Transcript for:
Pembelajaran dari Buku: Bersikap Bodo Amat

Terima kasih, selamat siang semuanya, senang sekali saya Dia bisa menemani seluruh Bapak Ibu yang saat ini sudah bersama dengan kita untuk membedah buku. Dan langsung saja kita akan membedah buku sebuah seni untuk bersikap bodo amat. Ini adalah sebuah buku yang luar biasa, saya yakin sekali banyak Bapak Ibu yang sudah ataupun juga... Saudara-saudara semua yang sudah membaca buku ini dan ternyata memang buku ini tuh keren banget begitu ya. Kalau Anda melihat profil kita narasumber kita Pak Indra Gunawan Mas MBA beliau ini ternyata begitu aktif di dunia pendidikan.

Karena ternyata saat ini juga menjadi pembina di untar ya Pak. Pembina di untar kemudian juga komisaris Gramedia saat ini dan juga mengamati media masa dan juga tentunya dunia pendidikan. Oke saya langsung saja ya.

Kita langsung tanya-tanya nih ke Pak Indra, mungkin sedikit sebelum kita ke buku nih Pak Indra. Kalau mau dilihat sebetulnya buku-buku di Indonesia ini sejauh ini jenis-jenis buku yang laku di Indonesia itu yang seperti apa sih Pak Indra? Buku yang laku di Indonesia. Ini memang terjadi banyak perubahan. Kalau pengamatan saya itu buku ini luar biasa.

Karena ini sebuah buku non fiksi. Biasanya itu jajaran yang tinggi itu fiksi. Tapi ini non fiksi.

Dia nanti editornya bisa ikut membantu menjelaskan. Sejak tahun Februari 2018 sampai sekarang. Itu dia sudah 30 tahun. kali cetak selalu di top kemudian dari sana saya dengar tadi udah paling gak tuh 235 ribu eksemplar yang terjual ya menurut saya kalau buku-buku apa yang laku di samping buku ini sebagian tuh ya buku praktis seperti petunjuk ya untuk calon pegawai negeri sipil kalau mau jadi pegawai negeri sipil testingnya bagaimana itu yang paling laku?

ya termasuk kedua terus kemudian buku-buku seperti untuk ujian nasional begitu ya tapi ada dua buku di bidang pengembangan diri yang laku satu ini satu lagi itu yang menarik adalah filsafat setoa pengembangan diri. Jadi itu stoic philosophy. Stoic philosophy dengan ini itu lebih laku.

Tapi dia juga ranking tinggi. Stoic philosophy itu hakikatnya adalah bagaimana dalam hidup sekarang itu nomor satu kalau kita dibanting itu jangan kita melesat. Tapi semakin dibanting semakin kita mental.

Semakin naik ke atas. Jadi ada tiga macam. Di Dibanting hancur seperti piring pecah.

Pakai piring dari katakan kayu. Dibanting diem yang gak pecah. Tapi satu lagi yang dari karet kalau dibanting itu naik.

Mantul. Mantul. Itu filosofi dari Stoik. Nah itu sekarang itu juga naik daun.

Tapi masih kalah dengan ini. Oke dengan ini. Nah sebetulnya kalau kita ngomongin tentang perkembangan dunia cetak begitu. Perkembangan dunia cetak itu sudah. Sudah seperti apa sih Pak?

Atau mungkin jenis-jenisnya dulu nih boleh sharing ke kita. Karena memang di dunia digital ini kan sekarang semuanya larinya ke digital gitu. Sebetulnya perkembangan dunia cetak seperti apa? Dunia cetak kan paling enggak secara mudah terbagi tiga ya.

Itu ada penerbitan majalah, penerbitan koran, dan penerbitan buku. Dari tiga macam dunia penerbitan ini pengamatan saya tidak hanya di Indonesia global. Tapi dunia?

Saya juga. sering sounding bicara dengan kawan saya yang menghadiri juga pameran-pameran buku, exhibition di luar negeri itu dunia buku itu tiba-tiba meronta menggelpar lagi, menggeliat tahun berapa itu menggeliat lagi Pak? kalau di Indonesia sejak Indonesia mulai menjadi tuan rumah di Frankfurt itu mulai menggeliat, tapi kalau di dunia ya kurang lebih belakangan ini juga berapa Nah ini kenapa dunia buku kok lebih maju dari surat kabar dan majalah? Karena dunia buku itu... Mereka memakai prinsip konten, mereka tidak stick dengan buku is buku, tapi mereka berubah.

Jadi multi platform, multi konten, multimedia. Jadi buku mereka jadikan film, buku mereka jadikan online, buku mereka jadikan komik dan sebagainya. Itu kehebatannya.

Dan buku keunggulannya dari surat kabar dengan majalah, buku tidak memerlukan iklan. Kalau koran, kalau enggak pakai iklan, habis. Begitu juga majalah.

Nah jadi kalau buku dari mana dong? Jadi harga jualnya sudah diperhitungkan. Dan sebetulnya buku itu kreatif karena biasanya penulis buku itu tidak hanya menulis buku.

Mereka adalah ahli blogger, ahli media sosial. Jadi dikombinasi. Kalau sekarang menulis buku hanya menulis buku tidak bisa naik. Contohnya ada seorang penulis buku masakan yang begitu sudah ahli bertahun-tahun ahli sekali. Iya.

Hebat, ekspertisnya tinggi. Sekarang dia digeser oleh penulis baru. Penulis buku masakan. Dia tidak sehebat yang yang lain. Tapi kenapa yang muda bisa menggeser?

Kenapa itu? Pertama karena yang muda itu ya dia memakai bahasa awam ke awam. Jadi ini guru, kemudian guru lebih ahli, kemudian resep masakannya.

Jadi pakai bahasa sehari-hari Itu yang dilakukan oleh penulis-penulis buku Mungkin yang bisa dibilang penulis buku milenial Kemudian ya Mereka berbicara dalam taraf Kesetaraan Itu satu, kedua Penulis buku masakan ini ternyata Sebelum diterbitkan dia bermain di Instagram Oke, sosial media ya Dia sosial media Karena itu ya Begitu sudah Dikumpul-kumpulkan ya Itu ternyata menjadi daya tarik Kalau penulisnya ekspert itu masih model nulis buku, model dulu. Bagaimana isinya diperbaiki, kualitasnya ditambah, makin lama makin ruwet, enggak laku, kalah. Sehingga penulisnya itu saya dengar datang ke penerbit. Masih konvensional berarti ya Pak ya? Dia tanya, apa sih salah saya mas, mbak?

