Ter Tahun 1900, penduduk Batavia kedatangan gambar hidup atau film melalui peristiwa pertunjukan besar yang pertama di Manege, Tanah Abang, Kebonjai. Peristiwa itu terpaut lima tahun setelah Robert Paul dari Inggris dan Lumière bersaudara dari Perancis mendemonstrasikan proyektor temuannya, menandai dimulainya sejarah sinematografi atau seni gambar bergerak. Pada awal kehadiran film di Indonesia, hanya kaum Eropa yang bisa menyaksikan. Baru menjelang 1920-an, kaum pribumi punya kesempatan menonton film setelah ada kebijakan kelas penonton, yakni untuk kaum Eropa, untuk kaum Cina, dan untuk kaum pribumi serta Islam atau kaum Islam.
Pemisahan kelas itu menyangkut lokasi pertunjukan, kualitas proyektor, serta harga tiket tanda masuk. Hingga tahun 1920-an, perfilman di Indonesia hanya milik kaum Eropa, berupa film-film impor dari Perancis dan Amerika, meliputi film dokumenter dan film cerita yang semuanya bisu. Karena masyarakat Belanda yang ada di Indonesia ini merasa bahwa bisa menonton bioskop dalam waktu yang singkat sesudah bioskop pertama dilahirkan, itu merupakan kebanggaan.
Tapi kemudian masyarakat Belanda itu sendiri bosan Jadi dalam waktu 2 tahun sesudah tahun 1900 Itu sudah ada bioskop keliling dan sudah ada bioskop rakyat, karena ternyata masyarakat yang lebih gemar menonton itu adalah masyarakat kalangan bawah dan yang aneh setelah 20 tahun bioskop pertama itu lahir Yang diputer itu adalah film-film potongan-potongan. Apa yang terjadi di Indonesia ini ada perkembangan yang sangat pesat sekali. Ketika film menjadi tontonan. Di masyarakat, belum tuntunan, tontonan waktu itu, makanya namanya sorot. Kalau di desa-desa itu ya, waktu itu masih, dan itu film bisu dulu, belum ada film bicara.
Jadi perkembangannya itu begitu rupa. Karena ini memang teknologi dari Eropa, sehingga kita melihat ada pakar-pakar yang mampu menerjemahkan ke dalam segi industri, segi bisnis. Oleh karena itu, sejalan dengan perkembangan zaman, pada zaman sebelum kemerdekaan, kemudian orang Indonesia juga tidak boleh nonton film waktu itu.
Yang boleh nonton adalah orang... Belanda Pembuatan film hanya dilakukan orang-orang Belanda atau orang Eropa lainnya berupa film dokumentasi tentang alam dan kehidupan Indonesia atas pesanan pemerintah Hindia Belanda Masa itu lahir film Onzeos atau Timur milik kita yang dibuat tahun 1919 dibiayai Kolonial Institute atau Lembaga Kolonial Yang disebut pembuat film waktu itu adalah orang yang mengoperasikan kamera dan pekerja teknis lainnya. Tahun 1924 muncul polemik di koran-koran mengenai perlunya Hindia Belanda membuat film sekaligus menjadi obyek pembuatan film sebagai proyek film untuk kaum Bumi Putra. Tahun 1926 atas inisiatif L.
Hufeldorf dan Krugers, Dengan dukungan Bupati Bandung Wiranata Kusuma V, dibuat film cerita berjudul Lutung Kasarung. Mengangkat cerita legenda Jawa Barat dengan seorang gadis pribumi sebagai pemain. Gadis ini berasal dari keluarga Sang Bupati.
Itulah awal ada orang Indonesia main film dan ada film cerita dibuat di Indonesia. Nah, film Lutong Kesarung itu dibiayai oleh antara lain didukung secara finansial dan kultural oleh Bupati Bandung. Nah, sejak itulah maka film bioskop. Menjadi lebih semarat, tetapi terpaksa film itu merupakan apa yang kita namakan mainstream, yaitu film untuk tontonan, hiburan, untuk dagang. Ini satu permulaan yang...
Berani sekali karena harus menghadapi suatu persaingan dengan film-film Hollywood yang sudah sangat maju dan sangat digemari di Indonesia. Sedangkan film yang dibuat di Bandung itu sangat primitif bentuknya. Tapi toh dilakukan juga karena ada pemikiran bahwa Peribumi memerlukan tontonan yang khas mengenai negeri mereka. Ini pikiran-pikiran orang Belanda.
Terima kasih telah menonton Mulai tahun 1930, perfilman di Indonesia berkembang dalam paham industri. Selain L. Hufeldorf dan Krugers, ada F. Carly, keturunan Italia, kelahiran Bandung. Muncul kemudian orang-orang Cina, yakni Wong bersaudara, yang terdiri dari Nelson Wong, Joshua Wong, dan Othniel Wong. Orang Cina lainnya yang terjun ke film adalah Tei Teng Chun.
Mereka bisa disebut orang tingur pertama yang membuat film di Indonesia. Masa-masa ini mulai lahir film bicara atau tidak bisu. Tuan Ahmad sudah pukul sama cawan Untuk bal ada orang yang bertajam yang sudah pulang sama cawan Kalau tidak, barangkali... Lalu datang juga masanya masyarakat Tionghoa Indonesia Membuat film-film kisah-kisah legenda Cina Dijadikan film-film Melayu gitu Karena Cina sebelumnya hanya berdagang kelontong dan sebagainya, lalu mereka ingin juga tampil dalam suatu kegiatan yang bergensi, yaitu film. Film pertama yang dibuat oleh etnik Cina ini, berjudul Lili Van Yava, juga dibuat di kota.
