Transcript for:
Peran Budaya dan Sejarah di Indonesia

Kalau perhatikan sejarah kita sendiri, ada hubungan antara geografi kita yang begitu tersebar dengan kenyataan bahwa kita 1100 suku bangsa dengan sekitar 600an bahasa. Yang menakjubkan dari Indonesia adalah kemampuannya untuk mengurangi kompleksitas itu. KEMBALI KE KOMPLEKSITI Cara berpikir yang diperkenalkan melalui metode sejarah pada intinya memberikan kita kedalaman. Halo teman-teman, hari ini kita kedatangan Hilmar Farid selaku Dirjen Kebudayaan. Mas Hilmar, terima kasih banyak atas kedatangannya.

Terima kasih waktunya, Pak Gita. Saya mau cari tahu sedikit mengenai masa kecilnya, Mas Hilmar. Apa yang membentuk Anda? Waktu kecil, ekosistem di rumah tangga atau di luar rumah tangga, dan gimana bisa jadi Hilmar Farid seperti sekarang ini? Silahkan.

Saya lahir di Bonn, di Jerman. Jadi dalam satu kota, itu desa namanya Dotendorf. Dan ini desa yang sampai hari ini, kebetulan tahun lalu saya balik ke sana. Orang asing itu jumlahnya sangat sedikit.

Jadi praktis boleh dibilang kita satu-satunya rumah tangga non-Jerman. di lingkungan itu dan tentu mendapat perhatian macam-macam ya sebagai keluarga Asia yang tinggal di sana jadi tumbuh besar di sana kemudian hidup dalam satu masyarakat yang memang memandang orang berbeda itu berbeda gitu ya so we are the other gitu di dalam masyarakat itu dan itu cukup besar saya kira pengaruhnya karena membuat kita sangat sadar ya mengenai ya perbedaan terus bagaimana kebiasaan yang ada di rumah sangat berbeda dengan yang ada di luar rumah gitu ya dan tumbuh saya kira dengan satu lingkungan ya kemudian ketika pindah ke Galen dengan banyak keluarga imigran yang lain jadi itu gambaran ekosistem di luar masa kecil waktu di sekolah kita juga satu-satunya kakak beradik yang orang Asia dan memang mendapat perlakuan yang khusus juga dari guru sangat simpatik Dari anak-anak tentu karena ini anak-anak aneh, kulitnya beda. Kita berbahasa Jerman ya, jadi dari segi bahasa gak terlalu masalah gitu ya. Tapi banyak kebiasaan yang mereka gak kenal.

Apalagi kalau pulang dari Indonesia. Biasanya kita bawa baju batik, bawa macem-macem gitu. Itu tambah lagi aneh gitu ya. Jadi betul-betul kayak, apa namanya, menegaskan lah gitu ya perbedaan itu.

Nah. Cuma kita dididik oleh orang tua, khususnya ibu saya. Ibu saya itu yang paling keras kalau bersikap soal itu. Beliau selalu bilang, gak perlu ragu, kamu gak perlu takut, gak perlu malu kalau kamu itu berbeda.

karena kamu punya sesuatu di dalam itu, setiap orang punya sesuatu dan itu seperti kita bawa ya modal gitu ya, untuk memberanikan diri sebenarnya takut juga kalau mau jujur ya, karena anak ini gede-gede, kalau udah dibully sama anak-anak ini luar biasa tapi itu bekal yang kita bawa dan hal lain yang saya kira penting mengkomunikasikan perbedaan itu Kita harus membuat orang lain itu mengerti tentang kebiasaan yang berbeda. Sesederhana makan nasi. Itu bukan satu makanan yang umum kan disana.

Jadi kalau teman datang ke rumah mereka makan nasi. Dan anak-anak di Eropa ini kan sangat terbiasa untuk they wear their heart on their sleeves gitu ya. Gak pernah ragu-ragu ngomong gitu ya. Apaan sih makanan ini gitu ya.

Jadi kita selalu kayak bergulat dengan soal-soal berusaha keras gitu ya. Untuk bisa menyampaikan pesan kita nih ya. kepada mereka dan itu saya kira kebawa terus jadi buat saya ketika melakukan pekerjaan mengkomunikasikan apa yang dilakukan itu mungkin adalah hal yang sama pentingnya dengan pekerjaan itu sendiri karena tanpa itu kita mengalami di masa kecil itu tingkat kegagalannya tinggi gitu ya.

Jadi untuk main ikut di dalam satu kelompok seperti itu, kita tahu permainannya kita bisa main, tapi ketika gagal untuk mengkomunikasikan keberadaan kita, jadinya tersisih gitu ya. Hal ketiga kalau misalnya mau direfleksi, agak ngotot ya jadinya gitu ya karena tau bahwasananya pasti akan menolak by default gitu ya karena udah gak diterima deh gitu apalagi kan saya disana tahunnya 74-75 gitu ya krisis ekonominya lagi hebat banget, gastarba itu semuanya jadi lawan dan seterusnya. Jadi suasana sosialnya juga gak ramah gitu ya. Tapi ya kita harus hidup ya, kita harus bertahan dan kita urban lower middle class, jadi bukan orang dengan segala macam fasilitas, jadi ikut di dalam perebutan resources yang ada di sana gitu. Dan ya bersyukur sih ya orang tua juga sangat...

Pengaruh ibu sama bapak gimana dong? Ibu pendiam. Gak banyak bicara.

Tetapi kita biasanya lihat sikapnya ya. Jadi ini orang yang berani. Tubuhnya kecil Pak Gita.

Dia kayak 155 mungkin ya. Tapi kalau udah ada yang dia lihat gak beres gitu ya. Itu beliau minahasa ya orang Manado ya. Jadi bisa dibayangkan mama-mama Manado ini.

Akan maju ke depan gitu bilang. Boy ini gak benar. Gitu ya. Saya yang datang duluan.

Kamu harus duduk gitu bilang. Dan itu seperti ya kita kecil cuma lihat ya. Tapi kesan itu membekas gitu ya. Bahwa apapun keadaan kamu, kamu gak perlu ragu.

Kamu mungkin gak menang gitu ya. Tapi sikap itu tuh kuat. Bapak jauh lebih.

dia dulu kerja di radio jadi lebih dari jenis intelektual bahasan dan segala macam kita senang sekali ya kalau udah diskusi sama Leoni etimologi keheranan dari mana kata salju berasal karena gak ada di dalam realitas kita dan ya hal-hal seperti ini yang membuat kita terus curious Jadi terus menggali, pengen tahu lebih banyak. Mungkin juga salah satu alasan kenapa saya masuk jurusan sejarah kemudian ya karena percakapan-percakapan ini ya. Karena mungkin untuk anak lulus SMA di tahun 80-an jurusan sejarah itu kayak bukan the most promising career gitu. Tapi itu juga salah satu apa namanya saya kira. Hasilnya dari orang tua dulu.

Saya melihat sejarah itu justru sesuatu yang sangat dibutuhkan ke depan. Dan saya melihat betapa banyaknya anak-anak muda sekarang itu menjadi korban dari amnesia historis. Tapi Anda lama di Jerman. Jerman itu terkenal sebagai tempat yang bisa dibilang mekanistik. Ya.

Mathorical. Iya kan? Anda nggak ngerasa itu mengstifle kreativitas Anda? Karena sebagai historian, sebagai budayawan, itu kan insting artistiknya kan semestinya ya. Dalam batas intuisi ini.

Semestinya kan, waduh, kaya sekali kan. Dan ingin berontak. Ingin berkreasi. Itu nggak ngerasa dibatasi. Ketegangan itu jelas ada ya.

Banyak orang bilang ini saya terlalu metodik. Jadi semuanya mesti urut gitu ya. Kalau nggak begitu tuh langsung terganggu gitu ya. Tapi di sisi lain saya kira justru ketika itu bisa dikombinasi ya. Dan...

Ini juga ada hubungannya Saya di Jerman kemudian kembali ke Indonesia Kita tinggal di satu Kampung urban. Bener-bener kampung. Di jati negara.

Di satu jalan namanya Backstrat. Dan ini bener-bener. Ya tadi ya. Kalau semuanya serba teratur. Orderly dan segala macem.

Ini di complete opposite. Dan kita masuk di tengah-tengah situ juga kayak. Waduh ini. Apa ya.

Gimana. How to handle this. Kakak beradil. Saya tiga kakak beradil. Saya paling kecil.

Dan. Disitu kita mulai juga belajar ya bahwa segala sesuatunya gak selalu sama seperti yang kita inginkan dan bayangkan gitu ya. Kalau di Jerman udah ada aturan dan kayaknya semua orang gak perlu diajarin lagi, udah begitu jalannya.

Disini gitu ya on a daily basis gitu harus terus aja gitu ya, negosiasi gitu ya. Dan itu yang saya kira juga dampaknya ada besar ya. Jadi tadi ya walaupun punya urutan-urutan bekerja dan seterusnya gitu ya di sisi lain, tahu gitu ya bahwa truce dan segala macam ini adalah produk dari negosiasi gitu yang terus-menerus gitu.

Dan itu membuat kita juga jauh lebih terbuka gitu kemudian ya terhadap ya tadi kemungkinan-kemungkinan di rail, di tour dan segala macam gitu ya. Ya, walaupun secara personal saya sih kira ya mungkin kamp metodiknya masih lebih kuat daripada tadi ya yang instinctual, kreatif, dan seterusnya gitu. Kalau budaya Indonesia, Anda ngeliatnya gimana?

Sekarang, kebelakang, dan ke depan? Saya pernah dalam satu acara ya, waktu itu di Tiongkok gitu ya. Dan Tiongkok sekarang sedang betul-betul menelusuri kembali jejak 5.000 tahun mereka sebagai sebuah empire gitu ya.

Dan itu diskusinya menarik waktu itu karena kita jadi refleksi gitu ya. So kalau Tiongkok seperti itu, Indonesia ini apa? Dan kalau perhatikan sejarah kita sendiri, kita punya sejarah 5.000 tahun. Tetapi dengan karakteristik yang sangat berbeda.

