Hari ini gue ngobrol bersama Nagota Jina, seorang psikolog dan juga penulis buku. Kita akan ngobrolin soal menjadi dewasa. Let's go! Halo, apa kabar? Baik, Bang Radit.
Sebelumnya, maaf ya gue tadi telat. Gara-gara sekolah anak gue di sini. Oke. Besok ada Father's Day, tapi Father's Day ala orang Australi. Jadi hari ayahnya Australi.
Bedanya apa? Bedanya... Itu bapak-bapak Australia Beda tanggal kayaknya ya Beda tanggal Terus apa namanya Kita nge-band, jadi bapak-bapak nge-band Para bapak-bapaknya si anak-anak Para bapak-bapak dari anak-anak ini nge-band Terus gue baru dari Blitar Baru balik dari Blitar Langsung kesana, jam 3 kita latihan Jam setengah 4 Gue udah mau cabut, tapi Ada pemain kahon kita orang Filipin Nanti dulu, nanti dulu, Jason Miras dulu, Jason Miras dulu Main dua lagu Jason Miras Baru nyampe sini deh Oke, kita hari ini ngobrolin soal psikologi ya Ini ada hubungannya sama bukunya juga Aku yang sudah lama hilang Ini katanya Gilang tadi, ini buku menjadi dewasa, betul Betul, udah baca berarti?
Udah baca Oh gitu? Tapi kalau lo tau ini soal menjadi... Lewat di eksplor. Oh lewat di eksplor. Oke.
Jadi buku apa ini sebenarnya? Ya jadi, gue berusaha untuk mengangkat mungkin fenomena yang banyak orang alami gitu ya. Ketika kita menjadi dewasa.
Iya. Kayak gue temuin di beberapa konseling, atau beberapa cerita, orang-orang yang gue ajak ngobrol. Kayaknya kita tuh relatif lebih mudah happy, bahagia waktu jadi anak-anak. Betul. Kayak pulang, main game, main sama temen, tidur.
nggak banyak tanggung jawab dan ekspektasi di hidup kita. Tapi seiring dewasa, itu pelan-pelan dunia mulai complicated. Dunia mulai komplik kita, tugas yang kita pegang juga semakin banyak. Dan banyak ekspektasi dari orang sekitar.
Nah itulah yang membuat kadang kita menjadi sedikit mengorbankan diri kita. Artinya? Artinya kita tidak bisa sebebas dulu.
Kita tidak bisa terbuka dalam mengekspresikan diri kayak dulu. Dan mungkin kadang kita cendung untuk mengikuti apa yang orang harapkan tentang diri kita. Nah disitu pelan-pelan mulai terputus tuh hubungan kita dengan diri sendiri.
Makanya judulnya, Aku yang sudah lama hilang Wih, serem juga ya Berarti ini soal Kita dulu yang bahagia Tapi sekarang kita gak jadi diri sendiri Karena menjadi dewasa itu Membuat kita harus berpura-pura jadi orang lain Iya, berpura-pura menjadi orang yang bukan kita Betul Orang lain Iya, orang lain Betul Bukan kita berarti orang yang lain ya Oke, tunggu dulu Berarti contoh konkret Misalnya di sesi konseling Apa yang terjadi? Anggaplah gini, anggaplah seseorang yang introvert. Iya. Dia lebih suka spend waktu luangnya sendiri untuk recharge, untuk... Ya composing him or herself sendiri gitu kan ya.
Tapi di satu sisi dia bekerja di lingkungan yang mengharuskan dia terkoneksi dengan banyak orang. Oke. Dia harus berjejaring, dia harus networking.
Sementara itu enggak dia banget gitu. Oke. Untuk berinteraksi sama manusia lain? Untuk berinteraksi sama manusia lain. Lalu?
Sehingga. Pelan-pelan dia mulai kekurangan waktu untuk memikirkan dia sendiri. Waktu untuk sendiri dan seterusnya.
Itu baru pekerjaan. Belum lagi keluarga. Kita kan namanya individu ketika sudah menikah, sudah punya anak.
Kita juga punya peran sebagai seorang ayah. Ibu, istri atau suami gitu kan ya Bersama dengan peran-peran itu Mulai muncul juga tuh Banyak ekspektasi, banyak tanggung jawab Sehingga kita semakin Sedikit punya Waktu dan perhatian untuk kita sendiri Apa yang apa yang kita mau lakukan, apa passion kita mungkin, apa keinginan kita mungkin, itu pelan-pelan kita korbankan demi mengikuti tuntutan-tuntutan itu. Itu berarti kan masalahnya manifestasinya ke apa?
Ke tidak bahagiaan kah? Ke cemasan kah? Intinya tidak menjadi autentik.
Tidak menjadi autentik. Yang termanifestasi dengan? Tidak menjadi autentik, sehingga akhirnya muncul perasaan kosong dalam hidupnya. Perasaan tidak puas. Oke.
Rutinitasnya tidak berbakna Oke Dan kalau di buku itu Gue bilang kayak Kita tuh ngejalanin rutinitas Kayak zombie gitu loh Hidup tapi Nggak hidup gitu Hanya sekedar mengikuti Hidup Tapi Nggak ada maknanya Buat diri kita Oke berarti artinya Indikasinya adalah Kalau kalian Di rumah Ngerasa kosong Ngerasa kosong Ngerasa kayak Hidup gue gini-gini doang Ya Itu artinya mungkin Lu tidak Menjadi diri lo yang seutuhnya Betul Oh Oke, berarti banyak yang datang ke sesi konselingnya dengan masalah itu? Iya. Tapi konteksnya beda-beda.
Oke. Ada dalam pekerjaan, ada dalam hubungan dengan pasangan, dengan orang tua. Ada juga mungkin dengan ya relasi dia dengan spiritualitas, atau bagaimana dia exploring hobi dan hal-hal yang dia sukai. Konteksnya macam-macam, tapi intinya tetap kayak gitu.
Ada nggak yang jadinya destruktif? Ketika kita misalkan gini nih, kita tidak menjadi diri sendiri, karena kita berusaha untuk memenuhi suatu peran. Anggaplah peran yang paling sering muncul adalah kita sebagai anak. ingin menjadi anak yang baik. Kan banyak tuh, misalkan gue nerima klien situasinya dimana dia sudah beranjak dewasa, tapi banyak pilihan hidupnya tuh masih dipaksakan oleh orang tuanya.
Oh, jurusan kuliah lah, kerja. Pasangan. Pemilihan pasangan, betul.
Itu kan kita sebagai anak, kita pengen dong memenuhi peran sebagai anak yang baik. Iya. Dan kadang itu terjadi sampai-sampai kita mengorbankan apa yang kita inginkan, pilihan kita, demi mengikuti pilihan orang tua. Awalnya mungkin kita...
bilang, oh yaudah, gue akan berusaha untuk jadi anak baik dan seterusnya. Tapi namanya kita manusia sebenarnya kita ada dong drive untuk pengen autentik. Kita pengen menjadi diri kita sendiri dan seterusnya.
Ketika itu tidak muncul dan ketika jalan yang dipilihkan orang tua ini akhirnya outcome-nya buruk juga buat kita, mulai muncul resentment. Kemarahan, kekesalan sama orang tua. Orang tuanya bingung dong. Ya, gue kan dulu cuma ngarahin lo ini, gitu kan.
Lo sendiri yang bilang, oke, tapi kenapa sekarang lo marah sama gue, gitu kan. Itu sering terjadi. Sehingga destruktif itu artinya dia mulai mungkin merusak hubungan sama orang tua.
Nggak mau ngomong lagi. Berjarak. Pas lebaran nggak pulang, gitu kan. Jadi jaraknya pelan-pelan mulai ada.
Itu kalau dalam sisi hubungan. Gitu, misalnya. Tapi kadang di satu sisi orang tuanya justru bingung kali. Iya. Kok anak gue gak pernah nelfon gue, kok anak gue gak pernah ini gitu.