Jakarta waktu itu, Jakarta tidak di Bandung seperti yang dibuat oleh orang Belanda. Ini juga tidak begitu mengemilakan hasilnya, namun segera disusul oleh yang lain, yang juga saya kira dengan motif yang sama yaitu karena ada kegairahan untuk mencipta, muncul film-film yang orientasinya ialah untuk penonton Cina, seperti Film-film Siluman, Opecua, yaitu cerita-cerita kuno Congkok yang memang filmnya sudah pernah kemarin dari Congkok, tapi kalau dibikin lagi dalam versi Indonesia. Dari T. Tengchun, lahir Bunga Ros dari Cikembang tahun 1931. Dari Wong Bersaudara, lahir Nyai Dasima tahun 1932. Dalam semangat industri pula, dua kekuatan non-pribumi, Krugers dan Wong bersaudara, melakukan kerjasama produksi tahun 1937, melahirkan film Terang Bulan dengan sutradara Albert Bali. Film Terang Bulan menjadi tren film laris yang disukai masyarakat.
Masa-masa inilah kaum pribumi mulai terlibat dalam politik perfilman. Seorang wartawan bernama Sairon yang menjadi penasehat di perusahaan wong bersaudara memunculkan gagasan perlunya memanfaatkan seni tonil atau sandiwara yang kala itu mewarnai hasanah seni pertunjukan di Indonesia. Maka artis-artis Dardanela, kelompok tonil yang paling terkenal masa itu, pimpinan Anjar Asmara yang juga wartawan, diajak main film. Mulailah lahir artis-artis pribumi, antara lain Rukyah dan Raden Mukhtar.
Makin banyak pula kaum peribumi menjadi pekerja film atau kru. Sejarah ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana film sebagai alat propaganda pada awalnya. Karena itu kalau kita lihat sejarah pencadaran pada tahun-tahun itu merupakan gabungan antara mereka yang dari panggung, mereka yang dari... setelah dari luar yang diimport untuk mengembangkan industri di Indonesia misalkanlah setelah-setelah yang diimport dari Korea yang kemudian membuat film ciuman pertama dalam sejarah film Indonesia. Dan kemudian ada juga sutradara-sutradara yang kemudian kita lihat berangkat dari hubungannya dengan kolonialisme, misalkan dengan Belanda dan sebagainya.
Tahun 1934, para pelaku industri film membentuk Organisasi Gabungan Bioskop Hindia atau Netherlands Indisya Bioskop Bon. Menyusul adanya organisasi gabungan, gabungan importer film atau Bonfant Film Importers. Pengurus dan anggota awalnya adalah orang-orang non-Pribumi.
Ketika dalam organisasi itu masuk orang-orang Pribumi yang memunculkan wacana nasionalisme, pemerintah mencurigai sebagai wadah yang mengusung ideologi gerakan untuk merdeka. Pemerintah India-Belanda mulai melakukan pengawasan ketat kepada perkembangan film dengan membentuk film komisi atau semacam badan sensor film. Terima kasih. Dasar hukumnya, film ordonansi buatan pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda sama sekali tidak merupakan perhatian bagi pengembangan industri film di negeri ini. Dianggapnya, membuat film di sini hanyalah sepenting kegiatan pabrik-pabrik kecap, atau pembuatan taucul dan sebagainya. yang tidak begitu berarti bagi pengembangan negeri ini.
Maka itu, film tidak pernah ada pemindahan sama sekali dari Belanda, yang ada hanyalah di atasi sensor ship saja. Jadi film hanya disensor yang paling penting, asal tidak mengganggu hal yang umum, tidak ada yang mengajarkan kepada kejahatan, maka film itu bisa polos. Itu saja, yang lain tidak ada.
Tahun 1940-an menjadi masa produktif film di Indonesia. Adanya sensor film tidak membuat kreativitas dan industri film surut, malah sebaliknya. Tahun 1940, Produksi 13 judul, tahun 1941 menjadi 32 judul.
Masa ini bisa disebut masa kemasan pertama film Indonesia, meskipun film Indonesia sendiri belum lahir. Lalu datang juga masanya masyarakat Tionghoa Indonesia membuat film-film, kisah-kisah legenda Cina dijadikan film-film Melayu gitu. Dan itu sangat laku sekali.
Nah setelah tahun 1945, itu boleh dikatakan masyarakat Indonesia membuat film itu tetap bertahan, tetapi bukan film Indonesia, saya lebih mengatakan itu film Melayu. Keemasan dicapai di masa ketegangan menjelang Perang Dunia II saat Jepang menjarah kemana-mana. Bersamaan dengan panasnya gerakan politik nasionalisme, perfilman pun syarat nuansa politik.
Pers dan kalangan terpelajar menuntut film berkualitas untuk perjuangan. Para seniman atau artis dituntut punya tanggung jawab melalui karyanya kepada rakyat. Baiklah, Adinda yang lebih dahulu mengucapkan selamat kepada kekandang. Ia adalah serang gadis dari rakyat biasa saat kota ini. Aku menang padanya.
Marah. Pada wartawan dan sineas menggagas perlunya klub kritisi dengan anggota wartawan Indonesia, Tionghoa, dan Belanda. Ada respon politik dari kalangan orang film dalam menanggapi wacana tersebut, yakni lahirnya organisasi bernama Sari atau Syarikat Artis Indonesia. Pada 28 Juli 1940 di Princeton Park atau Lokasari, Jakarta, dihadiri 58 aktivis film.
Pencetusnya adalah Sairun dan Mohamad Sin, wartawan pengasuh ruang film Majalah Pembangunan. Tadkala 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang, politik perfilman Indonesia mengalami perubahan besar-besaran. Pemerintah militer Jepang menjadikan film sebagai media propaganda politik Asia Timur Raya.
Yang pertama dilakukan, menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk JIF milik T. Tengchun, serta Tans Film milik Wong Bersaudara. Karena film-film... Mereka ini dianggap oleh Jepang tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan mereka untuk meningkatkan cara berpikir bangsa-bangsa di Asia Timur ini. Itu yang terjadi.
