Transcript for:
Analisis Kemiskinan di Indonesia

Hai semua ketemu lagi sama aku Luna Selamat datang di channel ngomongin doang di video kali ini aku mau bahas satu hal yang erat banget sama dunia ekonomi di Indonesia yaitu tentang kemiskinan kalau ngomongin tentang kemiskinan di Indonesia kira-kira kira apa sih yang terlintas di benak kamu mungkin kamu kepikiran wah di Indonesia masih banyak banget orang yang hidup dalam kemiskinan atau kamu kepikiran kalau kemiskinan Indonesia tuh makin lama makin memprihatinkan atau justru kamu kepikiran sebagainya Sebaliknya, kalau kemiskinan Indonesia tuh makin lama makin berkurang dan membaik dari tahun ke tahun. Nah, kira-kira faktor apa sih yang nyebabin kemiskinan itu selalu ada? Kenapa kalau negara-negara maju tingkat kemiskinannya bisa rendah banget?

Dan faktor apa aja sih yang ngehambat pengentasan kemiskinan? Di video ini, aku bakal bahas topik ini dari berbagai sumber dan perspektif. Dari perspektif ekonomi, juga perspektif sosiologi dan pendidikan. Aku juga mau ngupas beberapa temuan menarik yang timku mendapetin dari berbagai riset dan juga penelitian tentang kemiskinan. tentang kemiskinan Indonesia Oke, pertama aku mau mulai bahas dari data resmi dulu ya Kalau kita lihat data dari Badan Pusat Statistik persentase penduduk miskin Indonesia itu terus mengalami penurunan sejak era reformasi 98 Dulu pas tahun 1999, penduduk yang masuk kategori miskin itu sampai 23,4% dari populasi Indonesia Banyak banget ya, hampir seperempat penduduk Indonesia waktu itu dibolongin miskin Artinya sekitar 1 dari 4 orang Indonesia adalah orang miskin Intro Tapi, persentase itu terus turun.

Bahkan di tahun 2018 sudah nyentuh angka 1 digit buat pertama kalinya dalam sejarah. Wah, kalau gitu kemiskinan makin nurun dong. Ya, kalau misalnya kita ngacu ke definisi kemiskinan dari BPS, bisa dibilang emang kemiskinan itu makin turun setiap tahun.

Eh, tapi sebenarnya apa sih definisi kemiskinan itu? Menurut BPS, definisi orang yang dianggap miskin adalah orang yang pengeluaran maksimalnya itu cuma Rp472.525 per bulan. Atau sekitar Rp15.750 per hari.

Artinya apa? Orang-orang yang bisa punya pengeluaran di atas Rp16.000 per hari itu udah dianggap bukan orang miskin. Katakanlah yang pengeluaran per harinya Rp20.000 atau Rp25.000.

Itu tuh udah dikategoriin bukan orang miskin. padahal iya, sebetulnya dengan nalar sederhana aja, kita tuh tentu bisa berempati dimana orang yang pengeluarannya cuma 20 ribu rupiah per hari tentu kondisi ekonominya tuh masih jauh banget dari kata layak kamu yang tinggal di perkotaan, kebayang gak sih kalo misalnya sehari cuma ngabisin uang 15-20 ribu cuma buat makan tempat tinggalnya gimana? terus bajunya gimana? kalo misalnya sakit, beli obatnya gimana?

nah jadi menurutku kita tuh gak bisa ya cuma liat definisi kemiskinan berdasarkan data dari web Kalau misalnya kita pakai standar definisi internasional tentang kemiskinan, basisnya itu adalah pengeluaran per hari mencapai 2 dolar atau sekitar 28 ribu rupiah per hari. Ternyata kalau kita pakai definisi itu, jumlah orang miskin Indonesia itu meningkat drastis banget. Berapa persen coba menurut kamu?

15 persen? 20 persen? Ternyata kalau pakai definisi pengeluaran 2 dolar, rakyat miskin di Indonesia itu mencapai 40%, hampir setengah penduduk Indonesia. Selain itu, walaupun angka kemiskinan dari tahun ke tahun patut diapresiasi, tapi sayangnya tingkat penurunannya juga makin berkurang dari tahun ke tahun. Kalau dari tahun 1999 sampai 2004, persentase kemiskinan itu turun sekitar 6,77% dalam 5 tahun.