Secara geografis pasti. Dan itu pengaruhnya terhadap kebudayaan juga sangat besar. Ada alasan, ada hubungan antara geografi kita yang begitu tersebar dengan kenyataan bahwa kita 1100 suku bangsa dengan sekitar 600-an bahasa.

Jadi keberadaan itu betul-betul juga tergantung karena tempat. tumbuhnya. Yang menakjubkan dari Indonesia adalah kemampuannya untuk memanage complexity itu.

Dan itu saya kira kualitas kultural kita nih yang belum banyak disadari. Kita hidup dengan itu, kalau misalnya kita datang ke Bandung kita punten dengan sendirinya, gak perlu disuruh gitu ya. Terus akan permisi dalam berasa berbeda-beda.

Tapi Ini sebetulnya kalau diangkat ke permukaan, di ekstrak pengetahuannya ya, sehingga menjadi sesuatu yang disadari, ini powerful betul gitu ya. Jadi saya lihat kebudayaan Indonesia ini gak berhenti pada perayaan keragaman kita begitu berbeda dan seterusnya, tapi justru kemampuan untuk mengelola sih perbedaan ini yang menurut saya. Luar biasa. Oh iya.

Ini perbandingan misalnya saya waktu di Jerman gitu ya. Betul. kalau cara seperti di dan ini berkali-kali ya dalam forum internasional juga kita sampaikan dan orang menyampaikan kepada kita gitu kalau apa yang kalian alami di Indonesia terjadi di kita udah lama bubar itu dengan diversity yang begitu ekstrim ya jadi sekarang kita sebetulnya di satu suhu masa yang sangat korusial menurut saya gitu ya.

Karena ya globalisasi masuknya pengaruh dari luar dan seterusnya yang membentuk kita secara sangat signifikan gitu ya. Dan pelan-pelan modal dasar besar kita ini tadi kemampuan untuk manage kompleks di pemahaman mengenai versi dan seterusnya itu juga pudar dan ya ini titik yang menurut saya genting ya karena harus ada keputusan yang mau diambil gitu kita mau manfaatkan modal kita yang sebetulnya sangat luar biasa ini atau memilih jalan yang lain dan besar kemungkinannya akan ada di ekor dari perkembangan bukan di kepala gitu ya jadi ini pilihan-pilihan kebijakan ya yang saya kira apa namanya akan sangat menentukan ya Indonesia ke depan ini saya tuh seringkali suka gak terima kalau di Tuduh oleh orang dari Eropa atau dari Amerika bahwasannya kedamaian toleransi yang ada di Indonesia ataupun di Asia Tenggara itu merupakan suatu kebetulan atau coincidence. Ini hal yang sudah kita pupuk selama beribu-ribu tahun.

Dan saya berani berhipotesa bahwasannya kita ini jauh lebih beta dengan orang Eropa itu lebih alpha. Mereka tuh jauh lebih zero sum. Kalau kita lebih, ya nggak perlu zero sum. Yang penting kita jangan gontok-gontokkan.

Dan ini secara empiris bisa dipertanggungjawabkan dengan angka kematian selama 2000 tahun. Berdasarkan perbedaan pandangan ataupun opini yang terkait dengan etnisitas, ras ataupun agama. Itu nggak lebih dari 10 juta.

Untuk Asia Tenggara. Sedangkan di Eropa, 190 juta untuk periode yang sama. Bahkan antara perang dunia pertama dan dua aja itu udah di atas 100 juta.

Tapi saya melihat ini unsur dari budaya atau kebudayaan kita yang kaya sekali. Tapi yang kurang itu mungkin bagaimana kita bisa lebih merangkul budaya prinsip. Kalau budaya pragmatisme itu terkait dengan kedamaian. satu sama lain nah tinggal budaya prinsip gimana kita bisa menyekolahkan anak, membudayakan agar anak-anak kita tuh lebih banyak membaca lebih banyak menulis dan syukur-syukur bisa menulis sejarah atau menulis ulang sejarah yang mohon maaf, tulisan sejarah selama ini agak terlalu elitis karena ditulis oleh orang-orang dari luar Indonesia Kebanyakan.

Iya kan? Dan siapapun yang bisa menulis sejarah, dia yang lebih bisa mempengaruhi masa depan. Betul. Gak tau saya.

Iya. Soal tadi ya, saya kira kenapa juga sejarah itu sepertinya pudar ya, kesadaran sejarah. Jadi bukan hanya buku-buku sejarah. Kesadaran sejarah secara umum itu melemah gitu. Itu saya sendiri ngalamin ya, waktu SMA nggak suka juga sebetulnya pelajaran sejarah.

Jadi bukan karena ada sesuatu, tapi ketika berdiskusi di rumah terutama mengenai soal-soal yang nggak langsung berhubungan dengan masa lalu, tetapi jawaban terhadap pertanyaan atau persoalan itu bisa kita cari. Ada reference point yang diacu. Dan disitu jadi menarik. Karena yang dijawab pertanyaan hari ini.

Kita gak berbicara hanya mengenai masa lalu secara eksklusif gitu. Tapi punya pertanyaannya. Dan itu yang saya kira miss atau hilang gitu ya. What does matter gitu.

Apa sih yang sebenarnya sekarang ini penting ya gitu. Itu secara kolektif kayaknya kita punya problem itu ya. Mencari apa sih sebenarnya yang sangat-sangat. Kita punya simptom sebentar marah soal ini.

Sebentar rame soal itu dan seterusnya. Tapi apa sih sebenarnya. sebenarnya yang benar-benar gitu ya, secara kolektif mengganggu kita gitu. Nah, sejarah gitu menurut temat saya tuh, akan bergerak gitu ya, ketika dia masuk ke dalam persyakatan itu.

Dan ini mungkin forum-forum yang saya kira, Perlu lebih banyak gitu ya. Jadi public discourse gitu yang berpijak pada kenyataan historis. Kemudian mendalami.

Saya sendiri waktu belajar sejarah di universitas gitu. Menyadari manfaat setelah kuliah-kuliah formalnya berlalu gitu ya. Jadi sama ketika udah mulai masuk dunia nyata. Kita berhadapan dengan banyak soal gitu ya. Saya nyadari gitu ya.

Cara berpikir yang diperkenalkan melalui metode sejarah dan seterusnya itu. itu pada intinya memberikan kita kedalaman. Jadi gak happy atau gak puas gitu dengan lihat apa yang ada di permukaan. Ini adalah sesuatu gitu ya.

Jadi kayak curiosity-nya dibangun dari itu. Apa yang bikin dia begitu ya. Sehingga ketika masuk di dalam perdebatan menjadi bagian dari public discourse, kita juga membawa informasi itu.

Ini gak muncul cuma karena... alasan-alasan yang sepertinya ephemeral tapi ada sesuatu yang jauh lebih dalam gitu dan dalam kasus tertentu bahkan ada kekuatan yang gak bisa kita tolak gitu ya membuat peristiwa sejarah terjadi gitu ya jadi hal-hal seperti ini yang saya kira akan sangat apa namanya, berguna kalau mau membawa kembali keserahan sejarah masuk ke dalam dan kadang-kadang juga kita dengar ya waduh ini anak muda sekarang gak ada yang tau sejarah semuanya dimarahin terus lah saya gak setuju bukan apa lebih karena tugas kita public intellectuals untuk mulai membicarakan soal-soal penting dan memberi perspektif stories ke dalamnya dengan begitu dia akan tumbuh dengan sendirinya saya cukup yakin karena kalau lihat perhatian kalangan muda belakangan ini kebetulan di tempat saya yang ngurusin candi, museum, dan segala macem tuh ada tuh sekarang ini minat baru. Jadi anak-anak tertarik lagi tuh. Apa sih ya?

Dan pertanyaan-pertanyaannya memang beda dengan academic history gitu ya. Kalau academic history selalu pengen penjelasan ini itu sebab akibat gitu. Kalau mereka seserhana dan menajukan sebetulnya. Borbudur, saya impressed sekali pernah dapet satu komentar gitu yang saya terus bawa kemana-mana gitu ya. Mereka bilang, Borbudur berapa lama ya bangunnya?

Sebilangnya orang berkira 75 tahun. 750-825. Jadi kalau begitu kasusnya orang yang merancang ini pada awalnya tidak pernah melihat akhirnya.

Orang yang menyelesaikan pekerjaan gak ikut dalam bicara awalnya. Continuity ini bagaimana terjadi? Ini adalah pertanyaan sejarah yang sangat relevan buat kita hari ini kan sih. Kita mau mendesain sesuatu yang ke depan dan seterusnya, lupa kadang-kadang bahwa dia akan melampaui keberadaan kita nih. Bukan hanya usia jabatan ya, bahkan usia fisik kita.

Dan bagaimana caranya membangun komitmen, keyakinan terhadap proyek. yang gak akan pernah kita lihat selesainya itu sekarang ya untuk pekerjaan di dunia hari ini apalagi kita di Indonesia ya dengan macam-macam proyek yang kita punya sekarang ini sangat krusial gitu ya kita perlu tahu tuh dari mana datangnya energi, komitmen pemahaman semacam itu dari mana dia tumbuh apakah kalau dalam konteks Buddha cukup untuk menjelaskan itu apakah ada sesuatu yang yang lebih dalam dari itu ya. Jadi all these historical questions yang muncul ya, karena ada satu observasi yang sebenarnya sangat simple. Bukan sesuatu yang terlalu scientific gitu ya, tapi matters.

Yang menarik mengenai Shalendra, atau dinasti Shalendra, itu seakan-akan setelah 825, kayak... Gak ada lagi. Ya kan? Segera sekali.

Ya kan? Dan ya, di keadaan keadaan kita berharap itu semestinya terjadi evolusi atau regenerasi atau suksesi kan secara teknologi, budaya, perekonomian, dan lain-lain. Dan itu kayaknya masuk ke jurang terus kita gak denger lagi. Ya kan?

Nah itu... Mungkin salah satu yang menyebabkan kita nggak terlalu paham adalah kurangnya dokumentasi. Iya kan? Saya melihat banyak sekali peradaban itu dia tuh bisa maju.

