Transcript for:
Diskusi Cinta di Taman

Terima kasih telah menonton! Ah, indahnya. Aku sangat senang sekali di sini. Untung belum ada yang mau makan. Itu. Ya, ini kan bangkuku. Pagi yang cerah. Cerah sekali. Tapi matahari agak panas, Senyora. Ah, kamu ini, Petra. Kamu kan masih 20 tahun. Rasanya lebih letih dari biasanya. Ah, Petra. Iya, Nyonya. Sana, kalau mau ngobrol dengan tukang kebunmu itu. Oh, dia bukan tukang kebun, kunyonya. Dia. Tukang kebun taman ini. Iya, memang. Tapi dia lebih tepat bila disebut tukang kebunmu daripada tukang kebun ini. Sana cari dia. Tapi jangan jauh-jauh ya, supaya dengar kalau aku panggil. Di sana. Oh, aku sudah melihatnya Nyonya. Oh ya? Iya, di sana. Menunggu. Sana pergilah, tapi jangan lebih dari 10 menit. Terima kasih Nyonya. Iya. Eh, Petra. Iya Nyonya. Remah-remah roti itu. Oh iya, kelupanya aku ini. Aku tahu pikiranmu itu pasti sudah lekat ke sana ya. Kesitu kan kebun itu. Ini nyanya? Ya. Adios. Hai ah itu mereka datang ha ha ha merpati merpati yang menis uh mereka tahu kapan harus menemui aku ah ah Nah ini, sebentar, nah ini, ini yang untuk yang putih, dan ini sebentar, untuk kamu ya yang coklat. Hai ah ini ini untuk yang paling kecil tapi kinesia hai hai Hai itu itu yang besar selalu makan lebih dulu kamu ketahuan dari kepalanya yang gede itu Oh Itu setelah mematuk lalu terbang kembali ke daan, bersunyi diri ya. Kayaknya dia itu suka filsafat ya. Tapi heran dari mana saja datangnya merpati-merpati ini ya. Eh, tidak usah bertengkar. Ini, ini. Masih banyak. Sebentar. Ini lagi. Sudah, habis. Besok aku bawakan... Banyak lagi ya. Buang-buang waktu saja. Mereka itu suka sekali bicara yang bukan-bukan. Iya, senyor. Haaa, duduk disana saja. Hanya ada seorang nyonya, Tuhan. Oh, tidak, Wanito. Aku ingin duduk di bangku tersendiri. Bangku tersendiri. Oke, biar saya carikan. Tetapi tidak ada tuan. Yang disana itu kan bangku. Oh iya. Yang disana ada tiga orang sedang duduk tuan. Singkirkan saja mereka. Waduh, yang satunya itu polisi. Ini tuan. Seperti lengket di bangku saja mereka itu. Memang, Tuan. Tak ada harapan lagi. Buan itu. Ayo. Siap, Tuan. Eh, hati-hati. Hati-hati. Senyura berbicara dengan saya. Iya, dengan Tuhan. Ada apa? Tuhan telah mengganggu burung-burung berbati saya. Apa dengan burung-burung ini? Tuhan, ini bagaimana? Ini taman umum, Senyura. Oh, jadi kenapa? Kenapa tadi Tuhan mengomel pada tiga orang yang di sana itu? Senyor, kita belum pernah jumpa. Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu kepada saya? Kau ini tuh, ayo kita cari lagi. Mari Tuhan. Oh kelakuan. Kenapa ya lelaki jadi tolo dan pandir kalau sudah semakin tua? Oh, oh dia marah-marah. Sukurin. Dia tidak dapat bantu. ayo ayo coba temukan bangku kalau kamu bisa itu dia kasian sekali yang mengusap keringat dikeningnya Oh itu dia kemarin lagi debu-debu banget seperti kereta rewat hai hai Hai apakah sudah pergi tiga orang yang ngobrol itu mana trobomu Oh ketinggalan di toilet Tuhan kamu masih muda lupa tunggu sebentar Tuhan Masih disana Mereka masih disana Tuhan Pali kota Seh Harusnya menaruh lebih banyak bangku-bangku di sini. Terpaksa juga aku duduk bersama wanita tua itu. selamat pagi jadi Tuhan kesini lagi ya Saya ulangi lagi Nyonya, kita ini belum pernah berjumpa. Saya ini hanya membalas selamat Tuhan tadi. Selamat pagi, seharusnya cukup dijawab dengan selamat pagi saja. Oh begitu ya, tapi kenapa Tuhan tadi juga mengomeli tiga orang yang di situ? Nyonya... Sekali lagi, saya ulangi sekali lagi, kita baru saja berjumpa. Hmm, iya, memang. Tapi Tuan seharusnya minta izin dulu untuk duduk di bangku saya ini. Ini kan bangku umumnya. Tapi kenapa tadi Tuan juga mengomeliti