Abad kelima masehi merekam kemerosotan Eropa ketika Romawi diteror bangsaan. Namun di Asia kondisinya sangat berbeda. India memasuki masa keemasan di bawah dinasti Gupta yang toleran.
Dinasti Song bangkit di Tiongkok dan di Kalimantan. munculah kerajaan penakluk tertua di Nusantara yang rajanya tajir melintir tiada tanding yakni kerajaan Kutekuno di Muaragaman Kalimantan Timur oke teman-teman, seri monarki Nusantara ini kita mulai yang tentunya penuh dengan analisis tajam dan mendalam yuk Intro Saat Aswa Warman, Raja dari Kalimantan meninggal, Nusantara masih mengalami kegelapan sejarah. Pewarisnya, yakni Raja Mula Warman, mengorganisir pasukan dan mulai membabat Raja-Raja lain, menjadikannya Raja Penakluk pertama di Nusantara. Setelah meraih kemenangan, Raja Mullah Warman menggelar berbagai upacara keagamaan, disertai persembahan yang berlimpah untuk para Brahmana.
Sebagai rasa terima kasih, para Brahmana pun mengabadikan kebaikan dan keagungan Raja pada tongkat. tonggak-tonggak batu. Waktu terus bergulir, Raja Mullah Warman dan kerajaannya lenyap dalam timbunan sejarah. Sekitar 1500 tahun kemudian, seorang peneliti Belanda, Herman van de Wol, menemui Sultan Kutai Kertanegara, sebuah kerajaan berjorak Islam di Kalimantan Timur.
Ia merasa janggal karena kalung emas berat yang selalu dipakai Sultan dalam upacara kenegaraan penuh dengan ikonografi Hindu. Usut punya usut, rupa-rupa, dan kata-kata yang berbeda. rupanya kalung itu adalah artefak yang ditemukan di dekat Sungai Mahagam tepatnya di Muara Kaman sang peneliti yang penasaran ini pun menelusur ke sana dan ia menduga ada jejak kerajaan Hindu di lokasi tersebut nyaris setengah abad kemudian dugaan itu terbukti ketika Belanda mendapat laporan penemuan empat prasasti berupa tonggak batu atau yupa di hulu Sungai Mahagam prasasti-prasasti itu pun dikirim ke Batavia dan ketika diteliti para epigraf menemukan fakta yang sangat mengejutkan.
Terus ikuti ya teman-teman, kita akan membedah apa sih yang mengejutkan para peneliti itu, mengapa kerajaan Raja Mula Warman begitu penting bagi bangsa kita, serta adakah kaitan antara pemindahan Ibu Kota Negara kita ke Kalimantan dengan kerajaan besar ini. Namun sebelumnya jangan lupa untuk subscribe, like, dan share. Juga klik link di atas jika Anda ingin mendukung kami dalam hal pendanaan untuk mengembangkan kanal yang akan memperkaya.
Perspektif Anda Prasasti Muara Kaman berjumlah 7 buah dan semuanya ditemukan di Desa Brubus, Kalimantan Timur. Empat di antaranya ditemukan tahun 1879 dan sisanya baru ditemukan 5 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia. Semuanya bercerita tentang Mula Warman, seorang raja besar yang memimpin sebuah kerajaan yang makmur di Kalimantan Timur Nah, yang bikin para peneliti tercengang, Tugu-Tugu Batu itu ditulis dalam bahasa Sangsegara dan dengan aksara Palawa. Dan menurut filolog de Casparis, Palawanya itu dari masa-masa awal, sehingga diduga prasasyumuara kaman ditulis sekitar abad ke-4 hingga 5 masehi. Hal ini menjadikannya tulisan tertua di Nusantara, dan otomatis kerajaan yang disebut di dalamnya adalah kerajaan tertua di Indonesia.
Oleh sejarawan, kerajaan ini diidentifikasi sebagai Kutai Kuno. Silsilah para raja Kutai Kuno. Di antara tujuh tonggak batu tersebut, yang paling spesial adalah Prasasti Muaragaman I, karena di dalamnya terkandung silsila Raja-Raja Kutai Kuno.
