Transcript for:
Filosofi dan Moralitas dalam Monster

Monster adalah manga dan anime yang penuh dengan pertanyaan filosofis, dan karakter-karakter di dalamnya dibangun dengan psikologi yang mendalam. Tema-tema seperti Cerita dari monster terkenal dengan kompleksitasnya dan komentarnya terhadap arti dari kehidupan. Dengan pertanyaan utamanya, Dan kita mengeksplor ini dengan dua karakter utama dengan pandangan yang benar-benar berbeda, Dr.Tenma dengan kepercayaannya bahwa semua kehidupan setara dan Johan Liebert dengan kepercayaannya bahwa semua kehidupan tidak setara dan kesetaraan hanya didapatkan dalam kematian. Dalam video kali ini, kita tidak akan hanya fokus kepada Johan, tapi kita akan menganalisis dan memberikan interpretasi terhadap Monster secara keseluruhan, melihat setiap karakter utama, setiap tema utama yang disuguhkan, dan mencoba untuk membahas dan menjawab setiap pertanyaan filosofis yang ada. Cerita dimulai dengan Dr. Kenzou Tenma, ahli bedah saraf elit yang baru saja bertunangan dengan Eva Heinemann, putri direktur rumah sakit dimana Tenma bekerja, Tenma sedang dalam perjalanan untuk mendapatkan promosi di rumah sakit itu. Di episode pertama kita melihat ada seorang ibu imigran Turki yang menangis kepada Tenma, memintanya untuk mengembalikan nyawa dari suaminya, dia mengatakan bahwa suaminya duluan datang ke rumah sakit, tapi tidak dijadikan prioritas oleh rumah sakit, dan membuat Tenma, ahli bedah syaraf elit mereka, menyelamatkan pasien prioritas tersebut, yaitu seorang penyanyi opera. Disini kita langsung diberikan pertanyaan filosofis, mengenai nilai atau esensi dari kehidupan manusia, apakah semua nilai kehidupan manusia sama? Jika tidak, apa yang membuat nilai dari satu orang lebih tinggi dari yang lainnya? Dan jika esensi manusia itu berbeda-beda, berarti konsep keadilan, kesamaan, atau kesetaraan terhadap manusia dan hak-hak mereka hanyalah ilusi dan tidak akan ada. Ini membawa kita ke pertanyaan filosofis utama yang akan dieksplor oleh anime ini, “apakah nyawa manusia setara atau tidak?” Tenma yang mendengar tangisan ibu Turki ini menginternalisasi kejadian ini sampai ke dalam dirinya, mengetuk nilai-nilai yang dia pegang selama ini. Dipenuhi dengan rasa bersalah karena sudah memprioritaskan satu nyawa dari nyawa yang lain dia menceritakannya kepada Eva, Namun, Eva menjawab: Mendengar Eva mengatakan bahwa manusia tidak setara memukulnya dengan keras. Dia percaya bahwa semua nyawa itu setara dan memiliki nilai yang sama, tidak ada yang lebih spesial dari yang lain. Ketika Tenma bertemu direktur, kita akhirnya tahu alasan dari direktur kenapa dia menyuruh Tenma memilih penyanyi opera tersebut. Dia mengatkaan bahwa mereka adalah dokter dan bukan sukarelawan. Dan pekerjaan dokter adalah mengembangkan keilmuwan sebelum menyelamatkan nyawa. Rumah sakit tempat Tenma bekerja adalah rumah sakit ternama yang memiliki peran dalam memimpin dunia medis Jerman, bahkan Eropa. Dan memilih untuk menyelamatkan orang yang lebih terkenal daripada seorang imigran biasa akan menjaga reputasi rumah sakit tersebut sebagai pemimpin dunia medis. Dari sini, kita dapat melihat bahwa Tenma memandang bahwa nilai atau esensi yang dimiliki satu manusia dengan manusia lain itu sama dan direktur dengan putrinya mengatakan berbeda, bergantung pada pengaruh mereka terhadap rumah sakit, yang nantinya kepada ilmu medis secara keseluruhan. Dengan kredo yang bertentangan ini, Tenma nantinya melanggar perintah dari direktur yang menyuruh untuk menyelamatkan wali kota dikarenakan dia akan memberikan subsidi tambahan, daripada anak kecil, Johan Liebert, yang datang duluan. Dan tindakannya ini, nantinya membuatnya kehilangan reputasinya sebagai dokter dia tidak jadi mendapatkan promosi, status sosialnya menurun dan bahkan tunangannya, Eva, meninggalkannya. Disini, ada dua pandangan moralitas yang bertentangan, yaitu deontology dan consequentialism. Untuk lebih mengerti tentang dua pandangan ini, kita harus melihatnya dengan trolley problem. Ketika ada satu kereta yang berjalan dan sedang mengarah ke lima orang yang terikat di atas rel, kita yang sedang berada di dekat tuas itu diberikan pilihan, apakah kita akan membiarkan kereta itu menabrak lima orang tersebut, atau menarik tuas yang membuat jalur kereta berubah ke rel lain, dan menabrak satu orang yang terikat di rel tersebut. Apakah kita akan membunuh satu orang demi menyelamatkan lima orang? Apakah kita rela melakukan kejahatan demi mendapatkan hasil yang lebih baik? Apakah kejahatan diukur dari tindakan atau hasil dari tindakan itu sendiri? Kalau kamu menjawab tarik tuas, berarti kamu adalah consequentalist, yang percaya bahwa hasil dari tindakan lebih penting daripada tindakan itu sendiri dan kalau kamu membiarkannya, kamu berarti percaya bahwa hasil dari tindakan tidak lebih penting dari tindakan yang dilakukan. Dilema moral ini bisa disamakan dengan dilema dari Tenma, dimana wali kota adalah lima orang dan Johan adalah satu orang, dikarenakan wali kota memiliki tanggung jawab kepada lebih banyak orang dan kematiannya jelas akan berpengaruh ke lebih banyak orang, daripada satu anak yang tidak terlalu dikenal. Dan juga wali kota lebih penting terhadap rumah sakit dan ilmu medis secara keseluruhan dikarenakan subsidi yang dia janjikan, dibandingkan dengan Johan. Tapi Johan adalah pasien yang datang duluan, Apakah boleh membiarkan anak itu diurus oleh dokter lain yang berarti otomatis membuatnya terbunuh demi menyelematkan wali kota yang memiliki hasil lebih banyak? Dan juga ini bisa dikaitkan dengan moralitas dari Tenma secara subjektif terhadap pengalamannya, apakah dia mau melakukan hal yang sesuai dengan idealismenya atau melakukan hal yang tidak sesuai dengan idealismenya dan mendapatkan hasil yang lebih bagus terhadap dirinya sendiri. Apakah dia lebih peduli terhadap hasilnya atau tindakan itu sendiri? Namun Tenma, dia tidak merasa nyaman memberikan nilai diatas nyawa manusia apalagi jika berdasarkan atas konstruksi manusia, menurutnya, mau bagaimanapun kondisi dan situasi dari seseorang, semua nyawa itu sama, mau dia memiliki pengaruh lebih besar terhadap diri sendiri atau tidak. Ini sesuai dengan Deontology yang sebagian besarnya dikembangkan dari filsuf Immanuel Kant. Dia pernah menulis, Kant menilai kehidupan manusia, nyawa, sebagai entitas yang absolut, tidak bisa dijadikan sebagai bentuk nilai yang berubah-ubah dan berbeda-beda di setiap orang. Ini juga sama dengan eksistensialis tadi yang menganggap semua manusia sama dikarenakan memiliki kapasitas untuk kebebasan dan tanggung jawab dari pilihan yang mereka ambill dalam hidup. Tenma percaya bahwa prioritas dari seorang dokter adalah menyelamatkan nyawa bukan mendapatkan hasil, atau dalam kasus ini, mengembangkan keilmuan. Dan Tenma juga tahu, bahwa hasil yang dibicarakan oleh direktur bukanlah sepenuhnya hasil terhadap rumah sakit, tetapi juga hasil terhadap dirinya sendiri sebagai direktur dari rumah sakit, Tenma mengatakan, yang tidak diketahui oleh Tenma adalah, dia telah menyelamatkan nyawa seorang monster. Dikarenakan breakdownnya di depan Johan yang terlihat tidak sadarkan diri, Johan membunuh direktur dan dokter-dokter korup yang memiliki nilai yang sama dengannya. Dan ini menyelamatkan status Tenma kembali sebagai dokter. Dan disinilah konflik utama dari kesuluruhan cerita ini dipertayakan kembali. Apa benar nyawa itu setara? Karena dalam kasus ini, nyawa setara yang diselamatkan tadi, justru memberikan dampak yang buruk, dia adalah monster, monster yang memiliki kapabilitas membunuh orang lain tanpa rasa bersalah. Apakah benar menyelamatkan orang yang memiliki pengaruh buruk terhadap dunia dan orang-orang di dalamnya? Apakah benar nyawanya, jika dibandingkan dengan wali kota tadi, setara? Dan Tenma mengetahui ini dengan sadar setelah konfrontasinya dengan Johan 9 tahun kemudian, ketika salah satu pasiennya ternyata adalah penjahat yang sudah ditargetkan oleh Johan. Disini, Tenma melihat orang yang sudah ia selamatkan, dan sudah menyelamatkannya dari korupsi, sudah membuatnya bertahan terhadap nilainya, ternyata membunuh orang lain, di depan matanya sendiri. Tenma merasakan pukulan telak terhadap dirinya, dia merasakan keabsurdan dari keadilan miliknya, rasa bersalah dan tanggung jawabnya atas tindakannya ketika menyelamatkan Johan ternyata berakibat dalam banyak sekali kekejaman. Tenma percaya bahwa semua nyawa itu setara dan tidak ada seorang pun yang bisa dan boleh mengambil nyawa dari orang lain. Tapi, bagaimana dengan menyelamatkan