Yang pertama membingungkan, seperti kena prank. Jadi awalnya itu kan soal usia, udah telanjur seneng. Lalu di ujungnya tiba-tiba ada anak kalimat.
Dan anak kalimat itu tiba-tiba menjadi seperti paspor untuk seseorang bisa menjadi calon wakil presiden. Jangankan saya yang awam soal hukum, lah orang-orang hukum aja bingung. Semua orang bingung, ini maksudnya apa tuh? Jadi mau berpendapat apa pun gak ngerti, bingung.
yang pakar hukum pun bingung, asuh tak. Ya, sikap kami dari Projo untuk uji materi DMK terkait batasan usia cawapres tersebut tidak mengalami perubahan sejak uji materi itu dilangsungkan sampai diputuskan kemarin. Kami selalu menyampaikan... bahwa mekanisme uji materi DMK itu adalah mekanisme yang sah. Yang sah.
Jadi siapapun boleh melakukan itu. Nah, upaya dari sekelompok orang atau warga negara melakukan uji materi, saya pikir harus dimaknai sebagai upaya mereka berpartisipasi untuk memperbaiki konstitusi kita. Kami tidak dalam posisi bertindak sebagai pemohon. Dan sejak awal kami tegaskan bahwa kami sifatnya menunggu akan patuh. Ya, akan tunduk dan patuh menghargai apapun keputusan MK itu.
Jadi kita tidak ada dalam posisi sebagai blok yang pro atau kontra terhadap proses yang berjalan di MK. menghargai itu apapun keputusannya karena yang melakukan uji materi itu juga punya hak secara mekanisme itu sah apapun putusannya kita akan tunduk dan patuh pada putusan itu gitu Oh itu gak ada hubungannya sama Ganjar. Itu awalnya surat pribadi, tapi bocor.
Gak tau siapa yang membocorkan. Jadi sejak hari Kamis, Kamis itu di rumah saya mendapatkan sejumlah isu-isu politik, A1 informasinya, dan membuat siar syok. Jadi saya itu nangis.
Betul-betul, buah geng itu. Ngapapa pak nangis? Saya nangis itu karena...
Saya itu merasa ikut berpartisipasi, menyokong Pak Jokowi sejak 2014. Ini seperti amanah Reformasi 98. Ingin mempunyai presiden contoh role model, presiden yang baik, yang bekerja melayani rakyatnya. Dan dapat tahun 2014 itu, ini kayaknya jadi. Semua orang kawan-kawan diri.
Sektor apapun termasuk di ranah kebudayaan. Sebelumnya saya tuh cuek loh sama politik, saya banyak golputnya. Tapi hari itu karena saya ngikuti nasihat Romo Magde Suseno bahwa pemilu itu bukan memilih pemimpin yang terbaik, tapi mencegah yang jahat berkuasa. Maka saya terpaksa, terpaksa menampilkan diri untuk menyokong seseorang. Karena saya tidak ingin ada yang jahat berkuasa.
Harapan itu terpenuhi. Ketika pada akhirnya Pak Jokowi terpilih, bekerja dengan benar, melayani masyarakat, putra-putranya cuma jualan martabak, pisang, nggak ada ambisi politik. 2014, sempat ditampilkan lagi itu, waktu mau berangkat, itu culun-culun semua. Seneng aku ini, wah ini peris dan asu keren ini. Terus berjalan satu periode, bener banget seneng.
Apalagi juga sangat care pada kebudayaan. Terurus lah, semuanya terurus. Kita mendukung lagi 2019. Ini cuma tinggal berapa bulan akan menyelesaikan tugas-tugasnya. Saya sudah siap-siap bersyukur Pak Jokowi selesai tugasnya. Saya akan mempunyai role model pemimpin yang baik.
Ini baru matter. Kalau presiden kelak tidak seperti ini namanya presiden Belgedes. Saya batin, saya itu gitu.
Nah kok terakhir? Permainannya kok kayak gini, sedih. Jadi hari Minggu sore itu saya udah gak tahan.