tiga orang yang di sana itu? Baik, baik. Sekian sajalah. Dasar perempuan tua. Pantasnya berada di rumah saja berdoa atau merindah atau semacam itulah. Iya Tuhan. Jangan mengoceh lagi. Tuh aku juga tak sudi pergi hanya untuk menyenangkan hatimu. Jangan itu. Buku. Pusan aku mendengar ocehan seperti ini. Alangkah kasarnya Tuhan ini ya. Maaf saja Nyonya. Tapi saya mengharap Nyonya tidak bernapsu untuk mencampuri urusan orang lain. Oh, saya ini biasa mengutarakan pikiran-pikiran saya Tuhan. Tuhan itu buku, buku mana? Ini Tuhan. Tuhan. Saya tinggal dulu ya. Mestinya sedikit disiram air. Tentu lebih bersih. Tidak berdebu lagi jadinya taman ini. Apalagi Nyonya? Tuan biasa menggunakan sapu tangan sebagai lap ya? Ah, kenapa tidak? Astaga. Oh, Tuan juga menggunakan lap tadi sebagai sapu tangan. Astaga. Nyonya itu tidak berhak untuk mengkritik saya. Iya Tuhan. Baik, saya mau membaca. Apalagi nyonya? Saya kira Tuhan mengeluarkan teleskop. Ah sudah, jangan bicara. Tentunya penglihatan Tuhan masih baik sekali ya. Ahai, jauh lebih baik daripada penglihatan nyonya. Ahai, ya tentu saja. Kalau tidak percaya, tanyakan. saja kepada burung-burung kelinci-kelinci. Oh, maksud Tuhan, Tuhan ini suka berburu kelinci, burung-buru, begitu? Ya, saya ini memang pemburu. Juga pemancing. bahkan sekarang pun saya sedang merencanakan berburu oh iya tentunya iya senyora setiap hari minggu saya menyadang bedil membawa joran bersama anjing saya saya pergi ke arah saga atau ke pantai ya iseng-iseng berburu membunuh waktu ahai Iseng-iseng berburu membunuh waktu. Apakah hanya waktu saja yang bisa Tuhan bunuhnya? Nyonya kira begitu. Saya bisa menunjukkan kepala beruang besar di kamar saya. Oh, dan saya bisa menunjukkan kepala singa yang lebih besar di kamar tamu saya. Walaupun saya bukan pemburu. Sudahlah nyonya, saya mau membaca percakapan cukup, ngomong putus. Ya, menyerah ya. Tapi saya mau mengambil ubat bersin dulu. Nyonya mau. Ya kalau cocok. Ini nomor satu. Nyonya pasti suka. Biasanya bisa menghilangkan pusing. Saya juga nyonya. Oh, Tuhan suka bersihin. Ya, tiga kali. Sama. Saya juga tiga kali. Coba. Oh, coba. Hmm Ah, iiih! Ah, iiih! Ihihih! Hai Agak enakan sekarang. Iya ya Tuhan. Saya juga merasa lebih enakan sekarang. Maafnya. Saya mau membaca. Membaca dengan keras. Tidak mengganggu kan? Silakan Tuhan, sekeras mungkin. Tuhan tidak lagi mengganggu saya. Obat bersin tadi kan telah menamaikan kita Tuhan. Segala cinta itu menyakitkan hati, namun betapapun juga pedihnya, cinta adalah sesuatu yang terbaik yang pernah kita punya. Baik ini dari penyair Kampu Amor. Ada lagi. Anak-anak dari para bunda yang pernah ku cinta, menciumku sekarang bagaikan bayangan hampa. Anak-anak dari para bunda yang pernah ku cinta. Baris ini agak lucu juga rasanya. Iya rasanya Tuhan. ada beberapa saja bagus dalam buku ini oh ya mau mendengar ya ya 40 tahun berlalu Ya pun, kembalilah. Cara Tuhan membaca dengan mengakai kaca pembesar itu sungguh menggelikan saya, Tuhan. Jadi, Yonya bisa membaca tanpa kaca pembesar? Haa, tentu saja Tuhan. Setuah itu? Iya. Haa, Yonya pasti main-main saja. Haa, coba saya pinggir buku Tuhan itu. Sini. Empat puluh tahun telah berlalu dan ia pun kembalilah masing-masing saling memandang berkata apakah dia orangnya? Ya Tuhan apakah betul orang itu? Bungku hebat, saya jadi iri dengan kelihatannya. Padahal aku hafal tiap kata dalam buku ini. Mari Tuhan. Ah, Nyonya. Iya. Saya ini gemar sekali dengan puisi-puisi yang bagus. Oh. Sungguh. Gemar sekali. Saya ini adalah sahabat dari eksprosoda. Oh. Zorila, Boskuer, dan penyair-penyair lain. Saya kenal dengan Zorila pertama kali di Amerika. Oh, Tuhan pernah ke Amerika? juga