Kok buku saya enggak laku? Padahal saya ini ekspert dalam dunia masak-memasak. Kenapa?

Nah ini dunia sudah berubah. Anda harus mencampur segala sesuatu dengan digital, itu multi platform, multi channel. Jangan berhenti ini ya ini, koran ya koran. Kalau hanya berhenti begitu kalah, sudah dicampur.

Nah kalau kita lihat kan buku semacam Harry Potter itu katanya laku sampai 500 juta Pak. 500 juta Harry Potter. Nah itu kenapa? Lakunya bukan cuma di negaranya dia loh, di seluruh dunia. gitu.

Sementara kalau kita lihat kan begitu-begitu aja gitu Pak. Kalau Anda lihat ciri-ciri buku yang laku itu ya umumnya yang menentang pakem. Pakem itu dilawan. Seperti ini melawan pakem. Judulnya?

Buku ini melawan pakem. Kalau pakem pengembangan diri itu selalu bilang berpikirlah positif, positif. positif. Buku ini bilang, kalau Anda terus dijadali harus positif, misalnya, kalau mau itu positif, Anda hari ini begitu bangun harus olahraga. Anda selain olahraga, harus minum jus.

Anda makanan ditakar harus sesuai kalori berapa. Anda harus tidur cukup. Itu dengan harus-harus positif. Anda Akhirnya pendapat buku ini ada benarnya. Anda menjadi negatif.

Berat. Hidup kok berat amat. Jadi karena dituntut positif. Tapi kalau buku ini mulai. Saya ini sebetulnya pecundang.

Saya ini sebetulnya. Mungkin orang brengsek. Sekarang bagaimana dari brengsek itu saya bisa keluar. Jadi dia keluar. Jadi positif.

Ya. Yang negatif positif. Jadi Jangan orang terus dituntut positif. Terus anak ya. Kalau lagi main begitu.

Anda harus belajar. Anda harus menjadi juara kelas. Itu tuntutan terus.

Mungkin anak itu memang. Tidak harus menjadi juara, tapi dia punya kreativitas lain. Jadi itu jangan terus dituntut.

Karena tatangan zaman sudah berbeda juga ya? Berbeda, jadi jangan menuntut orang lain. Supaya menjadi orang lain lagi.

Itu gak jalan. Sebelum nanti saya ke editor dari buku ini. Anda Mas Adinto. Beliau ini adalah editor akuisisi.

Dari judulnya dulu deh Pak. Ini judulnya udah bodo amat. Maksudnya apa nih Pak Indra?

Ini ya, judul ini bisa menyesatkan. Bodoh amat itu seolah-olah dalam hidupku masa bodoh terhadap semua hal. Tapi sebenarnya kalau kita baca, dia menyatakan ada berbagai macam. Kita masa bodoh, kalau seandainya kita pakai setiap hari jin, kemudian orang mengeritik, masa bodoh. Kalau kita pakai HP, katakan, sudah jadul, orang mengkritik kenapa kok pakai jadul ya itu masih berfungsi tetapi dia tidak bodoh amat untuk hal-hal yang prinsipil, ini orang jangan salah, dia tidak bodoh amat di buku ini dijelaskan kalau misalnya kita itu sedang ujian ya, dia fokus benar, orang ini fokus bukannya dia tidak fokus, nah waktu dia ujian, dia bodoh amat...

Tidak nonton film, puduh amat. Tidak lihat televisi, puduh amat. Mungkin tidak menyapa teman. Kalau kata anak-anak sekarang, sowat gitu loh. Cuek terhadap hal-hal yang tidak mempengaruhi kehidupannya.

Tetapi yang prinsipil, dia tidak cuek. Orang ini tidak cuek. Yang sebetulnya dia tidak cuek.

Tidak cuek. Terhadap hal yang penting sekali tidak cuek. Sebab kalau dia cuek, dia tidak bisa melahirkan buku. Dia tidak bisa berkarya, dia tidak cuek terhadap halal.

Dan ini kan juga di bab pertama itu contoh seorang pengarang lain. Dia cuek terhadap halal. hal-hal yang tidak menyangkut dirinya.

Misalnya tidak menyangkut dirinya, tidak usah ikut komentar. Tidak kepo. Apakah Ahok mau jadi Di BUMN atau enggak, kita enggak bisa mempengaruhi, udahlah, enggak usah perhatikan begitu. Mendingan kita perhatikan misalnya pelajaran sekolah kita, misalnya anak-anak kita yang fokus. Jadi tidak melebar kemana-mana gitu loh ya.

Itu dia cuek terhadap hal-hal yang tidak relevan bagi kehidupannya. Buat apa gitu loh. Buat apa mempersoalkan misalnya begini, begitu.

Yang di luar kenapa begini begitu. Kalau kita sendiri tidak punya kuasa merubah untuk apa mempersoalkan. Kenapa misalnya menterinya ini kok ini, ini ikut campur. Tapi padahal kita tidak tahu.

Kenapa Nadiem Mark orang umur 35 diangkat. Sudah jadi menteri. Kita tahu apa, kita paham apa.

Mungkin dia punya sesuatu out of the box yang tidak dipunyai. oleh para profesor, karena profesor, para dokter dari dulu berputarnya di situ-situ dan dunia pendidikan kita ketinggalan. Jadi enggak usah konsentrasi. Konsentrasi utama pada hidupmu.

Tetap punya pilihan, tetap punya perhatian. Jadi judul ini sengaja memancing supaya orang tertarik. Padahal tidak begitu.

Untuk baca, untuk beli. Bukan cuma beli tapi juga dibaca. Gitu ya.

Tapi dia tidak bodoh-bodoh amat untuk semua soal. Enggak. Nah apakah memang untuk situasi sekarang harus seperti itu Pak Indra? Harus mengangkat judul-judul yang kontroversi seperti itu. Sampai orang mau beli dan mau baca.

Ya itu kan sekarang dunia persaingan. Dunia persaingan ya boleh tanya. Saya kira sih saksa aja ya.

Yang penting ya memang ada bodoh amatnya itu tidak. Bukannya enggak ada, ada gitu loh. Tapi ya ini di...

Ini memang begitulah. Artinya memang ini sebagai pancingan. Tapi satu lagi yang tadi Anda katakan. Kita jangan, ini kebetulan ada Mas Aris.

Kita jangan selalu meniru orang. Modeling. Kalau mau sukses itu ya ada pelajaran.

Oh, niru. Kalau jadi pengusaha, kita niru pengusaha yang sukses. Kita coba arah. Itu dengan begitu ya.

