Transcript for:
Mengungkap Perbudakan Modern

Hari ini, perbudakan modern tidak selalu dipaksakan. Dia bersifat sukarela. Dia dijalani dengan penuh kesadaran oleh banyak orang yang terus berjalan tanpa menyadari rantai di kaki mereka. Sejarah hanya berganti bentuk. Jika dulu rantai terbuat dari besi, kini... banyak yang menjelma menjadi kontrak, utang, bahkan narasi. Dulu pecut ada di tangan majikan, kini dia tersembunyi dalam tekanan sosial, ambisi yang dikendalikan iklan, dan ketakutan akan kehilangan status. Para budak hari ini tidak selalu perlu dipenjara, karena batas-batas itu telah tertanam dalam pikiran mereka sendiri. Mereka tidak diajari untuk mempertanyakan struktur yang membentuk penderitaan mereka. Mereka telah kehilangan sesuatu yang dulu membuat para budak melawan, yaitu kesadaran bahwa mereka bisa memberontak. KISAH BUDAK Banyak budak modern bekerja. Mereka membangun dunia, tapi bukan untuk dirinya sendiri. Dunia yang mereka tinggali mulai kehilangan warna, aroma, bahkan makna. Mayoritas di dalamnya hanya roda ekonomi yang terus berputar. Mencipta, bukan semata-mata untuk manusia, tapi untuk mempertahankan sistem itu sendiri. Setiap hari dunia menjadi semakin bising, semakin kotor, semakin mirip seperti pabrik, tembok, pagar, jalan tol, menciptakan sekat-sekat yang membelah keharmonisan. Dunia telah berubah menjadi jalur distribusi raksasa, lebar. efisien, tanpa hambatan. Gunung dipangkas, lahan dirampas, hutan digunduli. Semua ini demi satu tujuan, yaitu kelancaran arus perdagangan. Dan di sela-sela pilar beton itu, manusia berdesakan di kotak-kotak sempit yang mereka sebut sebagai rumah. Ruang hidup mereka semakin mengecil, semakin padat, semakin menyesakan. Seringkali mereka terobsesi dengan sebuah barang. Membeli, mengoleksi. Seringkali mereka percaya bahwa kebahagiaan selalu ada di ujung pembelian berikutnya. Di saat yang sama, industri dengan cermat menjual sebuah ilusi bahwa kekosongan itu bisa diisi dengan sesuatu yang bisa dibeli. Baudrian pernah berkata bahwa kita tidak hanya membeli barang, tapi makna sosial yang melekat padanya. Sebuah identitas yang dibentuk oleh pasar. Dan ironisnya, semakin banyak barang yang kita kumpulkan, semakin absurd untuk memahami. Kebahagiaan seperti apa yang sebenarnya sedang kita kejar? Masyarakat modern itu lebih sibuk memiliki daripada menjadi. Sampai akhirnya segala yang kita miliki kini justru memiliki kita. yang dipercaya untuk menjadi sustainable, atau eco-friendly, atau carbon neutral, telah mengembang. Anda tahu, ada pengetahuan yang telah diperoleh sekarang, yang benar-benar berkembang setiap tahun, bahwa kita perlu melakukan sesuatu untuk planet. Dan jadi pengetahuan yang diperoleh oleh konsumen adalah atraktif untuk marketer, karena mereka bisa mempromosikan produk yang lebih hijau. Jika kalian mengira bahwa konsumsi hanya soal barang, kalian salah. Bahkan sesuatu yang esensial, seperti makanan, itu telah berubah menjadi permainan industri. Banyak manusia modern, itu bahkan tidak lagi memilih makanannya. Waktu yang terbatas membuatnya bergantung. pada makanan instan. Di sisi lain, ada sebuah ironi. Kelimpahan pangan di rak-rak toko bukan tanda kemakmuran. Itu adalah gejala dari sistem yang memprioritaskan produksi masal daripada keseimbangan ekologi. Konsekuensinya, lingkungan tempat kalian tinggal terus tercemar dan ketimpangan yang semakin tajam. Karena, coba kalian pikirkan, jika sistem ini benar-benar menciptakan keberlimpahan, di satu tempat, bagaimana mungkin masih ada kelaparan dan kekurangan di tempat lain? Disinilah letak paradoksnya. Dalam ekonomi yang digerakkan oleh kapital, makanan bukanlah sebuah hak, melainkan komoditas. Dan untuk mendapatkannya, seseorang harus menjual dirinya, waktu, tenaga, dan kebebasannya. Kelimpahan yang kita anggap normal, itu memiliki harga yang jarang terlihat. Eksploitasi tenaga kerja, perampasan lahan, ketimpangan sosial, dan