Transcript for:
Pendidikan dan Daya Saing Indonesia

Pemurusnya tingginya uang kuliah di perguruan tinggi negeri menuai protes dari para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi negeri. Namun, Kabendik Butristek malah merespon dengan menyatakan pendidikan tinggi adalah pendidikan mewah atau tersia. Dan kalau menurut saya pendidikan itu adalah mungkin satu-satunya yang sangat dibutuhkan oleh negara seperti Indonesia.

Nah, dalam konteks bilateral, mau nggak mau daya saing. itu sangat-sangat dibutuhkan dan kita hanya bisa meningkatkan daya saing itu kalau kita bisa meningkatkan kualitas pendidikan. Apple berinvestasi ke Indonesia senilai 1,6 triliun rupiah, tetapi investasi di Indonesia ini ternyata jauh lebih kecil ketimbang investasi yang dilakukan Apple di Vietnam.

Apa yang harus dikejar Pak untuk di level itu? Apa yang membuat mereka begitu hebat? Yang paling mendasar itu penguasaan bahasa. Di Asia Tenggara itu hanya dua negara yang Posisinya itu di atas rata-rata dunia, yaitu Singapura dan Vietnam. Untuk PISA dan posisi atau profisiensi STEM untuk anak-anak umur 15 tahun.

Kita itu kalau nggak salah posisinya 71 dari 78 negara yang diukur. Kalau itu nggak diubah ke depan, kemungkinan besar ya kita akan terus-menerus menyaksikan underrepresentasi di sekolah-sekolah manapun. Terima kasih. Hai teman-teman, hari ini kita kedatangan tamu yang luar biasa, Pak Kita Wirjawan. Terima kasih Pak di tengah kesibukannya di Kennedy School, ketemu profesor-profesor di sini.

Jadi hari ini kita akan banyak bicara tentang... pendidikan tapi sebelum kesana saya ingin tahu dulu apa sih yang membentuk seorang Pak Kita karena Pak Kita dengan pengalaman sebagai bankers I feel so much related sama Pak Kita as a bankers buat private equity juga, jadi menteri juga Pak. Tapi kemudian on top of your career, Bapak jadi educator, bikin SGPP juga ya Pak ya.

What shapes you to do that Pak? Lebih karena bagaimana saya tuh ingin lebih berdampak ke masyarakat luas. Dan kalau menurut saya pendidikan tuh adalah mungkin satu-satunya. yang sangat dibutuhkan oleh negara seperti Indonesia.

Mengingat kualitas pendidikan kita enggak. Di level non-tertiar ataupun di level tertiar, itu adalah hal yang masih sangat harus diperbaiki. Dan ini coba dibungkus dalam konteks persaingan yang harus kita lakukan dengan negara-negara tetangga dan juga negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara.

Mengingat bahwasannya tatanan dunia ini semakin kompetitif. Karena kalau dulu tuh kan kita sering apa ya, berpegang dengan tatanan yang sifatnya itu lebih gampang untuk melakukan multilateralisasi. Tapi sekarang tatanannya tuh sangat multipolar, sehingga kita tuh terpaksa atau terjebak atau bahkan terpojok untuk lebih melakukan bilateralisasi.

Nah dalam konteks bilateral, mau gak mau daya saing. Itu sangat-sangat dibutuhkan dan kita hanya bisa meningkatkan daya saing itu kalau kita bisa meningkatkan kualitas pendidikan. Saya rasa itu, secara umum.

Kita ngelihat, Pak, di Amerika aja ya, CEO-CEO hebat nih, kok banyak orang-orang India nih, Pak. Kayak di Kennedy School, kita di Mason, satu kohort 250, orang India tuh 50 orang kayaknya ada, Pak. Bahkan kalau kita ngelihat...

Inggris dulu menjajah India, sekarang Percayalah Menterinya dari India gitu kan, keturunan India. Apa yang membuat Indonesia, apa yang harus dikejar Pak untuk di level itu? Apa yang membuat mereka begitu hebat?

Yang paling mendasar tuh penguasaan bahasa. Bahasa Inggris. Saya sempat beberapa kali menyampaikan, di Indonesia tuh mungkin yang bisa berbahasa asing, anggaplah bahasa Inggris tuh mungkin sekitar 10 jutaan. Coba dibayangkan kalau 100 juta di Indonesia.

Di Asia Tenggara mungkin nggak lebih dari 70 juta yang bisa berbahasa asing atau berbahasa Inggris. Itu dalam konteks populasi sebesar 700an juta di Asia Tenggara. Coba bayangin kalau ada 400 juta orang di Asia Tenggara itu bisa berbahasa Inggris. Saya rasa beda narasi mengenai Asia Tenggara.

Tentunya yang kedua adalah bagaimana kita bisa memperbaiki posisi non-tersear kita. Di Asia Tenggara itu hanya dua negara yang posisinya di atas rata-rata dunia, yaitu Singapura dan Vietnam. Untuk PISA, PISA itu ukuran mengenai profisiensi lingual atau bahasa, dan posisi atau profisiensi STEM untuk anak-anak umur 15 tahun.

Kita tuh kalau nggak salah posisinya 71 dari 78 negara yang diukur. Tentunya Filipina, Thailand, Malaysia, Kambodia, Myanmar, dan lain-lain tuh juga masih di bawah rata-rata dunia. Nah kalau nggak begitu, maksudnya kalau itu nggak diubah ke depan... Kemungkinan besar ya kita akan terus-menerus menyaksikan under-representasi di sekolah-sekolah manapun, termasuk di Kennedy School, termasuk di sekolah-sekolah yang lain.

Saya juga sering bercerita bahwa di Amerika Serikat itu cuma ada 8.500 orang Indonesia yang sekolah. Dibandingkan di tahun 80-an yang mana representasi dari Indonesia waktu itu Kurang lebih 16 ribu. Di Inggris, 4 ribu orang Indonesia. Itu pun juga udah turun dari mungkin 40 tahun yang lalu. Dibandingkan dengan Tiongkok, yang mana representasinya di Amerika itu 300-400 ribu.

India mungkin 150-200 ribu. Di Inggris, Tiongkok itu representasinya 200 ribu. Ya, kalau kita mau melihat 50 orang Indonesia, Di Kennedy School, ya mungkin bahasanya yang harus disikapi, terus juga pendidikan non-tertiarnya.

