Allahumma Allahumma Ash hadu an la ilaha illa wa sabaa wa fa'afa wa wabarakatuh Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, marhaban yashodikil aziz, selamat datang wahai sahabat yang dirahmati Allah, saya doakan semoga kita diberkahi keselamatan dunia dan akhirat. Di antara lembaran sejarah yang penuh misteri dan kearifan, terdapat riwayat Bileam bin Beor, yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai Balam bin Bauru. Seorang tokoh yang diabadikan dalam narasi suci, baik Al-Quran maupun Taurat, namanya seringkali menjadi subyek perdebatan dan introspeksi. Meskipun Al-Quran tidak secara eksplisit menyebut namanya, banyak pakar tafsir meyakini bahwa surah Al-A'raf ayat 175 merujuk pada kisahnya.
Bal'am yang dianggap sebagai keturunan Nabi Lut, dikisahkan memiliki pengetahuan mendalam tentang nama-nama Allah yang agung, dan mampu berkomunikasi dengan malaikat. Ada pula yang berpendapat, sebenarnya Bal'am adalah seorang Nabi, karena telah mencapai penguasaan Ismul Adzom. Namun ada pula yang berpendapat bahwa Balam baru hampir mencapai derajat kenabian, namun tergelincir karena godaan dunia. Kisahnya, yang merentang dari kebijaksanaan hingga kejatuhan, menjadi cermin bagi setiap pencari kebenaran tentang betapa tipisnya garis antara keimanan dan kesesatan. Di desa kecil Banikanaan, terdapat seorang yang bijaksana.
Balam bin Ba'uro, yang dikenal luas karena kemampuannya dalam berdoa menggunakan nama-nama Allah yang agung. Ia adalah seorang keturunan Nabi Lut, hidup di zaman Nabi Musa, dan dihormati karena kelebihannya dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Pada suatu hari yang cerah, saat mengajar murid-muridnya di bawah langit biru dan ditemani hembusan angin sepoi, salah seorang murid bertanya kepada Balam tentang rahasia doa yang dikabulkan.
Balam menjawab dengan penuh hikmah, Ketahuilah anak-anakku, Doa itu bukan hanya sekedar permintaan, tetapi juga ekspresi kepercayaan kita pada kebesaran Allah. Kita harus bersabar dan tetap beriman. Di lain pihak, para pemuka kabilah di Istana Raja, rasa dengan kedatangan Nabi Musa dan pengikutnya.
Mereka khawatir, kehadiran Nabi Musa akan mengancam kekuasaan mereka. Kedatangan Musa dan pengikutnya akan mengubah segalanya, kita harus bertindak, ujar salah satu pemuka. Mereka sepakat untuk meminta bantuan Bal'am, agar mendoakan kebinasaan Nabi Musa dan pengikutnya.
Ketika delegasi tersebut datang ke rumah Balam, mereka menyampaikan permintaan tersebut dengan penuh harap. Wahai Balam, engkau yang selalu terkabul doanya, bantulah kami. Doakan agar Musa dan pengikutnya binasa, kata mereka. Balam dengan tatapan teduh namun tajam, menanggapi permintaan mereka, Apakah kalian tidak menyadari bahwa Musa adalah utusan Allah? Bagaimana mungkin saya mendoakan kebinasaan seorang nabi?
Dia pun menolak permintaan mereka dengan tegas, tidak, saya tidak bisa membantu kalian dalam hal ini. Selamanya, saya tidak akan memusuhi seorang utusan Allah. Delegasi itu berkata, ingat balam, doamu ini akan dihargai sangat tinggi oleh raja, kau bisa minta berapapun yang kau mau, dan posisi apapun yang kau suka. Kau akan menyesal menolak tawaran ini, jadi, diskusikanlah dengan istrimu.
Meski delegasi itu pulang dengan tangan kosong, pertanyaan mereka telah menyulut kebingungan dalam hati Balam. Tekanan dari kaumnya terus berlanjut, dan janji-janji harta serta kedudukan mulai menggoda pikirannya. Di tengah malam, saat Balam terjaga karena kedelisahan, istrinya mendekat dan bertanya, mengapa kau begitu resah suamiku?
