Menteri di kita ini, begitu dia jadi menteri, dia pengen ada ide baru di situ. Padahal menurut saya harusnya nggak begitu seorang menteri. Istilah sekolah gratis itu sebetulnya nggak mendidik. Tidak ada sekolah yang gratis di dunia ini. Apapun ceritanya, pasti ada spending dari orang tua untuk anaknya sekolah.
Jadi nggak bisa pemerintah tuh klaim itu misalkan kalau ada calon bupati, calon gubernur itu ngomong, pendidikan gratis, nonsen bang. Please, Prabowo Gibran tuh peduli pada buku teks ini. Karena... ke depan ini kalau buku teks tidak diubah believe me, gak akan ada perubahan pendidikan di Indonesia Bismillahirrahmanirrahim Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh Salam sejahtera buat kita semua Salam juga untuk Seluruh para penonton Unpacking Indonesia Dimanapun mereka berada.
Saya ini kira-kira kita ada satu tahun yang lalu itu mengundang Profesor Ahmad Badoi. untuk berdiskusi dan berdialog dengan kita di sini. Juga tentang sistem kelola pendidikan nasional kita pada masa itu.
Nah sekarang ini kan selama satu tahun lebih ini kan perkembangannya banyak ya Prof ya. Persoalan yang kita lihat kemarin DPR mengangkat persoalan dana BOS, dana riset, kemudian dana kebudayaan, dan macam-macam. Itu kan sebenarnya bukan persoalan yang utama ya. Itu kan hanya puncak gunung es Kan gitu Katanya begitu Tetapi kan ada problem-problem yang cukup mendasar Kalau kita bicara persoalan Pendidikan nasional kita Nah oleh karena itu Menteri Pendidikan kita Pak Nadiem itu Mengajukan suatu usulan rancangan undang-undang Sisdiknas Nah itu mungkin inisiatif pemerintah Yang kemudian Akan dibahas bersama-sama Dengan DPR untuk bagaimana Mewujudkan ini Saya terus terang Belum membaca juga ini Rancangan undang-undang ini Tapi saya yakin Eh Probaidui itu pasti sudah mengulitinya Tentang mengapa Kok kita perlu membuat lagi sistem pendidikan nasional Dan arahnya kemana Apakah hanya sekedar pembaharuan Biasa Atau memang ada hal yang mendasar Yang harus diperbaharui kan Yang harus katakanlah Kalau dalam politik ini ada perubahan radikal atau tidak Atau perubahannya moderat-moderat saja kan gitu Kalau radikal Artinya kan ada sesuatu problem yang mendasar yang harus dibenahi melalui sistem pendidikan nasional kita. Apalagi kita akan masuk nanti dalam era pemerintahan baru.
Prabowo-Gibran setelah Oktober nanti 2024-2029, kondisi pendidikan kita kan kita harapkan itu akan lebih baik. Akan ada perubahan dalam sistem dan pelaksanaannya. Nah, tentu sebagai... Ahlu zikri.
Ahlu zikri itu adalah orang yang ahli. Kita bertanya kan kepada ahlinya. Kalau tidak bertanya kepada ahlinya kita tersesat.
Hari ini adalah ahli pendidikan nasional kita itu adalah salah satunya Prof. Baduy yang kami undang ke sini. Jadi Prof. punya tanggung jawab untuk menjelaskan ini kepada masyarakat kita. Agar mereka lebih banyak memahami problem-problem mendasar apa.
yang terjadi dan terdapat di dalam pendidikan nasional kita. Silakan, Prof. Aduh, terima kasih Bang Zulfan. Akhirnya saya diberi kesempatan lagi nih untuk nongkrong kedua kali.
Jadi, saya ikuti betul podcast Bang Zulfan ini. Jadi, semua isunya itu menurut saya ya relevan karena situasi politik ya. Iya, iya. Tetapi hari ini kita agak... agak berbeda sedikit nih Bang, kita ingin melihat Sedikit kedalaman, bukan hanya aspek politiknya ya.
Tetapi kita ingin betul paham bahwa persoalan pendidikan ini bukan soal yang harus dilakukan secara apa ya. Diam-diam atau juga secara terang-terangan tetapi tidak punya dasar. Nah yang ramai kemarin di publik itu kan yang tadi Abang bilang itu soal RUU Sikdiknas, inisiatif pemerintah yang dilakukan oleh Menteri yang sekarang, Mas Nadiem katanya, ingin menggabungkan tiga undang-undang. Undang-undang nomor 12, undang-undang 14, undang-undang 20, soal guru, soal dosen, soal Sikdiknas. Itu ingin dirangkum jadi satu.
Niatnya bagus. Tetapi ada sesuatu yang menurut saya Sebetulnya belum layak disebut sebagai sistem pendidikan Kalau kita bicara soal sistem pendidikan Itu berarti semua hal yang berkaitan dengan kependidikan Semua pemangku kepentingan Semua lembaga yang ada di dalam republik ini Kalau dia mengelola pendidikan Maka dia harus diatur dan mau diatur Dalam sebuah sistem yang satu Kan begitu kan? Logiknya begitu Tetapi Tapi yang terjadi sebetulnya seperti apa? Nah ternyata tidak. Misalkan salah satu indikator yang tadi mungkin sudah sering dikemukakan juga.
Sebuah sistem itu butuh anggaran nggak bang? Pastilah. Iya kan?
Nggak mungkin kita ingin membuat sistem, tetapi kemudian kita tidak punya tata kelola bagaimana cara menjalankannya. Dan ketika akan menjalankan kita perlu anggaran. Nah ini lucunya kalau kita lihat RU Sikdiknas hanya ingin menguliti aspek-aspek kurikulum, guru. guru, dosen, hak dan tanggung jawabnya. Tetapi kemudian di dalam draft itu, nggak pernah disebutkan.
Sebetulnya struktur anggaran kita di dalam sistem pendidikan nasional itu seperti apa? Nggak ada klausulnya itu, Bang. Di RU SIK, di KNAAS yang diajukan. Nggak ada klausul itu.
Sehingga masyarakat ini kan nanya, katanya 20 persen. 20 persen ini kemana aja? Nah kalau kita lihat, 20 persen dari APBN ini kan.
Orang kan taunya. Sebetulnya ini dananya besar, dan ini ada di kantongnya Nadiem, ada di kantongnya Gus Yakult. Kira-kira begitu, kemenak dua kementerian yang besar ini. Tapi setiap tahun kalau kita lihat peraturan presiden yang mengatur bagaimana dana kependidikan ini didistribusi, itu sebetulnya bukan hanya kemenak dan kemendikbud. Perhubungan ada di situ, KLHK ada di situ, pertahanan ada di situ, bahkan kepolisian dan TNI punya jatah dari dana kependidikan ini.
Beruntung. Kementerian-kementerian lain ya Semuanya, hampir semua ada disitu Bang You name it, kelautan ada Pertanian ada Jadi sebetulnya Rongga struktur, rongga anggaran Kemendikbud itu ada di banyak Kementerian dan lembaga Dan ini Publik tidak tahu yang dilayani apa nih Aspek pendidikannya Harusnya kan Ini diaturnya bareng Karena kan dia mengatur siswa atau mahasiswa Kementerian-kementerian itu masuknya juga ke dalam dapodik yang satu. Harusnya. Dan tata kelola keuangannya juga, quality assurance-nya juga dibuat oleh satu kementerian.
Harusnya begitu. Nah ternyata di dalam draft RUU Sikdiknas yang diajukan oleh Nadiem itu, nggak muncul soal pagu anggaran ini. Sehingga rakyat kan selalu mengatakan APBN-nya ada 20, tapi nggak tahu sebarannya kemana nih.
