Transcript for:
Fenomena 'Jawa Hama' dan Dampaknya

Assalamualaikum Br. Selamat datang kembali di Guru Gembul Channel. Desember tahun 2024, media sosial kita itu dihebohkan oleh sebuah video yang menampilkan klub motor yang ada di Nganjuk, Jawa Timur itu melakukan tindakan yang sewenang-wenang dan cenderung menjijikan di sebuah Indomaret. Jadi, mereka datang beristirahat, tapi istirahatnya bukan istirahat biasa aja. Mereka guling-guling, mereka rebahan, mereka sandaran, mereka ngambil makanan dan minum seenaknya. Mereka menghalangi orang-orang yang mau berbelanja dan mereka begitu santainya menganggap bahwa Indomaret itu sebagai rumahnya sendiri. Itu tentu saja menjadi sebuah pemandangan yang menyebalkan. Orang yang nonton video itu dirasuki oleh amarah dan rasa malu. Kok gitu ada orang yang bisa sampai segitunya. saya geng motor aja enggak gitu-gitu amat gitu dan lain sebagainya. Dan setelah kolom-kolom komentar yang penuh dengan hujatan dan caimaki itu mulai muncul hujatan caimaki yang didasarkan pada cerita-cerita rasisme. Tebak suku. Suku apa tuh kira-kira? Kalau kami orang Sumbawa tidak mungkin kayak gitu. Itu pasti ada di sana dan lain sebagainya. Dan ujung-ujungnya baru ada kata Jawa hama. Nah, istilah Jawa hama itu menjadi populer karena selain lebih enak disebut Jawa hama gitu ya, itu juga sebenarnya adalah reaksi kolektif masyarakat terhadap ketidaksukaan mereka terhadap orang-orang Jawa. Saya menduga bahwa istilah Jawa hama itu muncul dari netizen-netizen di Sumatera. Bukan di Lampung, bukan di Aceh, tapi di antara keduanya. Kenapa bisa seperti itu? Karena tak lama setelah itu ada kejadian viral berikutnya di mana Willy Salim itu bikin acara rendang-rendangan di Palembang yang ternyata rendangnya dicolong orang. Gimik belaka, rekayasa atau memang kenyataannya seperti itu kita tidak jelas. Tapi yang pastinya adalah bahwa setelah itu netizen-netizen generasi awal itu komen balik, "Mana nih yang kemarin ngomong Jawa hama, mana nih yang kemarin ngomong pulaunya baik-baik saja." ya sama aja mereka juga tukang nyolong dan lain sebagainya. Dalam hal ini kita mengetahui bahwa ini adalah ejekan umpatan dan perang komentar yang buruk karena nadanya rasis dan ini sebenarnya sangat-sangat berbahaya untuk wilayah semultikultural Indonesia. Tetapi kenapa bisa muncul seperti itu? Kenapa nada-nada rasis di Indonesia menjadi cenderung menguat akhir-akhir ini? Dan apakah benar orang Jawa itu layak untuk disebut Jawa hama? apa yang sebenarnya mereka lakukan terhadap suku lain sampai mendapatkan julukan seperti itu dan diterima oleh banyak orang. Simak videonya sampai tuntas. Yuk, kita bahas. Dalam konteks fenomena sosial, istilah Jawa hama ini tuh muncul gara-gara dua hal. Yang pertama adalah ekspresi kemarahan, ketidaksukaan, kekecewaan masyarakat Indonesia secara kolektif terhadap budaya tradisi yang buruk-buruk tetapi justru malah mengemuka di Indonesia. Itu yang pertama. Kemudian yang kedua itu adalah rasa tertekan, rasa frustasi, dan rasa iri dengki terhadap orang-orang Jawa atau yang secara stereotipe disebut sebagai orang Jawa karena mereka ada di mana-mana dan relatif dominan dalam kehidupan sosial. Nah, itu ada dua. Yuk, kita runut satu demi satu argumentasinya. Jadi, gini, Baraya. Ini yang pertama ya, soal bagaimana masyarakat Indonesia sekarang kecewa terhadap tradisi-tradisi masyarakat Nusantara yang mengemuka. Coba kita sebutkan satu ya. Misalkan ee fenomena sound horeg sebenarnya menyakitkan dan mengecewakan