Kita menetapkan. Mengucapkan satu visi. Visi itu ya, kita mau menuju kemana, tapi kalau ini buku ini ya menetapkan dulu misi kita, misi kita itu ya siapa diri kita gitu. Kita tetapkan dulu ya.

Start dari diri kita gitu ya, diri kita itu umpama brengsek. diri kita tidak konsisten, mulai dari situ. Jangan terus visi, visi itu seakan-akan semua manusia sama. Semua manusia bisa menjadi pelari keras, tidak begitu. diri kita.

Jangan mulai dengan visi, tapi mulai dengan misi. Misi itu what is our being. Kita ini siapa sebenarnya.

Itu misi. Kalau visi itu langsung ke depan. Ke depan, startnya gak sama kok mau ke depan. Gak boleh begitu. Nah, ke mas editor.

Judul emang harus gini ya mas? Kalau di Gramedia sekarang, di Grasindo sendiri gimana nih? Kalau buku-buku terbitan Grasindo.

Memang lebih banyak. banyak judul-judul yang kontroversi yang memang akhirnya dijual, enggak juga ya? Sebenarnya enggak juga, tapi sebenarnya kita harus lebih dewasa, bahwa sebenarnya pemilihan judul itu bukan sekedar untuk menjadikannya itu nyentrik, atau laku, atau asal beda, tapi yang saya petik ya, bahwa memang bodoh amat. amat itu sesuatu hal yang nilai yang memang kontekstual. Di zaman ini dimana kita setiap kali misalnya buka HP itu kita langsung masuk ke informasi yang 90% tidak penting.

Kita diserbu, diserang dengan yang tidak penting. Misalnya, kalau kita sekarang lihat di Facebook ada trend artis-artis menunjukkan nominal saldo ATM, itu kita mau ngapain? Kalau misalnya kita setiap hari isinya misalnya kita menghabiskan dua menit hanya untuk membaca artikel seperti itu, itu hidup kita akan selesai.

Karena terlalu banyak. Makanya semua orang itu mengharapkan ada suatu nilai untuk menjauhkan kita dari hal-hal kayak gitu. Jadi memang benar-benar kita harus bodoh amat untuk Tapi kalau tadi saya naik di gedung Gramedia ini dari lantai 1 ke 2 ke 3, memang saya sendiri pribadi ketika tadi melihat judul-judul buku itu saya langsung lirik. Saya langsung lihat ketika ada judulnya kontroversi. Kemudian juga tadi waktu naik ke atas ada bukunya Pak Pram.

Siapa orang yang gak tahu Pak Pram gitu ya. Udah pengen, cuma kan harus ke sini dulu gitu kan. Ya percaya gak percaya itu berarti bukan karena bukunya itu yang nyentrik, tapi memang itu secara bawah sadar kebutuhan kita semua. Kita putus undur.

Untuk memiliki suatu keutamaan untuk mencari yang esensial. Karena kalau enggak ya gimana? Kita mau jalan semeter dari keluar rumah saja pasti kita akan berhadapan dengan hal-hal yang enggak penting. Nah ini ada yang penting ya. Apa Pak yang penting?

Ini kan penting semua yang ada di dalam sini Pak. Ini kan bodoh amat menyesatkan. Tapi kalau Anda lihat judul aslinya ini lebih parah.

Sampai ada bintang ya Pak? Ya. Lebih parah ini, artinya lebih parah. Ini tidak sejauh begitu.

Jadi Gramedia itu sebetulnya dengan menulis begini. Baik banget sebenarnya Pak ya. Sudah jauh lebih sopan. Kalau ini kan penulisnya sudah tidak karu-karuan ini.

Pakai istilah yang vulgar sekali. Jadi kalau menurut saya ya. Buku ini kan kalau kita masuk ke dalamnya. Itu dipengaruhi oleh dua filsafat ya. Ini Ellen Watts.

disebut Alan Watts itu seorang filsuf dari Inggris yang kemudian hijrah ke Amerika. Dia banyak dipengaruhi oleh filsafat timur, yaitu Zen Buddhism dan satu lagi Taoism. Zen Buddhism dan Taoism itu sering suka dengan paradoks, mempermainkan hal-hal yang bertentangan, paradoks.

Misalnya Zen itu sering terkenal menyatakan, katakan begini ya, kekuatan adalah kelemahan. Kelemahan adalah kekuatan. Dibolak-balik aja itu Pak? Kekuatan, contohnya apa? Binatan mastodon yang kuat itu sudah punah.

Semut yang lemah sampai sekarang bertahan. Jadi ada benarnya. Jadi lidah itu kan lemah, tapi dia kuat dibanding misalnya tulang dan sebagainya.

Jadi dibolak-balik. Pulak balik sering bermain dengan paradoks. Jadi ini dia kegemaran buku ini itu antara lain salah satu pengaruhnya. Bermain dengan paradoks, dengan Zen Buddhism, Taoism.

disitu. Nah, kalau tadi yang Mbaknya tadi katakan mungkin saja ada benarnya karena kadang-kadang dalam kehidupan modern ini ya terlalu banyak tuntutan. Iya. Tuntutan dari mana-mana.

Dan tuntutannya tinggi Pak, tadi kan dikatakan oleh Mbaknyanya tuntutannya tinggi dari rumah tinggi, dari tempat kuliah tinggi. Iya tinggi, tuntutan. Jadi orang misalnya you harus menyelesaikan pendidikan ini, you harus menjadi dokter, you harus menjadi engineer, you harus begini, harus begitu. Kalau orang itu mau bergerak di bidang art, dibilang itu gak menghasilkan duit, tapi kalau passionnya disitu gimana.

Gitu ya. Jadi ini sebetulnya mengajari ya akhirnya orang itu lebih setia dengan flow-nya. Flow dalam dirinya. Flow itu bukan arus yang ada di masyarakat. Tapi arus mikrokosmos menyesuaikan diri dengan irama alam.

Jadi dirimu itu apa gitu loh ya. Jadi buat apa memaksa seorang yang katakan gemarnya itu menjadi katakan. akan bermain di bidang art. Terus dipaksa jadi dokter.

Karena dokter dianggapnya punya penghasilan besar. Tapi di bidang art, kalau dia artnya kontemporer, kemudian artnya itu juga visual. Berbeda dengan yang lain.

Itu bisa lebih berhasil. Karena sekarang juga banyak dokter yang menganggur. Yang penghasilan so-so saja.