degradasi lingkungan. Perampokan sumber daya, produksi tanpa batas, limbah yang menumpuk. Kita semua tahu itu, dan itu mengancam keberlangsungan hidup planet ini dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya. Tapi dalam sistem hari ini, agar kapitalisme tetap berjalan, maka roda pertumbuhan harus tetap berputar. Produksi, produksi, dan terus produksi. Ironisnya, mereka yang paling banyak mencemari, kini menyamar sebagai penyelamat. Mereka menyuruh kita untuk mengganti sedotan plastik, mengurangi jejak karbon. Semua itu benar, tapi hanya menyentuh sisi permukaan. Kampanye ini mengalihkan fokus dari masalah utamanya, yaitu mesin-mesin korporasi yang terus menggeruk hasil bungi. Pandangan pseudo-ekologis ini sering diulang-ulang, terus-menerus oleh para politisi korup, yang menjual janji sambil menandatangani kontrak baru dengan korporasi yang sama. menumpahkan beban di pundak rakyat kecil. Sementara sistem, yang sebenarnya bertanggung jawab, tetap nggak tersentuh. Mereka bilang dunia akan berubah, tapi tanpa perubahan sistemik, semua yang disebut reformasi hijau, itu cuma kosmetik. Ini yang gemoy ini yang begitu sekarang menjadi perhatian, menarik perhatian para... Tumbuh secara organik loh. Bukan kami yang bikin ini gemoy. Bukan. Ini Dalam dunia politik, banyak budak yang berpikir bahwa dia punya suara dan kendali atas nasibnya. Sistem membuatnya percaya bahwa kebebasan itu nyata, bahwa dengan mencoblos nama di selembar kertas, dia telah menentukan. bukan masa depan. Namun pertanyaannya, apakah memilih atau tidak memilih itu berbeda secara fundamental atau sama saja? Perdebatan politik modern lebih sering menjadi pertunjukan remeh-temeh, bukan soal ide, tapi soal siapa yang bisa menipu. lebih meyakinkan. Lantas kita menyebut ini sebagai demokrasi. Kita menyebut ini sebagai kebebasan. Namun kebebasan macam apa yang membatasi peran rakyat hanya dalam satu tindakan, yaitu memilih. Demokrasi yang sesungguhnya itu tidak hanya hidup di bilik suara, tapi dalam diskusi publik yang bebas, dalam ruang-ruang deliberasi yang benar-benar mewakili rakyat. Bukan dalam ruang parlemen tertutup yang diisi oleh kelas ekonomi dominan yang berutang budi. pada kepentingan penguasa. Sistem hari ini, dengan segala janji kebebasan dan kesetaraannya, tetap bertumpu pada satu hal, yaitu dominasi. Di era modern, dominasi telah dirancang jauh lebih halus, dibungkus lebih rapi, dibuat agar tampak seolah rakyatlah yang memilih untuk ditindas. Pertanyaannya, bagaimana mungkin sebuah sistem yang menindas justru diterima tanpa banyak pertanyaan? Salah satu jawabannya, ada pada bahasa. Dominasi atas persepsi, kesadaran, atau bahkan pilihan itu tidak terjadi secara kebetulan. Dia adalah konsekuensi dari penggunaan bahasa. Sebuah alat yang memungkinkan kelompok dominan itu membentuk realitas sesuai kepentingan mereka. Kata-kata yang mereka gunakan itu bukan sekedar simbol komunikasi. Mereka adalah hasil dari manipulasi sistematis. Istilah seperti demi bangsa dan negara, rakyat kecil, kemajuan, kebebasan, demokrasi, dan seterusnya seringkali tidak mencerminkan realitas, melainkan kepentingan bagi pihak yang mendefinisikannya. Penting untuk dipahami bahwa bahasa yang dikendalikan itu melahirkan batasan berpikir. Ketika konsep-konsep tertentu menjadi seolah-olah mutlak, Kita jadi berhenti mempertanyakannya. Banyak orang menerima sistem itu bukan karena mereka setuju, tapi karena mereka tidak diajarkan untuk melihat alternatif lain. Dan inilah mengapa bahwa perubahan tidak hanya cukup dengan sekedar tindakan di lapangan, tapi juga memerlukan kekuatan narasi hingga memahami makna dari sebuah bahasa. Jadi bagaimana kita bisa keluar dari dominasi ini? Jawabannya bukan sekedar merebut kembali bahasa, tapi memahami bagaimana bahasa bekerja. Siapa yang ada di baliknya, siapa yang mengendalikannya, dan bagaimana kita bisa menggunakannya secara lebih kritis. Alih-alih sekedar