Wali Songo bagian 1 Sunan Gresik Pada abad ke-14 seorang ulama memulai perjuangannya menyebarkan agama Islam di Nusantara. Beliau dikenal sebagai Sunan Gresik, seorang ulama paling senior di antara para ulama dalam Wali Songo. Namanya adalah Sheikh Maulana Malik Ibrahim.
Beliau membangun sebuah pesantren di kawasan Gresik. Karena itulah beliau lebih dikenal sebagai Sunan Gresik. Beberapa ahli sejarah menyebutkan bahwa Sheikh Maulana Malik Ibrahim berasal dari kota Samarkan, Uzbekistan.
JJ Mesma, penyunting babat Tanah Jawi termasuk ahli sejarah yang menggunakan pendapat ini. J.P. Mauchet, ahli epigraf asal Perancis, berpendapat bahwa Sheikh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Kassan, kawasan Iran.
Epigrafi adalah cabang dari arkeologi yang mempelajari benda-benda bertulis yang berasal dari masa lampau. Orang yang ahli dalam epigrafi disebut dengan epigraf. Pada batu nisan makam Sunan Gresik, dapat sebuah tulisan yang berhasil diinskripsi dengan baik oleh J.P. Moket. Inskripsi ini dikutip oleh Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo.
Di batu nisan tersebut tertulis, Inilah makam almarhum al-Makfur yang mengharap rahmat Allah yang mahal luhur Guru kebanggaan para pangeran, tongkat penopang para raja dan menteri Siraman bagi kaum kafir dan miskin, syahid yang berbahagia dan lambang cemerlang negara dalam urusan agama Al-Malik Ibrahim yang terkenal dengan nama kakek bantal berasal dari Kasan Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridhonya dan menempatkan ke dalam syurga, telah wafat hari Senin 12 Rabiul Awal 822 Hijriah. G.W.J.Jrus dalam bukunya New Light on the Coming of Islam to Indonesia juga dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo, menganggap bahwa Sunan Gresik merupakan tokoh yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Dalam babat Ing Gresik, Ditulis bahwa sebuah kapal berlabuh di Gerwarasi pada tahun 1371 Mesehi Gerwarasi ini kemudian dikenal sebagai Gresik Kapal tersebut membawa dua persaudara keturunan Arab Yaitu Maulana Mahpur dan Maulana Ibrahim Selain dua persaudara juga turut rombongan berjumlah 40 orang Yang dipimpin oleh Syait Yusuf Mahrabi Gerwarasi atau Gresik merupakan wilayah yang masuk kekuasaan Majapahit.
Di abad ke-14, Majapahit merupakan kerajaan yang sudah beranjak senja. Pengaruh dan kebesaran Majapahit di Nusantara tinggal cerita masa lalu yang tidak mampu dilestarikan oleh generasi penerusnya. Kondisi Majapahit diperparah dengan perang saudara berlarut-larut melawan Belambangan. Setibanya di Tanah Jawa, rombongan Nallana Ibrahim pergi ke ibu kota kerajaan dengan tujuan menemui pemimpin Majapahit. Saat itu Majapahit dipimpin oleh Prabu Brawijaya.
Prabu Brawijaya menyambut baik kedatangan mereka, tetapi penguasa tertinggi Majapahit masih belum tertarik dengan ajaran Islam yang disampaikan. Maulana Ibrahim Pemimpin Majapahit kemudian Mengangkat Maulana Ibrahim Sebagai sahab bandar pelabuhan Gresik Prabu Brawijaya yang melihat Sifat-sifat bijaksana Serta keluasan ilmu pada diri Maulana Ibrahim memberinya Kepercayaan tersebut Prabu Brawijaya juga mempersilahkan kepada Maulana Ibrahim untuk menyebarkan Islam di Kresik. Sedangkan sumber-sumber lokal menyebutkan bahwa Malik Ibrahim pertama kali mendarat di desa Sembalo, Kresik bagian utara. Proses penyebaran agama Islam dimulai di desa Pasu Cinan. Di desa ini, Malik Ibrahim mendirikan sebuah masjid.
Malik Ibrahim juga melakukan aktivitas perdagangan di pelabuhan, tepatnya di pelabuhan desa Rumo. Menurut cerita setempat, Rumo berasal dari kata Rum atau Persia. Setelah merasa penyebaran Islam di Sembalo cukup berhasil, Maulana Ibrahim kemudian pindah ke desa Sawo di pusat Gresik. Tidak lama kemudian, Malik Ibrahim datang ke ibu kota Majapahit dan bertemu Prabu Brawijaya untuk menyampaikan agama Islam. Prabu Brawijaya masih enggan mengikuti ajaran Islam.
Namun, sebidang tanah di pinggiran Krosik dihadiahkan kepada Malik Ibrahim. Tanah yang diberikan oleh Prabu Brawijaya ini kemudian dikenal sebagai Desa Gapura. Di desa inilah Malik Ibrahim membangun pesantren sebagai pusat pendidikan agama Islam. Proses penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Sheikh Maulana Malik Ibrahim semakin berkembang.
Dari pesisir utara, Islam mulai dianut oleh penduduk Jawa. Meskipun rujukan sejarah mengenai Sheikh Maulana Malik Ibrahim mengalami perbedaan, namun terdapat persamaan tentang perjuangan beliau menyebarkan agama Islam tidak jauh dari ibu kota Majapahit. Perjuangan yang terus dilakukan hingga wafatnya pada 12 Rabiul awal 822 Hijriah atau 17 April 1419 Masehi.
Kisaran abad ke-15 Masehi, perkembangan agama Islam di Jawa maupun Nusantara mengalami kemajuan yang signifikan. Sunan Ampel memainkan peranan penting dalam proses Islamisasi Jawa pada khususnya dan Nusantara pada umumnya. Ampel Denta, sebuah tempat yang sekarang masuk wilayah Surabaya. Dari sinilah Sunan Ampel menggembleng para santrinya dalam rangka penyebaran agama Islam. Beberapa wali yang pernah mengenyam pendidikan di Ampel Denta adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Rajad.
Ampel Denta juga menjadi tempat pendidikan bagi Raden Patah dan Raden Kusen. Dua nama ini tercatat memiliki sumbangsih yang besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Sunan Ampel memiliki nama asli Ali Rahmatullah dalam tradisi Jawa. Sunan Ampel juga dikenal sebagai Raden Rahmat.
Beliau adalah putra dari Syekh Ibrahim dari kota Samarkan, Uzbekistan. Karena itulah ayah dari Raden Rahmat dikenal dengan nama Syekh Ibrahim As-Samarkandi. Syekh Ibrahim merupakan tokoh penyebar agama Islam di negeri Champa. Sekarang negeri Champa berada di kawasan Kamboja. Penyebaran agama Islam di Champa sangat berhasil.
Raja dan rakyat negeri Champa berbondong-bondong mengikuti ajaran Islam Sheikh Ibrahim kemudian menikah dengan salah satu puteri Raja Champa Dari pernikahan itulah lahir Ali Rahmatullah dan Ali Murtado Negeri Champa memiliki hubungan diplomatik yang cukup erat dengan Majapahit Majapahit sebagai negeri besar di Nusantara mulai kehilangan sebagian besar pengaruh dan kekuasaannya pada abad ke-15. Namun ketika itu Majapahit masih memiliki hubungan diplomatik dengan berbagai negeri di kawasan Asia Tenggara. Salah satu putri campa yang masih kerabat Raden Rahmat menikah dengan Prabu Brawijaya ke-5, pemimpin Majapahit. Pada tahun 1440 Masehi, sebuah rombongan berangkat dari Champa dengan tujuan Majapahit. Rombongan tersebut terdiri dari Syekh Ibrahim, Asam Merkandi, Ali Murtado, Ali Rahmatullah, Abu Hurairah, Putra Raja Champa, beserta sejumlah kerabat.
Dalam perjalanan, rombongan dari Champa singgah ke Palembang. Palembang saat itu dipimpin oleh Arya Damar. yang masih memiliki kekerabatan dengan keluarga Raja Majapahit.
Syekh Ibrahim dan rombongan kemudian bertemu dengan Arya Damar. Sekitar dua bulan Syekh Ibrahim dan rombongannya tinggal di Palembang. Dalam kurun waktu tersebut, Syekh Ibrahim berhasil membawa Arya Damar dan keluarganya menjadi Muslim. Setelah menjadi Muslim, Arya Damar mengubah namanya menjadi Arya Abdullah.
Perjalanan Syekh Ibrahim dan rombongannya kemudian berlanjut ke Majapahit. Mereka mendarat di sebuah tempat yang bernama Gizik di sebelah timur Tuban. Rombongan Syekh Ibrahim tidak merapat di Bandar Tuban.
Keputusan tersebut diambil karena Bandar Tuban merupakan pelabuhan utama Majapahit. Mereka memilih berhati-hati. Selama di Gizik, Syekh Ibrahim melakukan penyiaran agama Islam sekaligus menulis kitab. yang berjudul Usui Nembis masih dipelajari oleh kalangan pesantren hingga sekarang.
Syah Ibrahim tidak lama berdakwah di Kisik. Sepeninggal Syah Ibrahim, Ali Murtado, Ali Rahmatullah, dan Abu Hurairah berkunjung ke kota Raja dengan menempuh perjalanan darat. Kedatangan mereka di kota Raja disambut baik oleh Raja Majapahit.
Terlebih lagi, mereka adalah saudara dari istri pemimpin tertinggi Majapahit. Saat itu Majapahit dipimpin oleh Prabu Brawijaya V. Sementara itu ketika rombongan Sheikh Ibrahim As Samarkandi berangkat ke Jawa, negeri Champa diruntuhkan oleh sebuah kerajaan dari Vietnam. Oleh karena itu, Prabu Brawijaya V menyarankan rombongan Sheikh Ibrahim tidak kembali ke Champa, tetapi tetap tinggal di Majapahit. Prabu Brawijaya kemudian memberikan kehormatan kepada Ali Rahmatullah dan Ali Murtado. Ali Rahmatullah yang dikenal juga sebagai Raden Rahmat diangkat sebagai imam di Ampel Denta.
Posisi inilah yang membuat beliau lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Perjalanan dari kota Raja Majapahit menuju Ampel Denta, Raden Rahmat melewati beberapa tempat seperti Pari, Krian, Wonokromo, Gembang Kuning. Di tempat-tempat tersebut, Raden Rahmat juga menyebarkan agama Islam. Sesampainya di Ampeldenta, Raden Rahmat tidak hanya menjadi imam tetapi juga mendirikan sebuah pesantren.