Kakek Mula Warman bernama Gudungga yang menurunkan Aswa Warman. Dalam Prasasti, Aswa Warman disebut Wang Sakarta atau Pendiri Dinasti. Jadi, kemungkinan Aswa Warman ini yang mendirikan Kutai Kuno, bukan Gudungga. Nah, untuk Gudungga nanti kita akan bahas ya.
Mari kita kembali ke Aswa Warman. Berhubung Kutai kuno baru berdiri, fokus Asma Warman menurut saya adalah memperkuat konsolidasi di dalam, seiring dengan munculnya kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. Baru pada masa pemerintahan putranya yakni Mullah Warman, politik ekspansi mulai digencarkan. Flexing ala Raja Kutai, Persembahan 20.000 sapi Prasasti Muar Rekaman 7 merekam suksesnya Raja Mullah Warman menaklukkan raja-raja lain, dan menjadikan kerajaannya kaya raya.
Masih di prasasti yang sama, sang raja memberi persembahan yang fantastis kepada para brahmana. Sayangnya karena aus, persembahan itu tidak terbaca. Kita ngertinya raja mempersembahkan 40.000 sesuatu, atau 30 ribu sesuatu. Tapi, dari prasasti yang lain, kita jadi tahu, Raja Mula Warman mempersembahkan 20 ribu ekor sapi.
Wow, 20 ribu ekor sapi. Jangan-jangan, lebih banyak sapinya daripada manusianya. Bisa jadi, pasca penaklukan tadi, harta kerajaan meluap drastis. Sebab, dalam prasasti Muarakaman 6, Sang Raja hanya mampu mempersembahkan 11 ekor sapi jantan. Beda jauh banget ya.
Sepertinya, Prasasi Muarakaman VI ditulis di masa awal kekuasaan Mullah Warman sebelum ekspansi digencarkan. Namun, ada juga sejarawan yang menduga 20.000 ekor sapi itu hanya bersifat simbolis dan jumlahnya tidak se-bombastis itu. Nah, terlepas dari berbagai dugaan yang ada, prasasi-prasasi Muarakaman toh tetap memotret Sang Raja sebagai jet set dermawan pertama di Nusantara. Salah satu upacaranya bahkan disebut bahus warna gam yang berat. arti emas yang sangat banyak.
Baik Raja Aswawarman maupun Mullah Warman sama-sama menganut kepercayaan Hindu-Veda. Kita bisa menggalinya dari beberapa petunjuk ini. Pertama, semua prasasti Muwarakaman menggunakan bahasa Sangsekerta dan huruf Palawa awal.
Kedua, prasasti Muwarakaman mencatat Sang Raja memberi persembahan untuk kaum Wipra. Di India, kaum Wipra disebut Brahmana karena mereka memiliki pengetahuan tentang Brahman, yakni entitas tertinggi di dalam agama Veda. Kedua, Ketiga, Prasasti Muaragaman I memuji Raja Aswa Warman sebagai Angsuman atau Dewa Matahari. Nah, Dewa Matahari atau yang dikenal sebagai Surya adalah Dewa utama dalam tradisi Weda Awal.
Jadi, penyebutan Angsuman dalam Prasasti menunjukkan bahwa kepercayaan Hindu yang dianut Raja-Raja Kutai Kuno berbeda dengan Hindu Siwa yang belakangan dianut Raja-Raja Jawa Kuno. Keempat, Prasasti Muaragaman II mengandaikan Raja Mula Warman sebagai Angsuman atau Dewa Matahari. sebagai pohon kalpa, yang dalam kepercayaan Hindu adalah pohon pengabul keinginan dan berbuah harta kekayaan.
Semuanya menunjukkan bahwa Raja-Raja Kutai Kuno penganut Hindu Weda yang sangat kuat pengaruh Indianya. Jika demikian, apa tidak mungkin kedua raja itu memang orang India? Nah ini menariknya.