Karena dia bisa memadu antara kekuatan preservasi dan kekuatan inovasi. Karena adanya keterbukaan untuk... meramu atau memadu dua hal tersebut, dua kekuatan tersebut, itu hanya bisa terjadi kalau ada dokumentasi.

Ya Tiongkok bisa dibilang pecolongan lah oleh dunia barat selama 100 tahun itu karena mungkin dia tuh nggak melakukan dokumentasi terhadap wisdom ataupun know-how yang mereka sangat kaya. Tapi mereka belajar di abad ke-20. Dan sekarang kelihatan kan bahwasannya revisionisme yang dikedepankan oleh Tiongkok. itu cukup berarti terhadap the pre-existing international based order.

Nah, ini gimana nih obatnya ke depan? Supaya, karena gini loh, saya mau balik ke observasi kita tadi, yang sebelumnya. Anak-anak kita itu tergoda, terjebak dengan penggunaan dua jempol. Selama 8-10 jam sehari di HP mereka.

Dan mereka berkomunikasi kental dengan kekinian satu sama lain. Tapi mereka nggak melihat ke sejarah. yang melibatkan 108-109 miliar manusia yang sudah meninggal sebelum kita.

Saya melihat bahwa untuk kita bisa melihat ke belakang itu jauh lebih kaya. Agar kita bisa lebih kaya ke depan untuk mengkerangkakan koridor hidup kita, perjalanan hidup kita. Dan ini termanifestasi dalam divergensi yang begitu besar antara kebijakan dan opini publik. Ubiquitously. Seluruh dunia.

Gak di negara maju, negara berkembang, atau negara miskin. Semakin kita kok gak bisa memahami kok gapnya makin jauh. Ya karena mungkin policy itu dipengaruhi oleh public intellectuals, tapi kalau public opinion, itu dipengaruhi oleh konten-konten yang mungkin hanya dalam 30 detik atau 3 menit.

Nah ini gimana nih caranya untuk membudayakan agar anak-anak muda ke depan tuh lebih tidak amnesia historis. Kalau saya kata kunci selalu yang saya ulang-ulang tuh relevansi ya. Jadi ketika mereka gak lihat itu sebagai sesuatu yang kayak relevan gitu ya. Maka keengganan itu dengan sendirinya kuat sekali ya. Dan bahkan sampai ada penolakan gitu ya.

Ya gejala kayak post-truth dan segala macem. kan juga sebetulnya penolakan terhadap itu dan sebenarnya bisa dimengerti ya ketika hal-hal besar hal-hal yang kita anggap penting dan segala macem gak bisa jawab persoalannya dia gitu ya, social economy macem-macem dimensi kehidupannya, jadi dia pasti akan muncul saya kira juga dari segi generasi kalau kita bandingkan ada perbedaan antara milenial dengan genset sekarang ini isu yang mereka anggap penting gitu ya climate dulu mungkin segelintir scientist dengan environmental activist yang betul-betul ya wholeheartedly gitu tapi sekarang anak-anak SMP, SMA Genuinely gitu mereka khawatir juga gitu ya. Tetapi ketika kekhawatiran ini berkembang menjadi pertanyaan di kelas dan segala macem kan dia gak dapet respons. Dia gak dapet asupannya. Dia dapet Greta Thunberg.

Dia dapet dari mana-mana gitu ya. Tetapi di dalam miliunya sendiri gitu ya yang membantu dia menafigasi isu ini untuk kemudian juga katakanlah. mendorong dia untuk melakukan sesuatu tuh absent gitu nah public intellectuals nih saya kira juga perlu nih gitu ya menaruh perhatian kepada soal seperti ini gitu ya sehingga mereka tuh addressing issues ya memang dari berbagai macam disiplin ilmu gitu tapi contribute gitu terhadap kesadaran yang sedang tumbuh ini gitu karena yang sedang tumbuh ini kan bentuknya juga tidak selalu apa namanya siap untuk diolah ya mereka bisa muncul dalam berbagai manifestasi yang aneh-aneh juga gitu ya nah dan itu saya kira kunci gitu ya Hal kedua yang tadi, kita ngomong soal salendra tadi ya, dan hilangnya dokumentasi.

Ini ada kaitannya juga dengan kemampuan kita gitu, untuk... Membaca dokumentasi ini. Karena dia kadang-kadang kan. Diteruskan kepada generasi selanjutnya.

Tidak selalu dalam bentuk yang familiar dengan kita. Dan itu. Saya alami misalnya. Kalau pergi terutama di kawasan timur. Tradisi menulis.

Aksara. Gak ada. Sehingga.

Bentuk pengetahuan ditransmisikan. Dari generasi ke generasi itu. Dalam gerak. Bunyi, visual, dekorasi, dan seterusnya. Di situlah sejarah, pengetahuan tentang kebudayaan, dan seterusnya itu diekspresikan.

saya manusia abad 20-21 ini udah buta huruf itu apa illiterate gitu ya mesti ngaku gitu bahwa kita gak punya tuh ilmunya gimana ya memahami tenun yang begitu kompleks gitu yang mereka desain itu tanpa gambar mereka apa namanya jadikan di kepala dulu jadi kalau misalnya sekarang bicara tentang kemampuan desain orang-orang ini di depan gitu ya sebetulnya ya. Cuma karena tadi kita gak punya lagi perangkat pengetahuan untuk mengenali itu semua, dan yang paling penting mengintegrasikannya dengan hari ini. Kita nih di kementerian tuh salah satu tugas utamanya kan sebenarnya itu. Bahasa yang selalu digunakan revitalisasi, menghidupkan kembali. Maksudnya apa gitu ya.

Karena kalau dulu ya itu preserve. Dokumentasi dengan baik, kadang-kadang bikin pameran dan seterusnya that's about it. Saya bilang gak bisa.

Ini sebenarnya bisa menjadi banyak ya. Kalau misalnya bicara tentang ekspresi budaya yang ada kegunaannya untuk menjawab persoalan kita hari ini. Itu abundance. Seperti pengetahuan mengenai genetic resources.

Itu satu area yang saya kira di dalam masyarakat itu sendiri kuat sekali. Kalau mereka masuk ke hutan itu kayak masuk supermarket. Padahal langsung tau, oh ini untuk ini dan segala macam gitu ya.

Praktis mereka bisa bilang, untuk anak cucu saya dua generasi udah selesai lah, saya gak perlu apa-apa, ini aja gitu ya. Wah gitu, ini ilmu yang hidup di dalam masyarakat kita, tapi generasi kita ini putus gitu ya. Dan itu...

Saya kira salah satu tugas gitu ya. Dokumentasi dengan baik. Memahaminya, mempelajarinya. Dan yang paling penting mengintegrasikannya ke hari ini.

Dan itu syarat yang penting disini juga saya kira. perpaduan antara yang kita sebut pengetahuan berbasis tradisi ini dengan sains dan teknologi. Tuh.

Dia gak bisa stand alone. Dia gak bisa, dia pernah melalui satu masa yang sangat panjang gitu ya. Tetapi untuk dia kemudian berkontribusi di masa depan yang... kompleks ini gitu, dia perlu science and technology. Nah ini nih, investment yang mestinya kita lakukan ya, dan kalau saya duga ya, kalau misalnya anak-anak muda gitu, kemudian kita ajak gitu, dan kita sering tuh ngajak-ngajak mereka ya, masuk ke berapa daerah, lihat ekspresi-ekspresi budaya itu, kok ketertarikannya bisa muncul ya.

Apalagi kalau dia bisa menjawab soal-soal yang mereka hadapi gitu. Jadi ini satu area yang saya kira perlu kita eksplor gitu ya. Dan ya tentu perlu ada investment untuk bisa memastikan ini berjalan dengan. Saya tuh agak-agak gelisah kalau melihat data ya. Bahwa budaya baca itu ini sekali.

Ya kalau saya ke kelas lah. Saya tanya yang baca buku dalam satu minggu terakhir tuh. Dari 50 orang. Mungkin yang tunjuk tangan satu.

Baca buku dalam satu bulan terakhir mungkin tiga atau lima. Baca buku dalam enam bulan terakhir ya mungkin sepuluh. Nah kalau kita gak bisa membudayakan baca buku, sulit untuk kita membudayakan.

budaya nulis. Sulit untuk kita mendokumentasikan. Ya kayak kita ke daerah, kita ketemu pengrajin, dia bikin tenun kayak sambil kumur, sambil apa bisa.

Tapi resikonya kan kalau ada disrupsi, regenerasinya gimana, suksesinya gimana. Sama juga dengan pengetahuan mengenai flora dan fauna, genetic resources, dan segalanya. Yang kalau tidak terdokumentasi itu gimana bisa dihibahkan.

ke generasi penerus. Dan itu proses yang kalau menurut saya bagian dari upaya kita untuk memperkaya budaya. Kalau tidak ada dokumentasi, gimana? Dan resiko bukan hanya tidak adanya kepekaan terhadap budaya dan sejarah.

Itu mutlak. Tapi resiko terjadinya misinterpretasi terhadap budaya dan sejarah. Itu juga ada.

Kalau tidak ada dokumentasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ini kalau saya lihat anak-anak muda, dia kalau minjem buku di perpustakaan, anak-anak SMP itu 32-33% topiknya sosial. 32-33% topiknya hukum. 32-30% topiknya ekonomi. Yang STEM related itu 0,5%.

Sekarang kita berkepentingan untuk meningkatkan porsi atau propensitas inovasi, teknologi, supaya kita bisa mendokumentasi. Kalau ketertarikan mereka terbatas untuk STEM, gimana ini? Belum lagi kalau saya lihat produktivitas marginal kita itu hanya 25 ribu dolar per orang per tahun untuk barang dan jasa. Negara seperti Singapura di atas 200 ribu dolar.

Korea di atas 100 ribu dollar. Nah ini saya mau angkat contoh Korea, Korea Selatan. Korea Selatan itu Populasi cuma 50an juta Kita 280 juta, tapi gak tau gimana Anggota keluarga saya itu Kalau gak nonton drakor Kayaknya gelisah Kalau gak nonton BTS, gelisah Nah gimana mereka bisa sukses Memproyeksikan budaya Tapi kalau saya ngobrol sama orang Korea Agak-agak sedikit serendipitas Dalam arti mereka tuh ditopang Dengan disrupsi hardware Karena adanya Samsung, LG, dan lain-lain.