nyawa yang mengambil nyawa orang lain? Disinilah dia mulai berpikir, apakah benar memprioritaskan satu nyawa daripada yang lain? Atau mungkin lebih dalam, apakah pilihannya sebelumnya berdasarkan pada kesetaraan nyawa atau dia hanya ingin memiliki kontrol atas apa yang ingin dia lakukan? Pertanyaan mengenai esensi atau nilai dari sesuatu, apalagi esensi dari kehidupan, berkaitan erat dengan eksistensialisme. Jean Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, menuliskan, Dia berpikir bahwa eksistensi mendahului esensi, nilai dari suatu nyawa didahului oleh eksistensinya dalam kehidupan. Dia harus hidup dulu baru nilai itu ada. Dan keadaan eksistensi ini menciptakan kebebasan dan tanggung jawab untuk manusia untuk mengambil keputusan dalam hidup, yang nantinya memberi pengaruh terhadap esensi kehidupannya sendiri. Dari perspektif eksistensialis, walaupun manusia mungkin tidak setara dalam memiliki nasib atau pengalaman yang serupa, semua orang, memiliki kapasitas akan kebebasan dan tanggung jawab dari pilihan mereka. Eksistensialisme menggarisbawahi pentingnya mengakui dan menghormati kebebasan dalam diri sendiri dan orang lain, yang menjadi dasar bagi kesetaraan moral dan potensi kesetaraan sosial. Semua orang memiliki martabat dan nilai yang melekat pada dirinya, yang berakar pada kapasitas mereka dalam menciptakan makna dari membuat pilihan-pilihan mereka setiap hari. Dengan ini, kita harusnya tidak hanya mengatakan bahwa kehidupan tidak memiliki arti, tapi kita harus lebih menghormati kehidupan tersebut dengan lebih mendalam di dalam setiap orang, bagaimana pun nasib mereka. Walaupun Johan mungkin tidak bertanggung jawab secara moral, dia tetaplah memiliki esensi diri dari kebebasannya dalam memilih, dikarenakan dia memiliki eksistensi, walaupun negatif dan berdasar pada bad faith, atau ketidakautentikan. Dia masihlah menciptakan esensi atau identitas, walaupun dia percaya bahwa itu semua tidak ada. Tenma sebagai tokoh utama dari cerita ini sangat penting. Karena sebagai orang yang pada dasarnya baik, terjebak di dalam keadaan yang luar biasa, membuatnya menjadi perwakilan setiap orang dalam menghadapi masalah moral yang kompleks. Kompleksitas moral, kebebasan memilih dan tanggung jawab dari pilihan ini memberikan semacam teror di dalam setiap eksistensi manusia. Karena kita bebas memilih apapun, dan bertanggung jawab dari apapun pilihan kita, kita jadi tidak benar-benar tahu apakah pilihan yang kita lakukan itu memang benar atau tidak. Dan bisa saja kita akhirnya dihantui oleh rasa menyesal dari pilihan tersebut. Ini digambarkan dengan indah dari buku bergambar karya Franz Bonaparta, “The Man with Big Eyes and The Man with the Big Mouth.” Big Eyes adalah orang yang memiliki idealisme tinggi dan tidak akan terpengaruh oleh godaan sementara, mungkin semacam godaan untuk berbuat curang, untuk mendapatkan gratifikasi instan. Dan Big Mouth bisa digambarkan adalah orang yang realistis dan mengambil gratifikasi instan tersebut, dia tidak memiliki pandangan kedepan seperti Big Eyes. Tapi, ironinya, keduanya sama-sama menyesal di akhir, satu dikarenakan tidak mengambil kesempatan dan satunya karena mengambil kesempatan tersebut. Terkutuk jika kamu melakukannya dan terkutuk jika kamu tidak melakukannya. Pada akhirnya pilihan apapun yang diambil, kita akan merasakan penyesalan. Ini sama seperti tulisan Kierkagaard, salah satu filsuf eksistensialis juga, dia mengatkaan dalam bukunya, “Either/Or,” yang berbunyi: Ini menggambarkan horror dari kebebasan radikal yang kita miliki, karena kebebasan penuh ini, setiap tindakan yang kita pilih haruslah kita pilih dengan bertanggung jawab, dikarenakan itu akan membentuk esensi kehidupan kita, dan membentuk identitas kita sebagai manusia. Dan pertanyaan etis yang sangat kompleks ini muncul ketika sang devil muncul, ketika Johan muncul ke kehidupan Tenma, karena kalau saja yang diselamatkan oleh Dr. Tenma bukanlah Johan, kerangka berpikir dan nilai-nilainya tidak akan terserang dan dia akan terus percaya bahwa semua kehidupan memiliki nilai yang sama. Johan, sebagaimana iblis di dalam cerita, memberi mereka pilihan dengan konsekuensi mengerikan. Tenma, yang telah melakukan tindakan berdasar pada kebebasannya, yaitu menyelamatkan Johan, haruslah bertanggung jawab atas tindakannya. Dan disini, dia percaya bahwa yang dia lakukan sebelumnya salah, dikarenakan menyelamatkan satu nyawa ternyata menghasilkan pengorbanan nyawa yang lebih banyak. Didorong oleh kepercayaan bahwa dia telah melakukan kesalahan, dia pergi melakukan misi untuk menghentikan Johan, untuk menebus tindakannya. Dia meninggalkan semua status dan pekerjaannya dan pergi mencari tahu siapa sebenarnya monster ini. Dengan para polisi dan BKA, dengan Inspector Heinrich Lunge, mengejarnya di belakangnya, dikarenakan dia adalah tersangka paling mungkin dalam tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Johan. Perjalanannya ini bukan hanya perjalanan fisik, melainkan juga perjuangan internal untuk melihat dampak dari pilihannya dan mencoba untuk menebus pilihannya tersebut dengan menghentikan Johan. Bahkan, dia percaya bahwa dia akan membunuh Johan demi menyelesaikan konsekuensi dari pilihannya. Dan disinilah, dengan Tenma, kita akan belajar mengenai Johan. Kenapa Johan bisa melakukan hal sekejam itu? Apa yang membuatnya bisa menjadi sejahat itu? Apa tujuannya? Darimana asalnya? Kenapa bisa ada seorang monster berwujud manusia? Johan Liebert, meskipun antagonis dan memiliki screentime yang sedikit, dia adalah simbolisasi dan perwujudan langsung dari monster itu sendiri, dia adalah tokoh sentral dari semua cerita ini. Perlahan, nantinya kita akan mengetahui bahwa dia memiliki trauma yang besar di Kinderheim 511, yang merupakan panti asuhan dimana mereka mengembangkan tentara super untuk negara dengan melakukan berbagai eksperimen psikologis yang mengerikan, Johan kehilangan ingatannya dan mendapatkan luka psikologis yang berat di sini. Namun, nantinya kita akhirnya mengetahui bahwa dia tidak mendapatkan kekejamannya dari Kinderheim 511, dia sudah menjadi monster sebelum mereka mencoba untuk menjadikannya salah satu dari monster itu. Kemudian, kita tahu bahwa dia telah menyaksikan kengerian yang ada di Red Rose Mansion, dan ini terus menghantui pikirannya dan membuatnya percaya bahwa nyawa manusia tidaklah sepenting atau sesignifikan itu, karena disini, dia melihat semua nyawa melayang begitu saja, dan tidak ada signifikansi dari itu semua. Disini dia percaya bahwa nyawa manusia tidaklah memiliki nilai apapun. Namun, nantinya kita akhirnya mengetahui bahwa yang pergi ke Red Rose Mansion bukanlah Johan, melainkan Anna, dan Johan hanyalah menginternalisasi cerita dari Anna yang pergi kesana, Johan tidak pernah pergi kesana sebelumnya. Lalu, kita akhirnya tahu bahwa Johan dan Anna adalah subjek eksperimen eugenics yang dipimpin oleh psikiater dan psikolog Franz Bonaparta, dengan tujuan untuk menciptakan pemimpin sempurna bagi umat manusia. Dari kecil Johan sudah diatur, dimanipulasi, diubah, dari seorang manusia biasa menjadi seorang pemimpin. Para pemimpin eksperimen eugenics ini percaya bahwa untuk bisa menciptakan manusia yang sempurna, mereka haruslah membuat manusia yang tidak memiliki identitas. Dengan tidak adanya identitas, mereka akan menciptakan manusia tanpa individualitas, dan menurut mereka, manusia tanpa individualitas akan menjadi mesin efektif untuk menjadi pemimpin manusia. Ketika seseorang tidak memiliki identitas, mereka tidak akan memiliki tempat dimana nilai-nilai dari pilihan mereka diletakkan, yang memungkinkan mereka tidak akan bisa membentuk esensi diri. Nilai-nilai seperti motivasi, keinginan, kemauan, apapun itu berdasar pada identitas, kita bisa menempatkan itu terhadap identitas yang ada. Misalnya, jika si Budi melakukan hal yang baik, maka si Budi adalah orang yang baik. Ini berarti, dari tindakannya yang baik, dia membentuk esensi menjadi orang yang baik. Namun, jika identitas tidak ada, jika si — melakukan hal yang baik, maka — orang yang baik. Kita tidak bisa menempatkan itu karena tidak ada tempat untuk menempatkannya, nilai-nilai yang terbentuk dari pilihannya tidak memiliki tempat, yang membuatnya tidak memiliki esensi. Inilah konsep yang dimiliki oleh eksperimen Eugenics ini, dengan membuat seseorang tidak memiliki identitas, dia tidak akan memiliki tempat dimana dia meletakkan nilai-nilai yang dia yakini, yang berarti tidak memiliki esensi, dia tidak akan memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk menciptakan esensinya sendiri secara internal, melainkan mendapatkan esensi eksternal yang sudah diciptakan sebelumnya, membuatnya menjadi subjek yang tepat untuk manipulasi demi kepentingan orang banyak. Tanpa esensi, kebebasan, dan tanggung jawab, dia kemungkinan tidak akan memiliki jiwa yang terikat oleh moralitas manusia. Dan tidak adanya jiwa yang dimiliki akan membuatnya bisa melakukan tindakan-tindakan yang menurut mereka penting, seperti tindakan mengerikan demi tujuan yang mulia di masa depan, tanpa mengalami serangan jiwa akibat dari moralitasnya sebagai manusia yang memiliki eksistensi. Sama seperti kepercayaan mereka mengenai Hitler. Franz Bonaparta dan orang-orang disekitarnya sangat percaya bahwa menciptakan manusia seperti ini penting dan harus dilakukan, mereka percaya bahwa yang mereka lakukan adalah hal yang benar. Sama seperto Napoleon Bonaparte, Franz Bonaparta melihat tindakan yang dia lakukan, meskipun kejam, memiliki keuntungan untuk banyak orang di masa depan. Mereka fokus pada hasil daripada tindakan. Consequentalism dan bukan deontology—tidak apa melakukan hal kejam sekarang, demi mendapatkan hasil yang lebih baik nanti. Lebih baik membunuh 1 orang asal bisa menyelamatkan 5 orang nantinya. Ini juga sama dengan keyakinan yang dimiliki oleh direktur rumah sakit, yang percaya bahwa tujuan mereka adalah untuk keuntungan orang banyak, dan untuk mencapai itu, tidak apa-apa untuk melangkahi beberapa mayat, dan dia menganggap bahwa moralitas ini adalah moralitas yang benar dan baik untuk dilakukan. Bonaparta, Capek, dan yang lainnya melihat diri mereka berbeda dengan manusia biasa, mereka memiliki moralitas tuan, dimana orang lain memiliki moralitas budak, mereka melihat diri mereka sama seperti Napoleon, dan juga Hitler. Pandangan ini mirip dengan konsep Ubermensch yang dikembangkan oleh Nietzsche, yang dia jelaskan dalam Thus Spoke Zaratushtra yang dirilis tahun 1883, Ubermensch, atau Superman atau Obermen, dia adalah manusia yang melewati moral-moral konvensional yang diciptakan oleh manusia. Nietzsche berargumen bahwa moralitas konvensional adalah moralitas budak, dia mengatakan bahwa nilai-nilai itu diciptakan oleh orang-orang yang berkuasa untuk menekan mereka. Membuat mereka menjadi lemah dan penurut. Dan untuk manusia bisa menjadi utuh, dia haruslah melampaui moralitas konvensional tersebut dengan menjadi Ubermensch, menjadi tingkat evolusi selanjutnya dari manusia. Dengan menjadi Ubermensch atau Man-God, Manusia-Tuhan, manusia tidak hanya akan menjadi lebih tinggi, lebih hebat dari evolusi sebelumnya, tetapi juga akan mendapatkan arti di dalam kehidupan. Manusia haruslah menciptakan dunia dan sifat manusia dengan keinginannya sendiri. Dan inilah konsep yang disalahartikan dan digunakan oleh Nazi Jerman dulunya dalam menciptakan konsep Eugenics mereka dalam berusaha menciptakan Ubermensch, mereka melakukan banyak hal kejam demi tujuan, yang menurut mereka, mulia ini. Dan nampaknya, ini juga disalah artikan oleh Frans Bonaparta, Peter Capek dan lainnya dalam melakukan eksperimen ini, mereka ingin mengembalikan kehebatan manusia, dan untuk bisa mengembalikannya, mereka butuh sosok hitler yang kedua, sosok yang akan menjadi pemimpin manusia nantinya. Mereka percaya bahwa beberapa hal, yang secara moralitas konvensional tidak bagus, harus dilakukan demi mencapai tujuan yang lebih besar, demi mencapai tujuan yang menurut mereka lebih benar. Dan ini, tidaklah mungkin, manusia ditakdirkan untuk terikat dalam moralitas mereka. Sejauh manapun mereka mencoba untuk menghapus moralitas ini, mereka tidak akan pernah sampai menjadi Tuhan. Karena seperti yang kita tahu nantinya, Bonaparta, membangun rasa kasih sayang terhadap si kembar, Johan dan Anna, dan ini membuatnya melakukan penebusan dan membunuh semua orang yang ikut serta dalam eksperimen tersebut kecuali dirinya sendiri dan Peter Capek. Ini sesuai dengan buku bergambarnya bernama, The God of Peace God of Peace bisa diinterpretasikan bahwa meskipun entitas yang diasosiasikan dengan kedamaian sekalipun memiliki sisi yang gelap. ini sesuai dengan ide bahwa setiap individu memiliki kebaikan dan kejahatan di dalam diri mereka sendiri. Tapi, yang lebih dalam, banyak orang, percaya bahwa yang dia lakukan adalah untuk kebaikan, kebaikan banyak orang, dia sangat sibuk melakukan kebaikan ini setiap hari, sibuk melakukan kedamaian ini setiap hari, menyebarluaskan kebaikan, menumbuhkan kebaikan, memberikan tujuan kepada orang-orang untuk menjadi orang yang baik. Tanpa sadar bahwa selama ini mungkin saja yang dia lakukan itu bukanlah sesuatu yang baik dan dia bukanlah orang yang baik. Dan ini terjadi karena kurangnya refleksi diri yang dilakukan, tidak pernah menanyakan ke diri sendiri apakah yang dilakukan memang benar-benar baik atau tidak. Dan ketika dia memberikan tujuan yang sama ke orang lain dan melihat orang lain melakukan apa yang dia lakukan— ketika Johan memberikan topinya kepadanya. Dia mulai bercermin. Dia melihat dirinya yang sebenarnya. Dia mulai melakukan refleksi diri. Dia mulai melihat seberapa besar kehancuran yang dia ciptakan dari “kebaikan” yang dia lakukan. Dan pengetahuan bahwa dia sebenarnya bukanlah orang yang baik menghancurkannya. Bonaparta, yakin bahwa yang dia lakukan selama ini adalah hal yang benar, dia melakukan kebaikan, dia menyebarkan kedamaian, dengan dia melakukan eksperimen eugenics, dia percaya bahwa itu adalah untuk kebaikan dari tidak hanya rakyat Jerman, melainkan umat manusia. Namun, ketika Johan memberikan topi untuknya dia bercermin dan dia sadar. Dalam kasusnya, ketika dia melihat Johan dan Anna, dia sadar bahwa yang dia lakukan kepada anak-anak kecil ini adalah hal yang salah, hal yang sangat salah. Bonaparta merasa hancur, dia tidak bisa menerima dirinya yang telah melakukan kejahatan dengan bayangan, dengan topeng, bahwa dia sedang melakukan kebaikan untuk umat manusia. Dia yang tidak bisa menerima itu, membunuh semua orang yang terlibat, dan menghasilkan pembantaian Red Rose Mansion. Dari sini, kita dapat melihat bahwa seorang sekejam itupun, pasti akan memiliki moralitas, ini sama dengan yang terjadi dengan Wolfgang Grimmer. Dia memiliki latar belakang yang sama dengan Johan di Kinderheim 511, dia dilatih untuk menjadi prajurit sempurna dengan masuk ke dalam identitas lain, Steiner, untuk menghilangkan segala individualitasnya dan tanggung jawab dari kehancuran yang nantinya Steiner lakukan, Steiner aktif ketika setiap kali dia berada dalam bahaya. Namun, Wolfgang, setelah kematian anaknya, dia tidak memiliki reaksi apapun, dan ini membuat istrinya melihatnya sebagai monster. Peaceful God melihat cerminnya kembali. Tidak tahan melihat itu, Wolfgang tidak membunuh dirinya sendiri, melainkan pergi melakukan penebusan. Dia mencoba untuk mempelajari kembali moralitas manusia, mempelajari kembali ekspresi dan pengalaman manusia, mempelajari kembali apa artinya hidup dalam dunia. Ini adalah konsep yang sama yang dijelaskan oleh Dostoyevsky dalam tulisannya Crime and Punishment. Dia menulis dari tokoh utamanya, Dia mengatakan, sama dengan konsep Ubermensch, bahwa ada dua jenis manusia, manusia dengan moralitas konvensional, moralitas budak, dan manusia yang melebihinya, moralitas tuan. Dia percaya bahwa beberapa individu, seperti Napoleon, berada di atas moralitas biasa dan memiliki hak untuk melakukan kriminal jika itu menguntungkan kemanusiaan. Raskolnikov di dalam cerita ini memiliki semua alasan, baik secara praktikal, rasional dan bahkan etis, percaya bahwa membunuh seorang wanita pegadaian adalah hal yang benar dikarenakan dia adalah orang yang jahat dan terus menerus merugikan orang lain. Dan dengan membunuhnya, akan memberikan kebahagiaan yang lebih besar kepada lebih banyak orang. Tapi, pada akhirnya, setelah dia selesai membunuh wanita tersebut, dia merasakan serangan psikologis yang mengerikan. Roskolnikov tiba-tiba berubah, dia bukan lagi orang yang sama. Walaupun dia selamat dari hukuman legal, hukuman jiwanya menyiksa dirinya terus menerus. Dia merasakan terror, mimpi buruk, dan penyiksaan mental dari tindakannya. Dan satu-satunya jalan untuknya keluar adalah dengan melakukan penebusan. Ini bisa dikatakan sebagai kritik terhadap pandangan yang dimiliki Nietzsche mengenai Ubermensch. Dan yang membuat ini menakjubkan adalah, Dostoyevsky tidak pernah membaca tulisan Nietzsche. Ini juga adalah kritik terhadap Consequentalist yang hanya melihat hasil dari tindakan dan bukan proses dari tindakan tersebut. Manusia dikutuk oleh