Transcript for:
Integrasi Psikologi dan Kecerdasan Buatan

Terima kasih juga sudah menghadirkan saya di sini karena ini forum yang sangat luar biasa ya. Saya sangat menikmati mempelajari keterkaitan psikologi dengan AI. Dan ini juga sebenarnya sehari-hari kita terlibat di situ. Berinteraksi itu sangat sehari-hari, bahkan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, teman-teman akan menggunakan beberapa artificial intelligence. Jadi meminta bantuan sebuah device untuk membantu mikir, karena ini kecerdasan buatan. Jadi seperti membantu kita. menyingkirkan ruang-ruang penuh di dalam kepala untuk lebih bisa digunakan informasinya. Terkait dengan acara siang hari ini, sepagi menjelang siang ini, ada tiga hal yang diminta oleh Pak Nitya untuk saya memberikan pandangan. Yang pertama terkait dengan psikologi dan artificial intelligence, bagaimana kedua ilmu ini terintegrasi. Kemudian urgensi dari pemanfaatan AI-nya, serta disrupsi. Yang sebenarnya tadi pertanyaannya sudah sangat banyak juga ada di chat. Dan itu berkaitan dengan apa yang sebenarnya sudah disampaikan oleh Pawan tadi, dari sisi teknis, dari sisi keilmuan elektronika, komputasi. Dan ini kita dari sisi social science-nya. Dan bagaimana kemudian psikologi dan artificial intelligence ini ternyata bisa saling terintegrasi. Kalau kita lihat dari pengertian psikologi itu sendiri, jadi kalau kita bicara psikologi, psikologi ini memang ilmu tentang mental, tentang pikiran, dan tentang perilaku manusia. Kalau dikatakan mental, mental itu sesuatu yang mungkin kita agak susah untuk kemudian secara pasti menyebutkan kategorisasinya kalau tidak dibantu identifikasinya melalui ilmu psikologi. Bagaimana manusia berpikir, bagaimana manusia merasa, dan bagaimana manusia bertindak, itu dikendalikan oleh sistem syaraf pusat sebenarnya. Jadi secara biopsykologi, sistem syaraf pusat kita itulah sebenarnya pusat dari kecerdasan manusia. Nah ini yang sebenarnya mulai dari definisi itu saja sebenarnya peran A itu sudah bisa diintegrasikan. Karena kecerdasan yang disasar oleh artificial intelligence itu kecerdasan buatan. Jadi pusatnya kesadaran ada di sistem syaraf pusat, pusatnya berpikir, merasa, dan bertindak itu tadi, yang kemudian akan didelivery ke seluruh bagian tubuh manusia, nanti akan menjadi sebuah gerakan. Sesuatu yang bisa kita lihat. Nah ini artificial intelligence dari... pengertian dari psikologi yang belajar mental itu tadi pun sebenarnya sudah sangat dekat. Ibaratnya bisa saling berkolaborasi. Kemudian hal lain yang berkaitan dengan ilmu psikologi adalah ilmu tentang jiwa, psyche. Ada yang beberapa ahli mengatakan mental dan jiwa sama. Tetapi in specific, sebenarnya kedua hal ini agak punya penjelasan masing-masing. Yang mental itu mungkin bisa dibantu oleh kecerdasan tadi itu karena sifatnya yang kognitif, berpikir, merasa dan pertindaknya pun dipengaruhi oleh sistem syarah pusat, tapi ketika itu psike atau jiwa, itu sifatnya keseimbangan emosional, spiritual, dan sosial. Yang ini mungkin masih menjadi PR buat artificial intelligence untuk bisa terintegrasi ke situ. Bagaimana membalancing emosional, spiritual, dan sosialnya individu. Bagaimana bisa menggantikan human interaction? Itu yang mungkin PR AI masih cukup besar di sana. Kalau untuk urusan mental, mungkin AI berusaha untuk mengumpulkan algoritma apa, kode-kode perilakuan yang ada di setiap device. Jadi begitu teman-teman itu membuat semacam informasi ataupun mengirimkan sebuah pesan ataupun tulisan di, apa namanya, open access, terus akan terambil. Memasukkan apapun ketika itu kemudian klik, itu pasti sudah akan diambil oleh server. Dan siapa pemilik server ini yang kemudian akan mempunyai big data tentang teman-teman. Dari situ kode-kode perilakuan bisa disusun atau dibentuk. Yang tadi kata Pak. Wawan bilang itu akan dimasukkan dalam machine learning. Di dalam machine learning akan dilatih, di-training, sehingga kemudian akan membentuk pola-pola tertentu. Pola-pola tertentunya masih harus disupervise. Kalau kita di psikologi, perjalanan seperti kecerdasan intelektual tadi itu adalah ada data-data perilaku dari manusia. Misalnya kita ambil data-datanya itu dari tes, tes psikologi. Dari