Transcript for:
Perjalanan Inspiratif Bersama Pak Sudamek

Banyak orang yang tidak mengira, orang itu yang mungkin melihatnya setelah sampai di sini gitu ya, tapi perjalanan hidup saya itu keras sekali. Nah Anda lihat ya, luka batin itu... bisa di-abe-kan tapi tidak bisa dilupakan.

Emosi begini kadang-kadang masih muncul. Jadi terima kasih sekali hari ini saya diberikan kesempatan untuk bertemu dengan Pak Damek. Pak Damek seseorang tokoh yang buat saya sangat inspiring.

Dan terutama di masa pandemi ini, sungguh dari hati yang paling dalam, Pak Damek, terima kasih Pak. Ya, sama-sama, my pleasure. Dan...

Sama-sama, terima kasih. Dan hari ini kita akan, saya pengen banyak nih banyak hal-hal yang saya ingin tanyakan kepada Pak Adame. Bapak lahir sebagai bungsu dari 11 saudara dengan nama pemberian orang tua. Sudame Agung Waswodo Sunyoto. Boleh diceritakan sejarah dibalik nama yang unik dan langka ini, Pak?

Iya, jadi saya waktu kecil itu dari sejak umur tiga bulan diberi nama Sudamek. Sudamek itu bahasa Pali, su dengan dama sebetulnya. Tapi dibacanya Sudame arti tambahnya huruf K, Sudamek itu ya.

Kalau dalam bahasa saskerta itu padananya adalah sudharma. Di padarmu itu dengan padamek itu sama. Tetapi karena di Indonesia itu yang laji bahasa saskerta, maka jarang atau memang tidak ada orang yang menggunakan nama damek itu tidak ada di Indonesia. Setahu saya sampai hari ini, saya 64 tahun, saya belum pernah ketemu ada orang yang namanya kebetulan sama.

Nah, dari sejak umur 3 bulan itu. Kemudian... pada waktu pemerintah Orde Baru mewajibkan ada pergantian nama ayah tanya sama saya pada waktu itu saya sudah di SMP jadi ditanya, you mau ganti nama atau tidak? saya bilang gak usah ya itu aja gitu tapi entah kenapa ayah mungkin ada pertimbangan tersendiri yang lain diberi nama Indonesia kok ini gak tetap diberi nama yaitu adalah Agung Waspodo Sunyoto Sunyoto itu nama marganya Sunyoto eh kemudian ya sudah dari sejak itu saya nama saya adalah jadi panjang gak saya singkat jadi Sudamek AWS Sudamek AWS begitu supaya lebih ringkas nah saya sendiri baru tahu nama kelahiran saya itu sejak selulus SMP pada waktu masuk SMA saya baru tahu nama asli saya nama Tionghoa saya itu saya baru tahu nah disitu riwayat adalah seperti itu gitu tetapi kemudian Kemudian saya baru menyadari bahwa ayah itu kan, ayah itu kan orang yang suka dengan sibul-sibul begitu, termasuk nama itu bagi beliau adalah sibul yang mempunyai makna tertentu.

Kalau Shakespeare mengatakan, What is in a name? Ayah memiliki pandangannya berbeda. Jadi, dalam sebuah kata atau nama itu memiliki makna tertentu. Itu beliau seperti itu.

Belakangan saya baru akhirnya menyadari Sudamek Agung Waspado Syonyoto itu saya maknai. Ayah sudah gak ada, saya gak bisa tanya lagi, tapi saya maknai. Karena saya Buddhis, saya mendalami juga Buddhisme. Saya lebih mengenali istilah-istilah tersebut, utamanya itu kan dari bahasa Sansekerta yang kombinasi dengan bahasa Pali Sudamek, yaitu Agung Waspodo. Sunyata itu banyak berasal dari bahasa Sansekertanya, atau juga ada bahasa Palingnya.

Sunyata itu juga bahasa Pali sama, Sansekerta juga esensinya sama. itu sebuah rangkaian nama yang saya maknain sebagai perjalanan hidup saya. Jadi Sudamek itu, su itu mempunyai makna itu baik. Jadi kalau Sudarmo, Subahagio, Suapa gitu, itu su itu artinya Baik, baik.

Damek itu adalah dharma. Itu adalah apa namanya menjalani ajaran agama. Dharma itu adalah truth, itu adalah ajaran agama itu sendiri. Jadi artinya Sudamek itu menjalani ajaran agama dengan baik.

Kalau itu saya jalankan, maka saya akan jadi agung. Saya akan berhasil. Saya akan jadi orang yang berhasil.

Tetapi, kalau saya setelah berhasil, agung saja, tidak ada kewaspadaan menjadi lupa diri apalagi menjadi katakanlah sombong gitu ya, disitu akan kesandu, jadi ini rangkaian, sudah make menjalani asal agama dengan baik maka akan agung, berhasil tapi harus tetap waspada nah yang terakhir itu sunyata sunyata ini konsep dalam buddhisme ya pada saat orang mencapai total liberation pencerahan ya Itulah pencapaian tertinggi di dalam perjalanan spiritual. Jadi rangkaian ini sedemikian rupa. Kalau saya menjalani alasan agama dengan baik, kemudian saya juga masih hidup dalam duniawi ini, saya lalui dengan basis agama.

dan menjadikan agama yang baik itu saya jadi sukses. Dan walaupun sukses, saya tetap waspada. Maka pada akhirnya, tujuan akhirnya adalah mencapai pencerahan. Kira-kira begitu maknanya itu.

Di ayah saya, saya hormat sekali dengan... dengan respect sekali dengan nama yang diberikan oleh ayah saya ternyata mempunyai makna yang sedemikian dalam dan itu kemudian menjadi bimbingan bagi saya untuk menjalani roadmap tersebut itu adalah peta jalan, nama saya itu adalah peta jalan kehidupan saya my life roadmap, kira-kira seperti itu ya wow, ternyata dalam sekali ya, arti dari makna dari Pak Sudame nah Pak, saya dengar-dengar ketika masa muda, Bapak itu pernah dihina oleh teman-teman ini sulit dipercaya ini, apa apa benar itu Pak? ya, kalau saya ditanya pernah ngalami dibuli memang saya harus akuin, saya cukup kenyang, masa kecil saya, bahkan masa remaja saya, saya tuh kenyang dibuli dari kecil, di rumah sendiri, udah dibuli sama kakak-kakak saya anak awalnya kecil ini, pernah busu itu kan disitu repotnya Dibully sama kakak-kakak saya dengan dikatakan bahwa orang tua saya itu dulu nemukan saya, saya itu bukan anak kandung, ditemukan di pinggir jalan, ditaruh di ikra.

