Ada banyak paradoks dalam hidup tuh, salah satunya ini You find yourself through the others Sehingga tanpa membaca, betapapun jeniusnya anda, anda jeblok gitu kan ya Mudah-mudahan teman-teman sudah siap untuk mendengarkan atau menyimak mengapa kita harus membaca. Apa yang saya alami sebagai pengajar, apa yang saya alami sebagai penulis, dan sebagainya gitu ya. Saya suka ditanya apa pentingnya sih membaca gitu.
Ya saya mau sharing aja kenapa itu penting. Jadi... Ya, berikutnya.
Ya, saya akan mulai dari penelitian dari PISA bahwa anak-anak muda Indonesia itu buta huruf. Bukannya tidak bisa baca tapi functionally illiterate. Artinya bisa baca cuma kemampuannya menangkap isi bacaan dan mengolah isi bacaan itu digabung dengan bacaan-bacaan lain menjadi visi pribadi itu rendah sekali. Kemampuan dengan kata lain, kemampuan analitik dan sintetiknya itu rendah sekali.
Bukan buta huruf dalam arti literal, tapi daya tangkapnya. Katanya kalau mau lebih persis lagi, mahasiswa tahun pertama itu levelnya hanya setara dengan anak kelas 3 SMP di negara-negara maju. Silahkan direnungkan apakah begitu gitu kan. Tapi saya harus akui selama pengalaman saya sudah mengajar kurang lebih 35 tahunan dan saya harus mengatakan itu betul gitu kan ya.
Bahkan sampai level doktorat pun sering kali saya harus menjadi editor gitu. untuk memperbaiki bahasa dan menata nalar para calon doktor itu. Jadi, ya saya harus akui memang begitu rupanya. Ya, akibatnya itu fatal.
Kemampuan membaca yang rendah itu fatal akibatnya, yaitu gini. Umumnya pemikiran kita bagaimanapun picik dan dangkal ya. Dulu orang suka bilang sumbu pendek, segera itu benar.
Dan masalahnya itu, apalagi sekarang di sosmed. Kita bereaksi umumnya secara impulsif gitu kan ya, emosional, gak mikir, tidak ada reflektivitas gitu kan. Dan semakin ketahuan lagi betapa piciknya kita gitu, dan betapa dangkalnya umumnya masyarakat kita. Latah gitu ya, latah dalam berpikir. Maka mudah terhasut, oversensitive, dan ini, tidak punya pendapat pribadi sebenarnya gitu ya.
Kita itu latah sekali, dan kalau ditanya dalam banyak kasus kalau diwawancara secara pribadi itu klise gitu kan jawabannya itu. Nggak memperlihatkan pengolahan personal gitu kan ya, dan mempunyai pikiran sendiri itu jarang. Pendapat kita umumnya klise atau nggak ada isinya sama sekali.
Istilahnya kalau menurut filsuf Nietzsche, umumnya kita itu bermental kawanan gitu kan ya. Tadi Galuh sudah bilang, masif gitu kan ya. Mentalitas kita masif, bermental kawanan.
Lantas juga sikap kita serba hitam putih. Kita itu berpikir dogmatis sekali gitu kan, dogmatis sekali. benar-salah, boleh-tidak boleh, dan hanya sebatas itu setiap kali.
Gimana kiat-kiatnya, seperti itu. Sebatas seperti itu. Cara berpikir kita tidak punya kelenturan refleksif.
Penalaran yang lebih refleksif itu jarang sekali. Maka akibatnya juga, secara keseluruhan, kepribadian kita itu sebenarnya mentah. Mentah. Kepribadian kita itu. Mentah itu artinya yang...
semua yang di atas itu, gitu kan ya. Jadi, tangkal, tidak punya prinsip, semua hanya diapalin, tapi tidak dicerna, gitu kan, menjadi pendapat pribadi. Itu dampak jauhnya dari kurangnya kita membaca.
Masalahnya itu begini, Tidak bisa disalahkan juga kita ya. Negara-negara maju itu kalau kita bicara negara barat, mereka budaya baca tulisnya itu dibentuk dalam periode yang cukup lama. Cukup lama. Sedang munculnya budaya cetak, kira-kira abad 17-an gitu kan ya.