Nah kan? Nah menurut saya sekarang di era keterbukaan seperti ini, udah nggak saatnya. Lagi kita tutup-tutup ini Bang Semua harus tahu dan terang-beneran Apalagi nanti Pak Prabowo Mas Gibran misalkan ketika dia mau Melakukan evaluasi Ya dievaluasi betul ini Anggaran supaya publik gak salah tangkap Jangan-jangan kok pendidikan ini Anggarannya sudah 20% Tapi kok bergeraknya kok Masih seperti kura-kura kira-kira begitu Mutunya gak dapat Iya kan Anak jumlahnya tambah banyak Guru juga tambah banyak Jadi Prabowo problemnya begitu akut karena apa? Dari dulu kita belum, sebetulnya belum punya undang-undang sistem pendidikan nasional yang mengatur semuanya. Ya kan?
Contoh yang paling kesat mata yang sering saya kemukakan itu adalah misalkan tata kelola anggarannya. Kemendikbud menggunakan tata kelola desentralisasi. Jadi semua dana yang di daerah itu, yang di pusat itu kemudian didistribusi ke daerah. Melalui DAK, DAU, ya kan?
Kepada bupati. gubernur, wali kota sehingga di daerah itu dibagi-bagi lagi dia kalau urusan dana SMA gubernur yang pegang urusan dana SMP dan SD bupati dan wali kota yang pegang Kemendikbud ngatur apa? yang bisa dia kerjakan, bagi-bagi kartu voucher, KIP, PIP kira-kira begitu kan ini juga menimbulkan banyak masalah kan kemarin protesnya kita dengar dan lain sebagainya jadi sementara kementerian agama memegang kendali anggaran itu basisnya adalah setelah sentralisasi. Padahal yang dilayani anak bangsa juga. Ada yang di madrasah.
Ada yang di pesantren gitu kan Nah ini kan anak-anak Ada Universitas juga kan gitu Tapi dikelolohannya secara sentralisasi Nah ini kan Katanya sistem, tapi kok baru dua kementerian ini aja kita udah kelihatan. Loh ini kok dalam satu sistem ada dua tata cara pengelolaan keuangan. Nah ini kan publik perlu bertanya, sebetulnya yang paling efektif yang mana nih?
Yang paling baik yang mana nih? Supaya tidak muncul kecemburuan, kecurigaan, harusnya bagaimana? Kan itu ada banyak pertanyaan publik di situ kan Bang. Nah ini kan nggak pernah diselesaikan nih oleh Jokowi dalam 10 tahun terakhir.
Bahkan dia di periode pertama... Dia pisahkan Ristek Dikti dengan Kemendikbud. Di periode kedua digabungkan lagi. Nah sementara di Kemenat juga begitu nomenklaturnya.
Dia punya universitas, dulu namanya IAIN, sekarang menjadi UIN. Padahal nomenklatur UIN harusnya adanya di Kemendikbud. Kira-kira begitu. Nah ini jadi kekacauan-kekacauan nomenklatur, kekacauan-kekacauan tata cara.
distribusi, pagu anggaran dan lain sebagainya ini menurut saya itu harus menjadi pekerjaan pertama yang harus diselesaikan dan ini harus masuk salah satu klausul di dalam RUU Sikdiknas sehingga ketika rakyat membaca ini dia tahu siapa saja penanggung jawab anggaran ini untuk berjalannya sebuah sistem ini iya kan? nanti kan gak serta-merta disalahkan misalkan wah ini salahannya kemenang ini salahnya kemendikbud padahal disitu PUPR aja punya bang Anggaran itu kan Sampai 3 triliunan lebih Yang dialokasikan dari dana APBN Untuk pendidikan masuknya Ke kantong PUPR Jadi untuk perbaikan ruang kelas Yang dulu dibangun langsung sekarang yang bangun PUPR Dan ketika mereka membuat aturan Nah banyak sekali nih Yang mengeluh adalah teman-teman di kementerian agama Ada madrasah Yang tanahnya tanah wakaf Kurang kelas, begitu mau minta usulan pembangunan ruang kelas baru, mintanya kan sekarang nggak dikelola sendiri, harus melalui PUPR. PUPR bilang tanahnya harus tanah negara ya Padahal tanah wakaf Nah kebanyakan di madrasah kan di pesantren tanah wakaf Gak bisa tuh dibangun pake duit yang dari PUPR Kira-kira begitu Nah ini kan artinya gini Antara sistem dengan anggaran ini Itu belum berjalan seiring Belum berjalan berkelindan gitu kira-kira Iya kan?
Dengan baik Sehingga ketika ini terjadi Maka tentu saja tafsirnya menjadi sendiri-sendiri bang Karena itu kita gak bisa menjauh jamin quality assurance-nya itu. Kontrolnya pasti lemah. Kalau kontrol lemah, pasti mempengaruhi kualitas.
Kalau kontrol lemah, kualitasnya lemah, maka produk akhirnya juga bisa kita bayangkan bagaimana anak-anak kita. Karena itu nggak ada kebanggaan sama sekali kita. Hampir 79 tahun merdeka ini, sistem pendidikan kita seperti berjalan di tempat. Karena belum lagi nanti masalah yang macam-macam.
Kulum, guru. fasilitas lain, buku dan lain sebagainya nah hemat saya itu tadi bang mari nanti kita minta siapapun menteri yang baru itu benahi dulu tata kelola anggaran ini dengan baik dan itu harus masuk di dalam RUU Sikdiknas ada klausul yang menjelaskan itu supaya ini nanti masyarakat juga tahu bang anggota DPR kita juga jadi tahu gitu kira-kira bang begitu pentingnya persoalan pendidikan nasional ini Prof ya ya Oleh karena itu kita mengharapkan kepada Presiden Prabowo untuk tidak memilih Menteri Pendidikan ini atas dasar kepentingan politik. Misalnya ini adalah alokasi bagian daripada partai politik pendukung. Kualisi misalnya kan.
Boleh saja dari situ, tapi harus orangnya betul-betul profesional dan tidak ada main-main. politik praktis di dalam mengelola sistem pendidikan nasional kita. Kan gitu. Jadi partai bisa mengusulkan seorang menteri pendidikan nasional kepada presiden tetapi orang yang betul-betul ahli di bidangnya. Jangan orang yang tidak ahli.
Kadang-kadang kan orang bisa dilihat belum tentu seseorang yang sukses membangun suatu perguruan tinggi. Hmm. Dia belum tentu juga kita sebut ahli dalam dunia pendidikan. Karena kan luas sekali kan pendidikan ini. Bukan hanya persoalan universitas.
Mungkin dia secara manajemen ya, dia mampu memanaj satu universitas maju. Tetapi belum tentu sistem pendidikan dia bisa memilih seperti karena persoalannya terlalu luas. Ini kan di sini ada pengawasan, ada accountability-nya mesti ada, kemudian harus ada kemampuan profesionalnya.
Jadi lengkap sekali ini dibutuhkan orang yang memang konferensif. pengetahuannya tentang masalah pendidikan dan juga ada kemampuannya secara spesifik. General tapi ada spesifiknya yaitu pendidikan.
Ini kalau enggak bahaya sekali. Dengan anggaran 20% Yang tadi pun masih teralokasi Kesana kemari ya Jadi memang Banyak sekali diatas 600 triliun Kalau menurut Prof sendiri Kira-kira Profile ya Menteri pendidikan yang kita butuhkan itu seperti apa nanti? Jadi begini, saya menganalisis, melihat ya beberapa menteri terakhir itu, begitu dia jadi menteri, maka yang... kelihatan sebetulnya adalah gendak personalnya untuk dimunculkan ke dalam program jadi contoh paling konkretnya beginilah waktu zaman siapa saja misalnya Pak Nus Nuh mengeluarkan statement kurikulum ini kurikulum 13. Nadiem mengubahnya menjadi kurikulum merdeka. Tapi sebetulnya itu-itu juga.
Jadi dulu ada kurikulum KPSP dan lain sebagainya. Ini salah satu contoh kecil. Tapi sebetulnya yang dilakukan oleh para menteri ini ketika melihat fundament kurikulum itu, itu cuma berubah nama saja. Intinya tetap itu saja. Iya kan?