tas psikologi, kemudian data-data itu masuk ke sebuah mesin lereng, ibaratnya kayak gitu. Masuk ke sebuah kotak besar yang di situ, akan nanti kemudian kita analisis. Data-data kemudian dianalisis, kemudian muncullah pola-pola psikogram. Dari pola-pola itu, sebenarnya di psikologi pun sama persis. Langkah-langkahnya dengan AI tadi, ada supervisenya. Siapa yang mensupervise? Data yang sudah dianalisis dengan software tertentu di dalam psikologi itu akan disupervise oleh psikolog. Jadi yang mensupervise, kemudian yang men-state dan menyatakan bahwa oh ini bentuknya seperti ini, oh ini kepemimpinannya level 3, oh ini keseimbangan emosinya level 2 misalnya. Itu adalah dari pertimbangan supervise tadi. Supervise yang artinya di situ adalah psikolog-psikolog yang kemudian ma-ma-ma melek apa ya, ibaratnya ngecap gitu ya. Oke, berarti yang indikator kayak gini-gini-gini ini namanya keseimbangan emosi level 2. Kalau yang kayak gini-gini namanya keseimbangan emosi level 3. Nah, tinggal nanti dapat kodenya. Nah, itu sama persis. Nah, dari situ kemudian, oh sudah dapat ini malnya, ibaratnya gitu ya. Malnya. Jadi ini menjadi kamus. Kamus dari perilaku yang nanti ketika kemudian kita melakukan pengetesan gitu ya. itu sudah tidak lagi membaca data dari yang kita tes, tetapi kita sudah bisa langsung melihat kamus. Kalau melihat ada orang dengan perilaku kayak gini, oh itu yang kemarin hasil dari supervisenya itu masuk level 2. Oh ya oke, ini kayak gini level 2. Jadi hampir sama persis prosesnya dari kecerdasan buatan dengan bagaimana kemudian aktivitas di pemeriksaan psikologi itu bisa dibikin model AI. Sehingga dari kita melihat perilaku individu tertentu, itu kalau kita kemudian sudah punya panduan kamusnya tadi, kalau yang kayak gini, nampaknya ini ke penilaian yang ini. Itu karena kita sudah punya supervisenya tadi. Ini yang mungkin bisa diintegrasikan, dikolaborasikan antara psikologi dengan AI. Kita punya banyak sekali data-data pemeriksaan psikologis, data-data ini bisa kemudian di... Diolah, dicari kode perilakuannya dengan menggunakan mesin learning tadi. Itu pernah juga dilakukan di UPKM waktu itu ketika saya ada di sana, itu mengumpulkan data-data pemeriksaan kepribadian waktu itu. Kemudian untuk mendapatkan pola-pola kepribadian. Memang itu PR yang cukup butuh komitmen. Komitmen banyak, tidak hanya komitmen dari sumber daya manusianya, tetapi juga supporting systemnya juga perlu ada komitmen di situ. Karena memang ini aktivitas risetnya juga cukup detail, sehingga masih tahap inisial, belum kemudian sampai ke sesuatu yang sifatnya bisa dikonsumsi oleh publik, sehingga memang ini masih perjalanan penelitian. Itu salah satu... Contoh gitu ya, ketika kemudian psikologi bisa terintegrasi dengan artificial intelligence untuk melihat tadi itu, apa namanya, identifikasi-identifikasi berlaku itu menggambarkan sebuah berlaku apa gitu ya. Nah ini, AI sendiri kan sebenarnya sistem kecerdasan yang berbasis algoritma. Tadi sudah disampaikan dengan sangat jelas. Dan itu dapat melakukan tugas manusia di berbagai bidang. Saya ambil contoh saja ada beberapa bidang kesehatan, pertanian, konstruksi gitu ya. Yang di luar psikologi ternyata banyak juga. Artinya semua bidang itu sekarang membutuhkan bantuan AI untuk mempercepat pengambilan keputusan. Jadi kalau tadi di akhir diskusi dengan Pak Wawan tadi adalah berkaitan dengan pengambilan keputusan, kalau boleh saya sederhanakan. Artinya pada akhirnya kalau kita bicara tentang psikologi, pengambil keputusan tertinggi di dalam menilai atau evaluasi kondisi psikologi seseorang itu adalah psikolog memang. Jadi psikolog itu adalah orang yang sudah tersumpah, certified, dan juga memegang teguh kode etik. Sehingga pengambilan keputusan apakah profile seperti ini adalah menggambarkan yang bersangkutan, itu ada di psikolog. Dan nanti dalam rangka membantu untuk membangun... Profile dalam rangka pengambilan keputusan itu bisa dibantu dengan AI. Siapa yang bisa menjalankan AI, siapapun. Nanti yang menguasai itu, itu bisa menjadi sumber membantu para psikolog mengambil keputusan. Ini yang terjadi sampai saat ini. Yang terjadi demikian. Jadi AI sangat membantu para psikolog untuk melakukan