Ini masih ada sisa waktu. Saya kirim surat itu. Dalam surat saya itu nadanya saya cuma, seperti yang kukatakan tadi, lalu saya cuma ingin berdoa supaya semesta membimbing.
Melahirkan mukjizat, melahirkan keajaiban. Karena dalam isu politik kayaknya sudah final semua, Pak Jokowi kekeh dengan keinginannya untuk goalnya memberangkatkan Mas Gibran jadi Wakil Presidennya Prabowo. Saya sedih, ini secara politik mahkamah konstitusi yang dilahirkan dari... Perjuangan Reformasi 98 yang melahirkan sejumlah nyawa.
Kok cuma untuk main-main urusan domestik sebuah keluarga? Perkara domestik kok yang dipertaruhkan bangsa dan negara? Ini asuh banget.
Saya harus melakukan sesuatu di sisa waktu. Ini masih ada waktu beberapa hari sebelum pendaftaran ke KPU, maka saya memberanikan diri menulis. Surat kepada Pak Jokowi, saya titipkan pada mensesnek dengan catatan ini surat pribadi.
Selama ini saya nggak pernah surat-suratan, kali ini bersurat. Saya tembuskan ke sejumlah teman saya yang bisa saya percaya, tapi bocor. Yaudah, ya nadanya itu seluruh impian saya, harapan saya termuat dalam surat itu.
Jadi habis melalui surat, saya tidur, bangun tidur, sudah banyak WA masuk. Ini bener kamu yang nulis, Ted? Duh, kok sudah beredar? Ya udah ngaku aja, iya. Itu tulisan saya.
Dan saya berharap Pak Jokowi baca, dan rupanya malam itu juga, sore itu, konon Pak Jokowi membaca surat saya. Saya tidak dalam posisi itu. Saya tidak dalam posisi ini memajukan atau memundurkan demokrasi.
Tapi ini adalah mekanisme yang sah. Kalau ini kemudian mekanisme ini tidak sah, ya dibuang aja mekanisme ini. Gitu lho. Dibuang aja mekanisme ini kalau memang dianggap memundurkan demokrasi.
Buat apa disediakan mekanisme ini? Gitu kan? Jadi tidak dalam posisi saya menjustifikasi.
Ini membuat mundur atau membuat maju. Kami jelas menghargai semua proses yang berjalan sejak awal ini, sejak sebulan, dua bulan sebelum putusan MK. Apalagi kami tidak dalam posisi sebagai pemohon, tidak dalam posisi kelompok yang melakukan uji materi.
Kita harus menghargai upaya-upaya. masyarakat yang melakukan uji materi tersebut dan kami selalu memaknainya ini adalah upaya dari warga negara untuk memperbaiki konstitusi hasilnya ya atau tidak, hasilnya baik atau tidak itu di MK gitu loh dan kami mematuhi putusan-putusan itu gitu pertama Ini perangkat demokrasi nasional yang diperjuangkan dengan pertaruhan nyawa. Lahirnya mahkamah konstitusi dan institusi-institusi lain yang melengkapi perjuangan reformasi itu diintervensi, disalahgunakan oleh kekuatan kekuasaan.
Tentang hal ini, awal Agustus saya menulis di Kompas itu, saya-saya judulnya mengerem keserakahan. Saya di situ mengatakan, Ketika seseorang berada di titik kulminasi, di puncak prestasinya, ketika dipuja-puja, diakui oleh level dunia, bahkan tingkat dunia Pak Jokowi itu mendapatkan pengakuan kepuasan publik 82 persen, itu tertinggi sedunia. Pada puncak seperti itu, falsafah Jawa itu langsung mengingatkan. Eling. Sangkan paraning tumadi Saat itulah langsung terjadi apa yang disebut Melek ngendong lali Orang gampang lupa Kepemilikan bukan materi ya Kepemilikan itu termasuk kekuasaan Itu membuat seseorang lupa Gampang tergelincir Saya khawatir hari ini Orang yang saya cintai, saya idolai Saya dukung sepenuh hati Kok tidak ada yang mengingatkan?