Jepang melarang semua studio itu bekerja kembali karena film-film Cina dianggapnya tidak bisa membangkitkan semangat perjuangan bangsa-bangsa di Asia Timur. Sebuah peralatan film di Sita, studio film di Duduki Tentara. Kino tempat itu menjadi PFN.
Kemudian pemerintah militer Jepang mendirikan perusahaan film bernama Jawa Eiga Koshia pada September 1942. Berubah menjadi Jepang Nippon Eiga Sha pada April 1943. Perusahaan ini gencar memproduksi film-film propaganda. Wang bersaudara beralih profesi menjadi penjual kecap dan limun. Teh Tengchun memimpin sandiwara jantung hati. Para artis kembali ke media tonil atau sandiwara. Naskah dan tampilan harus disensor oleh sindenbu atau badan propaganda.
Badan ini juga membentuk organisasi pengedar film bernama EGA Haikyusha. Organisasi sandiwara bernama Jawa Engeki Kyokai. Dan pusat kebudayaan bernama Keimin Bungka Shidoso. Dari sedikit film yang lahir masa ini adalah Berjuang dan Keseberang, karya sutradara Raden Arifin.
Di Desa dan di Menara, karya sutradara Rustam Sutan Palindih. Film Hujan, karya sutradara Inu Perbatasari. Para pembuat film ini adalah orang-orang pribumi yang punya jabatan dalam pemerintahan militer Jepang.
Suasana politik seperti itu meningkatkan kesadaran kaum pribumi dalam melihat film, bukan semata produk industri dan hiburan, melainkan juga sebagai media perjuangan. Tokoh pergerakan seperti Dr. Adnan Kagani ikut main, tapi karena produksi film makin surut, kegiatan para artis lebih banyak ke diskusi dan strategi politik. Usmar Ismail, Jayus Syagian, D. Jaya Kusuma menghidupkan klub diskusi film, lalu merintis sekolah film di Jogja. Namun, baru beberapa bulan ditutup pemerintah militer Jepang.
Masa-masa inilah Usmar Ismail membuat sajak berjudul Citra. Leluhur Cornell Semanjuntak membuatkan lagunya. Sajak dan lagu Citra lolos untuk dimuat di majalah Jawa Baru pada Desember 1943. Tahun 1946, sajak dan lagu citra difilmkan oleh Usmar Ismail. Iklim politik berubah, tatkala Jepang mulai terdesak di sana-sini, sampai masa revolusi yang melahirkan negara bernama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Hanya dalam hitungan hari, berbagai gerakan yang diperakarsai seniman bermunculan, bukan hanya di Jawa, tetapi juga di Sumatera, kebanyakan lewat kelompok sandiwara. Usmar Ismail, Kornel Simanjuntak, Dei Jayakusuma, Suryo Sumanto, dan lain-lain mendirikan perkumpulan seniman merdeka.
Mereka menguasai pusat kebudayaan, berkeliling memberi penerangan. pada rakyat juga ikut di medan perang. Di Sumatera Barat, Syamsuddin Safei menggerakkan kelompok Ratu Asia.
Studio film Jepang Nippon Eiga Sya direbut dengan kekerasan oleh kelompok pribumi. di bawah pimpinan RM Sutarto. Lahir kemudian Berita Film Indonesia atau BFI.
Di Yogyakarta pada tahun 1946 dirintis sekolah film Signed Drama Institute atau CDI. Antara lain oleh Jamaludin Malik dan Mr. Sujarwo. Lalu muncul sekolah film KDA dirintis Huyung, Sri Murtono, Trisno Sumarjo, Kusbini, dan lain-lain. Mereka juga mendirikan stitching hiburan Mataram yang pada tahun 1950 melahirkan film Antara Bumi dan Langit. Waktu itu Jogja adalah pusat pemerintahan darurat.
Saat kembali ke Jakarta setelah mengungsi di Yogyakarta dari 1946, sebagai wartawan yang ikut meliput perjanjian Renville, Usmar Ismail ditangkap pihak Belanda. Dia bebas tahun 1949. Pada waktu itu juga ada dari pihak Belanda membentuk Stichting Kulturelle Samenwerking, Stikusa namanya. Dan itu adalah kelompok yang menghimpun para budayawan, diskusi tentang budaya yang sangat aktif, tetapi membahas film-film Eropa.
Nah, lantas kita pikir, lah kenapa tidak ada juga hal serupa di tanah? air kita. Karena itu maka di kalangan para mahasiswa dengan kelompok-kelompok intelektual nasionalis yang ada terbentuklah suatu liga film yang membahas masalah budaya, seni, khususnya tekanan pada film Indonesia. Keluar dari tahanan, Usmar Ismail membentuk perusahaan film nasional Indonesia atau Pervini. Bersama Jamaluddin Malik membentuk perseruan artis film Indonesia atau Persari.
Dari sinilah lahir film The Long March atau Darah dan Doa. yang syuting pertamanya pada tanggal 30 Maret 1950. Peristiwa ini dijadikan hari film Indonesia atau hari kelahiran film Indonesia. Cetek-Cetek Usman ini yang mendasarkan pembuatannya ialah bahwa film dia itu lahir daripada akar budaya bangsa. Dan hasil pemikiran bangsa serta dari satu karya seni yang bebas, artinya bebas itu bukan bebas seni untuk seni, bebas tidak dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh orang lain seperti propaganda dan sebagainya. Ini menjadi pegangan yang kemudian ingin dijadikan suatu pegangan yang menyeluruh dari pembuatan kelembagaan di Indonesia.
Orang menganggap bahwa ucapan itu atau sikat itu adalah sikat yang berpengaruh. yang perlu dikembangkan terus di negeri ini, sehingga tanggal pembuatan film tersebut dijadikan hari film. Darah dan Doa itu menggunakan bahasa Indonesia yang baik, latar belakang kulturan Indonesia, kemudian benar-benar itu yang disebut film Indonesia, itu sebabnya film di mana pertama kali shooting day dari film Darah dan Doa itu kemudian menjadi film. Saya biasa saja, bagaimana Surakitali mengatakan, kali mula ya tetap mulai.