Ikra itu tahu ya, tempat nyapu itu kalau buat menampung sampah, ya dibuat dari bambu, anyaman bambu itu namanya ikra. Katanya itu bayi saya itu janin saya itu ditaruh di situ. Saya itu sedih gitu. Anak kecil kalau dikirimkan kayak sedih.

Sedih gitu. Bahwa ternyata saya itu bukan anak orang tua saya sendiri. Utamanya...

perasaan saya sedih itu terungkap pada saat saya teringat, waduh yang ibu selama ini saya anggap yang melahirkan saya ternyata bukan, dan disitu saya menangis kalau saya nangis, ibu saya belain saya, marah kakak-kakaknya dimarah, kak lihat ini besar macam-macam gitu nah itu tanpa sadar, makanya ini kalau bicara parenting ya, ini sebenarnya gak boleh karena itu menimbulkan luka batin luka batin terus, nanti dibuli juga makanya kamu itu nanti ya, kalau sudah pengijak dewasa, kamu bakal dibawa ke Sri Lanka karena nama kamu Sudamek itu kamu itu sudah diangkat sebagai anak biku gitu anak sangga, kalau dalam bahasa teknisnya itu anak sangga, anak sangga itu komunitas gitu kan maka saya harus meninggalkan kehidupan duniawi, kehidupan pribadi saya saya bergabung dengan ayah hangkat saya, yaitu beliau adalah Biku Narada Mahatera itu adalah buku yang bertahun-tahun pertama kali membangkitkan agama Buddha di Indonesia sekitar tahun 1939. Pada waktu itu di Indonesia belum ada Biku yang putra Indonesia asli belum ada jadi Biku. Jadi masih ada Biku asing yang datang kemari. Itu Biku Narada Mahatera dan beliau itu kalau datang ke Rembang, ke kota kelahiran saya, tidurnya di rumah ayah saya. Terus beliau mengatakan, karena kamu kan banyak 11 kasih dong, satu sebagai anggota tadinya jadi Biku itu ditanyalah dari yang besar satu persatu semuanya nolak semua udah bisa jawab saya masih dalam gendongan ibu murid 3 bulan tentu aja gak bisa ditanya ya udah akhirnya saya yang diangkat itu makanya dikasih nama Sudamek itu itu nah dan saya kalau di setelah yang besar Yap Masih SD juga, waktu dibully itu selalu dikatakan, kamu dibawa ke sana, itu saya nangis lagi, sedih gitu. Dan selalu ibu saya yang belain saya, dari situ sikat kata orang.

Tuan Tua saya melihat bahwa saya memang cukup kuat bondingnya dengan keluarga, terutama dengan orang tua, sehingga ayah saya juga tidak memaksa saya untuk mengikuti rencana tersebut. Sehingga bahkan sampai akhirnya saya berumah tangga. Nanti itu ada kaitannya dengan kehidupan saya. Kemudian ada kejadian-kejadian tertentu yang cukup menempa kehidupan saya. Itu ada something to do dengan itu kalau saya punya keyakinan.

Tapi singkat kata itu dari masa kecil sudah digitukan. Di sekolah juga begitu. Mungkin saya itu dulu nakal ya.

Di guru SMP pun itu juga nggak suka. Saya suka. Saya itu kalau tanya baik-baik, mau tanya gitu, berusaha untuk mengakrabkan guru, malah dimarahin gitu.

Ya udah, akhirnya nggak berarti tanya, udah gitu kan. Memang perasaan saya itu peka orangnya, gampang tersinggung gitu. Saya itu orangnya gampang tersinggung, waktu masa kecil utamanya ya.

Tambah tua ya, tambah dablek memang gitu. Terus itu bagian dari transformasi diri memang. Di SMA juga begitu.

Di SMA itu saya sekolah yang terbaik di Jawa Tengah pada saat itu. Beruntung sekali saya diterima di sekolah SMA Loyola College. Loyola.

di Jalan Karanganya nomor 37 Semarang itu itu salah satu bukan salah satu, sekolah terbaik, swasta terbaik di Jawa Tengah pada saat itu saya beruntung diterima di situ saya juga gak tau kok bisa diterima di sana tetapi karena saya itu dari Kota Rembang Kota Rembang, saya itu kota Rembang itu kan jauh dari Semarang 110 kilo dan mobilitas itu tidak seperti sekarang dan persepsi orang Semarang, Rembang itu adalah kampung desa gitu. Makanya dulu saya dijulukin Kamsol, Kamsol itu kampung tur deso gitu. Kamsol. Dan setiap pagi itu hukuman tersendiri bagi saya.

Kalau saya berangkat, eh bukan berangkat, kalau saya mau di absen sama guru-guru di data siapa masuk, siapa nggak masuk gitu di absensi. saya udah deg-degan karena begitu nama saya disebut Sudamek gitu, satu kelas tertawa semua dan noleng ngeliatin saya, muka saya merah gitu. Bagi saya nama itu adalah sebuah hukuman gitu, nama Sudamek gitu karena jadi bahan tertawaan gitu.

Mungkin sekarang jadi malah kalau dilihat dari orang marketing itu jadi sebuah brand yang unik gitu ya karena nggak ada duanya gitu. Tapi waktu itu hukuman itu. Orang kan ngeliatnya kalau setelah jadinya saja gitu.

Nah, Terus banyak ya bully-bully itu nanti kalau mau diperpanjang mereka tahu saya karena dari kota kecil, jarang atau hampir belum pernah naik sepeda motor. Zaman saya itu naik sepeda motor udah mewah. Saya kalau pulang itu ikut teman saya dari Juwana diboncengin.

Nah suatu ketika itu mereka janjian rupanya antara teman-teman itu janjian. Saya nanti waktu pulang saya sengaja diboncengin terus berbicara. yang bawa tempat saya ini seru ngebut ngebut sedemikian rupa dan di jalan Mataram sekarang MT Hariono itu jalan Mataram Semarang itu sepeda motornya siksak gitu, swat swat tuarik direp, tarik direp saya itu kan ketakutan luar biasa seperti kayak batu duduk-duduk di belakang itu kaku gitu kan dan ternyata di belakang itu teman-teman yang ikutin tertawa terbahak-bahak menertawakan saya gitu ya itu masa-masa begitu itu kan tergantung kita bagaimana ngelihatnya gitu ya. Dunia anak muda ya begitu gitu kan.

Banyak udah banyak, apalagi itu nama lah yang sekecil, remaja, sampai pernah ada ketika itu di Indekos ada satu teman yang kebetulan dengan saya baik, sekitar satu tahun. satu kos, saya satu kos dengan dia, dan dia satu kos, kakaknya juga di kos yang sama. Entah kenapa kakaknya kalau sama saya itu nggak suka, gitu. Mungkin karena saya itu orang Nge-rembang. Orang Nge-rembang itu kan kota nelayan, ya.