Tapi di tahun 2014 sampai 2019, Penurunannya itu cuma 1,74% aja. Artinya ada hambatan dari pengentasan kemiskinan di Indonesia. Wah, apa aja sih hambatannya?

Nanti kita bakal bahas ya, tapi sebelum itu, aku mau ceritain dulu tentang hasil riset yang cukup mengejutkan dari Smeru Institute. Smeru Institute ini adalah lembaga riset yang ngelakuin penelitian serius tentang kemiskinan di Indonesia dari tahun 1993 sampai 2014, di mana salah satu hasil penelitian mereka nyatain Kalau 40% anak yang lahir dari keluarga miskin bakalan tetap miskin pas dewasa, di mana pendapatan anak-anak miskin itu pas dewasa bakalan 87% lebih kecil. daripada mereka yang nggak lahir dari keluarga miskin.

Wah, sedih banget ya. Ternyata mereka yang lahir dari keluarga miskin itu susah banget buat keluar dari jurang kemiskinan. Yep, hasil riset ini pernah diulas cukup detail beberapa tahun lalu dan nunjukin adanya kemiskinan struktural dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kemiskinan struktural itu maksudnya gimana sih? Jadi itu tuh adalah sebuah fenomena kemiskinan yang kondisinya terisolasi sama struktur sosial dan juga lingkungan.

dimana faktor sosial dan lingkungan itulah yang justru menghambat masyarakat miskin buat keluar dari jurang kemiskinan wah emangnya apa aja sih faktor-faktor itu? sebetulnya ada banyak banget ya tapi di video yang singkat ini aku mau coba bahas beberapa Akar masalah yang sering banget disebut di berbagai sumber penelitian sebagai masalah yang sangat fundamental dalam masyarakat kita. Kita bahas satu-satu yuk!

Kita mulai dari faktor yang pertama yang mungkin paling maka dari semuanya, yaitu pola pikir keliru yang tanpa sadar tertanam dalam masyarakat. Maksudnya gimana sih? Jadi gini, masyarakat miskin, khususnya di Indonesia, ternyata terjebak dalam pola pikir dan pola kehidupan yang tanpa disadari. bikin mereka tuh susah keluar dari kemiskinan salah satu bentuk pola pikir yang umum banget adalah sikap pasrah dan terima nasib karena kemiskinan yang mereka alami itu emang udah takdir mereka sebagai orang kecil yang gak akan bisa mereka ubah oke, mungkin banyak diantara kamu yang gak percaya kalau kebanyakan orang miskin itu udah punya sikap yang pasrah dan juga terima nasib tapi realitanya dari berbagai riset pola pikir itulah yang terus tercatat dalam banyak studi Dari semua studi yang ditemuin sama tim ngomu tentang kemiskinan dan budaya, hampir semua mengkonfirmasi kalau masyarakat di daerah yang mereka teliti punya kultur buat nerimo dan pasrah, jadi cukup jarang yang beneran termotivasi buat ngubah nasib mereka jadi lebih baik. Salah satu hasil yang menarik adalah penelitian dari LIPI tahun 2015-2017.

Mereka tuh ngelakuin penelitian terhadap karakteristik warga miskin di empat kota dan kabupaten di Pulau Jawa. Salah satunya terkait persepsi warga miskin terhadap fenomena kemiskinan Kalau misalnya dicocokin sama data dari BPS Ternyata wilayah yang masyarakatnya nganggep kemiskinan sebagai takdir dan milih buat pasrah Itu tuh punya persentase kemiskinan yang lebih tinggi Menariknya lagi ada beberapa penelitian juga yang mengkonfirmasi Adanya pola pikir masyarakat yang mandang kalau uang tuh adalah sesuatu yang negatif Begitu ada tetangga yang sukses dan punya uang Eh, malah dijauhin dan disindir-sindir Mereka tuh ngerasa lebih nyaman gitu buat punya temen yang senasib dan sepenanggungan Jadinya ngerasa aman, asalkan masih tetep bisa barengan temen-temen di lingkungannya Oke, tapi sebetulnya apa sih yang mendasari pola pikir ini? Akar masalah ini tentu dibentuk dari proses tumbuh kembang seseorang sejak kecil Dimana anak-anak yang miskin tanpa sadar Mereka tuh ngerasa kalau kondisi kehidupan yang terjadi di sekitar mereka adalah sebuah bentuk kewajaran Hal yang lumrah dan udah jadi jalan hidup mereka Sekarang kita lanjut bahas faktor kedua yuk. Faktor kedua ini sebetulnya masih berkaitan nih sama faktor yang pertama, yaitu sulitnya akses ke pendidikan yang berkualitas.