Gak pernah ada yang. Jadi sebetulnya yang saya lihat sebetulnya mereka tidak pernah melakukan riset terlebih dahulu melihat rekam jejak 5 tahun yang lalu ke belakang ini yang sudah dilakukan apa. Kemudian dia membuat asesmen yang betul.
Bukan memaksakan kehendaknya untuk ada ide baru di situ. Nah kesalahannya begitu. Kalau menteri di kita ini begitu dia jadi menteri dia ingin ada ide baru. ide baru disitu.
Padahal menurut saya harusnya gak begitu seorang menteri. Yang kepikir adalah bukan soal dari partai atau tidak bang. Buat saya adalah seorang menteri pendidikan itu begitu dia ditunjuk, maka dia harus paham betul apa yang harus diselesaikan dalam bidang pendidikan ini.
Gurunya, aspek siswanya, aspek pelatihan gurunya, aspek kesejahteraannya, atau aspek kualitasnya. Kan dia harus bikin dulu prioritas ini. Dari beberapa aspek yang dia harus baca. Karena itu begitu dia jadi menteri, bayangan saya sih dia akan bilang, oh oke soal anggaran, saya harus berkolaborasi dengan menteri keuangan. Saya pastikan dulu, ini kok bercacarannya terlalu banyak ini.
Bisa nggak ini anggaran ini kita jadikan satu ke dalam struktur anggaran yang bisa dikontrol satu oleh satu kementerian. Nah sekarang kan tadi Prof sebutkan ya, dari masing-masing kementerian itu kan, yang menerima alokasi dana... dana pendidikan itu. Orang selama ini kan berpikir bahwa 20 persen dana APBN yang dialokasikan kepada pendidikan itu seolah-olah semuanya di tangan Kemendikbud.
Ternyata kan tadi dijelaskan bahwa menyebar banyak kementerian kan. Ada yang mulai dari 500 miliar sampai 12 triliun. Sementara kan itu. itu publik tidak tahu bagaimana proses penggunaan uang itu di masing-masing kementerian itu, nah itu jadi maksud saya seorang menteri seogaknya begitu dia ditunjuk, dia akan bilang dulu dengan menteri keuangan sebagai partnernya eh mari kita benahi dulu nih struktur anggaran Kementikbud supaya dia lebih efisien begitu dia bicara soal guru dia akan undang Menpan RB partnernya atau Kementagri eh gimana nih supaya undang-undang pengangkatan guru dan lain sebagainya ini bukan otonomi bisa gak kita rapikan dulu nih kan harus begitu, jadi sebetulnya gak ada seorang menteri itu yang bisa bekerja sendiri bang sesuperior apapun, sepintar apapun gak bisa seperti itu, kalau dia tidak punya koneksi yang pas dengan kementerian yang melingkupinya buat saya, Kemendikbud itu banyak bang, partnernya dan itu wajib hukumnya mereka bersatu disitu, untuk anggaran dia harus berpartner dengan kementerian keuangan untuk persoalan guru, dia harus bekerja sama dengan menpan RB dan dan dan juga Mendagri. Untuk urusan sekolah, Ya kan untuk kualiti dan lain sebagainya itu partnernya misalnya dengan Bapak Nas.
Ini 5 kementerian ini harus ngurus pendidikan bareng Bang. Jadi jangan apa misalkan direncanakan oleh Bapak Nas mengatakannya di dalam RPJPN, RPJMN. Misalkan prioritasnya begini, begini, begini.
Tapi kemudian implementasinya nggak begitu. Itu kan artinya kontrolnya kan bukan hanya ada di satu kementerian Bang. Nah ini yang harus dibenahi terlebih dahulu.
Karena itu, itu... Bukan soal orangnya, tetapi kalau seandainya misalnya, mohon maaf, Presiden Prabowo nanti dan Wapresnya Gibran nggak mengerti soal ini, ini nggak diperbaiki, maka jalannya akan tetap seperti ini. Iya, iya.
Nggak akan ada perubahan yang fundamental kalau tidak melakukan... Nah perubahan dari sisi Anggaran dan kewenangan Misalkan Memindahkan guru kewenangan siapa Kemen Dikbut, Kemen Dagri Karena ini punya kontrolnya kan ada di Bupati Wali Kota Dia ganti-ganti Kepala sekolah ketika itu masuk dalam tim suksesnya Selesai Bang Kemen Dikbut cuma nonton aja Tiba-tiba yang jadi Kepala Dinas Pendidikan Bekas Kepala Dinas Pertamanan atau Pekuburan Jadi ini banyak yang mismet itu disitu Itulah jadi kolaborasi itu menurut saya penting sekali Harusnya kan persoalan anggaran itu bisa saja desentralisasi Tapi sistemnya harus sentralisasi kan gitu Nah ini kan perlu kesepakatan semua pihak Bang Itulah yang harus kita tuangkan di dalam RUU Sikdiknas Kalau RUU itu menjadi undang-undang Sikdiknas kan menjadi clear Bang Siapa melakukan apa di bawah peran siapa kan begitu Iya iya Termasuk juga alokasi anggarannya Bagaimana distribusinya kan gitu Jadi publik tau bang Selama ini coba abang baca deh Di undang-undang Siklinas Masyarakat gak tau tuh 20% tuh Pokoknya gajinya tuh kan Nomenklatur di Kemenkau itu kan Banyak sekali kan Ada transfer daerah Ada yang mah rakyat mana tau Yang kayak gitu-gitu Ini buat siapa tanggung jawabnya Begitu saya baca Misalnya banyak Di daerah-daerah ini Bupati, wali kota ngeluh ke saya Gak bisa nih saya habiskan DAK dan DAU dari DAK transfer dari pusatnya untuk pendidikan kenapa? sulit ya kan?
nah ini orang gak tau soal itu bang nah maksud saya kalau ini gak dibenahi dan itu masuk ke dalam rancangan undang-undang dimana disitu harus ada kesepakatan bersama, 5 kementerian tuh undang-undang ini harus dikawal, jadi bukan hanya kemendikbud, kemenak masuk menpan masuk, menkiu menkiu, mendagri babenas, ini harus dikroyok bang semua kepentingan ada di di situ, baru diatur tata kelolanya nah selama ini RUU itu didesain itu hanya untuk kepentingan Kemendikbudristek, karena itu dia keluarnya adalah bagaimana ngurus sekolah, bagaimana ngurus paut, ngurus SMP dia gak bisa kira-kira kayak begitu nah ini persoalan yang menurut saya kritikal, dan kalau dibiarkan terus-menerus maka bayangkan tidak akan ada perubahan apapun di dalam tata kelolanya, yang ada tuh cuma penamaan-penamaan yang nomenklaturis yang menurut saya ya diksi-diksi yang sambil lewat aja misalnya guru penggerak kurikulum merdeka, nanti prakteknya juga sama aja seperti dulu bikin laporan banyak-banyak gitu kira-kira begitu sebenarnya kan kalau kita bicara pendidikan objeknya ini kan manusia artinya bagaimana objek menjadi subjek kan gitu pertama dia menjadi objek, kemudian dia dia harus bisa menjadi subjek. Karena itu manusia ini kan harus betul-betul di-create, dibina, dididik, sehingga dia bisa menjadi, katakanlah istilah dulu itu kan, PMP itu manusia Indonesia seutuhnya. Ya.
Kita kalau belajar pendidikan moral Pancasila. P4 ya. Nah jadi untuk menuju ke situ, itu kan memang harus melalui sistem. Sistem pendidikan yang serius, yang berkualitas. Menurut saya ini Prof ya, tidak ada satu negara yang mereka maju tidak diawali oleh sistem pendidikan yang benar.