moralitas yang mungkin saja berdasar pada hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya. Membunuh seseorang, atau melakukan kejahatan apapun, akan membuatnya merasakan neraka, mau dia terkena hukum sosial atau tidak, jiwanya, sebagai manusia, akan menghukum dirinya sendiri. Neraka yang dimaksud disini bukanlah neraka setelah kematian, tapi neraka jiwa, jiwa kita sendiri akan menghukum diri kita ketika kita melewati moralitas manusia. Nah, kembali ke eksperimen eugenics, dengan menghilangkan identitas, mereka menghilangkan kemampuan manusia untuk memiliki tanggung jawab, karena nilai-nilai dari pilihan mereka tidak memiliki tumpuan, yaitu identitas. Dan tanpa adanya tanggung jawab ini, menurut mereka seseorang tidak akan memiliki moralitas. Walaupun mereka yang menganggap diri mereka Ubermensch akan terjatuh dalam hukuman, seperti Bonaparta. Tapi ciptaan mereka, Johan, yang tidak memiliki identitas, yang tidak memiliki tanggung jawab dan esensi, harusnya tidak akan jatuh ke dalam neraka ini. Inilah yang membuat mereka, Peter Capek, The Baby, dan organisasi rahasia mereka di Frankfurt, yang diketahui anntinya Neo Nazi, terbentuk kembali dan mereka mencoba untuk menghubungi Johan kembali untuk menjadikannya Hitler kedua, manusia idealis yang akan memimpin manusia. Karena hanya manusia tanpa identitaslah, manusia tanpa kutukan moralitas, yang akan bisa menjadi Ubermensch dan membuat dunia menjadi lebih bagus di masa depan nantinya. Tapi, yang berada diluar kalkulasi dari mereka semua adalah, Johan tidak hanya diciptakan menjadi Ubermensch yang melangkahi moralitas konvensional, tapi dia benar-benar menghilang dari esensi awal yang mereka tujukan kepadanya. Mereka berpikir dengan membuat manusia tanpa esensi, mereka bisa memaksakan esensi mereka sendiri terhadapnya. Namun, Johan yang menurut mereka tidak memiliki identitas, justru mengambil identitas dari buku karya Bonaparta, Monster dari the Nameless Monster. Ketika Bonaparta dan Peter Capek ingin melanjutkan eksperimen mereka dengan mengambil salah satu dari Johan dan Anna di bangunan The Three Frogs, mereka meminta Eva, ibu dari Johan dan Anna untuk memberikan salah satu dari mereka. Johan dan Anna saat itu memakai baju yang sama dan tidak memiliki perbedaan sama sekali. Ibunya ingin memberikan kembar yang satu, kemudian mengganti pikirannya dan memberikan kembar yang lainnya. Yang membuktikan bahwa ibunya memiliki preferensi. Dan mereka berdua yang lahir bersama, yang tidak memiliki perbedaan saja, tidak setara di mata ibunya. Kalau ibunya mencintai mereka dengan setara, dia tidak akan memiliki pemikiran untuk mengubah pikirannya, tapi dia mengubah pikirannya. Dia hampir memberikan Johan, tapi merubah pikirannya dan memberikan Anna. Dan kita tidak pernah tahu apakah ibunya tahu yang mana Johan dan yang mana Anna. Dari sini kita dapat melihat bahwa satu anak, di mata ibunya, memiliki nilai yang lebih dari anak yang lainnya. Mungkin saja ibunya sebenarnya lebih menyukai Anna, itu alasannya mereka berdua dibuat menggunakan baju perempuan, untuk membuat ilusi bahwa mereka berdua itu Anna, dan ketika memberikan Anna kepada Bonaparta dia sebenarnya ingin memberikan Johan dan berakhir memberikan Anna. Tapi mungkin juga bahwa alasan untuk membuat mereka berdua perempuan hanyalah untuk mereka berdua lebih aman dilihat dari kondisi lingkungan di masa itu yang lebih aman untuk anak kecil perempuan untuk tidak diganggu daripada laki-laki. Kita tidak pernah tahu siapa yang lebih dicintai oleh ibunya. Dan kejadian ini menghancurkan Johan. Johan yang tidak memiliki nama, tidak memiliki identitas, yang menganggap dirinya dan saudarinya satu, dan satu-satunya yang dia miliki adalah hubungannya dengan ibunya, melihatnya hancur berkeping-keping setelah mengetahui bahwa ibunya memiliki preferensi diantara mereka berdua. Cinta yang dimiliki ibunya ternyata mendiskriminasi. Dari sini, dia melihat dan sadar bahwa kehidupan, nyawa, tidaklah setara. Disinilah dia mulai percaya bahwa walaupun seseorang memiliki kapabilitas dalam membentuk esensi diri mereka sendiri. Beberapa orang, tetap saja, tanpa alasan, akan diperlakukan berbeda. Johan yang masih berumur 5 tahun mengalami krisis eksistensial, dia tidak memiliki apapun, dia tidak memiliki nilai, dia tidak memiliki hubungan, dia bahkan tidak memiliki nama, dia hanya memiliki Anna, dan Anna adalah dirinya sendiri, dan ini mungkin yang membuatnya memiliki hubungan yang mendalam dengan Anna, yang membuatnya hanya peduli kepada Anna. Disini, konsep Ubermensch, esensi diri, yang direncakan oleh Bonaparta untuk masuk ke dalam diri Johan sudahlah musnah. Dia bukanlah orang yang memiliki nilai baru yang diciptakan oleh orang lain ke dalam dirinya, orang yang memiliki nilai moralitas tuan yang lebih besar daripada orang biasa, dia tidak memiliki nilai apapun, dia tidak mempercayai nilai apapun. Diskriminasi ibunya membuatnya jatuh ke dalam nihilisme. Johan yang tidak memiliki apapun membaca buku karya Bonaparta selama berhari-hari, selama Bonaparta membawa Anna bersamanya ke Red Rose Mansion. Dan dengan ini, identitasnya yang sebelumnya tidak ada, terbentuk menjadi Monster dalam buku bergambar, The Nameless Monster. Monster yang tidak memiliki identitas sama dengan Johan yang awalnya tidak diberikan nama, dan diskriminasi ibunya membuatnya lebih dalam ke dalam ketiadaan esensi, nihilisme paling mendalam. Dan ini membuatnya mencari identitas baru, arti baru. Dia pergi mengambil identitas orang lain dan memakan mereka, terus menerus, tidak merasa puas dengan esensi yang didapatkannya. Sampai dia masuk ke dalam tubuh Johan, dan itu memberikannya arti. Nihilisme Johan berhenti ketika dia tahu bahwa dirinya adalah Johan dalam buku the Nameless Monster, ketika dia tahu bahwa dirinya adalah monster. Dengan nama Johan, dia tidak memakan anak itu, tapi justru memakan semua orang, sampai tidak ada orang yang berada di desa itu. Sampai dia bertemu kembali dengan monster yang pergi ke barat. Disini, walaupun si monster yang pergi ke barat mengatakan bahwa mereka tidak butuh nama untuk bahagia, Monster yang pergi ke barat, yang kemungkinan besar representasi dari Anna, mengatakan bahwa mereka tidak butuh nama karna bisa saja memberikan konsekuensi destruktif, tapi Johan menolak hal tersebut dan memakannya. Dan Johan tertinggal sendiri, tidak ada lagi yang bisa memanggilnya lagi dengan nama tersebut. Disini, Johan yang sebelumnya terjatuh ke dalam nihilisme, mulai mengambil nilai bahwa lebih baik menciptkan identitas, esensi, yang meskipun destruktif. Dan identitas yang dia ambil adalah Johan, seorang anak kecil. Dan dia mengatakan bahwa nama itu indah. Ini bisa direpresentasikan dengan banyak cara, mungkin salah satunya adalah bahwa monster itu melihat bahwa Johan yang ada di dalam buku, sebagai anak kecil, adalah bentuk murni dari manusia, bentuk nihilisme tertinggi, tidak memiliki nilai, tidak memiliki esensi yang diberikan kepadanya, dia tidak memiliki apa-apa, sama seperti Johan dunia nyata. Tidak sama dengan yang sebelumnya yang sudah memiliki identitas sendiri sebelum monster datang ke dalam dirinya, seperti si pandai besi, pembuat sepatu dan si pemburu, Johan adalah anak-anak, bentuk murni dari manusia, bentuk murni eksistensi. Johan yang diberikan esensi kehidupan oleh orang lain, melihat bahwa itu tidaklah benar, yang benar adalah ketiadaan esensi itu sendiri. Ini mungkin agak kontradiktif secara intuitif, bagaimana seseorang bisa menjadikan tanpa nama menjadi nama dia sendiri, bagaimana seseorang bisa membuat ketiadaan menjadi keyakinan. Tapi, ini juga merupakan argumen melawan orang-orang yang mempercayai nihilisme. Bagaimana bisa seseorang mempercayai ide bahwa semua nilai itu tidak ada artinya, ide bahwa tidak ada yang namanya ide, kepercayaan bahwa tidak ada yang namanya kepercayaan, justru mempercayai ide tersebut, mempercayai kepercayaan tersebut. Dalam kasus Johan, yang sebelumnya tidak memiliki apapun, sudah menjalani nihilisme paling mendalam, mempercayai hal itu, dia percaya bahwa dirinya adalah Johan. Dan inilah yang membuatnya memiliki pandangan bahwa ketiadaan adalah bentuk sejati dari semua hal. Ketiadaan eksistensi, ketiadaan kebebasan, ketiadaan tanggung jawab, ketiadaan esensi—ketiadaan moral. Inilah yang membuat dia melakukan semua hal yang dia lakukan selama ini, membunuh semua orang, memanipulasi semua orang, mengambil identitas siapapun yang dia temui, demi memberi makan monster yang ada di dalam dirinya, membuatnya lebih besar dan lebih besar sampai