proses pengambilan keputusan. Nah. Kalau dilihat dari tren, ini saya ambil dari jurnal Spopus. Artinya mungkin ada beberapa yang sebenarnya banyak di Indonesia, dan saya juga yakin banyak, karena kemarin ketika kita melakukan ada semacam, saya membawa mahasiswa berkompetisi, waktu itu juga mengambil topik psikologi dan AI, itu banyak membaca artikel-artikel populer dari Indonesia, jurnal-jurnal yang dari Indonesia itu banyak sekali. Nah ini kebetulan karena ini mahasiswa MAPSI, saya coba untuk ambil yang terbaru. terindeks kokus. Jadi dari 4.597 yang terindeks itu, yang berbicara tentang artificial intelligence, ketika in spesifik saya cari untuk yang di bidang psikologi itu ada 270. Dan itu dari tahun 1978 hingga sekarang tahun 2024 itu juga sudah ada. Nah di tahun yang menarik adalah ternyata sejak 1978, itu sudah mulai ada perdebatan terkait dengan Prinsip etik dari pemanfaatan AI. Jadi sudah lama sekali ini. Ternyata dari awal munculnya artificial intelligence itu di tahun 1978, jurnal itu terbit. Itu berisi pembahasan tentang pro dan kontra tentang artificial intelligence. Dalam membantu... dalam proses kehidupan manusia. Itu sudah mulai ada perdebatan di situ. Lalu kemudian tahun berikutnya, mulai 90-an itu masuk riset-riset kognitif. Jadi psikologi dan AI fokusnya lebih kepada kognisi, sensori, memori, dan segala macam. Kemudian mulai di 2013 ke atas, itu cyberpsikologi masuk. Karena mungkin waktu itu sudah mulai ada sosial media segala macam, jadi sudah mulai terbuka. Kemudian berlanjut ke emosi, gerakan, bahasa. Kemudian di atas 2015 yang saya baca dari beberapa jurnal itu sudah mulai banyak artikel tentang kesehatan mental. Anxiety, depresi, post-traumatic syndrome, dan segala macam. Kemudian juga ada di assessment juga. ketika mau melakukan proses recruitment dan juga proses promosi pegawai itu bagaimana si AI ini bisa membantu untuk menggali datanya. Itu ternyata juga sudah ada. Kemudian gangguan perilaku sendiri juga di situ sudah mulai muncul publikasinya. Kemudian cyber health itu juga sudah banyak sekali dampak dari apa namanya media-media terhadap kesehatan. Itu ternyata juga marak. Kemudian di 2020 ke atas, itu sangat masif perkembangannya. Itu dari 2020 sampai 2024 saja yang spesifik di bidang psikologi. Ini psikologi ilmu murni. Belum lagi psikologi terapan. Ini 137. Itu ada... banyak artikel yang mengaitkan dengan kesehatan mental. Karena memang sampai sekarang isu yang paling besar sampai hari ini itu adalah tentang kesehatan mental. Baik di lingkungan pendidikan, maupun di lingkungan kerja, maupun di masyarakat itu sendiri. Kesehatan mental itu menjadi isu yang sangat harus mendapatkan perhatian besar. Dan AI hadir untuk membantu, paling tidak meringankan. jumlah kasus dalam rangka memberikan pertolongan pertama. Seperti yang kemarin kita riset itu memang pertolongan pertama pada kondisi psikologis. Jadi pertolongan pertama itu artinya memastikan bahwa yang bersangkutan itu jangan sampai parah dulu. Tetapi memang PFA atau Psychological First Aid itu kan prinsipnya link. Prinsipnya itu link. Jadi dia nanti setelah mendapatkan rasa, kan look listen link, setelah merasa didengarkan oleh si AI, si AI ini akan menghantarkan dia ke ke psikolog ataupun ke terapis. Jadi memang AI-nya sendiri belum bisa untuk membantu menerapi. Ada yang sampai di situ. Tapi ada juga nanti AI yang bisa membantu terapi yang biasa digunakan pada proses CVT. Kemudian artikel tentang cyberpsikologi, perilaku di tempat kerja, perilaku belajar, penggunaan AI dan VR untuk konsentrasi dan kreativitas. Jadi banyak sekali akhirnya sekarang ini yang ke arah psikologi. Tapi kalau in general itu banyak, sudah banyak, 4 ribuan lebih. Tapi kalau... khusus yang psikologi dasar terutama yang berkaitan dengan proses mental dan perilaku, itu memang ibarat publikasi memang yang terindeks skopus masih sedikit. Cuma kalau yang terindeks saya yakin banyak, karena pernah kita lihat. Menurut teman-teman, seberapa penting artificial intelligence? Kalau kita lihat ada chat GPT, ada chatbot, ada online application. Ada search engine, ada virtual assistance, ada virtual reality, augmented reality. Jadi seberapa kecerdasan buatan