Sejak itu terjadi demokratisasi pengetahuan dan orang mulai membaca sendiri. Nah itu tuh kalau diambil dari abad 17 aja sampai abad 20 sudah 300an tahun, sekarang abad 21, 400an tahun kurang lebih. Sebelum mereka masuk ke kultur digital dengan cara membaca pendek-pendek singkat-singkat, mereka terbiasa dan dibentuk membaca panjang dengan buku-buku tebal.
Kita tidak, itu yang saya maksud dengan mereka melalui budaya baca tulis yang luar biasa. Hati-hati, saya tidak memaksudkan bahwa di Indonesia tidak pernah ada karya tulis. Banyak orang salah sangka kalau saya bicara begini. Tentu saja sudah selalu ada karya tulis di Indonesia, dari sejak prasasti apapun ada.
Tapi yang saya maksud adalah, yang saya maksud adalah, Budaya baca tulis sebagai paradigma, sebagai paradigma umum, sebagai pola perilaku utama. Itu tidak terbentuk, kita melompat dari budaya lisan, belum sempat. kita masuk ke budaya baca tulis, sudah langsung dijajali media sosial digital dan sebagainya gitu.
Yang sebetulnya hanyalah kepanjangan budaya ilisan lagi. Kita itu kan hanya kepanjangan warung dimana kita ngobrol. Artinya tempatnya, tampangnya beda. Warungnya jadi digital.
Tapi sebetulnya itu tempat nongkrong yang lain. tempat ngobrol yang lain gitu. Kita tidak sempat jadinya. Baru bangun. Pendidikan kita baru merata berapa tahun kan?
Berapa tahun ya? Kita mereka tahun 45 memang sih. Tapi sampai order baru saya kira pendidikan masih relatif elitis.
Makanya ada SDIN, Pres segala macam mencoba diratakan pendidikan. Tapi saya kira baru betul-betul rada merata itu pasca reformasi ya, 98-an gitu. Pendidikan, ini soal merata atau tidak merata itu masalahnya gitu kan ya. Tahun-tahun 98-an.
Artinya baru berapa tahun gitu kalau dihitung dari situ. Berapa tahun sampai sekarang? 20-an tahun gitu kan ya?
Dan kita baru belajar, mengejak, membaca. Sudah digempur oleh peradaban digital. Jadi sebetulnya ada fase yang terlewati gitu. Ada fase yang terlewati, kita tidak cukup matang di situ. Jadi yang intinya, yang penting dari budaya membaca sebetulnya adalah itu proses pematangan individu.
Gitu loh, maka kalau orang bilang, gue suka sih baca, kesannya cuma hobi ya. Ini bukan urusan hobi gitu loh. Ini soal paradigma kultural, soal pola perilaku umum yang penting sebenarnya. Yang menjadikan suatu negara itu maju itu, yang menjadikan individu-individu menjadi berdaya itu, kultur membaca itu. Jadi ini soal pemberdayaan individu sebenarnya.
Itu sebabnya ketika kita skip fase itu, ya masyarakat kita omyoan terus gitu kan, masif terus gitu kan ya, kawanan terus kita pola perilakunya. Oke, mengapa? Sekarang kita masuk ke poinnya, mengapa membaca itu perlu pada tingkat yang lebih rinci? Tentu saja membaca itu perlu karena disitu banyak informasi dan kita semua sudah tahu itu.
Nanti saya akan merinci itu. Tapi, Faktor yang lebih penting dari membaca sebetulnya bukan aspek informatifnya, melainkan aspek formatifnya. Itu membaca itu membentuk nalar kita. It shapes your mind gitu kan ya.
It shapes your way of thinking, your way of looking at things gitu. Daya bentuknya itu yang menjadi penting sebetulnya gitu kan ya. Nanti saya akan masuk lebih rinci ke situ.
Tapi kita lihat dulu sisi informatifnya. Sisi informatifnya yang lebih umum. Membaca buku menjadi penting karena dia adalah pertama-tama gudang ide. Gudang ide ya.
Yang jangan salah berkembang terus tanpa batas. Gudang ide. Apapun sebenarnya, terutama buku-buku pengetahuan. Itu gudang ide. Dan apa ya, kita selalu bisa menimba sesuatu di situ.
Maka itu ada kaitannya dengan nomor 5, itu sumber pengetahuan yang tidak pernah habis. Sumber pengetahuan yang tidak pernah habis sebetulnya. Dan siapapun yang merasa diri jenius hanya dengan berpikir dia akan melahirkan pengetahuan, pasti itu bodoh.
