Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Masa pemerintahan Fendenbosch di Indonesia Siapakah Fendenbosch? Johannes Graf Vanden Bosch lahir di Herwitten in Jemwol 1 Februari 1780, meninggal di Den Haag 28 Januari 1844 pada umur 60 tahun. Ia adalah gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-43.
Ia memerintah antara tahun 1830-1834. Pada masa pemerintahannya, tanam-tanamnya di Indonesia. Paksa mulai direalisasi Setelah sebelumnya hanya merupakan Konsep kajian yang dibuat Untuk menambah kas pemerintah kolonial Maupun negara induk Belanda Yang kehabisan dana Karena peperangan di Eropa Maupun daerah koloni Terutama di Jawa dan Pulau Sumatera Kalian bisa lihat di gambar ini Ini adalah gambar Van Den Bosch Tanam Paksa Pada masa kepemimpinan Johannes van den Bosch, Belanda memperkenalkan Kulturstelsel atau Kaltivitian Sistem atau Tanam Paksa. Sistem Tanam Paksa pertama kali diperkenalkan di Jawa dan dikembangkan di daerah-daerah lain di luar Jawa.
Tujuan sistem tanam paksa adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tujuannya untuk mengisi kekosongan kas Belanda yang pada saat itu terkuras habis akibat perang yaitu Perang Diponegoro dan juga Perang Kemerdekaan Belgia. Rakyat pribumi dipaksa menanam lada, kopi, teh, dan juga tebu yang kemudian akan dipanen, diangkut, dan dijual oleh Belanda. Namun, dalam praktek tanam paksa ini, peraturan yang ditetapkan ternyata tidak sesuai dengan prakteknya. Pada salah satu peraturan menyebutkan, jika rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian, diwajibkan bekerja di kebun milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau 1 per 5 tahun Akan teti pada kenyataannya Rakyat yang tidak memiliki tanah Tetap dipaksa bekerja di perkebunan Lebih dari 66 hari Kalian bisa lihat di gambar ini Ini adalah salah satu gambar proses tanam paksa di Indonesia Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia-Belanda.
Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibandingkan sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani pada zaman VOC wajib menjual komoditas tertentu pada VOC. Kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah.
Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialisasi liberal Hindia Belanda pada 1835 hingga 1940. Sistem ini yang memakmurkan dan menyejahterakan negara Belanda ini. Van de Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh Raja Belanda pada 25 Desember 1839. Kultur stelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria 1870 dan Undang-Undang Gula 1870 yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia. Kalian bisa lihat di gambar ini, ini adalah salah satu gambar tanam paksa yang pernah terjadi di Indonesia. Aturan Sistem Tanam Paksa Yang pertama Pertama, setiap penduduk wajib menyerahkan 1 per 5 atau 20% dari lahan gerapannya untuk ditanami tanaman wajib yang berkualitas ekspor.
Yang kedua, tanah yang disediakan untuk tanah wajib dibebaskan dari pembayaran pajak tanah. Yang ketiga, hasil panen tanaman wajib harus diserahkan kepada pemerintah kolonial. Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayarkan kembali kepada rakyat. Yang keempat, tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib tidak boleh melebihi tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi atau kurang lebih 3 bulan.
Yang kelima, mereka yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari atau 1 per 5 tahun di perkebunan pemerintah. Yang keenam, jika terjadi kerusakan atau kegagalan, panen menjadi tanggung jawab pemerintah. jika bukan akibat kesalahan petani.
Yang ketujuh, pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada kepala desa. Pelaksanaan Tanam Paksa Dalam kenyataannya, pelaksanaan kultur sel-sel banyak terjadi penyimpangan karena berorientasi pada kepentingan imperialis. Di antaranya, yang pertama, jatah tanah untuk tanaman ekspor melebihi 1 per 5 tanah garapan, apalagi tanahnya subur. Yang kedua, rakyat lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan waktunya untuk tanaman ekspor, sehingga banyak tidak sempat mengerjakan sawah dan ladang sendiri.
