Transcript for:
Refleksi Finansial dan Kesehatan di Usia 20

Intro Teman-teman pernah ngebayangin gak kalau saat ini teman-teman semua punya kesempatan untuk duduk ngopi dengan diri kalian sendiri waktu kalian muda, ya masih muda sih, mudaan lah mudaan. Kira-kira kalian mau ngobrolin apa sih? Nah saya hari ini umur 32 tahun, kalau saya punya kesempatan untuk kembali dan ngobrol ke diri saya umur 20-an, kira-kira obrolan ini akan muncul di kepala saya. Yang pertama saya akan ngobrolin adalah, saya akan membawa diri saya ke momen dalam hidup yang menurut saya punya impact yang besar banget ke dalam hidup saya. Satu, ketika saya decide untuk beli mobil di umur 20-an, dan kedua ketika saya... Beli iPhone. Saya ingat banget waktu itu mobilnya sekitar 200 jutaan. Saya harus mencicil sekitar hampir setengah dari gaji saya. Kemudian sebuah iPhone, waktu itu masih iPhone 4S. Beli iPhone 4S cuma buat bisa main Instagram. Karena waktu itu Instagram cuma ada di iPhone. Saya percaya uang itu bukan segala-galanya, tapi hampir semua keputusan dalam hidup ada hubungannya dengan uang. Kalau gak percaya, kita coba contoh deh ya. Ya, masnya yang jaket orange. Kalau mas bangunnya siang, makan pagi gak? Sarapan gak? Biasa sarapan habis berapa? 20 ribu. Mas udah hemat 20 ribu dengan bangun? Siap. Berarti teman-teman, kalau kita semua disini mau hemat, kita semua bangun siang. Oke, langsung dapat pembenaran di besok ya. Gue dihajar sama bos-bos di berbagai kantor. Tapi bukan itu maksud saya. Maksud saya adalah bangun siang aja itu punya efek kekeuangan kita. Bagaimana yang lain-lain, keputusan lain dalam hidup. Sebenarnya saya beli handphone itu efeknya apa sih? Tadinya saya pikir ini sesuatu yang konsumtif, waaah mumpung lagi duit gue beli iPhone waktu itu lagi jaya-jayanya ya. Tapi gue setelah ngeliat lagi ternyata kalau tidak ada iPhone itu mungkin tidak ada kesempatan saya untuk berkarya, tidak ada kesempatan saya untuk bikin konten, tidak ada kesempatan saya untuk berbagi kesenangan saya terhadap makanan dan travel yang bisa melahirkan account Instagram saya yang pertama. Kalau tidak ada account Instagram saya yang pertama, saya mungkin gak akan berada di komunitas yang tepat. sehingga saya bisa dikenalkan kepada teman saya satu ini, shout out to Adit Pekka yang memperkenalkan saya pada waktu itu ada sebuah kompetisi online didadain sama Netflix, mereka lagi mencari official Instagramer. Nah kalau tidak ada Adit, tidak ada kejadian ini. Nah saya mau stop disitu dulu. Kalau tidak ada Netflix tadi, saya mungkin gak dapat kesempatan akhirnya untuk bisa mengunjungi, bertemu, dan bikin konten bareng dengan 5 chef terbaik di dunia, di 5 negara. Nah saya mau kasih satu video clip, ini 1 menit kita nonton bareng-bareng ketika saya ngedatengin chef wanita pertama yang punya 2 Michelin Star di San Francisco. 1 menit. Nah ada dua pesan yang saya mau share lewat video ini, satu semua konten itu saya buat dengan handphone saya tadi yang sudah 3-4 generasi ketinggalan dari yang paling baru. Artinya apa di zaman sekarang ini kalau kita punya smartphone kita bisa banget bikin konten, berkarya, berbagi ke siapapun yang kita mau. Yang kedua adalah... Saya sebisa mungkin menggunakan kesempatan yang saya punya untuk mengenalkan Indonesia. Makanya tadi kalau teman-teman lihat saya kasih apa? Batik sama biji kopi. Batik itu juga sesuatu yang personal buat saya. Ini kan kita baru selesai Pesta Demokrasi ya. Saya jadi tergerak untuk mau ikutan Pesta Demokrasi 5 tahun dari sekarang. Saya juga mau bikin partai, namanya Partai Batik. Batik ini ada kepanjangannya. Biarpun ayahku Tionghoa, Indonesia ku kental. Gak ada ya, saya gak lagi mau bikin partai, tenang ini gak arah politik. Intinya