Berislam utamanya yang penuh cinta, yang berorientasi gerak ke dalam bukan keluar. Jadi memperbaiki diri sebelum kemudian mengurusi orang lain. Bahkan bagi saya, mengurusi orang lain itu konsekuensi saja.
Setelah kita selesai dengan dirinya, maka kita pasti akan berpengaruh bagi orang lain. Halo teman-teman, hari ini kita kedatangan Habib Hussein Jafar Al Hadar, Pimpinan Pendakwah Milenial ataupun Pimpinan Pemuda Tersesat. Terima kasih loh Habib bisa datang. Terima kasih Pak Gita atas undangannya.
Saya tuh biasanya nanya mengenai gimana masa kecilnya kamu-tamu. Kalau boleh diceritain lahir di mana, terus belajar apa, terus hobinya apa, terus... sampai sekarang, terus nanti ke depannya kita ngobrol. Saya lahir di Bondowoso, Jawa Timur, bagian timur Jawa Timur. Kemudian relatif sudah ada aspek heterogennya, karena saya lahir di Jawa, tapi berbahasa dan berbudaya Madura.
Biasanya orang sana menyebutnya Madura swasta. Kalau yang negeri Madura, yang di pulau Madura. Kalau orang tua dari Madura? Enggak.
Bahasa dan budayanya di Jawa Timur, Surabaya ke Timur itu mayoritas Madura, dan keturunan Arab. Jadi Arab, Jawa, dan Madura ada pada diri. Jadi kalau rasis kayaknya mengkhianati diri sendiri. Lahir 30 tahun. Tahun 88, 21 Juni.
Usia 32-33. Siap. Kemudian lahir dari keluarga yang sangat rasional, beragama secara substansi, tapi juga sangat rasional. Sehingga kemudian ayah saya dari kecil sudah mendidik, punya dua waktu khusus, yaitu setelah subuh dan setelah isya, untuk duduk bersama, kemudian mendiskusikan semua hal. khususnya kaitannya dengan agama biasanya, dengan pendekatan yang bukan hanya berbasis kepada teks-teks agama, tapi juga rasional.
Bahkan beberapa mempertanyakan hal-hal yang mungkin nggak kebayang, atau masih belum waktunya anak kecil berbicara itu. Contohnya? Ya, bicara tentang ketuhanan.
Jadi ayah saya berusaha untuk tidak mewarisi agamanya, tapi setiap anak memilih. agamanya dengan segala pilihan detailnya sendiri. Sehingga kemudian kita tumbuh di iklim yang seperti itu. Setiap hari duduk bersama, ngobrol, dan saya nyaris diwajibkan oleh ayah saya untuk kemudian belajar filsafat.
Dari usia? Dari masih SMA. membaca buku-buku filsafat, karena ayah saya suka filsafat, bukunya banyak dan kita disuggest untuk baca buku-buku filsafat, diperkenalkan dengan tokoh-tokoh agama yang rasional, salah satunya saya ingat betul tulisan pertama saya di media adalah tentang Salman Al-Farisi, sahabat nabi yang sangat rasional.
Jadi itu ayah saya memperkenalkan itu, kemudian disekolahkan di filsafat. Walaupun tidak diarahkan, Tapi paling tidak dijugesti untuk belajar filsafat. Karena minimal S1-mu harus filsafat agar kamu rapi dalam berpikir, kritis dalam berpikir, jernih dalam berpikir, karena itu yang akan menyelamatkan semua keputusan-keputusanmu dalam hidup.
Nah, S1 filsafat, di kelas mungkin sedikit atau bahkan satu-satunya orang yang kuliah filsafat karena pilihan pertamanya, Karena biasanya di filsafat itu pilihan ketiga atau kedua, nggak dapat yang dia pilih, ya sudah lah masuk filsafat. Makanya muridnya awalnya ke teknik, ke psikologi, politik, akhirnya ke filsafat. Kemudian makanya awalnya muridnya 20-an, tapi yang lulus hanya 7. Karena semester 2 sudah diterima di tempat lain, ya sudah masuk ke tempat lain. Terus saja semakin berkeluar. Di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Saya pilihan pertama jalur SPMB lagi, bukan jalur lokal. Jadi SPMB milih filsafat, agak aneh bagi sebagian besar orang, tapi itu pilihan. Dan lumayan sudah ngerti filsafat seketika S1 karena membaca buku-buku filsafat, kenal beberapa tokoh filsafat dan pemikirannya. Kalau boleh tahu berapa buku sebulan dibaca waktu kecil?