nyonya pertama kali saya ke Amerika saat itu usia saya masih enam tahun Oh tentu Tuan ikut itu Columbus tahun 1492 ah tidak seburuk itu nasib saya nyonya saya memang sudah tua Tapi saya tidak kenal dengan Raja Ferdinand, Ratu Isabella. Jadi ya belum setua itu. Saya ini juga sahabat dari penyair kampu amor. Berjumpa pertama kali di Valencia. Saya warga kota di sana. Apa betul? Iya nyonya, saya dibesarkan di sana. Bahkan masa mudaku habis di kota itu. Apakah Nyonya pernah ke Valencia? Iya, pernah. Tak jauh dari Valencia itu ada sebuah villa. Dan kalau masih berdiri sekarang... Bisa mendatangkan kenangan yang manis. Ya, saya pernah di sana beberapa musim, Tuhan. Ya, walaupun sudah lama sekali berlalu. Villa itu dekat laut. Tersembunyi di antara pohon-pohon jeruk. Ya, dan mereka menyebutnya Villa Marisela. Marisela? Iya, Marisela. Tuan pernah mendengarnya ya? Tak asing lagi nama itu. Kita tambah tua, tambah pelupa. Tapi saya masih ingat betul. Di villa itu, dulu ada seorang gadis paling cantik yang pernah saya lihat dan saya kenal. Namanya Laura Leorento. Laura Liorento? Benar. Ada apa Tuhan? Tidak apa-apa Tuhan. Hanya mengingatkan saya pada sahabat karib saya Tuhan. Aneh juga. Iya, memang aneh ya. Dia itu dijuluki Perawan Bagai Perak. Oh tepat, Perawan Bagai Perak. Ya, nama itulah yang terkenal di sana. Sekarang, saya seperti melihatnya kembali di jendela bersama kembang mawar merah itu. Nyonya ingat jendela itu? Ya, saya ingat itulah jendela kamarnya. Dulu dia suka berjam-jam di jendela. Iya memang, dia dulu memang suka begitu Tuhan. Dia itu gadis ilial. Manis bagai kembang lilia. Rambutnya hitam. Mengesankan sampai kapan saja. Sungguh menawan. Tubuhnya ramping sempurna, oh betapa Tuhan telah menciptakan keindahan seperti itu Dia seperti impian saja Kalau kau tahu impian itu sekarang ada di sampingmu Kau akan sadar Impian macam apa itu? Tuhan, dia itu gadis malang yang gagal cinta Tuhan. Alangkah sedihnya. Iya, Tuhan pernah mendengar kabarnya? Iya, pernah. Oh, nasib malang meminta yang lain. Gunsalu Gunsalu Si jago cinta itu Peristiwa cinta yang sama Duel itu Tepat, duel itu Si jago cinta itu adalah Saudara Sepupu saya Saya Sangat sayang sekali kepadanya Oh Saudara sepupu Ya Seorang teman menyurati saya dan bercerita tentang mereka itu, Tuan. Ya, saudara sepupu Tuan itu tiap hari lewat di depan jendela kamarnya dengan menunggang kuda. Lalu kemudian ia akan melempar seikat kembang ke atas. Yang segera diterima oleh gadisnya. Dan tak lama kemudian, saudara sepupu saya tadi lewat lagi untuk menerima kebang dari atas. Begitu kan? Iya, dan keluarga gadis itu ingin agar dia kawin dengan seorang saudagar yang tidak dia cintai, Tuhan. Dan pada suatu malam... Ketika saudara sepunggung tadi sedang menanti gadinya bernyanyi di bawah jendela. Laki-laki itu muncul dengan tiba-tiba. Dan menghina saudara Tuhan itu. Kemudian pertengkaran terjadi. Dan kemudian tuel. Ya, tepat. Waktu matahari terbit di tepi pantai. Dan si saudara itu luka-luka parah. Saudara sepupu saya tadi harus bersembunyi, kemudian melarikan diri. Tuhan sepertinya tahu betul cerita ini ya? Nyonya pun begitu juga agaknya. Oh, tapi... Sudah saya katakan tadi, saya ini tahu dari seorang sahabat yang menyurati saya, Tuhan. Saya juga mendapatkan cerita ini dari saudara sepupu saya, Nyonya. Dialah Laura. Kenapa aku menceritakan semuanya ini padanya? Dia curiga apa-apa? Dia sama sekali tidak bersalah. Tuan, apakah Tuan juga ya yang menasehati saudara sepupu Tuan itu untuk segera melupakan Laura? Oh tidak, Nyonya. Tidak. Saudara sepupu saya tadi tak... pernah melupakannya Oh ya Iya akan saya ceritakan segalanya kepada nyonya anak muda Don