Surabaya saat itu dipimpin Adipati Arya Lembusura yang dikenal sudah memeluk agama Islam. Dakwah yang dilakukan oleh Sunan Gresik pada tahun-tahun sebelumnya sudah berhasil membentuk masyarakat Muslim di pesisir Majapahit Adipati Arya Lembusura kemudian menikahkan Raden Rahmat dengan Nyai Ageng Manila yaitu Putri Arya Teja Adipati Tuban Kekerabatan inilah yang kelak mengantarkan Raden Rahmat menjadi pemimpin Surabaya sepeninggal Adipati Arya Lembusura. Pesantren Ampel Denta dalam perkembangannya menjadi pusat pendidikan agama Islam pada masa Majapahit. Salah satu santri yang menimba ilmu di Ampel Denta adalah Raden Paku. Kelak Raden Paku akan dikenal sebagai Sunan Giri.
Begitu pula dengan Raden Pata, pendiri Kesultanan Demak juga menimba ilmu di Ampel Denta pada masa mudanya. Dakwah yang dikembangkan oleh Sunan Ampel bersifat persuasif, pelan tapi pasti. Ajaran yang disampaikan oleh Sunan Ampel diterima oleh masyarakat di pesisi remaja pahit. Sunan Ampel mengajar dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat setempat. Salah satu ajaran beliau yang sangat terkenal adalah mohlimo atau tidak mau melakukan lima hal yang dilarang agama.
Mohlimo terdiri dari tidak mau berjudi, tidak mau mabuk, tidak mau madat, tidak mau mencuri, dan tidak mau berzina. Dakwah Sunan Ampel tidak selalu diterima dengan baik. Suatu ketika, Sunan Ampel mengutus dua santrinya, Khalifah Hussein dan Sheikh Ishaq ke Madura.
Lembu Peteng, pemimpin Madura, mengusir dengan kasar dua utusan Sunan Ampel. Bukan hanya mengusir utusan Sunan Ampel, Lembu Petang juga datang ke Ampel Denta dan menyusup di antara para santri. Malam harinya, menjelang Selat Isya, Lembu Petang bersembunyi di tempat wudhu dengan keris terhunus. Ketika Sunan Ampel datang hendak berwudu, Lembu Petang segera menghujamkan kerisnya ke arah Sunan Ampel Namun usaha Lembu Petang ternyata sia-sia Situasi tersebut tidak membuat Sunan Ampel terlalu berhenti Sunan Ampel naik darah, beliau justru memaafkan Lembu Petang.
Bahkan Lembu Petang akhirnya insyaf dan menerima ajaran yang disampaikan Sunan Ampel. Ketika Majapahit semakin rentah, Sunan Ampel merupakan salah satu ulama yang memperakasai berdirinya Kesultanan Demak. Raden Patah, pemimpin pertama Demak, merupakan santri sekaligus menantu Sunan Ampel.
Demak tercatat sebagai suksesor Majapahit. masjid yang Hindu berdirinya Kesultanan Demak diikuti dengan pembangunan Masjid Agung Demak masjid yang masih kokoh berdiri hingga sekarang ini memiliki empat tiang panjang masing-masing tiang panjang dibuat oleh empat anggota walisongo Tiang di sebelah Tenggara dibuat oleh Sunan Ampel, di sebelah berat laut dibuat oleh Sunan Bonang, di sebelah timur laut dibuat oleh Sunan Kalijaga, dan di barat daya dibuat oleh Sunan Gunung Jati. Empat pilar ini melambangkan empat pilar dalam Islam, yaitu Al-Quran, Hadis Nabi, Ijma'ul-Lama, dan Khiyas. Sunan Ampel dalam perjuangan dakwahnya telah menghasilkan perubahan penting dalam sosio-kultural masyarakat Nusantara.
Struktur sosial masyarakat bergerak semakin setara seiring menguatnya peranan agama Islam. Setelah berdakwah sekian puluh tahun lamanya, Sunan Ampel tutup usia. Data-data sejarah menyebutkan tahun yang berbeda mengenai wafatnya Sunan Ampel. Dalam babat inggresif yang dikutip oleh Agus Sunyoto melalui Atlas Walisongo, Sunan Ampel wafat pada tahun 1401 Saka atau tahun 1479 dalam Masehi. Beliau dimakamkan di samping Mahjid Agung Ampel.
Wali Songok bagian 3 Sunan Giri Selain sebagai salah satu tokoh dalam Wali Songok, Sunan Giri memiliki kedudukan sebagai Raja sekaligus Guru Suci. Pengaruh dakwah Sunan Giri tidak hanya di Pulau Jawa. Melalui keturunan dan para santri Sunan Giri, ajaran Islam menyebar hingga Banjar, Martapura, Pasir, dan Kutai di Kalimantan.
Terus menuju timur ke Buton dan Goa di Pulau Sulawesi, hingga sampai di Kepulauan Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku. Sunan Giri lahir pada kisaran tahun 1442 Masehi di Belambangan. Beliau merupakan putra dari Maulana Ishak utusan Sunan Ampel.
Suatu ketika Sunan Ampel menugaskan Maulana Ishak berdakwah ke ujung timur Jawa yaitu Belambangan. Kedatangan Muhammad Ishaq disambut baik oleh Raja Belambangan Bahkan Maulana Ishaq kemudian dinikahkan dengan Dewi Sekardadu Putri Raja Belambangan Meskipun demikian Raja Belambangan dan rakyatnya masih belum menerima Islam Merujuk babat Tanah Jawi dan Walisana yang dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, dakwah Maulana Ishak di Belambangan menemui banyak kegagalan. Raja Belambangan yang menolak masuk Islam dan tidak menyukai dakwah Maulana Ishak kemudian mengusir menantunya tersebut.
Maulana Ishak Terpaksa meninggalkan Belambangan dan istrinya yang ketika itu sedang hamil tua Daerah Paciran, Lamongan menjadi tempat dakwah Maulana Ishak selanjutnya Tidak lama kemudian Dewi Sekardadu melahirkan bayi laki-laki Namun Dewi Sekardadu meninggal setelah melahirkan Saat itu terjadi wabah yang melanda Belambangan, Prabu Menak Sembuyu Mengaitkan wabah tersebut dengan kelahiran cucunya Akhirnya bayi laki-laki itu dihanyutkan ke laut Bayi laki-laki yang dihanyutkan tersebut ditemukan oleh awak kapal dari Nyai Pinatih yang sedang berlayar di laut Karena hanyut di bawah arus laut Bayi laki-laki itu diberi nama Joko Samudro Nyai Pinatih membawa Joko Samudro ke rumahnya di Kresik dan merawatnya hingga besar. Nama Pinatih masih berkaitan dengan marga dalam keluarga Kesatria Manggis dari Bali. Mereka merupakan keturunan dari Menak Koncar, penguasa Lumajang sekaligus keluarga Istana Majapahit generasi awal yang memeluk Islam.
Ketika usianya sudah mencukupi, Nyai Pinatih... mengirim Joko Samudro ke Ampel Denta. Sunan Ampel ternyata mengetahui siapa sebenarnya Joko Samudro. Karena itu Sunan Ampel mengubah nama Joko Samudro menjadi Raden Paku. Selama belajar di Ampel Denta, Raden Paku bersahabat dengan Raden Mahdum Ibrahim putra dari Sunan Ampel.
Kelak Raden Mahdum Ibrahim ini. dikenal sebagai Sunan Bonang. Pada babat tanah jauh yang dikutip Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo, suatu ketika Raden Paku dan Raden Mahdum Ibrahim pergi untuk menuntut ilmu dan sekaligus melaksanakan ibadah haji. Mereka berdua bertemu dengan Maulana Ishak ketika sampai di Malaka. Maulana Ishak saat itu sedang melakukan dakwah di Malaka.
Selama di Malaka, Maulana Ishaq, ayah kandung Raden Paku, memberikan mereka banyak pelajaran keislaman. Maulana Ishaq sendiri mengetahui bahwa Raden Paku adalah putra kandungnya. Atas saran Maulana Ishaq, Raden Paku dan Raden Mahdum Ibrahim menunda perjalanan ke Mekah.
Maulana Ishaq menjelaskan bahwa kondisi Jawa saat itu lebih membutuhkan dakwah Islam. Raden Paku dan Raden Mahdum Ibrahim akhirnya kembali ke Jawa. Raden Paku dipekali segumpal tanah serta dua orang abdi yaitu Syekh Koja dan Syekh Gerigis.
Raden Paku mencari seorang perempuan yang berusia 10 tahun. Cari tempat yang tanahnya sama dengan tanah pemberian ayahnya. Beliau menemukan tempat tersebut yang ternyata sebuah bukit yang bernama Giri. Sebuah masjid dibangun oleh Raden Paku di puncak bukit Giri. Dari puncak bukit itulah Raden Paku mendirikan pesantren dan melakukan dakwah Islam.
Dan gelak Raden Paku akan lebih dikenal sebagai Sunan Giri. Pendidikan menjadi prioritas Daghwah Raden Paku, karena itulah beliau mendirikan sebuah pesantren di kawasan Bukit Giri. Pesantren di Giri berkembang dengan pesat para santri berdatangan dari berbagai penjuru Nusantara. Bukan hanya Pulau Jawa, para santri juga berasal dari tempat yang jauh seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku. Raden Paku yang kemudian lebih dikenal sebagai Sunan Giri tidak segan mendatangi desa-desa pelosok untuk berdakwah.
Beliau juga sering melakukan pendekatan empat mata dengan penduduk desa. Cara yang ditemukan Sunan Giri ini mulai membuahkan hasil. Setelah keadaan memungkinkan, Sunan Giri mulai berdakwah secara terbuka.
Dalam strategi dakwah, Sunan Giri tidak melupakan aspek-aspek kebudayaan Karena itu beliau menggunakan beberapa tradisi atau adat Yang tidak bertentangan dengan agama dalam bertakwa Melihat masyarakat Jawa yang menyukai tembang Sunan Giri pun menulis beberapa tembang Seperti padang bulan, jor, gula ganti, dan jublak-jublak sueng Tembang-tembang ini sangat efektif mengambil hati masyarakat pedesaan Jawa. Bahkan tembang-tembang ini masih dikenal hingga sekarang. Selain tembang, Sunan Giri juga membuat beberapa jenis permainan anak-anak.