Kamu yang nonton video ini mungkin cukup beruntung, karena bisa nikmatin pendidikan yang baik, dapet guru-guru sekolah yang cerdas dalam pendidikasi, terus dapetin sumber materi belajar yang terstandarisasi, dan juga punya teman-teman lingkungan yang pergaulannya cukup sehat. Tapi gimana nasib mereka yang miskin, dan cuma mampu bersekolah di tempat yang akreditasnya rendah? Kemungkinan besar kualitas pengajaran yang mereka dapetin juga levelnya beda banget gitu.

Sama guru-guru di perkotaan, lingkungan pergaulannya juga cenderung lebih nggak sehat daripada sekolah dengan akredasi tinggi. Mungkin diantara kamu ada yang suka ngebayangin, kalau sekolah-sekolah di pedesan itu justru guru-gurunya sangat berdedikasi. Anak-anaknya juga rajin belajar, sampai rela jalan kaki berkilo-kilometer buat sekolah.

Emang benar nggak bisa dipungkirin? Kalau ada guru-guru dan murid yang luar biasa berdedikasi di daerah-daerah pelosok Tapi sayangnya itu tuh bukan kondisi umum yang terjadi secara luas Kondisi yang umum terjadi adalah keterbatasan akses pembelajaran yang berkualitas Dan juga susahnya dapetin situasi belajar yang kondusif Buat bisa belajar mandiri di rumah Kamu bayangin aja nih, kita yang beruntung gak terlahir dari keluarga miskin Pastinya lebih berpeluang buat bisa punya situasi belajar yang kondusif Entah itu di sekolah ataupun di rumah dengan internet yang kencang dan juga akses materi pelajaran dan asistensi yang lebih baik tapi mereka yang terlahir miskin seringkali gak bisa buat punya kondisi itu situasi di rumah yang gak kondusif belum lagi adanya tuntutan lain buat bantu orang tua cari uang dan berbagai hambatan teknis dan non teknis yang jauh lebih berat daripada aku atau kamu yang lingkungannya tuh lebih mendukung buat belajar dan meraih pendidikan tinggi dalam kondisi ini Berapa banyak sih yang akhirnya bisa benar-benar teredukasi dan bisa ngangkat ekonomi keluarga? Mungkin ada, tapi tentu prosesnya jauh lebih sulit buat mereka yang terlahir miskin di Indonesia. Ironisnya kondisi ini juga lah yang mencu tingginya angka putus sekolah di kalangan pelajar. Khususnya pelajar dari latar belakang keluarga miskin yang dipaksa sama keadaan buat berhenti ngenyapkan didikan, buat bisa bantu keluarga nyari uang, tanpa sadar putus sekolah itu justru mumpus harapan buat ngubah nasib.

Sampai akhirnya mereka tuh terpaksa balik masuk lagi ke perputaran roda kemiskinan. Kita lanjut bahas faktor fundamental yang ketiga, yaitu keterbatasan akses sumber daya. Kamu pernah denger gak sih ada ungkapan, kalau jadi orang miskin itu tuh biayanya lebih mahal daripada orang kaya.

Wah, kedengerannya... Gak aneh ya? Kenapa orang miskin kok biayanya malah lebih mahal sih?