Dalam surat saya, saya cuma bilang, saya itu nggak punya kekuatan apapun. Saya bukan kader partai. Saya nggak ada kepentingan apapun dengan kekuasaan. Loh, saya juga bukan komisaris mana-mana. Teman saja semua.
Teman saya. Tapi orang yang bekerja di ranah kebudayaan seperti saya itu paling pol. Cuma bisanya mengingatkan pada situasi yang genting.
Pada momentum yang tepat mengingatkan Ngiling ke, Pak, ngiling Pak Ngiling sangat parah yang dimati Karena melek kui ngindong lali Saya tulis dalam surat Saya ingin di sisa waktu ini Cuma tinggal beberapa bulan ini Pak Jokowi itu bekerja seperti kemarin-kemarin itu loh Dengan gayanya seperti itu Waduh, aku punya idola yang bisa saya banggakan sepanjang masa. Indonesia pernah punya pemimpin yang dahsyat seperti ini. Rendah hati, dikritik minggu yang luyuh. Oh, dimaki pada level yang sarkastik. Bajingan tolol aja gak marah.
Disebut, fair on. Orang gak marah. Diolok-olok pelonga-pelongo Tak apa dia itu sudah merendahkan dirinya, merendahkan hatinya sedemikian rupa Yang ngocehnya sarkastik-sarkastik itu justru dicuekin, dikecilkan, dianggap nothing Nggak direken Kok hari ini tanpa saya terangkan pun Kecerdasan rakyat Indonesia sudah membaca hal-hal yang tersembunyi di balik peristiwa di Mahkamah Konstitusi Tempoh Hari.
Ya saya nggak tahu, saya nggak perlu mengulang-ulang opini publik karena publik kan punya kecerdasannya masing-masing. Saya tidak pernah mengatakan. Gimana membuktikannya?
Cawe-cawenya di mana? Pak Jokowi juga secara tegas selalu menyatakan bahwa dia tidak mau komentar, tidak mau campur tangan, gitu ya. Beliau selalu konsisten, urusan legislatif ya legislatif, urusan yudikatif ya yudikatif, eksekutif ya eksekutif. Beliau juga menghargai semua proses itu, gitu.
Jangan dikit-dikit kemudian campur tangan, dikit-dikit kemudian campur tangan gitu ya, gitu. Ya. Benar, semua itu tergantung pilihan rakyat pada akhirnya.
Ini mau disebut dinasti politik, ketoprak politik, dagelan politik, apa saja predikatnya bisa macam-macam. Mahkamah keluarga, saya juga melihat di medsos, ini aswa-suka pinter-pinter memaknai itu, ya sudah. Itu enggak masalah.
Saya juga tidak menyebut soal dinasti politik, cuma ini masalah kepantasan. Ukuran saya itu moral. Kalau saya melihat dari perspektif budaya itu moralitas, kepatutan, apa ya pantas.
Peristiwa kemarin ini, rentetan peristiwanya itu bagi saya ya, ini memberikan pembelajaran politik apa kepada publik. Pembelajaran apa yang bisa dipetik? Misalnya, satu contoh.
Kaisang dalam dua hari jadi anggota partai, hari ketiga jadi ketua umum. Saya tidak mengatakan di situ ada peran Pak Jokowi atau tidak ya, tapi bahwa ada fakta seperti itu. Pembelajaran kepada publik adalah, oh ternyata menjadi manusia instan itu sangat dimungkinkan di Indonesia.
Bayangkan, kalian ini. Orang-orang ini untuk menjadi pemimpin, naik jadi kelas manajer saja, atau naik kepala bagian saja, harus berjuang, gigi berjuang, menjadi orang yang dipercaya, berpengalaman, sampai akhirnya naik tangkatnya. Itu baru level ini loh. Kepala bagian, kepala seksi, kepala dinas. Ada tahapan-tahapan untuk mematangkan keperibadian seseorang, keterampilan, dan segalanya.
