingin menambah terus, itu sebenarnya ada perasaan bahwa perempuan adalah makhluk di bawah laki-laki yang harus mendapat perhatian dari laki-laki karena itu Itu dengan penjajahannya adalah Membuat dia mau mengikuti Keinginan laki-laki yang Mengharapkan perempuan lebih terbuka Itu adalah penjajahan Tapi juga penjajahan terhadap Perempuan bisa juga Seperti di Afganistan misalnya Kalau misalnya terbuka Kelihatan berapa rambut itu Dihangap berdosa Masuk neraka Itu juga penjajahan Seharusnya perempuan itu Bisa Membuatnya menemukan merefleksikan kepada dirinya apa yang dia maksud penjajahan atau bagaimana dia membebaskan dirinya jadi bagi saya bukan pakai jilbab atau tidak pakai jilbab tapi bagaimana perempuan itu sendiri dalam dirinya mendefinisikan apa akan arti penjajahan itu Apakah penjajahan terhadap dirinya adalah karena dia makhluk di bawah laki-laki Maka dia harus mengikuti Apa yang laki-laki sukai? Atau dia penjajahan dalam arti pemaksaan kaum laki-laki, agamis yang laki-laki yang harus kan dia pakai burkah misalnya.
Itu penjajahan juga. Jadi itu adalah dua hal penjajahan yang seharusnya... tidak dilakukan oleh perempuan perempuan itu harus bisa mendefinisikan ke dalam diri sendiri bahwa dia punya kemerdekaan dan dia boleh memakai apa yang dia mau karena itu adalah kemauan dia bukan penjajahan atas dua hal tadi hal yang agak agak memerlukan tadi Melihat kesalahan ketiga adalah menguraikan mata sosial yang kadangkala tidak kita sadari.
Misalnya, soal tadi perempuan. Begitu perempuan bangun pagi, masih di dalam kamarnya, dia sudah diatur oleh Dalil sosial. Padahal dia masih di ruang privat, kamar ganti bajunya.
Bahkan masih di depan kaca dia sudah diatur oleh norma sosial. Bangun pagi perempuan ada di depan kaca untuk meretikan apakah alisnya masih rapi apa enggak. Karena dia mesti pergi ngajar.
Nanti gimana? Mahasiswa lihat dia. Dia udah berpikir alisnya satu. Begitu dia lihat alisnya kurang rapi, dia rapiin dulu. Setelah abisnya rapi, dia mulai berpikir, saya mesti pakai baju apa ya?
Karena setelah ngajar, saya mesti pergi menghadap menteri. Kalau saya pakai jeans, nggak enak. Masih di depan kaca yang sama, dia sudah diatur oleh dua hukum. Hukum di depan kelas dan hukum menghadap menteri.
Begitu sedia selesai berdandan supaya bisa ngajar dan pergi menghadap menteri setelah itu pikiran ketiganya muncul tapi sore jam 7 saya mesti datangi perkawinan adat Jawa di Medan baju apa yang saya mau pakai Jadi anda lihat, masih di depan kaca di ruang privatenya, dia sudah dikendalikan oleh tiga dalil publik. Terhadap bajunya itu. Artinya si perempuan itu berupaya untuk mendamaikan dirinya dengan tuntunan publik.
Jadi norma sosial bekerja begitu kuat, bahkan ketika dia masih di dalam ruang paling privat, yaitu toilet. Nah terhadap itu ada banyak teori yang sudah dibicarakan mungkin di sesi yang tentang feminis yang urai lebih banyak. Oh ini urai ya.
Oke saya tutup dengan satu konsep lagi. Tadi saya terangin konsep bagaimana supaya bisa memberi kritik. Yaitu tadi di bagian awal tadi. Think the unthinkable. Yang inti soal seringkali disembunyikan dari panca indra.
Kita hanya melihat dua soal, padahal ada soal ketiga. Yang tak terlihat oleh panca indra, tapi coba dilatih itu ya. Yang kedua adalah, berhenti mengkonsumsi background belief tadi. Yang perkoin tadi contohnya itu. Karena ilmu pengetahuan ada metodenya.
Dapat ya? Bisa dapat? Poin kedua itu. Poin ketiga, kalau kita melihat soal, kita harus bedakan antara cara kita melihat soal dan asal-usul otentik dari soal itu. Agak rumit kalimatnya, saya bikin lebih sederhana.
