Dulu, kita belajar bahwa Indonesia dijajah oleh negara Belanda selama 350 tahun. Tapi itu salah, selama ini, yang menjajah kita mayoritasnya bukanlah sebuah negara yang berasal dari Eropa, melainkan sebuah perusahaan dari negara tersebut, VOC. adalah perusahaan terkaya yang pernah ada dalam sejarah manusia, Itu berarti ada 15 nol di dalam angka tersebut. Kalau misalnya perusaahaan-perusahaan terbesar sekarang di dunia digabung, seperti Apple, Microsoft, dan Google, VOC masih bernilai tiga kali lebih tinggi. Dan bahkan, nilai perusahaan ini memiliki nilai lebih besar dari PDB negara di dunia kecuali Amerika dan China. Pada puncaknya, VOC mengalami pertumbuhan hampir 40% setiap tahun, menjadi perusahaan paling berharga di dunia saat itu. Dengan lebih dari 50.000 karyawan, ribuan diantaranya adalah pasukan militer dan 150 kapal dagang dengan 40 kapal perang. Padahal ini adalah perusahaan, bukan sebuah negara. VOC bisa mencapai ini dikarenakan diberikan hak-hak istimewa oleh negara Belanda, yang membuatnya tidak hanya bisa memiliki tentara, tapi juga bernegosiasi dengan negara lain, menyatakan perang hingga memiliki mata uang sendiri. Yang membuatnya banyak disebut sebagai negara di dalam negara. Dan dengan kuasa sebesar itu, dia tidak memiliki tanggung jawab untuk mengurus rakyatnya layaknya sebuah negara. VOC adalah yang bertanggung jawab menjadi dasar untuk perusahaan multinasional modern saat ini, sekaligus menjadi perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham, dengan saham terbanyak dipegang oleh Dan dalam video kali ini, kita akan membahas bagaimana perusahaan terbesar ini terbentuk, bagaimana caranya mereka bisa memonopoli perdangangan di Asia, terutama di wilayah yang dikenal nantinya dengan Hindia Belanda, atau nantinya, dikenal lagi dengan nama Indonesia, selama hampir 200 tahun. Dan juga, kita akan membahas bagaimana peran korupsi menenggelamkan perusahaan terbesar ini ke dasar lautan. Pada awalnya, Belanda belum merupakan negara merdeka dan masih berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Spanyol. Namun, meski saat itu masih berstatus sebagai koloni Spanyol dan bukan kekuatan besar, Belanda dikenal sebagai bangsa pelaut yang memiliki keahlian khusus dalam perikanan dan pengiriman barang dagang yang telah berkembang selama berabad-abad. menjadi latar penting dalam perjuangan Belanda untuk identitas, kebebasan, dan kemerdekaan. Konflik ini mencapai titik pentingnya pada tahun 1579 ketika tujuh provinsi utara Holland, Zeeland, Utrecht, Gelderland, Overijssel, Friesland, dan Groningen menandatangani Perjanjian Union of Utrecht. Perjanjian ini tidak hanya menyatakan persatuan mereka melawan penindasan Spanyol tetapi juga komitmen mereka untuk mendukung satu sama lain dan menghormati kebebasan beragama. Langkah ini merupakan awal dari pembentukan Republik Belanda yang independen. Sebagai tanggapan terhadap pemberontakan ini, Spanyol memberlakukan embargo ketat yang memotong akses provinsi-provinsi yang memberontak ke rute perdagangan penting, khususnya perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan. Dalam menghadapi pembatasan ini, Belanda terdorong untuk mencari rute perdagangan baru ke Asia, memulai dengan pendirian "Perusahaan untuk Tanah Jauh," yang memfasilitasi pelayaran perdana ke Asia. Yang pada akhirnya memperkuat Amsterdam sebagai pusat perdagangan yang berkembang. Pada akhir abad ke-16, banyak kapal Belanda yang beroperasi secara independen menuju Asia untuk mengambil bagian dalam perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan. Ini menimbulkan persaingan sengit, bukan hanya dengan pedagang dari negara lain seperti Portugal dan Spanyol, tetapi juga antara pedagang Belanda itu sendiri. Persaingan ini seringkali mengakibatkan peningkatan harga rempah-rempah dan perang harga, yang merugikan keuntungan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Belanda, di