Waktu kecil itu mungkin sebulan sudah dua ya. Dua buku. Biasanya disugesti kepada buku-buku yang disukai dulu.
Kemudian berkembang kemana-mana. Dan memang agak unik. Di rak buku saya belakangan saya baru tahu itu random sekali. dari berbagai bidang, berbagai tokoh, berbagai ideologi, ada di sana, gaduh-gaduh betul. Sehingga memang kita dipercaya untuk kemudian menemukan jati diri kita dengan berbagai referensi yang ada.
Karena bagi saya kejumutan itu biasanya muncul dari referensi yang sempit. Kurangnya referensi membuat orang susah untuk bergaul, susah untuk menjadi inklusif, dsb. Nah, S2 kemudian memilih tafsir Quran dan hadis.
Karena Kalau kelamaan di filsafat juga kurang enak, karena kita akan ribet pada hal-hal yang sangat spesifik, kurang bermanfaat bagi banyak orang. Karena salah satu visi lain yang ditanamkan oleh ayah saya adalah kemanfaatan itu. Beliau 35 tahun menjadi ketua yayasan pendidikan dakwah dan sosial di kampungnya, tidak bekerja, tapi dari hasil sarang walet.
Jadi rumahnya dimasukkan sarang walet, sudah dari sana. Makanya nggak ada referensi tentang bekerja sama sekali. Sampai sekarang memang tertib bekerja itu nggak ada karena memang nggak punya referensi tentang itu.
Karena ayah memang mengabdi kepada yayasan. Nah, kemanfaatan itu yang kemudian mengarahkan ke kuliah tafsir hadis karena arus keberislaman akan menuntut pada satu era di mana kembali kepada Quran dan hadis. Mana dalilnya kalau dalam bahasa Islam.
Karena itu kemudian kita belajar Quran dan hadis untuk bisa memberikan pengaruh dan memberikan legasi yang jauh lebih luas nantinya. Itu juga terinspirasi dari ayah, dari sana kemudian belayalah mengaktualisasikan diri. 13 tahun sebagai penulis di media, Di media masa. Di Kompas, kemudian yang paling bergensi di Kompas dan di Majalah Tempo.
Berdarah-darah kita mau tembus Kompas. Itu mitos di penulis untuk tembus di Kompas dan Majalah Tempo itu berdarah-darah. Maka ketika tembus, senang sekali. Menulis pertama kelas 1 SMA. Diterima di median nasional.
Di kelas 3 SMA, tulisan saya sudah di suara karya. Koran nasional waktu itu. Ketika kuliah, semester 3 sudah di Koran Tempo di media Indonesia, dll. Semester 6 mungkin di Kompas. Karena memang ayah juga punya tradisi menulis.
Beliau dikasih pesan oleh almarhum kakek, kalau kamu mau lihat kualitas orang, lihat kualitas bacaan dan tulisannya. Berapa jumlah bukunya, segitu isi otaknya. Itu era di mana buku masih tidak dipelastikin. Kalau sekarang jumlah bukunya nggak menentukan kualitas otak seseorang, karena biasanya masih dipelastikin, nggak dibaca sama dia.
Jadi menulis juga, lihat dari tulisannya. Mengapa? Karena kata ayah saya, tulisan itu lahir dari dialektika, proses.
Dia tidak letupan. Kalau omongan, mungkin dari letupan-letupan yang ada bias emosinya, ada bias tidak diverifikasi dulu, dll. Lihat dari tulisan. Udah tumbuh 13 tahun sebagai penulis. Menulis mungkin 1000 lebih isai.
Semua tentang keagamaan, beberapa tentang keagamaan tapi pisau bedahnya filsafat karena sangat terpengaruh oleh filsafat. Sehingga kemudian semakin tumbuh sebagai pribadi yang inklusif, kemudian toleran, dan rasional dalam beragama, serta substantif. Jadi cenderung mencari aspek-aspek substansi dari agama dan menggali aspek-aspek rasional dari agama. Itu yang sesuatu yang kemudian disyukuri, 13 tahun jadi penulis.