Karena betapapun briliannya Anda, Anda hanya akan menemukan ide Anda melalui ide orang lain. Ada banyak paradoks dalam hidup tuh, salah satunya ini. You find yourself through the others, sebenarnya gitu. Sehingga tanpa membaca, betapapun jeniusnya Anda, Anda jeblok gitu kan ya.
Gitu, Anda tidak akan menemukan pikiran Anda sendiri. Itu paradoks dalam hidup, memang seperti itu. Anda hanya akan menemukan kebrilianan Anda justru melalui kecerdasan-kecerdasan orang lain.
Persis seperti Anda menemukan diri Anda, semakin Anda bergaul. Semakin Anda tidak bergaul, semakin Anda tidak menemukan siapa diri Anda. Kalau Anda mengurung diri di kamar terus, you will not find yourself. Tapi semakin luas pergaulan Anda. semakin peluang itu lebih besar untuk menemukan diri.
Nah itu juga sama, pikiran Anda juga sama. Anda tidak akan menemukan pikiran Anda sendiri, bahkan kecerdasan Anda sendiri betapapun jeniusnya Anda secara potensial. Tetap Anda tidak akan menemukan kejeniusan Anda itu sejauh Anda tidak membaca.
Itu nanti akan terulang lagi di aspek formatif. Tapi inilah gudang ide. Yang kedua, buku adalah peta peradaban manusia yang luas dan dinamis. Untuk memahami kehidupan ini, untuk menjadi cerdas, Anda tidak cukup hanya memahami manusia dalam arti tetangga-tetangga Anda, teman-teman Anda, dan sebagainya gitu ya.
Peradaban kita itu makin-makin maju, semakin wawasan kita mengenai peradaban bangsa manusia. Itu luas juga dan buku adalah itu, peta peradaban manusia yang luas dan dinamis. Bagaimana itu berubah terus, kekonyolan mereka, kecerdasan mereka, impian mereka.
Kita bukan satu-satunya manusia gitu kan ya. Nah, semakin Anda membaca, semakin Anda melihat manusia itu sebenarnya mahluk seperti apa, dan itu penting, itu penting sekali, sehingga Anda tidak cupat. Buku juga adalah rekaman kecerdasan dan kedalaman pemikiran. Orang suka merasa, saya mengajar filsafat, dan salah satu definisi filsafat adalah pemikiran yang mendalam, pemikiran bebas yang mendalam mengenai segala sesuatu yang penting dalam hidup. Anak-anak suka bertanya, mendalam itu seberapa sih Pak?
Saya tidak bisa menjawabnya. Seberapa mendalam itu kalian akan tahu sendiri sejauh Anda membaca. Jadi, tadinya Anda kira pikiran Anda brilian sekali dan mendalam sekali, atau membaca pikiran Platok itu cuma catatan kaki kecil atas pikiran Platokk gitu kan ya. Ya kayak gitu-gitu ya. Karena merasa ini original sekali atau itu cuma taikukunya Nietzsche misalnya gitu kan ya.
Jadi apa sih gitu. Jadi sensibility mengenai mendalam itu apa itu hanya terbentuk melalui sejauh mana you read gitu kan ya. Anda tidak akan tahu mendalam itu apa gitu. Itu hanya Anda ketahui.
melalui membaca, orang ini kok kepikir ya, bahasa kita kan gitu, kok kepikir ya, kok kepikir sampai situ, itulah mendalam. Dan semakin kita membaca, semakin tahu kita, semakin masuk kita ke lapisan-lapisan yang lebih jauh lagi, seperti itu. Nah, kemudian juga nomor empat. Buku adalah kompleksitas pengalaman manusia.
Orang-orang Indonesia itu berpikirnya stereotip sekali. Yang tadi saya bilang hitam putih gitu ya. Tapi hidup manusia itu rumit.
Rumit. Hidup manusia itu rumit. Manusia itu penuh kontradiksi.
Orang Indonesia sangat gemar beragama, tapi agama itu pelik gitu ya. Agama itu tidak sesederhana sembayang gitu loh. Kita pikir sembayang, that's it, selesai perkara.
No, no, no, no. Agama adalah soal spiritualitas, dan spiritualitas adalah inti batin manusia yang paling pelik gitu loh. Itu yang paling dalam, paling rahasia, paling tumpang tindih, paling bertabrakan gitu kan ya. Sebenarnya, itu bukan hanya urusan boleh tidak boleh atau urusan sembahyang gitu.