bawah naungan Perdana Menteri Holland, memutuskan untuk mengorganisir semua pedagang ke dalam satu perusahaan monopoli untuk mengoptimalkan keuntungan dan mengurangi persaingan internal. yang mencerminkan struktur kolaboratif dan nasional dari upaya ini, yang melambangkan kerja sama antar-provinsi dalam perjuangan kemerdekaan. Perusahaan ini menjadi perusahaan multinasional pertama dengan sistem pembagian dan kepemilikan saham yang terbuka untuk umum. Dan perusaaan ini didirikan dengan hak monopoli atas perdagangan antara Tanjung Harapan di ujung Afrika hingga Selat Magellan di Hindia Timur. Dan memiliki kekuasaan yang luas layaknya sebuah negara. Perusahaan inilah yang kita kenal sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC didirikan untuk melindungi perdagangan Belanda di Samudra Hindia dan mendukung perang kemerdekaan Belanda dari Spanyol. Sepanjang abad ke-17, VOC berkembang sebagai instrumen imperium komersial Belanda yang kuat di Hindia Timur, yang kini dikenal sebagai Indonesia. VOC menjadi harapan utama Belanda pada saat itu. Ini merupakan ekspedisi Belanda pertama ke Hindia Timur. Meskipun hanya 87 dari 249 awak kapal awal yang selamat, ekspedisi tersebut membuktikan bahwa rute laut ke Hindia Timur adalah mungkin dan bahwa Belanda bisa bersaing dengan Portugis. Untuk mengakhiri persaingan di antara perusahaan swasta dan berdasarkan keberhasilan pelayaran ini, States Generaal, badan administratif tertinggi di republik, menyatukan enam perusahaan menjadi satu perusahaan saham bersama yang diberi piagam selama 21 tahun, yang dikenal sebagai VOC. Pengacara dan negarawan Enam kamers atau kamar membentuk VOC, ang mewakili kota pelabuhan Amsterdam, Delft, Rotterdam, Zeeland (Middelburg), Hoorn, dan Enkhuizen. Setiap kamar memiliki dewan direksi, dengan dewan pusat atau manajemen umum dikenal sebagai Heeren Zeventien (Tujuh Belas Tuan), yang terdiri dari delapan direktur dari Amsterdam, empat dari Zeeland, dan masing-masing satu dari kota lainnya. Kantor pusatnya berada di Amsterdam. VOC mempekerjakan pelautnya sendiri dan memiliki kapal serta pelabuhan, menerapkan strategi bisnis integrasi vertikal yang memberikan stabilitas dan kekuatan yang besar. VOC juga dikenal sebagai perusahaan yang pertama kali diperdagangkan secara publik, mengumpulkan lebih dari 6 juta gulden. Piagam VOC menetapkan bahwa perusahaan akan dilikuidasi setelah sepuluh tahun, tetapi karena kesuksesannya yang luar biasa di Asia, Keuntungan dari VOC digunakan untuk proyek besar di dalam negeri, seperti reklamasi lahan untuk mengatasi masalah banjir di Belanda. Selama dua abad keberadaannya, lebih dari seribu lima ratus kapal berlayar untuk VOC, mencerminkan besarnya operasi yang dilakukan oleh perusahaan ini. VOC menggunakan kekuatan militer untuk mengamankan bisnisnya dan menguasai rivalnya, dengan tujuan utama mencari keuntungan. Perusahaan ini sering menggunakan pola bantuan kepada penguasa lokal untuk memperoleh hak monopoli perdagangan. British India Company, atau EIC dan VOC sering bersaing dan bertarung dalam perang. Dan perang mereka bukanlah perang ekonomi yang sering kita lihat sekarang seperti perang antara Apple dan Samsung. Tapi, perang mereka melibatkan meriam yang menembaki kapal-kapal kayu yang dipenuhi dengan manusia. Walaupun seperti itu, EIC tidak pernah bisa menandingi VOC. Dan ini dibuktikan dengan kepulauan Rempah, serangkaian pulau yang disebut Kepualuan Banda, Pada saat itu, disitulah tempat di dunia pertama kali tumbuhan pala tumbuh. Kesuksesan VOC didorong oleh dukungan pemerintah desentralisasi. Pala, dulunya memiliki nilai yang sangat tinggi. Pala yang dijual di pasar Venesia memiliki harga yang sama perkilogramnya dengan emas, jadi 1 kg pala sama harganya dengan 1 kg emas, dikarenakan pala dianggap sebagai komoditas mewah dan sangat diminati di Eropa karena kegunaannya yang