Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, wassalatu wassalamu ala rasulillah Muhammad ibn Abdullah wa ala alihi wa sahbihi wa mawala ma ba'du.
Kali ini kita akan menjelaskan mengenai sejarah pemikiran Islam. Kalau kita berbicara mengenai pemikiran di dalam Islam, saya kira seluruh pemikiran di dalam Islam itu fondasinya adalah Al-Quran dan Hadis. Jadi seluruh jenis...
jenis pemikiran itu tegak di atas fondasi yang disebut dengan Al-Qur'an dan hadis. Karena kita tahu Al-Qur'an dan hadis itu menjadi rujukan umat Islam. Nah makanya tidak boleh ada pemikiran yang disebut sebagai pemikiran Islam yang tidak berbasis kepada Quran dan Hadis. Itu sebabnya sejumlah tafsir terhadap Quran dan Hadis terus diberikan.
Pada zaman Rasulullah SAW memang kita tahu bahwa Rasulullah itu disebut sebagai marjut tashri'wahda, sebagai rujukan hukum satu-satunya. Artinya kalau ada persoalan menyangkut tafsir terhadap Quran, para sahabat tidak perlu bertanya kepada yang lain, cukup bertanya kepada Rasulullah. Karena Rasulullah itu berfungsi sebagai mufassir terhadap Quran.
Nabi yang diberi mandat oleh Allah untuk menjelaskan makna-makna Al-Qur'anul Garim. Kenapa Al-Qur'an perlu dijelaskan? Karena kita tahu tidak seluruh hal diatur secara rinci di dalam Qur'an.
Misalnya, di dalam Qur'an kita diperintahkan untuk mendirikan sholat. Allah berfirman di dalam Qur'an, Aqimu sholata wa'atuz zakata. wa'atimul hajjah wal umratalillah dirikanlah sholat, tunaikan zakat, sempurnakan haji dan umrah tapi bagaimana cara kita melaksanakan ibadah sholat bagaimana cara kita melaksanakan haji apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya tidak dijelaskan secara rinci di dalam Quran maka hal-hal yang di demikian itu dijelaskan di dalam hadis. Jadi hadis berfungsi sebagai tafsir terhadap Al-Quran, berfungsi sebagai mubayyin yang menjelaskan Al-Quran. Tapi sepeninggal Rasulullah SAW, Al-Quran bergerak sendirian tanpa didampingi oleh Nabi sebagai mufassir resminya.
Dan kita untuk menafsir, Al-Quran kita tidak bisa lagi bertanya kepada Nabi itu sebabnya kemudian muncul yang disebut dengan tafsir sahabat. Nanti yang disebut dengan tafsir para tabiin kemudian tabiin-tabiin sampai sekarang. Nah karena jarak kita makin jauh dengan Nabi, maka kita membutuhkan apa yang disebut sebagai metodologi untuk menafsirkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Karena Quran ini berbahasa Arab, maka kita untuk menafsirkan Quran pertama-tama harus tahu bahasa Arab. Kita tidak mungkin untuk menafsirkan Al-Quran kalau kita tidak tahu bahasa Arab. Tapi tahu bahasa Arab juga tidak cukup Kita harus tahu sebab turunnya ayat itu Kalau menyangkut hadis Nabi kita juga harus tahu Sebab hadirnya, sebab diucapkannya hadis itu oleh baginda Nabi Nah secara umum Umat Islam harus mengerti bahwa Quran itu kalau dipecah kurang lebih ada empat kategori.
Yang pertama, Quran mengandung apa yang disebut dengan tarikh, sejarah, atau kisah. Kisah-kisah yang ada di dalam Quran bukan hanya menyangkut kisah umat. Umat-umat sebelum Rasulullah, tapi juga menyangkut kisah bagi kita yang ada sekarang, yang sedang live pada zaman Nabi. Makanya ada pujian terhadap orang-orang muhajirin dan pujian terhadap orang-orang ansur.
Lilfukara ilmuhajirina alladzina ukhriju mindiarihim wa amualihim Itu pujian terhadap orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah. Jadi yang pertama adalah sejarah. Yang kedua, di dalam Quran juga mengandung akhidat dan akhlak.