Kalau bicara itu suaranya kencang, gitu. Zaman saya masih muda kalau bicara kencang sekali suara saya. Dan saya tidak sadar bahwa suara saya menggelegar, kencang gitu.

Itu bisa jadi karena faktor itu suatu ketika mengganggu tidurnya kakak dari teman saya ini. Jadi dia nggak suka dengan saya gitu. Nah semua ada sebabnya ya. Kalau dalam buddhisme itu kan dikatakan sesuatu itu muncul karena ada sebabnya. Hubungan sebab akibat.

Sederhananya orang mengatakan itulah hukum karma gitu. Nah. Satu ketika saya pergi dengan teman saya ini, dia orang yang sangat mampu, ukuran pada waktu itu sangat mampu, sepeda motornya pun CC-nya CC yang besar, saya pergi diboncengin.

Pulang itu kembali ke kos, kakaknya udah berdiri di depan garasi berkacak pinggang gitu. Dia tanya sama adiknya, kalau bahasa Jawa ini bilang tekondikon. Kondi-kondi gitu, kamu dari mana gitu.

Satu-tiga ya berusaha mengintunggah kok gini-gini. Dan dia sempat nyeletuk. Nggak usah pergi sama orang kiri. Dikitu kan. Saya marah.

Sampai akhirnya sudah hampir berantem dan dipisah. Dan saya dengan polosnya pada waktu liburan, saya cerita dengan ibu saya. Dengan polosnya masih baru umur 16 tahun. Ternyata ibu saya terpukul sekali. Ya, sorry.

Nah, Anda lihat ya, luka batin itu... Bisa di-abe-kan tapi tidak bisa dilupakan. Emosi begini kadang-kadang masih muncul. Masih sudah muda, nggak ngira bahwa cerita itu saya mengalir gitu aja, ternyata ibu saya terpukul sampai menangis. Nah, itu yang membuat saya jadi marah.

Sebalik lagi dari liburan kembali ke semarang, saya cari itu saya aja berantem. Orang yang mengatakan seperti itu. Tetapi, begini ya, yang saya mau sharing ini bukan soal kemarahannya, bukan soal bullying-nya, gitu ya.

Bukan soal bullying-nya, bukan soal kemarahannya. Yang saya mau sharing itu adalah pengalaman dalam hidup saya sendiri. Pada waktu saya mengalami kejadian-kejadian seperti itu, saya itu ada punya satu sifat yang barangkali itu menolong hidup saya.

Menolong hidup saya. Saya kalau dilecehkan orang, disakiti orang, gitu ya. itu muncul energi dari dalam diri saya untuk melawan.

Melawannya tidak dengan cara kemudian seperti pada waktu masih SMA itu, ngajak berantem, tetapi kemudian itu menjadi energi yang menjadi motivasi yang muncul dari dalam diri saya untuk membuktikan bahwa saya bukan seperti itu. Saya akan buktikan yang sebaliknya. Pernah sampai satu ketika itu ada satu konsultan juga yang pada waktu saya menanganin, ini bukannya konsultan, ada satu TV swasta dan satu konsultan.

Itu pun juga melecehkan bisnis kacang. Saya itu pada waktu beriklan pertama kali tahun 1994, jangan salah ngerti loh, saya mau beriklan, saya bayar sesuai dengan tarif, ditolak, karena TV swasta tersebut programnya merasa... kalau dia menerima iklan saya rating itu bisa turun wah TV-nya iklannya kacang kacang itu kan memang terkait dengan sesuatu yang biasa dilecehkan ungkapan mengatakan you pay peanut, you get monkey, gitu. Orang itu kacangan, bahasa kayak gitu-gitulah. Nah, sehingga ditolak pada saat itu.

Tolak. Jadi ini terjadi nih. Oh, itu bayar saya, bayar dengan uang asli, bukan uang palsu. ditolak tapi gitu ada satu konsultan yang mengatakan pada waktu saya bantuin kakak saya itu di apa satu kesempatan dia berbicara dengan saya dia bilang kamu kok masih sempet-sempetnya ngurusin yang kecil-kecil gitu nah again pada saat saya ngalami seperti itu itu saya tidak lalu menjadi marah menjadi agresif menyerang orang-orang tertentu tapi kemarahan saya itu saya salurkan energi-energi yang positif untuk saya buktikan yang sebaliknya. Saya beruntung punya sifat seperti itu.

Sehingga pada waktu kacang Garuda, sekarang namanya Garuda Food itu, dia mencapai omsetnya yang pertama kali 200 miliar pada saat itu 200 miliar. Dilihat ukurannya besar, apalagi dari kacang, kacang kulit lagi. Di situ saya mengatakan, yes, now I can prove that peanut business is not peanut anymore. Saya mengatakan begitu, saya mengatakan yes.

bisnis kacang bukan lagi bisnis kacangan gitu. Kira-kira kalau diterjemahkan bebasnya seperti itu. Saya tidak menaruh dendam kepada orang-orang seperti itu karena saya, balik lagi, ajaran agama saya mengatakan this is because, this is because that is. Ada ini karena ada itu.

Tidak ada ini karena tidak ada itu. Ada sebab akibat. Saya bisa menjadi seperti ini karena saya di apa dibully seperti itu dan karena dibully seperti itu, keluarlah energi dan karena keluarlah energi itulah yang membuat saya sampai disini jadi sebaliknya, saya harus berterima kasih kepada beliau-beliau tersebut termasuk kakak-kakak saya saya harus berterima kasih dengan mereka, makanya no hard feeling yang saya bawa sampai sekarang tidak walaupun saya harus sempat katakan tidak bisa dilupakan Tapi bukan hanya bisa dimaafkan, bahkan perlu disyukuri karena diperlakuan seperti itulah saya sampai di sini.

Kira-kira seperti itu. Nah Bapak, cerita ketika itu banyak ratangan-ratangan dalam hidup Bapak. Apakah ketika saat itu Bapak pernah sempat minder Pak? Karena apa yang saya lihat sekarang Bapak sepertinya sangat-sangat percaya diri. Oh ya betulnya eh saya tidak tahu ya Apakah Hai luka-luka batin yang terjadi waktu masa kecil remaja hingga dewasa tadi kan yang terakhir tuh ke dewasa itu udah berbisnis pun masih dikitukan itu saya tidak tahu apakah itu yang menyebabkan saya menjadi ada rasa inferior atau memang dari baik apa ini born itu yang menjadi init apa trade saya sifat bawaan saya memang saya itu ada inferiority complex saya enggak tahu tetapi kemudian inferiority complex ini saya mau cerita sedikit itu mengalami Moment of truth pada waktu saya di mahasiswa.