Balam berbagi kekhawatirannya dengan istrinya, aku dihadapkan pada pilihan yang sulit. Kaum kita mendesakku untuk mendoakan kebinasaan Musa, tapi aku tahu itu salah. Istrinya dengan nada yang penuh pertimbangan menyarankan, tapi bukankah dengan itu kita bisa mendapatkan kekayaan dan kedudukan?
Aku sudah tidak tahan dengan kondisi kita, dan kau harus memikirkannya. Balam terdiam, menatap langit malam yang luas, hatinya terbelah antara kebenaran. benaran yang ia yakini, dan godaan yang menghimpit.
Inilah awal dari pengujian iman terbesar dalam hidupnya. Malam demi malam, pergolakan batin Balam semakin intens. Ia menghabiskan waktu berhari-hari, berdoa dan merenungkan pilihan yang dihadapinya.
Desakan dari kaumnya dan godaan harta serta kedudukan, semakin kuat menggerogoti keyakinannya. Pada suatu pagi, saat matahari baru saja menampakkan sinarnya, Balam berjalan menyusuri pinggiran desa. Ia bertemu dengan seorang tetua desa yang dikenal bijaksana.
Melihat kegelisahan yang terpancar dari wajah Balam, tetua itu bertanya, Balam, apa yang mengganggu pikiranmu? Balam dengan hati yang berat, membagikan dilemanya. Aku dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara kebenaran yang kuketahui dan desakan kaumku, jawabnya. Tetua itu memberikan nasihat, ingatlah Balam, kebenaran harus selalu dipertahankan, meskipun dunia berbalik melawanmu.
Namun, suara-suara di sekeliling Balam semakin keras, terutama dari istrinya. Ditambah lagi, desakan dari kaumnya untuk mengambil tindakan terhadap Nabi Musa semakin mendesat. Akhirnya, dalam suatu malam yang sunyi, Balam membuat keputusan yang akan mengubah jalannya sejarah.
Dia berkata kepada istrinya, aku akan melakukan apa yang mereka minta, aku tidak tahan lagi dengan tekanan ini. Sebenarnya aku tidak memperdulikan berapa harga yang kuterima, namun membela kaumku adalah yang utama. Keesokan harinya, Bal'am mempersiapkan diri untuk perjalanan menuju tempat Nabi Musa berada.
Sebelum berangkat, istrinya dengan nada khawatir berkata, berhati-hatilah suamiku, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Bal'am menaiki kudanya, tetapi perjalanan yang seharusnya lancar, terasa penuh rintangan. Beberapa kali, kudanya terhenti tanpa sebab yang jelas, membuat Bal'am semakin frustasi. Dalam salah satu insiden, ketika kudanya terjatuh, Balaam memukulnya dengan keras.
Tiba-tiba, terjadi sesuatu yang ajaib. Kudanya berbicara kepadanya, Mengapa kau memukulku Balaam? Bukankah kau tidak melihat ada malaikat yang menghalangi jalanku?
Balaam terkejut mendengar kudanya berbicara, namun kekecewaan dan keinginannya yang besar untuk memenuhi permintaan kaumnya, membuatnya tetap melanjutkan perjalanan. Akhirnya, Balaam tiba di puncak Bukit Husban, tempat dia dapat melihat Nabi Musa dan pasukannya dari kejauhan. Disinilah, ia bersiap untuk mendoakan keburukan kepada Nabi Musa.
Dia mengangkat tangannya ke langit, mulutnya mulai mengucapkan kata-kata doa, tetapi sesuatu yang luar biasa terjadi. Kata-kata yang keluar dari mulutnya bukanlah doa keburukan, melainkan berkah dan kebaikan untuk Nabi Musa. Balaam bingung dan terkejut. Dia mencoba lagi, tetapi hasilnya tetap sama.