Betul. Itu prinsip. Kita ambil misalnya contoh begini. Perbedaan antara Malaysia sebelum Mahathir dan setelah Mahathir itu berbeda sekali. Sebelum Mahathir Mahathir menjadi Perdana Menteri, itu kan sistem pendidikan Malaysia itu masih tidak terintegrasi dengan baik.
Tetapi pada masa Mahathir, terutama karena Mahathir kan punya semangat untuk bagaimana memanjukan bangsa Melayu. di Malaysia. Dan dia melihat bangsa Melayu tinggal jauh dibandingkan dengan masyarakat Tionghoa di Malaysia, terutama dalam sektor pendidikan dan bisnis misalnya. Tapi dia tidak mau masuk ke bisnis dulu.
Dia bagaimana membenahi dulu sistem pendidikannya. Oleh karena itu banyak sekali prioritas prioritas yang diberikan dan fasilitas-fasilitas juga diberikan kepada bangsa Melayu di Malaysia agar mereka bisa menjadi orang-orang yang unggul. Nah tapi keunggulan itu kan Prof ya, itu kan sangat berangkat dari bagaimana kemampuan kita membangun mental dulu. Betul. Ya kan?
Mental semangat mereka bisa maju kan gitu. Nah saya melihat misalnya salah satu yang saya sempat berdialog ya, misalnya persoalan buku gratis. Nah di Malaysia itu kan ada buku gratis.
Di mana buku itu didistribusikan oleh semacam balai pustaka kita di sini. Apa namanya saya nggak lupa ya? Pusbuk, pusat buku dan pusat kurikulum kalau di sini. Di mana?
Di Indonesia. Di Indonesia. Nah jadi buku itu didistribusikan oleh satu badan ya.
Pendistribusian buku kepada murid-murid. Dan buku itu dikasih gratis, itu tidak boleh rusak. Murid yang menerima buku itu tidak boleh merusak buku, tidak boleh mencoret, tidak boleh ada yang sobek.
Supaya bisa digunakan lagi. Supaya bisa digunakan. Sebenarnya apa yang diharapkan? Anak-anak itu mulai bisa menjaga, mental mereka itu menjaga.
Apa, buku ilmu bacaan ini harus saya jaga. Iya. Iya kan? Dan di sana kan tidak seperti kita, tiap tahun rubah buku, rubah kurikulum, rubah isi buku kan? Iya.
Nah sehingga buku itu betul-betul bisa dipakai lagi oleh generasi adik kelasnya. Nah ini kita kan di sini, nggak jelas ini kemana arah kita untuk... Membangun manusia sebagai subjek ini, merubah mental mereka, supaya mereka betul-betul menjadi orang yang bisa bukan hanya sekedar berpikir, tapi mempunyai mental untuk bertanggung jawab. Itu, Prof. Ini statement Bang Julfan terakhir ini menarik sekali. Buku bisa mengubah mental.
Ya. Ini saya baru dalam kurang lebih 6 bulan terakhir ini bikin special research soal buku teks yang ada di Indonesia ini. Dan saya mau menangis itu bang, melihat.
Jadi saya percaya bahwa buku itu sebetulnya membentuk mental. Mental guru dan mental siswa juga mental orang tua itu dari buku. Iya.
Tapi kemudian saya dengan kawan-kawan di sekolah itu bikin semacam uji coba. melihat bagaimana peta pergumulan buku teks kita dari tahun ke tahun. Dari tahun 1974 sejak ada bantuan dari World Bank dan lain sebagainya. Dan perubahan-perubahan kurikulum. Kurikulum 98, KTSP yang diperbaharui, muncul Kurtilas dan lain sebagainya itu.
Saya kumpulkan buku teks itu Pak. Dengan kawan-kawan. Saya baca bareng-bareng. Jadi saya dulu waktu di Amerika itu mengambil satu mata kuliah yang menurut saya bermanfaat sekali. Namanya book review.
Jadi bagaimana kita mereview buku teks Nah buku teks yang sudah bertahun-tahun banyak ini Saya kumpulkan ulang bang dengan kawan-kawan Saya kasih sedikit modul Untuk mengecek Apa yang dicek Tiga yang kita cek Yang satu saya bilang coba cek Di dalam satu buku misalnya kelas 1 SD Lihat temanya Temanya ini Logical frameworknya jalan apa enggak Dari hampir Hower ke hawer dari hari ke hari Dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan Sampai dia satu tahun, saya cek Setelah itu sinergi antar temanya Terjadi apa enggak Saya lihat tuh, buku itu Antar kelas 1, kelas 2 Naik kelas 3 Kelas 4, begitu di SMP Ada pengulangan Jadi logical framework tematiknya aja bang Enggak jalan Nah continuity dari materi itu kemudian menjadi free interpretation oleh para guru dan senanya aja diajarkan. Itu yang membuat pendidikan kita salah satunya itu sulit maju. Bahkan saya mau menangis ketika melihat buku dari kelas 1 sampai kelas 3 SMA itu itu ya ampun bang, tabrakannya terlalu banyak.
Logiknya itu banyak yang terbulak terbalik. Nggak jelas ini dalam bahasa, matematika, dan lain sebagainya. Saya bisa mendetailkan itu nanti setelah jadi ya. Tapi yang saya ingin katakan adalah bahwa dari sisi tematik tidak ada konektivitas, dari sisi teori tumbuh kembang anak, diksi yang digunakan oleh buku itu tidak mempertimbangkan ini.
Yang ketiga, dia tidak pernah bisa dikatakan ini tuntas belajarnya. Sehingga tiga hal ini kalau kita lihat ini bang, ini yang menyengsarakan siswa dan guru. Guru begitu terima buku pokoknya, oh baca ini, oh udah ajarin aja. Dia gak peduli tuh ini sesuai gak dengan teori tumbuh kembang anak, bahasa yang digunakan. Temanya ini dengan tema sebelumnya nyambung gak?
Gak pernah ada yang ngecek bang. gak pernah ada yang ngecek jadi begitu saya teliti, ya ampun pantas saya bilang, kita gak pernah maju karena buku teks itu mau kurikulum merdeka, KTSP, dan lain sebagainya begitu saya cek per subjek per tema, konektivitasnya diksi yang digunakannya Saya patut menangis melihat itu. Jadi karena itu saya sekarang memberanikan diri sedang menulis buku teks sendiri. Yang saya perhitungkan itu apa?
Satu, logical framework dari temanya itu betul. Jadi kalau sebuah substansi, kapan anak diperkenalkan trigonometri, kita harus tahu ini usia berapa dan ditaruh di kelas berapa misalkan gitu. Ini sekarang tabrakan bang.
Konsep misalkan hukum-hukum kimia dan lain sebagainya, diperkenalkan di kelas berapa. Konsep biologi yang paling dasar itu apa? Jadi biologi itu belum apa-apa, anak kelas SD itu udah diajarin soal binatang. Dirinya sendiri belum paham. Jadi maksud saya banyak konsep-konsep diantara tema-tema buku ini, itu bang gak pernah ini jadi perhatian orang.
DPR gak pernah jadi perhatian menteri. Padahal di sini pusat kebudayaan ini, yang bisa mengubah karakter anak itu adanya di situ. Dan saya boleh meyakinkan diri, bahwa saya setelah membaca buku teks yang beragam itu, Saya boleh mengatakan buku teks itu justru yang membodohi kita. Saatnya itu kalau Prabowo Gibran nanti itu peduli itu, maka ini harus dievaluasi total bang soal buku teks itu.
Karena menurut saya logical framework tidak dapat, konektivitas antar temanya tidak ada, tidak memperhitungkan teori tumbuh kumbang anak ketika menuliskan diksi untuk diajarkan. Dan kita nggak tahu, guru-guru nggak tahu nih. Pokoknya buku ini berdasarkan kurikulum ini di...