Waktu di mahasiswa. Jadi, tapi sebelum saya ceritakan yang itu, saya mau sampaikan dulu, walaupun kelihatannya, saya, orang melihat bahwa saya, itu penuh dengan keyakinan diri itu hanya gaya bicara saya aja karena saya ini digembleng awalnya sebagai lawyer kalau lawyer ya memang harus bisa meyakinkan gitu coba aja kalau lawyer sudah sidang di pengadilan membela kliennya ngomongannya terus terus kelihatan lembek gitu, loyo gitu ya nggak bakal menang dia itu. Lawyer memang nggak jadi begitu. Lawyer itu adalah tough and strong negotiator gitu.

Sehingga memang kita digembleng. Kebetulan saya memang dianugerai dengan kemampuan expression skill, sehingga orang melihatnya saya berbicara dengan penuh keyakinan gitu. Lebih tepat saya berbicara dengan berkesadaran.

Saya berbicara, saya menyadari dan saya aware, fully aware, I am very mindful with whatever I'm saying gitu. Most likely ya, most likely, gak selalu ya. Jika karena seperti itu, orang melihat saya sepertinya dengan self-confidence yang kuat sekali. Tapi deep in my heart, perasaan itu ada.

Walaupun kemudian kelemahan ini itu akhirnya menjadi kekuatan bagi saya, karena saya ada perasaan seperti itu, saya terbiasa bermain dalam sebuah tim. Saya kalau mau membuat keputusan... keputusan yang cukup besar, saya tidak mau lakukan sendiri. Saya ajak diskusi, bahkan dengan anak pun saya berdiskusi.

Karena dengan berdiskusi itu, apa yang saya pikirkan, akan di challenge barangkali bisa jadi itu perlu koreksi. Akibatnya tanpa sadar dengan sifat itu saya menjadi team player. Kira-kira seperti itu.

Jadi weakness kita bisa rubah menjadi sebuah strength, kekuatan dalam contoh seperti ini. Nah, sifat atau kelemahan ini, Itu saya mengalami titik baliknya pada waktu saya di mahasiswa, di alma mater saya di Universitas Kristen Setiawacana Salatiga. Saya waktu itu masih di Fakultas Ekonomi, belum merangkap di Fakultas Hukum. Masih di tingkat 2 saya kalau nggak salah ingat tahun 76. Saya belum merangkap, saya merangkap di tahun 78 Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukumnya. Saya ikut...

Apa namanya? bimbingan tes itu. Di setiap acara itu ada pusat bimbingan yang sangat bagus sekali, very quality, apa namanya, counseling center gitu, dan gratis.

Itu memang di fasilitas-fasilitas yang disediakan Umar Hashishwa. Saya ikut. Ikut tes di situ dari pagi sampai siang, keluar-keluar kepala sampai kayak kopior gitu. Nah, di dalam proses tes itu, psikolognya nyuruh saya menggambar.

Jadi, dia bilang, biar buah pohon. Pohon yang besar ya. jangan pohon tomat, pohon yang besar pohon beringin, pohon apa, pokoknya pohon mangga, pokoknya yang besar saya mencoba menggambar dengan sebisa saya, saya salah bahwa psikolog tidak melihat dari sisi estetikanya dan saya kebetulan memang tidak bisa menggambar jadi saya usahakan sebaiknya apapun jadinya ya begitu-begitu saja tetapi ternyata psikolognya dia melihat gambar saya, dia mengomentari dari sisi psikologi dia Terus tiba-tiba bilang begini, eh Anda ini punya potensi yang besar, tapi sayang Anda mempunyai hambatan sosial dalam melakukan social contact, dia bilang gitu. Udah, ini kok psikologi kayak... Kayak peramal aja, kayak dukon aja gitu.

Karena saya menyadarin bahwa saya punya sifat seperti itu. Saya mempunyai hambatan dalam social contact. When I was young ya, when I was young. Tapi dia mengatakan, psikologi juga bagus ya, tetapi kalau Anda bisa mengatasi kelemahan ini, maka Anda akan, you will unleash your full potential. Anda akan bisa mengeluarkan seluruh potensi yang ada di diri Anda.

Wah itu nasihat yang bagi saya salah satu nasihat yang terpenting Selain nasihat-nasihat yang dulu diberikan oleh orang tua saya Utamanya ibu saya Yaitu adalah dari sekolah ini Sejak itulah saya berjanji Tahun 76-77 itu 76 saya kira Saya berjanji bahwa saya akan lawan sifat weakness yang ada pada diri saya Anda tahu, kalau saya ilustrasikan ada seorang anak yang sifatnya seperti ini. Anak itu... tidak bisa bergaul.

Dia kalau pas istirahat, zaman dia masih TK, SD, kalau dia istirahat itu dia kan cenderung memojok di pocok begitu, menjauh dari teman-temannya dengan harapan temannya akan datang mendekatin dia. Karena dia ada perasaan inferior kalau dia mendatangi temannya, ya kalau temannya menyambutnya. Mendingan dia itu di pocok gitu, mengucilkan diri di pocok. Kalau orang Jawa itu jepi-pes di pocok.

Di pojok gitu Anak ini kalau ngomong itu apa ya pesnya tuh cepat sekali sehingga dia ngomong itu katakanlah satu dua kalimat terdiri dari 10-20 kata tau-tau bro gitu keluar selesai gitu dan orang yang ngomong nggak ngerti ngomong apa di anak ini gitu. Dan waktu berbicara pun itu di lehernya ototnya keluar besar-besar gitu karena ngomong itu sambil kayak orang apa ngedan gitu ya. Ya pernah bergaul Kalau ngomong seperti itu, gitu kan.

Bayangkan anak ini kemudian suatu ketika setelah dia tumbuh dewasa, dia bisa bergaul dengan berbagai kalangan, almost all walk of life, dan dia juga relatively... Lumayan diterima oleh berbagai lingkungan tadi, gitu. Dan bahkan anak ini menjadi public speaker, gitu.

Anda mungkin tidak percaya bahwa anak itu adalah sebetulnya saya, gitu. Saya itu kecilnya seperti itu. Makanya pada waktu psikolog itu mengatakan seperti itu, itu kena betul, gitu.