bahkan hanya untuk orang yang menontonnya saja. Betapa itu suaranya kencang banget kemudian sampai mengganggu orang lain, merusak fasilitas kaca rumah dari orang-orang di pinggir jalan itu pecah-pecah. Dan yang luar biasanya adalah panitia Sonh itu rela untuk menghancurkan jembatan, rela untuk menebang pohon-pohon, rela untuk merusak trotoar. Semua mereka lakukan demi agar truknya bisa lewat. Hanya untuk apa? Setelah sampai di satu tempat, mereka nyalakan musik dengan sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya. Ini kayak fenomena apocalypto di negara nun jauh di sana gitu. Kayak di film-film gitu. Nah, ini kan coba baraya bayangkan itu yang nontonnya aja geli, gemes, dan pengin nabok terhadap orang-orang yang ada di situ. Tapi setelah itu apa yang terjadi? Demi populisme, pemerintah daerah anu itu justru menganggap bahwa sound itu adalah bagian dari tradisi Jawa. Biar apa? Iya, biar dia mendapatkan simpati dari orang lokal di situ. Itu sesuatu yang sama sekali bukan tradisi. Yang itu baru muncul itu setelah COVID itu disebutnya bagian dari budaya gitu saking konyolnya pejabat-pejabat kita. Tapi ya akhirnya apa? Akhirnya dalam hal itu ada narasi bahwa SHG itu khas Jawa Timur atau khas Jawa. Nah, itu kan sebenarnya langsung mulai dikaitkan dengan Jawa. Kemudian ada kejadian yang lain lagi misalkan fenomena ormas. Ormas itu kan sekarang nadanya negatif sekali, sentimennya buruk sekali. Masyarakat itu menganggap ormas itu adalah satu kelompok masyarakat manusia yang sebenarnya tidak berguna tapi justru malah menjadi parasit dan merusak gitu. Itu kan yang dipikirkan oleh masyarakat terkait dengan yang namanya ormas-ormas itu. Dan baraya bisa cek ormas di Indonesia jumlahnya berapa? 550.000 ormas. Bukan anggotanya yang jumlahnya segitu. Jumlah ormasnya R550.000. Dan dari 550.000 itu 400 sekiannya itu ada di Jawa. Jadi sonh sonh tidak disukai tapi itu dikaitkan dengan Jawa. Ormas ormas tidak disukai di Indonesia atau mendapatkan citra yang negatif di Indonesia sekarang dalam fenomena sekarang. Dan itu juga dikaitkan dengan Jawa karena dari 500 400 di antaranya di Jawa. Kemudian kita lihat misalkan tradisi yang aneh-aneh, Gus-gusan dan habib-habiban itu kan juga Jawa. Bagaimana sebenarnya masyarakat Indonesia tuh sangat mencintai ulama. Sebenarnya masyarakat kita tuh religius, tapi maksudnya gus-gusan itu kakinya dicium, tangannya diciun, air celupan, jarinya itu bisa mengobati, doanya itu bahkan dibayar dan bisa mengijabah sesuatu, dia melelang sikat giginya apa segala rupa. Dan di pesantrennya orang-orang dipaksa untuk jalan bebek. Kemudian orang-orang dipaksa untuk tunduk patuh apa adanya semaunya dari kiainya. Dan di situ juga ternyata apa? banyak pencabulan, banyak kekerasan, banyak penyimpangan dan lain sebagainya. Itu gus-gusan, itu habib-habiban. Dan ketika misalkan saya ngomong soal Habib, ketika saya ngomong Gus dan sebagainya, akhirnya apa? Orang Sumatera, orang Kalimantan, orang Sulawesi, orang Papua mengatakan, "Alhamdulillah di kami mah tidak diterima hal-hal yang seperti itu." Lagi-lagi dikaitkan dengan Jawa gitu. Jadi, Sonh, Gusgusan, Ormas itu dibenci sama masyarakat secara fenomena sosial sekarang. Tapi itu semuanya dikaitkan atau terkait dengan Jawa. Kemudian ada berikutnya lagi apa? Pejabat-pejabat kita yang korupt. Kita benci banget luar biasa sama yang namanya korupsi kan. Dan kita mengetahui bahwa kebanyakan pejabat-pejabat di Indonesia itu adalah Jawa, bahkan presidennya pun