Kalau dipikirkan sekarang, saya terhari. Dulu kita sama-sama memberita, sama-sama suka. Bersama dengan Bung Usmar Ismail, kemudian beberapa teman-teman, kenapa kita tidak bikin film perjuangan itu? Maka...
ada Darah dan Doa, 6 Jam di Jogja, itu para pelaku adalah mahasiswa. Delma Yuzar, Del Yuzar, kemudian Surito, yang main di Darah dan Doa, dan Awaludin, dan apa itu, pembantu, itu semuanya mahasiswa. Pak Usmar sebagai seorang bapak perbenaran di bidang mahasiswa. Karya kreatifitasnya, Pak Jamal di bidang industri-nya, Pak Surya Sumoto di bidang artisnya.
Jadi tiga orang inilah yang juga mewarnai dalam menyusun dan mengembangkan kebijakan pemerintah waktu itu. Sehingga terjadilah. organisasi-organisasi perfilman, apakah itu PPFI, apakah itu PARFI, apakah itu karyawan film, semuanya berkembang itu. Nah, di sana baru muncul pemikiran-pemikiran untuk dikembangkan menjadi satu kebijakan yang tidak merugikan kepentingan bangsa, kepentingan orang film, dan kepentingan masyarakat.
Terima kasih. tumbuh dalam semangat idealistik. Film merangkum perjuangan jati diri bangsa, pencerdasan masyarakat, dan nasionalisme industri. Sistem dan infrastruktur mulai tersusun. Produser Cina bangkit lagi, kembali membuat film-film menghibur dan lagu.
Mereka juga mendatakan film-film dari Filipina, Malaysia, dan India, yang kemudian menguasai bioskop. Bapak, aku kembali. Dr. Huyung atau Enak.
Suhei Taro mulai meneriakan perlunya Undang-Undang Perfilman. Saat itu, organ pemerintah yang berkaitan dengan film hanya badan sensor film. Masyarakat dan PR semula jengkel karena dominannya film hiburan. Sementara film berkualitas tidak kebagian tempat. Perjuangan pertama-tama adalah bagaimana bisa putar film Indonesia di bioskop, di teater sinema-sinema, di Jakarta ini, di Surabaya dan sebagainya.
Jadi sasaran itu gimana sih supaya film Indonesia bisa ditonton di dalam bioskop yang betul. Nah maka apakah kita perlu membentuk satu kelompok yang mempelajari film, mengapresiasi film, mengapa film Indonesia apa lemahnya, di mana letak kekuatan dari asing dan kelemahan film Indonesia itu. Jamaluddin Malik dan Usmar Ismail tahun 1954 Membentuk organisasi gabungan produser film Indonesia Kemudian menjadi perserikatan produser film Indonesia Belakangan menjadi persatuan perusahaan film Indonesia atau PPFI Ibu terlalu mementingkan diri sendiri Yang seniman itu beranggapan bahwa film itu harus film yang bermutu, sedangkan para pedagang film itu dan pengusaha bioskop tentu mengejar nonton. Nah inilah terjadi perselisihan paham antara kedua belah pihak, akhirnya dicarikan upaya jalan keluar menjadikan satu event nasional yaitu FFI Festival Film Indonesia.
Tahun 1955, pertama kalinya ada festival film Indonesia. Hasilnya menuai kontroversi, karena film terbaik jatuh pada lewat jam malam karya Usmar Ismail. Tetapi sutradara terbaik adalah Lili Sujio lewat film Tarmina.
Aktor dan aktris terbaik masing-masing dua orang dari kedua film itu. Mereka adalah A.N. Alkaf dan Abdul Hadi, serta Dahlia dan Vivian. Film di sini harus dinilai sebagai bagian dari alat pembangunan bangsa. Film bukanlah hanya harus dilihat sebagai satu industri semata, tapi dia alat untuk membina bangsa.
Makanya itu perlu dibantu oleh pemerintah. Hal ini memakan waktu yang panjang sekali untuk meyakinkan pemerintah, sehingga barulah tahun 1964 pemerintah, yaitu halnya Presiden Soekarno, melahirkan suatu penpres yang menetapkan... bahwa Departemen Penerangan sebagai pembina Perpilaman Nasional.
Ini suatu kemajuan yang besar sekali, bahwa pemerintah sekarang menetapkan ada satu kementerian yang bertugas untuk membina Perpilaman Nasional. Tetapi ini pembinaan ini kemudian ditentang oleh kalangan kiri. Yaitu kalangan PKI dan sebagainya.
Karena di dalam Pempres ini disebutkan bahwa pembinaan film nasional itu berdasarkan Pancasila. Itu antara lainnya yang paling penting sehingga tidak setuju oleh kalangan kiri. Karena bagi kalangan kiri, Pancasila itu hanyalah alat pemersatu, bukan warsawabah bangsa.
Tahun 1956, para wartawan film mendirikan Persatuan Pers Film Indonesia atau PERFEPI. Suryo Sumanto merintis berdirinya Persatuan Artis Film Indonesia atau PARFI. Melalui organisasi-organisasi perfilman ini, dilakukan aksi melawan dominasi film impor dari Filipina, Malaysia, dan India. PPFI melakukan aksi tutup studio.
Tetapi menurut kalangan komunis, penyebab merosotnya film Indonesia adalah produk-produk Hollywood. Terjadi pertentangan tajam antara orang film yang dilatar belakangi politik, antara komunis dan non-komunis. Pada saat itu terjadi apa yang kita sebut dengan masuknya ideologi.