beragam, tidak hanya sebagai bumbu masakan tetapi juga sebagai obat-obatan dan pengawet makanan. Rempah-rempah lain yang berasal dari indonesai seperti lada berasal dari Jawa dan Sumatera. Ketika orang Belanda tiba pada akhir tahun 1500-an, perdagangan rempah di wilayah tersebut sudah memiliki sejarah yang dimulai sejak zaman kuno. Para pedagang, mungkin pedagang Persia atau Arab, yang memperkenalkan cengkeh ke Eropa sekitar abad ke-2, tidak mengetahui sumber asli rempah-rempah tersebut, dan hal ini tetap tidak diketahui hingga sekitar abad ke-12. Monopoli darat dalam pasokan rempah-rempah ke Eropa melalui Mediterania timur dipatahkan pada tahun 1497 ketika penjelajah Portugis Vasco da Gama mengelilingi Tanjung Harapan dan berlayar ke India. Portugal mengembangkan dan mempertahankan cengkeraman pada perdagangan rempah selama abad ke-16. Dan sekarang VOC mencoba untuk memonopoli perdagangan tersebut. Jan Pieterszoon Coen adalah salah satu gubernur jenderal yang paling terkenal dalam sejarah VOC. Coen yang keras dan tegas memahami masalah ini. Dia berpendapat bahwa VOC harus terlibat dalam sistem perdagangan Asia di luar produk yang ditujukan untuk pasar Eropa dan perusahaan harus mengontrol lokasi kunci melalui penegakan militer dan pos-pos tetap. Beberapa direktur VOC menentang Coen, tetapi States Generaal menuntut agar VOC mempersenjatai kapal-kapalnya dan melaksanakan operasi militer untuk mengalihkan ancaman Portugis dan ancaman yang meningkat dari Inggris. armada VOC di bawah komando Laksamana Steven Van der Hagen menyerbu dan dengan cepat mengambil alih Fortaleza Nossa Senhora da Annunciada, sebuah benteng Portugis lama di Ambon di Kepulauan Rempah-Rempah. Pendekatan Portugis dulunya yang sering mempromosikan agama Kristen tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat yang memiliki budaya dan seni tersendiri. Berbeda dengan VOC, Belanda lebih bersikap lunak terhadap isu agama dan budaya. Benteng itu kemudian diubah namanya menjadi Kasteel Victoria dan menjadi basis utama serta pusat perdagangan VOC di Asia hingga tahun 1619. VOC menyadari bahwa untuk memaksimalkan keuntungan, mereka membutuhkan monopoli perdagangan rempah-rempah dunia, yang mengharuskan mereka memiliki pangkalan permanen di Indonesia. Mereka awalnya berdagang dengan penduduk lokal, tetapi segera beralih ke taktik yang lebih keras untuk mendominasi perdagangan dan produksi rempah-rempah. Berbeda dengan Laksamana Hagen, Jan Coen adalah seorang administrator yang keras, dan strateginya adalah untuk menaklukkan Kepulauan Banda dan mengamankan monopoli atas pala dan biji pala. dengan armada 13 kapal, Coen bersama 1655 tentara dan 250 tentara bayaran Jepang, mendarat di Lontor (sekarang Banda Besar), pulau terbesar di Kepulauan Banda. Peristiwa ini dikenal sebagai Pembantaian Banda. Oleh karena itu, budidaya pala di Kepulauan Banda memerlukan impor tenaga kerja budak dari Jawa. Perusahaan Hindia Timur Belanda kini memiliki monopoli atas produksi pala dan biji pala, dan hingga sekitar tahun 1760, keuntungan tahunan perusahaan adalah enam juta gulden, atau sekitar 9 triliun rupiah. Serangan terhadap Lontor atau Banda Besar mengakibatkan kematian sekitar 2.800 orang Banda, kebanyakan karena kelaparan, dan 1.700 lainnya diperbudak. Populasi total kepulauan diperkirakan 15.000 orang sebelum penaklukan. Diperkirakan bahwa sekitar 14.000 orang tewas, diperbudak, atau melarikan diri, dengan hanya 1.000 orang Bandanese yang bertahan di kepulauan, tersebar di kebun pala sebagai pekerja paksa. dengan 200 budak diimpor setiap tahun untuk mempertahankan populasi budak sebanyak 4.000 orang. Pemerintah Belanda memberikan monopoli perdagangan kepada perusahaan di perairan antara Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika dan Selat Magelhaens antara Samudra Atlantik dan Pasifik dengan hak untuk menyimpulkan perjanjian dengan pangeran