Gonzalo itu bersembunyi di rumah saya Takut menanggung akibatnya yang buruk setelah menang duel. Dari rumah saya, dia lari ke Madrid. Dia kirim surat-surat kepada Laura. Di antaranya sajak-sajak. Tapi tentunya surat-surat itu jatuh ke tangan orang tuanya. Buktinya tidak ada balasan. Kemudian Gonzalo pergi ke Afrika. Karena ia merasa cintanya telah gagal sama sekali. Lalu ia masuk tentara. kemudian terbunuh di sebuah selokan sambil berulang kali menyebut nama Laura yang sangat ia cintai Laura, Laura, Laura ah, dusta itu semua Tuhan tentunya sedih sekali ya Aku tak bisa berdusta, lebih mengerikan lagi. Tuan, Tuan merasa sendiri. Memang betul, Ibu. Dia sudah seperti saudara kandungku sendiri. Dan aku kira, tak lama kemudian, Laura telah melupakannya. Kembali berburu kupu-kupu seperti biasanya, tak pernah meratapinya. Oh, tidak. Sama sekali tidak, senyor. Hah, biasanya begitulah perempuan. Hah, tidak. Perawan bagai perak ini adalah perkecualian. Iya. Dia itu berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun menanti. Tapi tidak ada selembar surat pun yang tiba. Nah, ada suatu hari ketika semia menjelang, dia pergi dari rumahnya. Rukahnya tergesa menuju laut, tempat kekasihnya menjaga nama baiknya. Ia tuliskan namanya di pasir, lalu ia duduk di sebuah karang, mandang ke kaki langit. Oba menyanyikan tembang buka yang kekal dan menggapai karang itu. Air pasang pun segera tiba dan menyapu hadis itu dari muka bumi. Ya Tuhan. Ya. Nelayan-nelayan disana sering menceritakan bahwa nama yang ditulis oleh gadis itu lenyap, ditelan perpasang. Dia berdusta lebih mengerikan dari dustaku. Laura yang malam. Hai tak akan kuceritakan bahwa aku kawin dua tahun kemudian setelah duel itu takkan kuceritakan bahwa dua bulan kemudian aku mengawini gadis penari balet penari balet sialan itu hai hai Begitulah Tuhan, nasib ini memang selalu aneh ya. Di sini kita dua orang asing, Tuhan dan saya, dipertemukan kemudian. Kita saling menceritakan kisah cinta yang sama dari dua orang sahabat yang telah berpuluh tahun terjadi. Kok seperti akrab benar kita ini ya Tuhan? Padahal mula-mula kita bertemu, kita bertengkar. Iya, Tuhan juga bukan yang mengganggu merpati-merpati saya tadi? Memang agak kasar saya tadi. Ah, memang kasar Tuhan. Tuhan, besok datang ke sini lagi ya? Oh, tentu. Tentunya. Asal pagi seterah ini. Dan saya berjanji tidak akan menggaguh merpati-merpati itu lagi. Bahkan akan saya bawakan remah-remah roti. Ah, terima kasih Tuhan. Burung-burung itu selalu tahu berterima kasih. Tapi di mana ya ini pembantu saya tadi? Sebentar ya Tuhan, Petra. Tak akan ku ceritakan siapa aku ini sebenarnya. Petra. Aku sudah tua dan lemah, biarlah. Dia menganggankan aku sebagai lelaki penunggang kuda yang tampan, yang selalu lewat di bawah jendelanya. Petra! Ah, itu dia. Oh, itu Wan itu. Oh, dia sedang bercanda dengan gadisnya. Wan itu! Tidak, aku sudah berubah tua, lebih baik ia mengingatku sebagai gadis bermata hitam yang melempar bunga dari jendela. Tukang kebun memberikan ini untuk Nyonya. Aduh, indah sekali Petra. Masih segar lagi ya. Buat itu, kau sedikit lambat. Maklum, Senyor. Anak muda. Ah, kamu. Ada. Semua ini sungguh menyenangkan. Menyenangkan juga bagi saya, Tuhan. Sampai besok, Tuhan. Sampai besok, Tuhan. Agak panas hari ini. Pagi yang indah Tuhan Tuhan besok pergi ke bangku Tuhan itu ya? Oh tidak Nyonya, tidak Saya akan kemari saja Itu pun kalau Nyonya tidak keberatan Oh, bangku ini selalu akan menanti Tuhan Akan saya bawakan remah-remah roti. Besok pagi ya. Besok pagi. Ada apa Tuan? Buat itu, tunggu aku dong. Lewat sini Tuan. Tak salah, dialah Gonzalo. Siapa nyonya? Tak salah, dialah Laura. Terima kasih.