Jelungan, jamuran, dan gendi gerit pernah sangat populer di kalangan anak-anak desa selama ratusan tahun. Tembang-tembang maupun permainan yang diciptakan Sunan Giri. penuh dengan nilai pendidikan ruhani, terutama untuk anak-anak. Sunan Giri menekankan pentingnya pengenalan masalah ruhaniah kepada anak-anak sedini mungkin. Selain tembang dan permainan, aspek budaya yang digarap Sunan Giri adalah wayang kulit.
Sunan Giri berperan besar dalam mereformasi bentuk dan cerita pada wayang kulit agar lebih sesuai dengan dakwah Islam. Sunan Giri juga menciptakan karakter-karakter baru dalam pewayangan. Karakter wayang seperti Kapi Menda, Kapi Seraba, Kapi Anala, Kapi Jembawan, Kapi Winata, atau Ura Hasura merupakan hasil rekaan dari Sunan Giri. Gerakan dakwah ini sangat sukses dan berhasil membentuk komunitas muslim di Kresik, sebagaimana Sunan Ampel membentuk komunitas muslim di Surabaya. Sementara itu kondisi Majapahit yang semakin rentah mulai terpecah-pecah menjadi beberapa kadipaten kecil.
Bahkan beberapa kadipaten saling berperang satu sama lainnya. Melihat situasi tersebut Sunan Giri memperkuat wilayahnya dengan membentuk pemerintahan yang otonom. Sunan Giri membangun pemerintahan otonom sebagaimana layaknya administrasi pada masa tersebut. Dua tipe bangunan utama dibuat yaitu Bangsal dan Puri.
Bangsal adalah kompleks perkantoran yang merupakan tempat raja bekerja dengan para aparat pemerintahan. Di Bangsal-Bangsal inilah Sunan Giri bersama para pembantunya bekerja untuk kemaslahatan umat ataupun menerima tamu. Setiap bangsal memiliki fungsi yang berbeda.
Di Giri terdapat beberapa bangsal yaitu Bangsal Sri Manganti, Bangsal Manguntur, Bangsal Sasana Sewaka, Bangsal Witana, Bangsal Panangkilan, dan Bangsal Pancaniti. Seperti lazimnya pemerintahan saat itu, Sunan Giri bekerja di Bangsal Sri Manganti. Bekas Bangsal utama Sunan Giri ini terletak di Desa Manganti, Kabupaten Gresik.
Tidak jauh dari Bangsal Manganti, terdapat kantor kepatian. Bekas kantor kepatian Giri ini sekarang terletak di Desa Kepatihan, sebelah utara Desa Manganti. Sedangkan Puri berfungsi sebagai tempat kediaman raja.
Fungsi Puri lainnya adalah sebagai tempat raja memimpin agama dan adat Sementara itu kondisi Majapahit semakin mundur Ketika Raden patah dengan dukungan para sunan mendirikan Kesultanan Demak Sunan Giri turut mendukungnya sekaligus menjadi penasehatnya Wilayah Giri sendiri pun kelak akan tumbuh menjadi Kesultanan yang mandiri Sejarah mencatat Kesultanan Giri yang tumbuh makmur di kawasan pesisir Puncak Kesultanan Giri kelak akan berlangsung pada masa pemerintahan Sunan Prapen Cucu dari Sunan Giri Kisaran tahun 1506 Masehi Sunan Giri tutup usia Beliau dimakamkan pada puncak bukit di desa Giri Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur Wali Songo, bagian 4, Sunan Bonang Sunan Bonang, salah satu tokoh dalam Wali Songo yang bukan hanya menguasai ilmu fikih, usul ludin dan tasawuf tetapi juga menguasai bidang-bidang seni, sastra, serta arsitektur Lahir dengan nama Raden Mahdum Ibrahim di Ampel Denta pada kisaran tahun 1465 Masehi. Beliau merupakan putra keempat dari Sunan Ampel. Ibunya adalah Nyi Angkeng Manila, putri dari Arya Teja, Adipati Tuban.
Sunan Bonang juga memiliki seorang adik yang bernama Raden Khosim. lelak Raden Khosim dikenal sebagai Sunan Derajat. Dewi Murto Siah, saudara perempuan Sunan Bonang, diperistri oleh Sunan Giri.
Sedangkan Dewi Murto Simah, saudara perempuan Sunan Bonang lainnya, diperistri oleh Raden Patah, Sultan pertama Demak. Kekerabatan dengan keluarga Adipati Tuban membuat Sunan Bonang memiliki hubungan erat dengan wilayah tersebut. Sunan Kalijogo, murid dari Sunan Bonang merupakan putra dari Arya Wilatikta Adipati Tuban.
Ayah Sunan Kalijogo adalah adik dari ibu Sunan Bonang. Pendidikan keagamaan Sunan Bonang dimulai dari Ampel Denta. Beliau memperoleh pendidikan agama dari ayahnya sendiri, yaitu Sunan Ampel. Beliau belajar bersama dengan para santri Ampel Denta lainnya. seperti Sunan Giri, Raden Patah, dan Raden Kusen.
Suatu ketika, Sunan Bonang dan Sunan Giri dalam perjalanan haji dan singgah di Malaka. Di Malaka, mereka bertemu dengan Sheikh Maulana Ishaq, ayah dari Sunan Giri. Selama di Malaka, Sunan Bonang dan Sunan Giri belajar kepada Sheikh Maulana Ishaq.
Beberapa waktu kemudian, Sunan Bonang dan Sunan Giri menunda kepergian ke Mekah dan memutuskan untuk kembali ke Jawa. Syekh Maulana Ishak mengatakan bahwa kondisi Jawa saat itu lebih membutuhkan dakwah Islam secepatnya. Sesampainya di Jawa, Sunan Bonang memilih Tuban sebagai awal dakwahnya, sedangkan Sunan Giri memilih Gresik. Sunan Bonang tidak hanya berdakwah di Tuban. Beberapa tempat di perdalaman Jawa tidak luput dari upaya dakwahnya.
Kediri pada waktu tersebut dikenal sebagai pusat penganut ajaran Tatra Bairawa, salah satu sekte dalam Hindu-Buddha. Pada babat Daha Kediri, sebagaimana dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, Sunan Bonang mengalami perlawanan hebat dari para tokoh Tantra Bairawa. Upaya dakwah Sunan Bonang dimulai dengan membangun sebuah masjid yang terletak di bagian barat Kediri.
Buto Lokaya, tokoh penting dalam aliran Tantra Bairawa, menentang keras dakwah yang dilakukan Sunan Bonang. Tindakan kekerasan tidak selalu bisa dihindari oleh Sunan Bonang maupun para wali lainnya. Penolakan dakwah Sunan Bonang oleh Puto Alokaya berujung pada kekerasan fisik. Namun Sunan Bonang berhasil mengatasi situasi tersebut.
Butolokaya kemudian menjadi salah satu murid Sunan Bonang. Begitu halnya dengan tokohnya Ipluncing, sosok penerus ajaran calon arang. Pada akhirnya Sunan Bonang berhasil mengatasi masalah-masalah tersebut.
Dalam babat daha kediri diceritakan bagaimana Sunan Bonang mengubah aliran sungai berantas. Berbekal pengetahuannya, Sunan Bonang mampu mengeringkan sebagian dari sungai berantas. Sunan Bonang juga mampu membuat sebagian sungai berantas kebanjiran. Pada seratkan daning ringgit purwo, yang juga dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, disebutkan sosok Ajar Belacak Ngilo, penentang dakwah Sunan Bonang.
Suatu ketika, Ajar Belacak Ngilo menantang Sunan Bonang mengadu ayam jago. Siapa yang kalah akan menjadi pengikut yang menang. Sunan Bonang kemudian memerintahkan santrinya yang bernama Wujil membawa seekor anak ayam untuk menghadapi ayam jago milik Ajar Belacak Ngilo. Siapa yang menyangka seekor anak ayam ternyata mampu mengalahkan seekor ayam? Menjago, meskipun acapkali terpaksa menghadapi kekerasan fisik, Sunan Bonang tetap mengutamakan dakwah dengan kelembutan.
Kebudayaan menjadi lahan yang digarapnya sebagai strategi dakwah. Sunan Bonang mencermati setiap bentuk kebudayaan masyarakat Jawa. Beliau mempelajari bagaimana dakwahnya bisa diterima tanpa adanya kekerasan.
Hingga akhirnya Sunan Bonang menemukan strategi dakwah melalui jenis-jenis budaya seperti wayang, tembang, serta adat istiadat lainnya. Pendidikan juga menjadi perhatian utama dalam dakwah Sunan Bonang. Salah satu santri Sunan Bonang yaitu Raden Sahid Gelak akan menjadi salah satu wali masyur yang dikenal sebagai Sunan Kalijogo.
Pada naskah Hiyakat Hasanuddin Yang dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo menyebutkan bahwa setelah dari Kediri, Sunan Bonang pergi ke Demak atas undangan Raden Pata. Selama di Demak, Sunan Bonang menempati sebuah desa yang bernama Bonang. Nama desa yang tidak jauh dari pusat kota Demak inilah yang dinisbatkan kepada Raden Mahdum Ibrahim sehingga dikenal dengan sebutan Sunan Bonang.
Pada masa-masa tersebut, Raden Patah meminta Sunan Bonang menjadi penghulu di Masjid Demak. Sunan Bonang juga terlibat dalam pembangunan Masjid Agung Demak. Beliau membuat salah satu tiang penyangga masjid. Empat tiang penyangga utama Masjid Agung Demak dibuat oleh empat orang Sunan. Tiang penyangga utama, sebuah bangunan dalam istilah Jawa disebut dengan istilah Soko Guru.
Sunan Bonang membuat bagian barat laut Soko Guru Masjid Agung Demak. Sedangkan Soko Guru yang berada di timur laut dibuat oleh Sunan Kalijogo, bagian tenggara dibuat oleh Sunan Ampel, dan bagian barat daya dibuat oleh Sunan Gunung Jati. Sunan Bonang sendiri tidak lama menjadi imam Masjid Demak.
Beliau kemudian melanjutkan dakwahnya ke Lasem. Selama di Lasem, Sunan Bonang tinggal di sekitar Bukit Watu Layar, kawasan di sebelah timur Lasem tersebut, kemudian dikenal sebagai Desa Bonang. Sunan Bonang tidak hanya berdakwah di satu tempat, dari Lasem, Sunan Bonang kembali ke Tuban melanjutkan dakwahnya di sana.
Merujuk pada carita Lasem yang dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Waisongo, Sunan Bonang. diangkat sebagai wali negara Tuban yang memiliki wewenang dalam hal keagamaan. Untuk menarik simpati masyarakat Jawa, Sunan Bonang mulai menggunakan kesenian sebagai sarana dakwah.