mengulang kata-kata yang diwariskan oleh sistem, kita bisa mulai mempertanyakan. Misalnya, apa yang sebenarnya dimaksud dengan kemajuan? Kemajuan bagi siapa? Atau apa yang terselubung di balik istilah kebebasan? Kebebasan untuk siapa? Dan seterusnya. Kesadaran kritis ini adalah langkah pertama. Karena selama bahasa dan makna itu dikendalikan, maka realitas pun akan tetap dikunci dalam perspektif tunggal demi keuntungan segelintir orang. Dan ketika kita mulai kritis terhadap bahasa, kita tidak hanya mengubah cara kita berbicara, tapi kita mengubah cara kita melihat dunia. Banyak budak modern itu menghabiskan hidupnya dalam kesibukan yang nggak pernah dia pertanyakan. Sejak kecil, kebanyakan dari mereka diajarkan satu hal, yaitu patuh. Kepatuhan bukan sekedar kebiasaan, dia telah menjadi konstruksi sosial. Mengikuti tanpa bertanya, menerima tanpa meragukan. Dia menaati para pemilik modal, dia tunduk pada hukum dan aturan yang seringkali disusun bukan untuk melindunginya, tapi untuk memastikan bahwa dia tetap berada dalam barisan. Sebab melawan berarti mengambil risiko. Bertanya berarti keluar dari jalur. Dan keluar dari jalur berarti menghadapi ketidakpastian. Ketidakpastian itu menakutkan. Kebanyakan orang gentar jika harus berjalan tanpa sistem yang mengarahkannya. Dia nggak bisa membayangkan hidup tanpa aturan yang telah membentuknya dari kecil. Maka dia terus tunduk, bukan karena percaya, tapi karena takut dia merasa gak punya pilihan lain. Dan selama ketakutan itu ada, maka rantai di lehernya gak perlu dikunci. Tapi, menguasai tubuh seorang budak itu tidak cukup. Sistem harus menaklukkan hati dan akal mereka. Layar yang kita tatap setiap hari menjadi alat yang paling efektif untuk menanamkan ideologi dominan melalui normalisasi. Citra kehidupan sempurna terus-menerus ditampilkan. Ingin sukses? Beli produk ini. Ingin lebih percaya diri? Konsumsi ini. Ingin kebahagiaan? Kejar standar ini. Banyak dari kita diajarkan satu hal, bahwa nilai itu tidak datang dari siapa kita, tapi dari apa yang kita konsumsi. Ini adalah ilusi yang gak lebih menyedihkan dari kenyataan yang sebenarnya. Bahwa kita seringkali hanya memainkan perang sebagai seorang budak yang terjebak dalam konsumerisme. Dari industri yang ironisnya bicara soal kebebasan. Dan semakin kita berusaha memenuhi standar-standar ini, semakin kita merasa terasing. Kita bukan hanya mengikuti standar, mengikuti tren. Kita diajari untuk menginternalisasi perbudakan itu sendiri. Sistem dominan hari ini tidak memerintah dengan cambuk atau rantai, tapi dengan ilusi pilihan bebas. Dia tidak sekedar mengontrol ekonomi, dia membentuk cara manusia berpikir. Pasar bukan hanya tempat transaksi, tapi dia telah menjadi ideologi. Menolak sistem ini bukan hanya sulit, tapi nyaris mustahil, kecuali dengan konsekuensi sosial dan ekonomi yang sangat berat. Banyak orang menyebut ini sebagai demokrasi liberal. Tapi kalau misalkan kita melihat lebih dalam, ini lebih menyerupai hegemoni pasar. Dominasi tidak lagi dipaksakan melalui kekerasan, tapi ditanamkan ke dalam kesadaran kolektif. Dulu, rezim otoriter mengontrol manusia dengan kekerasan. Sekarang, sistem ini menemukan cara yang lebih subtil, yaitu mengendalikan keinginan manusia itu sendiri. Tidak ada jeruji besi, tidak ada tiran yang mengangkat cambuk, sebab batas-batas itu telah tertanam dalam pikiran kita. Apa yang kita anggap mungkin atau mustahil? Masuk akal atau tidak, normal atau menyimpang, semuanya telah dikondisikan. Dia bersembunyi dalam bahasa yang kita gunakan, dalam budaya yang kita rayakan, dalam nilai-nilai yang kita terima tanpa banyak bertanya. Kita tidak perlu diancam atau dipenjara, karena pada akhirnya kita sendiri yang menjaga rantai ini tetap terpasang. Dan jika semua orang sudah menerima sistem ini sebagai satu-satunya pilihan yang masuk akal, Lantas bagaimana cara kita melawan sesuatu yang bahkan telah menjadi bagian dari diri kita?