Jadi penulis 13 tahun, dan itu betul-betul diarahkan oleh orang tua. Misalnya, Kimia saya bagus, matematika saya bagus di SMA, dan kepala sekolah minta saya masuk IPA, tapi Ayah nggak mau. Karena dari awal di rapor SD saya, yang menulis cita-cita itu Ayah. Kata Ayah menjadi ulama yang rasional atau ulama yang intelektual, kata Ayah. Jadi, udah.
Nggak ada penyesalan kan? Nggak ada. Karena Ayah bukan memaksa. tapi lebih ke mengarahkan.
Karena itu misalnya adik saya nggak melanjutkan SMP dan SMA-nya. Karena ayah melihat potensinya bukan di kognitif, tapi di musik. Akhirnya dia sekolah musik 2 tahun. Seorang anak kampung Madura swasta di pojokan Jawa Timur, kuliah biola, kuliah piano, dan berani mengambil keputusan untuk tidak SMP, tidak SMA. keputusan yang agak tegas, anak-anaknya sulit memahami, istrinya, ibu saya juga sulit memahami, tapi itu diambil karena dia melihat potensinya tidak di sana.
Dan didukung oleh orang tua. Dia bilang, sampai kapanpun kalau minta ikan untuk terbang, nggak bisa. Begitu juga minta burung untuk berenang, sulit. Karena itu kemudian adik saya tumbuh sebagai musisi, tapi akhirnya ya, tertarik kepada agama juga, dan menjadi orang yang konsen di bidang keagamaan juga. Itu biasanya karena dia sangat memahami anak-anaknya, mempelajari anak-anaknya, dan mendidih anak-anaknya sesuai zamannya, zaman si anak ini, makanya diarahkan saja.
Sehingga nggak ada penyesalan. Sedikit ada tahap penyesalan. Kok kayaknya terlalu berbasis kepada moral pilihannya.
Karena orang yang sangat idealis, kerja itu urusan gampang, yang penting secara moral kamu bermanfaat bagi orang lain, dsb. Karena itu memang idealismenya dia. 13 tahun menulis, kemudian sampai 5 tahun lalu berada di era peralihan, era digital.
Digital age masuk, kemudian migrasi. Tulisan di koran sudah nggak dibaca orang. Karena menulis bukan hanya aktualisasi diri, tapi untuk bermanfaat bagi orang lain, hanya menulis di beberapa media online.
Aktif setiap minggu minimal satu tulisan di satu media. Di Geotem waktu itu, salah satu media online. Kemudian satu tahun berjalan, Era baru muncul lagi, minat baca kita rendah sekali, nomor 2 terbawah di dunia, tapi saya curiga kayaknya minat mencari ilmunya tinggi, hanya bergeser saja dari budaya tulis ke budaya audio-video. Akhirnya memutuskan mikirin, gimana mengikuti zaman ini, berpikir untuk bikin YouTube. Karena latar belakangnya penulis, dan penulis itu biasanya di balik layar, introvert, dsb.
Hanya nyari orang untuk tampil di YouTube membacakan tulisan, karena memang mementingkan tampilan visual. Tapi nggak dapat-dapat setahun frustasi jam 1 malam. Memberanikan diri hidupin HP, ngobrol untuk YouTube langsung diupload. Makanya nama YouTube saya Jedanulis.
Jadi dulunya jeda menulis, ngomong. Apa yang ditulis, diomongkan. Tapi sekarang malah Jedanulis betulan.
Jadi nggak nulis-nulis. Nah itu akhirnya 3 tahun lalu masuk ke Youtube. Dan alhamdulillah diterima dengan baik, karena memang berbasis kurikulum. Jadi yang dibicarakan itu nggak ngalur-ngidul. nggak seadanya, nggak random, tapi kurikulum yang kemudian saya sebut sebagai Islam Cinta.
Jadi mengajar orang untuk menerima perbedaan, memahami agama lain, memahami posisi setiap orang, dan kemudian mentoleransi semua itu. Dan berislam utamanya yang penuh cinta. yang berorientasi gerak ke dalam bukan keluar. Jadi memperbaiki diri sebelum kemudian mengurusi orang lain, bahkan bagi saya mengurusi orang lain itu konsekuensi saja.