Nah, menyangkut akhidat dan akhlak inilah nanti kemudian para ulama mendiskusikan, menafsirkannya terkait dengan ayat-ayat itu. Makanya kemudian muncul yang disebut dengan beberapa jenis kelompok yang menafsirkan ayat-ayat akhidat atau ayat-ayat kalam. Kalau kita baca sejarah, Kita mengenal ada yang disebut dengan kolompok Ahlus Sunnah wal Jamaah, ada yang disebut dengan kolompok Mu'tazila, ada yang disebut dengan kolompok Khawarij, Murji'ah, dan lain-lain.
Kolompok-kolompok ini mencoba untuk menafsirkan ayat-ayat akidah di dalam Quran, sehingga terjadilah perselisian menyangkut bagaimana cara kita untuk memahami Allah, cara kita menafsirkan sifat-sifat Allah. Itu yang dimaksud dengan tafsir terhadap ayat-ayat akhidah atau ayat-ayat akhlak. Nah yang berikutnya di dalam Quran ada juga yang disebut dengan ayat-ayat hukum. Ayat-ayat hukum ini dari segi jumlah sebenarnya sedikit. Ada yang menyebutnya 500 ayat, yang lain menyebutnya hanya 200 ayat saja.
Nanti para ulama juga menafsirkan ayat-ayat hukum di dalam Quran ini, maka lahirlah yang disebut sebagai fikih. Tapi cara untuk menafsirkan ayat-ayat hukum di dalam Quran ada bangunan metodologinya yang disebut dengan usul fikih. Jadi fikih itu adalah produknya, usul fikih itu adalah metodologi untuk memahami ayat-ayat hukum di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Nanti dari tafsir para ulama terhadap ayat-ayat hukum di dalam Quran ini melahirkan yang disebut sebagai madhab-madhab. Madhab fikir yang bertahan sampai sekarang, kalau di lingkungan sunni, ini ada empat ya ada yang Hai Madaf Hanafi misalnya yang didirikan oleh Imam Abu Hanifa yang kedua ada yang disebut dengan Madaf Maliki yang didirikan oleh Imam Malik. Yang ketiga adalah madhab syafi'i yang didirikan oleh Imam Syafi'i. Dan yang keempat adalah madhab yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yang disebut dengan madhab Hanbali.
Di Indonesia yang paling banyak diikuti menyangkut madhab fikih ini adalah madhab syafi'i. Bahkan negara-negara lain seperti Malaysia, Malaysia, Brunei, Darussalam itu juga banyak mengikuti madhab syafi'i. Tapi negara-negara seperti Afganistan dan Pakistan itu banyak mengikuti madhab Hanafi. Sementara negara-negara di Afrika Utara seperti Tunis, Al-Jazair, dan Maroko itu bermadhab Maliki. Dan kita tahu madhab Hanbali banyak diterapkan di Arab.
Arab Saudi. Nah para mahasiswa harus mengerti bahwa Quran yang kita miliki ini satu, hadis yang kita miliki ini maksimal tersebar di dalam enam kitab hadis, tapi tafsir para ulama terhadap Quran yang satu terhadap hadis yang ada di dalam kitab-kitab hadis itu ternyata tidak tunggal. Perbedaan pandangan, perbedaan tafsir itu sebuah keniscayaan.
Apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat? Yang pertama adalah perbedaan di dalam menggambarkan. menggunakan dalil.
Satu dalil yang sama ketika difahami dengan dalil yang berbeda, ayat yang sama difahami dengan menggunakan dalil yang berbeda, maka akan melahirkan produk hukum yang berbeda. Misalnya yang satu menggunakan dalil maslahat, yang satu menggunakan dalil kias, maka pasti kemudian produk hukumnya bisa berbeda. Jadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama itu adalah niscaya karena perbedaan di dalam menggunakan dalil.
Yang kedua perbedaan pendapat itu bisa terjadi karena perbedaan di dalam memahami dalil. Karena kita tahu ada beberapa ayat di dalam Quran yang ayatnya tergolong kepada ayat ambigu. Apa maksudnya? Ini ayat, ini kata di dalam Quran adalah lafad mushtarak misalnya. Apa yang dimaksud dengan lafad mushtarak itu?
Adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Kata yang memiliki makna lebih dari satu itu akhirnya berpotensi melahirkan produk pemikiran yang berbeda. Karena itu kita tidak perlu merasa gelisah.
dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Baik perbedaan pendapat di kalangan para ulama tafsir, perbedaan pendapat di kalangan para ahli fikir, dan perbedaan pendapat di kalangan para ahli kalam. Itu niscaya saja perbedaan di dalam memahami dalil dan perbedaan di dalam menggunakan dalil.
Yang terpenting perbedaan pendapat itu tidak sampai menyentuh pokok-pokok ajaran agama. Misalnya ulama bersepakat bahwa sholat itu wajib, tidak ada perselisian di kalangan para ulama. Mau dia madhab Hanafi, Syafi'i, Hanbali, Maliki, Hanafi, mau dia Sunni atau Syia, semuanya pasti akan bersepakat bahwa Salat itu wajib. Tapi sekalipun disepakati bahwa salat itu wajib, bagaimana tata cara salat itu potensial diperselisihkan.
Misalnya Madhab Hanafi menyatakan bahwa membaca fatiha di dalam sholat itu tidak wajib, bisa diganti dengan ayat yang lain. Karena madhab Hanafi mengacu kepada keumuman ayat di dalam Quran. Allah berfirman di dalam Quran, فَقْرَأُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ Bacalah olehmu yang paling muda dari Al-Quran. Apa yang paling mudah dari Al-Quran bukan hanya fatiha, mungkin surat al-ikhlas, mungkin surat al-kafirun, atau surat al-kawthar, dan lain-lain.
Tapi madhab syafi'i menyatakan membaca fatiha itu ruknun min arkanis sholah, menjadi rukun sholat. Itu sebabnya, maka kemudian menurut madhab syafi'i, orang yang sholat tidak membaca fatiha, maka sholatnya dinyatakan tidak sah. Kita tahu misalnya, Nabi bersabda, la sholatan liman lam yakro'bifatiha til kitab. Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca fatiha. tidak membaca umul Quran di dalam sholatnya.
Inilah yang menjadi acuan dari madhab syafi'i. Tapi kata madhab Hanafi, ini hadis adalah hadis ahad. Dalalahnya juga dhandi.
Sementara madhab Hanafi menyatakan, itu lafat'am di dalam Quran, faqru'u matayassaram minal quran. Dan dalalahnya lafat'am itu adalah qot'i. Nah, jadi perbedaan di dalam memahami dalil. Kita bersepakat bahwa sholat itu wajib, tapi apakah fatiha itu adalah rukun sholat, bisa diperselisihkan oleh para ulama.
Ini biar diketahui bahwa perbedaan pendapat itu lazim di lingkungan para ulama asalkan perbedaan pendapat itu didasarkan kepada Quran dan hadis dengan menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Kalau dia perbedaan pendapat di dalam tafsir, menggunakan metodologi yang disebut dengan Usulut tafsir. Nah jadi ini menyangkut tafsir, menyangkut akhidah dan akhlak, menyangkut sejarah, dan kemudian ada yang disebut dengan hukum. Tapi ada beberapa hal yang tidak... disebutkan secara rinci di dalam Quran.
Quran hanya memberikan kerangka etik moralnya. Seperti etika di dalam mengatur sebuah pemerintahan. Di dalam persoalan politik.
Tidak ada ayat di dalam Quran yang menjelaskan, hadis pun juga tidak kita temukan, apakah pemerintahan yang islami itu adalah pemerintahan yang berbasis monarkhi kerajaan atau republik, tidak ada. Apakah ada dalil di dalam Quran dan As-Sunnah misalnya bahwa pemerintahan itu harus dibagi dengan yang disebut dengan kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Tidak ada dalil di dalam Quran dan hadis. Karena Al-Quran hanya bicara mengenai kerangka etik moralnya.
Yang ingin ditegaskan oleh Al-Quran, apapun jabatan kalian, mau kalian berada di wilayah kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, kamu harus mengambil sebuah kebijakan yang didasarkan kepada keadilan. Mau dosen, mau rektor, dekan, apapun harus dasarnya adalah keadilan. Kata para khatib yang sering di, ayat yang sering dibacakan oleh para khatib di akhir khutbahnya itu Inna allaha ya'murkum an tu'addul amanati ila ahliya Jadi perintah untuk menegakkan amanat Kalau dia presiden, ketua DPR, ketua mahkamah agung, ketua mahkamah konstitusi Itu terikat dengan kerangka etik moral itu Tapi bagaimana dengan sistem pemerintahan pada zaman Nabi?
