Ada sebuah prediksi yang mengkhawatirkan yang saat ini beredar di kalangan para ekonom. Mereka menyebut bahwa generasi Z dan milenial di Indonesia, untuk pertama kalinya dalam sejarah, berisiko menjadi generasi yang kondisi finansialnya lebih buruk daripada orang tua mereka. Menurut survei internasional yang dilakukan oleh CNBC, ada sekitar 43% orang dewasa yang merasa bahwa kondisi keuangannya lebih buruk dari orang tua mereka.
Fenomena ini menjadi sinyal bahwa ada yang salah dari cara kita menjalani hidup hari ini. Selamat datang di channel Edutektif, di mana kita akan bahas semua hal yang berkaitan dengan edukasi, teknologi, dan produktivitas yang berhubungan langsung dengan fenomena sosial di kehidupan sehari-hari. Di video kali ini, kita akan membongkar 3 jebakan terbesar yang sering dilakukan oleh generasi muda. Mulai dari jebakan gaya hidup, hiburan digital, hingga jebakan investasi yang berujung pada kerugian. Tapi sebelum masuk ke intinya, kita mulai dulu dari memahami apa yang sedang terjadi.
Untuk memahami masalah ini, kita nggak bisa hanya menuding bahwa generasi muda itu boros atau nggak bisa menabung, karena akar masalahnya jauh lebih kompleks daripada itu. Saat ini banyak anak muda yang hidup dalam kondisi yang disebut sebagai financial anxiety. yang merupakan sebuah perasaan cemas, khawatir, dan stres yang terjadi secara terus-menerus terkait situasi keuangan.
Pemicunya beragam, mulai dari ketidakpastian ekonomi, berita buruk di sosial media, pendapatan yang nggak stabil, hingga tekanan sosial yang tak berhenti. Kecemasan ini melahirkan mekanisme pertahanan diri yang keliru, yang dikenal sebagai doom spending. Ini adalah perilaku belanja impulsif yang tujuannya bukan untuk mencari kesenangan. melainkan sebagai pelarian atau cara menenangkan diri dari perasaan pesimis terhadap masa depan.
Kenapa ini bisa terjadi? Ini bisa terjadi karena paparan konstan terhadap situasi yang buruk, bisa jadi karena berita krisis iklim, ketidakstabilan politik, inflasi, hingga perasaan pesimis terhadap kemajuan masa depan negara. Belum lagi, generasi muda juga mendapatkan tekanan mental dari sosial media, yang secara nggak langsung menuntut mereka untuk selalu tampil sempurna.
Benturan antara realita dengan tekanan dari sosial media, inilah yang membuat anak muda merasa seolah-olah kiamat sudah dekat. Sehingga mereka mengartikan perasaan buruk ini menjadi kebiasaan belanja yang berlebih sebagai bentuk self-reward yang keliru. Di era digital, kata gengsi dan status sosial telah berubah menjadi komoditas.
Media sosial berfungsi sebagai panggung global di mana gaya hidup itu nggak cuma dijalani, tapi juga dinilai dan dipertontonkan. Bahkan, ada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa sebuah profesi bisa dianggap lebih bergensi jika tampilannya Instagramable. Dalam konteks ini, pembelian barang branded, nongkrong di kafe kekinian, atau punya gadget terbaru, bukan lagi sekedar pemenuhan fungsi, melainkan telah berevolusi menjadi alat untuk membangun identitas dan mencari validasi.
Ngebayangin punya barang branded, punya gadget bermerek, atau nongkrong di kafe-kafe estetik, itu memang bisa terlihat keren. Ini rasanya kayak naikin tingkat kepercayaan diri dan gengsi kita. Tapi inilah kesalahan yang sering terjadi. Kita membeli sesuatu hanya untuk terlihat keren di mata orang lain. Kalau teman-teman tahu, di dunia ini ada yang namanya spotlight effect.
Ini adalah bias kognitif di mana kita merasa bahwa setiap gerak-gerik kita selalu diperhatikan oleh orang lain. Yang padahal sebenarnya orang lain nggak peduli. Perasaan selalu diperhatikan ini hanya muncul di kepala kita aja.
Selain itu, budaya ngopi atau nongkrong di kafe-kafe juga terus meningkat. David Bach dalam bukunya memperkenalkan konsep yang disebut The Latte Factor. Konsep ini merujuk pada pengeluaran-pengeluaran kecil yang kita lakukan secara rutin dan seringkali dianggap sepele.