Tapi setelah itu juga pendidikan tertiarnya. Ini di level pendidikan tinggi. Kalau menurut saya itu pun juga masih bisa disikapi ke depan supaya terjadi perbaikan.

Saya rasa banyak orang tua bingung, Pak, dengan banyaknya covering pendidikan, metode kurikulum, ada misalnya Montessori, kemudian... Emotional intelligence base, kemudian ada kumon misalnya. Itu kan orang tua kadang-kadang bingung juga akhirnya dalam. Nah, sebetulnya pada akhirnya kan semua ini adalah tools untuk apa yang mau dicapai oleh orang tua kepada anak. Dan STEM ini kan semacam goals.

Tapi kenapa STEMnya tersipa? Related dengan career, kemudian dengan development dari sebuah negara. Masing-masing dari sekolah atau nama sekolah yang tadi disampaikan, itu common denominator-nya adalah gurunya.

Itu benar-benar memiliki kompetensi. Apapun pedagoginya, apapun filsafatnya. Dan saya itu secara struktural sangat percaya bahwasannya, kalau gurunya itu berkualitas, dengan pedagogi apapun, dengan kurikulum apapun, Kemungkinan atau kemungkinan besar siswa-siswinya itu akan bisa belajar dengan cara yang bijaksana.

Nah terus kalau yang kedua, saya lupa pertanyaannya apa tadi yang kedua? Dampak STEM ini terhadap Indonesia? Mungkin ilustrasinya produktivitas marginal Indonesia itu cuma 25 ribu dolar. per orang per tahun untuk barang dan jasa.

Dibandingkan produktivitas... Jadi yang dihasilkan setiap orang itu. Kemampuan setiap orang atau rata-rata orang di Indonesia memproduksi barang dan jasa setahun itu cuma 25 ribu dolar. Ini empiris.

Ada datanya di Bapak Dunia, di publikasi-publikasi multilateral lainnya. Dibandingkan di Singapura sebesar 200 ribu dolar barang dan jasa. untuk rata-rata orang Singapura ini kan negara tetangga yang sangat dekat tapi kok mereka bisa jauh lebih produktif 8 kali lipat daripada kita balik ke tadi tatanan yang semakin multipolar yang mana kita harus lebih bisa melakukan bilateralisasi kalau kita di kamar ini hanya berdua kita harus melakukan negosiasi ya saya gak bisa, maksudnya memanfaatkan orang lain yang punya keunggulan terhadap Anda supaya saya bisa dapat keunggulan dari Anda itu kan yang dulu namanya multilateral kalau sekarang dengan bilateral saya gak bisa kemana-mana untuk minta bantuan kalau Anda bisa menjahit 10 baju dalam 1 jam, saya gak bisa menjahit, anggaplah 2 baju dalam 1 jam tentunya posisi Kompetisi atau kompetitif Anda tuh jauh lebih tinggi daripada saya. Nah, satu-satunya cara untuk meningkatkan produktivitas itu adalah pengedepanan pengetahuan STEM atau teknologi. Bukan kalau menurut saya social science atau yang lainnya, tapi kalau menurut saya teknologi atau penguasaan teknologi itu sangat penting ke depan.

Nah, berkaitan dengan guru juga Pak, saya punya share experience ketika awal-awal saya masuk ke Harvard. Jadi saya melihat mayoritas orang ini... teman-teman dari Indonesia, they know each other, Pak.

Sementara saya ngerasa, kok saya sendirian, akhirnya saya melihat ada pemerataan yang mungkin juga kurang. Dan bisa jadi juga itu dari guru juga. Mungkin interaksi antar guru and student di Jakarta dengan saya di Bandung juga berbeda. Gimana isu pemerataan guru ini, Pak? Besar sekali kan 280 juta penduduk kita?

Nggak gampang. The short answer. Ya kan?

Maksudnya, gimana kita bisa meningkatkan jumlah guru yang merangkul standar yang sama dan kualitas yang sama, maksudnya tinggi kan? Ya, saya sih melihat mungkin dari sisi... Kompensasi itu juga harus dipikirkan Swasta mungkin lebih mampu untuk mengkompensasi guru dengan kompensasi yang lebih tinggi daripada non swasta Dunia, kalau menurut saya pengseleksiannya itu juga harus nyata Saya selalu menyampaikan kalau guru itu dipilih dari the top 20th percentile Dia tuh dalam satu tahun bisa mengajar satu setengah tahun ajaran dibanding yang di bottom 28th percentile, dia tuh dalam setahun hanya bisa ngajar setengah tahun ajaran. Jadi banyak sekali anak-anak adik-adik kita di Indonesia, di daerah, tuh mungkin sayangnya terekspos dengan guru yang mungkin datang dari the bottom.

28th percentile, ya dia udah sekolah 14 tahun, mungkin di benaknya dia tuh hanya ada 7 tahun ajaran. Sulit untuk kita berharap dia bisa ke sekolah-sekolah terkemuka di Indonesia, apalagi di seluruh dunia. Nah ini kalau menurut saya harus ada kebijakan yang bulet Bukan hanya dari pemerintah, tapi kalau menurut saya kita membutuhkan political culture Atau budaya politik yang beda di rumah tangga, di sekolah, di kantor Kalau anda dan teman-teman lagi ngopi di cafe di mana Percakapannya itu bener-bener harus merujuk ke hal-hal yang Sifatnya itu bisa membantu kita untuk merangkul budaya prinsip Saya seringkali ngomong mengenai perbedaan antara budaya pragmatisme dan budaya prinsip Budaya prinsip itu adalah bagaimana kita bisa merangkul superlatif Pendidikan yang keren, kesehatan yang keren, kesejahteraan yang keren, intelektualitas yang keren dan segalanya Nah itu harus dibudayakan dalam percaya percakapan dimanapun termasuk di institusi sosial jadi kalau kita ke tempat ibadah siapapun yang berbicara disitu tuh harus berpikir bagaimana untuk anak-anak kita adik-adik kita ke depan tuh semakin berpendidikan dan semakin cerdas kalau kita lihat kan yang justru top 20%nya malah gak mau jadi guru ya pak karena mungkin karena-karena kita juga miris ngeliat apa Berita guru gajinya.