ini penting. Kalau menurut teman-teman. Mungkin bisa nge-check apa yang kita katakan menurut teman-teman itu penting. Ini ada sambil nyambung ke amal. Amal itu bertanya, peran AI dalam psikologi. Kalau menurut Amal, seberapa penting AI kita hadirkan dalam dunia psikologi? Kata dia, penting untuk efisiensi waktu kerja. Dan lagi, seberapa penting kita dibantu chat GPT? Tadi kan ada isu, ini etiknya gimana kalau pakai chat GPT? Tadi penjelasan Pak, Mawan sudah sangat komprehensif. Artinya memang ada beberapa hal yang nanti akan di slide berikutnya saya sampaikan, terkait dengan... apa namanya, disrupsinya tadi. Penting untuk efisiensi biaya, bisa untuk konseling dari penilaian antasena di laga, mengurangi riset-riset bias atau error. Penting untuk digunakan assessment. Ini penting, kan? Jadi ada beberapa hal yang kemudian bisa kita gunakan, ternyata kata teman-teman. Dan itu ada benarnya juga. Ketika kita bicara tentang cat GPT, mungkin di dalam cat GPT ini kan dia akan membantu kita mikir. Di saat kita isi pikirannya penuh, itu bisa dibantu oleh cat GPT. Tapi sekali lagi, nanti ada beberapa hal yang harus kita perhatikan ketika kita menggunakan artificial intelligence. Kemudian, catbot. Catbot ini sangat penting. Tadi masalah efisiensi. Kalau bicara masalah efisiensi, kita ini sekarang... memiliki pekerjaan yang banyak misalnya dengan suplai SDM yang sedikit. Jadi, apa namanya, postur sumber daya manusia di tempat kita misalnya itu cuma sedikit, tetapi jenis layanannya itu banyak. Nah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan itu, maka dibutuhkan bantuan, namanya catwood. Catwood itu hadir karena kita tidak memiliki SDM lagi untuk mengerjakan itu, misalnya. Bisa jadi ke arah sana. Atau bisa jadi kita memang sebenarnya masih punya SDM-nya, tapi kok rasanya sayang kalau hanya dipakai untuk jawab. Karena mesin saja bisa jawab. Sehingga akhirnya SDM ini di-empower, diperdayakan untuk lebih optimal lagi potensinya. Nah ini makanya kita butuh chatbot. Jadi hal-hal yang sifatnya bisa, yang rutin, daily, rutin itu bisa dilakukannya. Karena memang artificial intelligence itu bisa dipakai untuk efisiensi. Ada hal yang penting yang perlu kita garis bawahi ketika menggunakan artificial intelligence itu, apakah ini mutual gains, atau sebenarnya ini conflicting. Sama-sama dapat diuntungkan, antara saya sama nanti mungkin organisasi diuntungkan dengan saya menggunakan itu, atau... saya diuntungkan, organisasi tidak diuntungkan. Atau organisasi diuntungkan, saya tidak diuntungkan. Itu conflicting. Itu nanti harus dipikirkan terkait dengan prinsip etika. Sehingga memang penting teman-teman menjawab dengan sangat baik. Ada yang mengatakan, Luna ini tidak begitu penting karena hasil jawaban cacip itu hanya untuk referensi saja. Itu nanti akan masuk ke slide berikutnya, bagaimana sebenarnya hambatannya. Tapi yang pertama, yang memang kita sepakati, memang ini penting. Ketika itu bisa mutual gains ke lingkungan kita. Yang pertama dia efisien, menyelesaikan tugas kompleks dengan cepat. Dan efisien yang berikutnya mudah, karena mudah diakses dengan kemajuan teknologi yang ada. Lalu optimalisasi, artinya kehadirannya mampu mengaktualisasikan potensi kreatif individu. Kenapa? Karena... Hal-hal yang sifatnya rutin, itu sudah dibantu sehingga dia akan optimalkan potensinya ke hal yang lain. Harapannya begitu. Harapan dari keluarnya artificial intelligence itu secara esensi. Nah, memang ketika menghadapi kenyataannya, itu nanti akan ada beberapa disrupsi. Tapi sebelum ke sana, kita coba lihat beberapa peluang integrasi dengan artificial intelligence. Kalau kita bicara psikologi, itu memiliki empat setting. Ada setting kesehatan, ada setting kerja, ada setting pendidikan, ada setting komunitas. Bayangkan, teman-teman, ketika itu ada di setting kesehatan. Kasus kesehatan mental, mahasiswa dengan gangguan emosi itu sangat banyak. Mahasiswa dengan kecenderungan untuk bunuh diri sangat banyak. Artinya, faktor kesehatan ini menjadi isu penting saat ini. Dan ketika kita bicara setting kesehatan ini, sebenarnya kehadiran psikologi tidak hanya untuk yang sehat secara mental, tetapi juga ternyata sehat secara fisik. Artinya, kesehatan