Jawa. Dan kemudian muncul istilah raja Jawa. Istilah raja Jawa itu kan sebenarnya positif. Tapi hanya sekarang aja menjadi negatif. Nah, tapi kan enggak seperti itu dong harusnya cara ngukurnya. Misalkan gini harusnya ya kan pejabat di Indonesia kenapa banyak yang orang Jawa? Ya karena penduduk paling banyak di Indonesia itu adalah penduduk Jawa. Kenapa di Indonesia yang paling banyak itu korupsi? Ya karena penduduk yang paling banyak juga adanya di Jawa kan begitu harusnya tuh begitu. Demikian pun dengan ormas dan lain sebagainya gitu kan. Ya, saya mungkin juga akan mengira jawabannya seperti itu. Tapi yang tadi itu dikaitkan dengan masalah kedua. Apa itu masalah kedua? Masalah kedua adalah ketidaksukaan kolektif masyarakat terhadap keberadaan orang-orang Jawa yang mendominasi dan menghegemoni wilayah-wilayah di luar pulau Jawa, gitu kan. Nah, orang-orang Jawa tuh kan ada di seluruh pulau di Indonesia dan mereka relatif lebih sukses secara ekonomi daripada orang-orang lokal. Untuk bisa memahami hal ini, mari kita simak ilustrasi sederhananya. Gini, Baraya. Dulu di tahun 1800-an, 1800-an akhir, orang paling kaya di seluruh dunia itu adalah keluarga Rild. Dan karena itu maka 50 tahun kemudian semua teori-teori konspirasi itu menekankan bahwa elit global yang ingin memperbudak dunia itu dari keluarga Roachild. Kemudian di tahun 1990 pertengahan itu muncul keluarga Rockefeller, orang terkaya di dunia. Lalu apa yang terjadi? Tak lama setelah itu orang-orang penganut teori konspirasi mengatakan bahwa elit global itu adalah keluarga Rockefeller yang ingin harta kekayaannya bertambah terus-terusan sambil sambil memperbudak manusia. Tak lama setelah itu muncullah Bill Gates dengan gelar orang paling kaya di seluruh dunia. Lalu tak lama setelah itu di tahun 2000-an, Bill Gates pun akhirnya mendapatkan gelar dia adalah elit global. Dia adalah penjahat yang ingin menguasai dunia dengan cip yang ditanamkan dan seterusnya seterusnya. Jadi dalam rumusan ini saya yakin bahwa dalam 10 20 tahun ke depan elit global itu akan disangkakan kepada Elen Musk sebagai orang paling kaya di dunia gitu ya. Jadi dalam hal ini orang paling kaya atau orang yang hidup kaya di tengah kemiskinan orang lain atau orang yang menonjol dan flexing dan terlihat kekayaannya itu pasti menjadi bulan-bulanan teori konspirasi, gosip dan gibah tetangga gitu kan. Itu pasti. Jadi orang-orang yang teori konspirasi itu kayak siapa bos darling apa segala rupa itu pasti mencecarnya itu adalah orang yang paling kaya di dunia. Tandain. Nah nanti besok langsung bikin narasi-narasi yang seperti itu gitu ya. Dikait-kaitkan. Nah, baraya paham kan seperti itu ya. Begituun dengan orang Jawa. Orang Jawa itu karena dia ada di mana-mana, dia kekuatan merantaunya besar. Dia ke Kalimantan dan dia kemudian jadi bos. Dia ke Lampung dan kemudian dia jadi pejabat. Dia datang ke Papua dan ternyata dia menjadi pemasok ini itu dengan harta kekayaan melimpah dan sebagainya. Nah, orang-orang Jawa itu akhirnya menjadi tudingan miris dari orang-orang yang memiliki primordialisme kuat, orang-orang yang etnosentrismenya tuh tinggi gitu. Jadi, aduh Jawa lagi, Jawa lagi. Saya orang Jawa Barat tinggal di Jawa itu Pak RT-nya tuh Jawa. Pak RT-nya Jawa, kemudian Pak RW-nya juga Jawa, kedu lurahnya juga Jawa gitu dan lain sebagainya. Nah, kalau misalkan ada orang-orang yang memiliki etnosentrism yang kuat gitu, maka dia akan mempermasalahkan itu gitu. Sama seperti kurang lebihnya orang-orang Cina