pribumi, membangun benteng, memelihara pasukan bersenjata, dan menjalankan fungsi administratif melalui pejabat yang harus bersumpah setia kepada pemerintah Belanda. Kebijakan 'perdagangan-dengan-senjata' dari States Generaal menyebabkan para direktur mengajukan petisi pada tahun 1617 dengan berpendapat bahwa perusahaan komersial seharusnya tidak menanggung beban keuangan dari kepentingan militer negara. termasuk pembangunan benteng, pembelian kapal seharga 100.000 gulden per kapal, dan perlengkapan kapal dengan meriam. Dengan armada sekitar 150 kapal yang berlayar melalui Tanjung Harapan menuju Hindia Timur, dan berhenti di berbagai pelabuhan untuk mengumpulkan rempah-rempah serta komoditas lainnya, pelayaran bisa berlangsung hingga tiga tahun. Awak kapal harus menandatangani kontrak kerja selama minimal tiga tahun, dan kapal yang kembali seringkali membutuhkan perbaikan mahal. Ini berarti bahwa pengembalian kargo yang dapat dijual dengan keuntungan membutuhkan waktu yang lebih lama. Solusinya adalah mendirikan pijakan permanen di Asia, menjalin hubungan dagang yang kuat, dan menegosiasikan harga terbaik. Jan Pieterszoon Coen melihat kebutuhan akan markas besar timur untuk VOC dan pusat administratif permanen di mana barang-barang bisa disimpan dan dikirim kembali ke Eropa. Coen percaya bahwa kekuatan diperlukan untuk memperluas pengaruh VOC. dan menyerang kerajaan Banten dan Jayakarta sebelum membakar kota Jayakarta dan membangun Batavia di atas puing-puing kota tersebut. Coen secara agresif mengambil alih Jayakarta dari pengaruh Sultan Banten dengan menggunakan kekuatan militer. Batavia dikembangkan menjadi pusat administratif dan militer VOC, dan dari sini, VOC mengendalikan operasi perdagangannya di seluruh Asia Tenggara. Dengan pulau Jawa sebagai markasnya, VOC menyebar ke seluruh Timur Jauh. Pabrik mereka di India menghasilkan sutra dan kain yang indah, yang kemudian dikirim VOC ke Jepang untuk ditukar dengan pasokan perak yang terkenal dan penting. VOC juga memperoleh sutra dari Cina, yang juga menghasilkan porselen yang berharga. Yang penting, margin keuntungan yang diperoleh VOC dengan memonopoli rute perdagangan ini mencapai 1500%, dan semua uang ini tentu saja dialirkan ke Belanda. VOC, bersama dengan Wes India Company (WIC), perusahaan dagang Belanda lain yang beroperasi di Amerika dan Afrika Barat dengan tujuan yang sama dengan VOC, yaitu ekspansi global. Mereka menggunakan kekerasan dalam menyerang pemukiman Portugis dan Spanyol di berbagai wilayah seperti Chile, Brasil, Afrika Timur dan Barat, Teluk Persia, India, Srilangka, Cina, Filipina dan Indonesia Ini dapat dianggap sebagai semacam “perang dunia awal”. Kita tahu bagaimana VOC bertindak di Hindia Belanda atau Indonesia dengan berperang terus menerus dengan kerajaan lokal dan pesaing Eropa untuk mengamankan monopoli perdagangan rempah-rempah. Namun, tidak hanya di Hindia Belanda, di Ceylon (sekarang Sri Lanka) dan Malabar (India), VOC secara agresif mengambil alih kekuasaan dari Portugis, menggunakan taktik militer untuk mengendalikan perdagangan rempah-rempah yang sangat menguntungkan. Di Cina dan Filipina, VOC mencoba, meski dengan keberhasilan yang beragam, untuk mengganggu perdagangan Portugis dan Spanyol, termasuk upaya-upaya untuk menyusup ke pasar lokal dan mengendalikan pelabuhan strategis. Ini bisa dikatakan semacam "perang dunia awal", di mana konflik dan kompetisi tidak hanya terbatas pada satu wilayah atau antara dua negara, tetapi melibatkan banyak entitas kolonial di berbagai benua. Dalam proses ini, kedua perusahaan Belanda tersebut menggunakan taktik yang melibatkan kekerasan, spionase, dan diplomasi yang agresif. Mereka tidak hanya bertarung untuk sumber daya dan keuntungan ekonomi, tetapi juga untuk supremasi politik dan militer, mencerminkan dinamika kekuatan global pada masa itu. Ekspansi ini, sementara pada