Beliau menciptakan alat musik yang dikenal sebagai Bonang. Peralatan musik tersebut banyak digunakan dalam pertunjukan wayang. Sunan Bonang juga mereformasi kesenian wayang agar lebih mudah menyampaikan dakwahnya. kepada masyarakat bukan hanya untuk kesenian wayang Bonang juga digunakan oleh aparat desa untuk mengumpulkan warga.
Kesenian wayang yang populer di kalangan masyarakat Jawa tersebut sangat efektif sebagai sarana dakwah tentu saja Sunan Bonang melakukan gubahan pada cerita maupun bentuknya agar lebih sesuai dengan ajaran Islam Sunan Bonang memainkan wayang sebagai bentuk penyampaian ajaran yang sifatnya ruhaniah Dari segi bentuk, Sunan Bonang memperkaya kesenian pada wayang dengan memasukkan karakter ricikan Beberapa karakter ricikan yang dimasukkan adalah kuda, gajah, harimau, garuda, kereta perang, dan rampogan Beberapa jenis tembang bertema religius juga diciptakan oleh Sunan Bonang Salah satunya adalah Tombowati yang masih populer hingga sekarang Sebagai ulama yang giat berdakwah, Sunan Bonang menulis naskah-naskah berisi ajaran Tasawuf B.C.O. Skriger, historiograf asal Belanda menyebutkan dalam bukunya Headbook Van Bonang Tentang naskah-naskah kuno yang diakininya ditulis oleh Sunan Bonang Naskah-naskah kuno yang diteliti oleh Skriger berisi ihtisar Sunan Bonang terhadap ajaran ulama-ulama pendahulunya seperti Al-Ghazali maupun Abu Syakur bin Su'aib Sunan Bonang dikenal sangat gigih dalam menyebarkan agama Islam dalam Seraikan Daning Purwo disebutkan Kipan dan Arang di Pulau Tirang untuk berdakwah. Upaya tersebut berhasil mengislamkan penduduk serta pendeta Hindu di Pulau Tirang. Begitu pula dengan Batara Katong, putra Raja Brawijaya V yang berjanji masuk Islam setelah wafatnya sang ayah. Sunan Bonang kemudian mengirimkan Syekh Wali Lanang untuk menagih janji Batara Katong. Namun, Batara Katong telah berangkat menuju Pulau Tirang dan masuk Islam di bawah bimbingan Ki Ageng Pandan Arang sebelum bertemu utusan Sunan Bonang.
Setelah berdakwah sekian lamanya, Sunan Bonang pun akhirnya tutup usia. Beliau dimakamkan di sebelah barat alun-alun kota Tuban. Wali Songo Bagian 5 Sunan Kalijogo Sunan Kalijogo, begitulah masyarakat di Nusantara mengenal namanya. Salah satu sunan anggota Wali Songo yang namanya mahsyur hingga sekarang. Wali Songo memiliki peran penting dalam proses islamisasi di Nusantara.
Dalam kurun waktu tidak sampai seabad sejak Sunan Gresik berdakwah, masyarakat di Nusantara telah mengikuti ajaran yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. Sunan Kalijogo, sebagaimana Sunan anggota wali songol lainnya, memiliki andil besar dalam perjuangan Islamisasi Nusantara. Beliau juga dikenal sebagai wali yang banyak menguasai lintas disiplin ilmu, seperti fikih, usuludin, tasawuf. Seni, sastra, arsitektur, falak, pertanian hingga mendesain pakaian Sunan Kalijogo juga memiliki berbagai nama Seperti Kidalang Sidabrangti, Kidalang Bengkok, Kidalang Kumendung dan Kidalang Unehan Hal tersebut dikarenakan beliau menggunakan wayang sebagai salah satu strategi dakwahnya Wayang pada masa-masa tersebut sangat populer di kalangan masyarakat Jawa Sunan Kalijogo lahir di Tuban dengan nama Raden Sahid pada kisaran 1450 Masehi. Beliau merupakan putra dari Aryawila Tikta, pemimpin Tuban saat itu.
Aryawila Tikta sendiri merupakan adik dari Nyai Ageng Manila, istri Sunan Ampel dan ibu dari Sunan Bonang. Dan kelak dalam prosesnya menjadi wali, Sunan Kalijogo akan belajar banyak kepada Sunan Bonang. Raden Sahid muda diwarnai dengan kisah yang penuh kontroversi.
Beliau seringkali mengambil makanan dari gudang milik Kadipaten Tuban. Namun, makanan tersebut tidak digunakan untuk kebutuhan pribadi. Raden Sahid membagi-bagikan makanan kepada rakyat miskin.
Perbuatan Raden Sahid tersebut pada akhirnya diketahui oleh Arya Wulatikta. Dianggap sebagai hal yang memalukan, Arya Wulatikta mengusir Raden Sahid dari Kadipaten. Raden Sahid kemudian pergi ke hutan Jatisari, sebuah tempat yang sekarang berada di perbatasan Tuban-Belora. Di hutan Jatisari itu, Raden Sahid mendapatkan julukan Beranda Lokajaya karena kebiasaannya merampok orang-orang kaya yang lewat. Namun, Raden Sahid selalu membagi-bagikan hasil rampokannya kepada rakyat miskin.
Hingga suatu hari, Sunan Bonang melewati kawasan hutan Jatisari. Raden Sahid yang tidak mengenali Sunan Bonang pun segera mencegatnya. Dalam Atlas Wali Songo yang ditulis oleh Agus Sunyoto, disebutkan Sunan Bonang memiliki kemampuan yang bisa mengubah buah aren menjadi emas. Kemampuan Sunan Bonang tersebut membuat Raden Sahid bertaubat dan selanjutnya Raden Sahid menjadi murid dari Sunan Bonang. Raden Sahid memutuskan untuk meninggalkan semua yang telah dilakukannya dan mulai menjalani kehidupan spiritual di bawah bimbingan Sunan Bonang.
Raden Sahid belajar banyak hal, mulai dari Viki hingga Tasawuf. Mengikuti jejak gurunya, Raden Sahid juga mempelajari berbagai kebudayaan Jawa. Wayang dan tembang-tembang Jawa di kemudian hari akan banyak digunakan Raden Sahid sebagai sarana penyampaian ajaran Islam.
Begitu pula dengan fenomena sosial masyarakat Jawa, Raden Sahid mempelajari ajaran tantra bayi rawa dari Sunan Bonang ketika berdakwah di Kediri. Pada saat itu Sunan Bonang menghadapi dua tersebut. tokoh Tantra Bairawa, yaitu Butolokaya dan Nyai Pluncing. Masyarakat Jawa yang hidup dengan pertanian menjadi perhatian Raden Sahid. Pemahamannya akan dunia pertanian membuat Raden Sahid Kelak lebih mudah memasuki berbagai serata kehidupan masyarakat Jawa.
Selain itu, rata belakang Raden Sahid yang berasal dari keluarga Adipati akan mempermudahnya memasuki dunia. para bangsawan Jawa. Suatu hari, Raden Sahid meminta izin kepada Sunan Bonang untuk menunaikan haji.
Pelaksanaan ibadah haji tersebut sebagaimana yang diajarkan oleh Sunan Bonang agar seyokianya Raden Sahid melaksanakannya sesuai dalil Al-Quran dan hadis. Dalam perjalanan menuju Mekah, tepatnya di Pulau Pinang, Raden Sahid bertemu dengan Maulana Maghribi. Pada pertemuan tersebut, Maulana Maghribi menyarankan agar Raden Sahid menunda perjalanan ke Mekah dan segera kembali ke Jawa.
Maulana Maghribi mengatakan agar Raden Sahid segera melakukan dakwah di tanah Jawa yang saat itu sangat membutuhkan pencerahan. Raden Sahid menuruti nasihat Maulana Maghribi, beliau segera kembali ke Jawa dan mulai berdakwah ke posisir utara bagian barat Jawa, yaitu Cirebon. Pada babat demak yang dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo, Raden Sahid memulai dakwahnya di desa yang bernama Kalijogo, Cirebon. Dari sinilah Raden Sahid mulai mendapatkan sebutan Sunan Kalijogo.
Babat Cirebon mencatat Raden Sahid tinggal selama beberapa tahun di desa Kalijogo. Upaya dakwah Sunan Kalijogo berhasil mengislamkan masyarakat di wilayah Indramayu dan Pamanukan. Sebagai mana disebutkan dalam babat cerbon, Sunan Kalijogo pada awalnya menyamar sebagai pembersih di Masjid Sang Ciptar Rasa. Di masjid tersebut, Sunan Kalijogo bertemu dengan Sunan Gunung Jati. Dalam dakwahnya, Sunan Kalijogo seringkali melakukan penyamaran untuk menyembunyikan kelebihan yang dimilikinya.
Selama berdakwah, Sunan Kalijogo menggunakan wayang sebagai sarana untuk menarik perhatian. Di pajajaran, Sunan Kalijogo berdakwah dengan menggunakan nama Samaran, Kidalang Sidabrangti. Ketika berdakwah di Tegal, Sunan Kalijogo dikenal sebagai Kidalang Bengkok.
Di Purbalingga, masyarakat mengenal Sunan Kalijogo sebagai Dalang Topeng dengan sebutan Kidalang Bengkok. Sedangkan di Majapahit, masyarakat mengenal Sunan Kalijogo sebagai Kidalang Unehan. Sunan Kalijogo menyampaikan ajaran yang sifatnya ruhaniah berdasarkan tasawuf. Salah satu lakon wayang yang kerap dimainkan oleh Sunan Kalijogo adalah Dewa Ruci.
Reformasi bentuk-bentuk wayang dilakukan oleh Sunan Kalijogo. Bentuk-bentuk wayang yang sebelumnya menyerupai manusia, dibuat menjadi dekoratif dengan proporsi tubuh yang tidak menyerupai manusia. Dari segi karakter, Sunan Kalijogo membuat tokoh-tokoh baru yang tidak terdapat dalam versi asli Mahabharata maupun Ramayana. Tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong merupakan karakter hasil rekaan Sunan Kalijogo.
Reformasi bentuk wayang, penciptaan karakter baru, pengubahan cerita, perangkat gamelan, tembang, serta suluknya merupakan sumbangan besar oleh Songo. terutama Sunan Kalijogo bagi kebudayaan Nusantara. Ahli sejarah Belanda, Pighet, menegaskan bahwa pertunjukan wayang sebagaimana yang sekarang ini diawali oleh Wali Songo, bukan dari generasi sebelumnya. Sunan Kalijogo memperkenalkan Islam sedini mungkin kepada anak-anak. Tembang dan permainan anak-anak dibuat oleh Sunan Kalijogo sebagai pendidikan keislaman sejak dini.