gitu. Orang-orang Cina di Indonesia itu kan kaya-kaya dan karena itu mereka menjadi korban framing dan stereotipe yang hampir abadi gitu. Nah, cuman bedanya apa? Bedanya kalau orang Chinese itu eksklusif dan elit. Jadi, mereka tuh terkenal karena harta kekayaannya yang melimpah. Ya, tapi di situ aja gitu. di wilayah itu saja. Nah, beda sama Jawa. Jawa tuh di mana-mana ada, di semua strata juga ada. Presiden Jawa i, kuli bangunan Jawa iya, koruptor Jawa iya, Pak Ustaz Jawa juga iya, gitu. Ini kan misalkan yang tadi ya, Cina gitu. Cina tuh dalam ruang lingkup yang satu gitu secara ini ya, secara stereotip-nya gitu ya, yaitu kekuasaan ekonomi gitu. Kalau misalkan kita nanya soal Batak, Batak tuh biasanya kalau enggak jadi kalau kaya jadi pengacara, kalau miskin jadi sopir angkot. Di dua situ aja. Kalau misalkan kita lihat orang Padang ya pengusaha dari pengusaha warung Padang pengusaha yang lebih besar lagi itu Padang misalkan ya dan lain sebagainya. Nah, setiap suku bangsa di Indonesia itu punya cerita yang dikaitkan dengan profesi mereka masing-masing gitu. Tapi kalau orang Jawa di mana-mana ada tukang cukur Jawa tuh ada, tukang tambal ban Jawa tuh ada, tapi pejabat, lurah itu juga ada. Presiden, menteri-menteri itu juga ada. Mafia-mafia di Indonesia itu banyak juga yang dikaitkan dengan Jawa gitu. Nah, Jawa itu ada di mana-mana. Karena Jawa itu ada di semua teritori dan ada di semua strata, maka dia akan menjadi lebih mudah mendapatkan stereotype. Dan akhirnya apa? Orang-orang yang etnosentrismenya tinggi itu mudah mengidentifikasi keberhasilan dan kegagalan seseorang berdasarkan suku bangsanya. Gitu kan? Sesimpel itu tudingannya. Nah, lalu pertanyaan berikutnya. Kenapa orang-orang Jawa bisa ada di mana-mana di wilayah teritori dan semua strata? Jawaban sederhananya adalah karena kebudayaan mereka. Jadi saya pernah ee membuat semacam dikotomi. Suku-suku bangsa di Indonesia itu ada yang unsur kebudayaan paling dasarnya itu adalah interaksi dengan alam. Kayak orang Bali, orang Sunda, orang Papua gitu. Fokus mereka itu sebenarnya adalah bagaimana mereka bisa berinteraksi dengan alam dengan baik gitu. Jadi mereka menjaga keindahan alam. Mereka tinggalnya di gunung-gunung, di tempat yang adem, di tengah-tengah hutan itu mereka tuh senangnya hobinya tuh di situ. Kemudian mereka ya hidup menyatu selaras dengan alam. Itu beberapa suku di Indonesia seperti itu. Tapi ada beberapa suku lain di Indonesia seperti halnya Jawa yang inti dari kebudayaan mereka itu bukan selaras dengan alam, tapi selaras dengan manusia. Jadi, bagaimana caranya kita membangun interaksi dan menciptakan hierarki yang baik dengan manusia yang lain. Nah, kayak orang-orang Batak gitu ya, kemudian orang-orang Jawa, ada juga sebagian orang-orang Makassar gitu. Nah, itu inti kebudayaannya itu dihubungkan dengan interaksi manusia dengan manusia yang lain. Maka mereka itu bikin strata yang ketat. Bukan hanya strata dalam kekayaan, bahasanya pun harus dibedain. Ketemu sama orang yang level tinggi, sama orang level bawah, sama orang tua, sama orang tua yang levelnya bawah secara ekonomi dan sebagainya. Itu bahkan bahasanya pun berbeda-beda, pakaiannya pun berbeda-beda, kendaraannya di zaman lampau itu sangat berbeda-beda. Karena apa? Karena orang Jawa itu menekankan bagaimana keteraturan sosial. Beda sama orang Sunda misalkan yang seperti itu. Nah, karena keteraturan sosial dan itu ditekankan secara kebudayaan, maka orang-orang Jawa itu ketika dia jadi kuli, dia