Kedalam perfilmen nasional, kedalam orang-orang film. Nah disinilah terjadi dua kubu. Kubu Pak Usmar sama Pak Jamal, Pak Manto, kubu dari Lembaga Kebudayaan Rakyat waktu itu. Terasa sekali waktu itu. Nah, kebijakan tentu tergantung daripada tren politik pemerintah waktu itu.
Ternyata, dua kubu ini sangat berlapanan sekali, sehingga... Terjadilah puncak daripada pengembangan profilman dikaitkan dengan idealisme tadi. Industri firm nasional itu telah mengalami kebangkrutan akibat banyaknya pertikaian yang terjadi pada tahun 60-an.
antara kalangan film Indonesia sesama mereka yaitu antara yang pro dan kontra ditambah antara yang pro dan kontra kiri dan kanan ini progresif yang mereka menamakan ini progresif revolusioner dan katanya anti revolusi juga dalam keadaan ekonomi Indonesia yang semakin memburuk maka pada tahun tahun 65 sampai 45 kita lihat ada berbagai bentuk setadara, setadara dari teater, setadara yang tumbuh dari workshop-workshop dan sekolah di luar negeri, entah itu di Hollywood, entah itu di Eropa dan sebagainya. Dan kemudian setelah sejadadara yang mulai tumbuh dari magang film. Itu kalau kita lihat apa yang menjadi persoalan pokok pada saat itu, ya masalah politik. Akhirnya ketika politik itu bertarung pada puncaknya, ya akhirnya film juga mengikuti itu. Ini yang membuatnya terjadi.
membuat FFI gagal tersenggara tahun 1957, 1958, dan 1959. Apalagi Jamaluddin Malik dikenai tahanan rumah dalam kasus politik. Begitu bebas tahun 1960, dia membuat FFI yang kedua. Pemenangnya film Turang, berikut sutradaranya Bahtiar Syagian yang berhaluan komunis.
Di ajang Festival Asia Tokyo, film Turang Gagal mendapat penghargaan, sementara artis Suzana yang memintangi film Asramadara karya Usmar Ismail, meraih penghargaan sebagai aktris cilik terbaik. film bukan hanya hiburan film juga alat pendidikan film juga pembina nilai value formation membentuk nilai itu Era 1960-1966 adalah masa ketika pergulatan politik ikut mewarnai gerakan kesenian dan kebudayaan, termasuk perfilman nasional. Setelah ikut membuat film-film menghibur, di antaranya Gaya India berjudul Tiga Dara, Perfini melahirkan film Pejuang yang menghantarkan Bambang Hermanto menjadi aktor terbaik Festival Moskow tahun 1961. Enak ya jadi komandan? Kau mau jadi komandan?
Tampangmu juga bukan tampang komandan. Tahun 1962, Jamaluddin Malik dan Usmar Ismail bekerjasama dengan produser Filipina membuat Holiday in Bali, yang merupakan film berwarna pertama. Dilanjutkan kerjasama dengan Singapura, membuat film Bayangan di Waktu Fajar.
Setelah Odari-odari lemak kondisi baru Odari baru ditata oleh Pak Ali Murtopo Barulah pengembangannya itu Dikaitkan dengan nilai-nilai Idealisme maka dibentuklah perangkat-perangkat yang mengacu kepada pengembangan perbunuhan nasional. Contoh misalnya Dewan Film, kemudian BBBN, semuanya itu. Perangkat-perangkat itu dikaitkan dengan nilai-nilai landasan. perundang-undangannya, landasan idealnya, dan landasan operasionalnya. Secara politik, pemerintah merangkul perfilman dengan dibentuknya Direktorat Film Departemen Penerangan.
Pejabatnya Dr. Andes Syuman Jaya, lulusan Akademi Sinematografi Moskow tahun 1965. Selanjutnya dibentuk Dewan Produksi Film Nasional atau DPFN yang menghasilkan sejumlah film percontohan. Antara lain, film Apa Yang Kau Cari Pak Lupi, karya Asrul Sani. Pada tahun 1970, Apa Yang Kau Cari Pak Lupi, menjadi film terbaik festival film Asia.
Pertama kalinya, film Indonesia mendapat penghargaan di ajang festival internasional. Tahun 1967, Syuman Jaya sebagai pejabat pemerintah yang sekaligus pekerja film, mendorong terselenggaranya pekan apresiasi film. Ini yang kemudian dianggap sebagai FFI ketiga.
Tidak ada film terbaik. Sedangkan sutradara terbaik adalah Misbah Yusabiran, lewat film Di Balik Cahaya Gemerlapan. Intro Tahun 1970, kalangan wartawan melalui PWI Jaya Seksi Film, diplopori Rosihan Anwar, Harmoko, Zul Harman, membuat festival bertajuk pemilihan Best Actor dan Actress. Pada tahun ketiga penyelenggaraan, yakni 1973, bertuburkan dengan FFI yang digelar oleh Yayasan Film Indonesia atau YFI. dengan pelopornya Turino Junaidi.
Dua versi festival ini berlangsung sampai 1975. Pemerintah memaksa versi PWI diintegrasikan dengan FFI. PWI gabung dengan YFI sebagai penyelenggara FFI yang didukung resmi pemerintah. Setelah itu, FFI berlangsung rutin dengan ketua penyelenggara bergantian dari organisasi perfilman. Bagaimana cara untuk mengembangkan, mendorong produksi film nasional dengan kita mengadakan the best actor, best actress itu.
Itu kan PWI Jaya itu, terus diambil oleh PWI Pusat, kemudian diambil oleh pemerintah dan Dewan Film. Masa hari akan tenggelam, dan malam tiba. Tidak bisa bernyanyi di tembok, rembulan berlayar. Di Bandung, sama kamu juga?
Sebelumnya belum pernah? Belum? Dan mulai muncul film-film yang mulai bermutu, yang bisa dibawa ke pasar-pasar dunia internasional.