Jadi tuntutan yang begitu berat terhadap hidup. Itu menyebabkan buku ini seolah-olah memberikan pelepasan. Jadi memang buku ini harus jadi buku pegangan juga. Tidak hanya untuk teman-teman milenial.

Tapi juga para orang tua mungkin ya. Orang tua. Akhirnya mereka.

Makan orang tua kalau lihat judulnya saja. Sika bodo amat. Buku apa ini gitu kan Pak. Betul.

Padahal kan tadi saya ulangi. Bodo amat untuk hal-halnya enggak penting. Ya bodo amat untuk jangan terus kalau ada WhatsApp itu dilihat semua.

Tidak usah buang waktu. Tapi dia tidak bodoh amat untuk hal-hal yang amat penting untuk kehidupannya. Jangan waktunya habis di WhatsApp ya Pak.

Tadi Mas yang di belakang mengatakan apa arti sukses dari buku ini? Sukses. Soalnya kan kalau lihat judulnya kayaknya tidak ada sukses-suksesnya.

Sukses dalam arti kata begini. Dari buku ini? Orang sukses dalam sebagai sirkulasinya tinggi. tinggi itu atau sukses makna atau apa yang ditawarkan sebagai nilai sukses? Maksudnya apa?

Mungkin perlu kita tanya lagi. Iya, tanya aja. Sukses maksudnya apa di sini? Sukses dalam buku ini itu apa?

Aris sukses dalam buku ini. Suksesnya buku ini ya. Di dalam buku ini mungkin ya. Perspektif menurut buku ini.

Sukses kalau menurut buku ini. Ini begini. Nomor satu, dia tidak mau menyamakan sukses itu dengan sukses material. Menurut buku ini, kita perlu cukup makan, kita perlu punya rumah, kita mungkin perlu punya kendaraan dan sebagainya.

Tapi sukses material katakan orang itu punya aset 10 miliar. Dengan orang yang punya aset 20 miliar itu itu ya bukan berartinya 20 miliar itu lebih sukses, lebih bahagia. Belum tentu.

Karena dia punya 20 miliar, akhirnya dia punya apartemen. Apartemennya itu enggak bisa disewa. Apartemennya itu bocor.

Jadi pusing begitu ya. Kemudian dia punya mungkin reksadana. Reksadananya sekarang lagi turun. Jadi menurut dia sukses itu kembali lebih bersikap otentik.

Kalau begitu ya. Kembali ke dirinya sendiri. Bahwa orang itu harus cukup sandang pangan itu oke.

Siapa sih yang mau hidup tidak cukup. Itu enggak, enggak dianjurkan. Tapi kemudian jangan mengejar sukses material.

Terlalu berlebihan. Walaupun sekarang ukurannya kalau kita lihat ke situ Pak. Kenapa?

Walaupun kalau kita lihat sekarang ukurannya ke situ. Iya ukurannya kan semua sekedar gitu. Ingin menjadi kuat.

konglomerat dan sebagainya. Lupa, konglomerat dulu itu kan pada zamannya ya, kalau kita mau meniru cara mereka nggak bisa lagi, kalau sekarang mau jadi konglomerat ya modelnya harus menempuh jalan lain gitu ya, nggak bisa seperti dulu. Kalau tadi kita lihat kan ini kan ada...

baru dua penanyaan ini sudah mewakili generasi milenial sekarang. Kalau menurut Pak Indra sendiri, kenapa buku ini sampai diminati? Sampai mereka mau baca buku ini? Nah, yang tadi saya sudah nyatakan, buku ini melakukan dia menyebut buku pengembangan diri untuk orang yang anti pengembangan diri. Jadi terbalik.

Ini buku pengembangan diri untuk orang-orang yang tidak suka pengembangan diri model lama. Jadi dia menawarkan alternatif pengembangan diri. Tadi satu, dia dipengaruhi oleh Saya Alan Watts yang berpikirnya Zen Budo.

dengan Taoisme, kemudian saya lihat juga dia pengaruhi oleh Albert Camus. Albert Camus itu kan eksistensialis, absurd. Walaupun hidup ini katakan tidak punya makna, ataupun hidup ini tidak punya nilai, tapi Albert Camus selalu menyarankan kita tidak boleh menyerah. Ya, ibarat sisi pus sekalipun kita menggelindingkan. batu, kemudian batu itu turun tapi kita tetap dengan bersemangat kita lakukan jadi hidup ini ya, walaupun kita cuek dalam beberapa hal mengajarkan bersemangat bukannya gak bersemangat dia bersemangat terus jadi cuek bukannya kemudian malas kemudian tidak apa, tidak mau sekolah, tidak mau itu, tidak tapi tetap bersemangat, bahkan melawan...

Tolong membacanya jangan salah Kalau membacanya salah Judul ini bodoh amat Itu seolah-olah apati Itu tidak begitu Jadi cara bacanya yang benar bagaimana? Ya makanya dibaca dengan teliti Kemudian dilihat Asal-usulnya ini dari Dari ajaran mana Makanya saya tadi nyebut dua sumber Ajarannya ini antara lain dari Ellen Watts, satu lagi dari Albert Camus Itu dua tokoh yang ada disini ya Nanti ada Nietzsche dan sebagainya. Jadi itu kita lihat sumbernya.

Dia hanya menyebut minta selalu. Tapi kalau kita deliti memang ajarannya semua dari situ. Misalnya Albert kamu kan selalu bilang, hidup ini ada pilihan. Sekarang kita sekali kita memilih pilihan, kita bertanggung jawab atas pilihan itu.

Kita gak boleh mundur. Maju terus ya Pak ya, dengan pilihan yang sudah kita... Jadi kita terhadap yang sudah kita pilih ya, kita enggak bodo amat terhadap di luar itu kita bodo amat.

Punya sudah saya baca sudah lama sekali sebetulnya. Tahun lalu berarti ya? Iya. Gimana ya, isinya itu sangat relate sama kehidupan, relateable banget.

Saya yang apa-apa pasti kalau saya pribadi, apa-apa saya pasti pikirin gitu. Maksudnya kayak orang ngomong A, saya pikirin orang ngomong B, saya pikirin setelah baca buku ini. Saya dapat hidayah gitu.

Jadi tidurnya sebelumnya gelisah ya. Jadi kebukalah pikirannya ya. Cuman masalahnya ketika dibaca versi asli. Yang berbahasa Inggris dengan berbahasa Indonesia.

Ini bukan pertanyaan ya mbak. Hanya pendapat saya. Saya kayak ketemu kayak ada gap gitu ketika saya baca bahasa Indonesia.