Terus adanya disrupsi software. Karena adanya Twitter, Facebook, YouTube, dan segalanya. Pipa untuk mendiseminasikan informasi dan ide. Tentunya tiga adalah demokrasi.

Korea Selatan itu demokrasi yang robust. Jadi mereka bisa dianggap cukup oke mendemokratisasikan informasi dan ide. Nah tiga atribut tersebut.

Itu yang membuahkan kesuksesan proyeksi budaya ke seluruh dunia hanya berdasarkan populasi 50 juta. Ya Indonesia saya rasa diversitasnya jauh lebih besar, lebih kaya daripada Korea. Mereka sangat homogenius.

Kita sangat heterogenius. Ya kita perlu cari nih resepnya apa nih supaya kita bisa mendangdutkan dunia. Iya kan?

Apapun lah. yang kita bisa proyeksikan. Gimana Mas Imar?

Ya, kita saat ini ya, saat ini kita juga mencoba tadi ya menembus ya, karena udah terlalu lama ya, sebetulnya hanya di Indonesia, kemudian bikin pekan kebudayaannya sendiri dan seterusnya. Jadi kita pengen lihat gitu keluar. Dan memang... Kalau di apalagi Korea ya itu kayaknya pembicaraan yang gak jauh kalau Korea buat kita sekarang ya saat ini gitu ya. Tapi yang kita lihat gitu kunci keberhasilannya itu tadi karena memang sudah ada kesepakatan akan arahnya ke sini.

ini yang belum kita ambil Pak Presiden balik-balik bilang deh nah kita kebudayaan kita akan ekonomi kreatif dan seterusnya di tingkat itu ada keinginan kita bisa membaca tapi ini memang perlu dikonsolidasi sehingga betul-betul dia menjadi kekuatan gitu ya karena yang sekarang ini ada ya inisiatif bagus dari teman-teman kita menang ya mereka menang di Locarno Film Festival mereka hadir di Busan dan seterusnya individual talent kita tuh tersebar dan cukup baiklah gitu ya bisa sekarang bahkan sudah 61% market domestiknya film Indonesia jadi bagian itu tuh sebenarnya kita punya modal cukup kuat tapi untuk dia kemudian menjadi kekuatan pemukul dan betul-betul katakanlah masuk ke satu market katakanlah yang global ini PRnya masih banyak banget karena tadi secara kelembagaan ada keterputusan antara hulu dengan hilir kalau kita bayangkan urusan hulu-hilir hulu ini biasanya urusannya camp dig boot di tempat kita kreasi, orang diskusi dan segala macam penciptaan laku gak laku pokoknya disini semakin kehilir ini kan urusannya ekonomi kreatif, paliwisata dan seterusnya Aliran ini sekarang oke karena timnya kompak, menteri-menterinya baik gitu ya, bisa gitu ya. Tapi kita juga lihat gitu, ini masih benar-benar, atau sorry, ini masih belum terlembaga dengan baik. Ini betul-betul karena orang-orangnya kenal, terus punya apa namanya, keinginan untuk kerjasama sehingga dia bisa sampai ke level yang sekarang untuk mendukungnya. Tapi kita masih perlu menurut saya, ini dikonsolidasi.

Dan syarat untuk melakukan konsolidasinya satu, keyakinan bahwa inilah jalanan yang tempuh. Korea sadar betul, setelah 98 mereka udah tahu. kita gak bisa hanya mengadalkan industri manufaktur yang begitu volatile dan seterusnya kita perlu sesuatu dan semuanya sepakat dan kalau kita perhatikan sejarahnya 25 tahun demokrasi yang berubah itu kan jatuh bangun pemerintahan tapi yang bagian ini mereka jalan terus Ini nih yang saya kira di kita juga masih mis gitu ya.

Ketika kekuatan politiknya bergeser atau imbangan politiknya bergeser. Orientasi ini juga seperti melemah gitu ya. Atau menguat tetapi gak sepenuhnya dilebagakan.

Jadi itu buat saya yang masih jadi PR. Dan kalau perbandingan dengan Korea. Di jangka panjang, itu yang selalu saya bilang sama teman-teman mereka, betul, exactly.

Homogeneous. Saya melihat ada keterbatasan struktural di Korea. Karena homogeneity-nya.

Sedangkan kita punya kelebihan struktural. Karena heterogeneity-nya. Diversitasnya.

Tinggal gimana ngemasnya. Bahkan saya berpikir, mungkin salah satu shortcut-nya, saya nggak terlalu khawatir mengenai konten. Saya lebih khawatir mengenai storyteller.

Kita kurang storyteller. Ibarat kata kalau saya sering bercerita kalau orang di Washington, di London, Beijing, Tokyo, Canberra. Kalau mau nanya mengenai Asia Tenggara, yang dipanggil itu dubes Singapura.

Karena ada predisposisi bahwasannya orang Singapura bisa berbahasa Inggris. Orang Singapura itu cerdas. Itu presumption dan predisposition.

Gak dipanggil tuh Dubes Laos, Dubes Brunei, Dubes Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Indonesia. Yang dipanggil Dubes Singapura. Eh Asia Tenggara tuh apa sih?

Dimana sih? Gimana sih? Iya kan? Karena gak tau gimana udah ada predisposition bahwa orang Singapura tuh is a good storyteller. Dan is an educated storyteller.

Gimana kalau kita create 10, 20 storyteller dalam bahasa yang dipahami oleh komunitas internasional. Iya kan? Ini gak zero sum dengan bahasa Indonesia, dengan bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Batak, bahasa apapun.

Lu tetep boleh ngomong gitu di rumah tangga, tapi kalau lu keluar, lu bercerita mengenai budaya, ya lu harus canggih. Dalam bahasa... yang dipahami oleh komunitas internasional sangat setuju, sangat setuju karena ya tadi itu ya ketika kita berhadapan dengan diversity yang begitu ekstrim salah satu kesulitannya kan juga kemudian memutuskan mana sih yang kita mau komunikasikan gitu ya belum ngomong siapa yang mesti komunikasi ya baru sampai ke level itu, gitu jadi Ada satu isu yang besar di dalam diversity kita ini itu ya tadi, managing complexity-nya gitu. Dan itu kalau sudah menyangkut tadi, mau mengekspresikan, kita mau mendangdutkan dunia dan seterusnya ini, ada pekerjaan penting kuratorial kan.

To curate gitu ya. Merawat, memilah, memilih, dan kemudian mengeksekusi gitu. Dan di sini ya tentu, diskusinya akan panjang, kenapa itu, kenapa gak ini dan itu daily staple saya tuh gitu ya kenapa sih ini yang, kenapa bukan sih itu dan seterusnya gitu ya tadi ketika dia ada kekuatan yang dikonsolidasi keputusan-keputusan seperti ini bisa jadi efektif kalau sekarang misalnya mau berangkatkan orang pergi ke Frankfurt Book Fair misalnya itu satu kantor kecil yang mengurus gitu tapi kalau ditanya strateginya gede strategi besarnya untuk ini semua kaitannya dengan tadi meningkatkan storyteller kita agar bisa bercerita kepada dunia jangan-jangan agak samar-samar gitu, kita pergi lagi nanti Osaka World Expo 2025 gitu, cerita apa sebenarnya yang mau kita bawa, kan mestinya ini udah betul-betul kayak orchestrated gitu ya dia gak bisa nih gitu dilepas-lepas Jalan sendiri. Korea mereka melakukan itu kan.

Dia betul-betul ambil. Ya orang boleh berdebat ya. Apakah itu apa namanya itu disetuju atau tidak.

Tapi keputusan itu diambil. Kita belum nih. Belum melakukan. itu. Dan itu saya kira syarat ya.

Tadi kalau misalnya kita membayangkan kekuatan budaya Indonesia ini betul-betul digerakkan gitu ya untuk menempatkan Indonesia secara pantas di dunia internasional ini keputusan-keputusan besar yang mesti dilakukan gitu. Orang-orang Korea itu kaya dengan budaya yang kental dengan perfectionism. Saya selalu bertanya gimana untuk kita membudayakan perfectionism. Ya. Ya kalau mau berspekulasi sih, wah mungkin karena confusion, karena ini, karena itu, karena mungkin iklimnya keras atau apa.

Ya tapi ini budaya. Ya. Budaya yang membuahkan perfectionism.

Ya kan? Sangat berpikir-pikir. Dalam populasi mereka yang hanya 50 juta.

Gimana tuh untuk membudayakan perfectionism dari Sabang sampai Merauke? Atau mungkin itu budaya yang salah? Kalau kita terlalu perfeksionis, mungkin itu bisa kepleset.

Atau jadi-jadi, gak maju-maju, gak mau bergerak. Itu kita lihat ya, kalau mereka lagi belajar main golf, belajar bulu tangkis, belajar berenang, belajar dansa seperti Michael Jackson, belajar nyanyi seperti siapapun lah. Itu perfeksionismnya itu kelihatan.

borderline sacrificial dengan pengorbanan kalau kita kayaknya taruh dulu deh, makanya Asia Tenggara itu bisa peaceful and stable karena the culture of pragmatism kita gak suka gontok-gontokan satu sama lain dengan tetangga tapi kita kurang the culture of principles Nah satu-satunya anomali di Asia Tenggara itu Singapura. Yang bisa mengedepankan dua budaya tersebut. Budaya pragmatisme dan budaya prinsip. Budaya prinsip itu gimana untuk meningkatkan intelek. Naruh makanan di atas meja, menyehatkan populasi, meningkatkan nilai moral.

Ya di Singapura kita mikir dua kali mau buang sampah di pinggir jalan. Iya kan? Itu kan moral value.

Terus social value nya juga ya. Itu jadi virtue ya buat dia. Betul.

Kalau kita tiba di Singapura tuh kita mau lihat jadwal bus nya jam 8.13. Bus nya datang jam 8.13. Nah itu, gue pikir itu cultural.