Munculan nama-nama baru seperti Selamat Tera Harjo dan sebagainya. Atau Teguh Karya dan apa yang... Wim Umbok, kita mengenal Sumanjaya, kita mengenal Ami Puryono, kita mengenalnya Abbas Akub, itu 70-80 gitu.
Mereka mengalami pengetahuan film dengan praktek, tapi juga mengalami workshop dan sekolah di luar negeri, dan mengalami dunia teater, rata-rata gabungan seperti itu. Jali-jali Dekade 1970-1980 merupakan masa terbangunnya fondasi apresiasi yang penuh semangat dari masyarakat menuju tertatanya infrastruktur perfilman nasional berikut regulasinya. Engkaulah bayangan Waktu subuh mendatang Persoalan sekarang bukan lagi bagaimana film Indonesia masuk ke dalam bias ko bukan itu lagi tapi bagaimana film Indonesia mempunyai arti punya makna itu saya kurang senang dengan gaya-gaya hantu-hantu kita kehabis nonton itu enggak ada kesan itu jadi sewot itu apa jadi kalau kita nonton darah dan doa misalnya dari punya usmar atau namjam diyogya kan kita habis nonton Nonton kita masih duduk termenung dan itu ada suatu hal yang kita bawa di dalam hati. Panggilan, bisa pakai peskot.
Sudah damannya. Biar, tidak peduli. Memang aku sudah tahu semuanya mata duitan. Itu seiring dengan seluruh perubahan di dalam masyarakat, kalau kemudian kita lihat tahun 70-80, sutradara-sutradara itu bertemu dengan kebudayaan populer Indonesia yang terkenal, novel-novel yang terkenal, seperti Badai Pasti Berlalu, komik-komik yang terkenal pada waktu itu, cerita-cerita silat, sehingga ada Panji Tengkora, Natspeda, dan sebagainya.
Jadi, sutradara-sutradara Indonesia yang berubah. Gabungan antara teater, sekolah di luar negeri, khususnya di Eropa, bertemu dengan kebudayaan pop Indonesia. Pada waktu itu, dengan TVRI masih satu-satunya, film Indonesia menjadi anak emas waktu itu. Jadi, tontonan audiovisual yang menjadi anak emas adalah film Indonesia. Tahun 1981 dibentuk Dewan Film Nasional atau DFN.
Setahun berikutnya, tahun 1982, FFI diambil penyelenggaraannya dari YFI oleh Dewan Film Nasional di bawah Departemen Penerangan. Tahun 1985, FFI ricu oleh isu korupsi. Tahun 1987, Dewan Film Nasional dan Departemen Terberangan membentuk panitia tetap FFI untuk masa kerja 5 tahun. Sampai tahun 1992, masa kerja pantap FFI habis. FFI 1992 menjadi FFI terakhir, sampai 12 tahun kemudian.
Orang serakah, kecil. Bangun! Bangun! Dalam semangat melindungi perfilman nasional, lahir Undang-Undang nomor 8 tahun 1992 tentang perfilman. Ular beludak.
Lahirnya Undang-Undang Perfilman melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat, serta melalui rintisan yang panjang dengan semangat memberikan perlindungan pada perfilman nasional. Melalui undang-undang perfilman ini, pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan sekaligus perlindungan pada film nasional, di mana saat itu dominasi film-film impor semakin merajalela. Kebijakan Open Air Policy melahirkan sejumlah televisi swasta yang memperlakukan film dengan kecenderungan mematikan produksi lokal.
Kemudian terjadilah revolusi teknologi televisi, multikanal, revolusi teknologi digital sehingga yang analog itu hancur, lab-lab hancur. Siapa yang tumbuh pasca ini? Anda akan lihat setadara yang tumbuh pasca 90 adalah pertama banyak setadara yang work. workshop-workshop ataupun sekolah di Amerika jarang yang dari Eropa malah agak terbalik kemudian yang kedua sudah ada yang tumbuh dari dunia entertainment televisi dari video klip dan macam-macam macam-macam itu itu tumbuh dari situ kemudian sutradara yang tumbuh dari magang film tetap aja yang tumbuh dari generasi tahun 70-80 tetap mencipta sampai sekarang banyak sekali masih anak-anak muda seperti zaman dulu sampai sekarang sebetulnya mereka itu memiliki bakat yang luar biasa orang Indonesia itu bakat bakatnya tinggi Tetapi yang paling menguntungkan bagi anak sekarang dalam keaktoran, dia telah banyak sekali bandingan.
Film asing bisa masuk begitu juga, demikian banyak. Tetapi ada juga yang membuat anak sekarang ini menjadi rugi, karena apa? Di dalam hal ini, sistem produksi yang begitu ketat dan sangat sekali kehilangan masa persiapan, telah membuat mereka kehilangan pengendapan.
Kedalaman, baik itu cerita maupun cara acting dan sebagainya, karena waktunya nggak cukup. Selama satu dekade berikutnya, hingga tahun 2000, pelaksanaan undang-undang perfilman tidak mampu menolong perfilman nasional. Dominasi sistem kapitalistik yang mewarnai perfilman dan televisi memperosokkan film Indonesia ke fenomena film-film bertema seks dan mistik.
Setelah film-film jenis itu bertahan sampai beberapa tahun, perfilman Indonesia akhirnya memasuki apa yang disebut mati suri. Ditandai dengan bangkrutnya bioskop... bioskop di berbagai daerah, serta surutnya secara drastis produksi film nasional.
Upaya-upaya penggerakan film nasional dilakukan dengan adanya fasilitasi-fasilitasi dari pemerintah untuk membuat film berkualitas. Muncul antara lain film Cemeng 2005, karya N. Riantiarno.