Ada proses, dua hari punya kartu anggota, hari ketiga ketua umum masuk tegui. Pembelajaran apa kecuali bahwa jadi manusia enestan itu pilihan. Bayangkan itu kalau nanti anak muda yang sedang bertumbuh hari ini, anak-anak remaja yang bertumbuh hari ini melihat peristiwa itu. Kalau gitu aku jadi Tarzan saja, gandul nama besar ayahku.
Gandulan jadi Tarzan, bisa lompat ahistoris, instan, gak ada etos, gak ada kegigian perjuangan. Bayangkan ketua umum partai, wah nasional lagi. Terus andekan kemudian misalnya Mas Gibran berangkat betul jadi Wak Pres karena memenuhi kriteria keputusan Mahkamah Konstitusi disebutkan sudah berpengalaman menjadi Wali Kota dan disebabkan karena pemilihan umum. Berpengalaman?
Dua tahun? Baru jalan 2 tahun, tugasnya itu 5 tahun. 2 tahun kok berpengalaman.
Lah saya ini belajar jadi aktor. 25 tahun saya itu baru menerima upah, jasa sebagai aktor. Mendapat legitimasi, pengakuan.
Menerima honorarium sebagai aktor. 25 tahun saya lalu merasa berpengalaman. Hari ini saya bisa transfer knowledge, berbagi pengalaman saya sebagai aktor, karena saya sudah merasa berpengalaman.
Seperempat abad lebih, sekarang sudah 40 tahun saya berteater. Saya baru berani mengatakan saya berpengalaman. Kalau hari ini karena ada satu keputusan dari Mahkamah Konstitusi, dianggap berpengalaman, dan yang dianggap berpengalaman itu percaya dengan itu, aduh.
Dan itu posisinya nanti adalah Wakil Presiden. Saya sedih. Tingkat kepatutan, kepantasan, kesadaran diri.
Kok aku cuma jadi benalu ya? Saya tuh malu. Olah ayah saya tuh juga orang terkenal.
Pak Bagongkus Sudiarjo tuh terkenal. Saya waktu itu berusaha menjauh untuk tidak menjadi benalunya. Tidak ingin menjadi tarasannya Pak Bagong, saya menghindar. Saya ingin tersandung-sandung, saya ingin berjuang dari nol. Orang mengakui keaktoran saya bukan karena saya anaknya Pak Bagong, tapi karena saya memang mampu bermain.
Saya jadi penulis misalnya. Ya saya memang harus bekerja keras, sampai tulisan saya itu bagus dan dipercaya oleh halayak. Itu etos. Saya pikir harus dipahami dulu dinasti politik dan politik dinasti karena ini tema yang sering kemudian dipertanyakan dalam setiap Kesempatan diskusi gitu ya Saya tegaskan kalau politik dinasti di Indonesia itu tidak ada Tapi kalau dinasti politik saya pikir itu hal yang umum Hal yang umum Dinasti politik itu kan Keterlibatan sebagian kelompok keluarga dalam aktivitas politik Dalam jabatan-jabatan politik ...posisi-posisi politik yang mereka dapat melalui proses elektoral.
Kalau politik dinasti, dia mendapatkan posisi dan jabatan politik tidak melalui mekanisme elektoral. Kalau politik dinasti itu nggak ada di Indonesia. Adanya di Korea Utara. Itu baru politik dinasti. Seperti monarki absolut.
Tapi dia tidak bisa dibilang monarki absolut karena dia republik. Tapi kalau dinasti politik... itu model politik yang umum itu yang terjadi dalam 100 sampai 150 tahun terakhir di muka bumi ini gitu ya bukan hanya di Indonesia di Amerika di India ya di Amerika ada Kennedy ada Roosevelt ada di India ada Gandhi itu ya ada Pakistan ada butuh di Indonesia contohnya dinasti politik ada di negara-negara sekolah gitu Tapi itu umum, biasa saja. Pengaruh generasi sebelumnya terhadap keturunannya itu juga relasinya sangat besar.