jadi kuli yang dominan. Benar kan? Karena apa? Karena dia tahu posisinya. Saya kuli dimarahin sama bosnya manggut-manggut. Kemudian ee disuruh kerja ini itu tidak banyak mengeluh. Kerja, kerja, kerja. Itu kan. Nah, atau kalau misalkan dia sudah ada level pertengahan, mulai berani sikut kanan, sikut kiri, nginjak bawah, jilat atas, itu sudah mulai terbentuk. Kalau sudah atas, petantang-petenteng gitu. Nah, karena apa? Karena ada di stratanya masing-masing dan mereka bisa memposisikan diri. Ketemu sama orang berbahasa Sunda, dia ngomong Sunda. Ketemu orang berbahasa Indonesia, dia ngomong bahasa Indonesia. Ketemu sama temannya orang Jawa, ngomong juga dengan bahasa Jawa. Jadi mereka menempatkan posisinya sesuai dengan hierarki mereka masing-masing. Atau misalkan ginilah baraya saya pernah bikin video tentang betapa Pak Jokowi itu ee melakukan transformasi perubahan gitu dari hanya sekedar politisi biasa, pejabat biasa, kemudian petugas partai sampai akhirnya menjadi raja Jawa dan sebagainya itu kan menempati posisinya masing-masing gitu. Pas di bawah, pas jadi walikota dimarahin sama gubernurnya, Pak Jokowi bilang, "Ya dah, saya mah enggak apa-apa emang saya mah bodoh." gitu kan. Tapi nanti naik mulai berani sikut sana, sikut sini. Pas jadi petugas partai, dia cium tangan Ibu Megawati ketika sudah sampai di atas, sudah puncak, sudah koneksinya sudah sangat kuat dan sebagainya baru melawan gitu kan. Itu itu Jawa tuh gitu gitu. Karena memang ada budaya yang diturunkan turun-temurun dari orang tua kepada anaknya. Jadi PNS niti karir mau ditempatkan di sana mau ditempatkan di situ, mau. Coba orang Sunda misalkan orang Bali sedikit yang mau melakukan seperti itu. Orang Sunda ditempatkan transmigrasi di Lampung 6 bulan kemudian pulang sambil nangis-nangis. Orang Jawa mah enggak mau seumur hidup disimpan di Kalimantan disimpan. Mereka survive karena apa? Mereka menekankan ya saya adalah orang sini, saya harus berinteraksi dengan sini dan saya harus menempati diri sesuai dengan posisi saya. itu kan pikiran alam, pikiran Jawa tuh seperti itu. Nah, inilah yang akhirnya membuat mereka itu cenderung terlihat dan signifikan di posisi dan strata apapun. Ini bukan membaguskan atau menjelekkan Jawa gitu ya. Ini mah hanya analisis soal bagaimana kebudayaan mereka saja. Tapi baraya tentu saja bisa mengenali itu gitu. Jadi ketika dia jadi pemimpin bisa menempatkan dirinya, ketika jadi pengusaha bisa menempatkan dirinya dan lain sebagainya gitu. Kurang lebihnya seperti itu. Dan karena orang Jawa itu ada di semua strata dan di semua wilayah itu kemudian istilah hama itu menjadi maaf ya menjadi nampak masuk akal. Kan hama itu pendatang yang tidak diinginkan yang merusak dan parasit dalam jumlah yang banyak. Nah, orang Jawa ada menjadi pendatang dalam jumlah besar di Kalimantan, menjadi pendatang dalam jumlah besar di Papua, di Sulawesi, di Nusa Tenggara Barat dan lain sebagainya. Mereka ada seperti itu. Kemudian ketika ada orang-orang lokal yang merasa dikalahkan dalam posisi mereka, kemudian mereka memiliki semangat etnosentrisme yang tinggi, maka mereka langsung mengidentifikasi tuh da Jawa, Jawa hama. Nah, itu cerita awal mulanya. Oke, Ibaraya itu saja ya. Semoga bisa dipahami dan semoga orang-orang Jawa tidak sakit hati karena bagaimanapun apa yang saya sampaikan itu ya hasil analisis dari kebudayaan masyarakat Jawa. Terima kasih karena sudah menyimak. Saya guru gembul pamit. Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.