Saya ketemu dengan guru anak di daycare, Pak. Terus penasaran juga berapa income-nya gitu kan. Di bawah WMR. Saya pikir beliau ini megang anak saya loh.

Human gitu kan. Tapi di bawah WMR. Sementara kalau kita lihat montir aja mungkin di WMR.

Padahal ya megangnya kendaraan yang mungkin 2-3 tahun saya jual juga. Jadi ada semacam... Apa ya, ada yang miss, something is wrong, gitu kan, sistem seolah-olah kalau guru ada paradigm, ya guru begini, gitu, income, average income.

Nah, saya pengen tahu juga Pak, Bapak kan masuk Kennedy School, itu berapa sebab? Dah lama banget ya, W? 99. 99?

Oh iya, 25 tahun lalu. Apa yang membuat Bapak... begitu interest di public policy.

Saya ngelihat di podcast MGM Bapak, keep on saying Indonesia ini butuh public policy. Indonesia ini butuh public policy. Apa sih yang.. Nggak policy maker aja, tapi kalau menurut saya entrepreneurship juga penting. Tapi yang paling mendasar tuh adalah keterbukaan.

Pendidikan tuh kalau menurut saya sifatnya harus Aristotelian. Aristotel tuh dia sangat mengedepankan kepentingan untuk kita menunjukkan keterbukaan. Dan itu termanifestasi dalam banyak hal. Salah satunya adalah bagaimana kita tuh terus menerus mau dan bisa menginvestigasi. Axiom.

Atau menginvestigasi pre-existing truth. Dan itu kalau menurut saya cukup struktural di era... yang diwarnai dengan pasca kebenaran.

Ini kan era post-truth. Sulit sekali kita membedakan antara opini dengan fakta. Nah, semakin kita mendidik anak-anak kita, adik-adik kita untuk lebih bisa menunjukkan keterbukaan, lebih bisa mengeri investigasi pre-existing truth atau pre-existing axiom. Itu semakin keren kalau menurut saya Kualitas pendidikan atau kecerdasan anak-anak dan adik-adik kita ke depan Nah, balik ke komentar Anda sebelumnya Ya, saya sih cukup yakin kalau Anggaplah Anda besok secara part-time ngajar Ya kan?

Itu mungkin di kampung Anda, di komunitas Anda, di kota Anda Itu ada satu dua yang membidik Kalau Dia bisa, kayaknya gue juga bukan hanya bisa tapi gue juga mau. Itu yang kemungkinan akan terjadi. Saya juga memberanikan diri untuk agak sedikit kontrarian kan.

Dan saya cukup yakin ada satu atau dua orang di luar tuh yang kayaknya ada juga nih manfaatnya untuk memberi balik ke masyarakat luas. dimensi pendidikan tapi memang ujung-ujungnya ini semua harus ditata atau ditata ulang supaya satu secara kompensasi bisa dipertanggungjawabkan dua secara kualifikasi bisa dipertanggungjawabkan nah kalau dua-duanya itu terwujud gak ada alasan untuk kita apa ya menyaksikan budaya yang baru dimana social status status seorang guru itu ada di tempat semestinya yaitu yang tertinggi. Nah di Korea Selatan status sosial seorang guru itu tinggi sekali.

Kalau seorang guru balik ke kampung dia cerita ke orang tuanya bahwa dia dapat tawaran dari Google, dapat tawaran dari McKenzie, tapi dia milih untuk jadi guru itu diselebrasi oleh rumah tangganya. Nah kita belum sampai situ. Absolutely.

Jadinya itu dari situ aja kita udah bisa ngeliat kenapa negara seperti Korea Selatan tuh bisa maju. Bisa bikin Samsung, LG, Hyundai, dan lain-lain. Karena mereka tuh bener-bener memprioritaskan profesi guru. Dan itu sangat bisa dipertanggungjawabkan secara kualitas dan juga secara kompensasi.

Saya rasa ke depan itu orang-orang yang... akan sukses sebagai entrepreneur atau pengusaha itu adalah orang-orang yang lebih berdampak terhadap isu-isu yang sifatnya berjangka panjang. Siapapun yang bisa berperan di situ, dia kalau menurut saya yang akan lebih berdampak dan lebih kelihatan termanifestasi dalam mungkin kesejahteraannya.

Asia Tenggara itu dalam 30 tahun terakhir pertumbuhannya cuma 2,7 X. Sedangkan Tiongkok itu 10 X. Itu dikarenakan 4 atribut.

Saya, underinvestasi di pendidikan. Dunia, underinvestasi di infrastruktur. Tiga...

lack of governance atau governance-nya itu kurang. Titik temu antara power atau kekuatan dan talenta itu kurang optimal. Dan yang terakhir itu adalah lack of competitiveness.

Kurangnya daya saing. Nah ini secara empiris kalau kita lihat, di Tiongkok itu mereka per seribu orang dewasa mereka bisa mengeluarkan 10 izin. Ijin usaha, kalau di Indonesia itu namanya SIUP, ya kan?

Di Singapura 9 perseribu orang dewasa, di Filipina dan di Indonesia 0,3. Ya kan? Nah ini kalau menurut saya menggambarkan 3 hal.

Saya, mungkin kurangnya fulus. Iya kan? Kalau kita lihat rasio uang beredar terhadap PDB kita itu cuma 45%.

Negara maju itu di atas 150%. Singapura hampir 200%. Money supply M2. Kedua, bisa dibilang bureaucratic dead weight. Jadinya birokrasinya mungkin agak-agak nggak dengan velositas seperti yang kita saksikan di Tiongkok ataupun di Singapura.

Ketiga, mungkin budaya untuk mengambil resiko yang nggak terlalu tinggi. Tapi saya melihat yang ketiga ini sangat bisa didrive oleh yang pertama dan kedua. Kalau fulusnya lebih banyak. Kalau birokrasinya lebih kompeten, lebih berkualitas, lebih dengan velocity yang tinggi seperti yang kita lihat di anggaplah Singapura dan Tiongkok, saya rasa ini akan ketarik budaya untuk mengambil resiko. Entrepreneurialism-nya, entrepreneurship-nya itu akan miscaya meningkat.