Kalau kita ini, kalau klien datang ke gue, itu gue selalu berusaha untuk melihat dari sudut pandang klien. Oke. Jadi ya namanya klien pasti dia melihat. Quote-unquote musuhnya disini orang tuanya dong. Tapi sebenarnya kalau ternyata gue punya kesempatan ngobrol sama orang tuanya, orang tuanya juga bingung gitu loh.
Gue kan namanya orang tua cuma pengen yang terbaik buat si anak. Dan setau gue itu pilihan yang terbaik. Oke.
Tapi si anak... Tidak merasa demikian, si anak merasa dia tuh dipaksa untuk itu Dan dia memilihnya, hasilnya buruk dan dia kecewa sama orang tuanya Si orang tuanya bingung, gue salah apa gitu Nah sering terjadi miskomunikasi kayak gitu Oke, tapi yang dilakukan anaknya justru meng-avoid orang tuanya Karena menurut dia ini sumber masalahnya dari orang tua Benar gitu Jadi artinya Dua-duanya nggak ada yang ngomong gitu kan? Iya, artinya mereka, nah ini juga nyambung sebenernya.
Mereka berdua tidak menjadi autentik dengan apa yang mereka pikirkan masing-masing. Oke. Walau sebenernya si anak bisa dengan jujur mengungkapkan, gue nggak mau memulih itu.
Nah, kalau dimarahin? Nah, kalau dimarahin, pertama gini. Gue berusaha di dalam sesi-sesi gue, bilang ke klien bahwa konflik itu nggak bisa dihindari.
Oke. Justru konflik adalah kesempatan kita untuk saling memahami. Oke. Kadang yang lebih bahaya malah kalau nggak ada konflik. Betul.
Karena itu artinya sebenarnya ada, tapi ditutupin atau dihindari. Betul. Makanya gue lebih encourage, ya nggak apa-apa.
Ngomong dulu, bertengkar dulu. Siapa tahu dalam sesi-sesi. Sisi pertengkaran itu mereka mulai bisa memahami sudut pandang satu sama lain. Tapi yang persoalannya kadang ada posisi, ini nggak cuma soal orang tua ya. Tapi soal yang lebih tua di masyarakat, soal senior.
Dimana kadang ada egonya, kadang nggak mau dia yang kalah gitu ya. Katakanlah kayak gitu ya bahasa kasarnya. Padahal konflik itu kan dibutuhkan untuk mencari sinergi yang paling bagus kan.
Betul. Tapi itu kan di luar konteks. kontrol si manusianya kan di luar kontrol kita ya kalau tadi bicara soal klien apa yang dilakukan orang tua atau atasan, apa kan di luar kontrol dia gimana caranya supaya tetap bisa menjadi diri yang otentik meskipun dari kecil, dari SD, CMP, CMA dia udah di smash mulu tuh tiap kali punya pendapat yang beda di rumah katakanlah gitu ada dua cara menjawab persoalan ini ya Pertama, memang pasti akan sulit ketika si anak ini masih belum punya kemandirian sendiri. Kemandirian artinya secara finansial.
Ya kalau lo masih dibiayai orang tua lo untuk kuliah, lo masih tinggal di tempat orang tua. Susah dong untuk bisa sepenuhnya autentik dan mandiri. Oke. Kalau yang itu memang susah. Dan arahnya biasanya kalau yang counseling yaudah kita fokus ke bagaimana lu bisa mandiri dulu.
Oh. Iya kan? Oke. Tapi banyak orang sebenarnya secara di atas kertas sudah mandiri. Tapi ketika...
Ketika dia berusaha untuk membuat keputusannya sendiri, dia ngerasa bersalah karena menentang orang tuanya. Perasaan bersalah ini yang berusaha dia hindari sehingga dia akhirnya kembali ke keputusan yang mengikuti orang tua itu, tradisi, value-value yang lama, dan seterusnya. Dimana sebenarnya nggak masalah kalau lo juga pengen kayak gitu. Tapi banyak orang memilih itu hanya karena tidak ingin bertentangan dengan orang-orang yang diatasnya yang lebih senior. Karena takut dianggap durhaka yang gitu-gitu.
Iya, takut dianggap durhaka. takut tidak memenuhi perannya sebagai anak yang baik sehingga dia lebih memilih untuk gue ikut aja meskipun itu mengakibatkan ketidakpuasan dalam diri dia. Tapi pada akhirnya dia harus mengalahkan perasaan itu untuk menjadi bahagia?
Ya. Berarti ini aja lah, nekat aja gitu ya? Prinsipnya segini. Pertama, kita harus paham bahwa menjadi autentik itu spektrum. Jadi gak mesti ketika kita jujur pasti berantem sama orang tua, bertentangan sama orang tua, enggak juga.
Hmm. Kadang kita juga bisa menemukan batas yang agree to disagree. Oke untuk yang ini aku bisa pilih sendiri.
Untuk yang ini memang harus masih diskusi sama orang tua, bentrok sama orang tua dan lainnya. Tapi at least kita memperjuangkan authenticity kita gitu. Oh paham sih.
Paham-paham. Jadi artinya kalau kita nggak ngomong, kita nggak pernah punya kesempatan untuk jadi authentic ya. Iya benar. Meskipun ujungnya di smash.
Iya. Tapi kita ngasih ruang diri kita untuk menjadi diri sendiri. Benar.
Oh. Gue selalu menekankan itu ke klien Kayak kita gak ngomongin outcome ya Entah artinya orang tuanya bakal setuju Entah nantinya lo bakal dikekang Gak dibolehin dan lainnya Tapi kita sedang berusaha mendidik diri lo nih Supaya lo menjadi autentik Di berbagai situasi Terlepas dari outcome dari situasi yang kayak ini Seberapa banyak orang yang datang ke konseling dan ternyata problemnya itu akarnya di orang tuanya? Hmm banyak sih Banyak banget ya? Mungkin 80% Wih itu mah lebih dari setengah ya?
Ini sih pengalaman gue ya Karena ya kalau kita ngomongin Masalah kan pasti dari masa lalu dong. Iya. Dan kalau dikomunikasi masa lalu, orang pertama yang kita ajak berelasi di dunia ini adalah orang tua.
Wah ini coba-coba ya. Gue punya anak nih soalnya nih. Gimana caranya nih supaya...
Supaya ada yang kita hindari sebagai orang tua lah ya. Maksudnya ada sebuah tips nggak? Karena kan pasti di ruang konseling 80% problemnya karena itu. Dari sisi gue sebagai orang tua.
Sebenarnya kalau fokus spesifik ke anak. Gue bukan bidangnya disana. Oke. Karena gue kan bidangnya klinis dewasa. Oke.
Jadi sebenarnya gue menanggepin atau menghadapi klien-klien yang sudah dewasa sebenarnya. Oke. Meskipun ya ada lah sedikit belajar tentang anak-anak, tapi itu sebenarnya lebih banyak fokusnya ke psikolog yang anak.
Oke. Tapi sih intinya kalau yang berhubungan sama approach gue dan juga tentang... Masalah-masalah yang gue hadapin itu lebih ke arah bagaimana di usia tertentu, anak juga mesti diajarkan untuk diberikan kebebasan atau ruang untuk mengekspresikan dirinya.
Oh itu paling penting ya? Penting. Karena ketika dia tidak mendapatkan ruang untuk itu, kita nggak tahu ke depannya ketika dia berrelasi sama orang lain juga, dia juga akan takut untuk menjadi otentik.
Hampir semua problem yang datang itu berarti karena tidak menjadi diri yang otentik gitu? Kalau menurut gua, karena kacamata gua, approach-nya namanya humanistic existential. Itu tentang bagaimana manusia menjadi dirinya sendiri, sehingga dia bisa memenuhi potensinya dalam hidup ini.
Tapi dalam psikologi kan ada banyak approach, Bang. Ini salah satunya yang gue pegang. Kayak gitu. Oke, oke. Adiksi.