nantinya cukup besar hingga meninggalkan dirinya dan monster yang pergi ke barat sendirian di dunia, dan dengan memakan monster tersebut, membuatnya mencapai kesepian absolut, kondisi sejati dari nihilisme. Dan setelah Anna pulang dari Red Rose Mansion, Johan menginternalisasi kejadian yang diceritakan Anna, memberikannya validasi bahwa memang kehidupan dan nyawa manusia tidaklah setara. Dan kemudian dia dan Anna lari dari bangunan The Three Frogs bertemu kelurga demi keluarga, namun keluarga ini tidak ada yang sampai di idealisme Johan, dia percaya tidak ada satupun yang benar-benar cinta kepada mereka, selain dari fakta bahwa adanya kemungkinan mereka memanggil kembali Bonaparta kepada mereka. Kematian demi kematian mereka lewati sampai mereka akhirnya berakhir di perbatasan Czechoslovakia, dan hampir mati karena kelaparan dan kelelahan. Disini Johan melihat Pemandangan Hari Kiamat, dimana mereka tidak memiliki nama dan tidak memiliki siapapun. Disinilah Jenderal Wolf bertemu dengannya dan memberinya nama Johan, yang memvalidasi keyakinannya bahwa dia adalah Johan. Sesuatu yang indah muncul ke dalam otaknya, dia tersenyum, untuk pertama kalinya ada seseorang yang memberikannya nama, dan memanggilnya dengan nama tersebut. Dan Wolf kemudian memisahkan mereka, memberikan Anna ke ke panti asuhan yang dikelola oleh Erna Tietze, dan Johan ke Kinderheim 511, tempat dimana segala eksperimen psikologis terjadi. Disinilah dia kehilangan ingatannya, dan mulai mencampuradukkan semuanya, dia mengatakan bahwa dirinya adalah Otto, Hans, Thomas dan Johan, nama-nama yang ada di buku bergambar karya Bonaparta, yang sudah dia baca terus menerus sebelumnya. Semua kejadian ini membuatnya percaya bahwa dirinya memang benar-benar adalah makhluk yang keluar dari buku cerita, keluar dari fairy tales, makhluk dari dongeng, agent of chaos, yang akan memberikan kehancuran ke atas dunia, mengembalikannya ke keadaan murninya. Membuatnya benar-benar lupa bahwa idealisme tersebut berasal dari buku dongeng dan menginternalisasinya, mempercayainya bahwa itu adalah dirinya sendiri. Setelah itu, keluarga Lieberts nantinya datang mengambil Johan dan berencana mengasuhnya, dan Johan mengatakan untuk mengambil Anna juga. Dan nantinya, ketika Johan sadar bahwa Bonaparta melihat mereka, dia sadar bahwa monster sebenarnya sedang mengejar mereka, tanpa tahu bahwa Bonaparta sudah tobat disini, dia membunuh keluarga Lieberts. Dan ketika Anna mengetahuinya, dia menyuruh Anna untuk menambah dirinya. Dan setelah Anna menembaknya, mereka diselamatkan oleh polisi dan dibawa ke rumah sakit dimana Tenma bekerja, yang membuat kejadian pertama terjadi, dimana Tenma menyelamatkan Johan. Dan ada kejadian aneh disini, kenapa Johan menangis ketika melihat Anna untuk pertama kali setelah dia siuman? Dan ini juga terjadi ketika nantinya mereka bertemu lagi di sisa Red Rose Mansion. Dan disinilah semuanya mulai tidak masuk akal, bahkan kita pun bertanya, kenapa Johan ingin saudarinya membunuhnya? Dan juga, kenapa selama perjalanannya, dia membiarkan bahkan menawarkan nyawanya sendiri kepada Tenma dan Anna? Bukankah tujuan akhir dari sang Monster adalah mewujudkan pemandangan hari kiamat? Johan terlihat sangat mempedulikan Anna, dia terlihat memiliki ikatan yang sangat kuat terhadapnya, bahkan melihat Anna sebagai dirinya yang lain, ia sering mengatakan bahwa mereka adalah orang yang sama. Dia adalah yang satu-satunya yang dimiliki Johan setelah ibunya mendiskriminasikannya, dia menangis mendengar cerita dari Anna yang mengalami kejadian di Red Rose Mansion. Nantinya ketika Kinderheim 511 melakukan interview kepada Johan, dia Johan memohon agar mereka jangan menghapus ingatannya mengenai Anna karena dia adalah satu-satunya orang yang dia miliki di dunia. Hanya mereka berdualah yang ada di dunia. Menggambarkan bagaimana Johan dan monster yang pergi ke barat bertemu kembali. Setelah perpisahan mereka setelah Johan diselamatkan oleh Tenma, Johan terus menerus mengawasi Anna, atau Nina, dari jauh. Dan dia mengirim email kepadanya dengan quotes “Aku lahir untuk melimpahimu dengan bunga.” Menunjukkan cinta yang mendalam yang dia rasakan kepada saudarinya. Dia tidak mau Anna menjadi Big Mouth yang dikarenakan mendapatkan makanan lupa menyiram tanamannya. Dia Johan ingin menjadi Peaceful God yang terus menerus memberikan bunga kepadanya, kepada Anna. Namiun Nina takut kepada saudaranya sendiri, bagaimanapun, Johanlah yang membunuh semua orang tua yang mereka miliki tanpa sepengatahuannya. Dan nantinya ini bertambah kuat setelah dia akhirnya mengetahui bahwa keluarga Lieberts, yang bisa saja berakhir bahagia, dibunuh juga oleh Johan. Johan sadar. Dia terlalu sibuk melakukan apa yang dia persepsikan sebagai kebaikan terus menerus kepada Anna dengan terus menerus membunuh keluarga mereka yang menurutnya tidak pantas untuk mereka berdua, tidak pantas untuk Anna. Dan ketika Anna melihatnya, ini seperti bagaimana Johan di dalam cerita memberikan topi kepada Peaceful God. Dia akhirnya melihat dirinya sendiri dan dia adalah seorang iblis, tidak bisa menahan kepercayaan ini, dia meminta Anna untuk menembaknya, sama seperti apa yang terjadi kepada the Peaceful God. Dan juga ini diperkuat lagi dengan fakta bahwa dia melihat Anna sangat ketakutan setelah dia diselamatkan dari kematian. Dia menangis melihat Anna. Dia sadar bahwa dia adalah iblis itu sendiri. Namun sekarang, dia tidak lagi meminta Anna untuk membunuhnya, dia justru memisahkan mereka berdua. Satu ke timur dan satu ke barat (The nameless monster). Anna, atau sekarang dengan nama Nina, lupa ingatan dikarenakan trauma mengerikan yang dia rasakan selama ini, hidup dengan keluarga Fortner, sampai dia dihubungi kembali oleh Johan di umur mereka yang ke-20 tahun. Dan banyak kejadian mengerikan yang disebabkan oleh Johan di moment ini, salah satunya adalah membunuh keluarganya lagi, keluarganya Nina, keluarga Fortner. Nina yang mulai mengingat kembali kejadian masa lalu dan membuat dirinya mengabdikan diri untuk balas dendam, semua tujuan hidupnya telah terkonsumsi untuk balas dendam, dia menolak membiarkan pembunuh orang tuanya, semua orang tuanya, tidak terhukum. Nina adalah monster yang pergi ke barat dan mengatakan bahwa dirinya tidak membutuhkan identitas, tidak membutuhkan esensi untuk bisa hidup bahagia. Dia mengalami kejadian yang sama dengan Johan. Dan bahkan, dia sendirilah yang mengalami pembantaian Red Rose Mansion. Tapi dia tidaklah jahat seperti Johan, dia tidak nihil. Meskipun mereka sama-sama tidak memiliki nama, sama-sama tidak memiliki diri, dia tidak berakhir seperti Johan. Ini sama seperti konsep absurdisme milik Albert Camus. Dia menjelaskan filsafatnya dengan the myth of Sisyphus. Sisyphus dihukum oleh para dewa untuk mendorong batu besar ke atas bukit, dan Sisyphus haruslah mendorong batu itu ke bawah, dan setelah itu, Sisyphus haruslah kembali ke bawah dan mendorong batu itu lagi ke atas, batu akan tergelinding ke bawah, dan Sisyphus kembali ke bawah, mendorongnya lagi ke atas, batu tergelinding ke bawah. Dan begitu terus, lagi dan lagi, selama-lamanya. Dan Camus, memberikan argumen, Mengatakan bahwa meskipun penderitaan mengerikan yang dia rasakan terus menerus melakukan apa yang dia lakukan, dalam konteks eksistensialisme, terus menerus mencari arti dari kehidupan, esensi dari kehidupan, tapi terus menerus harus mengulangi hal tersebut, karena gagal menemukan arti sebenarnya, dikarenakan absurdnya keadaan dunia, dikarenakan dunia tidak menjawab apa-apa, Sisyphus tetap bahagia. Dan ini mungkin adalah yang juga terjadi kepada monster yang pergi ke barat, dia tidak membutuhkan nama, karena tanpa nama dia juga bisa bahagia Namun, meskipun begitu, kita tidak bisa mengatakan bahwa pengalaman yang terjadi kepada Johan dan Anna itu sama, dikarenakan Johan menginternalisasi semua hal yang terjadi padanya. Dia yang mendapatkan nihilisme total dari diskriminasi ibunya. ingatan lamanya dirusak dan dicampur-campur di Kinderheim 511, yang membuatnya percaya bahwa pembantaian Red Rose Mansion adalah ingatannya sendiri, yang membuatnya percaya bahwa dia adalah the Nameless Monster itu sendiri. Seperti yang kita tahu dalam cerita, Johan menolak ide absurdisme ini dan justru memakan monster itu, meninggalkan Johan sendirian. Mencapai kesepian sempurna. Untuk melihat pemandangan hari kiamat. Jika dalam banyak agama dan filsafat terdapat yang namanya transendensi diri dimana kita akhirnya melihat dunia secara nyata, dalam bentuk naturalnya. Johan memiliki versinya