Dan saya... Hai berjadilah diri saya untuk merubah diri saya disitulah saya apa kalau ada kata-kata itu sorry loku itu berbicara dengan diri saya diri sendiri saya bukan berbicara dengan diri sendiri tapi saya tuh berantem dengan diri saya sendiri gitu hai hai Saya itu kalau melakukan kesalahan, itu saya hukum diri saya sendiri, orang lain tidak bakal tahu bahwa saya menghukum sedemikian kerasnya terhadap diri saya. Bahkan saya setiap sore hari itu saya melakukan self audit.

Hari ini saya melakukan apa dan itu saya sosali sedemikian rupa. sehingga pelan-pelan itu berubah. Termasuk tidak bisa bergaul, termasuk kalau berbicara terlalu cepat, sehingga seorang susah memahaminya, dan sebagainya. Itu pelan-pelan saya ubah.

Pelan-pelan saya ubah. Akhirnya menjadi praktis hal tersebut bisa saya atasi. Makanya saya yakin dengan ungkapan yang saya sering sampaikan, bahwa orang pintar itu kalahin sama orang rajin.

Saya itu bukan pintar, saya memang harus saya klaim bahwa saya itu orangnya rajin. Saya itu orangnya punya persisensi yang tinggi, ngotot orangnya kalau sudah punya keinginan tertentu. Walaupun dalam perjalanan yang merubah diri saya tadi itu, jadi tidak bisa gaul menjadi gaul, dari ngomong susah dipahami menjadi public speaker, itu saya harus katakan sangat tidak mudah. Misalnya, saya ini kan AM kampung ya, lulusan dalam negeri, tidak pernah sekolah mengambil gelar di luar negeri, kalau pendidikan yang short course itu ada. Saya belajar bahasa Inggris juga belajar sendiri dengan kamus yang saya miliki dua kamus Indonesia Inggris dengan Inggris Indonesia.

Kamus Indonesia Inggrisnya itu adalah Hassan Sadli itu yang warnanya coklat. Jadi sampai sekarang kamus itu masih di kantor saya. Itu guru saya dalam bahasa Inggris itu yang kalau anak saya ingat itu ketawa kalau utamanya kalau saya mengucapkan bahasa Inggris dengan pronunciation yang kurang pas itu ketawa ini akibatnya jebolan dari belajar sendiri gitu, digodain gitu. Tapi saya udah terbiasa dari kecil dibully begitu, begitu kan saya menjadi dorongan semangat, saya perbaikin bisa-bisa saya. Nah, dalam pergaulan itu, misalnya saya bergaul dengan banker gitu, mereka kan pakai bahasa Inggris kalau banker itu.

Dan saya waktu itu kerja di perusahaan besar, saya pegang bagian treasury, saya banyak berhubungan dengan banker-banker itu, dan saya mencoba, ya. Menceburkan diri saya dalam pergaulan tersebut. Sejak bicara, pada saat aku berbicara dengan Inggris yang broken English pada saat itu, ya tentunya responnya orangnya juga tidak terlalu mengembirakan begitu. itu terus saya mulai menarik diri saya lagi mojok lagi, tiba-tiba saya sudah pegang minuman karena itu koktel gitu ya saya dipojokkan itu tiba-tiba saya tulang lho, saya sudah sendirian lagi gitu nah terus saya ikatkan diri saya lagi soliloquy lagi, sarang soft talk gitu kalau kamu nyerah berhenti lo kamu sampai di sini gitu selawan lagi itu bahwa lama gitu saya gitu ya kira pelan-pelan kan ulah tapi tetap ya warna asli tidak bisa hilang bisa hilang kalau ada di pertanyaannya singkat Apakah ada rasa minder sampai hari ini masih ada makanya saya tuh apa ya mungkin tertolong ya, tertolong dalam adian jadi orang minder itu ya harusnya konsekuensinya jadi tidak mudah jadi sombong gitu ya orang-orang minder kau sombong tadi aneh itu jadi saya tertolong disitu sehingga walaupun saya itu katakanlah kalau mendapatkan pujian-pujian dari orang itu saya langsung dengarkan kata-kata itu dengan kewaspadaan tertentu dengan suatu niat keras saya tidak boleh teracuni dengan kata-kata tadi gitu dan itu kalau dilakukan bantu-bantu walaupun saya tidak mengatakan makan sama sekali nggak ada dampaknya itu ada makanya udah lah kalau dipuja puji itu ya itu sebetulnya lebih banyak racunnya seperti kayak permen kalau dimakan terlalu lebih lebih lebih lama-lama jadi diabetes itu kan tapi kalau diwaspadai ya makan permen tapi juga enggak banyak-banyak ya akan menolong itu sampai tiga tertentu tapi sifat asli nggak akan hilang manusia itu nggak akan hilang jadi kalau anda melihat saya kok sebaliknya Sifat asli tetap ada di sana, memang sudah mengalami transformasi. Yang ketiga, memang gaya bicara saya ini gaya bicaranya seorang lawyer, ya jadi dia begini gitu.

Apa, try to... be a convincing gitu kalau enggak ya enggak ada klien yang datang kira-kira kayak gitu lah jadi tadi Bapak bicara bahwa ada satu advice advice terbaik yang buat Bapak yang Bapak derima adalah advice dari seorang psikolog itu selain Advice dari ibu bapak? Apa sih advice terbaik dari ibu bapak? With all my respect to my father, bapak saya itu anaknya 11, beliau udah terlalu kelelahan mendidik dan mendidik, dan serta... mendampingi kakak-kakak saya.

Sehingga praktis saya itu menjadi anak didik dari ibu saya. Anak ragil, anak bungsu, ya begitu konsekuensinya. Nah, ibu saya itu hanya lulusan SD, kelas 3 SD.

Hanya lulusan kelas 3 SD. Tetapi beliau itu di mata saya adalah seorang ibu yang visioner. Saya belajar banyak dari beliau.

Satu, misalnya, beliau mengatakan, dengan bahasa Jawa ini, kalau di Indonesia kan dari orang greget gitu ya. Beliau mengatakan, Ngantongin ilmu, itu tidak ganjel. Kalau saya ngantongin ini ya, masker begini ya, ini kan ganjel saya masukin di kantong.

Tapi kalau ilmu itu enggak. Anda baca buku sampai seribu judul dari lemari yang segitu besarnya, enggak merasa ada beban. kan gak bisa ganjel dan ada kemanapun ada bawa pergi ke warga juga ikut serta gitu kan kata-kata itu mempunyai makna yang mendalam dan itulah yang mendorong saya menjadi lifelong learner ajaran ibu itu yang membuat saya menjadi pembelajar seumur hidup itu dua beliau bilang gini kita satu ketika dia melihat kakak perempuan saya sedang nyulam kristik zaman itu ibu saya komentar wanita zaman kamu sekarang kok kerjaannya masih nyulam gitu. Bawa sana belajar bahasa Inggris gitu. Ibu visioner.