Soal adiksi. Itu problemnya ke arah situ juga kah? Jadi gini bang.
Kalau misalkan ada klien datang. Dengan satu masalah. Ya adiksi, depresi, relasi, dan lain-lain. Kita bisa melihat kacamatanya berbeda-beda Oke Kalau ilmu psikologi itu ada tiga mazhab besar Atau tiga aliran besar Yang biasanya kita gunakan untuk Sebagai kacamata melihat klien Oke Yang pertama itu psikodinamika Itu siapa sih?
Simon Freud, Carl Jung Itu melihat manusia itu adalah produk dari Masalah-masalah di masa lalu Yang membuat secara tidak sadar Mengganggu hidup dia yang sekarang Yang kedua itu kognitif behavioral. Jadi banyak problem kita adalah dari secara kognitif yang salah yang mengibarkan perilaku yang salah juga. Perilaku yang destruktif tepatnya.
Nah adiksi sebenarnya lebih banyak dilihat dari kacamata kognitif behavioral. Nah yang ketiga itu humanistik. Itu yang gue pegang.
Nah kalau adiksi mungkin gue juga kadang mendapatkan kain yang itu. Tapi mungkin sebenarnya kalau secara ilmu lebih. lebih cocok kalau dilihat dari kacamata kognitif behavior.
Oke. Tapi cara paling gampang untuk mengatasi itu? Nah, gini.
Kalau misalkan kita ngomongin adiksi dari kacamata kognitif behavioral. Kita melihat bahwa perilaku adiksi adalah perilaku yang merupakan rantai perilaku. Oke. Jadi misalkan kita awalnya punya keinginan untuk setiap malam baca buku.
Iya. Biasanya kan kita sudah punya rentetan ritual malam sebelum tidur ya. Kayak mandi, minum susu, tiduran di kasur, lalu tidur. Nah ketika kita mau mulai menyisipkan behavior baru, itu kita harus menyelipkan suatu hal di rentetan ritual tersebut. Supaya semua ritual rantai itu terjaga, sehingga behaviornya lebih mudah untuk muncul.
Nah kalau adik sih kebalikannya, ketika kita menggunakan mungkin zat tertentu atau melakukan perilaku tertentu yang destruktif, biasanya, biasanya sudah ada rantai juga. Contohnya misalkan apa? Contoh adiksi yang Bang Radit pengen tanyain. Apa ya? Judi?
Judi. Misalkan nih, ini aku kan nggak tau ya, aku belum pernah yang nanggin judi online, tapi kurang lebih misalkan kayak gini, Bapak-bapak sering kumpul sama temennya di kompleks. Kalo di kompleks main judi kartu atau gimana, atau gel gitu kan.
Terus temennya ada yang nawarin, nih bisa dapet lebih banyak kayak gini gitu. Akhirnya pulang, dia buka email, Mbanking tertentu, dia transfer Dia judi dan seterusnya Ada kan rentetan perilakunya disana Nah kalau kita mau menghilangkan siklus ini Kita putus salah satu habitnya disana Oh I see Bisa dengan gak kumpul lagi sama temennya Atau delete aplikasi Mbankingnya gitu, jadi kita putus Satu perilaku sehingga gak nyambung lagi Kayak gitu Sama kayak gue kecanduan football manager berarti ya Harus uninstall dulu ya Iya, lihat di twitter Wih ada youngster baru nih Gitu kan, langsung buka membuka di laptop, kayak gitu Eh, main juga nih kayaknya football manager Gue ngingetin bola tapi Dan sampe main football manager ya Kayaknya habis banyak waktu Itu menyerap semuanya sih Oke, karena ini tadi soal sekolah klinis untuk dewasa ya Seberapa banyak yang datang karena cinta? Cinta dalam konteks? Pasangan. Pasangan.
Patah hati deh putus cinta dan gak bisa balik lagi gitu. Gak bisa di cover gitu. Ada gak? Ada sih, tapi gue belum pernah mikirin persenannya sebenernya.
Mungkin 20 persen, 30 persen. Oke, problem yang paling banyak di orang dewasa soal cinta itu karena apa biasanya? Gue nggak bisa bilang untuk semua psikolog, tapi kalau buat gue, satunya selingkuh. Selingkuh?
Ya diselingkuhin tepatnya. Jadi artinya gimana caranya melupakan dia? Ya gimana caranya recover dari Ya selingkuh itu kan Sorry Kalau dia diselingkuhin Itu kan cukup memberikan impact ya Sama relasi dia Keluarga dia Dan keberhargaan diri dia Oke wah ini seru nih Nggak seru buat dia ya Tapi ini menarik buat dibahas nih Ketika orang diselingkuhi Datang ke psikolog Ya Apa yang berusaha dikoreksi dari situ? Berarti kan intinya dia punya masalah, tapi masalahnya itu bentuknya apa?
Apa dia depresi atau? Bisa depresi, bisa emosinya meledak-ledak. Marah-marah?
Marah-marah, bisa ganggu performa. Jadi sering cuti, gak masuk, dan seterusnya. Oke, jadi ketika seseorang diselingkuhin, datang ke lu, minta dibalikan ke dirinya yang dulu?
Apa gimana tuh? Sebenernya niatan awalnya pasti gitu. Oke. Tapi gua berusaha. Gue berusaha untuk gak langsung lompat ke sana.
Oke. Karena ini emosi yang harus diproses dulu. Oke.
Dan kadang kalau kita mikir end goal-nya, gue harus bisa kembali kerja kayak dulu lagi. Oke. Itu kayak denial sama perasaan yang dia miliki saat ini.
Oke. Wah itu, itu sebelum kita lebih jauh ya. Iya. Kata-kata soal memproses emosi itu penting juga ya.
Karena waktu itu gue lagi, kucing gue meninggal kan. Oh. Yang umurnya udah berapa belas tahun tuh, 14 tahun.
13 tahun apa 13 tahun? Morganisa. Di hari dia meninggal tuh gue lagi kerja disini nih. Di cafe-nya.
Di cafe dekat sini nih. Terus dikasih tau tuh. Kucing gue matinya di klinik.
Karena emang udah gak bisa diselamatin lah. Kita bawa ke klinik, kita inepin. Tapi ternyata disana matinya.
Nah pas gue dikasih tau gue lagi di tengah kerja kan. Jadi gue belum bisa mau proses tuh. Terus abis itu gue pergi ke sebuah tempat lah ya.
Ada wartawan. Apa? Terus suara tawannya minta waktu gitu Terus gue bilang mau ngomongin apa gitu Mau ngomongin soal kucing Aduh gue masih ini nih Baru banget tadi terima kabarnya nanti aja deh Terus katanya ya bentar aja dah Mas Radit gini Bang Radit gini Yaudah deh bentar ya gue kerja dulu Nanti gue kasih tangkepan deh gitu Udah terus sih Di wawancara gue sama wartawan itu, terus dia nanya kan, ceritanya gimana, apa yang dirasain gitu.
Pas gue ngomong ke depan wartawan tuh, mau nangis gue. Karena gue baru sadar, dan gue bilang di depan dia, Bentar, kayaknya gua belum memproses ini semua sih. Gua belum punya waktu buat processing perasaan ini. Benar-benar. Dan akhirnya pas di rumah baru tuh gua bisa, oh ini tuh rasanya gitu loh.
Jadi akhirnya gua bisa ngerasain. Nah mungkin kadang, tadi kita ngomongin diselingkuhin ya. Ya ya.
Mungkin kadang dia belum punya waktu buat... Buat memproses perasaan itu gak sih? Karena ditimpa sama banyak hal gak? Iya.
Itu nyambung juga sama yang kita ngobrolin awal tadi kan. Menjadi autentik gitu kan. Oke. Kalau seorang baru aja mendapatkan berita buruk dalam hidupnya. Iya.