Bulan Tertusuk Ilalang, karya Garim Nugroho Fatahillah, karya Hairul Umam dan Imam Tantowi Berikutnya muncul film Daun di atas bantal karya Garin Nugroho bersama produser dan artis Christine Hakim. Walau film-film tersebut sulit diterima masyarakat Indonesia, kehadirannya bisa membawa nama Indonesia di ajang Festival Film Internasional. Masa suram perfilman nasional mencapai puncaknya. Tak kalah iklim politik bergejolak menjelang tahun 2000. Era Orde Baru tumbang dalam sebuah gerakan reformasi. Organisasi-organisasi perfilman yang menjadi tiang penyangga perfilman nasional ikut lumpuh.
Departemen Penerangan yang menjadi naungan perfilman nasional dibubarkan pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah mati suri, perfilman nasional kehilangan induk. Dekade selat tahun 2000 adalah masa bergeraknya kembali perfilman nasional. Dimulai dengan munculnya film Petualangan Sherina, karya Riri Riza. Disusul Ada Apa Dengan Cinta, karya Rudy Sujarwo.
Kedua film tersebut produksinya dibawa arahan Mira Lesmana. Nama-nama seperti Riri Riza, Rudy Sujarwo, dan Mira Lesmana kemudian dianggap sebagai bagian dari penggerak bangkitnya kembali perfilman Indonesia. Era baru ini selanjutnya ditandai dengan munculnya sejumlah pemilik modal yang memproduksi film Indonesia. Muncul antara lain film Cabaukan karya Nia Dinata. Disusul film-film selanjutnya seperti Arisan dan Berbagi Suami.
Selanjutnya muncul film-film seperti Jalangkung karya Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. 5 sehat 4 sempurna karya Richard Guntario. Pembuatnya, kalangan pembuat video klip dan iklan serta pelaku industri televisi. Sementara itu para pelaku industri perfilman yang terdiri dari kalangan...
India dan Cina bergerak lagi antara lain dengan memproduksi film laris, Kafir, karya Mardali Syarif, Evil I'm in Love karya Nasri Cakri film-film yang sekarang ini muncul di layar putih adalah hasil karya generasi muda yang sebetulnya agak terputus dari sejarah bangsanya sebelumnya karena ada semacam masa mati yang panjang antara tahun 1900 sampai lahirnya film-film biskup sekarang ini kebijakan dalam pembinaan per film zaman satu saya dorong industri nya jadi industri dorong biar jumlahnya jadi banyak yang kedua kebijakan yang kedua yang membina vela budayanya jadi menjaga agar film itu jangan keluar rel ya karena ini akan menjadi identitas bangsa jadi lembaga sensor harus tetap bekerja menjaga film itu ya badan pengembangan perempuan nasional BP2N harus bekerja ya festival film dilakukan sehingga setiap tahun kita bisa menemukan mengevaluasi bagaimana film kita masih dalam jalur kah masih cocok kah atau ada beberapa yang keluar jalur ini dijaga jadi itu kebijakan yang yang saya dari terus dari dari hari ke hari dari bulan ke bulan terus dilakukan film Indonesia bangkit kembali setelah satu dekade mengalami mati suri Kebangkitan kembali film Indonesia pada tahun 2004 berlangsung mulai ketika negeri ini secara politik di bawah pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masa ini perfilman nasional berada di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan menterinya I.R. Gerowacik S.A. Intro FFI yang 12 tahun terhenti, pada tahun 2004 kembali diselenggarakan atas farsilitas dari pemerintah. Seperti mengulang sejarah, ajang apresiasi, kompetisi dan pesta insan film ini diwarnai adanya ketidakselarasan antar masyarakat perfilman nasional.
Situasi ini membuktikan buruknya kualitas penyelenggaraan FFI dan rendahnya kompetensi. Ketidakselarasan itu memuncak tahun 2006. Tak kalah sejumlah penerima piala citra mengembalikan simbol penghargaan dari FFI tersebut. Baik dalam sisi pelaksanaan dan sisi finansial.
Peristiwa ini berbuntut pada dibatalkannya keputusan Dewan Juri FFI atas film Ex-School karya Nayato sebagai film terbaik FFI 2006 oleh Badan Pertimbangan Perfilman Nasional sebagai penyelenggaran FFI. Ini perbuatan kriminal, Jos. Kamu bisa dipenjara seumur hidup. Aku nggak takut. Paling masuknya penek-anak.
merupakan masa pembelajaran kembali bagi masyarakat film, juga bangsa, dalam mengelola iklim kebebasan dan demokrasi di era reformasi. Film Indonesia berada dalam simpang jalan sebagai karya cipta budaya dan produk industri. Menjelang tahun 2010, pergerakan film nasional ditandai dengan produksi film-film bertema horror, mystic, dan tema remaja.
Masa ini juga ditandai aktifnya kembali pelaku industri film yang sempat berhenti produksi. di masa perfilman nasional Mati Suri. Jumlah film yang diproduksi dari tahun ke tahun meningkat, berkisar antara 30 sampai 40 judul. Namun, saat jumlah produksi film Indonesia meningkat, Sarana untuk pertunjukannya berupa gedung bioskop terasa kurang memadai.
Pertunjukan film di Indonesia pada dekade ini hanya bertumpu pada bioskop jaringan Cineplex 21 yang terbatas hanya di kota-kota besar. Nah sekarang sudah mulai banyak filmnya. Karena banyak filmnya maka mulai kekurangan gedung. Nah karena itu saya membuat regulasi agar mulai tumbuh lagi gedung-gedung bioskop yang dulu pernah ada. Setiap kabupaten ada.
Paling tidak dua atau tiga gedung bioskop pada zaman dulu Sekarang semua itu sudah hilang Sebagian kecil yang masih hidup Dan hanya di kota-kota besar ada gedung bioskop Ini kita regulasi Agar boleh lagi sekarang membuat gedung-gedung bioskop yang baru Kan berbeda, eranya sudah era demokrasi Jadi demokrasi ini juga merambat ke perveleman Kita buka ruang-ruang Agar kita bisa membuka kreativitas Membuka gedung-gedung baru Dan undang-undang perveleman lah yang akan muaranya Intro Kini layar baru telah terbentang Kebangkitan kembali film Indonesia tengah berlangsung Film Indonesia bangkit menuju citra baru Nah, cita-cita saya sederhana dan real ya. Pertama, jumlahnya harus banyak. Berapa banyaknya?