Setiap kali dia mencoba mendoakan keburukan, lidahnya malah mengucapkan kebaikan. Bal'am menyadari bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar yang mengendalikan lidah dan kehendaknya. Kejadian ini menandai awal dari perubahan besar dalam kehidupan Bal'am, sebuah perubahan yang akan membawanya pada jalan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Kembali ke desanya dengan hati yang berat, Bal'am menghadapi kenyataan pahit. Kabar tentang kegagalannya dalam mendoakan keburukan bagi Nabi Musa telah tersebar. Kaumnya yang telah menaruh harapan besar padanya, kini merasa dihianati. Mereka berkumpul di sekitar rumah Balam, menuntut penjelasan.
Dengan suara yang gemetar, Balam berusaha menjelaskan kejadian di Bukit Husban. Ketika aku mengangkat tangan untuk mendoakan keburukan kepada Musa, Allah mengubah kata-kataku menjadi berkah bagi mereka, jelasnya. Keheranan dan kemarahan bercampur di wajah para pendengarnya.
Seorang pemuka kaum dengan nada mengejek berkata, Jadi, engkau malah membantu musuh kita. Apakah ini yang kau sebut kebijaksanaanmu? Bala merasakan perasaan malu dan penyesalan yang mendalam.
Dia mulai menyadari bahwa dia telah berjalan di jalan yang salah. Hatinya terasa hancur, melihat kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh kaumnya, kini telah hilang. Di tengah kecaman dan ejekan, Balaam menemukan momen introspeksi. Dia berdoa dalam kesendirian, Ya Allah, aku telah tersesat. Aku telah membiarkan keinginan duniawi menguasai diriku.
Bimbinglah aku kembali ke jalan yang benar. Namun, terasa seolah pintu taubat telah tertutup baginya. Pada saat yang sama, kabar tentang peristiwa di Bukit Husban sampai kepada Nabi Musa. Nabi Musa merenungkan situasi tersebut dan berdoa, Ya Allah, jauhkan kami dari tipu daya orang-orang yang hatinya telah berpaling dari kebenaran.
Balaam yang sekarang menjadi bahan ejekan di desanya, merasakan perubahan drastis dalam hidupnya. Dia yang dulu dihormati, kini menjadi bahan tertawaan. Lidahnya yang dulunya fasih, kini sering terbata-bata, seolah menjadi simbol dari kebingungannya yang mendalam. Kejadian di Bukit Husban, menjadi titik balik dalam kehidupan Bal'am. Ia mulai menyadari, bahwa tidak semua yang diinginkan itu baik, dan tidak semua yang baik itu diinginkan.
Namun, kesadaran ini datang terlambat, dan Bal'am harus menghadapi konsekuensi dari pilihannya. Dalam keadaan terpuruk, Balam berusaha mencari jalan keluar dari krisis yang ia ciptakan. Keinginan untuk memperbaiki kesalahan masa lalunya, bertabrakan dengan rasa malu dan keputusasaan yang mendalam.
Sekilas ia sadar, nasi sudah menjadi bubur, terlanjur basah dan lebih baik menyelam sekalian. Dalam kebingungan ini, ia menyusun rencana terakhir yang penuh pengkhianatan. Balam mendekati para pemuka kabilah dengan rencana licik.
Saya mungkin tidak bisa mendoakan keburukan bagi Nabi Musa, tetapi saya punya cara lain untuk mengalahkan mereka, ucap balam dengan nada penuh tikudaya. Kirimkan wanita-wanita cantik ke perkemahan mereka. Dengan begitu, kita bisa menggoda mereka, dan menjerumuskan mereka dalam dosa besar.
Allah sangat tidak suka dengan persinahan, dan dengan begitu, Allah sendirilah yang akan mengajabnya. Para pemuka kabilah setuju dengan rencana ini, dan segera melaksanakannya. Wanita-wanita cantik dikirim ke perkemahan Nabi Musa, memicu krisis moral di antara para pengikut Nabi Musa.