Stempel aja ganti cover Sekolah suruh beli Yang nulis siapa guru gak tau Satu lagi bang Hampir tidak pernah ada buku teks di Indonesia itu Yang dilempar ke pasar Digunakan oleh guru diajarkan ke siswa itu Itu dimulai dari trialnya dulu Uji coba di sekolah Gak ada Langsung begitu jadi oleh si penulis Minta pengesahan dari Kemendikbud Oh iya ini sesuai stempel Jual Mengerikannya sampai di situ bang pendidikan kita. Iya. Dan orang gak paham justru ini sebetulnya sumber masalah yang paling mendasar menurut saya.
Yang harus direformasi ini. Saya gak tau apa kata yang tepat ya. Jadi buku teks itu adalah sumber masalah. Saya kira gak pernah ada di DPR orang bicara soal buku teks.
Ya karena gak mengerti. Karena menurut saya ya. Konsen orang itu kan terlalu banyak. DPR misalnya Itu kan kecenderungannya melihat pada aspek-aspek yang praktis Ya Kan gitu Misalnya ya memang DPR menyuarakan hal itu Itu juga satu kewajiban Tetapi kan tidak ada salahnya Juga memahami substansi yang menyebabkan lahirnya Penyimpangan-penyimpangan dalam praktek itu sendiri kan Gitu loh Misalnya Ya Saya nggak tahu sekarang dana riset itu berapa.
Aduh. Ya ampun, nggak ada 1 triliun. Ya makanya. Brin itu kecil sekali.
Dapet kalau nggak salah cuma 200-300 miliar. Nah bagaimana kita mau membangun suatu kekuatan negara kita berdasarkan riset? Riset ini kan penting sekali.
Belum lagi aspek mulai dari aspek pertanian, pendidikan, kebudayaan, ya kan? Banyak sekali, pertahanan, politik, dan macam-macam ini kan seharusnya dilakukan dengan pendekatan-pendekatan riset yang serius dan menyalah. Nah ini saya pengalaman Prof ya, di Brazil, Brazil itu kan produksi dia punya ternak misalnya. Kenapa bisa meningkat begitu tinggi? Karena memang mereka riset selama ini, peternak itu menggunakan...
Tanah untuk ternak itu tidak sesuai dengan alamnya si sapi misalnya. Makanya mereka riset carilah lahan-lahan di tempat lain yang memang alamnya mendukung pertumbuhan sapi itu. Akhirnya sekarang kan jumlah ternak sapi ya, produksi sapi di Brazil itu ratusan juta kan. Nah itu kan asil riset. Kalau kita kan nggak, ya dulu 10...
10 tahun yang lalu dia bisa hanya bisa 10 ekor, sekarang juga segitu. Ya karena kan nggak cocok, alamnya memang tidak sesuai. Nah ini kewajiban pemerintah untuk melakukan riset.
Disitulah peran pemerintah mendukung bisnis atau usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat. Bukan hanya sekedar kasih uang. UMKM supaya maju kita kasih uang. Iya kan?
Iya. Terus? Betul. Risetnya apa nih untuk MKM supaya mereka bisa lebih berkembang?
Apa yang harus dilakukan? Nah kita ini selalu urusannya kita kasih anggaran aja deh. Anggaran sekian.
Nanti kooperasi berkembang. Padahal kooperasi muncul itu seribu mati, seribu hidup kan. Nah jadi memang banyak sekali ya.
Kalau kita bicara persoalan pendidikan dan persoalan mental. Tadi Prof mungkin... Apa pembangunan berdasarkan riset itu Prof? Prof melihat seperti apa ini?
Ya, jadi menurut saya riset itu di bidang pendidikan itu minim sekali. Sangat-sangat minim. Misalkan teachers doing riset itu, itu nggak bisa dilakukan serta-merta.
Misalkan pakai, ya yang kalau sekarang di teori tindakan kelas misalkan, suruh bikin laporan. Itu hanya dikasih semacam modul suruh baca, tapi tidak dilakukan penuntunannya secara jelas. Nah, buku teks ini... ini salah satunya adalah gak pernah dilakukan research.
Artinya kalau melakukan review itu kan sebenarnya melakukan research. Coba cek sekarang, mana perguruan tinggi yang pernah melakukan cek dan re-check terhadap substansi buku teks. Saya berani taruh gak ada satu pun. Kalau teori-teori kependidikannya banyak, aspek-aspek pedagogisnya, androgogisnya, banyak di-research. Tapi, Efektivitas penggunaan buku teks itu nggak pernah di riset dengan serius.
Padahal ini produknya, produksinya setiap tahun itu ratusan juta. Iya kan? Banyak sekali.
Begitu berganti kurikulum, ganti lagi. Bayangkan gak puyeng kayak apa itu? Itu ada dari buku teks. Padahal itu tadi, saya tuh hanya sekedar melihat dari visi yang sederhana saja. Hanya mengukur tiga hal itu tadi.
Konektivitas antartema, kesesuaian dengan teori tumbuh kembang anak, dan kita lihat keberlanjutannya pada aspek kualitas pedagogis gurunya seperti apa. Ini gak nyambung nih. Begitu kita tes, Kedalam buku teks itu, Masya Allah. Ngeri, Bang. Jadi, ini kalau nggak diperbaiki, buku teksnya masih digunakan hal yang sama, cara mengajarnya sama, nggak berubah, nggak mengubah apa-apa, Bang.
Artinya apa? Tiap tahun ini anggaran 20 persen, habisnya di situ-situ juga. Ganti nama, ganti nama, ganti nama, padahal substansinya tetap itu.
Karena itu laporan-laporan dari Bank Dunia apapun, kita itu dianggap... tidak efisien menggunakan dana anggaran pendidikan itu karena basisnya bukan basis riset. Basisnya itu basis pokoknya saya maunya begini. Nanti bilang pokoknya enggak, pokoknya harus semuanya merdeka.
Dia bikin aja semua platform maunya merdeka, ini guru belajar merdeka, ini semuanya serba merdeka. Itu dia memaksakan ide itu bukan tanpa riset yang jelas. Padahal ada banyak substansi yang bisa kita lakukan.
Salah satunya itu saya menguji... padanan bagaimana buku teks itu digunakan oleh siswa. Dia pernah tahu nggak gitu.
Kalau guru mengajar ini, yang menjelaskan teori ini, kira-kira yang diterima oleh anak itu apa implikasinya? Nah riset-riset gini nggak pernah dilakukan. Sehingga apa?
Aspek pedagogis nggak jalan, riset base untuk melihat bagaimana sinergitas, konektivitas antar tema nggak terjadi. Setelah itu... Penulis ini gak pernah dikasih bimbingan.
Pokoknya dia tulis, diksi yang digunakan kan aneh-aneh. Gitu kan? Dan tidak sesuai dengan teori tumbuh kembang anak.
Akhirnya apa? Diterima oleh guru salah, diajarkan secara salah. Siswa akhirnya apa? Serba salah. Ya kan?
Saya setuju sekali. Riset itu harus jadi sebetulnya gini Bang. Dalam anggaran apapun itu, itu riset itu harus melekat. Misalkan ketika kita menganggarkan ada proyeksi untuk kapasiti building seorang guru misalnya. Ini ada 3,6 juta guru di Indonesia ya kan?
Dia dikasih dana sertifikasi misalkan. Jadi kalau di sekolah yang saya bina itu, begitu dia akan menerima dana sertifikasi itu, kita bilang, eh ini saya kasih benchmark, kamu meriset ini ya. Kalau nggak ada riset ini, uangmu nggak dapet. Harusnya nggak perlu pakai ada alokasi khusus, Bang. Kalau kita punya cara bagaimana riset ini dijalankan oleh sistem pendidikan.