Misalnya saya punya anak nih Pak, bukan misalnya saya punya anak, saya ingin ngajarin anak saya jadi entrepreneur. Trades apa Pak yang pakai kita? Atau misalnya saya aja, misalnya saya mau mulai jadi berbisnis.

apa yang menurut Pak Kita saya harus mulai miliki atau di breeding dari kecil ini harus ada nih kalau mau jadi entrepreneur harus kuat yang yang harus diukur adalah apakah anak-anak kita tuh bisa menunjukkan keterbukaan saya selalu memberi premi kepada demokratisasi ide anak-anak kita tuh sudah kaya dengan demokratisasi informasi mereka mengakses informasi itu udah mudah dan cepat ya kan? tapi yang kita harus ukur adalah apakah adik-adik kita, anak-anak kita itu bisa merangkul demokratisasi ide ya kan? apakah dia bisa mendemokratisasi ide kalau udah keliatan Yang ketiga adalah ya bagaimana dia bisa menjembatani pendidikan dan informasi yang dia miliki dengan opportunity yang dia harus raih. Dan saya nggak terlalu di kubu yang mengkotak-kotakan gitu loh. Anda saya sendiri atau anak buah saya ya pokoknya kalau lu sukanya di sini ya...

Dihitung aja. Dan perhitungan itu kalau menurut saya harus menggambarkan penyikapan jangka panjang. Bukan penyikapan jangka pendek.

Saya lebih suka apapun yang sifatnya itu benar-benar bisa berdampak secara jangka panjang. Untuk kemanusiaan. Ini mungkin agak-agak idealistis.

Tapi saya rasa ke depan itu orang-orang yang... Akan sukses sebagai entrepreneur atau pengusaha itu adalah orang-orang yang lebih berdampak terhadap isu-isu yang sifatnya berjangka panjang. Yang paling nyata itu adalah perubahan iklim.

Siapapun yang bisa berperan di situ, dia kalau menurut saya yang akan lebih berdampak dan lebih kelihatan termanifestasi dalam mungkin kesejahteraannya. Pak Kita pernah mention di NKU itu terkait dengan low interest rate. sehingga ini memperluas kesempatan bagi pembangunan untuk bisa akses ke kapital. Tapi boleh nggak Pak kasih tips?

Bisa akses, karena kalau kita lihat terkesan the privilege yang bisa punya akses ke situ gitu Pak. Karena yang the privilege itu yang bisa berbahasa asing. Saya yakin di pulau... Rote, di Mamuju, di Tarakan tuh ada banyak anak-anak tuh yang sebetulnya bisa lebih hebat daripada Anda dan saya. Combine.

Tapi... Mereka belum bisa aja dapet peluang. Jadinya ya yang sering disampaikan adalah talenta tuh universal, tapi opportunities tuh nggak universal.

Nah gimana kita bisa meng-universalize opportunities? Kita kalau ngeliat nih kan ada mungkin empat fenomena, yaitu inequality of wealth, Inequality of income, inequality of opportunities, dan yang terakhir justru centripetality of economic development yang mana pertumbuhan ekonomi itu semakin tersentralisir, bukan terdesentralisir. Ini empiris.

Kita lihat pertumbuhan PDB per orang di kota primer, itu pertumbuhannya jauh lebih pesat daripada pertumbuhan PDB per orang di kota-kota sekunder ataupun di kota-kota daerah yang non-sekunder. sekunder, di bawah sekunder. Tapi yang paradoksal adalah sumber daya alam.

Kebanyakan itu adalah di kota-kota sekunder dan kota-kota regional. Nah ini kenyataan yang melotot ke kita sekarang. Tapi balik lagi ke universalization of opportunities. Itu hanya bisa terjadi kalau... Semakin banyak publik intelektual seperti Anda mempipanisasi, mendigitalisasi pemikiran-pemikiran mereka termasuk Anda, lewat pipa digital supaya lebih terjadi universalisasi kesempatan.

Kita bawa kesempatan ke daerah, kita menghubungkannya dengan kesempatan. Dan balik lagi ke adik-adik kita di Tarakan, di Mamuju, di Pulau Rote. Kalau mereka dibekali dengan profisiensi lingua berbahasa Inggris, idenya dia mungkin lebih bagus daripada idenya Jeff Bezos.

Dia sudah dibekali untuk bisa berkomunikasi dengan capital allocator. Nah capital allocator ini kebanyakan nggak ada di Indonesia. Adanya di negara G7. Karena mereka itu dibekali dengan modal yang luar biasa, besar sekali.

Karena tentunya mereka sudah bisa melakukan pencetakan uang selama beberapa dekade. tidak bisa melakukan hal-hal seperti itu tapi kedepannya, ini tadi Anda ngomong suku bunga suku bunga itu akan secara sistemik rendah, kenapa? karena suku bunga itu sebenarnya titik temu antara pasok dengan kebutuhan, pasok uang itu jauh lebih banyak daripada kebutuhan jadinya memang kita sekarang melihat Terjadinya peningkatan suku bunga, tapi itu episodik sifatnya. Karena siklikal sekali, nggak sekuler. Jadi kalau kita melihat ini peningkatan tekanan inflasi ini mungkin dalam 1-2 tahun lagi akan...

tapi balik lagi ke yang sifatnya struktural ataupun sistemik, ini pasok uang di negara-negara maju ini luar biasa banyak, sedangkan kebutuhan itu tidak sebanyak apa yang ada. Ya mau nggak mau, cost of capital itu kan turun. Nah, mereka yang diberikan tanggung jawab untuk mengalokasikan modal atau capital, mereka akan mencari. Mencari di mana nih mereka bisa mengalokasikan.

Kalau menurut saya emerging markets atau negara-negara berkembang seperti Indonesia dan lain-lain di Asia Tenggara, itu logis sebagai destinasi. Tinggal gimana kita bisa mempertanggung jawabkan. Apakah itu bisa diukur? Apakah itu transfer? transparan Apakah itu ada atau akan ada akuntabilitas nah ini tergantung Anda adik-adik kita anak-anak kita untuk bisa menarasikan atau mengkerangkakan narasinya bahwasanya ini bisa diukur ini bisa diceritakan secara transparan dan ini bisa diakun bisa di account atau ada akuntabilitas kalau tiga hal tersebut terjadi dan disampaikan dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh mereka ya Saya saya rasa duit miscaya akan datang ke tempat kita dan ini yang pertama yang kedua saya juga udah menulis makalah kemarin yang mengedepankan bahwasanya alur modal atau arus modal dari satu titik ke titik yang lain itu sangat tergantung terhadap penegakan hukum bukan ideologi bukan biografi bukan Apakah ada sumber daya alam tapi kalau penegakan hukumnya yang jelas, ya trustworthiness-nya itu akan sangat tinggi dan bisa dipertanggungjawabkan.