dalam arti fisik maksudnya. Artinya, pada individu-individu yang memiliki gangguan fisik, itu ternyata secara psikologis juga mengalami situasi yang tidak nyaman secara emosi, dan dengan bantuan artificial intelligence sebagai pertolongan. pertama pada kondisi kesehatan itu bisa sedikit meringankan, sehingga kemudian orang pada situasi yang tidak nyaman pasti akan kemana-mana pikirannya. Itu sangat wajar. Sehingga fungsi kita itu sebenarnya kan nggeret. Maksudnya itu memastikan. Memastikan bahwa dia itu berada dalam fokus and aware. Dalam bahasa psikologi sederhananya mindful. Jadi dia berada... Dia menyadari bahwa dia itu ada saat ini, dan dia tahu bahwa dia itu ada di mana. Fungsinya itu menghadirkan dia ada di situ. Ketika kemudian sudah hadir rasa itu, kemudian dia bisa kita arahkan untuk ke profesional. Ini dengan bantuan artificial intelligence bisa langsung menangkap gejala-gejala yang sudah mulai bermunculan yang sangat banyak, di mana kita punya keterbatasan sumber daya, dibantu dengan AI, itu bisa langsung dibantu. bahkan juga mungkin dengan tele tele apa namanya, telepon untuk kemudian memberikan semacam mungkin hanya kayak model Elisa kayak perempuan yang ngomong di telepon tapi itu juga bisa membantu, atau yang langsung diintegrasikan ke WhatsApp, seperti yang kemarin diteliti oleh Masa Sosa itu langsung diintegrasikan ke WhatsApp jadi sewaktu-waktu handy ada masalah langsung bisa ngechat saya sedang begini, nanti kita Basisnya ini chat GPT ya, yang di WhatsApp ini basisnya chat GPT. Dia akan memberikan semacam validasi emosi, oh kamu sedang sedih ya, ada kayak gitu-gitu. Terus kemudian akan memberikan validasi emosi, kemudian akan memberikan motivasi semangat ya, semua orang pernah mengalami hal yang sama denganmu, dan kamu adalah orang yang tangguh dan segala macam. Itu ada obrolan kayak gitu. Kenapa bisa seperti itu? Itu tadi Pak Wan sudah menjelaskan ya. Chat GPT ini sudah mengambil semua data-data yang ada di dunia maya ini untuk kemudian mereka bikin kode-kode perilakuannya. Sehingga ketika ada pertanyaan, saya sedang sedih misalnya, dia akan memvalidasi secara emosi, kamu sedang sedih. Jadi sudah ada polanya seperti itu. Ini masalah kesehatan. Lalu kalau masalah, apa masalah? di tempat kerja misalnya. Ini sambil saya baca chat-nya. Ada yang mengatakan chatbot counseling. Pada dasarnya, counseling dan psikoterapi bertujuan untuk melatih ulang manusia dalam mengalami interaksi sosial yang sehat dan normal. Kemampuan memberikan, ini dari Mirajil Akbar, kemampuan memberikan interaksi sosial yang normal ini menurut saya hanya dapat diberikan oleh individu yang sadar dan tidak lewat sekedar mekanisme bahasa. Oke, ini yang dikhawatirkan oleh Akbar ini memang beneran terjadi? pada chatbot yang berbasis chat GPT, dia memang tidak bisa kemudian memberikan respon. Jadi dia respon timbal balik. Dan juga memberikan sentuhan fisik, karena itu chat GPT. Yang dia keluarkan itu memang yang dimiliki oleh si basis datanya chat GPT. Jadi misalnya dia memberikan tips, tipsnya itu yang selama ini secara umum orang dengan tips seperti itu, it works. Itu memang seperti itu terjadi. Sehingga kalau kemarin kita mencoba untuk mendesain chatbot yang dengan masukkan ke WhatsApp, itu sebenarnya hanya untuk pertolongan pertama. Untuk pertolongan pertama saja. Karena masalah gangguan kesehatan, terutama gangguan kesehatan mental, itu memang harus segera mendapatkan penanganan. Karena kalau nggak segera, jadi prinsip cepat tanggapnya itu. Jadi kalau tidak segera mendapatkan penanganan, kiranya akan semakin kemana-mana. Dia akan semakin merasa sendirian, dia akan semakin merasa hidup ini tidak ada maknanya dan segala macam, karena tidak segera di-counter pikirannya. Karena sebenarnya orang itu keluar dari kesadaran itu karena tidak here and now, tidak fokus dan tidak aware dengan kondisi dirinya. Nah ini yang kemudian coba dibantu oleh alat ini untuk menyelamatkan emergensinya itu tadi, emergensinya, gawat daruratnya. Tapi di situ nanti si cat GPT itu akan kemudian... memberikan link. Kalau settingannya untuk PFI, untuk Psychological First Aid, dia akan memberikan link ke profesional. Jadi memang harus