Dosen juga begitu. Sekarang dosen ini menunggu-nunggu. Dana riset. Iya kan, kadang-kadang mereka ribut, hanya urusan 300 ribu, 2 juta, menunggu ini, anggaran mau riset ini, mau riset itu, tapi basisnya bukan basis kebutuhan mahasiswa, yang di riset itu entah sesuatu yang di luar dari aspek-aspek kepentingan.
pendidikan. Nah yang terjadi seperti itu. Abang kalau misalkan baca kita ke kampus hasil-hasil riset para dokter lulusan yang baru terus dia pengen supaya tetap profesornya itu tetap begitu ya dia kan harus menulis itu. Basis risetnya kan paling cuma Ya ala kadarnya aja bang. Karena apa?
Ya ini alokasinya cuma segitu. Itu kira-kira begitu. Nah ini menurut saya salah letak soal posisi anggaran riset itu. Seakan-akan riset itu harus ada yang mengerjakan satu fokusnya khusus.
Misalnya di BRIN menurut saya enggak. Jadi harusnya kepala sekolah punya riset, guru punya riset, orang tua parenting education punya riset, setiap direktorat punya riset. Jadi beban riset itu disprit bang. Sehingga ini sebetulnya bisa berjalan secara Lebih tepat sasaran Lebih tepat sasaran Kalau Brin kan dia secara umum Iya secara umum betul Misalnya sekolah ini Selama satu tahun tuh Outputnya seperti apa siswa ini? Ini kan kita kasih buku, kita ajarkan begini.
Outputnya seperti apa? Perbedaannya dengan tahun yang lalu bagaimana? Ini gak pernah di riset.
Gak pernah. Adanya cuma ada lapor pendidikan. Iya.
Itu kan jadi. saya itu Bang. Jadi sebetulnya dunia pendidikan itu adalah dunia riset Bang.
Iya kan? Salah sekali kalau ada sekolah itu tidak mengembangkan riset. Saya dengan teman-teman di sekolah Sukma kita bersyukur sekali. Adaptasi kita terhadap riset luar biasa Bang.
Dan hanya mungkin ada di sekolah Sukma aja lah setiap tahun itu kita bikin kenduri buku Bang. Ya, kenduri buku itu kadang-kadang bisa sampai 60-70 buku ditulis oleh guru dan siswa. Itu hasil dari mana?
Hasil dari riset yang dia tulis. Dia punya keberanian buat menulis. Nah, sekolah saya yang di kemarin itu baru meluluskan angkatan pertama nih. Baru 3 tahun di Sulawesi Tengah. Sukma di Sulawesi Tengah.
Baru 3 tahun bang, ada 17 karya udah. Siswa 5, guru 12. Udah bisa nulis buku, Bang? Ya karena diprogramkan. Itu dia, jadi maksud saya bingung sekali saya kalau ada sekolah itu misalkan gurunya nggak bisa nulis. Berarti yang dia baca salah, Bang.
Kira-kira begitu. Nah ini yang terjadi kebanyakan di dalam dunia pendidikan kita ini adalah guru dilatih. dikuliahkan di tempat yang sama, begitu selesai dia harus tambah lagi ekstra pelatihan, tapi tidak pernah diajarkan untuk menulis.
Jadi literasi kita itu hanya literasi membaca, tapi belum sampai. Sampai masuk literasi menulis. Nah, ke depan ini, ini harus jadi tradisi, Bang.
Misalnya kalau saya diminta, misalnya pendapatnya, saya bilang, guru tuh, kalau satu tahun dia nggak bisa menghasilkan satu buku dengan standar kayak begini, jangan. Jangan dibayar tuh dana sertifikasinya. Jangan dibayar tunjangan-tunjangan yang misalnya gitu.
Nah ini kan bagian dari cara kita untuk memotivasi guru supaya dia bisa berkembang. Kira-kira begitu Bang. Jadi jangan hanya sekedar bicara bagaimana penambahan biaya, pendidikan, semester.
Kemudian uang sekolah, uang pembangunan, macam-macam. Saya lihat kan memang satu hal. hal kita dianggap pendidikan gratis 9 tahun misalnya, 9 atau 12 tahun 12 tahun SD sampai SMA tetapi kan banyak sekali uang-uang yang lain-lain kan yang dikeluarkan sehingga memberatkan ini kan masih ada anak-anaknya yang sekolah nih, pasti tau lah uang apa saja tiap bulan itu yang harus masih keluar... Uang jalan-jalan, uang tamasa Uang apa, ini tamasa Ini juga kebutuhan murid apa kebutuhan guru Iya kan Nah jadi Saya kira memang Prof ya Banyak sekali Ini kita misalnya di unsur ini Ungsud itu Universitas Sudirman ya? UKT ini.
UKT naik kan 100% tuh. Iya kan? Di Fakultas Kedokteran Gigi katanya itu naik.
Bagaimana ini bisa ada pendidikan UKT naik 100%? Tapi itu UKT dibatalkan nggak? Dibatalkan. Itu mau tau kesalahannya bang Cara pikir bangsa kita ini aneh Begitu ngeliat kenaikan kaget Saya ingin kalifikasi dulu beberapa hal Satu, istilah sekolah gratis Itu sebetulnya gak mendidik Tidak ada sekolah yang gratis di dunia ini Apapun ceritanya Pasti ada spending dari orang tua Untuk anaknya sekolah Jadi gak bisa pemerintah tuh claim itu Misalkan kalau ada calon bupati Calon gubernur itu ngomong Pendidikan gratis Nonsen Bang, dia membohongi diri sendiri Iya kan Terbatas dana pemerintah ini Tapi orang tua itu setiap hari kan dia selalu Mengeluarkan spending, duit Buat beli ini, beli itu, ongkos ini Ongkos itu, artinya Gak boleh itu ada klaim soal Soal didikan gratis, enggak Kalau bisa menurut saya enggak Itulah kemudian di RU Sikdiknas Yang saya kritisi kemarin itu Itu gak ada klausul tentang Community participation Jadi partisipasi masyarakat gak ada Ada bang. Harusnya itu ditumbuhkan kembali.
Supaya bangsa ini tidak menjadi bangsa peminta-minta. Sekarang rakyat ini menunggu dana bos. Kan gratis.
Kalau ada apa-apa marah. Gitu kan. Karena partisipasi publiknya itu tidak di...
Masih mending di jaman Pak Harto bang. Jaman Pak Harto itu dulu masih... Abang kan tahu ada PGA dulu sekolah-sekolah kayak gitu.
Pak Harto cuma ngasih dua orang guru. Kasih pager, kasih bambu, suruh bangun sendiri, masyarakat yang bangun banget tuh sekolah. Iya kan? Dibayar dua, jadinya empat. Jadi maksud saya, tolong ini dibenahi nih.
Para politikus berhentilah berbicara soal kebohongan bahwa ini tuh gratis. Nggak ada bang. Supaya muncul partisipasi masyarakat. Itu yang tidak ada di RAUS, di Dignas. Nah yang kedua itu misalnya soal fenomena.
Kenapa dibilang UKT naik kok kita ribut? Saya udah bilang sejak dulu. Kita tidak...
Tidak menyelesaikan fundamentalnya. Fundamentalnya tuh dimana? Begini. Misalnya di sebuah fakultas.
Kalau saya sih simple. Saya bilang, mau tidak naik? Gampang.
Bagaimana caranya? Satu, you review kurikulum. Jangan pakai ada lagi misalkan di kampus-kampus ini ada...
MKDU, MKDK, abang inget gak sih? Gila-gila gitu, mata kuliah umum, mata kuliah dasar, kira-kira kayak gitu kan. Itu yang terjadi apa?
Kita udah selesai nih belajar bahasa Inggris, bahasa Arab, dari SD sampai SMA. Begitu masuk kampus, masih ada lagi tuh bahasa Inggris 1, bahasa Inggris 2, coba cek. Iya kan?
Agama juga gitu. Masih ada agama satu, agama dua, kira-kira begitu. Dan ini mata kuliah.
Terus nanti macam-macam gitu bang. Jadi maksud saya apa? Kalau kita review kurikulum bang, kenapa biaya menjadi mahal?