Ya. As much as it sounds mechanistic. Resep untuk itu saya gak punya.

Tapi kalau mau menjelaskan. Itu ada yang menarik. Mungkin inget sejarawan Ong Hukam.

Dia ini studinya kan tentang cacah. Jadi bagaimana orang membentuk kekuasaan di Jawa gitu. Dan dia bilang basisnya kekuasaan di Jawa itu bukan tanah tapi orang. Artinya kalau misalnya orang yang gak suka pada kekuasaan, dia pergi aja. Karena tangannya luas.

Jadi dia akan menghindari dan gak didesak gitu ya. Untuk seperti Singapura yang hidup di dalam satu wilayah yang sangat sempit. Jadi buat mereka tuh yang dipertaruhkan tuh bukan lagi.

Perfectionism itu adalah bagian dari mereka untuk bisa bertahan. Di kita untuk bisa bertahan ya pergi aja. Bukan...

kemudian meningkatkan. Karena kita gak mau gontok-gontokan. Kita gak mau konfrontasi.

Itu sebenarnya kalau kita lihat dalam sejarah gitu, kerajaan-kerajaan kecil kita begitu banyak. Kelompok etniknya begitu banyak. Dan Sama ya kalau misalnya di Jerman gitu ya. Kita salah hitung.

Kalau di Jerman fatal itu. Ya musim dingin bisa problem besar gitu ya. Ya jadi kayak iklim, musim, dan seterusnya juga ikut menentukan gitu. Tapi ini tentu bukan excuse ya untuk bilang bahwa kita gak ada harapan nih gitu. Gak akan bisa.

Saya tuh sangat optimis dengan Indonesia ke depan. Dan saya selalu berpikir untuk nyari resep. Obatnya ini apa nih. Supaya kita tuh gini loh. Ini.

public secret bahwa narasi mengenai Asia Tenggara itu sangat tidak ternarasikan. Kalau kita di Eropa, di Amerika Serikat, mereka lebih giat ngobrol mengenai India, Tiongkok. Nggak masalah, populasi 1,4-1,5.

Tapi mereka jauh lebih giat dibanding ngomong mengenai Asia Tenggara, ngobrol mengenai Taiwan, mengenai Korea Selatan. Mengenai Jepang. Yang mana secara skala jauh lebih kecil. Asia Tenggara 700 juta, Korea cuma 50 juta, Jepang cuma 100 sekian juta, apalagi Taiwan.

Karena mereka punya storyteller. Dan kalau masuk ke Singapura, mereka lebih tahu mengenai, masuk ke Asia Tenggara, mereka lebih tahu mengenai Singapura. Karena storyteller. Nah sekarang ini udah ada pembentukan. Mindset di dunia luar.

Bahwasannya di Asia tuh. Storyteller yang paling hebat tuh dari India. Karena mereka jago ngecap. Nah nomor dua setelah India. Singapura.

Saya sih mikir. Ya mau gak mau. Ini ada keniscayaan untuk.

Kita. Memupuk storyteller. yang banyak yang bisa berkomunikasi dalam bahasa internasional. Salah satunya adalah bahasa Inggris.

Nah saya berpikir, di Indonesia ini mungkin yang bisa fasih berbahasa Inggris itu nggak lebih dari 10 juta. Kalau itu ditingkatkan ke 100 juta. Di Asia Tenggara yang fasi berbahasa Inggris hanya 70 juta, termasuk 5,5 juta di Singapura, 30 juta di Malaysia, dan sebagian di Filipina.

Kalau 70 juta itu dinaikin ke 400 juta dalam konteks 700 juta manusia di Asia Tenggara, selesai. Selesai. Budaya kita, apakah secara individu Indonesia, secara kolektif Asia Tenggara, bakal gaung.

Di dunia. Bisa ada reorientasi. Sangat.

Dan ada 400 juta orang yang bisa bercerita. Ada 100 juta orang dari Indonesia, 400 juta dari Asia Tenggara yang bisa bercerita. Mengenai apapun.

Mengenai petek, jengkol, tenun, kebaya, peci, gamelan, angklung, atau apa. Segala sesuatu. Jadi itu barang. Nah, kita selalu terjebak.

Kalau kita berbahasa internasional, kita dianggap nggak nasionalis. Saya agak berbeda. Semakin kita bisa menginternasionalisasikan atribut nasional kita, itu semakin nasionalistis. Iya kan? Nah itu mestinya narasi yang harus di-flip.

Jadi nggak kekeh dengan apa namanya. harus berbicara dalam bahasa Indonesia pesan Indonesianya kita pulang ke Indonesia, kita bahasa Indonesia kita pulang ke rumah, mau bahasa Batak Sunda, Jawa, Menado, atau apapun tapi begitu kita keluar kalau kita memperkaya proyeksi budaya kita, ya kita harus ya sensible dan reasonable ini bahasa yang dipahami oleh mereka adalah bahasa Inggris atau bahasa apapun itu saya Setuju ya pastinya, tapi mau kasih lihat contoh yang kecil yang coba kita lakukan sekarang gitu di film. Di film ini salah satu tantangan terbesar adalah ceritanya bagus apa enggak gitu ya. Soal teknik ya teman-teman kita udah di level yang oke lah gitu ya, mereka professional filmmakers gitu.

Tantangannya selalu pada cerita. Nah waktu kita mulai proyek ini namanya Indonesian Film gitu. Awal mulanya dari keprihatinan itu.

Sulit sekali mencari cerita. Gitu ya. Yang baik.

Dan salah satu problem besarnya. Karena orang gak mau invest. Di cerita.

Orang kalau mau produce. Ya ceritanya udah ada. Ceritanya yang gak bagus.

Kita produksi. Gitu ya. Tapi. Dan disini kemudian kita lihat.

Ya ini nih. Harusnya. Negara hadir. Jadi kita invest nih. Kita invest ke satu workshop.

penulisan skrip tanpa ada beban kamu buat riset kita kerjasama dengan teman-teman dari University of Southern California mereka jadi kayak mentor karena dengan Hollywood dan gitu untuk workshop ini jadi setiap tahun kita ambil 10 teman-teman film juga yang mengelola gitu khusus untuk para penulis gitu setahun mereka boleh berproses gitu ya untuk benar-benar bentuk cerita yang solid karena kita lihat seringkali ya problemnya itu dan ya kita bisa mengerti alasannya gitu. Ketika produser ragu-ragu, ya ngapain gue taruh duit segini kalau belum tentu diproduksi gitu ya. Dan ya, tapi kalau kita lihat Hollywood, 500 script berapa?

4-5 yang betul-betul kemudian diproduksi. Jadi investment lagi-lagi gitu ya, yang saya kira untuk menuju ke tadi menciptakan storyteller berkualitas di berbagai lini ya. Bukan hanya film ya, musik, you name it gitu, di berbagai macam bidang. Dan itu yang sekarang kita juga coba lagi kejar di kementerian Facilitating gitu ya Daripada bikinkan acara Kita udah terlalu banyak nih acara, festival dan segala macem gitu Kerja apa namanya Back endnya di dapurnya ini nih Juga gak kalah penting gitu Ya memang gak begitu keliatan di permukaan gitu Tapi rasanya untuk menuju tujuan tadi ya Indonesia gak kalah Kalau dibanding dengan Korea Indonesia gak kalah Indonesia bisa bikin film seperti Squid Games.

Bisa bikin film seperti Parasites. Bahkan bisa bikin sesuatu yang lebih bagus. Ya kalau bicara dalam perfilman, itu kan selama temanya itu terkait dengan keluarga atau kekeluargaan, sejarah, romans, sangat universal. Dan itu bisa dipahami secara internasional dengan pemberdayaan subtitle. Dan...

dubbing, dan macam-macam. Saya lebih ngeliat film itu lebih gampang untuk menginternasionalisasikan Indonesia dibanding musik. Karena kalau musik itu kalau liriknya dalam bahasa Indonesia. Sudah susul.

Tidak bisa disubtitle kan. Kecuali kalau kita nonton di TV. Nah kenapa Korea itu bisa menang Oscar?

Karena mereka itu menggangbust upayanya. Jadi bukan sutradara dan produsernya aja yang maju. Tapi di belakangnya ada Samsung, ada Hyundai, ada LG, dan lain-lain.

Bahkan Samsung pun juga investasi di DreamWorks. Jadi mereka tuh keberadaannya tuh di setiap lini. Di lini kepemilikan, di lini non-kepemilikan. Dan seluruh stakeholders dari sana tuh ngeroyokin. Nah peran pemerintah ada, tapi nggak sebanyak.

peran swasta. Iya kan? Dan saya lihat di Indonesia belum seperti itu. Ya ngebayang nggak kalau ada film Indonesia yang maju ke Cannes Film Festival?

Atau untuk pertimbangan nominasi foreign film di Academy Award atau di Oscar gitu, tapi kalau lobby-nya itu melibatkan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Sutradara, aktor, produser, dan lain-lain. Saya kira juga, nah ini nih, satu isu yang saya kira pentingnya. Ketika kita lihat misalnya Korea, dan banyak orang kemudian jadikan itu inspirasi.

Cuma saya kira juga ada perbedaan yang cukup fundamental. Kita gak punya manufakturnya Samsung dan seterusnya itu ya. Yang boleh dibilang nih menjadi kayak bagian dari pasukannya.

Tapi kalau kita perhatikan, kita kuat di mana? Pangan? di banyak sekali sektor yang itu modal yang kita miliki tetapi gandengnya si industri dengan film ya, dengan semua sektor industri ini yang saya kira belum Bahkan apa, bicara awal belum.

Saya pernah nemenin teman-teman film gitu, pergi ke salah satu bank, saya gak mau suguh. Coba jelaskan gitu. Gak nyambung. Iya, investment di film gitu. Gak nyambung.