akhirnya menguntungkan bagi ekonomi Belanda, juga menimbulkan konsekuensi yang serius, termasuk perlawanan dari kekuatan lokal, kerusakan ekologis, dan penderitaan manusia yang besar, khususnya melalui perbudakan dan penindasan. Kisah VOC dan WIC menggambarkan awal dari era globalisasi dan kolonialisme yang akan membentuk dunia modern dalam berbagai cara yang kompleks dan sering kali tragis. Kisah VOC dan WIC menggambarkan awal dari era globalisasi dan kolonialisme yang akan membentuk dunia modern dalam berbagai cara yang kompleks dan sering kali tragis. mereka telah berpengalaman dalam praktik perbudakan di Hindia Timur. menyadari bahwa tenaga kerja budak diperlukan untuk pekerjaan berat. Awalnya, ada pertimbangan untuk memperbudak populasi Khoikhoi asli, tetapi ide tersebut ditolak karena dianggap mahal dan berisiko. Kebijakan upah rendah dan kondisi kerja yang diberlakukan oleh Belanda menyebabkan konflik dengan Khoikhoi. Pada akhirnya, VOC memutuskan untuk mengimpor budak dari tempat lain karena kekhawatiran bahwa budak lokal bisa melarikan diri dengan mudah. Populasi budak, yang sebagian besar laki-laki, terus bertambah melalui impor dan pertumbuhan alami, mencapai 16.839 pada tahun 1795 dan hampir mencapai 25.000 orang pada akhir abad ke-18. Keberhasilan awal VOC menarik lebih banyak investor, Indonesia, Afrika Selatan, serta Amerika Utara dan Selatan. Mereka memegang monopoli di Kepulauan Rempah, semua jalur perdagangan antara Afrika dan India, dan mereka adalah pemasok utama perak, tembaga, sutra, porselen, kapas, dan tekstil di dunia. VOC berhasil mengungguli pesaingnya dari Inggris dengan membanjiri pasar dengan lada, menurunkan harga pasar dan menghalangi EIC dari memperoleh pangsa pasar yang signifikan. Namun, nilai perdagangan rempah-rempah mulai menurun, dan kedatangan pesaing baru dari Prancis dan Denmark Perubahan selera dan permintaan di Eropa untuk barang Asia lainnya seperti teh, kopi, kapas, tekstil, dan gula, memaksa VOC meninggalkan usaha perdagangan rempah-rempah di pesisir Malabar di India pada awal abad ke-18. VOC kemudian mengalihkan strateginya ke perdagangan komoditas ber-volume tinggi dengan margin lebih rendah, yang membutuhkan peningkatan operasional yang signifikan untuk menghasilkan pendapatan yang sama. Untuk memfasilitasi ini, VOC memperluas armadanya dan mengamankan pinjaman untuk memperoleh logam mulia dari sumber-sumber non-Jepang untuk membiayai pembelian komoditas di pasar Asia. namun keuntungan dari ekspedisi ini hanya mencapai 78 persen. Era ekspansi ini meningkatkan biaya operasional VOC secara substansial dan mempengaruhi margin keuntungan serta pembayaran dividen kepada investor. Meskipun dengan pengembalian yang lebih rendah, perusahaan tetap mempertahankan kepercayaan pemegang saham dan melihat harga sahamnya mencapai rekor tertinggi pada tahun 1720-an. Terlepas dari apakah VOC atau Belanda adalah kekuatan dominan di Indonesia pada abad ke-17, kehadiran mereka tanpa diragukan lagi memulai perubahan yang sangat penting dalam jangka panjang. VOC adalah manifestasi dari bentuk kekuatan baru di kawasan tersebut. Perusahaan ini bukan hanya berdagang di area yang luas, tetapi juga memiliki kekuatan militer yang superior, dan seiring waktu, mempekerjakan birokrasi pegawai untuk mengurus kepentingannya di Hindia Timur. VOC berhasil mengenakan kehendaknya pada penguasa setempat dan memaksa mereka untuk menerima kondisi perdagangan yang ditetapkan. VOC meletakkan dasar-dasar imperium komersial Belanda dan menjadi kekuatan utama di kepulauan tersebut. Selama abad ke-17, VOC berhasil menguasai kontrol komersial di kepulauan Indonesia. membatasi Inggris—setelah periode persaingan sengit—ke sebuah pos dagang di Bengkulu di barat daya Sumatra, dan mendirikan jaringan pos dagang di pulau-pulau timur. Meskipun awalnya ingin membatasi aktivitasnya pada perdagangan, perusahaan