Ibu tahu bahwa bahasa Inggris penting sekali. Sekarang kan bahasa Inggris menjadi sesuatu yang biasa, tapi di zaman saya, generasi saya, itu yang profesional yang bisa bahasa Inggris dengan yang tidak, gajinya bisa satu banding dua. Bisa satu banding dua. Dan kemudian juga dengan bisa bahasa Inggris, pergaulan kita juga bisa jadi internasional dan seterusnya. Bahasa apalagi lingua franca itu tentunya sangat membantu sekali.

Ibu mengingatkan seperti itu. Terus ketiga Ibu mengatakan begini Bagaimana bahasa Jawa lagi Beliau mengatakan Lembah hati nih Orang hidup itu harus rendah hatinya Bukan rendah diri ya Rendah hati Biar disukai sama orang-orang. Ibu itu mengajarkan seperti itu. Lembah hati dia. Biar disukai orang-orang.

Bila mengatakan, ini yang penting, bagus nih. Ini banyak ya, tapi yang saya sampaikan beberapa saja. Ibu mengatakan begini. Orang hidup itu harus pinter bolak-balik pikiran. Kalau kamu lagi ada bisnis sesuatu, bolak-balik pikiran kamu itu.

Inilah basis dari positive psychology sebetulnya. Positive psychology. Kalau psikolog Viktor Frankl itu menciptakan teori yang diberi nama Logotherapy. Logo itu meaning, terapi itu pengobatan. Pengobatan dengan cara memaknai apa yang terjadi dalam hidup kita.

Gampangnya gitu saja. Dan itu teori itu dia ciptakan dari pengalamannya dia pada waktu di KAM konsentrasi nasi, di mana dia melihat sehari-hari kekejaman yang terjadi di depan mata, Bahkan yang tidak diseksa pun akhirnya bisa jadi gila karena melihat temannya diseksa sedemikian rupa. Sementara Viktor Frankl dia bahkan bisa menjadi seorang konselor. Bahkan jenderal yang memimpinkan peniksaan tersebut suatu ketika konsultasi ke dia juga. Pada waktu istrinya meninggal, datang itu jenderal itu.

Dia mengatakan, I am devastated kira-kira gitu. Saya remuk dah. Saya ditinggal istri saya. Kita tidak ada gairah untuk hidup lagi. Pokoknya mengoceh-ngoceh.

Dia sebagai konselor, ya dengerin saja. Konselor itu kan begitu dia. Reflecting gitu, didengerin gitu. Kemudian dia akhirnya bertanya satu pertanyaan. Yang mana yang lebih mencintai?

Dia mengatakan begini. Susah mengukur itu, saya sangat mencintai istri saya, tapi istri saya juga sangat mencintai saya. Terus ditanya, tapi kalau seandainya kamu yang meninggal duluan, apa yang terjadi terhadap istri Anda?

Dia mengatakan, artinya, dia akan lebih remuk, redap lagi. Ya sudah, kalau kamu mencintai istri Anda, dan Anda tahu bahwa kalau istri Anda akan jauh lebih tersiksa, lebih terpukul, kalau Anda tinggalkan lebih duluan, berarti ini kan yang terbaik. Langsung terdiam dia, jenderal tersebut.

Manggut-manggut, dia mengucapkan terima kasih, dia keluar. Sembuh itu. Nah, ini artinya apa? Stimulusnya sama, istri meninggal, semula datang itu dengan stres dan kesetiaan yang luar biasa, sudah bentuknya itu bukan... kesedihan, kan orang sedih itu kan berjenjang gitu ya, bisa tanpa menangis, bisa dengan menangis, tanpa nggak bisa menangis gitu kan.

Jadi dia datang kira-kira sampai dengan jenjang yang ketiga, tetapi pada saat dia keluar dari ruangan itu, kesedihan itu hampir hilang. Padahal kejadian itu masih sama, istrinya meninggal gitu. Itulah kebutirannya yang dikatakan oleh Viktor Frankl.

bahwa manusia itu punya free will, ada kotak kebebasan seperti CPU begitu, pada waktu kita mendapatkan stimulus, kebebasan free will ini yang akan kemudian menentukan apa respon kita. Jadi bukan apa reaksi kita, karena reaksi itu tidak ada free will, ada stimulus langsung muncul reaksi. Tapi kalau stimulus dia melalui proses, dipunyai kendak bebas untuk memproses, menimbang-nimbang dan... Dan seterusnya, keluarnya itu bukan reaksi, tapi adalah respon.

Nah, responnya bisa negatif, bisa positif. Istri meninggal, semula sedih, kemudian keluar dengan beban yang sudah hampir hilang. Ada anak yang putus cinta, ada anak yang putus cinta, satu cinta yang satu bunuh diri, yang satu tidak.

Ini kan menunjukkan reaksi bisa berbeda-beda. Tapi kalau kita menggunakan teori Viktor Frankl yaitu logoterapi ini, maka kita punya free will, sadarlah dalam hidup punya free will, dan kita punya kendak bebas itu untuk menentukan how are we going to respond to the stimuli yang masuk ke kita. Nah, itu sebetulnya ajaran ibu saya, harus pinter bolak.

bolak-balik pikiran itu esensinya seperti itu. Dan itu menolong banyak sekali dalam perjalanan hidup saya. Perjalanan hidup saya itu keras, saya harus katakan keras sekali.

Banyak orang yang mengira, orang itu ya mungkin melihatnya setelah sampai di sini gitu ya, tapi perjalanan hidup saya itu keras sekali. Dan kalau saya tidak bisa bolak-balik pikiran saya, mungkin saya bukan hanya tidak sampai di sini, mungkin saya sudah di tequila, kira-kira seperti itu. Surprise banget pak, dalam arti kata memang kalau dari banyak orang luar melihat, nggak mungkin nyangka sepertinya hidup bapak sekeras itu. Dan setelah itu bahkan bapak berubah 180 derajat di bangku kuliah ya pak ya, dikarenakan psikolog tersebut. Nah selepas kuliah, Pak Damai ternyata lebih memilih berkarir di perusahaan orang lain dan hal ini ternyata disesali oleh ayah yang sebetulnya sudah menyiapkan bisnis untuk anak-anaknya.

Apa sih yang sebetulnya mendasari keputusan Bapak saat itu? Ya saya pada waktu lulus, saya itu kan waktu sekolah dulu kan Dari SD atau TK sampai SMA itu kan nakal gitu ya, nakal. Saya baru mulai bener-bener sekolah serius itu waktu di mahasiswa. Sampai saya mengambil dua jurusan, segala macam. Itu dengan satu kesadaran, bahwa saya memang sudah nggak mau membebani orang tua saya lagi, utamanya ayah saya.