Orang yang disayangkan. meninggal, atau orang yang sayang meninggalkan dia kita pasti muncul perasaan yang campur aduk shock iya marah iya sedih iya, kecewa iya, macem-macem dan kita butuh waktu untuk membiarkan itu Apa ya istilahnya Meletup, terbakar Masih bersemayam dalam diri kita Sebelum akhirnya kita bisa let go lah Ibaratnya Tapi ya hidup kan masih jalan dong Masih ada kerjaan Masih ada tuntutan, masih ada tugas Akhirnya kita gak bisa Punya ruang untuk ngomong yang ini Sebenernya itu prinsip utamanya Counseling Counseling itu dalam waktu satu jam Kita dapet ruang dan waktu untuk memproses hal yang Belum sempat kita proses Oh Di dalam counseling, seorang itu dikondisikan supaya bisa menjadi autentik. Lo mau ngomongin A, yuk kita ngomongin A. Lo masih terjebak sama masalah B, kita ngomongin itu.
Sehingga kita bisa punya ruang untuk memproses itu sebelum kembali ke kehidupan kita sehari-hari. Dimana tentu setiap orang punya waktunya sendiri dan caranya sendiri. Dan sebagai psikolog tugas kita adalah untuk memfasilitasi itu. Benar juga ya.
Makanya kadang kalau ke psikolog tuh suka ditanya, How does it make you feel ya? Itu klasik di film kan sering kali. Iya, apa yang kamu rasakan soal itu gitu. Benar-benar.
Karena kita harus nanyain ke dia soal perasaan dia yang murni gitu. Iya, benar. Dan akan lebih bagus kalau itu keluar dari mulut dia. Gitu.
Kan maksudnya, gue bisa aja kan ngeliat klien lagi nangis gitu. Ya jelas dong dia sedih dong. Iya. Tapi meskipun gue tau dia sedih, akan lebih baik kalau gue yang bertanya dulu ke dia.
Lo sedang merasa apa? Karena kalau dia sendiri yang mengatakan apa perasaannya Itu membuat dia juga membantu untuk memprosesnya Saya sedang merasa sedih Saya sedih karena saya baru saja ditinggal oleh Tinggal meninggal oleh peliharaan saya Dia bermakna buat saya saya dan saya belum siap untuk melepas dia. Dan kadang layarnya banyak kan?
Kayak misalnya sedih ya, sedih ditinggal kucing. Apalagi perasaan itu, misalnya kecewa. Kecewa kenapa gak punya lebih banyak waktu sebelum dia mati. Perasaan bisa campur aduk dan bahkan bisa kontradiktif.
Contohnya nih, misalkan gue punya temen yang bokapnya sudah dalam perawatan yang, apa ya, sudah tidak bisa sembuh lagi, tapi hanya dirawat sambil menunggu waktu. Terminal, udah terminal. Iya. Dan, istilahnya mungkin kualitas hidupnya juga sudah nggak maksimal gitu kan.
Iya, iya paham sih. Di satu sisi, merawat dia itu, yang namanya kita berbakti sama orang tua, masih punya waktu. Tapi melelahkan juga. Ketika bokapnya meninggal, dia sedih. Dia mungkin marah, belum punya waktu dan lainnya.
Tapi ada perasaan lega juga. Akhirnya gue gak lihat bokap gue lagi menderita. Itu kan perasaan yang bertolak belakang ya.
Kita lega, kita ringan. Tapi satu sih kita juga sedih. Banyak orang tuh gak seneng punya perasaan campur aduk.
Akhirnya dia mengalihkan dirinya dengan, yaudah gue alihin perhatian dengan berusaha seneng. Baca yang lucu-lucu, atau nonton suatu hal, atau mendistraksi dirinya dengan perasaan-perasaan yang campur aduk itu. Itu sehat? Secara sehat atau enggak, enggak. Tapi kadang necessary.
Oke. Ya enggak bisa dong dalam satu waktu, satu hari, atau satu minggu full, kita full dengan perasaan campur aduk itu. Kadang kita memang harus mendistraksi diri kita supaya kita bisa menjalankan. Utilitas sehari-hari Tapi tetep perlu di revisit Perlu ada waktu untuk di Rasakan kembali Di proses kembali Oke Kita ngeliat tulisan-tulisannya Nago di Instagram Mau kita ini nih Mau kita klarifikasi nih Kalau kamu susah tidur di malam hari Coba tanyakan ke diri Apakah aku sudah bener-bener hidup Di siang hari Ini apa dia vampir atau Gila Maksudnya gimana nih?
Apakah aku benar-benar hidup di siang hari? Susah tidur karena dia tidak hidup di siang hari Ya jadi gini Tidur, susah tidur itu kan juga salah satu problem orang pergi ke psikolog kan Oh insomnia Iya Dan orang biasanya melihat itu dari kacamata Cognitive Behavioral Oke Atau dari kalau psikiater ya Dari sudut pandang obat-obatan Oke Kalau dari sudut pandang Cognitive Behavioral Ya biasalah Ya kayak tadi rutinitas mau tidur dan seterusnya Itu yang kita perbaiki Tapi gue lagi pengen nyoba bahas itu dari kacamata gue Humanistic existential Dan itu tuh gue sejujurnya pos itu terinspirasi Pas baca bukunya Frederick Nietzsche Dia kan filsuf existential Nihilistik juga dia tuh Iya nihilistik, mau Bang Redit ngikutin Dia kan sebenernya Itu kan cukup deket-deket ya Ada eksistensialisme Nihilisme sama absurdisme Oke Nah jadi di bukunya itu dia ngobrolin tentang Ehm Tidur. Jadi ketika kita mau tidur di malam hari dan kita kesulitan, kita bisa fokus kayak gimana sih caranya supaya gue bisa tidur. Tapi kita lupa bahwa tidur itu adalah hadiah untuk kita yang sudah menyelesaikan tugasnya di hari itu.
Sementara kalau kita belum nyelesain tugas kita, energi kita masih penuh, buat apa kita tidur? Jadi untuk orang bisa tidur di malam hari, dia perlu lebih hidup di siang hari. Artinya, mengerjakan hal yang dia harus kerjakan.
Menghadapi masalah yang selama ini dia hindari. Menyampaikan pesan atau hal yang kita ingin sampaikan ke orang-orang yang perlu mendengarnya. Sehingga waktu kita tidur, kita nggak dipenuhi dengan energi, pikiran, suara-suara yang...
Kita berharap kita bisa menghabiskan di siang hari. Oh, karena intinya adalah supaya nggak kepikiran sebenarnya. Tapi seberapa banyak orang yang tidak sadar bahwa itu harus disampaikan.
Sampaikan atau harus hidup itu banyak ya? Itu cara menyadarkannya? Salah satu situasi yang paling orang sadar ini kan overthinking ya. Overthinking itu kan sebenarnya banyak suara di kepala kita. Karena kita manusia beroperasi dengan menggunakan bahasa kata-kata di kepala kita.
Kita mikir, kita kayak sedang... sedang berdialog dengan diri sendiri. Kita merencanakan suatu, itu kayak kita juga sedang ngomong dengan diri sendiri.
Ketika kita overthinking, itu akan ada banyak suara yang muncul di kepala. Nah seringkali kita sibuk untuk overthinking itu bukan karena kita orangnya perfeksionis, orangnya analitis. Banyak tuh bang orang yang menggunakan alibi perfeksionisme untuk menjustifikasi overthinkingnya. Oke, artinya apa?
Artinya dia bilang, ya gue orangnya perfeksionis makanya gue suka kepikiran, gue gak selesai mempersiapkan sesuatu dan lainnya gitu. Padahal sebenarnya mungkin dia tuh sedang menghindari sesuatu. Misalnya nih kita overthinking mau presentasi besok di depan bos.