Berita tentang kejadian ini sampai kepada Nabi Musa, yang merasa sangat kecewa dan marah. Dia berdoa kepada Allah, memohon petunjuk dan bantuan. Ya Allah, selamatkan kami dari godaan dan tipu daya ini, doanya. Benar saja, banyak dari kaum Bani Israel pengikut Nabi Musa, terjerumus dalam tipu daya balam. Mereka bersina dengan perawanita itu, melepaskan nafsu yang sudah lama tertahan 40 tahun selama tersesat di Gurun Sinai.
Kemudian, sebuah wabah penyakit menyebar di kalangan Bani Israel, menewaskan lebih dari 70 ribu orang. Wabah ini terjadi, sebagai azab atas perbuatan maksiat yang dilakukan, sebuah konsekuensi dari tindakan Bal'am yang telah memperburuk situasi. Fan Hasab bin Alaizar, membantu Nabi Musa, mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku sina.
Dia membunuh mereka sebagai hukuman, yang kemudian menghentikan penyebaran wabah penyakit itu. Dalam aksinya, Fan Hasah berdoa, Ya Allah, demikianlah yang kami lakukan terhadap orang yang mendurhaka padamu. Nabi Musa, menyadari peran Bal'am dalam tragedi ini, berdoa agar Allah mencabut segala keistimewaan yang diberikan kepada Bal'am. Doa Nabi Musa pun dikabulkan.
Cahaya berbentuk merpati putih, keluar dari tubuh Bal'am. simbol pencabutan iman dan ilmu yang dimilikinya. Balam, yang sekarang kehilangan segalanya, menyaksikan konsekuensi dari tindakannya. Dia menyadari bahwa pengkhianatannya tidak hanya terhadap Nabi Musa, tetapi juga terhadap Allah.
Rancana jahatnya telah berbalik melawan dirinya sendiri, membawanya pada kehancuran total. Hidup Balam berubah drastis. Setelah peristiwa mengerikan yang menyertai penyebaran wabah penyakit di kalangan Bani Israel.
Ia yang dulu dihormati sebagai seorang ulama dan memiliki kelebihan ilmu, kini telah kehilangan segalanya. Cahaya ilmu dan keimanan yang pernah bersinar dalam dirinya telah padam. Balaam hidup dalam penyesalan yang mendalam, dia merenungkan kesalahannya, dan mengingat kata-kata bijaksana yang pernah diajarkan oleh orang-orang yang beriman. Keinginannya untuk memperbaiki diri dan bertaubat menjadi semakin kuat.
Namun, takdir telah menuliskan akhir yang tragis bagi Bal'am. Allah telah mencabut segala kemampuannya, dan dia menjadi seekor anjing. Lidahnya, yang dulunya fasi dalam doa dan pengajaran, kini hanya bisa menjulur keluar sampai dada tanpa suara. Bal'am hidup sebagai anjing liam, menjalani hari-harinya dengan lidah menjulur, menjadi simbol kesombongan dan pengkhianatan. Setiap kali dia mencoba mengeluarkan suara atau berbicara, hanya suara gonggongan yang keluar dari mulutnya.
Pada suatu hari, ketika Bani Israel melewati daerah tempat Bal'am tinggal, mereka melihatnya. Mereka teringat akan kisah tragisnya dan mengambil pelajaran dari nasiknya. Bal'am yang dulunya dihormati, kini menjadi peringatan hidup tentang bahaya kesombongan dan pengkhianatan terhadap keimanan. Allah berfirman, seandainya kami menghendaki.
Niscaya kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung pada dunia, dan mengikuti hawa nafsunya. Maka, perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya, dia menjulurkan lidahnya juga. Demikian itu adalah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu, agar mereka berpikir.
Cerita Balambin Bauru ini, menjadi pelajaran berharga bagi semua orang. Itu adalah cerminan dari pengkhianatan, keserakahan, dan kegagalan seseorang untuk tetap teguh pada kebenaran. Baal'am yang hampir menjadi seorang nabi, akhirnya berakhir sebagai simbol kesombongan yang dihukum Allah menjadi anjing.
Sekian dulu perjumpaan kita kali ini, Wallahu'alam bisho'ab, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, yang sudah like dan subscribe, semoga masuk surga.