Jadi kalau kita bisa mempertanggungjawabkan yang pertama tadi, measurement atau measurability, transparency sama accountability, terus yang kedua, rule of law atau penegakan hukum, selesai. Saya rasa bakal banyak pengusaha-pengusaha dari Indonesia dan negara berkembang lainnya yang akan sangat bisa memanfaatkan apa namanya pasok modal yang luar biasa banyak di negara-negara maju konsep brain drain ini salah parkir ini mungkin secara politik kurang tepat tapi kalau menurut saya kita harus secara akademis lebih bisa mengukur Hai pengalaman masuk ke Harvard itu Pak Saya pengen tahu juga mungkin Pak kita mengalami hal yang sama jadi suatu dua bulan pertama tuh tertekan sekali bukan karena apa bukan karena ngejar pelajaran ya Pak, tapi sama peers karena ada persepsi kita ini entah karena terjajah 3,5 abad gitu ya ada inferiority complex, ada perasaan ngerasa saya jangan-jangan kesini cuman faktor beruntung aja sehingga dalam diskursus dalam diskusi itu kita merasa kayaknya gagasan kita enggak bagus-bagus banget sebetulnya gitu jadi ada confidence level yang sangat rendah itu sebetulnya Gimana, Pak, menyiasati itu? Karena saya pikir ini juga jadi isu di negara-negara berkembang.

Saya ngobrol dengan teman-teman yang lain, wah ternyata sama juga. Yang lain tuh tertekan sampai ada yang kalau cerita, wah kalau saya sampai... nangis semester 1. Katanya banyak nangisnya kan.

Tapi gimana? Apa overcoming fear dalam hal kompetisi? Saya nggak pernah terjebak ataupun terbelenggu dengan masa lalu. Iya kan?

Dan saya nggak pernah tuh jarang banget tergesa-gesa nyalahin Legacy, ataupun history. Iya kan? Kalau saya mengacu ke masa lalu, saya justru berusaha mengacu ke masa lalu yang kental dengan kejayaan. Iya kan? Saya kemarin diminta bicara di konferensi mengenai Tiongkok.

Saya bercerita mengenai kejayaan. Asia Tenggara yang termanifestasi dalam banyak hal Salah satunya adalah kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang mana Interseksi dan interaksi antara Kerajaan Sriwijaya dengan Dinasti Tang Anggaplah antara abad ke-7 sampai abad ke-9 sampai ke-10 Itu dulu sekolar-sekolar Buddha dari Tiongkok Kalau mau ke Universitas Nalanda di tempat di India sekarang namanya Bihar itu mereka harus melakukan orientasi di Sumatera Selatan terus saya juga mengacu ke peace and stability kedamaian dan stabilitas yang udah sangat eksis di Asia Tenggara selama 2000 tahun terakhir yang mana saya tuh kurang terima kalau bule-bule itu menyampaikan ke saya bahwa kita tuh Bar-bar, kita militan, kita ekstremis, dan segalanya. Tapi saya selalu mengacu ke data yang sifatnya empiris.

Angka kematian di Asia Tenggara selama 2000 tahun berdasarkan perbedaan pandangan ataupun opini terkait dengan etnisitas, religi, ataupun ras. Itu nggak lebih dari 10 juta. 2000 tahun ya?

2000 tahun. Termasuk 3 juta yang terjadi di Vietnam. Jadi 3 jutanya itu cuma di Vietnam aja tuh ya?

Bahkan 4 juta. Jadinya The Taishong Rebellion, mungkin 200an tahun yang lalu, itu memakan 1 juta nyawa. Terus Perang Vietnam yang terjadi selama 22 tahun, itu memakan mungkin 3 juta nyawa. Dan itu juga karena diserang dari...

Ya, saya nggak usah ke situ. Tapi saya ingin menggarisbawahi bahwa... Kita tuh nggak se-alpha seperti teman-teman kita kulit putih. Dan di Eropa selama 2000 tahun angka kematiannya itu kurang lebih 190 juta.

Di periode yang sama 2000 tahun yang mana 120 juta itu terjadi dalam kisaran waktu 35 tahun antara Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua. Di abad ke-20 sebelumnya Perang Medieval yang terjadi selama hampir 1000 tahun. itu memakan puluhan juta nyawa.

Nah, beranjak dari peace and stability atau kedamaian dan stabilitas, itu kalau menurut saya kekayaan yang luar biasa kan? Nah, kalau kita mau sejahtera, mutlak yang menjadi pre-kondisi itu adalah peace and stability atau kedamaian dan stabilitas. Sinequanon. kepentingan kita semakin sejahtera. Kita nggak akan bisa nyari makanan kalau nggak ada peace and stability.

Nah, coba kita mengacu ke hal-hal seperti itu deh. Daripada yang mungkin yang nggak terlalu, ya. Ya, saya juga jabanin tuh kalau saya nggak di sini atau di Stanford gitu, saya berusaha meng-divergensikan diri.

Saya nggak terlalu mau hanya bercerita mengenai Indonesia. Saya di sini, Anda udah. sempat hadir di beberapa konferensi yang saya sempat bicara itu ya, saya diminta bicara mengenai topik-topik yang yang terkait dengan Tiongkok, terkait dengan Eropa terkait dengan sustainability terkait dengan peace and stability terkait dengan security untuk kawasan, nah saya ingin melihat Anda dan kawan-kawan itu lebih bisa divergen semakin lateral dan semakin lebar ya Saya sangat percaya kalau kita bisa mendivergensikan diri, itu kita lebih bisa menjadi late specialist dibanding early specialist.

Saya bisa membedakan bahwasannya early specialization itu bagus, tapi nggak sebagus late specialization. Kenapa, Pak? Ya, Roger Federer, dia sebelum ngangkat rekatenis, dia itu jago main bola, jago main volley, jago berenang, jagoden.

Jadi semakin dia itu divergen, dia semakin bisa... melihat cakrawala yang lebih lebar dan dia lebih bisa mengantisipasi blind spot. As early as possible, nggak selalu benar juga kalau gitu ya Pak. Iya.