Namun jika diakumulasikan, jumlahnya bisa sangat besar dan menggerogoti potensi kekayaan kita di masa depan. Pengeluaran harian kayak 15-50 ribu mungkin terasa ringan bagi sebagian orang, tapi efek jangka panjangnya bisa sangat signifikan. Sebenernya ngopi atau nongkrong itu nggak apa-apa kok, asal tau batasnya.
Dan batasnya ini balik lagi ke kondisi masing-masing, kalau aku sendiri membatasi diri cuma 1 atau maksimal 2 kali seminggu. Selain itu, tekanan untuk selalu punya gadget terbaru merupakan jenis jebakan lain yang cukup umum. Siklus rilis produk yang semakin cepat, ditambah dengan strategi pemasaran yang agresif, secara psikologis mendorong kita untuk terus upgrade ke gadget terbaru. Karena setiap produk yang rilis terus menjanjikan pengalaman yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih canggih. Namun, seringkali peningkatan fitur tersebut nggak sebanding dengan peningkatan harganya, dan gadget lama pun sebenarnya masih layak dipakai.
Pembelian gadget baru seringkali didorong oleh motif emosional dibanding rasional, kayak karena kebanggaan, status sosial, atau ketakutan dianggap ketinggalan zaman. Perilaku konsumtif ini nggak hanya menguras tabungan, tapi juga sering mendorong anak muda untuk mengambil utang hanya untuk menjaga inflasi lifestyle. Sebenernya, nggak masalah kok kalau kita ganti gadget baru, asal kita beneran mampu, tahu manfaatnya, bisa mendukung produktivitas, atau bahkan bisa menambah penghasilan.
Sayangnya, yang terjadi saat ini, banyak orang fokusnya nggak lagi pada fungsi, tapi lebih kepada kemampuan untuk dipamerkan, atau didokumentasi. Saat ini kita hidup di era ekonomi subscription, hampir semua layanan digital yang tersedia, mulai dari layanan musik, Film, aplikasi, penyimpanan, hingga kesehatan, semuanya beralih ke model bisnis berbasis langganan. Bagi konsumen, model bisnis ini terlihat menawarkan kemudahan. Namun, dibalik itu semua ada dampak psikologis dan finansial yang buruk. Sistem pembayaran subscription biasanya berjalan secara otomatis.
Ini membuat kita cenderung nggak sadar dengan pengeluaran yang terjadi. Pengeluaran ini menjadi semacam shadow expenses atau biaya tak terlihat yang diam-diam menggerogoti keuangan kita. Masing-masing mungkin hanya sekitar 20-80 ribu, tapi jika di total semuanya bisa mencapai ratusan ribu setiap bulan. Belum lagi, langganan ini seringkali juga banyak yang nggak digunain dengan maksimal, karena kita kadang lupa berlangganan sesuatu, tapi sebenarnya kita nggak butuh.
Kemudian buat kamu yang suka main game, kamu juga harus paham bahwa sebagian besar game yang ada saat ini mengadopsi model bisnis freemium atau free to play. Artinya... Game tersebut memang bisa dimainkan secara gratis namun di dalamnya terdapat sistem pembelian barang virtual dengan uang beneran. Contohnya kayak sistem battle pass musiman, skin atau barang limited edition, atau bahkan flash sale atau event berbatas waktu. Semua strategi ini memang dirancang untuk mematikan pemikiran rasional kita dan memicu respons emosional berupa beli sekarang atau menyesal nanti.
Model kayak gini juga dirancang untuk membuat pemain merasa harus mengeluarkan uang. entah itu untuk mempercepat kemajuan, mendapatkan keuntungan, atau sekadar membuat karakter agar terlihat lebih keren. Salah satu mekanisme monetisasi yang paling efektif sekaligus paling kontroversial adalah sistem gacha.
Mekanisme ini pada dasarnya mirip dengan mesin slot yang dilegalkan, di mana pemain membayar uang sungguhan untuk mendapatkan kesempatan memenangkan barang atau karakter secara acak. Sistem ini bekerja dengan memanfaatkan prinsip bernama variable ratio reinforcement. Ini adalah prinsip yang sama persis dengan mesin judi di kasino, di mana hadiah diberikan setelah sejumlah tindakan yang nggak bisa diprediksi.
Pemain nggak pernah tahu pada putaran keberapa, mereka akan mendapatkan barang yang diinginkan, sehingga mereka akan terus mencoba dan melakukan top-up secara berulang-ulang, dengan menutupinya sebagai pembelian barang virtual. Industri game secara efektif mengimplementasikan mekanisme judi, tanpa terikat regulasi hukum yang ketat. Di beberapa tahun terakhir, minat anak muda terhadap investasi saham dan aset kripto meningkat pesat.