Semakin kita membaca, kita makin tahu spiritualitas misalnya adalah soal pertumbuhan. Pertumbuhan makin melihat lebih luas lagi misteri ilahi atau apapun lah kayak gitu ya. Jadi itu soal pertumbuhan. Semakin tinggi Anda naik tangga, and then you see more and more gitu kan ya. Sebenarnya apa itu spiritualitas itu, makhluk apa itu ya, kayak gitu-gitu.
Dan Anda tahu, lama-kelamaan jatuh bangunnya manusia gitu, dalam mencoba mempercayai sesuatu yang mereka sebut Tuhan, Allah, yang widi atau apapun juga. Dan semakin arif sebetulnya Anda dengan cara melihat itu. Baik, ya nomor 5 sumber pengetahuan saya kira itu jelas.
Nah sekarang kita masuk ke sisi formatif. Dan saya kira ini lebih penting. Buku, membaca buku itu membentuk, Anda pernah dengar neuroplasticity kan? Pernah dengar ya?
Neuroplasticitas. Bahwa otak kita itu sebetulnya terus-menerus membentuk diri sendiri. Jadi kalau dalam testing IQ anda disebut jeblok gitu ya, atau EQ anda atau SQ anda cuma angkanya berapa gitu ya, jangan khawatir, lupakan itu gitu kan. Faktanya adalah otak kita itu terus-menerus membentuk diri dengan apa? Antara lain dengan membaca.
Sebenarnya dengan apapun yang Anda lakukan, dengan hal baru apapun yang Anda hadapi, membaca itu peluang untuk menghadapi hal barunya sangat-sangat besar. Dan dengan cara itu sebetulnya your brain keeps resetting itself. Jadi terus-menerus dia membentuk dirinya sendiri secara canggih.
Dengan kata lain lagi, kecerdasan Anda sebetulnya... Makin dipercanggih. Kalau ada yang paradoks lagi dalam hal ini. Kalau pisau, pisau itu semakin banyak dipakai semakin tumpul, setuju? Kalau otak itu semakin banyak dipakai semakin tajam.
Semakin gak dipakai semakin tumpul. Jadi si brain plasticity itu, daya bentuknya si otak itu akan terus-terus teraktifasi semakin Anda membaca. Jadi membaca itu intinya menjadikan kita manusia yang lebih berkualitas, lebih baik sebagai individu, lebih berdaya. Karena mempertajam kemampuan analitis dan kritis.
Kita kalau membaca itu... Dipaksa sebetulnya melihat apa yang penting, apa yang tidak penting. Itu kemampuan analitis. Terutama kalau membaca buku pelajarannya. Kalau membaca buku pelajaran, kita dipaksa untuk melihat sebetulnya poinnya gimana.
Ini kesimpulannya apa. Apa yang mau dikatakan di situ. Tapi juga, nomor dua, meningkatkan fungsi-fungsi otak.
meningkatkan kecerdasan karena begini, rupanya kecerdasan itu adalah makin banyaknya sinapsis, tahu ya sinapsis Bapak Ibu sekalian, bagaimana neuron-neuron, ujung-ujung neuron kita itu yang kayak akar itu, itu saling tersambung, saling tersambung, dan cerdas berarti semakin kompleks si sambungannya itu, gitu kan ya. Tadinya banyak neuron yang tidak tersambung, dendrit-dendritnya itu. Itu, membentuk sinapsis.
Semakin Anda membaca sesuatu yang baru, dipaksa itu bersambungan. Yang tadinya tidak bersambungan, dipaksa bersambungan. Dan itulah kecerdasan sebenarnya.
Makanya, gak usah khawatir dengan hasil tes IQ atau apapun, karena Anda membentuk diri terus-menerus. Kalau membaca itu Anda memperkompleks sinapsis-sinapsis itu ya, jejaring neuron yang terhubung itu. Dan dengan cara itu, sebetulnya kecerdasan semakin meningkat.
Ketiga, dia memperdalam cara pandang dan pemahaman dan memperluas imajinasi. Terutama ini kalau kita membaca novel. Orang bisa ribut, ngapain sih baca novel gitu kan ya?
Bukan baca pelajaran gitu. Apa ya? Novel itu rekaman jatuh bangunnya manusia. Rekaman kerumitan emosi dan imajinasi sebetulnya. Itu novel.