Maksudnya penerjemahannya itu agak sedikit kaku menurut saya. Jadi di Indonesia kan malah kaku ya. Lebih enak.

Baca yang aslinya. Jadi kayak yang bercandanya itu gak dapet. Garik gitu ya.

Agak kurang dapet jadinya. Tapi emang sangat relatable gitu. Saya yang biasanya memang si judulnya kan Budo Amat. Cuman bukan yang Budo Amat dengan semua hal gitu.

Karena kan di sana dia juga bilang. Kalau seandainya Budo Amat dengan semua hal. Tanpa memperjuangkan apa yang penting. Berarti kan pemalas gitu.

Yang maksudnya Budo Amat itu dengan hal yang tidak. tidak penting dan memperjuangkan yang penting. Cuman ya itu tadi masalahnya cuman kayak yang penerjemahannya. Kedalam bahasa Indonesia kayaknya garing ya. Terima kasih.

Mungkin nanti mas editor boleh bantu jawab juga ya. Pertama-tama saya harus berterima kasih karena sudah membaca sampai sebegitu concern, sampai sebegitu perhatian dengan... buku tersebut. Memang saya sebagai editor memang harus jujur bahwa buku ini sangat spesial. Seperti yang dikatakan oleh Pak Mas tadi, buku ini memiliki pendekatan yang sifatnya itu setara.

Jadi dia belak-belakan bahkan hingga ke humor-humornya pun itu sangat belak-belakan. Sehingga kadang-kadang ada dua problem. Pertama dia memasukkan hal-hal yang sifatnya itu lokal, jadi sifatnya itu hanya familiar di negaranya dia, di Amerika misalnya. Kedua, juga ada hal-hal yang tabu untuk dibicarakan dalam versi Indonesia. Sehingga saya paham bahwa orang yang membaca naskah asli, tentu kan dia sudah sangat familiar dengan bahasa Inggris, dengan background culture di Amerika sana, maka pasti itu akan mengalami rasanya kok lebih dapat.

kalau saya baca versi aslinya, tapi ketika itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia itu menjadi tugas saya sebenarnya supaya bagaimana caranya supaya hal-hal itu yang sifatnya lokal, yang sifatnya itu tabu itu tetap bisa dapat esensinya tanpa harus membiarkan itu menjadi asing. Jadi misalnya kita mengatakan misalnya kayak ini loh mas kayak buku yang aslinya ini kan kalau kita lihat kan ini kan judulnya kata-katanya kan maaf ini kan sebetulnya artinya kan bersenggama cuma kan akhirnya jadinya bodo amat gitu ya itu lain hal sih maksudnya bahwa di dalam buku ini memang itu problem yang yang pasti untuk orang yang sangat temen-temen dengan bahasa Inggris, dengan apa namanya misalnya sering nonton Netflix misalnya, lalu sering lihat serial-serial di Amerika sana, tahu culture-nya, tentu merasa bahwa enggak kayak gini nih, harusnya enggak bisa diterjemahkan seperti ini, ini namanya menyederhanakan, tapi itu bisa saya pahami, tapi bagaimanapun kita harus berusaha untuk tidak sepenuhnya tunduk pada pada ketidakbisaan itu, tapi kita harus berusaha untuk mengadaptasikannya sedemikian rupa sehingga esensinya tidak luntur. Tapi saya yakin itu suatu hal yang memang beberapa orang mesti merasa tidak nyaman dan untuk itu saya merasa ya oke memang tidak semua buku itu bisa 100% diterjemahkan bisa langsung dapat semuanya. Terima kasih. yakin itu tentu juga susah seperti itu.

Ternyata berat juga bebannya editor ya. Terlihat dari cara Anda menjawab gitu kayaknya memang berat juga ya jadi editor. Jadi gak segampang itu loh ya gak cuma menerjemahkan oh lihat ini bisa dijual segala macam gak gitu ya.

Tapi oke saya paham bahwa memang ada standar yang memang harus terus dikejar gitu bahwa ada orang yang tidak puas tentu akan menjadikan kita untuk apa. Bapak terpacu untuk bagaimana caranya bisa menjadi semakin baik. Semoga di edisi kedua menjadi semakin baik.

Menjawab ya. Mungkin dari Bapak seputar. Saya mungkin berdiri sedikit. Begini ya. Buku itu menyatakan saya juga merenungkan.

Sebetulnya dalam hidup ini misi dulu atau visi dulu. Sebenarnya kalau akhirnya setelah saya merenungkan berpikir ya. Hidup ini mestinya mulai dari.

dari misi dulu. Misi itu bertolak, kita itu siapa? Baru kemudian kita mau kemana?

Misi itu mau kemana? Padahal ya, start kita itu tidak sama. Start kita itu berbeda-beda.

Kalau kita visi itu seolah-olah di perguruan tinggi di negeri mungkin banyak duit apa semua. Apa-apa bisa terkabul itu langsung dengan misi, dengan visi gitu loh. Tapi sebenarnya kalau menurut buku ini ya kita itu harus mulai dengan misi pribadi kita. What is our mission? Dikaitkan dengan siapa kita gitu loh.

Kalau visi itu... sudah langsung ke dunia luar. Dunia luar kan terkait dengan keadaan kita. Kalau visi saya mau jadi dokter, saya mau jadi insinyur, itu seolah-olah terlepas.

Tapi kalau misi kita bertanya, sebetulnya kita siapa, kekuatan kita apa, kemudian itu misi. mengikuti misi. Jadi sebenarnya yang dikatakan oleh Mas Aris Buntarman itu betul.

Itu tidak hanya berlaku untuk perusahaan, tapi berlaku untuk pribadi kita. Jadi, message buku ini juga Tidak bertolak dari keadaan kita. Jadi jangan kita bertolak.

Di sana menjadi unicorn. Terus kita langsung mendadak menjadi begitu. Tidak begitu.

Kita bertolak dulu dari diri kita. Itu satu. Kedua, tadi yang menjawab ada pertanyaan itu. Kita itu, saya kagum pada beberapa bagian buku ini.

Tapi saya terus terang tidak. menerima seluruh isi buku ini. Bagian mana yang Anda tidak terima Pak? Bagian mana dari buku ini yang Anda tidak terima? Orang ini itu agamanya enggak beragamalah.

Tadi terus terang itu ya, apalagi kalau kita baca bukunya kelanjutannya itu menempatkan God apa itu enggak jelas. Jadi seperti Albert kamu, dia kan saya harap. Hargai dia sebagai sastrawan besar. Karena apa saya hargai? Karena idenya itu bisa dituangkan dengan bagus di novel-novelnya.