Terus, saya kasih angkanya gitu. Gak bisa bayangkan gitu. Terus saya bilang loh, dia bilang, iya Pak, ini soalnya, apa namanya, sangat...

unpredictable, saya bilang sektor manain coba benar-benar predictable kalau kamu mau bilang tapi ini nih dari segi kebijakan besar gitu masih banyak sekali nih informasi yang belum rata gitu ya dan itu mungkin sebetulnya juga story gitu ya mengenai ini, karena pada akhirnya itu yang mengikatkan sama, it's the same narrative gitu untuk bisa memahami ini sebagai sesuatu yang betul-betul jalan ya jadi salah satu poin yang bisa dipetik dari percakapan kita adalah betapa pentingnya untuk kita mengedepankan inovasi teknologi untuk kepentingan pengedepanan budaya. Ya kan? Karena balik lagi ke awal mula.

Antara kekuasaan, kekuatan preservasi dan kekuatan inovasi. Inovasi ini ya bermacam-macam. Tapi inovasi teknologi ini hanya bisa kejadian kalau investasi di STEM itu nyata. Dan saya melihat investasi di STEM oleh Indonesia ini masih jauh di bawah. Apa yang sudah dan terus dilakukan oleh Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Singapura, dan Taiwan.

Dan itu kelihatan kalau kita mengacu ke lulusan STEM S3 di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu, itu Tiongkok bisa membuahkan 6000-an S3. India 2000-an di tahun tersebut. Korea Selatan 1300. Turki 430, Indonesia hanya 82. Di tahun yang sama. Nah dari situ kita udah bisa melirik. Dan mengekstrapolasi ke depan.

Kemajuan inovasi teknologi kita tuh finite. Ada keterbatasan. Nah kalau itu gak disikapi, sulit untuk kita mau.

Atau bisa mengedepankan budaya. Mengproyeksikan soft power kita. Tapi mungkin shortcutnya. dengan adanya AI lebih gampang untuk mendidik anak-anak muda di Indonesia untuk menjadi storyteller dalam bahasa internasional. Sekarang dengan teknologi.

Sekarang jauh lebih cepat, jauh lebih mudah. Akselerasinya sudah kelihatan. Kalau 2-3 tahun yang lalu, mungkin lain soal.

Jauh lebih lama. Tapi dengan the advent of AI, kita sangat bisa mengakselerasi proses untuk mendidik siapapun menjadi storyteller. Dalam bahasa internasional, mau Mandarin, kayak Jepang, kayak Itali, Spanyol, Inggris.

Tapi bahasa Inggris ini nyata. Karena 80% dari wisdom atau knowledge itu dalam bahasa Inggris. 80% dari economic activities itu dalam bahasa Inggris. Large language model dalam bahasa Inggris.

Ini pragmatisme aja. Bukan ideologi. Bukan soal...

Bukan ideologi. Saya bukan direktur pemasarannya Inggris. Tapi kalau kita mau maju, kita harus cari akal. Gimana untuk memperkaya budaya kita secara internasional.

dalam bahasa yang dipahami komunitas internasional ya dan kalau lihat tadi ya soal STEM ini secara umum kondisi pengetahuan di dalam masyarakat itu problem besar dan cuma saya juga lihat Pak Gita I don't know if you agree setuju dengan ini atau enggak gitu ya kan sekarang teknologinya juga um sudah berkembang begitu pesat, mendekat ke keseharian orang. Sehingga ada akses terhadap itu semua semakin meluas. Sains.

Tentu di level yang sangat fundamental, sangat penting. Tapi orang kemudian bisa menggunakan si teknologi ini untuk keperluan dirinya tanpa harus melalui itu tadi tuh. Dan cepat tumbuhnya. Dan menarik ya sekarang ini ada riset-riset anak-anak-anak yang sejak awal berurusan dengan teknologi gitu ya.

Dan stamp mind-nya terbentuk sebelum dia belajar tentang itu gitu ya. urutan logic dan segala macemnya itu tertanamkan di dalam teknologinya dan itu yang kayak masuk ke dia gitu, nah kita belum tap nih perkembangan ini gitu ya jadi kayak untuk mengintegrasikan gitu ya, karena ya saya bayangkan ya it's great to have 6000 PhDs gitu, ada bidang science gitu, tapi untuk bisa kita katakanlah ngejar volume itu sih kayaknya Kita bicara dekade gitu. Jauh. Tapi bukan berarti situasi kita gak tertolong ketika kita mau melakukan inovasi di tingkat yang sifat.

Sifatnya lebih. Sepakat. Untuk kebudayaan.

Kita punya program namanya. Kemah budaya kaum muda. Itu yang kita encourage. Jadi. Dengan apapun yang kalian miliki.

Kalian mau SMK, vokasi. Apapun ininya. Ini tantangannya.

Coba. keluar dengan solusi. Menarik. Hasilnya menarik ya. Saya gak bilang bahwa itu udah bisa macem-macem.

Tapi paling tidak ini satu ruang gitu ya yang kemudian merangsang sikap kalau Nero bilangnya scientific tempernya itu muncul gitu ya. Kayak punya perangai ilmiah menghadapi problem dan seterusnya. Dan itu Ya kalau dikerjakan secara lebih lagi orchestrated ya dengan tujuan kok saya kira kita bisa menangkap buahnya juga tuh.

Itu bisa di gradasi. Jadi mana yang low hanging fruit, short term, medium term, long term. Long term mungkin ya 6 ribu sih kayaknya agak-agak berat. 2 ribu, 3 ribu udah bagus banget. Sama dengan India.

Iya kan? PhD setiap tahun di STEM. Saya melihat mungkin short term sampai medium term kita menjadi konsumen AI.

Kita bisa menjadi enabler AI. Kita belum bisa menjadi creator AI. Karena itu perlu scale.

Scale-nya itu scale full. Dan untuk sementara kita bisa mengambil beberapa langkah yang bisa kelihatan gitu loh. Lo hanging fruits-nya. Dan saya gak tau gimana.

Kayaknya kalau kita membuat penceritakan, itu budaya kita lebih bisa terproyeksikan. Keluar dan semakin orang ngobrol mengenai budaya kita di luar, semakin kita merasa diapresiasi. Semakin kita merasa diapresiasi, semakin kita giat. Lebih memperkaya budaya kita. Tapi balik lagi.

Mas Hilmar, penting gak untuk kita membudayakan perfeksionisme? Penting gak untuk kita membudayakan budaya yang memberikan premi ke inovasi teknologi garis miring stem? Kalau saya mungkin mendekatinya dari sisi kenapa dia perlu. Dia perlu karena kita ingin membawa sesuatu naik. kelas, naik tingkat, menjadi lebih baik dan seterusnya gitu ya karena itu perfectionism ruang untuk gagal tuh kalau bisa gak ada gitu kan nah bagian ini saya kira adalah jalannya ketimbang kita misalnya kayak membiasakan menjadikan perfectionism sebagai habit Ini susah tuntutannya juga akan tinggi.

Why? Itu pasti pertanyaannya. Kenapa saya mesti lakukan kalau bisa 6, kenapa mesti 8? Udah dapet 6, alhamdulillah.

Untung bukan 5. Jadi, tapi ketika kemudian kita kasih lihat. Ini satu-satu pengalaman yang sangat konkret baru-baru ini. Kita lagi revitalisasi Muar Jambi ini.

Besar gitu ya. Di Jambi. Dan kita ingin agar revitalisasi cagar budaya ini juga bisa langsung ya. Masyarakat terlibat sejak awal. Jadi kita udah membayangkan gitu.

Walaupun museum belum jadi. Masih ada 2 tahun gitu ya. Tapi kita dari sekarang gitu udah mulai mengajak ibu-ibu di lokal.

Yang tadinya jual makanan di area itu. Ayo kita mau. Menyambut nih dua tahun lagi akan datang orang dengan macem-macem ya bukan pengunjung kita yang biasa gitu ya.

Kita harus naik kelas. Terus mereka juga awalnya kan yang Indomie aja laku kenapa mesti dan seterusnya ya. Tapi kemudian kita bilang gitu. Kita gak bisa berharap ya usaha kita ini akan langgang.

Kalau orang beli karena dia kasian sama ibu. Dan kalau itu yang ibu lakukan, itu resepi for a disaster. Nggak bakal ibu kemana-mana. Saya berani bilang dari sekarang. Jadi siap.

Orangnya belum datang. Kita juga gak tau siapa yang akan datang 2 tahun lagi kan. Tapi ayo jalankan itu.

Terus kita ajak gitu ya. Dan kemudian sesederhana sebetulnya juga ngasih contoh. Kita bawa teman-teman kita kerjasama sama Mbak Helianti Hilman. Untuk ya dia sangat terbiasa menggali pangan lokal. Kemudian menghadirkannya secara berkualitas di tempat-tempat yang bagus.

Seluruh rangkaian hulu-hilernya dapet. Ibu-ibu itu diajak ya mengalami itu semua gitu. Terus tiba-tiba kemarin kita acara Dengan gubernur dan segala macam Saya juga lihat Biasakan piringnya gede, makanannya kecil Kenapa begini Ini udah mulai nih Oh iya ini buah dari trainingnya Sama teman-teman itu Jadi sebenarnya ketika Diberitahu atau diajak Melihat ya bahwa sebetulnya Ada tujuan yang ingin dicapai Ini kok rasanya bisa tumbuh Iya Jadi daripada misalnya sekarang kita terus aja, kamu harus lebih baik, lebih baik, lebih baik, karena pertanyaan untuk apanya itu dia gak dapet gitu ya. Dan itu saya kira di dunia pendidikan dan pelatihan kita, alasan kenapa harus belajar dan melakukan sesuatu itu agak kurang gitu.

Saya ingat sekolah dulu, para bola. susah payah, perusahaan kuadrat, ngitung dan segala macam, ini untuk apa sih sebenarnya dipelajari, saya main basket dulu jadi kita tidak tahu sudut paling bagus itu 45-50 derajat untuk nembak baru saya, oh iya ya ini ada manfaatnya ternyata si ilmu ini untuk sesuatu yang relevan, dari situ mulai ketertarikan lebih jauh kepada dunia itu, jadi pintu masuk orang kan macem-macem gitu ya jadi kita gak bisa prescribe gitu, tapi dan itu saya setuju banget tadi kita ngobrol soal guru ya itu kayaknya kunci gitu saya tuh saya lebih memprioritaskan guru daripada kurikulum Kalau suruh milih ya Kalau boleh dua-duanya sih Alhamdulillah Tapi saya tuh gak lupa guru saya Kelas 3 SD Guru saya kelas 2 SMP Guru saya kelas 2 SMA Bagaimana mereka tuh bisa Ngajar dengan cara yang sampai hari ini Saya gak lupa Omongan-omongan mereka Dan saya tau itu top yang boring banget. Tapi mereka bisa bikin itu exciting banget.