Ada pertanyaan yang cukup menarik. Helka nata'sisun Nabi li daulatin sia-sia, juz'an min risalah tihi amla. Apakah tindakan dan perilaku politik Nabi di Madinah menjadi bagian dari risalah kenabian atau tidak?
Kalau dia menjadi risalah ke nabian, maka mengikat kepada umat islam. Tapi apa yang terjadi sekarang, seluruh jenis pemerintahan di dunia islam akhirnya berbeda-beda. Karena mayoritas umat islam tidak memandang sistem pemerintahan itu menjadi bagian dari risalah ke nabian.
Pernah ada masa di mana umat Islam menggunakan sistem khilafah misalnya. Tapi kita di Indonesia menggunakan apa yang disebut dengan negara bangsa. Jadi, Quran hanya menjelaskan kerangka etik moralnya. Nabi menyontohkannya. Dan kemudian bentuk pemerintahannya bisa berbeda-beda satu dengan yang lain.
Jadi tafsir, kemudian ada akhidat dan akhlak yang melahirkan ilmu kalam, kemudian ada hukum yang melahirkan beragam pandangan fikir, kemudian ada etika di dalam berpolitik, nah ada juga yang disebut dengan tasawuf. Tasawuf itu, sebenarnya kata Tasawuf kalau kita cari di dalam Quran dan hadis tidak kita ketemukan. Yang ada di dalam Quran itu adalah tazkiyatun nafas, menyucikan jiwa.
Jadi tasawuf itu basisnya juga adalah Quran untuk kepentingan menyucikan jiwa. Dari mana sebenarnya tasawuf ini jejak tradisionalnya diperoleh? Ya dari perilaku para sahabat.
Ketika Rasulullah baru saja meninggal dunia, para sahabat itu ada yang berkonsentrasi kepada mengatur pemerintahan sepeninggal Nabi, tapi ada para sahabat yang mengkonsentrasikan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah jadi tidak mengurusi mengenai pemerintahan mereka akhirnya sibuk mendekatkan diri kepada Allah yang disebut dengan ahlus sufwa orang-orang yang ada Di pinggiran Masjid Nabawi, tinggal di Masjid Nabawi, mereka setiap hari sibuk melaksanakan sholat. Qiyamul layl, sholat witir, baca Quran, dan lain-lain. Nanti tradisi sufistik yang seperti ini dilanjutkan oleh para ulama setelahnya, para ulama tabiin, tabiin, tabiin.
Maka kita melakukan sholat. mengenal para sufi seperti Al-Hasan Al-Baswari, seperti nanti kemudian Asir Risakati, Haris Al-Muhasibi, Zunnun Al-Misri, Junaid Al-Baudadi, kemudian Sheikh Abdul Qadir Al-Jilani, Abil Hasan Al-Shadili, Bahauddin An-Nakshabandi, sampai kemudian juga masuk ke Indonesia. Nah inilah jadi Quran yang kita miliki satu, hadisnya tercantum di dalam enam kitab hadis itu, tapi Quran yang satu itu melahirkan jenis-jenis ilmu yang beraneka ragam, yang seluruhnya itu absah kalau didasarkan kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Karena itu di perguruan tinggi keagamaan Islam, Quran yang satu ini hadis yang tidak beraneka, banyak ini melahirkan prodi-prodi yang beragam.
Ada prodi ilmu tasawuf, ada prodi ilmu Al-Quran dan tafsir, ada prodi ilmu hadis, ada prodi fikih, dan lain-lain banyak sekali. Inilah yang mestinya diketahui oleh para mahasiswa yang mengambil mata kuliah pendidikan agama Islam ini. bahwa Quran memang satu, hadisnya memang tidak banyak, tapi tafsir terhadap keduanya apa boleh buat melahirkan produk pemikiran yang berbeda, corak pemikiran yang juga berbeda. Misalnya dirumpun ilmu tafsir. Ada tafsir ayatnya sama ketika difahami oleh orang yang berbeda, melahirkan corak tafsir yang berbeda.