ini segera terlibat dalam politik lokal di Jawa dan daerah lain, sering menjadi penengah dalam perselisihan dinasti dan konflik antar penguasa lokal. Ini membawanya ke konflik dengan VOC Belanda, dan dia mengepung benteng VOC di Batavia. Meskipun pasukan Agung akhirnya dipaksa mundur, hasil konfrontasi itu membuat kedua pihak, Belanda dan Jawa, saling menghormati kekuatan satu sama lain. Intervensi Belanda dalam urusan Jawa meningkat di akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, seiring dengan perselisihan internal dalam Mataram dan serangkaian perang suksesi. VOC menerima pelepasan wilayah Preanger di Jawa Barat. Ini merupakan salah satu dari serangkaian kemajuan teritorial yang signifikan. sebagai imbalan lebih lanjut atas pelepasan wilayah. Dengan cara ini, hampir seluruh Jawa secara bertahap berada di bawah kontrol Belanda, yang kemudian dibagi menjadi dua kepangeranan, Yogyakarta (Jogjakarta) dan Surakarta (Solo). Dalam upaya mengontrol perdagangan lada di Sumatra, VOC mendirikan pos di barat Sumatra dan di Jambi dan Palembang selama abad ke-17, sering kali campur tangan dalam konflik lokal untuk mendukung penguasa yang bersimpati dengan mereka. Ekspansi utama Belanda di Sumatra tidak terjadi hingga abad ke-19. Dalam memperoleh tanggung jawab teritorial, VOC awalnya tidak menetapkan sistem administrasi sendiri yang ketat di daerah yang berada di bawah kendali langsungnya. Sebaliknya, VOC mengambil alih kedaulatan dari istana kerajaan dan mewarisi struktur otoritas yang ada. Aristokrasi pribumi mengatur pengumpulan upeti atas nama perusahaan, dan hanya secara bertahap sistem ini dikonversi menjadi birokrasi yang lebih terformalisasi. Seperti istana kerajaan sebelumnya, VOC memperoleh pendapatan dalam bentuk hasil produksi dari petani dalam wilayahnya. Pada puncak kejayaannya di pertengahan abad ke-17, VOC mendominasi perdagangan rempah-rempah dan menjadi salah satu perusahaan terkaya abad tersebut. Namun, menjelang akhir abad ini, serangkaian faktor internal dan eksternal berkonvergensi yang pada akhirnya menyebabkan kejatuhannya. Selera konsumen Eropa bergeser dari rempah-rempah ke komoditas seperti teh, kopi, dan gula, yang menawarkan keuntungan lebih besar. VOC kehilangan dominasinya karena Inggris dan EIC mengambil alih posisi dominan dalam perdagangan dan produksi komoditas baru ini. Penyelundupan dan perluasan budidaya rempah-rempah ke wilayah lain, seperti pala ke Karibia dan cengkeh ke India, mengurangi monopoli VOC di pasar global. VOC juga terbebani oleh biaya administrasi yang sangat tinggi, termasuk biaya untuk mempekerjakan perwira militer, prajurit, dan karyawan yang diperlukan untuk mempertahankan monopoli perdagangannya. menunjukkan beban keuangan yang berat pada operasi perusahaan. Dan semakin kesini, VOC semakin terlibat dalam politik lokal di Jawa dan wilayah lain, sering kali bertindak sebagai penengah dalam konflik dinasti dan perselisihan antar penguasa lokal. Ini bukan hanya mengalihkan perusahaan dari fokus utamanya pada perdagangan, tetapi juga menambah beban finansial karena keterlibatan dalam konflik dan perang suksesi Jawa yang panjang dan mahal. Selama abad ke-18, VOC berubah dari perusahaan pengiriman komersial menjadi organisasi teritorial yang fokus pada hasil pertanian di kepulauan Indonesia. Di akhir abad ke-18, perusahaan ini telah menjadi korup dan serius terlilit hutang. Negara belanda juga terlibat dalam serangkaian konflik dengan Inggris yang mengganggu operasi VOC di Asia. berujung pada kehancuran armada Belanda oleh Angkatan Laut Britania pada tahun 1780, memperparah situasi VOC. Tambah lagi, invasi Republik Prancis pada tahun 1795 memperburuk situasi, menghilangkan setiap peluang pemulihan bagi VOC. Pada akhirnya, kombinasi dari pergeseran dalam preferensi pasar global, beban biaya yang berat, keterlibatan politik yang mahal, dan konflik militer