Dalam bidang sosial, Sunan Kalijogo membentuk nilai-nilai etis kemasyarakatan yang bersumber dari ajaran Islam. Di bidang politik dan tata negara, Sunan Kalijogo memberikan pelajaran kepada para penguasa tentang pengelolaan wilayah agar tidak melanggar fungsi utama negara sebagai pelindung rakyat. Sunan Kalijogo terlibat dalam berbagai peristiwa politik pas karuntuhnya Majapahit, berdirinya Kesultanan Demak.
tidak terlepas dari campur tangan Sunan Kalijogo dan anggota wali songo lainnya. Di masa Kesultanan Pajang, Sunan Kalijogo sempat menjadi penengah konflik Sultan Hadi Wijaya dengan Kikede Pemanahan. Sunan Kalijogo menegur Sultan Hadi Wijaya yang tidak kunjung memberikan hutan mentau kepada Kikede Pemanahan.
Setelah ditegur Sunan Kalijogo, Sultan Hadi Wijaya segera memberikan hutan mentau yang dijanjikannya kepada Gigi de Pemanahan. Dan kelak di hutan mentau akan berdiri Kesultanan Mataram, suksesor dari Kesultanan Pajang. Sunan Kalijogo dikenal sebagai salah satu wali yang paling besar cakupan dakwahnya.
Beliau berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya dalam bidang pertanian. Sunan Kalijogo dikenal sebagai perancang alat-alat pertanian. Sunan Kalijogo juga memperhatikan masalah berpakaian masyarakat.
Beliau mendesain pakaian yang lebih sesuai dengan masyarakat Islam di Jawa. Dalam bidang arsitektur, Sunan Kalijogo berperan dalam pembangunan Masjid Agung Demak. Sunan Kalijogo membuat salah satu tiang penyangga utama atau yang disebut sebagai Sokoguru.
Tiang penyangga utama yang berada di timur laut dibuat oleh Sunan Kalijogo. Keunikan tiang penyangga ini adalah dibuat dari tatel atau serpihan kayu, berbeda dengan tiga tiang lainnya yang dibuat dari kayu utuh. Tiga sokoguru lainnya, Masjid Agung Demak dibuat oleh Sunan Ampel di sisi Tenggara, Sunan Bonang di sisi barat laut dan Sunan Gunung Jati di sisi barat daya.
Dakwa Sunan Kalijogo menyisir segala lapisan masyarakat, Prabu Brawijaya kelima, Raja terakhir Majapahit, masuk Islam setelah bertemu dengan Sunan Kalijogo. Sunan Kalijogo merupakan salah satu wali yang dikaruniai usia panjang. Beliau menyaksikan dan terlibat dalam transisi politik mulai dari Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram Islam.
Pada masa kemunculan Mataram Islam ini, Sunan Kalijogo dianggap sebagai pelindung kesultanan yang merupakan suksesor dari Pajang. Setelah berdakwah sekian tahun lamanya, Sunan Kalijogo tutup usia dan dimakamkan di Kadilangu, Kabupaten Demak. Hingga saat ini belum ditemukan catatan historiografi yang menyebutkan kapan wafatnya Sunan Kalijogo.
Sampai sekarang, warisan Sunan Kalijogo, terutama seni budaya dan ajaran spiritual, masih terus dilestarikan oleh sebagian besar umat muslim di Nusantara, khususnya di Tengah. Tanah Jawa Walisongo Bagian 6 Sunan Gunung Jati Tanah Pasundan Sebuah kawasan yang berada di bagian barat Jawa Pada abad ke-15 hingga 16 Kelombang Islamisasi di Nusantara berlangsung dengan sangat masif Gelombang Islamisasi bergerak hingga ke Pasundan. Masyarakat Pasundan termasuk yang menerima ajaran baru tersebut.
Salah satu tokoh yang berjasa menyebarkan Islam di Pasundan adalah Sunan Gunung Jati. Berkedudukan di Cerebon, Sunan Gunung Jati berdakwah hingga ke Pelosok Pasundan. Dakwah Sunan Gunung Jati berlanjut ke pesisir Barat Jawa yang dikenal sebagai Banten. Aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati ini kelak akan melahirkan dua negara bercorak Islam yaitu Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten.
Dalam beberapa catatan sejarah, Sunan Gunung Jati dilahirkan pada kisaran tahun 1448 masehi beliau lahir dengan nama Syarif Hidayatullah merujuk pada naskah Merta Singa yang dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas walisongo Sunan Gunung Jatuh Sunan Gunung Jati adalah putra dari Sultan Hud, pemimpin negeri Bani Israel atau yang sekarang dikenal sebagai Palestina. Sedangkan ibu dari Sunan Gunung Jati adalah Nyirara Santang, putri dari Raja Pajajaran. Menurut sumber lainnya yaitu naskah carita Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Jati adalah putra dari Sultan Mahmud yang kekuasaannya membentang dari Mesir hingga Palestina.
Naskah tersebut juga menjelaskan tentang ibu Sunan Gunung Jati Nyirara Santang yang dikenal juga dengan nama Syarifah Mudaim Sunan Gunung Jati disebutkan memiliki adik perempuan yang bernama Syarif Nurullah Berdasarkan naskah sajarah wali pendidikan Sunan Gunung Jati bermula di Mekah Saat itu beliau berguru kepada Syekh Najmurini Kubro Terima kasih Setelah beberapa tahun menimba ilmu di Mekah Syekh Najmurini Kubro memerintahkan Sunan Gunung Jati berguru kepada Syekh Muhammad At-Tailah di Mesir Utara Beberapa tahun kemudian Sunan Gunung Jati diperintahkan oleh Syekh Muhammad At-Tailah pergi ke Pasai Untuk berguru kepada seorang ulama Selama di Pasai Sunan Gunung Jati berguru kepada Syekh Datuk Maulana Siddiq Ulama dan dari pasal yang bernama Syekh Datuk Malawana Siddiq tersebut dikenal juga. dengan nama Maulana Isha yang tidak lain adalah ayah dari Sunan Giri. Pembelajaran Sunan Gunung Jati berlanjut ke Karawang. Syah Datuk Maulana memerintahkan Sunan Gunung Jati untuk berguruk.
kepada Syekh Bentong setelah sampai di Karawang ternyata Syekh Bentong menolak menjadi guru Sunan Gunung Jati beliau justru ingin belajar kepada Sunan Gunung Jati Syekh Bentong kemudian menunjukkan menunjuk Syekh Haji Jubah sebagai guru Sunan Gunung Jati. Namun, Syekh Haji Jubah bersikap sama dengan Syekh Bentong. Syekh Haji Jubah kemudian menyarankan Sunan Gunung Jati pergi ke Kudus menemui Datuk Barul.
Sesampainya di Kudus, Sunan Gunung Jati disambut dengan gembira oleh Datuk Barul. Selama beberapa tahun Sunan Gunung Jati belajar kepada Datuk Barul. Setelah dirasa cukup, Datuk Barul kemudian memerintahkan Sunan Gunung Jati pergi ke Ampel Denta, berguru kepada Sunan Ampel. Selama di Ampel Denta, Sunan Gunung Jati dipersaudarakan dengan Sunan Bonang, Sunan Giri, dan Sunan Kalijogo.
Bertahun-tahun lamanya, Sunan Gunung Jati belajar dengan tekun di Ampel Denta. Hingga kemudian Sunan Ampel memerintahkan kepada Sunan Gunung Jati untuk berdakwah di pesisir utara bagian berat Jawa yaitu Cirebon. Sunan Ampel mengirim santrinya tersebut ke sebuah tempat di Cirebon yang bernama Gunung Jati. Dari sinilah Syarif Hidayatullah Kelak akan lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Sunan Gunung Jati mulai dakwahnya dengan menggunakan nama Syahid Kamil Pangeran Cakrabuana atau dikenal juga sebagai Abdullah Iman Membantu Sunan Gunung Jati membangun sebuah pondok pesantren Pangeran Cakrabuana sendiri merupakan kakak Nyirara Santang Ibu dari Sunan Gunung Jati Selama mengajar di pesantren dan masyarakat di sekitarnya Syahid Kamil Kemudian lebih dikenal sebagai Syahjati Masyarakat berdatangan belajar ke pesantren Sunan Gunung Jati Beberapa waktu kemudian Datanglah Kidipati Keling dengan 98 pengikutnya Kidipati Keling beserta seluruh pengikutnya Menjadi santri Sunan Gunung Jati Berdasarkan askah carita Purwakacaruban Nagari Panggaran Cakrabuwana mengangkat Sunan Gunung Jati sebagai tumenggung Menggantikan Syekh Nurul Jati yang meninggal dunia, Sunan Gunung Jati menjabat sebagai Tumenggung dengan gelar Susuhunan Jati. Setelah menjabat sebagai Tumenggung, Sunan Gunung Jati tinggal di Gedaton Pangkuwati. Pada masa-masa tersebut, Cirebon masuk ke dalam wilayah Kerajaan Pajajaran. Semenjak Sunan Gunung Jati menjadi Tumenggung, Cirebon menolak membayar upeti ke Pajajaran.
Akibatnya Raja Pajajaran mengirimkan pasukan yang dipimpin Tumenggung Jagabaya ke Cirebon untuk menanyakan penolakan pembayaran upati. Sesampainya di Cirebon, Tumenggung Jagabaya tidak berani bertindak tegas bersama seluruh pasukannya. Tumenggung Jagabaya masuk Islam dan menjadi pengikut sunan Gunung Jati. Pada naskah babat Cirebon yang dikutip oleh Agus Sunyoto dalam atlas Swalisongo, pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati pergi ke ibu kota Pajajaran setelah Tumenggung Cakabaya beserta seluruh pasukannya masuk Islam.
Meskipun sempat dibujuk oleh Kibuyut Talib Barat agar menolak ajakan Sunan Gunung Jati, Prabu Slewangi, pemimpin Pajajaran itu akhirnya bersetia masuk Islam. Dalam naskah Burak... Pajajaran disebutkan bahwa dari kota Raja Pajajaran Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati melanjutkan perjalanan ke arah Banten selama berdakwah di Banten Sunan Gunung Jati berhasil mengislamkan seorang tokoh berpengaruh ke Gedeng Kawutengen setelah sebulan lamanya berdakwah di Banten, Sunan Gunung Jati dan Pangeran Cakrabuana kembali ke Cirebon sekembalinya ke Cirebon Sunan Gunung Jati lebih banyak mengajar di pesantren Jerebuan memiliki hubungan yang kuat dengan Kesultanan Demak Pangeran Jaya Kelana, Putra Sunan Gunung Jati Menikah dengan Putri Pembanyun, Putri Raden Patah Sunan Gunung Jati tercatat memiliki peran penting dalam pembangunan Masjid Agung Demak. Empat tiang penyangga utama yang juga dikenal sebagai Sokoguru.