Masuknya Hindu ke Nusantara Menurut prasasti Muaragaman I, kedua raja itu adalah keturunan Maharaja Gudungga. Nama Gudungga adalah nama asli Nusantara, sehingga bisa jadi ia adalah kepala suku setempat yang membuka diri pada pengaruh India yang masuk ke Nusantara. Ada banyak teori mengenai penyebaran agama Hindu di Nusantara.
Pertama, Hindu disebarkan oleh para Brahmana India yang datang ke Nusantara. Kedua, Hindu disebarkan oleh kaum kesatria India yang melarikan diri ke Nusantara. Ketiga, Hindu disebarkan oleh kaum pedagang India yang mencari sesuai berlian di Nusantara Keempat, Hindu disebarkan oleh orang Nusantara sendiri yang menimba ilmu di India Nah, menurut saya dalam konteks kerajaan Kutai Kuno, teori pertama lebih masuk akal Sebab Prasasimuara Kaman IV juga bercerita tentang Tugu Peringatan yang dibangun oleh para Brahmana yang datang Menurut arkeolog Haryani Santiko, datang yang dimaksud adalah datang datang ke Kutai ditambah lagi mereka sangat mumpuni dalam memahat huruf Palawa sehingga besar kemungkinan para Brahmana ini bukan asli Kutai melainkan diimpor dari India.
Loh mas Asisi bukannya kaum Brahmana dilarang menyeberangi lautan ya? India juga tidak punya peradaban maritim seperti Nusantara justru lebih masuk akal kalau Hindu itu dari Jawa dan kemudian menyebar ke seluruh dunia. Wah tunggu dulu Itu sumbernya dari mana?
Dalam sumber sejarah mana pun, tidak tercatat loh bahwa kaum Brahmana dilarang menyeberang laut. Justru, ada banyak literatur kuno yang tokoh Brahmananya menyeberangi lautan. Misalnya, Lohgawe yang datang dari India ke Tanah Jawa dalam Pararaton. Ada juga Saptarasi yang dikisahkan menyeberang dari Jawa ke Bali. Sejak awal tarikh masehi pun, para pedagang India sudah beredar di Nusantara.
Jadi, jalur maritim dari India ke Nusantara jelas ada. Ditambah lagi, saat Kudungga masih menganut kepercayaan prahindo, yakni Austronesia dan Nusantara belum memiliki peninggalan tertulis, Hinduisme telah mencapai masa keemasannya di bawah pemerintahan dinasti Gupta. Bahkan di paru abad ke-5 Masehi, di India Utara telah berdiri Universitas Nalanda yang menjadi jujukan dunia untuk belajar tentang Buddha sekaligus Hindu. Jadi jelas ya, Hindulah yang datang dari India ke Nusantara dan bukan seorang Hindu.
sebaliknya. Jejak Austronesia di Kutai Kuno. Nah, teman-teman perlu tahu, Jauh sebelum pengaruh Hindu-Buddha datang, Nusantara telah memiliki satu kebudayaan yang mapan dan tersebar di seluruh Asia Tenggara. Para sejarawan menyebutnya Austronesia, dan inilah salah satu leluhur tertua Nusantara.
Jejak-jejaknya bahkan masih bisa kita lihat sampai sekarang, diantaranya pembuatan menhir, yakni batu yang ditegakkan untuk keperluan spiritual. Menhir dikenal di Nusantara sejak masa Megalithicum dan kembali ngetrend di masa akhir Majapahit pada abad ke-15 Masehi. Misalnya di Candi Suku, piramid asli Nusantara yang pernah kami bahas secara khusus pada tautan di atas atau di deskripsi.
Masyarakat Austronesia juga memiliki penghormatan pada pohon-pohon kosmis atau pohon kehidupan. Jejaknya masih tertinggal dalam kepercayaan salah satu suku asli Kalimantan, yakni suku Dayak Ngaju, bahwa manusia tercipta dari pohon hayat. Selanjutnya, yang paling terkenal adalah Nekara Dongson, produk budaya Austronesia yang ditemukan di berbagai wilayah Asia Tenggara.