yang merugikan menciptakan badai sempurna yang menghancurkan VOC. Tanpa perdagangan rempah-rempah sebagai sumber pendapatan utama, Belanda kehilangan statusnya sebagai kekuatan global di panggung dunia. Namun, satu hal yang paling krusial yang merupakan faktor terbesar dalam kejatuhan VOC adalah korupsi. Yang membuat namanya terkenal menjadi menggunakan baris-baris tersebut sebagai bagian dari argumennya untuk menghapuskan perusahaan berpiagam seperti VOC. Ia menunjukkan bahwa direktur VOC mendapatkan keuntungan besar dari struktur monopoli ini, sementara pemegang saham tidak mendapatkan apa-apa, yang menggambarkan ketidakadilan ekonomi yang dihasilkan dari sistem monopoli. Argumen de la Court ini adalah bagian dari pandangan yang lebih luas yang mengkritik bagaimana VOC mengoperasikan monopoli perdagangannya, yang menurut banyak orang, merugikan ekonomi Belanda secara keseluruhan karena menghambat persaingan dan inovasi. Meskipun pandangan ini bukan tanpa penentang—VOC sendiri menggunakan propaganda untuk memperkuat citra positif dan menunjukkan dirinya sebagai entitas yang mengatur perdagangan dunia dengan efektif kritik terhadap monopoli VOC tetap ada sepanjang abad ketujuh belas. Penilaian masyarakat terhadap administrator VOC dan manajemennya di luar negeri tidak selalu positif, sebagaimana dicatat oleh Nicolaus de Graaff. Ada persepsi umum bahwa tidak ada yang akan bekerja di Asia hanya untuk 'gaji bulanan sederhana' tanpa adanya keuntungan lain yang lebih besar. Agak mirip-mirip sebenarnya. Keluhan terhadap direktur dan penyalahgunaan finansial mereka sering kali diungkapkan melalui petisi dan pamflet, yang memicu tuntutan reformasi. Korupsi dalam administrasi VOC, khususnya dari pejabat yang bertugas di luar negeri, menjadi isu yang semakin mengemuka seiring waktu. Kekhawatiran tentang pejabat yang bertugas di luar negeri dan perdagangan ilegal mereka memicu resolusi dan kebijakan perusahaan yang sering kali berfokus pada isu tersebut. Pejabat VOC seringkali terlibat dalam penggelapan, nepotisme, dan perdagangan pribadi ilegal. Bahasa seputar korupsi, seperti "corruptie" dan "corrumperen", secara eksplisit muncul dalam dokumen administratif, mengindikasikan kesadaran dan penolakan terhadap praktik semacam ini. Sumpah yang diambil oleh pejabat VOC melarang favoritisme dan penyuapan, tetapi realitanya sering kali berbeda. Faksionalisme juga menonjol dalam administrasi VOC, dengan elit politik sering kali menempati posisi ganda di Perusahaan dan institusi politik Republik. Ini menciptakan jaringan hubungan pribadi, keluarga, dan politik yang rumit yang berdampak pada distribusi posisi dan pengambilan keputusan dalam Perusahaan. Kesetiaan terhadap sekutu politik ditekankan, tetapi pelanggaran batas normatif sering kali tidak ditoleransi. Pada akhir abad ke-18, korupsi dalam VOC semakin merajalela, menyebabkan organisasi tersebut menjadi tidak sehat dan rapuh. Praktik suap, jual beli jabatan, dan upeti dari bawahan kepada atasan menjadikan pegawai VOC berlomba-lomba untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Kegiatan ini mengakibatkan pengabaian terhadap kepentingan organisasi, yang pada akhirnya mempercepat kemunduran VOC. Salah satu contoh paling mencolok dari korupsi VOC adalah kasus yang mengumpulkan sepuluh juta gulden hanya dalam waktu lima tahun dari gaji resmi tahunan 14.000 gulden. Kebebasan para pejabat tinggi untuk berbisnis sendiri, yang dikenal sebagai "morshandel" atau perdagangan sisa, sering disalahgunakan, dan ini memungkinkan barang-barang pribadi mereka melebihi barang resmi dalam pelayaran VOC. Korupsi ini mencakup manipulasi timbangan, harga, dan bahkan penjualan posisi dan monopoli seperti opium dan garam, sehingga para pejabat VOC menjadi kaya sementara perusahaan itu sendiri semakin miskin. Peristiwa ini, seperti yang dijelaskan dalam "Amfioen Society," menyoroti