Masjid Agung Demak dibuat oleh empat sunan anggota Wali Songo. Sunan Gunung Jati tercatat sebagai pembuat Sokoguru sebelah barat daya Masjid Agung Demak. Sedangkan Sokoguru sebelah tenggara dibuat oleh Sunan Ampel.
Sebelah barat laut dibuat oleh Sunan Bonang. Dan sebelah timur laut... dibuat oleh Sunan Kalijogo.
Selama berdakwah, Sunan Gunung Jati tidak luput dari beberapa aksi militer. Kerajaan Galuh yang dipimpin Prabu Cakra Ningrat menyerbu Cirebon dengan kekuatan besar. Saat itu kekuatan militer Cirebon belum masuk hitungan di kawasan Pasundan.
Namun, Pasukan Cirebon mampu mematahkan serbuan pasukan Galuh. Akibat kekalahan tersebut, seluruh keluarga kerajaan, pejabat tinggi, dan rakyat Galuh berbondong-bondong memeluk Islam. Hanya Prabu Cakraningrat yang menolak Islam dan memutuskan mengasingkan diri dari kerajaan.
Setelah kemenangan atas Galuh, beberapa wilayah di sekitar Cirebon menyatakan takluk tanpa aksi militer. Raja Indramayu Arya Wiraludra menyatakan tunduk dan memeluk Islam. Setelah Indra Mayu, Talaga juga menyatakan tunduk kepada Cirebon tanpa aksi militer. Sebagian besar keluarga kerajaan dan rakyat Talaga masuk Islam.
Sebagaimana Daghwah Wali Songo, Sunan Gunung Jati juga melakukan pendekatan yang persuasif. Kebudayaan lama tidak dihilangkan. Tetapi disesuaikan dengan ajaran Islam sehingga mudah diterima oleh masyarakat. Semakin melemahnya pajajaran membuat Cirebon muncul sebagai kesultanan.
Saat itu Cirebon memiliki aliansi yang kuat dengan Kesultanan Demak. Di bagian barat juga berdiri Kesultanan Banten. Berdirinya dua kesultanan ini berhasil mendukung dakwah Islam hingga ke pelosok Tanah Pasundan.
Selama puluhan tahun, Sunan Gunung Jati terus berdakwah menyebarkan agama Islam di bagian Barat Jawa. Pada kisaran pertengahan abad ke-16, Sunan Gunung Jati tutup usia. Beliau dimakamkan di pemakaman Gunung Sembung yang sekarang masuk wilayah desa Astana Kabupaten Cirebon.
Wali Songo Bagian 7, Sunan Derajat Sunan Derajat, bagian dari Wali Songo yang lahir dari keluarga Wali. Beliau adalah putra bungsu Sunan Ampel dengan nyai Ageng Manila. Beliau juga merupakan adik kandung dari Sunan Bonang.
Sunan Derajat yang memiliki nama asli Raden Khosim, lahir pada kisaran tahun 1470 Masehi. Pendidikan awal Raden Khosim bermula dari pesantren Ampel Denta di bawah bimbingan ayahnya sendiri, Sunan Ampel. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat pendidikan para santri yang menghasilkan beberapa wali, seperti Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kalijogo, serta Sunan Gunung Jati Selain mendalami masalah keagamaan Raden Khosim juga mempelajari berbagai adat istiadat kebudayaan Jawa Latar belakang keluarga ibunya, Nyi Ageng Manila, yang merupakan putri dari Adipati Tuban, memberikan kesempatan bagi Raden Khosim untuk mendalami kebudayaan Jawa. Pengetahuan inilah yang kelak akan membuat Raden Khosim memahami sosioantropologi kebudayaan Jawa, hal yang sangat penting untuk berdakwah di tanah Jawa. Raden Khosim dikenal memiliki sensitivitas terhadap kehidupan sosial masyarakat Jawa.
Pada masa-masa tersebut, Raden Khosim menyaksikan banyak masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Setelah belajar di Aminah, Sunan Ampel Denta, Raden Khosim pergi ke Cirebon untuk belajar kepada Sunan Gunung Jati. Sunan Ampel mengirim Raden Khosim ke Cirebon untuk menambah kedalaman pengetahuan agama putranya tersebut sebelum berdakwah menyebarkan. bukan agama Islam. Selama belajar di Cirebon, Raden Khosim kemudian dinikahkan dengan Dewi Sufiyah Putri Sunan Gunung Jati.
Setelah menikah, Raden Khosim tinggal di desa Kadrajat dari Sinilah. Raden Khosim selanjutnya lebih dikenal sebagai Pangeran Derajat. Oleh Sunan Gunung Jati, Raden Khosim diminta membantunya berdakwah di Cirebon.
Raden Khosim yang dikenal oleh penduduk Cirebon dengan nama Pangeran Derajat tidak kesulitan membantu dakwah Sunan Gunung Jati. Bahasa Cirebon yang masih mirip dengan bahasa Jawa memudahkan Pangeran Derajat berkomunikasi dengan penduduk setempat. Pada sebuah sidang para wali di Istana Pangkuwati, Raden Khosim diangkat sebagai wali. Raden Khosim selanjutnya lebih dikenal sebagai Sunan Derajat. Beberapa tahun kemudian Raden Khosim beserta keluarganya kembali ke Ampel Denta Sesampainya di Ampel Denta, Sunan Derajat diperintahkan oleh Sunan Ampel untuk berdakwah di pesisir sebelah Barat Gresik Sunan Derajat sampai di sebuah tempat yang bernama Desa Banjarwati bagian pesisir sebelah Barat Gresik Tempat ini sekarang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Lamongan Di desa tersebut kehadiran Sunan Derajat Sunan Derajat disambut baik oleh Kim Mayang Madu dan Bah Banjar, dua orang sesepuh kampung.
Aktivitas dakwah Sunan Derajat dimulai dengan membuat surau dan mengajar mengaji penduduk sekitar. Sunan Derajat berinteraksi sangat dekat dengan penduduk desa. Sikap Sunan Derajat ini membuat beliau lebih mudah dalam berdakwah menyebarkan agama Islam.
Di antara Sunan Anggota Wali Songo, Sunan Derajat dikenal memiliki banyak nama. Selain Raden Khosim sebagai nama asli, Sunan Derajat juga dikenal sebagai Mesaik Munat, Raden Syarifudin, Maulana Hashim, Panggaran Kadrajat, dan Sunan Mayang Madu. Nama-nama tersebut diperoleh melalui pengembaraan Sunan Derajat ke berbagai tempat di Pulau Jawa.
Raden Patah, memimpin Kesultanan Demak juga sempat memberikan gelar kepada Sunan Derajat yaitu Sunan Mayang Madu. Gelar ini diberikan kepada Sunan Derajat. pada Sunan Derajat sudah berdakwah di Banjar Sari.
Unsur-unsur kebudayaan Jawa juga menjadi bagian dari strategi dakwah Sunan Derajat. Dalam berbagai kesempatan, Sunan Derajat juga memainkan wayang untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Sebagai mana halnya Sunan Bonang, Sunan Raja juga dikenal mampu mengubah tembang-tembang Jawa dengan iringan gamelan yang bermuatan ruhaniah keislaman. Kelompok-kelompok masyarakat yang hidup dalam kemiskinan juga menjadi perhatian utama Sunan Derajat. Dalam dakwahnya, Sunan Derajat menekankan pentingnya solidaritas dan gotong royong dalam masyarakat.
Sunan Derajat dikenal sebagai ulama yang memiliki jiwa sosial tinggi. Beliau sangat memperhatikan nasib kaum miskin serta pencapaian kesejahteraan sosial masyarakat. Sunan Derajat terlebih dahulu memberikan perhatian terhadap kehidupan sosial. Setelah itu Sunan Derajat baru menyampaikan tentang ajaran Islam.
Ajaran tentang etos kerja dan kedirmawanan sangat ditekankan oleh Sunan Derajat. Beliau juga mengajarkan kepada penduduk tata cara membangun rumah atau membuat tandu untuk mengangkut orang sakit. Ajaran Sunan Derajat ini pelan-pelan menjadi identitas masyarakat di Nusantara tentang pentingnya kerjasama di antara sesama. Masyarakat di Jawa mengenalnya sebagai gotong royong, saling membantu untuk kepentingan bersama.
Sikap simpatik Sunan Derajat ini berhasil mengambil hati masyarakat. Perlahan-lahan semakin banyak masyarakat yang mengikuti ajaran yang disampaikan Sunan Derajat. Dalam penyampaian ajaran Islam, Sunan Derajat ini berhasil mengambil hati masyarakat.
membuat sebuah falsafah yang dikenal sebagai pepalipitu atau tujuh ajaran dasar. Pepalipitu merupakan ajaran yang dijadikan pijakan dalam kehidupan. Bagian pertama adalah membangun resep tiasing sasomo. Bagian ini dimaknai sebagai saling menghormati dan toleransi terhadap sesama manusia.
Bagian kedua, Croning Suko Kutu Eleng Lan Waspodo Makna dari kalimat ini adalah Seseorang harus tetap waspada dan ingat kepada Tuhan Meskipun memperoleh kebahagiaan Atau memperoleh pencapaian lebih manusia Tidak boleh terlena dan harus tetap mengingat Tuhan. Bagian ketiga. Laksitoning subroto lanyipto marang peringko bayaning lampah.
Dalam kelimat ini, Sunan Derajat menekankan kerja keras sebagai upaya. manusia untuk mencapai cita-cita. Kerja keras yang dimaksud bukan hanya dalam ranah fisik, tetapi juga akal dan mental. Bagian keempat, Meperhardening Ponco Trio. Kalimat ini berhubungan dengan konsep pengendalian diri, berlatih kesabaran, dan menahan gejolak duniawi yang merusak.