sendiri, pemandangan hari kiamat. Di matanya, ini adalah bentuk sejati dari kehidupan. Dan kita, bisa sampai disana ketika kita mencapai ketiadaan sempurna dimana kita tidak memiliki nilai apapun dan hubungan dengan siapapun. Asal mula dari pandangan ini adalah buku bergambar karya Bonaparta. Dan diinternalisasi oleh Johan kemudian setelah membacanya entah berapa kali. Dan nantinya, Johan melihat ini dengan matanya sendiri ketika dia kelaparan dan kelelahan di perbatasan Cekolosvakia bersama Anna. Johan percaya bahwa pemandangan ini adalah pemandangan yang ada di dalam alam semesta dan segala bentuknya yang lain, terlebih lagi manusia, dan tidak ada yang spesial dari manusia, melainkan bagian kecil dari mengerikannya kebebasan yang dimiliki oleh alam semesta. Johan memandang manusia, dalam situasi ekstrem, sering merasa tidak berdaya, tidak memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk menentukan esensi dari diri mereka. Di matanya, alam semesta dan kehidupan tidak lebih dari serangkaian keputusan yang dipengaruhi oleh kekuatan luar. Ini yang membuatnya menyukai cerita dari veteran tentang reaksi para tentara yang akan di ledakkan. Dia melihat sifat asli manusia. Sifat nihil manusia. Dan ini juga yang membuatnya membuat the rooftop game, membiarkan diri dan nyawa sepenuhnya ditentukan oleh takdir, ditentukan oleh alam semesta. Pemandangan hari kiamat ini diperlihatkan oleh Johan kepada Jenderal Wolf sebagai tanda terima kasihnya kepadanya karena sudah menyelamatkannya dan Anna, di perbatasan tersebut, dengan membunuh semua orang yang memiliki hubungan dengan Wolf. Dan ini memungkinkannya melihatnya. Nantinya, Roberto, terlihat ingin melihat ini dan tidak bisa, dikarenakan dia masih memiliki nilai, masih memiliki identitas, dan hubungan. Roberto melihat Johan dan nilai yang dia pegang sebagai sesuatu untuk dicapai, dan pengejaran ini justru membuatnya menjunjung tinggi nilai Johan yang membuatnya berarti bukan tidak memiliki nilai dan hubungan. Nihilisme yang dia miliki itu palsu. Johan juga melakukan ini kepada Tenma, namun tanpa melakukan apapun kepada Tenma. Ini bisa terjadi dikarenakan Tenma sendiri yang secara aktif mencari tahu mengenai Johan. Rasa empati yang dalam dari Tenma membuatnya mungkin untuk melihat ini. Ini sama seperti tulisan dari Nietzsche dalam Beyond Good and Evil, yang berbunyi, Pencariannya yang mendalam terhadap Johan membuatnya mengerti apa sebenarnya yang dia percayai dan apa yang dia rasakan. Dan disini jugalah nantinya dia harus memutuskan, apakah perkataan Nietzsche benar. Apakah dengan mengenal dengan penuh seorang monster, dia juga akan menjadi seorang monster? Inspektur Lunge, karakter terkeren di anime ini, justru menatap jurang untuk menentukan apa sebenarnya yang terjadi dalam kasus yang ia tangani. Dia menamakan metode ini dengan “menjadi pembunuh” dan merekonstruksi kejadian pembunuhan mereka. Ini dilakukan untuk masuk ke dalam mindest dari si pembunuh, melakukan apa yang dilakukan pembunuh untuk sepenuhnya menyadari kenapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan dan bahkan sampai apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Namun ketika dia mencoba untuk merekonstruksi tiap tempat kriminal peninggalan Johan, dia selalu menyimpulkan, Dia tidak mendapatkan apa-apa dari motif Johan, menurutnya tidak masuk akal, di matanya, ini adalah fiktif. yang membuatnya mendapatkan konklusi bahwa Tenma mungkin membuat kepribadian Johan untuk melindungi dirinya sendiri dari tindakan mengerikan yang dia lakukan. Lunge yang menatap langsung ke dalam jurang, memiliki kemungkinan untuk menjadi monster itu sendiri, ini dibuktikan dari tindakannya yang mulai terus menyendiri dan terobsesi dengan apa yang dia lakukan, Kalau saja dia tidak menemukan titik terang ketika menginvestigasi Johan di Munich, mungkin saja Lunge akan ditatap langsung oleh jurang, dan dirinya mungkin saja menjadi monster sepenuhnya. Kembali ke pemandangan hari kiamat tadi, Johan, the nameless monster, akan merealisasikan bentuk natural dari dunia. Dia mulai melakukan rencananya mulai dari perjanjiannya dengan Christof dimana Johan akan menguasai moneter dunia dan Christof menguasai politik. Dan bersama mereka akan perlahan menguasai seluruh kuasa yang ada di dunia, tanpa tahu bahwa tujuan utama Johan adalah melihat penghancuran dunia, pemandangan hari kiamat. Ini sesuai dengan perkataan Nietzsche dalam the Will to Power, dia menulis, Walaupun sebenarnya, Nietzsche menyuruh untuk setelah terjadinya penghancuran, seseorang haruslah membangun nilainya kembali, sama seperti konsep eksistensialismenya, Ubermensch. Dan semua ini kalau dalam ajaran Nietzche sebenarnya itu berada di internal, inklusif, bukan eksklusif, seperti yang dilakukan oleh Johan. Dan Johan yang terkonsumsi monster berhenti di titik penghancuran, tidak ada pembangunan kembali. Ini jugalah nantinya yang mendorong Johan untuk menguasai pasar gelap Eropa. Dan juga yang membuatnya mendekati Schuwald dan berencana menggantikan posisinya sebagai ekonom paling berpengaruh di Jerman atau bahkan Eropa. Tapi lanjutannya tidak terjadi, karena Johan merubah pikirannya. Menemui kembali buku the Nameless Monster membuatnya sadar akan semuanya. Membuat Johan sadar bahwa dirinya, identitasnya, selama ini berasal dari buku bergambar itu. Semua pilihannya berdasarkan pada cerita itu. Dia selama ini percaya bahwa dia tidak memiliki identitas, dikarenakan dia memiliki kebebasan absolut dan tidak memiliki tanggung jawab atas itu. Dia melihat bahwa tindakan manusia tidaklah berarti. Tanpa tanggung jawab dalam memberikan tujuan, nilai atau esensi kepada kehidupan. Moralitas, yang berdasarkan pada nilai-nilai, tidak relevan baginya. Tapi, yang baru dia sadari adalah, identitasnya selama ini bukanlah tidak ada, tapi mengikuti konsep ketiadaan dari the nameless monster. Ini adalah realisasi bentuk argumen terhadap nihilisme yang tadi. Johan selama ini percaya bahwa dia tidak memiliki identitas—esensi atau arti kehidupan itu tidak ada. Tapi kesadaran bahwa dia ternyata selama ini percaya terhadap ketiadaan identitas ketiadaan esensi atau ketiadaan arti kehidupan, membuatnya sadar bahwa dia masih mempercayai sesuatu. Dia masih memberikan tanggung jawab terhadap pilihannya, yang membuat dirinya memiliki esensi, memiliki identitas, membuat kehidupannya memiliki arti. Mempercayai ketiadaan nilai berarti masih mempercayai bahwa ada nilai, meskipun nilai itu berarti meniadakan nilai lainnya. Dan ini memukulnya dengan sangat dalam sampai membuatnya teriak dan pingsan. Sebelumnya, dia percaya bahwa seluruh tindakannya berdasarkan kenihilan dari semuanya, dia bertindak murni berdasar pada hal natural dari semua hal, bahwa semuanya tidak ada. Sebelumnya, dia percaya bahwa dia adalah semacam force of nature, kekuatan alam. Sudah menjadi sifat alam untuk menghancurkan, karena semuanya tidaklah memiliki esensi, hanya siklus hancur dan hidup, semuanya nihil, tidak ada artinya. Ini yang membuatnya juga menyukai anak kecil, karena anak kecil belum diganggu dengan nilai dan hubungan yang membuat mereka menjadi sifat natural dari alam semesta. Sifat nihilyang diyakini oleh Johan. Namun, fakta ternyata bahwa ternyata selama ini dia melakukan semuanya dikarenakan kepercayaannya akan nilai membuatnya akhirnya sadar bahwa dia memiliki tanggung jawab dari tindakannya, yang berarti dia memiliki esensi diri, dia memiliki identitas, the nameless monster, yang keluar langsung dari buku cerita. Dia yang sadar akan kegelapan yang lebih gelap ini, mengubah tujuannya dari merealisasikan pandangan hari kiamat dan meninggalkan dirinya dengan keadaan kesepian absolut, sebagaimana yang ada di dalam buku. Menjadi bunuh diri sempurna, the perfect suiciede. Dia mencapai konklusi bahwa untuk mencapai nihilisme sejati, dia memilih untuk menghancurkan identitas itu secara sepenuhnya, menghilangkan seluruh jejak kehidupan yang dia miliki, mulai dari orang-orang yang mengenalnya, sampai nantinya dirinya sendiri. Ini adalah nihilisme dalam bentuk paling murninya. Dia tidak hanya tidak akan memiliki tanggung jawab atau kebebasan, dia tidak akan memiliki eksistensi, yang membuat esensi tidak mungkin ada. Yang mmebuat identitasnya tidak mungkin ada. Dan untuk melakukan ini, dia percaya orang yang telah menyelamatkannya, orang yang telah membiarkan monster di dalam dirinya tumbuh, harus mengakhirinya. Dengan tidak ada orang yang sadar tentang eksistensinya, tanpa akta kelahiran, tanpa catatan diploma, medis, pekerjaan atau apapun