Zaman sekarang orang itu punya anak tiga aja, udah ngeluhnya kayak gitu kan, beban anak gitu. Bayangkan zaman dulu itu nggak ada keluarga berencana. Itu istilahnya sampai sehabisnya telurnya istilahnya gitu kan ya.

Selama telurnya masih ada ya terjadi pembuahan ya terus punya anak terus gitu. Kasian orang tua zaman dulu tuh gak pernah istirahat. Sampai kakak saya tuh jaraknya cuma 11 bulan dengan saudaranya yang sebelumnya.

Itu artinya ibu saya tuh hampir sepanjang hidupnya tuh dihabiskan untuk hamil dan melahirkan gitu. Ayah saya kemudian tuh membesarkan dan cari nafkah untuk menghidupin anak-anaknya 11. 17 anak saya sudah eh apa namanya sudah berhasil mencari pengetahuan yang harusnya bisa saya jadikan bekal untuk mempapa menghidupi diri saya sendiri dan keluarga saya saya tidak mau lagi membebani ayah saya itu sederhana aja pikiran saya ya masih muda memikirnya masih sesuatu yang sektoral begitu tidak holistik Sesuatu yang saya yakin benar, tapi belum tentu bijaksana, saya tidak menyadari bahwa itu keputusan yang... Tentu saja membuat ayah saya tidak happy.

Karena anak 11, itu satu persatu pada mentah, semua pindah ke pati pada waktu itu. Kami keluarga, kelahiran dari Rembang. Tentu ayah mengharapkan saya berkenan tinggal di Rembang. Mendampingin orang tua.

Tapi it was unspoken. Orang tua saya tidak pernah mengatakan begitu, terutama ayah saya. Kalau ibu saya itu diem, orangnya ya nggak ngomong.

Saya pada waktu ayah saya mencoba membangunkan pabrik biskuit di Rembang, itu saya tidak antusias dan saya merasa bersalah malah. Aduh, saya bebanin lagi. Akhirnya saya memang pamit, saya kerja ikut orang.

Dan saya baru tahu belakangan dari keponakan saya, sekarang juga ada di Garuda Food, yang diberitahu sama ayah, ayah saya kamu besok sekolah jangan ambil ekonomi kayak kamu punya Om itu juga ikut orang gitu disesali saya karena saya punya penisi begini walaupun kecil dibagi diraja sendiri itu ayah saya Kalau bagi ayah saya itu anak laki-laki, karena beliau adalah seorang pengusaha ya, walaupun kecil, tapi beliau tetap berusaha gitu, menjadi pengusaha sebisa-bisanya untuk menghidupkan anak-anaknya. Kalau punya anak, utama anak laki-laki, ikut orang, itu beliau nggak bisa terima. Saya generasi yang udah berbeda, pandangan saya berbeda, nggak seperti itu. Oke, saya generasi. saya dengan enteng saja, saya kerja ikut di satu perusahaan yang dengan saya pilih perusahaan yang besar dengan harapan supaya saya bisa belajar.

Saya belajar. Belakangnya saya baru tahu di sesaliaya saya. Namun saya percaya beliau sekarang di alam sana bisa memaklumi keputusan saya, sudah tidak disalahkan lagi, karena beliau memang melihat, karena saya kerja ikut orang, pada waktu kemudian saya memutuskan untuk membantu keluarga, karena saya, karena ya itu, ketika dari ibu pembelajar saya banyak belajar yang kemudian bisa saya pakai untuk membesarkan perusahaan keluarga sendiri kira-kira dan saya kira saya percaya ya saya apa bisa bisa adalah bisa memakluminya lah kira-kira gitu ya silakan masa-masa sulit sempat mendera Bapak di puncak karir Bapak sebagai profesional di di salah satu perusahaan besar di Kediri boleh diceritakan Pak Apakah ini juga yang menjadi pertimbangan Bapak ketika memutuskan untuk pindah dari ke diri kejar harta ya tadi saya sempat menyampaikan bahwa orang-orang tidak membayangkan bahwa kehidupan saya itu keras, bahkan sangat keras sangat keras, saya itu anak busu, anak ibu yang tidak pernah dipukul sama ibu, tidak pernah dipukul sama ayah padahal orang tua jambat dulu kan keras-keras kalau sama anak, saya itu benar-benar beruntung diperlakukan dengan sangat lembut oleh ibu saya Sebetulnya saya itu gak pernah disiapkan untuk menjadi seorang pemimpin, apalagi pemimpin di perusahaan keluarga yang notabene anak buahnya adalah kakak-kakak kandungnya semuanya.

Tapi perjalanan hidup saya pada waktu saya kerja sebagai profesional pertama kali di sebuah perusahaan besar di Jawa Timur saya disitu, itu saya katakan itulah kawah, salah satu kawah condro di muka saya tempat pengebelingan diri saya saya mengalami berbagai hal, pekerjaan saya ini orangnya punya apa ya kalau orang bilang itu enteng baunya gitu, gampang turun tangan gitu sehingga dulu tempat saya itu sampai dijulukin toks sampah apa-apa kerjaan yang kira-kira gak selesai dilempar ke tempat saya gitu tapi saya terima dengan senang hati aja dan saya kerjakan dengan sebaik-baiknya karena saya ini orangnya perfeksionis, Bang. Dan anak buah saya juga ikutin saya. Dia melihat saya penuh dengan energi, dia juga ikut energize, mereka ikut energize.

Dan mereka juga ikut mengerjakan dengan setelah hati. Tapi kemudian belakangan hari perlu saya sadari dengan begitu saya belajar macam-macam. Orang itu kan mengembangkan kompetensi itu kan T-shape management begini ya.

Ini garis vertikalnya ini adalah mencerminkan kompetensi asal yang kita dalami, ini adalah spesialisasi kita. Garis horizontal yang di atas ini mengajarkan bahwa kita tidak bisa hanya menjadi spesialis saja, kita juga harus belajar berbagai disiplin ilmu yang lain, sehingga kita juga suatu ketika menjadi general. Sehingga disitulah kebijaksanaan berkembang. Kalau orang belajar bidang spesialisasi saja, dia bisa ngotot bahwa dunia itu hanya seperti itu, kayak kuda gitu. Tapi dengan T-shape, kebijaksanaan kita berkembang, pengetahuan kita semakin holistik, dan sebagainya.