Bagian kelima, Heneng. Hening-henung yang artinya adalah dalam keheningan akan dicapai jalan kemuliaan Hal ini merupakan konsep perjalanan manusia untuk berproses menuju kemuliaan yang hakiki Bagian keenam, mulia guno ponco waktu Bermakna bahwa pencapaian kemuliaan lahir dan batin dilakukan dengan menjalankan selat lima waktu Bagian ke-7 Artinya adalah memberikan tongkat kepada orang buta, memberikan makan orang yang kelaparan, memberikan pakaian kepada orang yang tidak punya, dan memberikan tempat berteduh kepada orang yang kehujanan. Bagian ketujuh tersebut merupakan solidaritas. Sosial yang ditekankan oleh sunan drajat Saling tolong menolong dan mudah untuk bersedekah Menggunakan bahasa yang mudah dan sederhana Membuat apa yang disampaikan sunan drajat Bisa dimengerti oleh masyarakat Hal inilah yang membuat masyarakat meninggalkan kepercayaan lamanya Dan beralih memeluk agama Islam Faktor lainnya yang memudahkan sunan drajat dekat dengan masyarakat Adalah kemampuannya dalam menggunakan instrumen kebudayaan Sebagai mana halnya Sunan Bonang yang menggunakan wayang sebagai media komunikasi dengan masyarakat Sunan Derajat pun melakukan hal yang sama Melalui wayang, Sunan Derajat menyampaikan ajaran pepalip itu Masyarakat yang ketika itu menggemari wayang mampu menerima dengan mudah apa yang disampaikan Sunan Derajat Selain wayang, Sunan Derajat juga mengubah beberapa jenis tembang Jawa untuk menyampaikan pesan-pesan falsafah kehidupan kepada masyarakat.
Tembang-tembang gubahan Sunan Derajat diiringi dengan perangkat gambelan, alat muzik yang populer di kalangan masyarakat Jawa. Perangkat gambelan yang digunakan Sunan Derajat dikenal dengan nama Singomengkok. Perangkat gambelan ini masih bisa ditemukan pada museum Sunan Derajat yang terletak di Lambongan.
Di museum ini beberapa peninggalan Sunan Derajat masih bisa dijumpai. Seperti lentera maupun kursi goyang Dalam catatan historiografi setelah berdakwah di Banjarwati Sunan Derajat bergerak ke arah selatan ke sebuah tempat yang lebih tinggi Tempat tersebut dikenal sebagai Dalam Duur Yang saat ini bernama Desa Derajat masuk ke dalam kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Di Dalam Duur ini Sunan Derajat terus melanjutkan aktivitas kecamatan dakwahnya dengan membangun sebuah pesantren strategi dakwah Sunan Derajat selalu menekankan pentingnya solidaritas sosial dan semangat gotong royong, sebuah sikap sosial yang menjadi ciri khas masyarakat di Nusantara hingga sekarang Pada kisaran tahun 1522 Masehi, Sunan Derajat tutup usia. Beliau dimakamkan di dalam duur yang sekarang dikenal sebagai Desa Derajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.
Wali Songo Bagian 8 Sunan Kudus Sunan Kudus, salah satu anggota wali Songo yang namanya diabadikan menjadi nama sebuah kota. Sebuah tempat di utara Demak menjadi pusat dakwah Sunan Kudus. Hingga akhirnya sampai sekarang kota tersebut dikenal sebagai kota kudus. Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Sunan Kudus.
Namun semua versi tersebut memiliki benang merah yaitu mengarah pada keluarga besar Sunan Ampel. Salah satu versi menyebutkan bahwa Sunan Kudus merupakan putra dari Sunan Undung atau dikenal juga dengan nama Sunan Ngundung. Disebutkan pula bahwa Sunan Undung merupakan putra dari Sultan Mesir.
Sunan Undung bersama saudarinya Roro Dempul pergi ke Cirebon. Mereka mengunjungi Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang masih merupakan saudara sepupu. Oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Undung disarankan pergi belajar ke Ambal Denta.
Sunan Undung kemudian dinikahkan dengan Syarifah, putri dari Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Undung dengan Syarifah inilah di awal 1500an Masehi lahir Jakfar Sodik yang diberi gelar Raden Fatihan. Kelak Jakfar Sodik akan lebih dikenal sebagai Sunan Kudus. Sumber-sumber sejarah yang ada tidak menyebutkan dengan detail masa pembelajaran Sunan Kudus. Selain berguru kepada Sunan Ngudung, catatan sejarah menyebutkan bahwa Sunan Kudus pernah berguru kepada Kiai Teling Sing.
Sebuah cerita tutur yang dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo menyebutkan bahwa Kiai Teling Sing berasal dari Cina, yang memiliki nama asli Teling Sing. Kiai Telingsing, seorang jina muslim tinggal di sekitar sungai Juwana yang sekarang masuk ke daerah Kabupaten Pati. Tempat tinggal Kiai Telingsing dikenal sebagai desa tajuk. Dalam berdakwah, Kiai Telingsing juga mengajarkan beberapa jenis keahlian seperti pandai besi, pengolahan emas, dan pembuatan alat-alat pertanian.
Beliau datang dari Cina bersama dengan rombongan Laksamana Chengho, pejabat tinggi kekaisaran Cina yang juga seorang Muslim. Laksamana Chengho tercatat memiliki anil dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Beberapa anak buah Laksamana Chengho yang Muslim, ditinggalkan di beberapa tempat untuk menyebarkan agama Islam. Pertemuan Kiai Telingsing dan Jakvar Sodik dituturkan berawal ketika beliau sudah berusia senja dan bermaksud mencari pengganti dalam tugas-tugas dakwahnya.
Setelah menoleh kesana kemari, Kiai Telingsing melihat kedatangan seorang pemuda yang ternyata adalah Jakvar Sodik. Kiai Telingsing dan Jakvar Sodik kemudian mendirikan sebuah majid yang dikenal sebagai Masjid Ngangu Wali Ngangu berasal dari bahasa Jawa Inga-ingu yang artinya Menoleh kesana kemari Sebagai mana pertemuan awal Kiai Telingsing dengan Cak Far Sodik Jakfar Sodik selanjutnya menggantikan Kiai Telingsing dalam penyebaran agama Islam. Desa Tajuk, tempat berdakwah Kiai Telingsing, dikemudian hari oleh Jakfar Sodik diubah namanya menjadi kudus.
Masih dalam cerita tutur disebutkan bahwa Jakfar Sodik pernah belajar di Ampeldenta. Hanya saja kemungkinan besar Jakvar Sodik tidak sempat berguru kepada Sunan Ampel. Pada kisaran tahun 1481 Masehi, Sunan Ampel telah tutup usia. Jakvar Sodik diketahui suka mengembara ke negeri-negeri yang jauh.
Beliau tercatat pernah pergi hingga ke Tanah Hindustan. Beliau pernah pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Jakfar Saudik dikenal sebagai ahli dalam bidang kerajinan emas, pandai besi, dan pembuatan benda-benda pusaka seperti keris, keahlian yang kemungkinan besar dipelajari dari Kiai Telingsing. Sebagai mana anggota wali sangol lainnya, dalam menjalankan dakwahnya, Sunan Kudus melakukan pendekatan yang persuasif.
Pada masa-masa tersebut, beliau melarang masyarakat muslim di kota Kudus menyembelih sapi ketika hari raya Idul Adha. Hal tersebut merupakan bagian dari strategi dakwah sunan Kudus ketika sebagian besar dari masyarakat masih memeluk Hindu. Sebagai gantinya, Sunan Kudus memerintahkan menyembelih kerbau sebagai hewan kurban pada hari raya itu Adha. Hingga saat ini masih ada sebagian dari masyarakat Kudus yang tidak menyembelih sapi sebagai hewan kurban, tetapi tetap menyembelih kerbau. Bukan hanya ketika hari raya idul adha, dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat kudus tetap tidak menyembeli dan memakan daging sapi.
Dalam berdakwah, sunan kudus berpegang pada surat an-Nahl ayat 125 yang berbunyi, Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Seperti anggota wali songol lainnya, Sunan Kudus menggunakan pendekatan seni dan budaya. Pendekatan ini sangat penting untuk memahami sosioantropologi masyarakat.
Sunan Kudus juga memperkenalkan teknologi terapan tepat guna semisal teknik pengolahan emas yang sangat dibutuhkan. Saat itu, selain barter, perdagangan masih menggunakan metak uang emas dan perak. Nusantara memiliki bandar berikutnya.
bandar yang melibatkan aktivitas perdagangan internasional. Teknik terapan lainnya yang diperkenalkan Sunan Kudus adalah bidang arsitektur. Beliau membuat beberapa peralatan pertukangan yang memudahkan dalam proses pembangunan.
Dalam hal arsitektur, Sunan Kudus berhasil memadukan arsitektur bercorak Hindu dengan arsitektur bercorak Islam. Peninggalan sejarah yang berciri arsitektur kompromis Hindu-Islam ini bisa dilihat dalam bentuk menara Masjid Kudus. Begitu halnya dengan lawang kembar atau pintu gerbang masjid kudus yang bercorak gerbang alam aja pahit Sunan kudus tercatat pernah melakukan perjalanan dakwah luar Jawa Catatan ini terdokumentasikan dalam naskah kuno yang dimiliki oleh masyarakat Muara Enim, Sumatera Selatan Naskah yang bernama Bebe Karang Enim tersebut mencatat tentang Syekh Jafar Sodik bersama Syekh Jalaluddin Jalaluddin yang diutus Raden Fatah berdakwah ke daratan Sumatera. Bersama mereka juga turut dua ulama yaitu Syekh Ahmad Muhammad dan Syekh Yusuf Ibrahim. Mereka berempat berdakwah hingga ke wilayah Bengkulu.
Masing-masing dari empat ulama tersebut mencari masing-masing sepuluh murid. Syekh Jalaluddin disepakati sebagai pemimpin tugas dakwah di Sumatera. Empat puluh murid.
itu kemudian dibuatkan pemondokan di satu wilayah untuk belajar agama dari sinilah Cikal bakal berdirinya kota Muara Enim sebagai anggota walis Songo di masa transisi politik seiring melemahnya Majapahit Sunan Kudus setidaknya terlibat dalam tiga peristiwa penting hai hai Sunan Kudus terlibat dalam pertempuran melawan sisa-sisa kekuatan Majapahit yang bertahan di Kediri. Tugas yang sebelumnya diemban oleh Sunan Ngudung namun gagal. Sunan Kudus juga menumpas gerakan Ki Ageng Pengging bersama Seh Siti Jenar yang dianggap makar oleh Kesultanan Demak.
Pasca wafatnya Sunan Ngudung, Sunan Kudus juga ditunjuk sebagai Imam Masjid Agung Demak. Di masa kepemimpinan Sultan Trenggono, Sunan Kudus ditunjuk sebagai kodi atau hakim negara yang bertugas merumuskan hukum-hukum yang berlaku di Kesultanan Demak. Setelah Sultan Trenggono wafat, Demak mulai dilanda kekisruhan politik.