Karena kurikulumnya bongsor bang. Mata kuliahnya banyak. Loh di Amerika mata kuliah itu kalau kita kuliah itu padat banget.
Simple. Contohnya saya di IAIN dulu, belum UIN. Waktu di UIN, saya pening ikut kuliah di sana bang. Ya. Kenapa?
74 mata kuliah. Bagaimana nggak mahal? Iya kan? Coba kalau kita simplifikasi jadi 30 aja misalnya. Pasti jatuhnya lebih murah.
Satu. Yang kedua, dosen harus dapat kesejahteraan. Nah salahnya dosen tidak memberdayakan mahasiswa tingkat akhirnya.
Saya dulu bang, begitu selesai di tingkat akhir ini, tinggal menunggu sidang skripsi itu, saya dijadikan asisten dosen bang. Dua semester. oleh dosen pembimbing.
Artinya, anak-anak muda ini, itu tetap bisa jadi dosen, sehingga apa? Mengurangi kos. Dia sebagai pengabdian itu, bagian dari internship.
Ini nggak dilakukan oleh kampus-kampus. Seakan-akan bayar harus profesor, ini bahkan, supaya sejahtera dan lain sebagainya jadi intinya apa? kurikulum tidak direview iya kan, cara placing dosennya juga menurut saya tidak efektif itulah kemudian seakan-akan karena kebanyakan ini orang di dalam itu, mau gak mau komponen harganya menjadi tinggi dan itu salahnya, padahal sebetulnya enggak apalagi dengan kejeniusan misalkan sekarang program kampus merdeka, kan kita bebas memilih dosen siapa saja, asal dia dari orang tua, dia bisa ngajar kan itu bisa menekan sebetulnya Sehingga nanti kalau udah ada review kurikulum bang, yang seharusnya sebuah prodi, sebuah fakultas itu tadinya mata kuliahnya 40, kita bisa kurangi jadi 20 bang. Selebihnya projek. Kerja lapangan, itu gak membiayai apa-apa.
Cost-nya menjadi lebih murah. Kenapa gak berpikir begitu, maksud saya gitu loh. Tau-tau orang maunya naikin UKT-nya, karena ini dosennya banyak, mata kuliahnya banyak. Nah itu maksud saya, Jokowi Nadiem tuh gak mikir ke situ. Menurut saya, harusnya kalau saya yang dipanggil itu.
Saya betul-betul saya review kurikulum secara nasional di universitas-universitas itu. Supaya gak banyak lagi MKDU, MKDK yang gak penting itu diajarkan ulang. Kepada anak-anak. Sehingga di pusat konsentrasi belajar bahasa itu adanya di SMA. Anak masuk kuliah itu udah jadi bahasanya bang.
Nah ini fokus-fokus itu tuh hilang dari pendidikan kita. Jadi kenaikan OKT itu lebih banyak disebabkan oleh kelebihan tenaga pengajar. Satu, yang kedua kelebihan mata kuliah. Iya lah, tenaga pengajar mata kuliah akhirnya, iya kan?
Betul. Terkonsentrasi di situ dananya ya? Iya. Itu kan orang nggak bisa berpikir efisien kan?
Iya. Padahal kalau negara ini mau efisien, gampang sekali menurut saya. Review kurikulum dan wajibkan pokoknya untuk kuliah di fakultas hukum dari sekian semester dan...
Dari sekian mata kuliah menjadi sekian mata kuliah. Tapi kerja lapangannya kita perbanyak. Dia ke kantor pengacara, dia ke pengadilan. Jadi internship lapangan ini yang harus kita lebarkan juga Bang.
Sehingga ini cost-nya kan menjadi lebih murah. Dosen tinggal membaca hasil-hasil. Kita tinggal buatkan benchmark Bagaimana anak-anak turun ke lapangan Itu juga doing research bang Nah kita ini imajinasi itu Menurut saya kurang, jadi kalau kuliah itu Harusnya di kampus, salah betul Padahal kan Kampus itu Kalau saya lihat orang-orang ngambil PSD ya Di Amerika, di Eropa Itu santai sekali Dia kerja digaji lagi Iya kan Paling dia riset, menulis, riset, menulis aja kan Sebetulnya inisiatif dari Kampus Merdeka Dekat itu udah seperti itu, tetapi yang belum dilakukan Nadiem itu adalah review terhadap kurikulum kampus saya yakin itu, misalnya review untuk produksi guru, misalnya LPTK kita itu, fakultas Tarbia FKIP kalau saya mau jujur bang itu kalau saya review itu waduh, saya pernah nih masuk ke sebuah fakultas, saya ngajar disana, saya bilang aduh udah kacau kenapa? ngajar guru itu, yang baik itu adalah 30% teori, 70% praktek, tapi faktanya di beberapa FKP, Tarbiyah dan lain sebagainya, teorinya lebih banyak daripada prakteknya, sehingga ketika keluar guru gak pede Nah ini kan harus punya keberanian nih seorang menteri mengubah itu.
Proporsi antara teori dengan praktek ini. Nah ini kan perlu review kurikulum bang. Ada ilmunya ini.
Nah kita nggak sadar soal itu. Ini yang membebani sebetulnya biaya pendidikan-biaya pendidikan itu. Dan kita nggak kreatif menyelesaikan itu secara didaktika gitu loh bang. Nah ini yang menurut saya harusnya ke depan ini Prabowo Gibran sadar soal ini.
Jadi ada banyak yang bisa diefisiensi tapi caranya betul. Iya, iya. Kira-kira begitu bang. Intinya Bangsa ini maju kalau pendidikannya Diperbaiki dan Ditingkatkan Secara kualitatif, jangan kuantitatif saja Kita bangga dengan jumlah Sekolah tambah banyak Jumlah sarjana banyak Betul gak? Isinya gak ada Nah oleh karena itu kita harus Memicu ini Untuk arah ke situ Nah inilah, saya kira ini memang Harus datang dari semangat Dan dan kemauan politik dari seorang presiden dan wakil presiden.
Dari situ dulu, dia bisa mengontrol bagaimana sesungguhnya persoalan-persoalan lulusan pendidikan kita, baik SMA ataupun perguruan tinggi, itu kan harus dikontrol betul. Sebenarnya kan itu bisa dilakukan, Prof ya. Karena negara kita kan tidak disibuki dengan konflik internasional. seperti negara-negara di timur tengah betul kita negara di ASEAN ini kan lebih bisa melakukan konsentrasi pembangunan dalam negeri dengan baik karena kita tidak persoalan internasional ada dampak ada pasti tapi kan tidak langsung seperti apa yang dialami oleh negara-negara di timur tengah atau di Afrika misalnya konflik fisiknya gak ada ini konflik pikiran yang banyak itu kacau itu berarti konflik Pikiran ini kan berarti Semua merasa paling benar Bang Kira-kira gitu yang muncul Menintimidasi dirinya Menintimidasi dirinya sebelum menginitimasi orang lain Kira-kira begitu Jadi kembali lagi Harapan Prof Baidui ya Terhadap Prabowo Gibran ini seperti apa untuk melihat dunia pendidikan kita ke depan? Tadi memang secara sepotong-sepotong sudah ada ya, tapi secara komprehensif itu bagaimana?
Selama ini pendidikan itu hanya dilihat sebagai sebuah nomenklatur yang berdiri sendiri. Dia tidak dijadikan sebagai pusat etika nasional. Iya kan?
Kalau dia menjadi pusat etika, maka segala suatunya itu basisnya itu harus pada bagaimana paradigma pedagogis, andragogis, didaktikanya itu mengerucut ke sana. Nah kalau misalnya saya ditanya, bagaimana cara ke depan ini pemerintah mengelola pendidikan itu, maka perbaiki apa yang saya katakan tadi Bang. Struktur anggaran dibenahi dengan betul di dalam Erosik Dignas.