Bagus sekali. Dia di novelnya itu tidak berkotba. Tapi tindakan jalannya orang itu sesuai dengan panggilan hidup dia. Seperti Hemingway.

Hemingway tidak menceritakan orang ini penakut atau tidak. Tapi tindak tanduknya itu menggiring kita. Kita tahu orang ini penakut. Jadi Albert Camus hebat sekali sebagai sastrawan Tapi Albert Camus hebat juga dia menyatakan Walaupun dia non-theist Dia itu tidak menyerah di dunia ini Itu bagus Dia bertanggung jawab, tidak menyerah Dia menghadapi kematian juga dengan ikhlas Bagus semua Tapi kalau kita yang di sini Seandainya kita masih punya satu kekuatan lagi Bahwa kita kita di dalam diri kita, atau kita punya Tuhan. Kita akan lebih kuat lagi.

Lebih kuat dari Albert Camus, lebih kuat dari Alan Watts. Alan Watts itu merasa tidak perlu agama, karena dia sudah merasa nikmat, merasa nyaman dengan ajaran Saint Buddhism. Tapi di sini ada bagusnya, dia memberingatkan satu hal, dia, Jangan kita merasa kita paling benar dan sok tahu. Kita ragukan ideologi, kita ragukan yang ditanamkan ke diri kita.

Kita ragukan apa benar. Apa benar kalau orang ini begini-begini, kita kasih label begini-begini. Ragukan apa benar. Jadi ini ada buku, ini ada positif. Tapi ada hal-hal yang jangan kita terima.

Kalau itu patah. pandangan saya. Tapi ada hal-hal positifnya. Yang kurang baik, jadi dia seolah-olah mendasarkan diri pada kekuatan diri sendiri. Diri sendiri yang jadi tituk tolak kekuatannya.

Kalau kita punya kekuatan lagi, satu lagi bahwa kita disertai oleh Tuhan, itu kan lebih kuat lagi kita dalam menjalani hidup kita. Tapi ada hal yang positifnya dia ya, jangan terlalu berpikir bahwa kita itu yang paling benar. Bagus itu, jangan selalu belum apa-apa ya, ngelihat satu kejadian langsung aja kita komen. PBJS begini tembak, ini salah pemerintah atau salah. Padahal mungkin salahnya belum tentu pemerintah, rumah sakitnya yang enggak benar.

Rumah sakitnya sering ngasih tagi. di mana tagiannya itu sudah dimarkup, dinaikkan. Jadi pemerintahnya ya memang keadaan sulit dibegituin lagi. Jadi harusnya kalau melihat satu persoalan, tolong melihat dari sudut pandang berbeda-beda. Sudut pandang satu, soal PBJS, lihat sudut pandang pemerintah, lihat sudut pandang pasien, lihat sudut pandang dokter, lihat sudut pandang rumah sakit.

sukses Semua sudah dijadikan satu, kemudian kita punya pandangan lebih objektif. Jangan jadi satu seki doang. Dan jangan ya seolah-olah untuk setiap soal sudah ada jawaban final.

Untuk ini jawabannya begini, untuk ini jawabannya begitu. Itu menjadi bodoh. Padahal manusia itu ya selalu dalam proses kemungkinan berubah. Jadi jangan divinalkan segala sesuatu. Apalagi masih muda ya.

jangan final gitu loh apa-apa ini udah begini jangan sok tau lah mendingan katanya gak begitu tau dengan gitu kita mau belajar daripada udah tersedia segala macam jawaban itu berbahaya sedia jawaban ini itu semua persoalan yang ada di apa di instagram atau apa yang di WA kita udah sedia jawaban oh ini begini-begini ini begini-begini Itu belum tentu benar. Tolong pahami dari sudut-sudut lain. Dari sudut-sudut yang orang punya pandangan yang berbeda dari kita. Itu bagusnya buku ini.

Orang yang punya pendapat yang berbeda, tolong kita coba melihat. Siapa tahu orang yang pendapat berbeda itu ada benarnya omongannya. Itu, itu bagusnya buku ini.

Mungkin mau menanggap ini dari Mas Adinto. Silahkan, tadi kan katanya di buku ini. buku ini orang yang gak beragama, gitu. Nah ketika ngedit buku, gimana?

Ya, sebenarnya itu permasalahan yang terpulang kepada masing-masing orang. Artinya, di zaman sekarang sebenarnya itu termasuk hal yang sangat Tidak relevan untuk dibicarakan, terutama dalam konteks buku self-improvement seperti itu. Tapi poinnya adalah sebenarnya tidak perlu, seperti yang dikatakan penulisnya, tidak perlu dulu kita bicara.

soal agama. Tapi bagaimana masing-masing dari kita itu tahu prioritas dan itu menjadi sangat sangat fair karena masing-masing orang punya prioritas sendiri-sendiri. mungkin ada orang yang prioritasnya adalah beragama, ada orang yang prioritasnya adalah agama itu kayaknya itu masalah pribadi sekarang saya inginnya sukses sukses yang seperti apa sebenarnya ini sejalan dengan apa yang tadi kita bicarakan oleh Pak Mas bahwa buku ini menjelaskan tentang misi dulu baru visi, karena agama itu kan visi, agama itu kan kita visi kita ke surga misalnya. Tapi tidak semua orang itu paham gimana caranya saya ke surga, apakah saya ke surga harus dengan membenci orang lain. Seperti yang dikatakan oleh petangga sebelah misalnya, kan enggak.

Caranya gimana? Nah itu, kita harus tahu prioritasnya itu seperti apa. Nah ini ada satu hal yang bagus kutipannya, apa yang baik bagi Anda itu belum tentu baik bagi Anda.

bagi orang lain. Bahkan yang baik bagi saya, nanti 10 tahun lain, 10 tahun lagi atau 3 tahun lagi itu tidak baik untuk saya. Apa yang pada saat ini saya yakini ini baik, benar untuk saya, itu belum tentu baik untuk orang lain. Dan apa yang saya anggap diri saya pada saat ini benar, mungkin 3 tahun, 5 tahun lagi pikiran saya sudah berubah. Itu bagusnya di situ.

Jadi orang selalu berusaha berpikir ulang. Berpikir ulang mengenai banyak hal dalam hidup kita. Jangan begitu saja menerima dikaji ulang.