Setelah kita selesai dengan dirinya, maka kita pasti akan berpengaruh bagi orang lain. Karena pengaruh itu utamanya tidak bersifat kognitif bagi saya, tapi keteladanan. Ketika kita sudah selesai dengan diri atau memperbaiki diri, kita akan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Dan inspirasi yang sangat jenuin, yang sangat powerful, karena berbasis kepada keteladana.
Dalam bahasa Islamnya, ya ahlak. Jadi itu kira-kira hidupnya. Backtrack sedikit.
S1 ke S2 itu ada jedah nggak? Atau langsung? Ada jedah.
Orang yang sangat tidak rapi kuliahnya, S1 lulus di semester 11 tahun 2011, dari 2006 ke 2011. Kemudian... Ke S2 itu 2016 baru S2, jadi ada waktu 5 tahun menjadi penulis, kemudian mengaktualisasikan diri secara umum. Kemudian 2016 baru lulus 2020. Lulus di siang hari ketika sore harinya di DO. Jam 12 malam secara sistem, Di UIN itu sistem. Itu jam 12.00 di DO.
Karena memang niatnya nyari ilmu, cari pengalaman. Padahal penulis. Tapi nulis tesisnya jadi lama, nulis skripsinya jadi lama.
Akhirnya 2020 baru lulus S2. Tesisnya apa? Tesisnya tentang ayat-ayat membela agama.
Itu keresahan kepada sebagian orang yang merasa wajib membela agama dengan cara-cara yang kemudian mencidrai nilai-nilai agama. Sehingga kemudian saya mencoba mengkonfirmasi ayat-ayat Quran, ada jumlahnya tujuh ayat yang berbicara tentang membela agama. Dan kesimpulannya ternyata memang membela agama itu bagian dari ajaran Islam, tapi memang harus hati-hati, harus kita selesai dengan diri kita sendiri, sehingga...
Ketika kita membela agama, betul-betul gerak hati, bukan gerak nafsu. Bukan berbasis ego, tapi berbasis kerendahan hati, ketulusan, dsb. Saya mau ngobrol mengenai ini. Mungkin agak nanti dikit. Tapi akhir-akhir ini saya sering dengar Anda ngobrol mengenai Islam dan sains.
Cerita deh pandangan Anda. Ya... Bagi saya, Islam adalah agama yang rahmatan lil'alamin. Rahmatan lil'alamin paling tidak memberikan dua kata kunci.
Yang pertama, rahmat bagi semua orang, bukan hanya lil'muslimin, bukan hanya bagi orang Islam, sehingga saya sangat concern kepada toleransi beragama. Kemudian yang kedua, lil'alamin itu bagi semesta alam. Artinya bukan hanya kepada manusia. tapi binatang tumbuhan. Sehingga kemudian bukan hanya rahmat bagi aspek agama itu sendiri, tapi sains, teknologi, ekonomi, sosial, budaya, agama, itu menjadi rahmat bagi semua itu.
Karena itu saya dari masih S1 di semester 4, 5, atau 6, itu sudah membaca buku-buku yang bertema tentang Islamisasi Sains. dari Ismail Rajiv Faruqi, Said Nagib Alatas, dsb. Kemudian ikut juga bersama Prof. Mulya Dikartanegara di riset-riset tentang Islamisasi ilmu.
Jadi memang memiliki bayangan bahwa Islam harus kemudian bukan hanya berdamai, tapi terintegrasi. dengan sains, meskipun pada wilayahnya masing-masing. Karena keduanya ini memiliki metodologi yang berbeda. Sains itu bersifat empiris, kemudian agama bersifat intuitif. Tapi harus saling mengisi keduanya untuk kemudian membangun peradaban yang betul-betul megah, yang betul-betul gagah.
sehingga hal-hal yang sifatnya membentur-benturkan sains dan agama itu menjadi sesuatu yang ingin saya klarifikasi. Karena kalau kita mengacu kepada risetnya Ian G. Barbour, itu ada relasi agama dan sains itu kan ada empat relasi. Ada relasi konflik, kemudian ada relasi independensi, Relasi konflik, contoh paling mudahnya Galileo dan gereja.