bagaimana VOC harus membayar harga monopoli kepada EIC untuk memperoleh opium dari Bengal, sementara secara internal, korupsi merajalela. Korupsi merajalela di Pasar Ikan dan Pelabuhan Sunda Kelapa, di mana VOC mengendalikan setiap kapal yang masuk harus membayar biaya ilegal. Masalah korupsi ini telah menyebabkan VOC berutang sekitar $70 juta, dan banyak ahli menganggapnya sebagai faktor utama kehancuran VOC. Korupsi semakin mendalam dan tidak hanya melibatkan pejabat VOC tetapi juga pemimpin lokal, mereka seringkali berkolusi untuk keuntungan pribadi. Hasil dari korupsi yang meluas ini adalah berbagai pejabat kembali ke Belanda dengan kekayaan yang sangat berlebihan, menunjukkan ketidakadilan yang terjadi dalam pengelolaan perusahaan. Akibatnya, VOC, setelah bertahun-tahun dihantam skandal korupsi, terpaksa menghadapi kebangkrutan pada akhir abad ke-18. meninggalkan warisan yang dicemari oleh korupsi dan mismanajemen yang pada akhirnya merugikan baik koloni maupun kerajaan Belanda. Sejarah korupsi di Indonesia berkaitan erat dengan era kolonisasi Belanda, terutama melalui kejatuhan VOC ini. bahwa ia menjadi sangat kaya karena menerima suap dari penduduk lokal sebagai imbalan atas jabatan yang diberikan. Kasus ini menunjukkan bagaimana korupsi yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan merugikan keuangan publik dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan. Kasus Engelhard sering dijadikan contoh tentang bagaimana korupsi telah mengakar dalam sejarah Indonesia, dari masa kolonial hingga kontemporer. Korupsi, baik pada masa lalu maupun sekarang, umumnya melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, ketamakan individu, dan kurangnya transparansi serta akuntabilitas. Meskipun konteks sosial, ekonomi, dan politik bisa berbeda di setiap era, elemen-elemen fundamental korupsi tetap sama. Di era modern, walaupun teknologi informasi dan kebijakan anti-korupsi lebih maju, tantangan utamanya tetap sama: mengatasi ketidakadilan dan ketidakseimbangan kekuasaan yang memungkinkan korupsi terjadi. Meskipun VOC tetap menjadi kekuatan yang dominan hingga pertengahan abad ke-18, manajemen yang buruk dan perang antara Inggris dan Belanda pada akhirnya membawa perusahaan ini ke pembubaran pada tahun 1799, dengan koloni-koloninya menjadi bagian dari koloni Belanda. Termasuk Indonesia. Kisah VOC menawarkan wawasan penting tentang kapitalisme dan interaksi antara perusahaan dan negara. Sebagai perusahaan yang didukung pemerintah, VOC berhasil mendominasi perdagangan global. Namun, keberhasilan ini berakhir ketika intervensi kepentingan pribadi mengganggu administrasi yang efektif, dan menunjukkan risiko ketika perusahaan memiliki lebih banyak kekuatan daripada negara, yang bisa berujung pada penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan terhadap rakyat yang diperintah. VOC bukan hanya perusahaan perdagangan biasa perusahaan ini membentuk sejarah global dan memiliki pengaruh mendalam terhadap interaksi antarbangsa selama era modern awal. VOC menunjukkan bahwa keberlanjutan jangka panjang suatu entitas korporat tergantung tidak hanya pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada tata kelola yang etis dan pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab. Perusahaan Hindia Timur Belanda sangat penting sebagai pelopor banyak struktur dan sistem perusahaan yang kita kenal hari ini, membangun jembatan antara Timur dan Barat melalui rantai pasokan yang efisien yang mengirim rempah-rempah, porselen, tekstil, dan barang lainnya, sekaligus menjadi kekuatan kolonial di Asia. VOC walaupun kita mmeiliki kritik atas tindakan kurang etis yang mereka lakukan dalam proses mencapai keuntungna mereka. VOC tetaplah memberikan pengaruh yang dalam sejarah manusia, dan mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga perilaku etis dalam mencoba untuk mencapai suatu tujuan.