Ini malam, ada bulan di luar situ. Ini ada bulan. Ini ada... YJP lagi belajar di kelas ini. Kita lihat bulan.
Di Bali... Orang melihat bulan yang sama walaupun sedikit berdebu karena Gunung Agung lagi meletus. Tapi mereka merasa kita bisa melihat bulan dan berupaya untuk mendengar suara alam tentang gejala Gunung Agung itu.
Karena justru pada hari ini suara itu paling jernih karena bandara ditutup, nggak ada bising pesawat. Kementerian, perhubungan sudah tutup bandara. Ngurah rai. Sehingga Anda nggak bisa liburan dalam seminggu ini atau dua tiga hari ini.
Ada 200 penerbangan domestik yang dibatalkan. Ada 99 penerbangan internasional yang dibatalkan. Jadi pasti banyak orang yang tidur di...
Di terminal canggih di Singapura, misalnya pada tidur di situ pasti nunggu clearance. Tapi bukan itu soal kita. Soal kita adalah menikmati bulan. Kita dan orang Bali bisa menikmati bulan, cahaya bulan, karena bulannya berbentuk bulat. Kalau dia persegi empat.
Cahaya itu disperse ke satu arah aja. Bisa nanggap nggak? Apalagi kalau bulannya bentuk segitiga.
Jadi cahaya bulan itu tersebar merata, ditatap oleh mata perempuan dan menghasilkan tiga puisi nanti malam karena bentuk bulan khas bulat. sphericality-nya. Karena bulan itu spherical, maka dia bisa dilihat dari mana saja.
Oke. Jadi, cahaya bulan hanya bisa disebut cahaya karena sifat bulan yang berbentuk spherical. Dapat poin itu? Lalu kita bikin puisi.
Adalah rindu yang menghasilkan cahaya bulan. Yaitu rindu langit pada bumi. Wah keren!
Bagi seorang... Pembuat puisi bulan adalah sumber cahaya untuk menerangi batinya yang lagi gundah tadi, lagi galau. Bagi seorang seniman. Tapi bagi seorang ilmuwan, itu informasinya nol.
Karena bulan tidak bercahaya. Bulan menerima cahaya dari matahari. Di dalam teori kita menyebut bahwa pengetahuan kita tentang bulan disebabkan karena sifat cognoscendi dari kita, yaitu ingin mengetahui.
Jadi kita melihat bulan karena dia spherical. Penyebab dari pengetahuan kita, penyebab dari kognoscenti kita adalah sphericalitasnya. Jadi bentuk bulan adalah penyebab dari kognoscenti, kognisi kita. Dalam teori kritik, logika kita sebut ini, causa kognoscenti. Saya sedikit kasih istilah ya.
Kausa Cognoscendi Saya mengetahui bulan karena Kausa Cognoscendi yaitu Sferi ini kalitasnya tuh dapat poin itu tetapi saya mengerti bahwa bulan itu bercahaya karena ada matahari jadi saya nggak boleh berhenti di sini saya masih pergi ke situ maka matahari adalah penyebab esensial dari pengetahuan saya matahari ini saya sebut causa esendi hai hai Nah kebanyakan kita hanya berhenti pada kausa kognos cendi, nggak mau melihat kausa SND. Jadi kritik adalah cari kausa SND-nya. Tadi misalnya kausa SND-nya adalah bolongnya pajak yang disamarkan oleh pemerintah dengan menaikkan tarif.
Jalan tol. Padahal maksudnya buat nambal pajak yang nggak masuk sehingga diperlukan penerimaan non-pajak. Gitu misalnya. Gak usah S&D-nya.
Minggu depan kita cari metode lain buat ngerangin itu. Mungkin saya terangin paradoks atau logical fallacy. Tapi ini awal yang bagus karena kita bisa bercakap-bercakap dan memperoleh sekedar 2-3 metode supaya kalau metodenya terlalu banyak nanti kita jenderal menghapal ini nanti apa. Yang penting critical thinking itu bukan untuk menghapal buku teks, tapi untuk mengaktifkan potensi kita untuk Menegasi sesuatu yang faktual. Jadi kita menegasi dalam upaya untuk mencari kausa SND-nya.
Karena itu dalam critical thinking berlakulah dalil negativity is essential to thinking. Menegasi adalah esensi dari berpikir kritis. Dan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Ya, karena menegasi selalu membahayakan stabilitas persatuan. Oke, sampai di situ kita ketemu hari kemis depan ya.
Selamat malam.