adalah dari ngobrolan warung kopi saya pertama dengan diri saya di umur 20, bahwa tidak berarti kita harus super hemat, super pelit, tapi dalam segala sesuatu, apakah itu sesuatu yang dilakukan untuk kegiatan produktif atau konsumtif. Yang kedua yang mungkin saya akan ajak ngobrol adalah lebih dalam tentang investment. Kalau mobil saya tadi saya invest 200 juta tadi dalam waktu 5 tahun aja dengan pengembalian 12% per tahun, dalam 5 tahun bisa menghasilkan hampir 2 kali lipatnya. Kalau saya ekstrim saya dalemin lagi setelah 10 tahun angkanya ini. Fantastis, reasonable, reasonable karena saya udah ngecek ke IHSG. Nah dari sini saya mendalami lagi tentang investasi. Lalu saya cari tahu kira-kira benar gak sih quotes, the rich stays rich and the poor stays poor. Saya ketemu dengan satu slide ini. Bahwa ternyata orang-orang paling kaya di dunia, cara mereka mengatur portfolio keuangannya adalah seperti ini. Saya mau teman-teman perhatikan tiga angka, 54%, 21% dan 15%. Kira-kira 54% dipakai buat apa sih? Kalau orang Indonesia mungkin taruh di cash, property, nyimpen gitu ya. Nah ternyata... Hasilnya adalah ini, 54% di saham, 21% di obligasi dan 15% di cash. Bahkan tidak ada properti yang terlalu besar di situ. Kesimpulannya adalah saya jadi mendalami investasi dan saya paham banget sekarang kalau bahkan segelas kopi atau cemilan aja bisa menjadi rumah. Saya ngebahas ini banyak banget di Instagram saya, teman-teman bisa gali lagi lebih dalam karena waktunya gak cukup di sini. Yang ketiga saya akan ngajak ngobrol kepada diri saya adalah, Bro, kalau lo bisa hidup lebih sehat, lebih sering exercise, dan makan yang proper, wah gila, return on investment-nya bisa berkali-kali lipat. Bukan hanya soal bertambah efek ganteng ya, ini real case ya teman-teman. Ada orang di sana, di UK, namanya Gwily, ini before and after-nya jauh banget. Tapi mungkin kalau saya pakai contoh orang lain kurang asik ya, saya pakai contoh saya sendiri. Nah, oke. By the way, ini bukan lagi pamer ya. Kalau saya merasa ganteng, dibilang saya siria lagi. Saya harus pakai tol saya sendiri supaya saya enggak bullshitting teman-teman. Kenapa saya ngerasa artinya sehat ini bisa ngaruh kemana-mana? Karena di umur 30, saya percaya satu hal baik akan ngarah ke yang lain-lainnya. Saya excited, cuma karena tempat saya mau belanja sama tempat saya mau makan siang dekat. Udah itu aja. Kalau yang punya anak pasti lebih berasa lagi. Kalau bisa satu tempat, semuanya bisa. Atau mungkin di umur 30 ini yang terjadi teman-teman. Baca komen yang bawah deh. Gue keselio cuma gara-gara bangun tidur salah dari samping kasur gue. Dan itu kejadian teman-teman. Kalau kita dari muda, udah bisa mengatur kesehatan kita dengan lebih baik, kita bisa lebih siap kapanpun ada challenges yang masuk dan kapanpun ada kesempatan atau opportunity yang masuk. Berakar dari itu, saya belajar banget kalau Sebenarnya hidup itu kayak tanaman, saya lagi senang-senang tanaman, di sebelah sana ada yang masih bibit banget, di sebelah sini yang sudah jadinya. Jadi semua itu kita punya potensi untuk bisa menjadi besar. Pertanyaannya adalah kalau kita memenuhi karir yang sukses di umur 30, apa yang harus kita tabur? Tanam ilmu, tanam skill, tanam network seperti yang tadi Mas Sulung bilang, sehingga ketika di umur 30 kita bisa dihargai sesuai dengan skill, network, dan kompetensi yang kita punya. Yang keempat, kalau saya bisa punya kesempatan ngobrol lagi dengan diri saya waktu muda, saya akan bilang, jangan kebanyakan mikir bro, tenang aja. Umur 20, kalau kata John Mayer, are the times you are supposed to be fighting it out. Kenapa saya coba sembilan hal yang berbeda, saya sempat menjadi sales alat berat ya, eskavator, bulldozer, crane, wheel loader, asphal finisher, saya bisa ngendarain sampai sekarang. Saya juga sempat menjadi product manager untuk sebuah aplikasi makanan, teman-teman mungkin tahu namanya Crave, yang depannya pakai Q. Saya juga bahkan sempat menjadi petugas lelang, tau petugas lelang? 