Kalau pengaruhnya positif, maka buat garis keturunannya juga mendatangkan impact yang positif juga dalam dunia politik. Tapi kalau generasi sebelumnya tidak memiliki pengaruh yang positif, bahkan negatif, maka... itu juga berdampak pada penerimaan masyarakat.
Jadi dinasti politik itu satu hal yang umum, biasa-biasa saja. Di Indonesia tadi saya bilang ada Pak Karno, kemudian ada dinastinya turun ke Ibu Megawati, dari Ibu Megawati turun ke Prananda, ada juga Mbak Puan gitu ya. Tinggalkan pada akhirnya kalau dia kemudian mau masuk dalam jabatan-jabatan politik, kuasaan politik.
Pada akhirnya kan itu diputuskan lewat keputusan rakyat. Ya kan, pilihan rakyat. Ada atau tidak dia di hati rakyat.
Nah waktu itu saya pikir Megawati ada di hati rakyat. lihat di periode 99 sampai dengan 2004 bahwa Megawati dapat pengaruh nama besar bapaknya saya pikir itu pasti pengaruhnya pengaruh positif gitu dan itu kan enggak ada salahnya itu Terjadi juga misalnya di Indonesia, mohon maaf ini misalnya ada Bapak SBI gitu kan, berkuasa dua periode. Kemudian Mas Ahe berkontestasi di Pilkada DKI gitu ya. Ya. Kan sempat terjadi.
Tapi ternyata kan tidak mendapatkan kemenangan di hati rakyat. Kan itu juga jadi faktor penentunya kan kemudian suara rakyatnya. Gitu loh. Gitu mbak. Jadi dinasti politik itu saya pikir satu hal yang umum.
Semua itu dikembalikan pada diri orang per orang karena itu hak orang untuk memilih. Mas Gibran punya hak untuk memilih, mempercayai tahayul yang bernama Benalu, tahayul yang bernama Tarsan itu jangan-jangan itu memang pilihan. Sumongo, Mas Gibran.
Semoga menjadi tarasan yang baik dan benar, mudah-mudahan jadi benalu cangkoan yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Tapi dalam doa saya kepada Pak Jokowi melalui surat itu, saya akan tetap mengharapkan Mas Gibran berkenan menolak. Menolak! Keinginan orang lain yang menjadikan dirinya wabres.
Please, tolak! Itu namanya keajaiban. Itu namanya untuk saya, muksizat.
Berarti ada muksizat. Muksizat itu bisa nyamperin Pak Jokowi atau nyamperin Mas Gibran. Menolak. Itu artinya Mas Gibran tidak menjadi penalu. Mas Gibran akan menggembeleng dirinya, menjadi calon pemimpin masa depan, mengkapitalisasi penolakan ini.
Dia punya bekal. Dia pasti akan ditepuk tangani oleh rakyat Indonesia. Loh, kesempatan ada, dia menolak.
Please, silahkan dikapitalisasi untuk modal keberangkatan nanti sebagai gubernur. Gubernur Jawa Tengah atau Gubernur DKI, 2029 nanti jadi Presiden, silahkan dikapitalisasi saja. Dan Pak Jokowi, wah!
Kalau itu terjadi, penolakan Mas Gibran itu, Pak Jokowi seperti Ibu Kartini, harum namanya. Saya pikir kan nggak ada salahnya juga. Gitu loh, nggak ada salahnya juga. Pada akhirnya kan rakyat yang menilai nanti di pemilu, di bilik TPS gitu loh. Ada nggak dia di hati rakyat gitu loh.
Tentu rakyat juga nggak bisa kita underestimate dengan pikiran rakyat gitu loh. Nggak bisa kita sepele dengan pikiran rakyat. Rakyat punya penilaiannya sendiri. Ini layak atau tidak, mampu atau tidak gitu loh. Ya pikiran sempit, nanti Zana Etes jadi Wakil Presiden gimana?
Pak Jokowi punya kegelisahan, saya pikir ada dua yang pertama. Yang pertama, beliau berharap kepemimpinan ke depan ini mampu memetik momentum. Momentum emas, momentum di mana Indonesia bisa lompat sebagai sebuah bangsa yang besar dengan tingkat perekonomian terbesar keempat ke depan.