Relasi independen. Dikecam habis karena sebenarnya itu berulang. Di Islam, Teori bumi datar, sebagian orang Islam atau sebagian umat beragama meyakini bumi datar, itu kan kecelakaan-kecelakaan yang buruk sekali bagi peradaban kalau kita pikirkan secara serius. Apa jadinya bumi kalau dikelola oleh orang-orang yang bukan bidangnya, dikelola secara serambangan. Salah satu kecelakaannya misalnya begini, ketika terjadi bencana ekologis, Orang menganggap solusinya adalah teologis.
Ada banjir di Jawa Barat, orang bilang, iya karena terlalu banyak orang mabok di sana, terlalu banyak orang zina di sana. Tentu saya bukan melegalkan zina dan mabok, tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah sampah dibuang sembarangan, masalah-masalah ekologis. Salah mendeteksi masalah akan menyebabkan salah juga membuat solusinya.
Nah itu kan rentetan masalah karena itu. Karena itu kemudian ada era independensi. Agama dan sains jalan sendiri-sendiri. Ini juga bermasalah karena ada irisannya menurut saya antara agama dan sains.
Salah satu yang paling mudah seperti ini, agama itu mengontrol sains agar selalu bermoral. Ditemukan nuklir agar nggak dijadikan bom untuk membinasakan orang, maka perlu agama di sana. Agama butuh sains untuk menjamin agar agama bersih dari mitologi-mitologi. Kalau dibiarkan agama ini isinya mitos-mitos, karena di dalamnya isinya keyakinan, karena itu perlu diverifikasi melalui sains. Dan sains dalam pengertian yang luas, termasuk di dalamnya sosial, filsafat, dsb.
Karena itu independensi juga bermasalah. Kemudian integrasi. Penyatuan bagi saya juga bermasalah karena keduanya punya metodologi yang berbeda. Yang paling menarik adalah dialog.
Keduanya saling berdialog, saling menginspirasi, saling menasehati dalam tanda petik, dan bekerja di bidangnya masing-masing untuk bersama mengkonstruksi peradaban. agar lebih maju. Nah, itu menjadi salah satu yang menjadi concern.
Dulu pernah nulis jurnal tentang itu. Kemudian akhirnya sering berbicara tentang sains dan agama. Apalagi yang kemudian berbicara lagi di beberapa episode saya di YouTube karena corona kemarin.
Ketika corona kan ada... yang ah, corona itu nggak ada, takut hanya pada Allah, jangan takut kepada corona. Padahal Sayyidina Umar bin al-Khattab, sahabat Nabi yang paling berani dan paling beriman, apalagi ditimbang kita, ketika... Ketika di Syam ada pandemi, beliau keluar, lari dari pandemi itu. Ketika ditanya kenapa lari dari satu takdir, saya lari dari satu takdir menuju takdir yang lainnya.
Paling beraninya orang, paling berimannya orang. Kita sudah keberaniannya susu, kemudian keimanannya cetek, soal bicara bahwa nggak takut corona, takut Allah. Ini pola pikir yang salah, yang rentetannya dari pemahaman tentang sains dan agama yang bermasalah.
Nah itu yang... kemudian kita ingin benahi. Padahal Al-Quran bicara ada 49 ayat yang menantang kita untuk berpikir.
أَفَلَا تَفَكَّرُونَ أَفَلَا تَعْكِلُونَ Ayo berpikir, kata Allah. Ayo kamu gunakan ilmu. Kemudian Al-Quran juga banyak ayat-ayat yang berbicara tentang kosmologi, tentang alam semesta.
Kemudian Al-Quran dan Nabi ketika meminta kita untuk mempelajari ilmu, Nabi nggak secara spesifik bilang ilmu agama. Tapi semua ilmu, dan sering kita lupa bahwa yang dilawan oleh Nabi adalah kejahiliahan. Jahiliah itu akar katanya jahil yang artinya kebodohan.
Orang sering menganggap zina itu haram, tapi bodoh itu boleh. Padahal Islam sangat menentang kebodohan. Sehingga seharusnya buta huruf itu menjadi musuh Islam. Kemudian literasi kita yang rendah itu seharusnya menjadi objek dakwah Islam, dll. Islam sebagai cara hidup, sebagai pandangan dunia itu yang sekarang terreduksi.