Nekara, mirip Tifa di Papua, adalah alat pukul dari perunggo yang motif hias utamanya adalah matahari. Bagi masyarakat Austronesia, matahari dianggap kekuatan sentral dan supranatural. Mereka percaya arwah nenek moyang menyatu dengan kekuatan matahari, dan mengawasi mereka yang hidup dari atas sana.
Maka tidak mengherankan ya, bila Raja-Raja Kutai Kuno memilih menghormat pada Angsuman, sang dewa matahari, yang menurut prasasti Muaragaman I adalah pangkal dinasti mereka. Uniknya, simbol matahari ala Austronesia ini tidak pernah hilang, meski keyakinan baru dari dari India terus berkembang. Sang Surya malah menjadi penghias tetap dicongkup candi-candi siwa di tanah Jawa. Simbol ini selanjutnya melebur dengan ajaran siwa menjadi Astadik Palaka yang akhirnya disempurnakan menjadi Surya Majapahit di akhir periode klasik. Bisa jadi ini penyebabnya mengapa pengaruh Hindu-Buddha diserap dengan begitu mudah dan cepat di Nusantara.
Itu karena leluhur kita telah familiar dengan elemen-elemen di dalamnya jauh sebelum pengaruh itu datang. Ketika kerajaan Kutai Kuno menuliskan prasasti pada tonggak batu yang mirip menhir, memuji raja-rajanya seperti Dewa Matahari dan Pohon Kalpa, jelas terlihat ya, kebudayaan Austronesia masih bertahan dan tidak pernah pergi. Fakta-fakta unik Kutai Kuno Ada hal menarik saat kita menelisi kerajaan ini. Pertama, raja-rajanya tidak pernah menerbitkan satupun prasasti. Lah, lantas bagaimana dengan tujuh prasasti muaragaman?
Berbeda dengan prasasti kerajaan. perintah raja. Prasasi-prasasi ini aslinya tuguh peringatan yang dibangun para Brahmana untuk mengenang kebaikan raja. Itulah sebabnya selepas masa raja Mula Warman, Kutai Kuno tidak terlacak lagi dalam sejarah. Nah, tapi masih di situs yang sama ditemukan artefak yang oleh penduduk disebut Lesong Batu.
Arkeolog menduga Lesong Batu ini adalah prasasi Yuba yang belum sempat ditulisi. Meski apa yang sesungguhnya terjadi pada masa itu adalah misteri yang masih belum terpecahkan Menurut kalian, apa penyebab lenyapnya Kutai Kuno dari panggung sejarah? Langsung share komen liarnya ya Kedua, Kutai Kuno bukan satu-satunya kerajaan di Kalimantan yang menerima pengaruh India Prasasi Muarakaman VII mencatat Raja Mula Warman menaklukkan banyak raja Raja loh ya, bukan kepala suku Nama salah satu raja lokal yang dilawannya terabadikan dalam prasasti sebagai Yudhistira. Jelas sekali, raja ini telah menganut kepercayaan Hindu dan mengadopsi nama yang sangat India. Ketiga, meski sangat kaya, Mula Warman tidak pernah membangun candi.
Tampaknya, kemampuan membangun candi belum dimiliki wangsa Mula Warman. Prasasti-prasasti Muara Kaman sekedar menyebut tempat upacara mereka sebagai Waprakeswara. Dan para arkeolog pun masih bersilang pendapat mengenai artinya. Arkeolog Agus Arismunandar lantas merangkum berbagai pendapat itu dalam sebuah pemanaan, yakni tempat atau bangunan suci berpagar untuk memuja dewa. Dalam hal ini yang dipuja adalah dewa matahari.
Dari akar katanya, yaitu wapra atau wapraka, bangunan suci yang dimaksud bisa jadi berbentuk tanah lapang yang ditinggikan untuk memenuhi kebutuhan beribadah. Mungkin inilah perututep candi dalam format yang sangat sederhana. Mengenai kapan bangsa kita mulai membangun candi-candi megah, bisa Anda cek nanti.
pada link di atas atau di deskripsi. Keempat, nama kerajaan milik Mullah Warman sebetulnya belum diketahui hingga kini. Nama Kutai pun sebenarnya dipilih sejarawan untuk menandai lokasi ditemukannya prasasi-prasasi Mullah Warman.