Nah, ini. Dulu hanya 3-5 per tahun, sekarang sudah sampai pada 50-an. Malah tahun ini sudah bisa sampai sekitar 80 film setahun. Saya punya pikiran 100 mestinya bisa, nanti suatu saat 200 per tahun. Kebangkitan kembali film Indonesia dimulai dari munculnya semangat untuk memproduksi film Indonesia yang dilakukan sepenuhnya oleh pelaku perfilman.
Berikutnya adalah tergugahnya kembali masyarakat untuk mempercayai bahwa film Indonesia pantas untuk disaksikan di gedung bioskop. Jika sebelum tahun 2004 jumlah produksi berkisar sekitar 5 judul, maka tahun-tahun berikutnya terus meningkat. Tahun 2008 jumlah produksi mencapai sekitar 80 judul film. Memang jumlah ini belum bisa menyamai jumlah produksi film Indonesia dekade 1980-an yang mencapai 120 judul per tahun. Namun setidaknya kenaikan jumlah produksi dari tahun ke tahun sejak...
tahun 2004 itu memberikan bukti bahwa film Indonesia memang sedang bangkit tapi kalau jumlah saja tidak cukup, mutunya harus baik nah sekarang sudah mulai kelihatan, film-film kita sudah mulai bermutu Malah ada beberapa yang bermutu tinggi Nah indikatornya adalah Bangga orang Indonesia punya film-film itu Kemudian senang menontonnya Jadi kalau film Indonesia sudah ditonton berbingku-bingku Sampai antri, sampai ke daerah-daerah dimanapun Walaupun diputar ngantri masyarakat kita menonton filmnya sendiri, itu artinya sudah bangga dan memang filmnya bermutu. Potensi yang tumbuh dari masyarakat perfilman pada gilirannya membutuhkan tatanan industri yang memadai, serta pembinaan untuk menjadikan film tetap sebagai sebuah karya cipta seni budaya yang memberi manfaat bagi masyarakat. Dan gue gak suka sama lo Bang Aji.
Dinamika demokrasi di Indonesia memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk berekspresi melalui film. Sementara film sebagai produk industri kreatif yang dikonsumsi publik atau masyarakat luas Membutuhkan peran serta pemerintah sebagai fasilitator Tantangannya adalah sebetulnya sama dengan tantangan pembangunan ya mempersatukan masyarakat itu yang kuncinya seorang leader di dalam negara yang memasuki era demokrasi mempersatukan semua komponen disana lalat Tantangannya. Jadi harus sabar, harus merangkul semua, harus bisa mengerti apa yang dipikirkan oleh semua komponen, ada masing-masing berpikir dengan caranya sendiri. Pemimpin ini harus bisa merangkul semua, dan meyakinkan mereka, ini negeri kita, film milik kita semua.
Jadi semua insan film tidak boleh ada di luar lingkaran, semua masuk dalam lingkaran, kita benahi semua. Jadi kalau ada yang mengatakan misalnya, FFI jurinya kurang baik, mari menjadi... dijuri, kalau ada yang mengatakan panitianya kurang sempurna mari sempurnakan masuk mari kita kawal film ini sehingga ke depan makin banyak jumlahnya, makin tinggi mutunya dan tetap dalam koridor kebudayaan Indonesia Semua film sudah digaranti, sudah dijaga, sudah disensor dengan baik, jadi hal-hal yang di luar jalur, sangat di luar jalur sudah kita amankan. Film ini sangat menjanjikan masa depan bangsa. Film ini sangat...
besar perananya pada pembangunan bangsa. Mari kita jaga film, mari kita dorong film, bersama-sama. Jadi saya melihat senior-senior muda, senior-senior tua, bintang film, karyawan film, semua, industriawan film, mari bersama-sama.
Film Indonesia saat ini sudah bangkit kembali. Eksistensinya ditandai dengan jumlah produksi yang terus meningkat, serta semakin banyaknya masyarakat terlibat dalam kegiatan perfilman. Selain film-film industri yang tumbuh, juga berkembang film-film yang disebut sebagai karya independen. Organisasi-organisasi perfilman kembali memainkan perannya, baik organisasi-organisasi lama maupun yang baru.
Di berbagai kota dan daerah bermunculan komunitas-komunitas film dengan berbagai kegiatannya. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan-kegiatan festival film, baik dalam skala lokal maupun nasional, bersifat khusus maupun umum. Selain produksi film dan kegiatan perfilman yang terus meningkat, capaian jumlah penonton film Indonesia juga semakin tinggi.
Ini berarti berlangsung peningkatan apresiasi di kalangan masyarakat penonton. Jumlah penonton Indonesia Jumlah penonton film Indonesia yang disebut laris saat ini bisa mencapai angka 4 juta penonton. Saat film Indonesia sudah bangkit, maka kebangkitan itu membutuhkan pengelolaan yang memadai dan berkesinambungan. Pengelolaan ini mencakup banyak sektor sesuai dengan sifat dan karakter film yang multilayer. Dari masalah regulasi sampai penyediaan fasilitas menjadi sangat penting.
Apa yang disebut infrastruktur industri perfilman sudah saatnya untuk diwujudkan kembali setelah berantakan selama dua dekade. Sejarah terus berjalan, perfilman Indonesia terus berjalan sebagai bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Perjalanan sejarah bisa meningkat, tapi juga bisa menurun, bisa maju ke depan, bisa mundur ke depan.
Kita tentu berharap sejarah perfilman dan bangsa ini menuju ke arah yang lebih terhormat, sehingga memberi martabat di tengah budaya dan industri dunia. Jumpa di dalai panggalan Senja nyawamu