Sehingga saya ingin kemudian, ayo kita mencoba menjadikan semuanya itu rukun untuk sama-sama memajukan. Memajukan di level terendah, memajukan diri sendiri, jangan sampai ada konflik sains dan agama di kepala kita. kemudian memajukan bangsa, memajukan dunia, itu yang ini. Emang nggak gampang memadukan sains dan agama kan? Bahkan kalau kita mengacu ke Isaac Newton, ahli fisika, yang pertama kali menemukan teori gravitasi.
Itu kan dia dikecam abis. Tentunya beberapa abad sebelumnya Galileo kan, tapi itu secara nggak langsung dia menganulir superstisi, dia menganulir sorcery atau kedukunan. Itu kan menurut saya itu merupakan komplementaritas antara sains dengan agama. Saya mau tarik ke abad ke-8. bahkan ke abad 7 setelah Nabi Muhammad meninggal, itu kan ada peradaban Umayyad selama kurang lebih 90 tahun, terus peradaban Abbasid selama 400-500 tahun.
Kita itu tergantung sekali untuk romantis dengan kejayaan peradaban Abbasid di mana pengedepanan ilmu alam atau sains itu luar biasa. Salah satunya adalah Al-Khwarizmi. yang menemukan aljabar, matematika, dasar untuk astronomi, dsb. Tapi setelah itu, 1258, semenjak berlagukan Mongol itu nyerang Bagdad, kayak kita tuh mengalami...
Masa panjang yang agak vakum atau relatif vakum dengan penemuan sains di kalangan Muslim. Bisa dibilang Ottoman dulu cukup jaya selama 500-600 tahun, tapi mereka nggak bisa mengedepankan sains seperti apa yang kita lihat selama 400-500 tahun di zaman peradaban Abbasid. Cukup keren kan Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia untuk mulai bercakap mengenai gimana nih, langkah apa nih yang kita bisa ambil ke depan untuk bisa mengedepankan penemuan sains.
dan juga beragama pada saat yang sama. Saya penasaran pandangan Habib gimana? Iya.
Islam terreduksi sedemikian rupa, apalagi sekarang, kemudian menjadi agama hukum semata bagi sebagian orang atau bahkan bagi sebagian besar orang. Ya kalaupun melebar mungkin hanya ke politik. Itu pun karena pragmatisme, bukan pengabdian. Sehingga kemudian tereduksi sedemikian rupa menjadi agama hukum saja.
sehingga kemudian tidak berkembang hal-hal yang sifatnya sains, baik sains dalam pengertian ilmu alam maupun sains dalam pengertian ilmu sosial. Misalnya kajian tentang antropologi, kajian tentang naskah, filologi, itu kan sebenarnya sangat penting dalam Islam. Tapi tidak berkembang besar, apalagi di sains dan teknologi.
Umat Islam hanya menjadi konsumen bagi penemuan-penemuan sains dan teknologi. Sehingga kemudian ada semacam era di mana kemudian agama itu agama, kemudian yang lainnya yang lain. Agama itu hanya ada di masjid akhirnya.
Jangankan sains, kesalahan saja itu hanya bersifat ritual bagi sebagian orang. Padahal agama lahir dengan visi sosial. Kesalahan itu kesalahan sosial.
Bahwa semua kesalahan ritual itu hilirnya kepada kesalahan sosial harusnya. Misalnya, إِنَّ الصَّلَاةَ تَتَنْهَا أَنِ الْفَحْشَةَ إِوَ الْمُنْقَارِ Salat itu, kata Allah dalam Al-Qur'an, untuk mendidik kamu menjadi pribadi yang tidak keji dan tidak mungkar kepada orang lain. Orang beriman itu memberi rasa aman kepada orang lain, kata Nabi.
Itu saja masih PR kita. Belum lagi kemudian ke sains dan teknologi, dll. Padahal, Sebenarnya jejak-jejak itu walaupun tidak sebesar di era Abbasid, jejak-jejak itu masih ada di peradaban Islam. Tapi memang tidak mainstream. Kita misalnya punya nama Kalau dalam kita mengacu kepada Nobel, Nobel Fisika itu ada nama Abdussalam.
seorang Ahmadiyah Pakistan, Nobel 1979 mungkin, dan bersama Steven Weinberg yang partnernya. Yang kemudian bekerja sama mendapatkan hadiah novel. Menariknya, Abdussalam itu menemukan teorinya itu berdasarkan Al-Qur'an. Sedangkan Steven Weinberg beda agama dengan dia.