Yang ketiga, rakyat tidak memiliki tanah harus bekerja melebihi 1 per 5 tahun. Yang keempat, Waktu pelaksanaan tanaman ternyata melebihi waktu tanam padi, yaitu 3 bulan, sebab tanaman-tanaman perkebunan memerlukan perawatan yang terus-menerus. Yang kelima, setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayarkan kembali kepada rakyat ternyata tidak dikembalikan kepada rakyat.
Yang keenam, kegagalan panen tanaman wajib menjadi tanggung jawab rakyat atau tanggung jawab petani. Kritik terhadap tanam paksa Menurut sebuah catatan seorang Eropa yang jadi inspektur tanam paksa, yaitu L. Vitalis, menyebut laporan dari awal 1835 di Priangan.
Mayat para petani bergelimpangan karena keletihan dan kelaparan di sepanjang Tasik Malaya dan Garut. Manakala mereka dibiarkan saja tak dikubur itu karena alasan bupati yang seolah tak peduli. Di waktu malam, harimau akan menyeret tubuh mereka.
Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Gerobongan, Demak, dan Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumi putra Jawa. Muncullah orang-orang humanis. maupun praktisi liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli atau Edward Dovesdek.
Di lapangan jurnalis muncul ESW Rorda van Eysinga. Dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hovel. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.
Kritik kaum liberal Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar tanam paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870 dengan diberlakukannya Undang-Undang Agraria. Namun, tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan tanam paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut. Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta.
Oleh karena itu, kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya Pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman, dan menjamin keamanan serta ketertiban. Undang-undang ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas.
Dengan jangka waktu paling lama 75 tahun untuk ditanami tanaman kas seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum atau nila, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek. Kritik kaum humanis Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan undang-undang agraria ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang asisten residen di Lebak, Banten, Edward Dauwesdekker, mengarang buku Max Havelar 1860. Dalam bukunya, Dauwesdekker menggunakan nama samaran, Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita. Akibat tekanan pejabat Hindia Belanda, seorang anggota Ratvan Indi, C.D.
van de Venter, membuat tulisan berjudul In Iris Chult, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah The Gids, yang terbit tahun 1899. Van de Venter dalam bukunya mengimbau kepada pemerintah Belanda agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran Van de Venter ini kemudian berkembang menjadi politik etis. Kalian bisa lihat di gambar ini, ini adalah salah satu proses tanam paksa. Dampak Tanam Paksa Yang pertama dalam bidang pertanian Tanam paksa menandai dimulainya penanaman-tanaman komoditas pendatang di Indonesia secara luas.
Kopi dan teh yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu yang merupakan tanaman asli menjadi populer pula setelah sebelumnya. Pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman tradisional penghasil rempah-rempah seperti lada. pala, dan cengkeh Kepentingan, peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditas pertanian dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan Undang-Undang Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian. Pertanian dilakukan secara serius.
Kalian bisa lihat di kedua gambar ini, ini adalah proses-proses pada saat terjadinya tanam. Yang kedua, dalam bidang sosial. Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris, tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil, penggarap sebagai budak, melainkan terjadi homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada Pemerintahan dalam pembagian tanah Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat Hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya Mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya Yang ketiga dalam bidang ekonomi Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk.
Mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotong royong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan Dengan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman ekspor, sehingga banyak jadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian, hasil produksi tanaman ekspor bertambah, mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari. Akibat lain dari adanya tanam paksa, ini adalah timbulnya kerja rodi, yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesensaraan bagi pekerja.
Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggerahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa setempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, perang baran, dan sebagainya. Dengan demikian, penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.
Kalian bisa lihat, ini adalah proses tanam paksa serta kerja paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Oke, cukup sekian pembahasannya. Semoga bermanfaat.
Terima kasih. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.