Itu bagusnya. Artinya, jangan kita lalu menganggap buku ini atau buku apapun itu sebagai pertemanan yang paling benar. Wah ini kitab suciku ini. Selain akit. Ini kayaknya bukunya Mark Mas, ini kitab suciku.

Saya rasa itu sesuatu yang tidak diinginkan oleh penulis tersebut. Dia selalu mengatakan bahwa kita harus terpulang pada diri kita. Yang penting kita jangan sampai terseyok-seyok, terseret-seret karena terlalu memedulikan hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu kita pedulikan kalau melihat misi masing-masing.

Jadi menurut saya itu hal yang harus kita lakukan. Hal yang sangat fair. Sehingga kalau justru kalau Mark Mas bilang, saya orang katolik, justru itu malah jadi tidak relevan di situ. Karena lalu kita merasa, oh pantas kamu lebih menonjolkan yang ini daripada yang ini.

Jadi menurut saya jangan sampai kita terjebak pada penggolongan itu. Jadi buku ini biarkan menjadi dirinya sendiri, sementara kita pun punya isinya sendiri. Nah ini berdua aja nih ya.

bertanya kepada dia ya, bagaimana sih kita menyikapi buku Anda? Dia jawab enteng kok Anda mau ini lihat, mau ada yang terima boleh, enggak juga boleh. Anda suka ya dengan buku saya, terima kasih. Jadi tidak memaksakan. Jangan suatu pendapat itu yang kita anggap bagi dia yang benar untuk pribadi.

Dia tidak pernah memaksakan. Malah dia dengan enteng melihat, oh Anda suka ya dengan buku saya, terima kasih. Enteng saja.

Jadi jangan kita juga terbiasa melihat suatu kebenaran. Kemudian kita paksakan kebenaran itu berlaku untuk semua orang. Itu mesej yang bagus. Tapi memang sejak ada sosial media gitu Pak.

Setiap kali kita mendapatkan berita yang sebetulnya. Wah ini saya paham. Ini benar nih langsung kita share.

Akhirnya itu jadi kebenaran. Di muka umum. Kebenaran di publik gitu. Padahal sebetulnya kan itu kita sendiri juga masih ragu ya. Nanti buku ini kan juga ada versi lanjutannya ya.

Ini akan diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia lanjutannya? Iya. Sekarang sedang dalam proses pengeditan.

Bukunya. lebih menarik. Lebih gereget juga dari buku yang pertama ya? Lebih naik kelas.

Istilahnya barangkali ke kepusingan kita ke problem kita saat ini itu terjawab di buku ini. Problem ketika membaca ini. Kenapa setelah membaca buku pertama saya masih ada hal-hal yang perlu saya masih mengganggu.

Mungkin akan dijawab di buku yang kedua. Jadi Jadi sebetulnya di buku pertama ini masih agak menggantung dong. Sehingga akhirnya dibutuhkan lanjutan buku keduanya ini.

Saya rasa salah satu agenda di buku ini ya untuk menjawab beberapa hal yang masih belum dijawab di buku pertama. Nanti dari judulnya sendiri sudah dapat belum ya? Sudah. Belum bisa dibocorin ya.

Masih nunggu ya. Soalnya kalau melihat judul aslinya ini kan wah ngeri benar gitu ya. Sebenarnya enggak ngeri sih.

Kita merasakannya Setiap hari Kenapa sih sekarang kok Hidup kok gini banget Kenapa kok semuanya jadi gak jelas Misalnya setelah Pilpres misalnya Selama pilpres Rasanya kok makin Gak jelas kayak gini Itu sebenarnya parafrase untuk Judul tersebut Di atasnya udah jelas, di bawahnya yang masih belum jelas Sebetulnya Oke dari kalian lanjutannya ini sudah itu Pak? Saya baru lihat Seminta Selalu cuman saya kalau pesan saya setelah membaca buku ini, pertama kalau kita membaca sebuah buku kita Coba memperdalam, jangan melihat segala sesuatu sepintas selalu ya. Kalau kita melihat sepintas selalu ya, kita akan terkecoh.

Jadi kita coba melihat dasar-dasar pemikiran dia dari mana. Kemudian... setelah dari sana kita sesama orang dewasa kita berani memilah mana yang kita bisa terima mana yang kita gak bisa terima mana yang ini membantu dalam kehidupan saya mana yang kayaknya saya kok enggak cocok begitu.

Dengan begitu kita menjadi dewasa. Jadi kita boleh kagum pada seseorang, pada sebuah lukisan, tapi kita juga punya hak untuk tidak juga menjadi 100% menjadi penganutnya. Jadi itu yang paling baik, sikap dinamis, hubungan dinamis.

Hubungan dengan orang lain, dengan karya orang lain. Mana-mana yang kita timbang, yang kita bisa terima, kita terima. Mana yang kita belum bisa terima, kita sisihkan. Jangan kita tolak sama sekali, jangan kita terima sama sekali. Itu barangkali yang terbaik untuk kita.

Kita anggap ini sebagai apapun, sebagai teman yang merangsang pemikiran kita. Di sana-sini mungkin dia membuka kencang. jalan supaya kita itu jangan selalu berasa benar berasa positif, kalau orang positif thinking terus ya, orang itu gampang ditipu. Anda dimana-mana positif thinking ketemu orang ini, wah orang ini maksudnya baik, itu makanan orang. yang akan menipu Anda.

Tapi kalau Anda berasa ya, Anda sudah di jalan yang benar, merasa sudah tersedia semua jawaban untuk urusan yang ada di dunia, Anda juga salah. katakan, hati-hati. Mungkin semua pemikiran, dogma, segala macam itu tidak sempurna atau Anda menangkapnya tidak sempurna.

Tolong pertimbangkan. Nah, itu saja. Saya tergelitik juga ini dengan di bab kedua, Pak. Anda judul bahagia itu masalah.

Saat ini kan orang mencari kebahagiaan. Baik kebahagiaan di dalam dunia dan juga kebahagiaan nantinya. Tapi di sini justru tertulis kebahagiaan itu masalah.

Masalah di mana? orang bahagia? Jadi kalau saya yang baca ya, bahagia itu kalau kita bisa memecahkan masalah. Bahagia itu kalau kita bisa memecahkan masalah. Masalah dengan kebahagiaan itu terus akan muncul.