berinteraksi dengan profesional. Ini setidaknya kegawat darur dan di awal itu sudah terlewati. Sehingga kemudian dia pergi ke profesional. Dan sampai chat GPT itu sampai bisa memberikan nomor yang bisa dihubungi untuk kondisi kegawat darurat. Nah ini salah satu contohnya ya, Akbar. Jadi memang ya nggak bisa kalau misalnya counseling yang intensif. Karena validasi emosinya terbatas kepada apa yang keluar di teks. Sedangkan kalau sampai ke ekspresi yang gestur-gestur yang yang tidak diungkapkan dalam kata, itu susah untuk kemudian chat GPT itu bisa ikut ngerasakan. Nah ini yang terjadi. Sehingga itu itu menjadi concern kita juga. Terus apa lagi ini? Kansul Atiyah. Nah, kemarin ada layanan terapi di Barat sudah menggunakan AI untuk proses assessment. Bahkan beberapa klien juga merasa lebih nyaman ketika melakukan proses assessment melalui AI daripada face-to-face dengan terapis atau konsulat. Lalu apakah di Indonesia sendiri juga sudah pernah menggunakan AI dalam proses assessment? Ini proses assessment atau proses konsultasi ya, Kansul, kalau boleh tahu. Halo? Ini mungkin sambil interaktif saja. Proses assessment. Assessment itu maksudnya gimana? Maksudnya, kan assessment itu, yang dimaksud assessment di sini yang mana? Pengukuran dari awal sampai akhir? Oh, screening awal. Oke, screening awal dan pertanyaan tentang keluhan. Nah, ini sebenarnya yang konsep PFA tadi kan. Psychological First Aid-nya itu, gawat darurat itu, kalau coba kita analogikan ke proses anamnesa awal dalam sebuah counseling. Anamnisa awalnya dilalui dengan screening sebenarnya, assessment dengan berapa intelijensinya, karena dari intelijensi kita jadi tahu bagaimana nanti memperlakukan si individu ini pas counseling. Jadi ini masih di bagian awal-awalnya. Ini mungkin potensi juga untuk kemudian kita AI-kan. Sehingga saya bisa membayangkan, UKB itu sampai berbulan-bulan waiting list-nya. Ketika screening ini bisa dilakukan dengan AI, maka tinggal kemudian... mendeliver atau mendistribusikan ke profesional-profesionalnya. Sehingga tidak ngantri dari screeningnya. Mungkin itu nanti, kebetulan Mbak Isah ini orang UKP. Jadi ini bisa dilakukan, riset saja bagaimana screening awal untuk individu-individu yang pergi ke UKP atau klien-klien yang ke UKP, screening awalnya bisa dilakukan dengan AI. Dan seringkali juga ada beberapa orang datang ke layanan itu bukan karena kemauan sendiri, misalnya diminta oleh orang lain, atau diminta oleh signifikan lainnya, sehingga seringkali juga banyak terjadi defense, dan kurang terbuka. Kemungkinan besar dengan adanya AI ini mungkin akan lebih keluar. Seperti kemarin yang dialami oleh kita ketika membuat chat sebut untuk PFA, itu... ketika kita baca dari hasil kualitatif di analisis teksnya, itu ternyata polanya ketemu. Para mahasiswa ini ternyata kesepian itu karena apa? Itu bisa kelihatan polanya kenapa dan disebabkan oleh apa. Ini bisa jadi akan mendapatkan data yang lebih kaya ketika kemudian dia secara self-assessment melakukan proses self-assessment sendiri. Tapi juga harus di... Dipahami juga atau dicermati bahwa self-assessment itu kadang kita terlalu menilai diri kita bisa jadi terlalu tinggi atau terlalu buruk atau mungkin rata-rata. Jadi kurang begitu pas potretnya, sehingga kemudian perlu dilakukan proses assessment oleh psikolognya sendiri. Oh ini hasil dari AI yang dia self-report. Tapi kemudian psikolognya juga setidaknya perlu memverifikasi itu. Nah ini nanti prosesnya bisa difikirkan bagaimana caranya untuk ini bisa, AI ini benar-benar bisa membantu sehingga bisa lebih efisien. Nah ketika kemudian dari pihak verifikator itu mengatakan bahwa, oh ya ini kondisi existingnya. Nah kemudian di deliver atau kemudian didistribusikan ke beberapa profesional sesuai dengan masalahnya. Nah ini bisa jadi sebenarnya kalau mau dibawa ke sana, atau di proses assessment yang yang melibatkan kemampuan kayak semacam sekarang ini kan kalau kita bicara tentang tes untuk promosi itu lebih menggunakan kompetensi. Kompetensi itu berarti kan dia memiliki perilaku yang selama ini dia pakai, dia gunakan, dan itu menunjukkan bahwa dia kompeten di situ. Sehingga ngeceknya dengan menilai portofolionya. Jadi pakai... behavioral