Sunan Kudus kemudian pergi dari Demak dan memusatkan dakwahnya di kota Kudus. Di masa-masa inilah, Sunan Kudus mulai menata desa Tajuk. Selain mengubah nama Tajuk menjadi Kudus, Sheikh Jaqfar Sodik juga membangun pesantren dan sebuah masjid. Masjid Kudus dengan menara yang ikonik dianggap sebagai karya arsitektur dengan menggabungkan kebudayaan Jawa, Hindu, dan Islam.
Dalam beberapa sumber sejarah, sebutan Sunan Kudus sendiri diperoleh ketika beliau sudah menetap di kota Kudus. Sunan Kudus merupakan salah satu wali songo yang memiliki peninggalan dalam bentuk bangunan fisik dan Masjid Kudus dengan menaranya yang ikonik tersebut adalah salah satunya. Sunan Kudus tutup usia pada kisaran paruh ke-2 abad ke-16. Beliau dimakamkan di kompleks pemakaman bagian belakang Masjid Agung Kudus.
Wali Songo bagian 9 Sunan Muria Sunan Muria merupakan wali termuda dari semua anggota Wali Songo Beliau adalah putra tertua Sunan Kalijogo dari pernikahannya dengan Dewi Saroh. Sunan Muria lahir dengan nama Raden Umar Sahid. Ada pula yang mengatakan nama kecilnya adalah Raden Prawoto.
Dewi Saroh adalah putri dari Syekh Maulana Ishak. Ibu dari Sunan Muria ini masih merupakan saudara dari Sunan Giri. Kemungkinan besar Dewi Saroh adalah saudara Sunan Giri namun berbeda ibu. Catatan historiografi tidak terlalu banyak mengutip Kiprah Sunan Muria.
Kiprah Sunan Muria lebih berasal dari cerita tutur. Berbeda dengan kiprah para anggota Walisongol lainnya yang banyak terdokumentasikan dalam sejarah. Penyebabnya adalah karena selain Sunan Muria, para anggota Walisongol lainnya banyak berinteraksi dengan keluarga istana, mulai dari Majapahit, Demat, dan Pajang.
Bahkan, Sunan Kalijogo, ayahanda Sunan Muria, tercatat masih berinteraksi dengan Mataram Islam hingga masa kepemimpinan Panembahan Senopati. Sedangkan Sunan Muria sendiri lebih banyak beraktivitas di sekitar Gunung Muria, sebelah utara Demak. Beliau memilih hidup berdampingan dengan rakyat kebanyakan. Aktifitasnya di sekitar Gunung Muria inilah yang membuat Raden Umar Said Kelak dikenal dengan nama Sunan Muria. Sebagai putra seorang anggota Walisengok, Sunan Muria memulai pendidikannya dari Sunan Kalijogo.
Sunan Muria mempelajari bagaimana kehidupan masyarakat beserta kebudayaan yang dianudnya. Di masa Sunan Muria, masyarakat sebagian besar masih memeluk ajaran Hindu, Buddha. Dan sebagian lainnya masih mengikuti ajaran animisme, dinamisme.
Dalam sebuah cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Muria menjalani sebuah ritual yang disebut Topongeli yang maksudnya bertapa dengan cara menghanyutkan diri di sungai. Namun dalam konteks sekarang yang dimaksud dengan Topongeli lebih ke arah membaurnya diri ke dalam masyarakat tanpa harus mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik. Seorang pendakwa sudah seharusnya membawarkan diri ke dalam masyarakat, namun dengan upaya membuat mereka ke arah yang lebih baik.
Seperti Sunan Kalijogo, Sunan Muria juga mempelajari kesenian wayang. Salah satu kesenian yang populer pada masa tersebut adalah wayang. Sunan Kalijogo sudah menggunakan wayang sebagai media berdakwah, sebagaimana halnya Sunan Bonang dan Sunan Giri.
Selain belajar kepada Sunan Kalijogo, Sunan Muria juga belajar kepada Sunan Ngerang. Bersama dengan Sunan Kudus, Sunan Muria sempat menimba ilmu di pesantren Sunan Ngerang. Syekh Nurul Yakin atau yang dikenal sebagai Sunan Ngerang adalah seorang ulama yang berkedudukan di daerah Juwana, Pati. Sunan Ngerang pernah diundang oleh Sunan Ampel dalam pertemuan para ulama di Ampel Denta. Hal tersebut menunjukkan bahwa Sunan Ngerang termasuk salah satu ulama yang berjasa menyebarkan ajaran Islam di Jawa.
Selama belajar di Juwana inilah, Sunan Muria dinikahkan dengan Dewi Roroyono, putri dari Sunan Ngerang. Selain dari Sunan Kalijogo dan Sunan Ngerang, belum terdapat sumber sejarah yang menyebutkan guru dari Sunan Muria. Setelah belajar sekian tahun lamanya, Sunan Muria memulai aktivitas dakwahnya. Beliau membangun sebuah masjid di puncak Gunung Muria.
Kemudian tidak jauh dari masjid tersebut, Sunan Muria membangun sebuah pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam. Pada masa tersebut, Gunung Muria berada pada sebuah pulau yang terpisah dari daratan Jawa. Sebelum terjadinya pendangkalan akibat semburan lumpur, terbentang sebuah selat yang menghubungkan Muria dengan pesisir demak.
Karena itulah. Pada masa-masa tersebut, Demak masih menjadi kota pesisir dan Muria sebuah pulau yang berada di seberang utara Demak. Raden Umar Said mengawali dakwahnya di sekitar Gunung Muria. Di kemudian hari, Raden Umar Said lebih dikenal sebagai Sunan Muria. Sebuah masjid dan pesantren dibangun di puncak Gunung Muria sebagai pusat peribadatan sekaligus pusat pendidikan agama Islam.
Mengacu kepada efektivitas cara berdakwah Sunan Kalijogo yang menggunakan Bahkan media kesenian, Sunan Muria pun melakukan hal yang sama. Lakon Dewa Ruci, hasil gubahan Sunan Kalijogo, merupakan satu tema yang juga sering dimainkan oleh Sunan Muria. Selain lakon Dewa Ruci, Sunan Muria juga membawakan lakon lainnya hasil gubahan Sunan Kalijogo seperti Dewa Serani, Jamus Kalimassada, Begawan Ciptaning, dan Semar Ambaran Jantur.
Melalui kesenian wayang yang telah disesuaikan dengan ajaran Islam, Sunan Muria menyampaikan pengetahuan yang berhubungan dengan Tauhid. Media dakwah lainnya yang digunakan Sunan Muria adalah tembang-tembang Jawa. Sunan Muria dikenal sebagai pencipta tembang-tembang cilik jenis Sinom dan Kinanti. Sunan Muria seperti anggota wali sengol lainnya banyak melakukan alkulturasi budaya. Berbagai kebiasaan lama tidak ditentang oleh Sunan Muria selama masih bisa disesuaikan dengan ajaran Islam.
Seperti halnya tradisi kenduri untuk orang yang meninggal, Sunan Muria memodifikasinya dengan mengisi bacaan-bacaan yang bersumber dari surat-surat di Al-Quran. Metode dakwah yang tidak memaksa dan penuh kebijaksanaan ini lambat laun membuat masyarakat di sekitar Muria mulai mengikuti ajaran Islam. Masyarakat pun mendalami ajaran Islam di pesantren Sunan Muria.
Pendidikan di pesantren ini penting sebagai regenerasi dakwah agar terus berkelanjutan. Daerah di sekitar Gunung Muria pada awalnya bukanlah tempat yang aman. Kaki Gunung Muria penuh dengan para perampok, begal, dan pencuri yang bengis. Muria yang ketika itu masih merupakan pulau tersendiri dan terpisah dari Jawa sangat tepat dijadikan sarang persembunyian para penyamun. Sunan Muria terlebih dahulu harus menghadapi para perampok dan pencuri tersebut.
Sebagai seorang pendakwah, Sunan Muria tentu saja berusaha membawa mereka keluar dari dunia kejahatan. Terdapat sebuah kisah tentang Kiai Mas Hudi yang sebelumnya adalah perampok dan sangat menentang kedatangan Sunan Muria. Pada akhirnya, Kiai Mas Hudi insyaf dan menjadi murid Sunan Muria.
Dalam dakwahnya, Sunan Muria lebih banyak memusatkan perhatiannya kepada kalangan rakyat jelata. Hal inilah yang menyebabkan Sunan Muria terkesan menjauh dari pusat kekuasaan saat itu, yaitu Kesultanan Demak. Meskipun dalam beberapa kesempatan Sunan Muria berkunjung ke ibu kota Kesultanan.
Sunan Muria dengan tekun berdakwah dan menemui lapisan terbawah masyarakat. Dalam dakwahnya Sunan Muria terus mendekati masyarakat yang memiliki latar belakang beragam profesi. Sunan Muria memberikan beberapa jenis keterampilan kepada penduduk agar mereka bisa memiliki waktu luang untuk mempelajari agama Islam.
Perjuangan dakwah Sunan Muria berhasil menyebarkan Islam dari Gunung Muria hingga sampai beberapa wilayah di sekitarnya. Meskipun terkesan menjauh dari pusat kekuasaan, Sunan Muria memiliki loyalitas kepada Kesultanan Demak. Wafatnya Sultan Trenggono yang kemudian digantikan oleh puteranya Sunan Prawoto ternyata memicu ketegangan politik.
Arya Penangsang, Adipati Jipang menuntut tahta kesultanan karena merasa memiliki hak untuk berkuasa atas demat. Sunan Muria menyatakan mendukung tahta kesultanan tetap berada pada garis keturunan Sultan Trenggono. Namun Sunan Muria memilih tidak terlibat. terlibat dalam aktivitas politik seiring memanasnya demak dan Jipang beliau menjauhkan diri dari politik istana dan terus melanjutkan dakwahnya ke pelosok-pelosok wilayah yang belum tersentuh Islam hingga akhir hayatnya Sunan Muria konsisten dalam dakwahnya di kalangan rakyat Jelata sampai saat ini belum ada catatan pasti mengenai tahun wafatnya Sunan Muria setelah tutup usia Beliau dimakamkan di kawasan puncak Gunung Muria Jika Anda suka video kami, jangan lupa untuk subscribe, like, dan memberi komentar.
Nyalakan loncengnya agar mendapatkan notifikasi dari video terbaru kami. Terima kasih.