Jadi masalah itu enggak berhenti. Tapi agar bisa memecahkan masalah, kita jangan menghindar dari masalah. Kita jangan bilang ya, kita enggak ada masalah, kita baik-baik aja, kita enggak sakit.

rumah tangga kita tidak ada masalah jangan kita membohongi diri kita, kita memang lebih baik mengaku kita ada masalah dan kalau sudah kita ketemu masalah jangan kita melempar oh itu pemerintah sih yang bikin begitu, jadi saya setiap hari terlambat datang ke kantor karena jalan macet oh itu karena orang tua yang bikin saya sekolah di itu jadi saya tidak susah berkembang masalah dipecahkan dengan bertanggung jawab dan jangan sekali-sekali melempar kesalahan pada orang lain. Jangan melempar kesalahan pada pejabat, pemerintah, orang tua, sekolah. Oh sekolah saya begitu sih.

Tapi mengambil alih tanggung jawab. Nah kalau kita dari tiap hari ada masalah kita pecahkan ya, setiap kali memecahkan masalah itu menimbulkan kebahagiaan sebetulnya. Jadi mecahkan masalah itu adalah menemui kebahagiaan.

Jadi kalau mau bahagia harus cari masalah. Cari masalah dan terus dipecahkan begitu ya. Jadi tapi ini sepertinya sih kalau saya lihat juga ini seperti buku motivator juga Pak, memotivasi gitu. Orang ini dia bilang ya, dia ini konsultan pengembangan diri, dia ini konsultan pengembangan diri, tapi konsultan pengembangan diri kalau yang lain itu bertolak. Dia bertolak dari positive thinking dari sana, dia bertolak dari negative thinking.

Dari negatif menjadi positif, tapi kalau terus dari positif akan menjadi negatif. Dia konsultan pengembangan diri, jadi dia juga harus merawat kalau dia ngajarin halnya gak benar. Orang gak mau menjadikan dia konsultan, orang lari semua.

Dia konsultan pengembangan diri, di samping blogger. Di samping apa pak? Blogger? Blogger, jadi dia sering menulis di blogger.

Lihat itu, gini. Dia motivator Saya harus mengakui Bahwa dia itu Disitu tidak suka dengan motivator Dia adalah motivator Cuman pendekatannya Anda di kutub yang lain Selama ini kita ada Mengenal motivator itu ada di kutub Di kutub positif Yang selalu mengatakan bahwa Letakkan mimpimu Letakkan keinginanmu Jadi dia Ber bertitik mulanya dari sesuatu yang di atas. Tapi dia ada di kubu yang lain, bermulanya dari titik di bawah, yaitu di realitas.

Jadi jangan dulu ngomong kamu ingin kaya, ingin pintar, tapi kamu harus tahu dirimu sendiri kebutuhanmu itu apa, baru kamu bisa menentukan mau sekaya apa, mau sesukses apa. Jangan semua orang bisa meratakan, dan semua ingin punya saldo ATM 10.000. Belum tentu, belum tentu si A butuh si B juga butuh gitu loh.

Itu teman-temannya Raffi Ahmad tuh biasanya. Jadi sebenarnya motivator tapi dalam kubu yang berbeda. Nah ini yang menarik. Mas Adinto ini kayak motivator loh.

Bukan, justru ya karena dia bertolak dari sudut yang lain itu menjadi laku. Semua ngambilnya dari jurusan sana, dia ngambil dari jurusan sini. Jadi dia tidak bertolak, positive thinking terus ya. Tapi dia mengakui Positif dan negatif itu selalu ada bersama dalam diri kita.

Lebih baik kita akui yang negatif dulu lah. Daripada kita mengakui. Terus dari negatif bagaimana bergerak ke positif.

menentang positif loh. Tapi dia tahu hidup itu tidak hanya terdiri dari positif. Hidup itu adalah positif dan negatif.

Positif, negatif. Itu ajaran dari Zen. Jadi bisa dibilang buku ini membumi ya Pak ya? Tidak seindah seperti yang kita lihat di sosial media.

Iya, enggak. Membumi buku ini. Mungkin masih ada yang ingin bertanya? Atau mau merespon dari buku ini?

Sepertinya tidak ada ya. Dan tentunya untuk seluruh yang mendengarkan. Kemudian juga yang menyaksikan.

Boleh share juga ke teman-teman. Untuk talk show kita kali ini. Nanti mungkin seminggu ke depan.

Anda bisa menyaksikan melalui Youtube. Dengan alamat Heartline Network. Jadi Anda ketik Heartline Network. Maka nanti Anda akan mendapatkan talk show kita, obrolan kita untuk saat ini. Terima kasih tentunya untuk semuanya.

Untuk semua Bapak Ibu, teman-teman. Kita berikan tepuk tangan untuk Pak Indra. Berikan tepuk tangan juga untuk Mas Adinto. Terima kasih juga buat Gramedia.

Yang sudah memberikan kesempatan untuk kita tahu banyak. Buku, sebuah buku untuk bersikap bodo amat. Dan akhirnya kita bersyukur dengan apa yang sudah Tuhan kasih buat kita.

Intinya dari buku ini seperti itu ya Pak. Sebagai closing statement ada yang mau disampaikan Pak Indra? Ya saya hanya menyatakan ya, baik juga ini kan hardline tadinya radio ya, sekarang dia mulai radio tapi disamping radio sekarang dia udah multi platform. Akan muncul di Youtube Di Youtube Saya gak tahu Nanti suatu hari barangkali di Youtube juga Membuka tanya jawab Di komennya juga Jadi terus Jangan hanya berhenti radio is radio tapi terus bergerak, karena zaman sekarang itu sudah multi platform disruption juga ya Pak terima kasih Bapak Ibu teman-teman semuanya sudah hadir dan kita akan kembali lagi tentunya mungkin di kesempatan yang akan datang untuk membedah buku yang lain lagi dari Mas Adinto yang mau disampaikan mungkin ada buku-buku yang akan segera ada dua hal, yang pertama saya sangat berterima kasih pada semua pembaca dan terutama teman-teman semua yang hadir di sini yang saya yakin memiliki antusiasme terhadap buku ini.

Ini sungguh merupakan penghormatan yang paling besar untuk sebuah buku dan untuk seorang editor. Lalu yang kedua, buku kedua akan segera terbit. Semoga teman-teman semua masih memiliki antusiasme tersebut untuk menyambut buku yang kedua yang saya yakin akan terbit.

lebih relevan dan akan lebih kontekstual dengan permasalahan-permasalahan ataupun dengan hal-hal yang kita inginkan pada saat ini. Terima kasih sekali lagi kita berikan tepuk tangan untuk kedua narasumber saya. Saya serahkan.

Baik sekali lagi mohon tepuk tangan yang semangat untuk moderator narasumber kita di kesempatan sore hari ini. heartline