Gini, kalau buku-buku pelajaran itu... Harus bersifat universal, oke setuju? Pengetahuan itu universal. Tapi pentingnya novel justru karena dia tulisan individual, tulisan personal.
Dan itu menjadi penting. Karena hidup itu tidak sesederhana pengetahuan, ilmu pengetahuan. Tidak sesederhana sains, gitu loh.
Hidup itu rumit, setiap orang mempersepsinya melalui pengalamannya pribadi. Maka, semakin kita membaca novel, Sebenarnya kita semakin masuk ke dalam aneka bentuk kehidupan yang sebetulnya pelik. Apa yang membuat seseorang itu menderita, apa yang membuat seseorang itu termotivasi bekerja, berjuang dan sebagainya gitu kan ya.
Apa yang membuat seseorang itu terluka, bermimpi dan segala macam itu. Hidup macam apa yang dianggapnya bahagia, itu penting gitu ya. Dengan cara itu empati kita terhadap kemanusiaan itu. ditumbuhkan dan diperdalam.
Itu pentingnya membaca novel. Itu bukan hanya kelangenan, hiburan. Sama sekali tidak. Di dunia barat itu maka menjadi penting sejak SD mereka mesti anak-anak kecil itu harus dalam setahun sekurang-kurangnya satu buku tebal, satu novel.
Novel yang kemudian menjadi klasik. Kita tahu literatur klasik. Dari Victor Hugo, dari Alexander Dumas dan segala macam.
Itu, kayak gitu-gitu. Tentu dalam bentuk yang abridged, yang sudah disederhanakan. Tapi pentingnya adalah mereka dibiasakan membaca novel. Maka di negara-negara maju itu, novelis-novelis besar itu katakanlah satu kolam dengan para filsuf gitu ya.
Dihormatinya juga kayak gitu gitu kan ya. Penulis-penulis besar itu umumnya sangat dihormati seperti... para filsuf, para pemikir, para intelektual.
Karena novelis-novelis, ya asal bukan novel ece-ece gitu kan ya, bukan novel recehan gitu. Novelis-novelis besar yang mendalam, itu sangat-sangat dihargai sebagai seperti seorang filsuf. Karena mereka pernung-pernung sebetulnya gitu ya.
Dan kita bisa merasakannya dari cara mereka berbahasa, cara mereka merumuskan banyak hal yang biasanya tak terumuskan. Kekuatan para novelis adalah itu. Mereka, novelis atau penyair, mereka mampu merumuskan hal-hal mendalam yang biasanya tak terumuskan. Nah, maka itu menjadi penting. Menjadi penting membaca novel itu.
Di situ bukan sekedar hiburan, meskipun memang menyenangkan sambil santai membaca novel, tapi sebetulnya dampaknya sangat serius. Ya. Kemudian nomor empat, memperbaiki keterampilan berbahasa dan berkomunikasi. Ini juga begitu, Bapak, Ibu, teman-teman sekalian. Kalau Anda tidak membaca, kemampuan komunikasi Anda dan kemampuan menulis Anda juga jeblok.
Dan itu sumber penyakit di Indonesia hari ini. Saya menyaksikannya, membuat skripsi, membuat tesis, membuat disertasi, umumnya parah sekali bahasanya. Dan alur bernalarnya itu... Parah sekali, karena tidak membaca. Karena membaca membiasa, mengakrabkan kita dengan frasa-frasa gitu kan ya.
Dengan alur nalar gitu. Semakin tebal Anda membaca, semakin dalam alur nalar Anda diseret gitu. Dan otomatis nantinya ketika Anda menulis, otomatis, believe me, otomatis. Ketika Anda menulis nanti Anda akan makin fasih. Semakin rendah tingkat baca Anda, semakin...
Nggak mampu Anda menulis dengan baik, karena ini soal keterampilan berbahasa. Ya, kelima, sekurang-kurangnya membaca juga melatih konsentrasi dan fokus. Anak-anak sekarang sulit di dalam dunia digital, medsos, konsentrasinya selalu terpecah. Kita selalu berada di dalam distracted concentration. Baru mau cari apa, baru mau baca apa, ditumpuk iklan apa gitu kan, terus-menerus dibelokin gitu kan kemana-mana.
Dan kita selalu jadi tertarik juga mau kemana, sampai habis waktu ternyata kita pointnya malah gak dapet gitu kan. Kak gitu. Membaca buku tebal itu penting untuk melatih fokus tetap konsisten gitu disitu terus gitu kan ya.