Aslinya, ketujuh prasasi itu sama sekali tidak memuat nama kerajaan yang dipimpin oleh Mullah Warman. Baru-baru ini ada yang menawarkan nama Martapura berdasar kitab Salasila Kutai yang menerangkan adanya kerajaan di Muara Kaman yang ditaklukkan oleh Kerajaan Kutai Kertanegara pada tahun 1635 dan menyebabkan nama Kutai Kertanegara berimbu. Ing Martabura.
Namun, itu pun dugaan yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Apalagi jika menyangkut kerajaan Mullah Warman, Kitab Salasilah adalah sumber sekunder yang lemah, karena Kitab Beraksara Arab Melayu ini baru ditulis pada tahun 1846 14 abad setelah para Brahmana menuliskan kebaikan Mula Warman pada Prasasti Yupa Nah, untuk tips menentukan kesahian sumber sejarah, bisa Anda klik nanti pada tautan di atas atau di deskripsi. Menurut saya bisa jadi, kerajaan Martapura ini adalah kerajaan yang belakangan menaklukkan kerajaan Mula Warman sehingga para Brahmana pun berhenti menulis Prasasti dan terburu-buru pergi meninggalkan tonggak batu yang berbeda belum sempat ditulisi, yakni lesong batu.
Bisa jadi kan ya? Yang jelas, untuk amannya, saat ini sejarawan menggunakan nama Kutai Kuno untuk merujuk kerajaan milik Mula Warman. Kutai Kuno dan Ibu Kota Baru Indonesia Nah, saya yakin teman-teman sudah tahu, Ibu Kota Negara Indonesia yang baru akan berada di provinsi yang dulunya pernah menjadi pusat kerajaan Kutai Kuno. Dan ini luar biasa, karena di saat Jakarta menyimpan memori penjajahan dalam masa tersuram-suram.
bangsa kita, Kalimantan Timur justru akan membawa kembali Indonesia pada kenangan terbitnya sejarah klasik yang bertabur pencapaian-pencapaian terbaik kita. Semoga, pemindahan ini akan membawa perubahan budaya pada titik paling esensial, yakni kinerja para pejabatnya. Karena meski kiprahnya hanya sejenak, kerajaan Kutai Kuno memiliki arti penting dalam perjalanan sejarah Nusantara. Penulisan prasasti berupa Yupa atau Tugu Batu menandai keluarnya Nusantara dari zaman prasejarah menuju panggung sejarah dunia.
Prasejarah adalah masa ketika sebuah peradaban belum mengenal tulisan, dan kita memahaminya hanya dari tinggalan-tinggalan artefaknya. Ketika sebuah peradaban mengenal tulisan, maka narasi sejarahnya semakin lengkap. Kutai Kuno Kalimantan bersama Taruman Negara di Jawa Barat telah membuka babak sejarah kita.
Dan pada perkembangan selanjutnya, bangsa kita tidak lagi memerlukan memerlukan Brahmana India untuk menuliskan aksara. Karena, meski aksara Palawa ikut menyebar bersama Hinduisme di sebagian besar wilayah Asia Tenggara, hanya di Nusantara lah aksara ini berubah bentuk, yakni menjadi aksara Jawa Kuno pada tahun 760-an, lalu berkembang menjadi aksara Bali Kuno dan Sunda Kuno. Ini membuktikan, leluhur kita bukan saja pembelajar gigi dan terbuka pada perubahan, mereka juga kreator ulung yang tidak menelan begitu saja budaya pendatang dengan perasaan minder dan inferior. Yuk, setelah menengok peradaban di Kutai Kuno, kita menengok masa depan dengan semangat yang sama. Bijak dan percaya diri dalam memandang perbedaan.
Layaknya jiwa-jiwa kreatif yang diwariskan leluhur dalam DNA kita.