Dan dia studinya atau metodologinya ilmiah. Dari sana kemudian filsafat berbicara tentang sebenarnya bahwa sains itu utamanya adalah tentang justifikasi, bukan penemuan. Jadi bukan dari mana dia mendapatkan ini, tapi bisa diverifikasi tidak, bisa dijastifikasi enggak secara ilmiah.
Jadi di sanalah kemudian muncul teori itu, sehingga Misalnya Einstein juga ketika menemukan teori realitivitas umum dan khusus juga dia bilang ada pengaruh imajinasi di sana. Dia lebih suka berimajinasi daripada belajar. Kemudian Faraday juga karena imajinasi dan mimpinya tentang dewa-dewi. Yang penting hasilnya kemudian bisa diverifikasi secara ilmiah.
Ada masa itu sebenarnya, di mana orang kemudian menggali, silakan Al-Quran dari mana pun, tapi yang terpenting bisa diverifikasi secara ilmiah. Tapi kemudian lagi lagi, lagi-lagi muncul nama-nama seperti Harun Yahya yang cocok logi. Jadi mencocokkan, menundukkan sains pada Kitab Suci, bukan kemudian mencari titik temunya.
Nah kemunduran itu yang kemudian menjadi tantangan sebenarnya dalam Islam. Termasuk secara politik kan sekarang mundur. Saya beberapa kali mengangkat poin bahwa bahwasannya dari enam ratusan hadiah Nobel dalam sains, itu 150 dimenangkan oleh orang keturunan Yahudi. Di Israel itu populasi cuma 7-8 juta. Dan di luar Israel orang Yahudi itu 7-8 juta.
Anggaplah 15-16 juta di seluruh dunia, tapi mereka bisa. Memenangkan 25% dari total. Sedangkan populasi Islam ini kan, Muslim ini kan, dibanding hanya 16 juta atau 15 juta, tapi yang menang Nobel dalam sains itu di bawah 10. Nah ini bukan zero sum game, tapi nggak ada alasan untuk kita bisa mengedepankan dua-duanya. Kesalahan sama sains. Dan ini bukan hal yang nggak pernah dilakukan oleh muslim.
Dulu dilakukan selama 400-500 tahun dari abad ke-7 atau ke-8 sampai ke-13. Sebenarnya bahkan kalau kita bicara misalnya filsafat, filsafat itu masuk ke barat justru lewat Islam. Dari Yunani diterjemahkan ke bahasa Arab, dipelajari, kemudian baru masuk ke barat.
Kemudian kita punya namanya perpustakaan. yang dulu dikata perpustakaan Baitul Hikmah dulu, yang kemudian menjadi sumber tujukan bagi Barat. Bahkan Nurholis Majid, almarhum Cak Nur, bilang HAM itu, itu Barat belajar dari Islam.
sarasan orang Arab Muslim yang kemudian membawa nilai-nilai ham yang kemudian dipelajari oleh Barat. Karena ham itu menurut beliau, itu sudah disampaikan oleh Quran dan ditegaskan kembali oleh Nabi dalam khutbah wadahnya, khutbah terakhirnya Nabi, bahwa perempuan setara dengan laki-laki, bahwa tidak boleh ada darah yang tumpah secara sia-sia, bahwa harta orang harus dilindungi, itu adalah hak harta kalau kita bicara tentang hal itu. dalam logika Hamdi Barat.
Itu dilindungi dalam Islam. Ini kan sebenarnya justru Barat yang belajar pada Islam, tapi sekarang kan kondisinya terbalik. Itu Columbus, Magellan, Vasco da Gama, nggak akan bisa menemukan benua-benua baru tanpa dasar pengetahuan dari zaman kejayaan Islam. Dan saya pikir karena memang agama kemudian dipisahkan dari rasionalitas. Saya mau tanya, ini kan ada beberapa interpretasi.