Namun, antusiasme ini seringkali nggak diimbangi dengan riset dan pemahaman yang memadai. Akibatnya, banyak investor pemula yang jatuh ke dalam jebakan yang merugikan. Misalnya, yang paling dominan adalah herd mentality, atau perilaku kawanan.
Ini adalah kecenderungan alami manusia untuk mengikuti tindakan atau keputusan dari suatu kelompok besar, dengan asumsi bahwa jika semua orang melakukannya, pasti itu benar. Dalam investasi, ini terwujud dalam bentuk ikut-ikutan membeli saham atau koin kripto yang sedang viral dibicarakan, tanpa melakukan analisis fundamental. Ketika melihat teman atau influencer di media sosial memamerkan keuntungan besar dari suatu aset, muncul rasa takut ketinggalan. Ketakutan inilah yang memicu keputusan investasi yang terburu-buru dan emosional, yang seringkali membuat mereka hanya dijadikan exit liquidity oleh para bandar.
Peran influencer memang sangat signifikan dalam membentuk bias ini. Meskipun banyak yang memberikan edukasi yang baik, namun nggak sedikit juga yang mempromosikan produk berisiko tinggi atau bahkan ilegal hanya untuk kepentingan pribadi. Ketika kamu nggak paham apa yang kamu beli, itu bukan investasi, tapi judi. Sangat besar kemungkinan kamu akan panik saat harga turun, atau serakah saat harga naik.
Pada akhirnya, keduanya berujung pada kerugian. Lagian, di umur yang masih muda, kekuatan terbesar kita itu ada di earning power. atau energi untuk menghasilkan pendapatan, bukan di investasi. Investasi itu permainan kapital, jadi kalau kamu masuknya kecil, returnnya juga akan kecil. Jadi lebih baik kita maksimalin masa muda untuk upgrade diri sebelum berinvestasi.
Uang yang tadinya mungkin dipakai untuk foya-foya, lebih baik digunakan untuk kursus online, ikut bootcamp, atau beli buku yang bisa ningkatin skill, sehingga di masa depan kamu punya potensi untuk meningkatkan penghasilan. Instrumen-instrumen investasi leher ke atas kayak gini juga merupakan aset yang nilainya selalu diperlukan. naik jika kamu bisa mengolahnya dengan benar. Ini bukan berarti kamu nggak boleh berinvestasi ya. Kalaupun mau, pelajarin dulu konsep dasarnya.
Mulai investasi dari instrumen yang rendah risiko kayak reksadana, obligasi, atau deposito. Bukan langsung terjun ke kripto atau instrumen lain yang nggak jelas asal-usulnya. Pada akhirnya, akar dari masalah ini bukan pada secangkir kopi, sebuah game, atau investasi, melainkan pada mindset dibalik. keputusan hidup yang kita pilih. Jebakan-jebakan hidup yang tadi kita bahas bekerja dengan sangat efektif dalam menargetkan kebutuhan psikologis kita, akan validasi eksternal, status sosial, dan ketakutan akan ketinggalan.
Yang harus kita pahami adalah membangun kekayaan itu ibaratnya kayak maraton, bukan sprint, jadi nggak harus terburu-buru. Membuat kesalahan juga merupakan bagian dari proses belajar. Kalau kamu ngelakuin kesalahan-kesalahan kayak yang tadi kita bahas, itu nggak apa-apa kok. Langkah yang harus dilakukan adalah terus membekali diri dengan pengetahuan yang benar, lalu mulailah mengambil keputusan hidup yang didasari pada tujuan, bukan tekanan dari sekitar. Sekian video kali ini dan semoga bermanfaat.
Menurut riset dari University of London, menggunakan mind map ketika mempelajari sesuatu dapat meningkatkan kapasitas memori sebesar 24%. Oleh karena itu, melalui channel membership, kamu dapat menikmati mind map eksklusif dari semua video edutektif baik video terdahulu maupun video yang akan datang. Selain itu, kamu juga dapat menikmati fitur-fitur lain yang tersedia melalui 3 jenis penawaran.
Namun, yang paling penting, mulai dari penawaran terendah, kamu sudah dapat menikmati semua mind map eksklusifnya. Dan sebagai tambahan, dengan berlangganan membership, kamu juga mendukung channel UMKM ini untuk terus berkembang dan membuat kami lebih semangat. untuk melakukan riset mendalam terkait topik edukasi, teknologi, dan produktivitas, sehingga pada akhirnya edutektif dapat menghasilkan konten-konten lain berkualitas tinggi.