Yang kedua... Sarana-prasarana kita ini harus dibenahi. Iya kan?
Nah karena itu hilangkan yang saya katakan tadi misalkan apa itu? Jargon sekolah gratis. Harus sudah lebih fair lah pemerintah itu.
Kemampuannya kan terbatas dia. Ya dia butuh partisipasi masyarakat. Karena itu masyarakat harus diajak berdamai dengan masyarakat. Nah caranya bagaimana?
Saya dulu pernah ya bang ya, bekerja di sebuah institusi, di ASEAN Development Bank. Masyarakat kita ini masyarakat yang partisipasinya luar biasa. Jadi dulu ada skema bang, kita ingin membantu sebuah pondok pesantren misalkan.
Ini bantuannya bantuan loan nih dari luar negeri. Mereka mengusulkan proposal kepada kita. Kami minta tambahan 2 ruang kelas.
Kita baca proposalnya. Berapa biayanya? Oh 90 juta.
Kemudian kita ajak dialog mereka. Oke, saya kasih 2 ruang kelas 90 juta, tapi caranya bisa nggak you undang masyarakat di sekitar itu untuk juga ikut berpartisipasi membantu ini? Oh bisa, kami di masyarakat pesantren biasa begitu. Yaudah. Nah karena itu kita menjalankan skema, abang tahu namanya ASVI bang.
Assistance Scheme for Facilities Improvement. Jadi dia janji itu dengan kita nih, begitu kita kasih dua ruang kelas, dia berjanji membangunnya bahkan empat kelas. Nah ini partisipasi publik nih mati sekarang bang di negara kita ini. Nah maksud saya, ini Prabowo Gibran harus perhatikan itu. Partisipasi publik di bidang pendidikan itu nggak bisa kita hindari.
In kind-nya terlalu banyak bang, ya kan? Kita jangan mengatakan soal tahu kita punya anggaran 20% ini, tanpa ada dukungan publik, nothing. Iya kan?
Itu yang kedua. Yang ketiga, benahi pola rekrutmen guru dari hulu sampai hilir, dari hilir sampai hulunya Bang. Apa yang harus dibenahi itu? Saya katakan tadi, review kurikulum-kurikulum LPTK itu menjadi lebih sederhana. Perbanyak mereka praktek di lapangan.
Jumlah sekolah ini ratusan ribu Bang. 265 ribuan. Mahasiswa yang ngambil FKIP Tarbiah ini kan gak banyak Bang.
Tapi kenapa mereka ke sekolah itu? Praktek ngajar aja, itu harus nunggu semester 8. Udah karatan nih mereka di kampus itu baru masuk ke sekolah. Nah maksud saya kalau kita lakukan review, eh enggak, 30% aja kasih teori tentang manajemen kelas, tentang kurikulum, setelah itu kau lihat sendiri, kau cek ke sekolah itu.
Jadi persentuhkan dia dengan sekolah dari awal. Nah ini menurut saya harus dilakukan. Yang terakhir, yang keempat Bang, urusan buku yang saya katakan tadi. Kalau tidak dilakukan review buku terhadap buku teks yang selama ini udah kita gunakan sejak tahun 1974 sampai hari ini, tidak kita lakukan review bersama-sama, undang semua ahli, lakukan diskusi terbuka, cek semua nomenklatur, diksi, apapun yang ada di dalam buku itu, kita terbuka. Mana yang misalkan logical frameworknya jadi, connecting antar temanya betul, dan secara substantif memang itu mengikuti pola tumbuh kembang anak.
Nah kita gak memperhatikan itu buku teks Abang baca lah saya ngeri kalau ngebaca buku teks itu Iya kan? Ada beberapa contoh misalnya di buku agama Kelas 1 atau 2 SMA Dia belajar fikih Contohnya cuma syarat sah memotong sembelih binatang Syaratnya apa? Satu harus ada binatangnya Dua harus ada pisau Ya udah jelas lah memotong udah harus ada pisau Iya kan? Jadi logiknya itu bukan untuk apa menyembelih ini kebersihannya itu nggak dijelaskan.
Tapi hanya syarat-syarat fisiknya itu. Nah buku teks kita itu banyak sekali begitu. Yang kemudian ketika ditumbuhkan ke dalam soal, bunyinya menjadi multiple choice. Bunyinya menjadi benar-salah gitu loh Bang. Analytical thinkingnya nggak jalan Bang.
Nah please. Prabowo Gibran itu peduli pada buku teks ini. Karena ke depan ini kalau buku teks tidak diubah, believe me, gak akan ada perubahan pendidikan di Indonesia.
Jadi PR-nya itu di empat bidang itu menurut saya itu harus menjadi fokus, konsentrasi ke depan supaya kita perubahannya itu betul, bisa dideteksi. Soal guru, soal buku teks, soal posur anggaran, menurut saya itu soal evaluasi terhadap LPTK, menurut saya itu it's a must. Gak boleh kita hindari itu. Itu yang harus kita perbaiki menurut saya itu sangat detail, sangat teknis, tetapi harus dilakukan oleh seorang menteri di zaman Prabowo Gibran itu. Ya, jadi memang kalau saya sepakat dengan Prof ya, bahwa memang persoalan pendidikan ini harus menjadi perhatian nomor satu.
Baru kita bicara-bicara industri, bukan dipisah ya. Artinya berjalan bersama-sama. Nah, jangan... Diartikan orang, oh kalau pendidikan industri gak jalan.
Kita utamakan industri, ekonomi, pembangunan semua jalan. Tapi fokus kita jangan lupa terhadap dunia pendidikan. Jangan pendidikan ini dilakukan sambilan.
Betul. Kan itu kesan kita kan. Selama ini sambilan. Selama ini kan kita melihat kesannya pendidikan ini kan dilakukan secara sambilan. Ya, gonta ganti istilahnya.
Ya, dianggap tidak terlalu penting lah. Ya. Gitu kan. Nah padahal harkat.
Dunia pendidikan ini kan harus menjadi perhatian. Saya ambil contoh segini, Prof ya. Perdana Menteri Belanda itu, siapa namanya, Mahrute ya, itu dia sebulan sekali ngajar di SMA. Itu kebetulan di SMA tempat cucu saya misalnya. Dia sebulan sekali ngajar.
Berarti bisa jadi dia bergiliran mengajar di beberapa SMA yang ada di Belanda itu. Nah, kenapa? Mungkin dia ngobrolnya biasa aja, cerita macam-macam ya kan. Tapi kan yang mau diambil kan bukan itu.
Bagaimana seorang Perdana Menteri mau datang ke sebuah SMA dan dia ngobrol dengan anak SMA, menurut orang dibilang itu dia mengajar. Bukan mengajar, dia datang ngobrol aja. Artinya apa?
Untuk mengangkat. Dunia pendidikan, nah kita kan mengharapkan ya Kita disini jangankan presiden atau wakil presiden Menteri dirjen aja gak pernah itu Masuk ke kelas, ngobrol kan memang di atur Mungkin kita gak tau bang diatur lah, kalau ada pasti udah viral ini kan karena gak ada jadi gak viral di Indonesia kan kalau ada yang aneh-aneh gitu kan viral baiklah Prof terima kasih banyak kita ngobrol satu jam lebih ya waduh thank you pendidikan ini satu jam gak cukup. Tapi nanti kita akan lanjutkan lagi dengan isu-isu baru ya.
Jangan isu lah, dengan persoalan-persoalan baru ya. Kalau isu itu terlalu... Oh isu di politik bang?
Kalau di pendidikan itu ya problem. Ya problem, problem pendidikan yang akan datang. Kalau memang ada kita akan ketemu lagi, kita bahas lagi. Dan jangan lupa juga Prof, mungkin juga masalah-masalah budaya ya.
Betul. Nah itu juga sangat penting, tidak boleh dilupakan. Terima kasih.
Terima kasih Prof. Terima kasih Bang Jepang. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.