That's the power of great teachers. Karena mereka bisa membuahkan imajinasi. Saya sih ngeliat anak-anak ke depan tuh gimana untuk mereka tuh disuntik dengan kapasitas berimajinasi. Iya kan? Syukur-syukur kurikulumnya nyambung.

Iya kan? Dengan abad ke-22. Bukan ke-21 aja.

Tapi kalau gurunya itu bisa di kurasi. So say. I think we'll have a great future.

Dan saya tuh selalu ya ngomong, gak bisa habis lah kalau kita mengseleksi guru dari top 20 percentile. Itu dalam setahun, ini empiris. Bisa ngajar satu setengah tahun ajaran. Tapi kalau kita milih guru dari bottom 20 percentile, dia dalam setahun cuma bisa ngajar 6 bulan. Ya udah bisa.

kita bayangin dan kalkulasi adik-adik kita yang terekspos dengan guru yang mungkin kurang berkenan ya ininya kurang berisi dan ini kita lagi bersaing dengan banyak sekali negara-negara berkembang yang mau jadi negara maju dalam konteks tatanan dunia yang lebih multipolar udah gak unipolar udah gak bipolar Semakin multipolar, semakin sulit untuk melakukan multilateralisasi. Ini paradoks dari multipolaritas. Nah kalau kita nggak bisa melakukan multilateralisasi, kita lebih terpaksa untuk melakukan bilateralisasi. Kalau kita harus melakukan bilateralisasi, semakin terpaksa untuk kita mau nggak mau meningkatkan produktivitas kita. Karena persaingan itu antara dua orang.

Tapi kalau antara 190 orang, saya bisa. Manggil teman saya yang lebih tinggi daripada Anda, lebih kuat daripada Anda, lebih pintar untuk ngebully Anda supaya saya bisa menang dengan Anda. Itu wisdomnya multilateralisasi kan. Tapi sekarang semakin sulit kita melakukan multilateralisasi.

Lembaga-lembaga multilateral kan semakin lemah. Mereka nggak bisa menjembatani eksistensi 190 negara. Nah ini saya rasa nyambung ke......apa? Apa yang harus kita sikapi.

Saya melihat kayaknya budaya dan kebudayaan ini penting sekali. Untuk bisa membentuk bangsa. Ya kalau kita, ya sekuensinya kan kita harus bisa berbahasa.

Agar kita bisa menulis atau membaca, menulis, berkomunikasi, berbudaya. berperadaban, tapi kita gak bisa berperadaban secara canggih kalau kita gak bisa berbudaya kita gak bisa berbudaya kalau kita gak bisa berkomunikasi, kita gak bisa berkomunikasi kalau kita gak bisa baca dan nulis sekunsenya kayak begitu kan dan saya ngeliat ini it's a golden opportunity untuk kita bisa memperkaya budaya kita ke depan, tapi sekali lagi kita mau gak membudayakan perfeksionisme Kita mau gak membudayakan Tentu kita harus membudayakan Kekayaan budaya kita Dan jangan lupa Anak-anak kita tuh tau gak sih Di abad ke-8 Waktu Candi Borobudur dibangun oleh Shalendra Dinasti Shalendra Saya tuh berani taruhan Waktu itu tuh hanya ada Tiga peradaban yang keren Yaitu dinasti Shalendra Dinasti Tang dan dinasti Abbasid di abad ke-8. Sebelumnya setelah itu lain soal.

Tapi waktu itu kita tuh satu dari peradaban yang sofistikasinya bisa dibilang agak-agak selaras. Secara teknologi, kalau kita, ya di Jambi itu kan batu bata ya. Mereka nggak punya undersit ya.

Jadi ininya batu bata. Dibangun kira-kira abad ke-7. Jadi 1400 tahun yang lalu. Batanya itu utuh. Dan itu jadi kayak sumber keheranan gitu ya.

Kan kita ada tukang-tukang juga. Sebenarnya mereka berlakukan bata itu gak terlalu menyadari. Ini kan bata dari ini. Saya bilang bata ini umurnya 1400 tahun. dan masih bisa dipakai sekarang ini dan itu ironisnya kadang kalau kita kekurangan ya ada bagian-bagian tertua yang kosong kita isi dengan bata baru kan bata baru 20 tahun abis itu dia mesti di replace gitu dibicara peradaban itu tadi ya memang gitu Ya tadi ya refinement Terus perfection dan segala macam Itu muaranya adalah peradaban Yang Dan tuh Dan mungkin salah satu kesalahan strukturalnya Adalah kita tidak mendokumentasi Kebijaksanaan kita Iya kan?

Kalau dari seribu sekian tahun yang lalu kita udah tau Bikin bata yang bisa kuat lebih dari seribu tahun Terus ada yang nulis aja Atau ada yang ngerekam di iPhone Iya kan? Nih lo dengerin nih, caranya begini kayak gini, airnya sekian, bubuknya ini ya. Iya kan? Nah itu nggak ada, dan itu kesalahan timur. Kenapa China bisa kecolongan, kenapa kita mungkin kecolongan.

Tapi China udah sadar kita kecolongan sama dunia barat karena kita tidak mendokumentasikan selama 100-200 tahun. Nah ini mungkin momen untuk kita melakukan infleksi ke depan. Tapi saya melihat secara struktural, kayaknya budaya di rumah tangga, budaya di sekolah, budaya di kantor, itu mungkin perlu dikaji ulang.

Untuk kita bisa membuahkan budaya yang lebih holistik dan lebih kaya secara keseluruhan. Kalau yang... Saya misalnya perbandingan ya dengan juara storytelling kita di Singapura.

Karena saya PhD di Singapura jadi 6 tahun disitu ya. Kayak mengalami Singapura gitu. Dan memang disana tuh konsep masyarakat yang di engineer untuk bergerak ke arah tertentu tuh kuat sekali gitu ya.

Kebetulan saya dulu tinggal apartemen tuh bawahnya ada SD gitu ya. Dan... Ya itu kelihatan gitu ya. Dari semuanya ya.

Awal, desain, terus kemudian segala kegiatan-kegiatannya. Kompetitif. Aduh luar biasa.

Dan itu dari atas. Likuan Yu. Iya.

Iya kan? Dan dia memastikan lu mau keturunan Melayu, Tamil, Hokkien, Tiu Tiu, apapun lu makan sama-sama, sekolah sama-sama, lu pulang ngomong Tamil, Melayu. Tio Tio, Hokkien, apapun.

Tapi kalau lu sekolah, lu ngomong bahasa Inggris. Dan lu kalau mau ngambil TOEFL, SAT, dan segalanya, skor lu harus begini. Supaya lu bisa diterima di Oxbridge, Princeton, Caltech, dan lain-lain.

Iya kan? Jadi dia tuh membudayakan budaya pragmatisme supaya akur dan membudayakan budaya prinsip. Dan maksudnya itu tadi juga visionnya ini dari Lee Kuan Yew itu hidup di rumah tangga. Itu yang saya mau bilang gitu ya.

Jadi kayak policy-nya itu memang dirasakan gitu ya. Singapura, setinggap itu Singapurian gitu ya, apa yang dianggap virtue dan segala macam, itu nyambung dengan policy ini gitu disini kan agak gapnya lumayan gitu ya, nilai value disini, pembicaranya apa di rumah yang hidup sesuatu yang sama sekali lain jadi saya kira sambungannya antara sekolah, rumah tangga polisi yang lebih besar ini PR dan mungkin melihat kita yang begitu dynamic masyarakatnya itu mungkin susah kalau hanya dari atas datangnya. Jadi kayak misalnya bikin direction dan seterusnya gitu ya. Penerimaan di bawahnya bisa sama sekali berbeda gitu.

Udah waktunya juga saya kira menangkap lebih banyak nih geliat yang ada di bawah gitu ya. Pada ujungnya kita mau melakukan abstraksi. Untuk merumuskan dengan yang sesuatu yang solid yang bunyi di bawah gitu. Tapi ingredients bahan-bahannya memang harus dari sumber yang hidup.

hidup di masyarakat. Kalau enggak kita akan ya, ya sorry ya, tapi kita mau ngulang lagi P4, kita mau ngulang lagi segala proses. Saya rasa public intellectual sudah cukup banyak di Indonesia. Konten mereka sangat kaya.

Tapi problemnya tidak disalurkan. Iya kan? Nah ini kita terjebak dengan era yang mana masyarakat luas udah terjebak dan tergoda dengan konten-konten yang mohon maaf, kekacangannya tinggi.

Nah tanggung jawab kita Ya Anda udah mulai dengan podcast kan Itu adalah upaya public intellectual Untuk mempipakan Kontennya supaya bisa dimasyarakatkan Di mass produce Di mass disseminate Nah itu kalau dilakukan oleh Lebih banyak public intellectual Saya rasa gap Antara Iya kan dan ini Empiris bahwasannya Policy dengan public opinion Itu semakin divergent. Di seluruh dunia, di negara maju, negara berkembang Dan itu karena yang ini nonton TikTok Yang ini baca jurnal Gak nyambung Tapi kalau yang nulis jurnal itu Meng-channel konten-konten mereka Dengan media-media yang Lebih nyambung Dengan massa Ada hope untuk bisa Meng-eratkan Antara yang di atas sama di bawah Dan sebaliknya juga mungkin ya Public intellectuals nya juga punya kepekaan Betul Terhadap apa sih sebenarnya Kalau sekarang tuh saya juga nangkep ya Di teman-teman sendiri ini gitu ya Kadang-kadang kita juga sikapnya kan dismissal Ada apa sih gitu ya Dan condescending Iya condescending Padahal Sebetulnya kan inilah bahannya Itu bahan dasarnya Ini bahan dasarnya dan ini Antidote nya Iya jadi kayaknya perlu ada di level ini juga gitu saya ingat waktu itu waktu era terpilih di Filipina waktu itu Itu juga begitu kan. Pendukungnya dia dengan sangat. Wah pokoknya nih movie star dan seterusnya. Dan sikap dari banyak teman saat itu.