Makanya ada yang disebut dengan corak tafsir itu ya, tafsir ilmi namanya. Apa yang dimaksud dengan tafsir ilmi? Tafsir terhadap Al-Quran yang didasarkan kepada temuan-temuan ilmu pengetahuan modern. Misalnya apakah bumi ini bulat ataukah bumi ini datar? Itu tafsir ilmi namanya.
Karena di dalam Quran misalnya ada ayat, Allah yang menciptakan bumi buat kalian, firoh sya seakan-akan terhampar. Ada ayat misalnya yang menyatakan bahwa bumi dan langit ini menyatu. Kemudian Allah membelahnya.
Itu yang nanti dikenal sebagai teori Big Bang, teori dengan dentuman besar. Itu namanya tafsirah ilmi. Ada tafsir adabi ijitimai, menafsirkan Al-Quran sesuai dengan konteks-konteks sosial, antropologis dari ketika ayat itu diturunkan dan bagaimana ayat itu diterapkan. Makanya kita mengenal tafsir ilmi seperti tafsir yang ditulis oleh Tantowi Jawahari yang disebut dengan tafsir Al-Jawahir.
Ada tafsir adabi ijidimai misalnya yang bisa kita sebut seperti tafsir al-wasid yang ditulis oleh Muhammad Syed Tontowi atau yang ditulis oleh Syed Qutub. judulnya Fi Dhilalil Quran. Itu coraknya adalah Adabi Ijtimaim. Ada tafsir fikih menafsirkan ayat-ayat hukum di dalam Quran. Jadi ayatnya, coraknya menjadi sangat legal formalistik.
Misalnya seperti Al-Jassas memiliki kitab tafsir judulnya Ahkamul Quran. Ibnul Arabi punya buku judulnya juga Ahkamul Quran. Ilkiya Al-Harasi punya buku juga judulnya Ahkamul Quran. Ini tafsir fikhi namanya. Ada tafsir yang disebut dengan coraknya yang tadi adalah ilmi kemudian fikhi kemudian Dan ada bi-ijitimai, ada yang coraknya adalah balawi.
Menafsirkan Al-Quran dari sudut susastranya. Keindahan diksi dari Al-Quranul Karim. Makanya kita punya tafsir seperti yang ditulis oleh Az-Zamah Syari, judulnya tafsir Al-Kashaf. Kemujizatan Al-Quran bisa dilihat dari nilai susastra, ketinggian sastra dari Al-Quranul Karim. Itu baru di dalam bidang tafsir.
Di dalam perkembangan modern kemudian sebagian ulama mengembangkan sebuah jenis penafsiran yang memperhatikan aspek kesetaraan kemanusiaan. laki dan perempuan. Bagaimana Quran bicara mengenai relasi anak dan orang tua, bicara mengenai suami dan istri, itu juga dibicarakan.
Menyangkut nilai-nilai kesetaraan di dalam Al-Quranul Karim. Itu pernyataan dari Ibnul Qayyim Al-Jawziyah. Itu menarik di dalam kitab In'alamu'l-Mu'akki'in.
Kata Ibnul Qayyim al-Jawziyah, jika Quran itu diperas, isinya hanya empat. Kata Ibnul Qayyim Al-Jawziyah, Al-Qayyim Al-Jawziyah, Itu kata Ibnul Qayyim Al-Jawziyah. Ini ulama fikih bermadhab Hanbali yang nanti menjadi ikutan ulama-ulama salafi seperti Salih Al-Uthaymin di atas.
Arab Saudi, itu juga nanti jejaknya kepada Ibn Taymiyyah, jadi Ahmad bin Ambal, kemudian Ibn Taymiyyah, nanti kepada Ibn Al-Qayyim Al-Jawziyah, dan seterusnya ke bawah. Jadi pandangan Ibn Al-Qayyim Al-Jawziyah begitu, isi dari Quran adalah keadilan. Pertama, keadilan di bidang hukum, keadilan di bidang politik. Yang kedua adalah rahmah, kebijaksanaan.