itu, tanpa nama eksistensinya akan menghilang. Dan untuk itu, Johan pergi mencari tahu masa lalunya. Proses Johan dalam mencari masa lalunya, paralel dengan Tenma dan juga Anna yang juga ingin mencari tahu mengenai Johan, inspektur Lunge yang terus mengejar Tenma karena mengira dia adalah Johan sebenarnya. Sampai pada akhirnya, setelah mengumpulkan hampir semua puzzle mengenai Johan, mereka semua bertemu di Ruhenheim. Di ending dari series ini, mereka semua bertemu di Ruhenheim, tempat dimana Johan ingin melakukan bunuh diri sempurnanya, setelah dia membunuh semua orang yang memiliki hubungan dengannya, terutama Frans Bonaparta, yang ternyata sudah tinggal lama disini. Frans Bonaparta yang ingin menebus dirinya, tinggal disini dengan sederhana, moralitasnya sudah tidak ingin melihatnya melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan sifat manusia. Dia menuliskan pengalamannya ini di buku bergambarnya, Cerita ini menggambarkan tema mengenai penebusan dan kesempatan kedua dengan lebih sederhana jika dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam series ini. Dimana ketika sang monster menyadari bahwa arti dari kehidupan adalah cinta, hubungan mendalam dengan orang lain, menjadi manusia, bukan penghapusan dari hubungan tersebut ke dalam nihilisme, dan bukan juga dengan penciptaan nilai baru melalui Ubermensch, seperti yang dilakukan Bonaparta. Karena semengerikan apapun eksistensi seseorang, sekosong apapun identitasnya, moralitas manusia tetap menyelamatkan jiwa mereka ke jalan yang benar. Ini bahkan dapat kita lihat di diri Eva Heinemann yang tidak disukai sipapun yang menonton series ini. Eva tidaklah sama dengan ayahnya yang kejam dikarenakan percaya bahwa tujuan dari sesuatu ditentukan dari seberapa besar hal yang dihasilkan oleh hal tersebut. Eva kejam dikarenakan dia mencintai ayahnya, kita dapat melihat sebelumnya ketika ayahnya meninggal dia seperti kehilangan dirinya sendiri. Eva juga sangat mencintai Tenma, dia sangat mencintainya bahkan sampai tidak bisa memiliki hubungan dengan siapapun setelahnya. Rasa cintanya kepada ayahnya lah yang membuatnya memiliki pemandangan yang sama dengan ayahnya. Inilah yang terjadi kepada orang yang memiliki lingkungan yang salah. Dan inilah juga yang membawanya ke dalam alkoholisme dan kebenciannya karena menyalahkan semua orang atas jatuhnya kehidupannya. Dia nantinya mendapatkan penebusan setelah mengkonfrontasi diri sendiri, menyadari bahwa meskipun dia memiliki situasi yang berbeda dengan orang lain, tetap dirinya sendiri yang harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan kejadian tersebut. Dengan ini, dia mulai menemukan diri sendiri dan menyadari nilai-nilai yang lebih dalam dari kehidupan melalui dirinya sendiri. Membuatnya merubah pandangannya tentang kasih sayang dari egoisme ke pemahaman yang lebih dalam. Begitu juga dengan Bonaparta, di Ruhenheim, dia mencoba untuk kembali ke sifat manusia. Manusia tidak seharusnya bermain menjadi Tuhan dan mencoba untuk membuat sesuatu yang lebih hebat dan merasa bahwa itu adalah yang terbaik bagi manusia dengan proses yang sangat kejam. Dia mencoba menebus dirinya sendiri dengan hidup lebih tenang dan membantu orang-orang di Ruhenheim. Tenma dan Woflgang masuk kesini menemukan banyak sekali orang yang saling membunuh satu sama lain, dan ternyata nantinya diketahui bahwa pelakunya adalah Johan, dia memanipulasi satu kota kecil itu untuk membunuh satu sama lain, membuat mereka berada di sifat natural mereka, ini menurutnya adalah kondisi sempurna untuk melakukan bunuh diri sempurnanya. Lunge juga berada disini, namun kali ini, dia tidak lagi ingin menangkap Tenma, dia menyadari bias konfirmasinya yang mendalam dan memberikan permintaan maaf yang tulus kepada Tenma. Dia menyingkirkan kebanggaannya dan bersedia melihat kasus dan kehidupannya pribadi dengan gambaran yang lebih utuh. Lunge pergi melawan Roberto. Disini, sangat berbeda dengan metodologinya sebelumnya, disini dia benar-benar all in di dalam memperjuangkan ide-idenya, dia sampai berdarah-darah. Woflgang ketika melawan beberapa orang yang ada disana, dia berada di bawah bahaya, tapi, kali ini dia tidak berubah menjadi magnificent Steiner, karena kali ini, dia bukan lagi seorang monster dan dia tidak butuh seorang monster untuk melindungi dirinya dari apa yang dia lakukan, karena jiwanya sebagai manusia, moralitasnya, mendukungnya dalam melakukan hal ini. Dia mengalahkan semua orang, dia tahu bahwa selama ini kekuatan itu berada di dalam dirinya, dan disinilah nantinya kita melihat dia menghembuskan nafas terakhirnya, memberikan akhir yang indah bagi kehidupannya, dia mengatakan. Emosi adalah inti dari sifat manusia dan tidak boleh ditinggalkan atau dilupakan. Karena melalui emosilah jiwa manusia berbicara. Moralitas diri memberi tahu diri apa yang benar dan apa yang salah. Percobaan menghapus emosi dan nantinya menghapus diri tidak hanya membuat diri menderita tapi juga orang lain di sekitar kita. Ini merupakan pesan yang sangat penting bagi Tenma, yang pada titik ini telah menjadi lebih dingin dan lebih terputus secara emosional dalam perburuannya, dia sudah terlalu lama melihat ke dalam jurang. Meskipun masih memegang banyak nilai yang sama tentang kehidupan manusia seperti sebelumnya, sekarang dia semakin mendekati pelanggaran kode moral yang sangat dia pegang di awal cerita. Dan disinilah, Tenma bertemu kembali dengan Johan. Tapi sebelum itu, Bonaparta mengkonfrontasi Johan dan mengatakan untuk mati bersama-sama. Bonaparta sudah sangat terbebani oleh dosanya disini sampai dia percaya bahwa untuk bisa menebus semuanya, dia haruslah menghapus ciptaannya dan dirinya sendiri. Namun, sebelum itu terjadi, Roberto membunuh Bonaparta, menyelesaikan cerita dari manusia dibalik semua cerita ini. Dan akhirnya Tenma bertemu dengan Johan dan Johan mengatakan quotesnya yang paling terkenal. Dia mengatakan ini untuk menantang kepercayaan Tenma bahwa semua nyawa itu setara dan harus atau layak untuk diselamatkan, tidak terkecuali. Dan tidak ada nilai yang berbeda dari satu nyawa ke nyawa lainnya. Namun, bagaimana dengan Johan? Johan seperti yang kita tahu memberikan pengaruh yang sangat buruk ke atas dunia. Kalau kita memakai premis awal yang mengatakan bahwa kehidupan manusia setara dikarenakan memiliki kapabilitas untuk melakukan pilihan, dan dari pilihan tersebut muncul kebebasan dan tanggung jawab yang berfungsi nantinya menciptakan esensi dari manusia, nilai dari kehidupan manusia. Fakta bahwa semua orang memiliki kapabilitas ini membuat semua orang harusnya setara. Namun, Johan tidak memiliki esensi, dikarenakan dia tidak memiliki tanggung jawab atas tindakannya. Dikarenakan menurutnya moralitas secara dasarnya tidak ada. Moralitas adalah tanggung jawab menentukan yang baik dan yang salah, di matanya, secara natural tidak ada yang baik dan tidak ada yang salah, semuanya hanya menuju kehancuran, jadi tidak ada tanggung jawab. Fakta bahwa dia tidak memiliki identitas mendukung ini, dimana dia tidak memiliki tempat dimana semua nilai-nilai yang dibutuhkan untuk moralitasnya, untuk melakukan penghakiman atau pertimbangan mana yang baik dan mana yang salah itu tidak ada, jadi tidak ada tanggung jawab di dalam eksistensinya. Tidak adanya tanggung jawab dan identitas membuatnya tidak memiliki eksistensi di awal, dikarenakan adanya esensi haruslah memiliki kebebasan dan tanggung jawab dan juga fakta bahwa esensi yang selama ini kita pikirkan adalah miliknya berasal dari hal eksternal yang secara tidak sadar berada di dalam dirinya. Jadi dengan ini kita bertanya. Apakah nyawa Johan tidak setara dengan nyawa yang lainnya? Disinilah mereka melihat pemandangan hari kiamat, pemandangan bahwa semuanya benar-benar nihil. Tidak ada yang berarti. Hanya kenihilan semata. Ini adalah bidang mental yang terlepas dari kenyataan dan hubungan dengan orang lain. Tenma telah menatap cukup lama ke dalam jurang, apakah dia akan ditatap kembali oleh jurang? Apakah ketika dia terus menerus melawan monster akan menjadikannya menjadi monster? Namun sebelum semua ini terjadi, Anna, sampai ke tempat kejadian dan mengatakan bahwa dia memaafkan Johan. Ini menjadi pukulan yang telak. Johan memiliki esensi, dia memiliki tanggung jawab, dikarenakan dia memiliki identitas. Yang tidak kita pedulikan selama ini, Johan menyayangi Tenma, dan jelas dia menyayangi Anna. Datangnya Anna mengatakan bahwa dia memaafkan Johan berarti bahwa Johan masih memiliki kesempatan untuk menghidupi sisa eksistensi yang dia miliki, fakta