Hai itu saya dapat pada waktu saya kerja di perusahaan tersebut belajar macam-macam disuruh apa saya kerjakan aja itu tanpa saya tolak gitu kita belajar macam-macam dan itu jadi bekal nah Hai dalam perjalanan itu itu kan tidak kelihatan indahnya kalau disetakan indah ya tapi apa namanya Pertarungannya keras, setiap orang itu kalau berkarir maju itu juga ada yang suka, ada yang tidak suka, itu pertarungannya keras. Tapi saya itu orangnya kan tidak melekat pada posisi ya, saya kerja ya kerja gitu aja, ada yang iri misalnya gitu ya, saya juga gak pusing, bahkan saya mungkin gak pedulin gitu kan. Pokoknya saya kerja gitu aja, tapi dalam perjalanan. Nah ini makanya ya, Sudamek Agung Waspodo.

Kalau nggak Waspodo, bisa aja kemudian menghadapi cobaan-cobaan yang kita nggak inginkan. Saya di tempat itu pernah mengalami cobaan di mana anak saya yang nomor dua itu sakit. Sakit.

Sakit itu sakit serius, itu adalah leukemia. Padahal kami family history tidak ada. Suatu ketika saya di Jakarta, saya ditelepon istri saya. Istri saya bilang, Indra panas berapa hari ini.

Saya jawabannya ya ganteng aja, dibawa ke dokter. Tapi setelah telepon saya taruh, saya mikir, istri saya itu nggak pernah telepon kalau ada anak sakit. Karena dia tahu, saya itu kalau anak sakit, bukan yang bantu, malah gangguin.

Karena gupu, gampang ngepanik saya kalau anak saya sakit. Baru panas sedikit aja, panik saya. Sampai sekarang.

Sampai sekarang pasti sifat itu. Tapi kemudian saya berpikir, kenapa kok saya tadi telepon gitu ya, pasti ini ada sesuatu yang serius. Terus saya telepon lagi, terus dia bilang, iya sudah saya bawa ke dokter. Tapi ya dokternya bilang suruh opnam, waduh ini serius nih.

Ya pamit sekali, karena saya pulang, balik lagi ke Jawa Timur. Dan ternyata penyakitnya serius. Dan kebetulan di perusahaan pada saat itu memang belum ada tunjangan untuk kasus-kasus seperti itu. Sehingga saya harus gali lubang, tutup lubang untuk mencoba menutup biaya yang dikeluarkan.

jumlahnya tidak sedikit. Dan karena jenis liukimia-nya adalah liukimia yang ganas, akhirnya tidak. Dokter di Surabaya pada saat itu juga tidak sanggup, saya bawa ke Singapura. Nah ini orangnya kan memang tidak mudah menyerah gitu ya. Saya bawa ke Singapura, saya nggak mikir biaya dari mana, pokoknya saya bawa ke Singapura.

Dan singkat kata anak saya sakit itu selama 23 bulan. Jadi saya menderita itu selama 23 bulan. Dan 23 bulan itu, 19 bulan itu keluar masuk rumah sakit. 19 bulannya di rumah sakit, 4 bulannya itu keluar masuknya itu, di luar rumah sakit. Itu pun akhirnya nggak berhasil, anak saya itu akhirnya meninggal juga.

Walaupun saya udah relakan ya, karena saya tahu kalau dia hidup juga, dia akan tidak bisa normal lagi karena udah terlalu banyak X-ray lah, segala macam begitu. Akhirnya ya sudah, saya hilangkan satu anak. Padahal seperti saya katakan tadi, anak lagi demam saja, saya sudah panik. Bayangkan satu ketika orang tua seperti itu punya anak. ada anaknya yang meninggal saya gak gila aja, gak beruntung gitu tapi saya dalam perjalanan 23 bulan itu juga sebetulnya menjadi semakin tambah lama, tambah kuat dan dalam perjalanan 23 bulan ini saya lakukan berbagai cara berbagai cara untuk demi kesembuhan anak saya Medis maupun alternatif.

Saya pokoknya lakukan berbagai cara, sampai teman-teman saya itu geleng-geleng, lihat saya itu kok enggak mengenal menyerah gitu kan. Enggak, saya enggak mau nyerah. Saya usahakan sampai istilahnya nafas yang terakhir dari anak saya gitu. Tapi akhirnya dokter yang di Siapur mengatakan suruh bawa pulang. Ya sudah saya bawa pulang dan hanya 2-3 hari setelah sampai di Jawa Timur itu, akhirnya meninggal anak saya.

Sehingga tempat itu memang menjadikan luka badan baru bagi saya. Saya sudah merasa tempat ini kok begitu banyak pengalaman yang pahit dan yang buruk, keras sekali gitu, yang saya sudah tidak ada niat lagi untuk... tetap tinggal di kota itu.

Gak disitulah saya kira keluar. Tetapi, sebagai profesional, jadi penting ya, buat generasi muda utamanya, membuat keputusan itu tidak boleh tergesa-gesa. Saya pada waktu akan keluar itu, Saya pamit sama istri saya, di rumah sakit, kita bicara di dalam kamar anak saya itu. Saya bilang, aku mau pindah gitu. Hah?

Kamu gila? Situasi gini kok pindah gitu? Gak gini, aku pindah ini juga gak apa, gak gerusa-gerusu, saya udah pikirkan baik-baik. Terus saya tunjukkan, ini loh hasil negosiasi saya dengan calon employer saya yang baru.

Saya tunjukkan, sedemikian rupa, bahagia. kan saya itu negosiasikan itu gaji dua tahun ke depan. Dan dia setelah tahu bahwa kami mengalami kenaikan gaji yang cukup signifikan, dia mengatakan begini, sudah kamu sudah pikirkan baik-baik, kamu yang lebih. lebih tahu apakah keputusan itu benar atau salah.

Udah ya kok, ini sudah saya pikirkan baik-baik. Akhirnya, putuskan kita pindah. Dan itulah memang menjadi titik balik dalam kehidupan saya untuk selanjutnya. Anda memberi uang kepada seorang fakir miskin.

Cara yang berbeda, hasilnya akan berbeda. Misalnya, Anda memberikan uang itu dengan dilempar. Kita tahu Hakim Meskin itu orang yang cacat, dia suka susah sekali mengambilnya, ya untuk kita lempar jatuhnya agak jauh, dia harus merangkak-merangkak untuk mengambil itu, dan ya sangat bisa dimaklumi kalau...

si fakir miskin tadi, kemudian juga menggerutu. Bandingkan dengan kalau kita memberikan itu dengan tatapan wajah yang penuh belas kasih, tenang belas kasih, in response, dia juga akan memancarkan sinar mata seperti itu. Jadi giving is getting.

Getting is giving. Giving is getting. Dua-duanya, giving is getting, getting is giving.