Kita kan pasti mikir kayak aduh semuanya harus siap. Slidenya harus siap, apa yang akan ditanyakan harus siap. Awal-awalnya bener persiapannya bagus, tapi lama-kelamaan mulai ngasih.
besok gue jangan pake baju ini deh biasanya bos gak suka kalo gue pake baju warna ini besok cuacanya cerah gak biasanya mood, bos gue moodnya buruk kalo lagi hujan itu kan pikiran-pikiran yang sebenernya gak relevan oke Prinsipal untuk permasalahan utamanya. Tapi karena dia takut dengan penolakan si bos, dia akan terus berpikir, berpikir, berpikir, sehingga itu terbawa dan mempengaruhi ke keseharian dia. Padahal sebenarnya, kalau dia mau mencoba untuk mungkin menjadi diri apa adanya, dan menunjukkan apa yang dia sudah siapkan ke bosnya, dengan ada resiko diterima atau ditolak, itu akan selesai clear pada saat itu juga. Tanpa harus dibawa ke belakang.
Jadi perfeksionisme dia itu, Itu hanya alasannya aja. Karena dia takut sebenarnya. Takut untuk. Mungkin mengalami rasa sakit ya. Seberapa banyak yang sebenarnya tidak sadar tapi?
Lumayan. Mungkin 30% atau 40% ya. Dari klien-klien yang datang.
Ketika digali baru sadar tuh. Iya. Ternyata bukan perfeksionisme nih.
Ternyata ini nih. Nah jadi psikolog juga harus pintar ngeliatnya. Kadang kalau kita lengah, kita malah terbawa tuh ke siklus overthinking dia. Kita diajak mikirin ini, diajak mikirin itu, diajak mikirin itu. Sebenarnya kita harus kembali mengembalikan dia ke track sesungguhnya.
Kita gak usah bingung. bingung terlalu banyak mikir ini, kita tentang fokus mikirin apa yang lo harus lakuin selanjutnya oke, artinya kalau dia datang, ya nih gak beres-beres presentasi gue nih bukannya kita mikirin kayak, ya cara ngeberesinnya supaya bukan kesitu ya tapi lebih ke, kayaknya akarnya dirasa takut mengecewakan orang gitu bener, jadi kayak kita jangan ngikutin, oke persiapan A, persiapan B ya habis kan waktu konselingnya cuma mikirin itu doang gitu kan oh i see Saya biasanya tanya, memangnya kenapa sih harus sempurna banget? Psikolog kan tugas suamanya adalah bertanya.
Pertanyaan inilah yang akan menggali dia untuk melihat ke dirinya dia. Dia mulai mikir, ya juga ya, kenapa harus sempurna ya? Palingan proyek gak gede-gede banget. Palingan bos gue juga orangnya baik. Tapi kenapa ada needs buat gue untuk membuat semuanya sempurna?
Oke. Nah dari situ muncul topik-topik baru Mungkin dari orang tua Mungkin dari orang tua yang Perfeksionis, yang strik Itu bisa kayak gitu Seberapa bermasalah Orang perfeksionis dalam punya hubungan nih Percintaan gitu Ngaruh gak sih sebenarnya Itu ngaruh Bisa dalam berbagai bentuk Salah satunya adalah Memberi beban yang tidak perlu ke pasangannya Hmm Contoh nih misalkan si A pengen semua track hidupnya sempurna. Dari pacaran, lamaran, menikah, dan lainnya. Karena semua hal sebenarnya juga gak mungkin sempurna, pasti akan ada yang berantakan dong.
Tapi kadang dia ngerasa berantakan itu bukan karena ya realita dunia ada yang berhasil, ada yang gak. Tapi karena kesalahan dia. Itu kan ciri orang perfeksionisme.
Selain dia membebankan ke dirinya, dia membebankan juga ke pasangannya. Sehingga itu menaruh constraint yang gak. perlu dalam hubungan itu sehingga hubungannya benar-benar jadi berantakan gitu dia takut membuat hubungannya berantakan sorry, dia takut ada hal yang membuat hubungannya berantakan, sehingga dia membuat semuanya menjadi perfect, padahal obsesi untuk membuat perfect, itu yang malah membuat hubungannya semakin berantakan karena jadi gak santai ya?
gak santai gitu kan ya ada kan klien yang kayak Ketemu pasangannya aja tegang gitu ya. Ketemu suaminya, ketemu istrinya. Malah dipenuhi nih dengan perasaan tidak nyaman. Karena?
Karena dengan ketakutan mungkin suaminya marah disenggol dikit, emosian. Atau mungkin takut dengan... Kekecewaan yang disampaikan oleh istrinya Nah Banyak hal Dari hubungan-hubungan ini Itu yang akhirnya berujung ke Permasalahan, konflik Biasanya gue Sering nanya ke klien gue Ini kan kita ngomongin hubungan Kita ngomongin tentang Suatu hal yang lo jalin dengan harapan lo bahagia Kenapa hubungan harus Se Complicated ini Kenapa lo sebegitu terganggu nya dengan masalah-masalah ini gitu jadi sebenernya gak penting gitu misalnya? sebenernya penting cuma kalau diurai mungkin tidak sepenting itu gitu kali ya tidak lebih penting dari hubungannya sendiri ya?
ya tidak lebih penting dari hubungannya sendiri Masa kita ngomongin tentang apa sih Biasa kan konflik bapak ibu kan Handuk basah ditaruh di kasur Apakah penting kita mempermasalahkan itu Sampai harus menaruh beban ke hubungan kita Gak gitu sih Terus ini ada tulisan Di IG. Kapan sebaiknya menyerah ketika lanjut berjuang sudah lebih menyakitkan daripada melepas? Ini adalah indikasi kalau orang harus nyerah.
Ketika lanjut berjuang lebih sakit daripada melepas. Gimana kita bisa tahu ya? Kan lanjut berjuang belum terjadi. Apa gimana tuh maksudnya? Gini, kita pakai konteks hubungan aja kali ya.
Kan tadi lagi ngobrolin hubungan. orang tuh kan sering nanya ya orang tuh sering nanya ke psikolognya nih kayak, menurut mas Nago ini masih layak dilanjutin atau enggak sih? soal hubungan lah ini ya menurut mas Nago, gue harus lanjut berusaha atau enggak?
pertanyaan yang pertama gue tanya adalah satu, lo mau berusaha atau enggak? kedua, pasangan lo juga mau berusaha atau enggak? karena kalau satu pasangan gak berusaha ya sama aja bohong gue sering analoginnya kayak jembatan tuh kalau jembatan tuh kan untuk bisa terbangun, terjalin itu kan butuh kedua belah pihak ya dari sini ngelempar tali, dari sini ngikat dan ngebalikin talinya sampai jembatan tuh jadi tapi untuk memutus cuma perlu satu orang yang berhenti berusaha Hubungan tuh akan rusak Makanya untuk ngomongin hubungan Pertama yang gue harus tanya adalah Kedua-duanya masih mau berusaha atau enggak Kalau masih baru kita ngomongin tentang Dianya sendiri Dia ini masih mau lanjut sampai kapan untuk berusaha Karena gini Kita gak pernah bener-bener tau Apakah hubungan ini bisa Membaik atau enggak Apakah si pasangan lo bisa berubah jadi baik atau enggak Gue selalu bilang kayak, ya mungkin aja.
Mungkin aja cowok lo yang suka selingkuh tuh bisa ya tiba-tiba setia. Tapi kalau itu terjadinya 5 tahun lagi, 10 tahun lagi, lo bisa tahan nggak segitu? Jadi kadang mempertahankan itu jauh lebih banyak menghabiskan resource kita, tenaga, waktu, perhatian dibandingkan melepas. Gitu sih. Dan kalau memang sudah lebih melelahkan daripada melepas, mending lepas aja.
Mending lepas aja. Tapi gue gak berani ngomong gitu bang Iya paham sih Karena kan keputusan harus dari klien Gue cuma membantu memberikan konsekuensi-konsekuensinya Ya kalau berani ngomong gitu suaminya nyamperin pasti Ngomong apa kemarin Kenapa istri gue disuruh nyerahin gue gitu kan Menarik juga ya Kadang orang tuh apa yang menyebabkan orang? Udah tau dia bersama orang yang tidak baik lah katanya. Udah tau berkali-kali melakukan kesalahan tapi gak berubah-berubah.