bahwa dia masih menyayangi orang lain meskipun dalam pengaruh cerita the Nameless Monster dalam hidupnya. Anna memaafkan Johan karena di dalam monster itu, masih ada manusia. Masih ada identitas dibalik ketiadaan identitas itu. Masih ada moralitas dibalik nihilisme itu. Masih ada harapan dibalik kegelapan. Dan Anna melihat ini di dalam diri Johan. Dari semua perjalanannya dalam mencoba mengingat masa lalunya dengan Johan, dia mendapatkan pencerahan. Johan bukanlah tidak ada, Johan bukanlah tidak memiliki identitas. Johan melakukan beberapa hal dari dirinya sendiri tanpa dia sadari. Dia sangat peduli kepada Nina dan Tenma. Walaupun dia adalah the nameless Monster, dia sendiri membangun hubungan. Jauh di dalam kita tahu, bahwa dia menginginkan hubungan itu kembali, hubungan dirinya dengan ibunya yang dihapus darinya. Karena bagaimanapun, setelah melihat cermin, Peaceful God tidak tahan melihat dirinya sendiri sebagai the Devil. Bagaimanapun, Raskolnikov, tidak akan tahan melihat kekejaman yang dia lakukan. Meskipun tidak ada tanggung jawab secara sosial atau hukum. Tanggung jawab moralitasnya, yang berdasar pada hubungan, tetap menghantui. Disinilah kita mulai bertanya, apa memang benar identitas Johan tidak ada dikarenakan dia tidak memiliki tanggung jawab dari tindakannya? Dikarenakan disini, kita melihat dengan jelas bahwa tanggung jawab dari tindakannya muncul, mungkin bukan dalam bentuk ciptaan manusia seperti sosial dan hukum yang bisa saja dihindari oleh Johan yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Tapi, tanggung jawab dari moralitasnya tetap muncul. Inilah yang membuat Johan mau dan dengan sukarela menyuruh Anna dan Tenma untuk membunuhnya. Meskipun monster dalam dirinya percaya bahwa fakta dia terus menerus selamat dari pembunuhan ini adalah dikarenakan takdir. Tapi, esensi Johan yang sebenarnya tahu, bahwa menghabiskan dirinya, dengan mengetahui penuh rencana monster tidak akan terpenuhi adalah bukti dari tanggung jawab moralitasnya yang berfungsi. Jiwanya tetap ada. Identitasnya, tetaplah ada. Dibalik monster itu, terdapat seorang anak yang hanya ingin cinta dari ibunya. Namun, sama seperti penolakannya terhadap monster dari barat, dia menolak gagasan ini dan mengatakan, Dia bahkan tidak melihat Anna disini. Dia sudah tidak bisa menanggung dosanya lagi. Dosanya sudah terlalu besar dan sudah tidak bisa dibendung, untuk hidup dan menanggung seluruh tanggung jawab dari ketidakbebasan yang dia miliki mungkin akan menjadi eksistensi yang cukup menyeramkan. Dia memilih untuk mencapai nihilisme sempurna. Dengan bunuh diri sempurna. Dan disini, Johan mengambil pistol dan mengarahkannya ke anak yang ada disampingnya, memaksa Tenma untuk bertindak. Untuk pertama kali kita melihat ekspresi lain dari Johan, selama ini semuanya masuk dalam kalkulasinya dan dia selalu tenang, tapi sekarang di terlihat khawatir. Dia mengulang apa yang terjadi kepadanya ketika Frans Bonaparta meminta mereka kepada ibunya, siapa salah satu dari mereka yang akan dipilih? Apakah cinta manusia mendiskriminasi? Disinilah Johan bertanya, apakah monster sepertinya layak untuk hidup? Apakah memang betul nyawa itu setara, bahkan untuk dirinya sendiri sebagai monster? Apakah benar ada yang namanya kesetaraan atau semuanya benar-benar memang mendiskriminasi? Kalau saja Johan mati disini, dia akan menjadi martir, membuktikan dengan jelas dan pasti bahwa kehidupan itu tidak ada artinya dan semua orang mendiskriminasi, tidak ada nyawa yang setara di atas dunia kematiannya akan sama seperti Kristus yang menghapuskan dosa manusia dan menyelamatkan manusia. Kematian Johan jika ditembak oleh Tenma akan menjadi penyelamatan manusia dari keterikatan nilai dan tanggung jawab menentukan nilai mana yang benar dan salah, karena pada dasarnya sebaik apapun nilai yang dimiliki seseorang, orang yang lain pasti akan mendiskriminasi, tidak ada nilai yang benar-benar benar. Namun, pada akhirnya, Johan terbunuh oleh peluru yang menembus tengkoraknya, bukan melalui Tenma tetapi ayah dari anak yang dia todong. Pertama, ini menghancurkan ideologi monster dari Johan yang percaya bahwa manusia secara naluriah saling menghancurkan ketika dihadapkan situasi yang memaksa mereka untuk memilih, dikarenakan disini, untuk pertama kali, dia tertembak, bukan dikarenakan rasa ingin menghancurkan dari alam semesta, tapi rasa ingin melindungi dari seorang manusia, seorang ayah terhadap anaknya, manusia secara mendasar memiliki rasa cinta dan moralitas yang baik. Dan Tenma, melakukan tindakan yang tidak berani dilakukan oleh ibunya dulu, dia menyelamatkan sang monster, sekali lagi dia menyelamatkan monster, karena bagaimanapun, dia bukanlah monster, dia memiliki identitas, dia memiliki tanggung jawab, dia adalah manusia, dia memiliki nyawa, dan setiap nyawa, dan setiap nyawa bagaimanapun, adalah setara. Tenma tidak jatuh ke dalam jurang, dia tidak menjadi monster, dia menebus dirinya sendiri dengan membuktikan kepada dunia bahwa seluruh nyawa, seberdosapun, adalah berharga dan pantas untuk diselamatkan. Dan tugas dokter, prioritas dari dokter adalah menyelamatkan nyawa. Setelah semua kekerasan di Ruhenheim, akhirnya semua karakter, kecuali Johan menemukan kebahagiaan dalam bentuk tertentu dan melanjutkan kehidupan mereka dengan lebih baik dari sebelumnya. Namun, ending untuk Johan tidak diketahui, kita hanya melihat tempat tidur kosong. Dan ini memberikan kesempatan untuk penonton untuk melakukan interpretasinya sendiri. Apakah Johan benar-benar bisa diselamatkan dan berubah atau tidak. Kalau kita menganggap bahwa dia kembali ke Johan sebelumnya, berarti kita memandang bahwa Johan tidak pernah benar-benar terbebas dari kegelapan awalnya, the nameless monster, dan kembali memiliki tujuan untuk menghapuskan dunia, tapi ini terlihat tidak mungkin dikarenakan Johan tidak sebodoh itu untuk kembali mempercayai kepercayaan bahwa tidak ada yang namanya kepercayaan. Dia suda melohat kegelapan yang lebih gelap. Jadi ada dua kemungkinan yang paling mungkin, apakah dia melanjutkan misinya untuk bunuh diri, mencapai nihilisme sempurna, atau mencoba untuk menghadapi kemanusiaan dan kehidupannya dengan melanjutkan hidupnya dan melakukan penebusan. Kalau kita percaya bahwa dia bunuh diri, berarti kita percaya bahwa pada dasarnya manusia tidaklah memiliki kapabilitas untuk mempunyai tanggung jawab untuk menentukan mana yang baik dan mana yang salah, karena manusia, seperti ibunya, hanya akan melakukan diskriminasi, meskipun berdasarkan pada cinta, yang berarti pada dasarnya, manusia tidaklah memiliki esensi, hanya sebuah kilatan kecil, diluasnya alam semesta. Kalau kita percaya bahwa dia melanjutkan kehidupannya dan melakukan penebusan, berarti kita percaya bahwa manusia memang memiliki kapabilitas untuk mempunyai tanggung jawab menentukan mana yang baik dan mana yang salah, dan seperti Tenma, manusia tidak akan melakukan diskriminasi, dikarenakan semua manusia, memiliki kapabilitas yang sama untuk membuat pilihan yang membuat mereka memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menentukan esensi mereka. Bonaparta mengatakan kepada Anna setelah kejadian di Red Rose Mansion. Kecantikan disini adalah kecantikan intrinsik manusia, dimana manusia, secara inheren, akan tetap memiliki moralitas dan identitas seberapa besarpun cara mereka mencoba untuk menghapusnya. Kecantikan disini berfungsi sebagai perlindungan moral manusia yang mencegah manusia jatuh ke dalam kegelapan dan kejahatan. Apakah kita mempercayai ini atau tidak bergantung pada pandangan kita diakhir, apakah Johan benar-benar membunuh dirinya sendiri dan menolak semua itu, seperti akhir tragis dari Peaceful God, atau dia menolak semuanya, dan mencari peaceful home dimana dia melupakan cara mencuri dan hidup sederhana menolong orang-orang. Percakapakan Vera (ibu Johan dan Anna) dengan Tenma sangatlah penting, fakta bahwa ibunya selama ini memberikan nama, meskipun kita tidak tahu nama mereka, memberikan tekanan bahwa selama ini mereka memiliki identitas, selama ini mereka memang jelas-jelas memiliki kapabiltias untuk memiliki tanggung jawab dalam hidup, yang membuat nilai-nilai mereka memiliki tempat. Yang membuat esensi dari kehidupan mereka itu ada. Tapi, tetap saja, tergantung kepada kita, para penonton, apakah kita bisa percaya bahwa manusia memiliki kapabilitas untuk bertanggung jawab dalam memilih yang mana yang baik dan yang mana yang buruk seperti yang dilakukan Tenma, atau justru tidak sama sekali, seperti yang dilakukan oleh ibu mereka.