Aduh ini apa ya. Menang. Terus penuh keheranan. Saya waktu itu juga udah bilang gitu ya.

Mungkin yang mestinya refleksi ya kita ya. Bukan si masyarakat yang disuruh. Kita yang kayaknya gagal memahami.

Karena bentuk. Yang kita lihat di permukaan ya, kekacangan dan seterusnya, dugaan saya ada sesuatu juga underlying yang lebih dalam. Absolutely. Keresahan, macam-macam.

Absolutely. Tentu. Kemarahan, dan seterusnya.

Ini nyambung dengan fenomena ekonomi. Satu, inequality of wealth. Semakin besar. Inequality of income. semakin besar.

Jadi gaji CEO dibanding gaji yang paling di bawah, dulu cuma berapa kali lipat. Sekarang udah bisa ratusan kali lipat, bahkan ribuan kali lipat. Jadi, inequality of wealth, inequality of income, ketiga, inequality of opportunities. Nah yang keempat, centripetality of economic development.

Jadinya ekonomi itu kan pertumbuhannya semestinya sentrifugal. Jadi dari kota primer... Dia harus nyebar ke kota sekunder, kota-kota regional.

Tapi justru semakin sentralistis. Kota sekunder dan yang lebih kecil itu semakin GDP per capita growth-nya semakin diselerasi dan yang kota primer semakin akselerasi. Jadi ini yang membuahkan polarisasi percakapan.

Paling tidak, dan polarisasi percakapan yang membuahkan mungkin divergensi antara polisi dengan opini publik. segala macam sudah berkembang biak di dalam situasi seperti itu ke depan end gamenya gimana? dirjen kebudayaan kalau saya merasa ngomong-ngomong saya 9 tahun di it's a great job dan merasa pasti waktu itu kurang tapi saya melihat yang paling realistis mungkin dilakukan dan kita coba ya di di siden kebudayaan itu meletakkan fondasi dari yang kita diskusikan itu tadi aset misalnya kita punya aset itu luar biasa selama ini museum perpustakaan kita punya ribuan kita punya tempat-tempat pertunjukan taman budaya cakar budaya daerah seterusnya.

Jumlahnya masif. Selama ini dikelola secara sporadis oleh berbagai entitas pemerintahan dan pusat dan daerah. Setelah otonomi daerah, museum semuanya ke daerah.

Kemudian berakhir dengan keadaan yang kondisi yang sangat bervariasi kualitasnya. Yang intangible tadi kita bicarakan, itu juga luar biasa. Besar sebetulnya. It's a huge archive gitu.

Belum terkelola dengan baik. Nah ini juga yang kita kemarin selama ini coba menata itu semua ya. Dan saya kira... Kalau ditanya gitu, endgame ini kemana?

Ini betul-betul buat saya satu masa yang sangat krusial. Pilihan besar harus dibuat. Mau tidak menjadikan kebudayaan ini sebagai pijakan untuk kita membangun ke depan.

ini disepakati, ya disetujui, maka memang perlu ada pelipat gandaan usaha untuk mengelola ini semua. Tanpa itu, ini nggak akan jalan. Kalau misalnya dibiarkan seperti ini, ya oke, akan berlanjut.

Kantornya mungkin nanti akan ada tetap yang ngurus gitu ya. Terus semua pekerjaan dikerjakan, tapi di level itu. Dia kalau mau di elevate, ya tadi ya, kita udah diskusi. Kombinasi antara kekuatan preservasi, warisan budaya, dan seterusnya yang menjadi kayak semacam, saya biasanya bilang itu kemudinya bangsa.

Karena dia kayak memberi sense of direction dan segala macam. Ditunjang oleh sains dan teknologi sebagai enjinnya, dia akan melaju. Dan itu PR besar ya. Saya kira memang memerlukan bukan hanya keputusan politik, tapi juga komitmen. yang melampaui batas usia dari sebuah pemerintahan gitu.

Dan disini saya kira kita mesti kembali nih kepada orang yang mendirikan Borbudur yang membayangkan pertama kali dan gak pernah melihat akhirnya dan berhasil 75 tahun. Dan berhasil meneruskan kepada generasi yang bahkan gak ikut pembicaraan awalnya. Ini nih kualitas yang harus kembali hidup di kita untuk bisa Tapi mas, kesabaran dan visi seperti itu, kayaknya nggak akan kejadian kalau tidak ada budaya perfeksionisme.

Tetap ya. Piramid, itu dibangun oleh optimis, bukan pesimis. Borobudur, miscaya dibangun oleh optimis, bukan pesimis. Dan optimisme itu mau gak mau nyambung dengan sense of perfectionism.

Iya kan? Itu saya ngebayang dalam 75 tahun jatuh bangunnya berapa puluh kali. Oh iya.

Korbannya berapa. Iya kan? Tapi dia bulet.

Pokoknya ini harus jadi bos. Itu ya either crazy atau just damn. Perfectionist.

Itu kalau kita perhatikan 100x100. Itu kayak. Ya seperti kita melihat Angkor Wat lah.

Itu kan secara arsitektur, secara engineering, secara societal, secara budaya, dan lain-lain. Itu kayaknya ada unsur perfectionism. Kalau piramid jelas ya.

Wah. Pembayangkan teknologi hidrolik dan semuanya mau bawa batu. Ya ada yang bilang pakai air kan Dinaikin dari sungai Nile Dibikin pipa kanal terus dinaikin ke atas Supaya ngurangin gravitasi dan segalanya Tapi balik lagi Abad ke delapan Sepengetahuan saya cuman ada Tiga peradaban yang keren waktu itu Tang, Abasid Dan Shalendra Dan kalau anak-anak muda kita tahu Bahwa kita satu dari tiga Yang keren banget dan jangan lupa Eropa waktu itu Dark Gelap selama seribu tahun Dari 476 sampai 1453 Iya kan?

Ya Gesernya Roma Dari barat ke timur ke Konstantinopel Tahun 476 Terus selama seribu tahun lah Sampai 1453 Ya itu hanya membuahkan prestasi yang diraih oleh Teman-teman di Abasid Di Tang Sama di sini Ya Sriwijaya Shalendra Dan jangan lupa dulu, sekolah-sekolah Buddha dari China kalau mau ke Nalanda, di Bihar, di India, itu harus lewat Kalimantan. Orientasi dulu. Bahkan belajar Sanskrit di sini. Masya Allah. Itu saya nggak ngebayang.

Kalau saya suruh hidup, saya pengen tuh hidup di abad ke-7. Iya kan? Itu keren banget tuh. Abad ke-7, abad ke-8.

Karena Indonesia tuh... ya bisa dibilang kayak Tiongkok kayak Amerika mungkin ya untuk menumbuhkan tadi ya perfeksionisme atau semangat ya untuk bekerja ke arah itu sejarah itu kan penuh dengan inspirasi semacam itu sebetulnya ya. Dan saya kira bisa juga dihubungkan dengan sesuatu yang relevan dengan sekarang.

Misalnya ya tadi yang saya bilang, kayak orang coba berusaha ya, dan dia pengen usaha untuk langgeng. Kita tahu usia dari usaha-usaha kita ini biasanya cukup pendek gitu ya. Nah, informasi mengenai misalnya kayak Muarujambi gitu ya, satu situs ini dibangun kira-kira abad ke-7 bertahan sampai abad ke-13, 600 tahun. Dan kalau kita lihat tadi ya refleksi, Shalendra di masa itu melahirkan dinasti-dinasti yang usia 600 tahun. Majapahit lebih pendek.

Mataram lebih pendek lagi. Sekarang kita baru 70... Durability-nya luar biasa kan? Iya. Itu juga sebagai semacam refleksi gitu kan.

Betul. Bahwa kamu kalau mengerjakan sesuatu itu semuanya... karena mencoba negosiasi terus-menerus persesuaian di sana sini dengan permakluman, ya umurnya pendek gitu ya tetapi kalau misalnya itu didesain dengan benar gitu ya kamu bahkan bisa berharap ini akan melampaui usia kamu sendiri gitu ya kreasi ini saya mungkin ini sedikit hipotesa tapi mungkin lebih spekulasi peradaban apapun yang lebih durable Itu adalah peradaban yang lebih bisa menunjukkan keterbukaan. Saya rasa itu. Common denominator-nya.

Jadinya peradaban yang jatuh, runtuh, atau kepleset itu siapapun yang tidak bisa menunjukkan keterbukaan. Jadinya penting untuk anak-anak muda ke depan itu lebih bisa menunjukkan keterbukaan agar mereka bisa melakukan demokratisasi ide. Itu yang sangat bisa membuahkan peluang untuk meramu antara kekuatan inovasi dan kekuatan preservasi. Ya, keterbukaan itu kita kunci. Ya, sejarah sekali lagi ya.

Ketika dia tertutup, semakin bicara dengan dirinya sendiri, itu mulai melemah, mereduk. Ya, mata pahit begitu, mata ramah begitu. Ada pesan-pesan akhir?

Senang sekali bisa ngobrol, karena saya tuh kadang-kadang kalau pesannya udah asik kayak begini nih, ngebayangin gitu ya bahwa, waduh setelah diskusinya panjang nih. ke praktikal, sama daily urusan di organisasi gitu. Urusan birokrasi, urusan administrasi, urusan paperwork dan segalanya.

Ya, management keuangan dan seterusnya. Tapi terima kasih banget Pak Gita. Kalau ada kesempatan, saya pernah ngalamin juga dulu. Saya tahu itu.

Terima kasih banyak loh. Sama-sama, terima kasih Pak Gita. Teman-teman, itulah Pak Hilmar Farid, Dirijen Kebudayaan.

Terima kasih. Inilah Endgame.