Udah tau, udah dalam kepalanya udah tau nih. Kalo gue lanjutin ya gue tiap hari sakit juga sama manusia. ini, gitu. Tapi tetap nggak mau ngelepas. Dia tahu nih.
Dia tahu nih. Lanjut berjuang udah pasti lebih meyakitkan. Melepas akan jauh lebih baik.
Tapi tetap nggak mau. Banyak kan yang kayak gitu kan? Banyak, banyak. Apa-apa sebenarnya permasalahannya?
Alasan utamanya adalah karena meskipun sakit, tapi ini familiar. Oke, biasa. Biasa.
Sudah biasa. Iya, artinya dia sudah sakit-sakit. Tapi dia sudah expected dengan sakitnya itu.
Ya suami gue bakal kayak gini, gue sakit. Suami gue bakal marahin gue, gue sakit. Suami gue bakal mukul gue, gue sakit.
Tapi ketika dia let's say cerai, kita gak tau sakitnya bakal kayak gimana. Kesepian, judgement sosial. Itu banyak tuh Orang lain Kok sudah menjanda dan seterusnya Atau beban mengurus anak sendiri Atau soal ekonomi Soal ekonomi Itu sakit tapi Kita belum bisa bayangin kan Karena gak familiar Dan penuh dengan banyak ketidaktahuan Orang susah untuk take the leap itu Karena dia merasa lebih Nyaman dengan rasa sakit yang familiar ini Wah itu jadi sebuah siklus yang Serem juga ya Iya dan gue yakin banyak yang terjebak disini Dan banyak juga yang Ke psikolog pun enggak karena hal ini Jadi cuma mengorbankan dirinya Tapi ketika dia sudah ke psikolog pun Itu akan ngebantu dia untuk melompat itu nggak? Ada yang iya, ada yang nggak juga sih.
Tapi at least dia tahu kenapa dia nggak gitu loh. Oke. Maksudnya at least dia tahu alasan dia masih bertahan.
Mungkin karena dia gak punya kemampuan ekonomi untuk menyokong diri dan anaknya Atau dia tidak punya tempat tinggal Dia gak punya keluarga yang bisa menyokongnya lagi Artinya dia kompromi dengan kesadaran itu Iya, dia tahu konsekuensi dari keputusannya Dan itu akan lebih membahagiakan kah? membahagiakan mungkin nggak, tapi meringankan bebannya karena dia tahu at least ini sudah yang terbaik yang dia bisa pilih i see gitu kompleks banget ya persoalan orang dewasa ya ngobrolin kita serius banget ya dari tadi tapi ini pasti banyak yang relate sih karena banyak banget yang mungkin terjebak di hubungan yang nggak baik buat diri dia tapi emang nggak bisa keluar kan iya ya, memang nggak bisa keluar gue selalu bilang kayak Iya, namanya psikolog, orang psikolog kan mencari cara supaya diri dia bisa bahagia lagi. Iya, iya, iya. Tapi gue memang tidak akan memberikan harapan palsu untuk memang mereka yang masih berada di situasi yang sulit gitu ya. Oke, oke, oke.
Ngomongin kayak tadi misalkan anak kuliahan yang masih tinggal sama orang tuanya tapi bapaknya abusive. Kayaknya dari tadi contohnya bapaknya abusive ya. Sekarang coba ibunya yang abusive gitu misalkan.
Atau seorang istri yang... Tidak punya kekuatan ekonomi Bergantung sama suami Dan terjebak dalam Keotoriteran suami Disandra secara ekonomi Atau ya warga Indonesia yang disandra sama pemerintahnya Dengan keputusan-keputusan yang Membuat kesehatan mentalnya rusak gitu Bener susah, untuk keluar dari sana susah betul, gitu sih apa film wargop favorit lu? kok rendah banget sih biar agak ringan, kan tadi kan agak serius nih, gue sih nongkrak antik ya oke, gitu aja tapi ini mencerahkan sih menurut gue menarik sih, karena banyak banget orang yang masih gak pengen ke psikolog, padahal perlu mungkin belum tau Ininya kali, apa namanya, kenapa tapi, ada stigma apa sih?
Iya satu stigma, tapi kalau menurut gue stigma ini akan hilang dengan sendirinya sih Iya Dengan regenerasi terutama, sekarang kan kalangan anak muda lebih banyak yang aware Sama psikologi, kesehatan mental, dan juga Sudah banyak juga yang ke psikolog gitu. Tapi salah satu permasalahan juga karena sebenarnya ilmu psikologi ini masih baru sih Bang di Indonesia. Jadi kalau dibandingkan dengan ilmu lain kayak mungkin kedokteran, teknik, arsitektur, psikologi bisa dibilang termasuk yang mudah gitu.
Mudah? Mudah. Oh mudah?
Mudah. Dan kami juga dari para psikolog, kalau di Indonesia itu namanya HIMSI, Impunan Psikologi Indonesia, kita juga masih sedang merancang bagaimana supaya awareness masyarakat ini satu tinggi akan kesehatan mental dan mau take action kedua juga para psikolognya siap karena kan sekarang kita juga masih Going through perubahan kurikulum menjadi psikolog Dengan harapan bisa melahirkan psikolog-psikolog yang berkompetensi Yang bagus Betul Kak, gue tuh penasaran Kalau orang berpasangan deh Suami istri gitu Atau pacaran deh Sama-sama psikolog tuh kayak gimana ya? Ngobrol tuh mungkin 4 jam sendiri kali Kayak itu lo membuat lo merasa apa?
Aku merasain Mungkin gak sih? Enggak juga sih bang Saling menganalisa gitu Enggak juga sih bang Enggak ya? Istri gue sih bukan psikolog ya Istri gue sih S1 psikologi Gue psikolog Tapi sejauh ini di rumah tangga kita gak terlalu banyak ngobrolin tentang ini sih Bahkan kalau ada masalah pun kalian psikoanalisa gak tuh? Enggak sih, capek banget kayaknya gue abis counseling Psikoanalisa klien atau counseling klien Masa ketemu istri lagi juga kayak gitu gitu kan, capek gitu ya Kalau resolusi konflik pake metode psikologi juga gak? Enggak ya?
Ada banyak cara jawab ini bang Pertama gini, mungkin ada pasangan yang kayak gitu Tapi kalau gue sendiri ngerasa Kalau gue terlalu memaksakan Menggunakan metode-metode itu Jadinya gak jenuin sih Dan dia juga tau kali Oh ini kelasnya Pak Bambang nih Gue lebih suka Karena pendekatan gue juga pendekatan psikologi yang autentik Gue lebih suka kalau kita punya konflik Konflik aja, marah-marah aja Lu teriak-teriak aja, gue teriak-teriak gitu Tapi abis itu udah Gue lebih suka kayak gitu dibandingin kita ngomongin Oke, karena kita punya masalah Kita resolusi konflik kayak gini Apa? A, B, C, D, E. Tapi dalam proses itu banyak perasaan yang kependem. Karena terlalu ngikutin struktur. Karena terlalu textbook.
Textbook kayak gitu. Gue berusaha supaya oke, semua teori dan insight itu gue punya, tapi gue simpen. Tapi kalau gue menghadapi istri gue, orang lain dan lainnya, gue berusaha untuk ya menjadi manusia pada umumnya.
Iya, iya, iya. Karena itu ya lebih jenuin dan orang juga merasakan ketulusannya gitu kali ya. Paham, paham, paham.
Oke. Nah, jangan terlalu buru-buru nyelesain masalah habis. Habis ini ada masalah lain kok. Itu gimana maksudnya?
Memang orang banyak masalah ya kayaknya. Gimana tuh? Kita kan gak suka punya masalah ya Bang.
Kalau punya masalah tuh rasanya gak enak. Iya. Kita pengen cepat-cepat keluar dari sini.