Ini kan intinya kalau kita percaya dengan early specialization itu termanifestasi di bukunya Malcolm Gladwell. The Outliers. 10.000 jam.

Iya kan? Kalau Anda 10.000 jam podcast saja, Anda bakal jadi podcaster yang terhebat di dunia. Iya kan?

Lupa kita. Anda akan jauh lebih baik daripada saya. Percayalah.

Jamin. Tapi kalau David Epstein yang nulis buku namanya Yang. Dia justru bercerita mengenai banyak sekali tokoh-tokoh yang sukses tapi jauh lebih sustainable.

Nah kenapa mereka sustainable? Karena mereka udah menguasai dimensi-dimensi yang lain. Sehingga mereka bisa mengantisipasi blind spots. Kalau manusia itu bisa mengantisipasi blind spots lebih banyak, lebih awal, dia tuh niscaya akan lebih bisa memanage resiko yang sifatnya lebih berjangka panjang dan sistemik. Nah ini balik lagi.

Kita tuh mau anak-anak kita menjadi entrepreneur yang bisa memanage resiko yang sifatnya sistemik. atau non-sistemik, yang sifatnya jangka panjang atau jangka pendek. Saya sih lebih suka yang jangka panjang dan sistemik daripada non-sistemik dan jangka pendek. Iya kan?

Bukan berarti dia nggak bisa sukses, tapi hampir selalu kesuksesannya itu episodik. Kalau dia hanya bisa mengelola atau memanage risiko yang sifatnya non-sistemik atau jangka pendek. Pak, talking about opportunity dan economic development, ini kemarin berita nih, apa, tim Apple datang ke Indonesia, terus pengumuman investasi 1,7 triliun. Terus kita sedih juga karena di Vietnam 256 triliun tuh Apple investasinya. Sebelumnya kita juga, saya yakin pemerintah udah all out ke attracting Tesla gitu kan ke kita.

Terus kita kalah sama Thailand. Kenapa Pak? Apa yang terjadi? Tadi saya udah cerita kan, arus muda Itu sangat berkorelasi dengan sejauh mana kita bisa mempertanggungjawabkan penegakan hukum.

Ya kan? Persepsi ataupun substansi. Mungkin saja Tim Cook itu udah memiliki persepsi bahwa di Vietnam, mungkin...

penegakan hukumnya lebih jelas. Dan yang kedua, yang tadi, measurability, transparency, dan accountability. Mungkin aja persepsinya di Apple atau di perusahaan manapun, bahwasannya di Vietnam, itu lebih bisa dipertanggungjawabkan. Mungkin ya. Tapi balik ke yang lebih awal lagi percakapan kita.

CEO-nya Microsoft Namanya Saya Nadella, CEO-nya Google namanya Sundar Pichai. Kalau Sundar Pichai, Saya Nadella, itu diundang ke India, dia pasti akan berpikir mengenai investasi yang jumlahnya besar sekali. Dibanding kalau dia berkunjung ke negara lain. Nah, kalau CEO-nya Apple... Itu namanya Rahmat atau Bambang atau Budi Kemungkinan besar, begitu dia tiba di Indonesia Sebelumnya tuh dia udah berpikir bagaimana untuk perusahaannya dia tuh bisa menggelontorkan modal yang jauh lebih besar Jadinya, bagaimana nih?

Gimana anak-anak Indonesia itu lebih bisa berkarir di kancah internasional Iya kan? Saya nggak terlalu percaya dengan konsep brain drain. Saya lebih merangkul konsep brain linkage atau brain circulation.

Saya Nadella, dia sebetulnya begitu dia lulus di University of Wisconsin, di Milwaukee, terus ke Chicago, dia bisa aja pulang ke India. Tapi dia tetap di sini. Tapi saya yakin setiap hari, dia selalu berpikir mengenai India.

Setiap hari dia pasti komunikasi atau berpikir mengenai temennya, orang tuanya, tantenya, omnya, keponakannya di India. Jadi global representativeness matters banget ya Pak? Bukan itu aja, tapi kita harus bisa merangkul konsep net present value.

Jadi setelah dia berpuluh-puluh tahun di Amerika Serikat, dan dia sampai di puncak Everest-nya perusahaan yang nggak kecil, Wisdom yang terakumulasi, yang ada di dia itu bisa dicurahkan. Dalam konteks nilai ekonomi yang kalau ditarik secara present value itu tetap jauh lebih besar daripada kalau dia langsung pulang ke India. Daripada langsung pulang. Absolutely. Dan kalau CEO-nya Microsoft namanya Bambang, CEO-nya Google namanya Rahmat, CEO-nya Apple namanya Asep, CEO-nya Intel namanya Komeng, saya cukup yakin bahwasannya berkah yang bisa dicurahkan oleh diaspora tersebut secara net present value, itu akan jauh lebih besar.

Jadinya konsep brain drain ini salah parkir. Ini mungkin secara politik kurang tepat, tapi kalau menurut saya kita harus... secara akademis lebih bisa mengukur. Modernitas itu bisa diukur dengan berbagai cara, salah satunya adalah elektrifikasi. Indonesia tuh elektrifikasinya 1300 kWh per orang.

Kalau kita mau naik ke 6000, dengan pembangunan per tahun hanya 3000 MW, dan yang sudah dibangun tuh 75.000 MW, kita butuh minimum 120 tahun. Hai sekarang tentang ekonomi dan lain Cintas tadi Bapak mention tentang climate change tapi kalau kita melihat Kan peningkatan ekonomi itu butuh energi. Dan energi itu kalau kita melihat, biaya fosil yang Indonesia ini, biaya kualitas ini masih sangat rendah dibandingkan dengan energi krenaubal.

Bagaimana ngebalansikan antara peningkatan ekonomi dengan tadi, isu klimat ini, Pak? Saya baru saja menulis kertas, itu dipublish di Stanford. Yang mana saya bercerita mengenai Asia Tenggara.

Kalau kita hitung pembangkit listrik yang sudah terbangun di Asia Tenggara, itu masih di bawah 1 terawatt. Yang mana elektrifikasi per orang untuk Asia Tenggara secara keseluruhan itu masih... di bawah atau jauh di bawah 6.000 kWh per capita.