Karena ada momentum bonus demografi di depan. Ada momentum bonus demografi ke depan dalam 11 sampai 13 tahun ke depan. Nah ini momentum bonus demografi ini kalau tidak dikelola dengan baik, kalau pemimpinnya tidak memahami bagaimana mengelola momentum bonus demografi, ini bisa jadi bencana.
Harusnya dia bisa jadi inset. negatif pertumbuhan ekonomi malah dia bisa jadi bencana itu satu saya pikir ya ini kesempatan kita untuk bisa jadi bangsa besar ada di sini kalau nggak kesempatan ini nggak akan datang lagi dalam 100 tahun 200 tahun kedepan gitu jadi momentum ini harus kita jemput kita petik kita kelola dengan baik supaya bangsa ini bisa take off bisa lompat gitu loh Hai nah yang kedua kegelisahan kedua adalah hai hai Beliau berkeinginan bahwa ada kelanjutan, ada kelanjutan. Jadi kepemimpinan nasional ke depan, beliau mengharapkan bisa melanjutkan semua fundament pembangunan yang sudah dilakukan oleh Pak Jokowi untuk rakyat. Ada infrastruktur di mana-mana, ada IKN misalnya. Beliau berharap ini bisa dilanjutkan.
oleh kepemimpinan nasional ke depan yang dihasilkan melalui pemilu 2024. Kalau memang itu serius. Usia misalnya disetujui menjadi boleh 35 tahun, itu disetujui, saya pikir iya. Tapi tidak harus pakai embel-embel pernah menjadi wali kota atau gubernur ikut pemilihan umum.
Itu kan kalau dengan anak kalimat seperti itu, itu kan terbaca spesial hanya untuk satu orang, untuk Gibran doang. Sekarang Anda bayangkan ya, kalau hari ini ada... Orang seumuran Gibran, 35 tahun, jadi advisor-nya presiden di mana? Misalnya di Mesir. Karena kecakapannya, visi, perspektif politiknya, jadi advisor-nya presiden di luar Indonesia.
Tapi dia nggak pernah ikut pemilu loh di Indonesia. Lalu dia pulang. Berarti dia nggak punya hak.
Padahal usianya 35. Itu apa? Itu diskriminatif. Berarti hanya... Seseorang yang pernah ikut pemilihan umum jadi ikut di pilkada baru boleh menjadi pemimpin bangsa Nggak adil Sekarang kawan-kawan kita anak-anak muda ini yang menguasai dunia IT Mana pernah mereka itu mimpi jadi ASN atau mimpi ikut pilkada tapi keahliannya mungkin jadi advisornya para pemimpin dunia bisa terjadi Lalu dia nggak boleh Berkesempatan jadi wapres, nggak adil kan?
Diskriminatif. Ya berarti kemarin ini... Keputusan Mahkamah Konstitusi berikut anak kalimatnya itu semata-mata hanya disiapkan ditujukan untuk memberangkatkan Mas Gibran putranya Pak Jokowi dan Ibu Iryana ini yang cuma urusan domestik masa perkara domestik kok mempertaruhkan bangsa dan negara itu Yahil yang mustahal tuh Pengrakyatnya ini juga diberi akal seyahat dan kemarasan. Kalau saya pribadi saya mendukung, kalau saya pribadi saya mendukung Mas Gibran maju dalam kontestasi ini. Karena politik itu momentum, Mbak.
Tidak ada hari esok. Politik itu momentum. Sekarang atau tidak sama sekali.
Kalau menurut saya pribadi loh ini. Jadi saya mendukung. Pencalonan Mas Gibran sebenarnya Karena saya percaya Mas Gibran ini Punya visi, punya kemampuan Punya kepemimpinan Dan saya pikir Kepemimpinan muda ini harus diberikan tempat Diberikan kesempatan yang sama Karena ini belum mendaftarkan ke KPU, bersama-sama saya saja berdoa semoga ada mukjizat. Tuhan itu ajaib loh, suka berbagi mukjizat.