Tapi kadang kita lupa bahwa habis ngelariin masalah ini pun ada masalah baru lagi. Oke. Gue... pernah ngobrolin sama temen gue yang anak ekonomi gitu ya ya kalau pakai analogi duit aja pertama ngumpulin dana darurat abis itu ngumpulin apa abis itu? post-post lainnya ya pensiun-pensiun, pendidikan anak dan lainnya setelah terpenuhi investasi setelah terpenuhi ini ini dan lainnya itu kan satu masalah kita selesaikan ada masalah baru lagi banyak klien dateng gue tuh kayak gini Dia datang nih ya pertemuan pertama nih Gini mas Nago Gue ada masalah sama bos gue Dia tuh gak bisa mau menerima input dari gue ABC ABC Udah oke Intinya kita berusaha untuk sampaikan dengan cara ABC Selesai Pertemuan kedua Dia ngeluh tentang nyokapnya Mama itu dari dulu selalu kayak gini gini gini Udah jalan dia ngomong 10 menit Gue tanya bentar Terakhir kita ngomongin bos Itu gimana Oh itu udah kelar mas Udah udah selesai gitu Kita tuh selalu bergerak dari satu satu masalah ke masalah lain.
Kita ngira itu masalah baru padahal enggak. Masalah sama nyokap itu sudah ada dari dari kecil. Cuma karena dia sudah selesai masalah dengan bosnya, matanya terbuka untuk melihat masalah yang lain.
Oke. Jadi kita enggak akan selesai melihat masalah dan kita enggak akan bisa bahagia kalau kita nunggu semua masalah selesai dulu. Oh, oke.
Paham, paham, paham. Jadi kita belajar untuk menyelesaikan masalah oke, tapi juga bisa belajar tetap bisa bahagia meskipun masih ada masalah. Oh, karena itu emang enggak akan ada ada abisnya. Selalu ada masalah dalam hidup ini.
Kalau kita nunggu diri kita kita beri izin untuk bahagia sampai semuanya selesai ya udah meninggal duluan kita. Betul. Dan gak akan pernah happy. Ya gak pernah happy. Karena kita tau kayak ini harus selesai nih yang lain nih gitu ya.
Iya. Dan habis selesai tuh kita baru ngeliat kayak oke ini udah selesai. Masalah apa lagi nih yang gue perlu selesaiin.
Oke. Berarti jadi dewasa tuh seberat itu ya. Niatnya ya.
Ya. Makanya kan ada buku itu. Betul Kita masuk kesini Karena ada editor Gramedia Diserta orang sosmednya Ini hard selling nih ya Betul kita masuk disini Oke Oke Ini ada berapa bab disini? Sembilan Ada sembilan bab Salah satunya ya Konseling perlukah?
Waduh Kenapa harus ada satu bab yang ngomongin konseling perlu apa nggak? Di buku jualan konseling. Jadi saling kait mengkait.
Semua saling kait mengkait. Kalau teman gue bilang itu call to actionnya buku ini. Makanya paling belakangnya.
Nggak, gue sebenarnya ada hubungannya sih sebenarnya. Itu kan buku ini kita ngomongin tentang prinsip dan refleksi. ...seksi, maju-mundur kehidupan dewasa, dan tentang menjadi autentik.
Di Wrap Up itu gue naruh tentang konseling Karena itu juga satu cara yang kita bisa lakukan untuk merasakan diri menjadi autentik Dalam sesi itu Ini ya, ini ceritanya lo sama klien berarti kan? Itu ceritanya gue sih, mirip atau enggak ya? Mirip sih Mirip sih Udah berapa tahun berarti buka praktek ini? Gue lulus 2018 sih Sekarang 2024, 6 tahun sih Masih inget gak konseling pertama waktu itu?
Melayani orang yang seperti apa, masih inget ga? Sejujurnya klien pertama gue masih sampai sekarang Sampai sekarang? Masih Tapi on off gitu ya Tergantung kebutuhan gitu Iya maksudnya di awal tuh lumayan intens Seminggu sekali Terus berjarakan Udah mulai bisa handle sebulan sekali Terus tahun gak ada kabar Tiba-tiba dateng lagi 6 bulan gak ada kabar 2 tahun gak ada kabar Dateng lagi Kayak gitu sih Karena itu kan udah lama ya Udah 6 tahun Udah 6 tahun praktek Masih inget gak lah yang praktek-praktek awal Dimana kayak Kayaknya gue salah deh tadi Gitu deh ya Pasti ada dong Pasti ada sih Pernah kayak gitu tapi Gue ngaku gue pasti di awal praktek Banyak kesalahan juga sih pastinya Oke Tapi pas dia dateng lagi bilang gak Eh yang kemarin lupain aja ya itu Mungkin dia gak nyadar ya Mungkin dia gak nyadar kalo gue salah kali ya Dia gak nyadar sih sebenernya Tapi dengan sering pengalaman pasti Ini ya Lama-lama jadi evolve sendiri ya Sebagai seorang konselor Sebenernya yang gue rasa paling sering terjadi adalah yang tadi itu sih sebenernya Waktu awal lulus tuh kan jadi psikolog tuh Kita kepalanya masih textbook banget ya Kayak orang itu, oke masalah ini harus disesuaikan dengan kayak gini Masalah adiksi harus guideline-nya kayak gini gitu Kita lupa kalau kita tuh berhadapan sama manusia gitu Nah seiring proses gue baru nyadar bahwa Mungkin teknik fancy ABC itu nggak terlalu penting-penting banget Tapi yang penting tuh relasi kita sama si klien ini Nah kalau di buku itu gue cerita tentang Gue analogiin sama sushi Sushi Sushi, oke Sushi itu kan apa sih terjemahan harfiahnya itu sebenarnya nasi yang diberi cukah.
Oke. Jadi sebenarnya yang menjadi base-nya, fondasinya adalah nasi itu. Oke. Nggak peduli seberapa fancy ikannya, seberapa segar gimana, tapi kalau nasinya jelek, rasanya nggak enak. Oke.
Dalam counseling juga gitu. Nggak peduli kita pakai teknik. Apa itu?
Hahaha Kok terlalu berahin jadid sih? Jadi kadang mungkin kita nggak perlu terlalu banyak ngelihat, oh teknik ini fancy, teknik ini keren, teknik ini katanya efektif. Tapi yang penting bagaimana kita menjalin relasi yang terapiotik sama klien. Relasi yang bisa membuat si klien ngerasa autentik, menjadi diri dia padanya, terlepas dari apapun approach kita dalam counseling, itu yang membuat dia tumbuh.
Ya bener sih, karena kayak orang baru belajar stand up kali ya. Kita pakai rumus tuh jadinya tuh. Abis ini gue hiperbolain, abis itu udah rumus.
Tapi kalau udah lama Udah lama main di panggung kayak Ini tuh bawanya kayak gini deh Karena biasanya kalau dipatahin kesini Orang ketawa gitu kali ya Dan seiring berkembangnya pengalaman Kita juga sudah berani melanggar beberapa Prinsip rumus itu Karena kita ngerasa di konteks ini Dalam situasi ini mungkin ini yang lebih Tepat Oke oke oke Untuk membatalkan peraturan, kamu harus memastikan mereka Nah ya kayak gitu kan ada step-stepnya tuh Oke Nah terus ini ada Ada soal harus mulai ngobrol canggung. Apa nih maksudnya nih? Mulai obrolan canggung. Kalau disini lo gak ini ya rambutnya?
Bukan itu. Itu karakter cewek. Betul. Oke gimana nih?
Banyak orang tuh menghindari obrolan yang... Penting karena dia ngerasa obrolan itu akan membuat dia ngerasa uncomfortable, canggung gitu. Kayak ketika kita ngomong ke orang tua kita kalau kita ditolak di universitas favoritnya.
Kita ngomong ke pasangan kita kalau kita baru di PHK gitu. Itu obrolan-obrolan yang uncomfortable, canggung, tapi sebenarnya penting untuk disampaikan. Orang seringkali menunda ngomong karena dia nggak mau konflik. Atau lebih tempatnya dia tidak tahan kalau ada konflik. Cuma kadang...