Kecuali Brunei dan Singapura yang sudah mencapai kurang lebih kWh per orang. Nah, saya di kubu yang percaya bahwasannya untuk bisa merangkul narasi sustainability, manusia tuh harus bisa berpikir secara modern. Nah, tinggal kita gimana ngukur modernitas. Modernitas itu bisa diukur dengan berbagai cara, salah satunya adalah elektrifikasi.

Saya percaya bahwa kalau elektrifikasi sudah mencapai 6000 kWh per orang, itu sudah mencapai modernitas. Jadi bukan cuma 98% coverage aja ya Pak? Ya, yang ter-cover itu dia bisa mengelektrifikasi banyak hal apa tidak, mungkin hanya sebatas nyalain kulkas, nyalain van. nyalain kompor atau apa, tapi mungkin dia gak bisa melakukan banyak aktivitas digital yang cukup membutuhkan energi, apalagi pemberdayaan AI yang lebih membutuhkan energi. Intinya, kalau kita mau mencapai elektrifikasi per orang itu di 6000 kWh per orang, untuk Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, itu kita butuh membangun 1 terawatt lagi.

Itu kurang lebih 1 juta megawatt. Ini nggak gampang dan nggak murah. Itu biaya pembangunannya kurang lebih 2 triliun dolar.

Siapa yang punya duit kayak gitu? Di Asia Tenggara. Kalau kita lihat keterbatasan fiskal kita di Indonesia dan negara-negara lain nyata. Keterbatasan moneter kita dan negara-negara lain di Asia Tenggara. Asia Tenggara nyata nah Indonesia elektrifikasi 1300 kilowatt hour per orang kalau kita mau naik 6000 dengan pembangunan per tahun hanya 3000 megawatt dan yang sudah dibangun tuh 75000 megawatt kita butuh minimum 120 tahun untuk mencapai 6000 kWh 4 kali lipat ya padahal ya sedikit lebih dari 4 kali lipat dan itu gak bisa direkonsiliasi dengan netralitas karbon yang harus tercapai di 2050 ataupun 2060 2050 itu hanya 26 tahun 2060 itu hanya 36 tahun sedangkan kita butuh untuk menjadi negara modern 120 tahun nah ini penuh akselerasi kan akselerasi pemberkahan teknologi dan akselerasi yang lebih penting pemberkahan fulus ya kan teknologi renewable udah banyak, gak nuklir gak geothermal gak solar, gak angin gak hidro dan lain-lain, tapi kalau saya ukur yang paling murah Itu 15 cent per kilowatt.

Solar PV banyak yang bilang katanya udah jauh di bawah 15 cent, tapi orang sering lupa berbicara mengenai baterainya. Kalau ditambah dengan baterainya itu on a per... capital basis itu kalau menurut saya masih sekitar 15 sen sedangkan daya beli Indonesia dan negara-negara berkembang lain itu masih di 5 sen nah ini harus kita rekonsiliasi antara 15 sen per kilowatt dengan 5 sen ini kan akan turun ke 14, 13, 12, 11 ini akan naik dari 5 ke 6 ke 7, tapi kapan nih interseksinya terjadi, bisa 5 tahun bisa 50 tahun tergantung pertumbuhan ekonomi dan tergantung peningkatan efisiensi inovasi teknologi tapi ujung-ujungnya Harus lebih banyak orang di Asia Tenggara, harus lebih banyak orang di Indonesia yang bisa bercerita bahwa kita sangat ada keterbatasan.

Dan balik lagi, duitnya tuh banyak di G7. Negara G7. Dunia pertanyaan terakhir, Pak. Apa pandangan Bapak dengan China dengan Belt and Road-nya mereka? Kemudian sekarang kan isu apa China debt trap?

Sementara di sisi lain tadi kita mention we need capital. China bisa memberikan banyak kapital untuk negara kita. Belt and Road itu diumumin tahun 2013. Untuk Asia Tenggara sejumlah 171 miliar dolar.

Realisasinya setelah 11 tahun, nggak lebih dari 20 miliar dolar. Yang mana 8,5 untuk kereta api cepat di Indonesia, 5,5 di Laos untuk pembangunan hidro, terus mungkin 4-5 di Kambodia untuk pembangunan hidro. Kalau menurut saya, percakapan yang kurang positif mengenai Belt and Road. Anggaplah termasuk prospek terjadinya debt trap diplomacy itu salah parkir. Mungkin untuk Laos, iya.

Karena PDB-nya Laos itu 16 miliar dolar. Kalau exposure mereka 5,5 miliar dolar, itu sepertiga dari PDB. Tapi kalau Indonesia 8,5 miliar dolar, dalam konteks PDB 1,4 triliun, itu gampang ditelan. Tinggal kita hitung aja nih.

utang secara keseluruhan berapa, debt service ratio-nya udah berapa, dan rasio pengservisan utang terhadap APBN berapa. Nah, rasio pengservisan APBN itu udah naik kurang lebih ke 16%. Dulu di bawah 10%. Nah itu kalau menurut saya sifatnya zero sum.

Setiap kali ada inkrimen peningkatan pengservisan utang terhadap APBN, itu berarti dekrimen untuk kepentingan kita meningkatkan gajinya perwira, gajinya polisi, gajinya PNS, dan membangun selokan jembatan dan jalanan. Nah itu kalkulasi. ...politik yang harus dilakukan ke depan.

Tapi kalau menurut saya, yang lebih menarik dan lebih kaya itu adalah pendekatan budaya. Saya nggak melihat adanya jumlah scholar dari Asia Tenggara yang cukup di Tiongkok. Saya nggak melihat adanya... Jumlah scholar dari Tiongkok yang cukup di Asia Tenggara.

Kalau anggaplah ada 200 ribu scholar dari Asia Tenggara yang sekolah di seluruh kampus di Tiongkok, dan ada 200 ribu scholar dari Tiongkok yang sekolah di seluruh kampus di Asia Tenggara, Saya rasa pembahasan, percakapan, diskusi ataupun diskursus mengenai apa yang sudah terjadi mengenai Belt and Road dan apa yang harus terjadi ke depan, itu jauh lebih kaya dan jauh lebih positif dan konstruktif. Jadi sebetulnya pengukuran GDP per capita dalam hal keadaan fiskal kita juga nggak bisa stand alone sebetulnya dalam mengukur keadaan dapur dan keadaan fiskal kita. 18-16% itu konsernya nggak sih Pak dengan terhadap keadaan fiskal kita? Debt to GDP ratio kita udah naik dari 24% ke 39% dalam 9-10 tahun terakhir. Saya nggak terlalu peduli.