100 dolar di sana, 100 dolar, 120 dolar, 130 dolar, 150 dolar, iya ada penawaran lebih tinggi, sold! Iya, masih kaget. Gue gak beli apa-apa kok sold gitu. Nah itu petugas lelang ya. Saya bahkan sempat mencoba untuk menjadi musisi. Ketahuan lah ya, berhasil apa enggak. Setelah ngejalanin begitu banyak, saya jadi ngerasa kalau hidup memang kadang-kadang harus... keluar dari buletan merah, walaupun gak boleh, karena kita perlu eksperimen, nyobain hal-hal yang di luar comfort zone kita, kadang-kadang balik, kadang-kadang keluar lagi ke sisi yang bersebaliknya lagi, kita nyobain lagi, tapi ujung-ujungnya menemukan balance di tengah-tengah namanya ikigai. Kalau kita bisa menemukan apa yang kita suka, apa yang kita jago, apa yang dunia butuhkan, dan apa yang dunia bisa bayar kita, itu sweet spot banget. Dan itu yang saya pengen share ke teman-teman. Terakhir mungkin saya akan ngajak diri saya untuk lebih sering dengerin om saya namanya Om Li. Om Li ini ya saudara jauh ya, dia salah satu orang paling kaya di Hongkong. Saya kenalin teman-teman om saya, Om Li Kashing. Anyway, apa sih yang Om Li bilang ini gitu? Om Li bilang kalau lo punya duit nih ya, 100 persen. 10-15% nya ada baiknya kalian gunakan untuk mentraktir orang. Saya ulang sekali lagi, 10-15% buat mentraktir orang. Siapa yang ditraktir? Orang yang lebih pinter, orang yang lebih bijak, orang yang lebih dewasa, orang yang lebih tajir, orang yang lebih sukses. Kenapa? Di zaman kita bisa connect dan collaborate dengan siapapun di 2019 ini, Opportunity-nya limitless dan kita bisa ngambil shortcut ketika kita langsung datang ke sumber. Saya akan sangat berterima kasih kalau teman-teman di sini ada yang langsung praktekin apa yang Mas Sulung bilang. Todong nanti jalan perjalanan pulang, boleh enggak saya traktir makan siang. Abis ini kayaknya ada 200 makan siang sepanjang tahun. Belajar langsung dari sumbernya. Nah ini yang kita lakukan, saya coba lakukan melalui podcast kita namanya 30 Days of Lunch. Kita ngajak makan siang orang-orang yang kita rasa kita bisa belajar dari dia. Kita belajar dari Alanda Kariza, kita belajar dari Kat Omenizer tentang relationship. Kita bahkan berangkat ke Singapura untuk belajar dari foundernya Irvin Salted Egg. Tapi paling ultimate dari ini adalah di dunia connect and collaborate, kita akhirnya bisa ngajak Gary Vee ke dalam podcast kita. Tepuk tangan buat Gary Vee dong. Gokil. And again, di setiap kesempatan saya gunakan untuk mengenalkan Indonesia supaya dia gak lupa saya kasih kaos bolanya tim Indonesia. Nah, teman-teman ketika saya reflect balik hal-hal yang saya rasa saya pengen sampein ke diri saya sendiri umur 20, saya menemukan kalau sebenarnya ini bisa diartikan balik sebagai things I wish I knew when I was 20 bisa menjadi things my 30 year old self would thank me for. Jadi instead of kita melihatnya sebagai sesuatu yang kita sesali, aduh dulunya harusnya gue begitu ya, kenapa enggak kita mikir, eh kalau gue ngelakuin ini sekarang, diri gue di umur 30 akan berterima kasih kepada diri gue. Dan kalau saya mikirin lagi lima hal itu, melek financial, paham investasi, bisa connect dan collaborate dengan orang. kemudian hidup sehat, itu semuanya adalah hal-hal yang prinsipal. Bahkan saya di umur 40 pun saya akan berterima kasih kepada diri saya, atau di umur 50 pun itu masih hal-hal yang penting buat saya. With that in mind, saya tutup sharing saya hari ini. Semoga teman-teman dapat manfaatnya. Thank you.