Kesunyian itu Silence itu yang terjadi antara dia sama orang itu Malah lebih destruktif Dibandingkan kalau dia ngomong langsung Setuju gue Apa aja gue omongin sih pasti sih Itu paling enak sih ya Soalnya pengalaman-pengalaman yang dulu itu Kalau emang gak ngomong Ini konteksnya macam-macam ya pekerjaan lah Itu either Nanti ujungnya bermasalah Atau Saling gak enakan Atau malah nanti lebih ribet Jadi ini ada apa aja dibicarakan Karena kalau nggak tiba-tiba hilang hubungan Kita kayak menghindari topik A, ketemu si orang ini, lama-lama kita menghindari orang itu juga. Hubungannya hilang, dan orang itu bingung, kenapa si Nago nggak mau ngomong sama gue lagi? Oke, tapi susah juga ya memulai obrolan canggung itu ya? Iya, memang susah.
Maksain diri atau apa? Kayak itu habit aja, masalah habit berarti. Gue biasanya ngarahin klien gue untuk berjenjang. Biasanya yang paling susah selalu orang tua.
Gue selalu bilang kalau orang tua itu adalah bos terakhir kayaknya dalam hidup kita. Karena semua isu psikologis kita itu pasti root back ke mereka. Ya mau gak mau karena kan kecilnya sama mereka ya.
Iya mereka orang pertama yang kita ajak berrelasi dalam hidup ini. Uh iya betul lagi. Lebih susah orang tua. Lebih bisa mungkin sama orang-orang yang kita sering temui sehari-hari. Rekan kerja, pasangan, teman-teman, kayak gitu.
Lebih mudah lagi sama strangers. Atau sama psikolog yang baru... ditemuin, ya psikolognya gak mungkin marah dong, kalau misalkan diungkapkan gitu kan jadi bertahap pertama dalam sesi counseling, bisa gak lo menyampaikan hal yang lo gak setuju dalam counseling ini, oke bisa next kita coba ke temen lo udah mulai terbiasa dengan perasaan tidak nyaman tuh kita coba ke orang tua lo sehingga dia pelan-pelan belajar menjadi otentik dengan siapapun yang dia temui, kayak gitu oke, terakhir nih apa komen paling nyebelin di IG, kan sering bikin konten tuh Suka gak?
Ada gak? Gue kayaknya dua sih Lucunya kan gue Konten kesehatan mental ya Konten-konten pengembangan diri Ada aja orang yang ngajak berantem gitu loh Gue gak bahas politik, gue gak bahas apa Tapi masih aja diajak berantem gitu Dengan cara? Pertama ini, gue ngomongin tentang Pacaran tuh gak mesti menikah Karena Banyak orang ngerasa kalau pacaran tuh Ujung-ujungnya putus, itu gagal Oke Karena gak menikah Padahal mungkin pacarnya berhasil Berhasil apa? Berhasil memahami satu sama lain Bahwa kalian gak cocok menikah Cuma buat sebagian orang Yang mungkin juga konservatif Itu kan bukan suatu prinsip Yang bisa mereka pegang dalam hidupnya Pacaran kan sudah Tahu satu sama lain, mestinya Dipertanggungjawabkan dengan menikah dong Nah itu dihujat gitu.
Entah kenapa algoritma nyampe ke mereka gitu ya. Oh I see. Itu satu?
Itu satu. Yang kedua waktu di TikTok. Oh TikTok pak.
Eh aplikasi. Iya iya iya. Macem-macem itu. Gue waktu itu ngedebank mitos-mitos psikologi. Ya kan ada banyak tuh psikologi mengatakan.
Oke. Apa-apa yang didebank? Waktu itu lagi rame bilang, psikologi mengatakan, kalau ada orang muncul di mimpi lo, artinya orang itu lagi mikirin lo.
Oke. Kan nggak make sense kan? Iya.
Sebenarnya mimpi itu kan ya cuma remah-remah dari sisa informasi kehidupan kita di siang hari yang somehow terconnected jadi story di waktu kita tidur. Oke. Kan gue di bank tuh dong.
Gue bilang kayak, sebenarnya nggak kayak gitu. Logika sederhana aja. Kalau kita mimpiin Pak Jokowi, bukan berarti Pak Jokowi mikirin kita. Gitu kan Oke Tapi di komen tuh Gak kayak gitu Beda Kalo Pak Jokowi belum punya ikatan batin sama kita Kalo pasangan punya Jadi Omongan psikolog ini Gak bener Tolong belajar psikologi lagi Waduh Terlalu kocak ya orang kadang-kadang Iya tapi ya Begitulah ya Itu sih Nih Kalo yang ini nih Ini terakhir banget deh Kalo orang bohong Nengok ke kanan atas Itu gimana tuh? Itu dulu populer banget ya NLP ya?
Betul ya? Gak tau Itu pseudoscience sih sebenernya Bisa iya bisa enggak? Atau malah enggak?
Kalau di kacamata psikologi Secara saintifik enggak sih sebenernya Saya ingat gue ya itu enggak Tidak teruji secara valid dan reliable Sama kayak MBTI Itu kan rame tuh MBTI itu NTFC, BCD, NACL NACD, NACL Natrium kulit Tapi banyak yang percaya tau Gue juga sempet ikut tes-tes tes kayak gitu tuh. INTP. INTP.
Iya. Berarti bahwa artinya kita hanya memilih untuk masuk kategori tapi belum pasti itu atau gimana tuh Mas? Kalau kita ngomongin tes psikologi, untuk bisa dikategorikan sebagai tes psikologi yang sah, itu harus valid dan reliable. Valid artinya bisa mengukur apa yang semestinya diukur, reliable, ya bisa mengukur hal tersebut dengan akurat beberapa kali. Oke.
Nah MBTI itu nggak masuk itu. Nggak melewati. melewati uji itu.
Gitu. Gue sih selalu bilang ya, kalau itu apa namanya... Cocok? Hanya, bukan. Hanya untuk for fun lah ya.
Untuk memahami diri seru-seruan. Kayak, apa sih, Harry Potter Sorting Hat itu loh. Iya, lu Gryffindor. Iya, kayak gitu.
Lu ini ya, tau-tau. Itu ya sah-sah aja, silahkan aja. Tapi jangan dipakai itu sebagai pedoman hidup lu. Paham. Kayak misalnya gue buka lowongan kerja, hanya INTP gitu ya.
Iya, itu jangan. Tapi, ada sih beberapa tes psikologi populer yang lu bisa pahami. lumayan valid, misalkan kayak big five personality itu lumayan valid, itu juga populer sebenernya di luar, tapi orang-orang lebih seru, MBTI sih, karena kan kita suka merasa mengerti dan dikotak-kotakan, gue ini gue ini, gitu Terima kasih Nagut, Ejina kalau misalnya ada yang mau tau lebih banyak bisa kemana?
Mungkin gue lebih aktif di Instagram sih Instagram, oke, gak di mirroring ke TikTok Takut terhibur Bisa Yang lebih aktif sih Instagram, TikTok Sama X atau Twitter sih Masih Twitteran? Masih sih Secara psikologis gimana karakter orang-orang TikTok Berantem mulu kan? Calon klien sih sebenernya Karena Twitter kan biasanya banyak orang yang Mengungkapkan masalahnya Nah bukunya udah bisa dibeli Di toko-toko buku?
Di Gramedia terdekat Di Gramedia terdekat, luar biasa Gak apa-apa sih sebenernya sih bilang toko buku lain Oh gitu ya, gak boleh ya? Iya gak apa-apa, kan penerbitnya Oh iya, ulang-ulang Bisa ditempatkan di toko-toko buku kan Iya, betul Gak hanya Gramedia kan Tapi diterbitinnya hanya di Gramedia Oke, betul Itu editornya senyum-senyum aja Thank you semuanya ya, makasih udah nonton