event inventory. Jadi apa yang pernah dia lakukan ketika dia menghadapi permasalahan seperti ini. Itu mungkin AI bisa melakukan itu. Ini mungkin menjadi sebuah pertimbangan juga. Jadi ketika mau menggunakan behavioral event inventory, itu kan pakai STAR, Situation, Task, Action, and Result, itu bisa menggunakan bantuan AI. Sehingga individu akan dengan ekspresif, mungkin dengan voice atau dengan text, tergantung. Kalau mau... lebih mungkin lebih efisien waktu gitu kan pakai voice gitu ya. Sehingga kadang-kadang kalau disuruh nulis kan para asesi ini agak keberatan gitu karena mungkin selalu nggak pernah nggak biasa nulis gitu. Jadi mungkin pakai voice dan sebagainya. Ini pertimbangan-pertimbangan terkait dengan kemudahan bisa sih dilakukan gitu ya. Itu di setting kerja. Dan di setting pendidikan pun demikian. Ketika kemudian proses pembelajaran yang sifatnya rutin dan sifatnya itu... terlihat sesuai rencana, itu kan bisa di-AI-kan. Kalau misalnya teman-teman memiliki sebuah proses evaluasi pembelajaran menggunakan multiple choice, ini sangat gampang tinggal di-AI-kan. Atau menggunakan aside, itu bisa dibikin apa namanya, dibikin Kayak persaratannya, kalau misalnya ada indikator-indikator ini, kemudian ini nilainya sekian. Jadi hampir seperti yang biasanya kita lakukan, cuman selama ini kita lakukan secara manual, kemungkinan itu bisa juga dibantu oleh AI. Sehingga kita tidak habis waktunya untuk ngoreksi. Jadi karena sudah ada AI yang membantu kita untuk ngoreksi. Termasuk juga ketika kemudian teman-teman dari sisi mahasiswanya itu mau mengerjakan tugas, itu pun bisa sebenarnya menggunakan bantuan Artificial Intelligence. Namun demikian perlu diperhatikan apa yang harus kita cermati nantinya. Itu ada di slide berikutnya berkaitan dengan bagaimana penggunaan AI. Untuk setting komunitas, sama halnya persis. Semuanya akan kembali kepada peruntukannya. Jadi kalau misalnya ada sebuah aktivitas yang bisa dibantu kecerdasan buatan, sehingga membuat proses berpikir kita itu menjadi tidak terlalu penuh untuk berpikir fokus hanya ke sana, tetapi bisa. diringankan oleh alat atau oleh artificial intelligence ini, itu akan sangat membantu kita untuk lebih fokus juga kepada hal-hal yang sifatnya mungkin lebih makro. Ini beberapa contoh penelitiannya bisa dilihat di situ. Kemudian beberapa disrupsi yang mungkin dihadapi. Ini tadi sebenarnya sudah disampaikan juga. Saya coba menelitikan. membawa kepada tiga hal yang harusnya kita cermati. Kita harus benar-benar hati-hati bahwa memang AI itu membuat kita lebih produktif. AI itu produktif. AI itu produktif, cuma membuat kita jadi bias. Kalau misalnya tidak mencermati kembali. Akhirnya hal yang kita sampaikan ke orang lain sebagai bahan informasi itu menjadi tidak akurat. Karena kita kayak ngerasa tanya ke AI, jawabannya langsung kita ambil saja. Wah, produktif banget nih si A.A. nya. Kita ambil semua, ini pasti bagus nih. Itu belum tentu. Jadi ada bias atau ketidakkuratan. Nah, ini kita harus projek dari situ. Kita harus cross-check. Jadi pahami konteks. Ketika kita nanya ke AI, itu konteksnya apa? Karena AI itu kadang nggak ngerti konteks. Nggak paham bahwa ini konteksnya untuk apa. Tapi dia merespon itu karena dia memiliki big data yang besar dan polanya ke sana, tetapi tidak dibedakan dari konteks. Nah, ini yang harus kita cermati. Kemudian, fokus dan aware. Jadi kalau kita mengambil, informasi dari AI, itu harus benar-benar kemudian kita baca ulang. Jadi nggak bisa kemudian sekaligus langsung diserahkan sebagai hasil kerja. AI itu bukan memberi kita hasil kerja, tapi dia membantu kita berproses untuk menghasilkan pekerjaan. Jadi dia hanya di-processing, sedangkan untuk outcomes-nya itu sangat tergantung pada kita. Kemudian kembangkan juga sikap ilmiah skeptis. Benarkah? Benarkah? Benarkah? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain akan muncul. Nah yang berikutnya itu, memang kemudian EA ini mampu beradaptasi terhadap perubahan. Tapi seringkali ada pengabayan etika. Nah sehingga solusinya kita memang harus menjunjungi tinggi tata nilai. Tata nilai yang baik, bermoral, dan bermanfaat. Kemudian menghormati privasi, ada transparansi, terpercaya, dan akuntabel. Ini yang harus kita pahami, bahwa kembali lagi ke diri kita. Kita refleksi diri, nilai apa yang kita junjung. Nilai apa yang kita junjung, kalau nilai kita memang nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai morality, kebermanfaatan, kemudian menghormati privacy, pasti kita akan berhati-hati. Tetapi ketika nilai-nilai itu nggak ada, kita nggak ada ankernya, nggak ada pegangannya, ya udah, abai etika itu kayak seolah-olah sebuah kenyataan yang diulang-ulang terus menjadi sebuah kebenaran. Tadi ada yang menyampaikan seperti itu juga di chat. Jadi memang kenapa? Karena individu tidak punya anchor, tidak punya keyakinan, tidak punya keyakinan di tata nilai di dalam dirinya. Sebenarnya dia individu yang seperti apa. Sehingga mudah sekali tergiur oleh lingkungan, diberi kemudahan, diberi hal yang... menggoda, diterima saja. Kemudian ini akan mengganggu privasi orang lain, tidak peduli selagi kemudian dia merasa senang dan segala macam. Itu kan berarti abai dengan etika. Tidak memiliki nilai etik yang memang harusnya dia junjung tinggi, tata nilai. Nah ini disrupsi yang berikutnya adalah AI ini seringkali dianggap memunahkan kebiasaan lama. Kenapa memenuhkan kebiasaan lama? Karena memang adanya keabayan dalam sustainability. Seharusnya AI ini kita pandang sebagai Sustainable Development Goals. No one left behind, kalau kata SDGs. Jadi memang AI ini sustainability sebenarnya. Jadi keberlanjutan. Jadi bukan direspon saat itu juga, dan kemudian akhirnya perubahannya menjadi revolusioner, yang lama dibabat habis. Belum tentu seperti itu juga. Sehingga... Kalau kita memaknai AI, itu bukan ke arah memunahkan apa yang sudah ada karena merasa ada yang baru, tapi kita abai dengan sustainability. Tapi fokus pikiran kita itu kepada bahwa apa yang kita lakukan itu membawa misi berdampak, sehingga kita akan terus belajar, tidak malas, orientasi kita lebih ke sosial, bukan ke individual, mencari keuntungan pribadi, kemudian komit dan tanggung jawab. Jadi tidak kemudian melepaskan hal yang tidak disukai, Padahal sudah bertransaksi. Artinya itu juga akan menjadi problem juga ketika kemudian AI itu disalahgunakan dengan kemudian memusnahkan yang lama tapi tidak bertanggung jawab untuk membangun yang baru. Atau menjamin keberlanjutan dari yang baru. Misalnya, sekarang nggak boleh pakai alat yang lain, harus menggunakan AI. Tapi bagaimana kemudian menjaga morality untuk tidak melakukan hal yang tidak bermoral, itu komitmennya nggak ada. Ditinggal pergi aja. Itu masalah juga. Masalah komitmen dan tanggung jawab. Karena ini bagian dari karakter individu. Jadi disrupsi itu bisa kita lawan ketika kita memiliki karakter yang kuat. Jadi karakter yang cocok. cross-check gitu ya, menunjung value dan memiliki orientasi kita berdampak pada lingkungan gitu. Kalau karakter bisa terbangun seperti itu ya, kemungkinan besar kita akan mencoba untuk melewati disrupsi ini dengan positif. Ketika kita mengukur keberhasilan integrasi psikologi dan AI, itu kita lihat dari apakah kehidupan manusia lebih terstruktur dan efisien, kemudian apakah muncul beragam perilaku inovasi, lalu apakah manusia kemudian menjadi mandiri dan terpersonalisasi, lalu... meningkatnya quality of life. Sehingga kalau ini sudah kelihatan, artinya bahwa AI itu akan menjadi teman kita. Mindsetnya menjadikan AI sebagai teman perjalanan kita dalam menghadapi kehidupan di dunia ini. Kemudian melahirkan efektivitas mental, sehingga kita dapat mewujudkan lebih banyak potensi yang baik pada diri kita, baik di tingkat profesional maupun tingkat pribadi. Yang berikutnya, kita bisa memitigasi masalah yang akan ditimbulkan dari memanfaatkan AI. Misalnya dengan AI, lalu kemudian menjadi malas-malasan, lalu kemudian kita agak khawatir nanti tidak aman, ada bias dan segala macam, itu bisa kita mitigasi masalahnya dengan fokus dan aware dengan konteks. Lalu kita jujur tinggi tata nilai, dan kita berorientasi untuk berdampak pada lingkungan sosial. Jadi bukan berpikir untuk diri sendiri. Karena ini masalah Sustainable Development Goals sebenarnya. Ke perkembangan yang... berkelanjutan. Jadi ini yang sebenarnya menjadi PR kita bersama terkait dengan AI dan psikologi.