Itu nggak terlalu concerning. Karena negara-negara Asia Tenggara lainnya tuh debt to GDP ratio-nya jauh lebih tinggi. Ada yang 70%, ada yang di atas 100%. Nggak usah sebut negara lah. Tapi yang lebih esensial untuk saya adalah pengukuran...

Rasio pengservisan utang terhadap APBN, ya kan? Ini udah meningkat. Berapa persen dari APBN itu buat bayar hutang gitu ya Pak? Iya.

Dan jangan lupa tadi, setiap kali porsi dari APBN untuk meng-service utang secara persentase, itu meningkat. Itu berarti ada penurunan untuk kita bisa mempertimbangkan untuk peningkatan gaji perwira, gaji PNS, gaji polisi. Healthcare, LPDP, pembangunan selokan, dan lain-lain.

Ini zero-sum game. Dan ini rasionya naik terus ya, Pak? Naik, udah 16%. Dulu di bawah 10%.

Jadinya itu kalau menurut saya pendekatan yang lebih relevan. Apakah 16% itu manageable? Saya rasa sih, ya kalau bisa jangan naik lagi. Ya, caranya gampang.

Denominatornya. Dinaikin. APBN-nya dinaikin. Caranya gimana?

Ya kita tingkatkan pendapatan pajak. Tax ratio-nya udah turun. Ke 9,5 persen.

Dulu sempat 14 persen. Jadinya pendapatan pajak harus kita naikin. Pendapatan non-pajak harus kita naikin.

APBN-nya naik. Denominator-nya naik. Numeratornya mau berapapun. Persentase peng-servisan utang terhadap APBN akan menurun. Tapi sekali lagi, saya tuh kegagalannya juga banyak.

Jadinya saya, yang penting gimana kita bisa mengembangkan, mengkultivate anti fragilitas. Bukan resiliensi. Jadi kalau kita kepleset, gimana untuk kita bisa bukan hanya survive, tapi kita bisa justru lebih bisa terbang ke depan. Terakhir pak, karena kita bicara education, pak Kita very successful in every field yang kita tuh cuma dunia mau. Karena saya ketemu pak Kita, udah cerita 12-13 tahun yang lalu waktu pak Kita.

Masukkan buat saya kalau kamu mau jadi bankar, coba ambil CFA."Gimana anak-anak Pak Kita? Mereka ada tekanan nggak? Bagaimana Anda menguruskan tekanan mereka? Karena pasti secara ineran, saya kebayang kalau saya jadi anaknya Pak Kita, saya tertekan banget. Saya kalau di meja makan itu nggak banyak ngomong. Yang saya... Pastikan itu adalah istri dan anak-anak saya yang mendominasi percakapan. Seperti endgame lah. Saya juga nggak banyak ngomong. Iya kan? Padahal Anda tahu saya suka ngomong kan. Jadi Anda coba bayangin deh betapa sulitnya kalau saya lagi melakukan endgame. Karena saya tuh, ya saya ingin sekali mengomentari, bahkan meng-counter. Ya, terlepas dari itu, tapi saya tuh sifatnya, saya mau mendemokratisasikan ide, bukan informasi saja. Dan saya cukup bangga bahwasannya anak-anak saya tuh ngerasa lepas untuk mengekspresikan apapun. Dan itu kebiasaan yang saya... Depankan, seawal mungkin. Dan saya nggak pernah membelenggu mereka, membatasi mereka. Kalau anak saya mau melakukan apapun, selama dia bisa mempertanggungjawabkan dan memberikan argumentasi yang menurut saya plausible, silahkan. Saya nggak pernah bilang, ah salah tuh. Wah jangan deh. Saya selalu bilang, oke deh Anda coba ceritain kenapa. Oke, itu masuk akal. Tapi sekali lagi, saya tuh kegagalannya juga banyak. Jadinya saya, yang penting gimana kita bisa mengembangkan, mengkultivasi anti fragilitas. Bukan resiliensi. Jadi kalau kita kepleset, gimana untuk kita bisa bukan hanya survive, tapi kita bisa... Justru lebih bisa terbang ke depan. Closing statement dong Pak? Tidak ada. Apa tentang, atau at least buat parents, karena sekarang kan demografi kita ini... Anda sekolah banyak sekali, tapi banyak orang juga masih nyari bentuk. Karena nggak ada sekolah jadi orang tua ya Pak. Kayaknya harus belajar terus. Saya rasa bukan hanya untuk kita sebagai orang tua, bukan hanya untuk para orang tua saja, tapi siapapun yang ingin menjadi pemangku kepentingan untuk masa depan kita, atau keemasan masa depan kita, anggaplah 2045 atau kapanpun, Kita benar-benar harus bulet mengenai pengedepanan budaya politik di rumah tangga, budaya politik di sekolah, di kantor, di kafe, di institusi sosial, di rumah ibadah. Untuk gimana nih yang terbaik untuk kita ke depan? Supaya kita bisa menjadi warga planet yang bertanggung jawab, supaya kita bisa... lebih bisa bersaing, supaya kita bisa lebih mengedepankan jumlah siswa-siswi yang belajar ilmu STEM, supaya gimana ada 100 juta orang Indonesia bisa berbahasa Inggris, ada 400 juta orang Asia Tenggara bisa berbahasa Inggris, supaya kita bisa melewati skor PISA di atas rata-rata dunia, supaya kita bisa ujung-ujungnya ada representasi secara layak. Untuk demokrasi terbesar nomor tiga, populasi terbesar nomor empat, kawasan atau negara terbesar di Asia Tenggara, ekonomi terbesar di Asia Tenggara, seperti apa yang kita deserve? Kita belum sampai situ. Tapi saya cukup yakin kalau political culture-nya ini nyata. Dalam percakapan, diskusi, ataupun diskursus, jadi itu bareng. Siap, terima kasih banyak Pak. Kita beri awal, kita saja nandar. untuk kita bisa spend your time di podcast saya. Terima kasih teman-teman. See you next time.