Al-Quran menyatakan, وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ Nabi Muhammad itu menjadi rahmat bagi semuanya, rahmatan lil'alamin. Makanya ada konsep tobat di dalam Islam. Kemudian yang berikutnya adalah adlun kulluha warahmatun kulluha wahikmatun kulluha. Di dalam Pancasila yang kita miliki ada hikmah kebijaksanaan. Wamassalih kulluha kemaslahatan.
Kata Izzuddin Ibn Abdissalam, ini ulama fikir dari madhab syafi'i, kata beliau Atta innama takalif kulluha raji'antun ila masalihil ibad fi dunyahum wa ukhrafum Seluruh isi kandungan Quran itu adalah isinya kemaslahatan. Kalau bukan kemaslahatan di dunia, maka akan mendapatkan kemaslahatan di akhirat. Salat itu kita tahu, salat itu yang mengandung masyarakat.
Berat untuk mengerjakan. Jadi kalau dicari kemaslahatannya di dunia, mungkin tidak semua orang akan mendapatkan kemaslahatan dari ibadah sholat. Tapi nanti di akhirat, ibadah sholat itu mengandung kemaslahatan. Namanya kemaslahatan yang bersifat ukhrawi. Kemasalahan duniawi tentu banyak.
Zakat misalnya yang disyariatkan oleh Islam mengandung kemasalahan duniawi. Bisa kita bayangkan kalau Tidak ada perintah untuk mengeluarkan zakat, maka harta ini hanya melingkar-lingkar di kalangan orang-orang kaya saja. Akhirnya kekayaan itu tidak boleh menumpuk di kalangan para konglomerat saja, harus dicairkan sampai ke level bawah, maka kemudian ada yang disebut dengan perintah untuk mengeluarkan zakat. Tapi zakat itu tentu berbeda dengan pajak. Karena objek antara zakat dengan pajak itu berbeda.
Kalau saya punya rumah yang saya tempati, saya tinggali, itu tidak menjadi objek zakat, tapi menjadi objek pajak. Kendaraan yang saya miliki hanya saya pakai. saja ke kantor bekerja, itu menjadi objek pajak tapi tidak menjadi objek zakat.
Ada ide-ide yang muncul belakangan bagaimana kalau pajak itu kita niati sebagai zakat. Akhirnya pikiran-pikiran ulama'terdahulu yang hidup di dalam kurun waktu dan konteks tertentu belakangan coba dikontekstualisasi. Karena ketika Imam Syafi'i merumuskan sebuah fikir, Imam Abu Ja'far At-Tabari merumuskan tafsirnya, itu konteks zamannya berbeda.
Maka sekarang ada tafsir yang disebut dengan tafsir mu'ad. modern. Ada yang disebut dengan fikih, fikih yang sudah modern. Tasawufnya juga, Hamka memiliki buku judulnya Tasawuf Modern. Bahkan teologi yang dahulu pada mulanya diorientasikan untuk mendiskusikan mengenai Allah, belakangan teologi dipakai untuk advokasi kepada kelompok yang tertindas, yang disebut dengan akidat.
yaitu taharrur teologi pembebasan. Ini capaian-capaian pemikiran yang kalau kita lihat kerangkanya dari zaman Nabi, sahabat, tabiin, tabiin, tabiin, masuk ke dalam periode modern. pemikiran Islam terus mengalami pengayaan-pengayaan.
Tentu sebuah keniscayaan karena kata Nabi inna allaha yaba'athu li hadhihil umma fi ra'simi atisana sesungguhnya Allah akan membangkitkan agama ini di setiap seratus tahun man yujaddi du'amrodiniha orang yang melakukan pembangkitan pembaharuan terhadap pemikiran Islam. Dulu ada Jaluluddin As-Suyuti, ada Izzuddin Ibn Abdis Salam, ada Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali, ada Al-Isfiroini, ada Imam Shafi'i, ada Umar Ibn Abdil Aziz, dan seterusnya itu para pembaharu. Nah itu minimal setiap 100 tahun akan muncul para pembaharu yang bertugas untuk melakukan bukan kontekstualisasi terhadap pikiran-pikiran keislaman ini, sehingga Islam akan menjangkau manusia di setiap zaman dan di setiap lokasi.
Mungkin itu yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan bisa dimengerti oleh semuanya. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.