Jadi gini maksudnya, mereka yang kondisi ekonominya lebih baik, cenderung lebih gampang dapetin akses pemodalan dari bank atau institusi keuangan lain. Dengan BUMBA yang lebih kecil, mereka juga cenderung lebih gampang dapet pemodalan dari venture capital, crowdfunding, atau bentuk pemodalan lain yang lebih ramah dalam konsekuensi finansial Beda gitu sama orang miskin yang kebanyakan belum dijangkau sama akses perbankan khususnya di daerah-daerah pelosok Kalaupun ada lembaga keuangan kecil yang bisa ngejangkau orang-orang prasejahtera di berbagai daerah bunga pinjaman yang diterapai justru jauh lebih sadis dan mencekik daripada bunga pinjaman bank di perkotaan Di sisi lain, orang-orang miskin itu juga lebih rawan jadi korban retenir, pinjaman hutang ilegal dan juga para tengkolak yang masang bunga yang tinggi banget yang akhirnya bikin kondisi ekonomi mereka justru makin terburuk karena harus bayar bunga pinjeman yang tinggi itu contoh lainnya, mereka yang kondisi ekonomi yang lebih baik sanggup buat beli aset kayak rumah, kendaraan atau gadget dengan cicilan pendek jadi bunganya bisa lebih rendah sementara mereka yang tersejahtera kadang tuh buat beli handphone aja cicilannya sampai bertahun-tahun Dengan bunga pinjeman yang nilainya hampir sama kayak harga handphone itu sendiri, ketimpangan ini juga terjadi di akses fasilitas publik. Gubernur Jakarta Nisbah Suwadan pernah bilang kalau saluran PDIM air bersih cuma didikmatin 57% warga Jakarta. Sementara masyarakat ekonomi kelas bawah justru banyak gitu ya yang terpaksa harus beli air bersih dengan harga lebih mahal.

Ironis banget ya kondisinya. Tapi iya inilah yang dinamain kemiskinan struktural. Nah, sekarang kamu jadi makin paham ya? Arti dari ungkapan kalau jadi miskin itu biayanya lebih mahal daripada mereka yang nggak miskin.

Itulah kemiskinan struktural yang terjadi di Indonesia. Dimana mereka yang miskin kayak terjebak atau terisolasi dalam lingkaran setan yang susah banget buat ditembus. Dan semakin memperparah ketimpangan sosial dalam masyarakat.

Kemiskinan struktural ini juga tercermin dari indikator ketimpangan ekonomi yang biasa disebut dengan rasio gini atau gini ratio. yang mana nilainya itu cenderung meningkat sejak tahun 2000 sampai sekarang Selain itu, lembaga keuangan kredit Swiss nempatin Indonesia dengan ketimbangan sosial tertinggi nomor 4 di dunia Di sini, kamu bisa lihat nih perbandingan ketimbangan sosial negara kita sama beberapa negara lain Makin tinggi nilainya, makin lebar kesejangan sosialnya Oke, itu tadi pembahasan aku tentang kemiskinan struktural Semoga sharing dari aku bisa bermanfaat dan nambah bahasan kamu ya Nah, mungkin diantara kamu ada yang kepikiran gitu Apa kemiskinan struktural ini nggak bisa ada solusinya? Apa kondisi ini selamanya bakalan jadi lingkaran setan yang nggak akan pernah bisa diselesaikan?

Sebetulnya, masalah ini nggak mustahil kok buat diselesaikan Faktanya, ada banyak negara yang berhasil mutus rantai kemiskinan dan bertumbuh jadi negara maju yang penduduknya sejahtera Seenggaknya ada dua video ngomong sebelumnya yang ngupas tentang gimana sih negara China dan Korea Selatan bisa bangkit jadi negara maju padahal sebelumnya itu digolongin sebagai negara yang ekonomi memprihatinkan di tahun 1960-an buat lebih jelasnya, kamu bisa langsung tonton 2 video ini tapi satu faktor kunci yang emang dibutuhin banget buat mencari rantai ini adalah peran aktif pemerintah yang bersih dan juga perencanaan yang terstruktur dan bertahap kayak akses pendidikan berkualitas yang merata pelatihan dan pemberdayaan masyarakat daerah Juga berbagai kebijakan yang meringankan beban ekonomi mereka yang masih dalam kondisi miskin Supaya bisa ngeraih kesempatan lebih baik dalam mengubah nasib mereka Oke deh, kalau diantara kamu ada yang pengen cerita pengalaman pribadi kamu Langsung tulis aja ya di kolom komentar Sampai ketemu lagi di video selanjutnya Tetap di channel Ngomongin Uang Karena ngomongin uang, gak ada abisnya