Itu penting ya. Kemudian juga memperkuat daya ingat. Entah novel, entah buku pelajaran, entah buku pengetahuan, itu memaksa kita juga mengingat ini apa yang diomongin tadi, di halaman tadi sebetulnya apa gitu. Kalau novel, alur ceritanya tadi gimana, si A ini sebetulnya siapa nih? Si B musuhnya atau apa?
Itu dipaksa kita mengingat gitu, kalau enggak kita enggak akan pernah nangkep. Jadi buku memang juga memaksa kita memperkuat daya ingat gitu. Lantas membantu membentuk pikiran dan sikap pribadi, itu yang tadi yang saya ceritakan gitu kan ya. Rendahnya membaca membuat sikap personal kita tidak terbentuk, tidak terbentuk.
Akhirnya kita bermental kawanan terus gitu kan. Saya suka mengatakan begini, bahasa Indonesia sejak reformasi itu Kalau dari sudut mental sangat egoistik seperti di jalanan, di lalu lintas ya. Semua mau menang sendiri dan kayak gitu. Tapi dalam cara berpikir sangat kolektivistik. Latah, apapun yang dipikirkan orang itu yang kita pikirkan gitu.
Yaitu kontradiksi individualitas kita yang mentah itu. Kita sedang belajar menjadi individu, menjadi sangat individualistik, tapi dengan individualitas yang mentah. Itu tragis gitu. dan bisa sangat anarkis dengan cara itu. Oke, delapan, mempernumbuhkan empati atas kemanusiaan universal.
Itu Bapak, Ibu, teman-teman sekalian, saya kira otomatis makin luas kita membaca, kita makin bisa meronsen kehidupan manusia di berbagai tempat. Kita jadi tahu perasaan, kita suka punya stereotip, kalau bule itu kayak gini, kalau orang Jepang itu kayak gini. But as soon as you read, begitu kalau Anda membaca buku-buku karya mereka, lainlah persepsinya. Kita seperti menyelami kehidupan mereka lebih dalam dan empati kita juga akan terbentuk. Orang Indonesia itu kalau tidak dogmatis sangat stereotipikal.
Kalau Chinese itu begini, kalau Negro itu begini, kalau sangat stereotypical. Apalagi dalam hal agama. Kalau agama A itu begini, B itu begini. Dan itu yang membuat kita rentan sekali konflik untuk hal-hal yang tidak perlu. Kita rentan sekali menghancurkan diri sendiri karena stupid.
Kita mengira berbuat sesuatu demi agama, tapi diam-diam dengan cara kita memperlakukan agama merusakkan agama kita sendiri. Itu seringkali kita tidak sadari. Jadi itu kerentanan-kerentanan akibat kita tidak membaca. Baik, saya kira hanya itu yang saya mau bilang.
Habis ya? Kok enggak ada? Enggak bunyi lagi nih. Rasanya sih segitu. Silahkan kalau ini ada kesempatan bertanya-tanya atau gimana.
Karena saya pengennya ngobrol. Enggak ada? Mohon maaf tidak ada sesi tanya jawab untuk sesi kali ini.
Di kafe aja nanti kalau mau tanya-tanya sama saya. Kalau begitu terima kasih Pak Bandung. Tepuk tangan sekali lagi untuk Pak Bandung yang sudah menyampaikan mengapa kita harus membaca ya.
Jadi setidaknya ada delapan. pentingnya untuk membaca itu. Tapi mohon untuk tidak beranjak kemana-mana terlebih dahulu karena kita akan segera menyaksikan penyerahan buku 100 konser musik di Indonesia dari Bandung Readerss Festival dan Mochosik Foundation. Untuk itu kami mengundang kepada Koordinator Program Bandung Readerss Festival 2019 Galuh Pangestri untuk menyampaikan dan memberikan.
Kenang-kenangan untuk narasumber kita yang sudah memberikan opening speech pada festival atau Bandung Readerss Festival kali ini. Ini buku aslinya masih on the way dari Jogja, jadi sampulnya dulu ya Pak. Boleh ditahan dulu. Buku 100 konser musik di Indonesia dari Bandung Readers Festival ini merupakan karangan dari Anda Alimi dan Muhyiddin M. Dahlan. Untuk itu terima kasih Kak Galuh dan juga Pak Bandung.
Silahkan kembali ke tempat semula. Tepuk tangan sekali lagi untuk narasumber kita tercinta.