Ini bukan posisi sainsifik saya atau posisi filsafat saya, tapi ada beberapa interpretasi yang mana dianggap filsuf terkenal, Hamid Al Ghazali, itu dia yang dianggap melemahkan kepentingan untuk mengedepankan sains, di mana penjelasan itu harus di atas rasional. Apakah, saya penasaran saja, pandangan Anda, apakah itu salah satu titik infleksi di mana kita tidak seperti dulu, pengedepanan sainsnya? Sebagian orang menyebut seperti itu, sebagian riset menyebut seperti itu, tapi sebagian riset yang lain membantahnya. Menyebut seperti itu, yang membantahnya biasanya akan mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Al-Ghazali bukan anti-rasionalitas, bukan anti-filsafat, tapi anti kepada satu corak filsafat, yaitu filsafat paripatetik. yang digawangi oleh Ibnu Sina, yang dianggap kemudian mengancam akidah Islam oleh Al-Ghazali.
Dan Al-Ghazali sendiri filosof, karena tidak akan bisa mengkritik filsafat tanpa dia berfilsafat. Dia menulis kemudian buku berjudul Taha Futil Falesifah, kritik dia kepada para filosof sebenarnya, bukan kepada filsafat. Karena itu tidak ada itu.
referensi pengharaman filsafat seperti pernah ramai beberapa waktu lalu, biasanya merujuk kepada pendapatnya Imam Shafi'i itu nggak ada. Imam Ghazali pun seorang filosof. Dan itu sesuatu yang lumrah saja dibantah lagi oleh Averroes Ibnu Ruz melalui Taha Futil Taha Fut.
Kesesatan orang yang menuduh orang lain sesat. Walaupun kebesaran Al-Ghazali jauh di atas Ibn Rushd, sehingga kemudian lebih berpengaruh Al-Ghazali. Kemudian Al-Ghazali juga mematok bahwa yang wajib itu itu adalah ilmu agama, tapi kalau sains itu farduqifaya, sebagian orang belajar.
Dan itu bukan berarti mendeligitimasi rasionalitas atau ilmu umum, sebenarnya Al-Ghazali hanya ingin berkata bahwa ilmu agama itu wajib karena visi misi hidupmu adalah itu. Untuk beribadah sehingga jangan sampai kamu tidak berilmu agama, karena itu visimu untuk akhiratmu. Tapi ya, urusan dunia, ilmu-ilmu sains, teknologi, sosial, dsb.
itu juga harus. Karena itu memang dialektika yang biasa saja. Tapi memang efek sampingnya mungkin kalau kita bicara seperti obat, efek sampingnya sebagian orang kemudian menganggap filsafat mundur.
Terima kasih. karena pengaruh Al-Ghazali. Saya lebih percaya dengan hipotesa bahwasannya titik infleksi yang lebih berarti atau besar itu sewaktu Hulagu Khan menyerang Bagdad di abad ke-13.
itu yang sangat melemahkan progres ataupun progresi penemuan ilmu kita atau Islam. Sehingga terjadilah kemajuan, sampai sekarang. Dan saya tetap sebagai seorang Muslim, saya pengen lihat ke depan gimana Indonesia itu lebih bisa berperan untuk membangkitkan renaissance atau sains. yang menarik dari perkembangan politik.
Menurut Anda gimana? Pertama, saya setuju bahwa terlalu simplifikasi kalau mengatakan suatu peradaban bergeser hanya karena pemikiran satu orang atau beberapa buku saja yang ditulis oleh dia. Terlalu simplifikasi. Dan biasanya peradaban akan bergeser sedemikian rupa ada relasi kuasa di dalamnya.
Ada relasi penguasa. pada saat itu sudah tidak lagi sains. Kalaupun sains, biasanya untuk kebutuhan militer saja, untuk kebutuhan penaklukan. Dari sana kita bisa kemudian bergeser bahwa sebenarnya Islam di Indonesia itu memiliki peluang yang besar untuk mengambil peran itu.
Mengapa? Karena pergerakan dakwah Islam itu harus dibedakan antara ke utara dan ke selatan. Ke utara itu berbasis penaklukan.
sampai puncaknya di Andalusia di Sepanyol. Semua penaklukan. simpelnya melalui pedang militeristik penyebaran Islam ke utara dari Makkah Madinah ke utara.
Tapi kalau yang ke selatan, itu tidak melalui penaklukan, tapi akulturasi budaya melalui jalan damai, melalui jalan pena, bukan lagi jalan pedang, jalur perdagangan, dll. Sehingga kemudian corak peradaban Islam di Timur Tengah dan di di Asia, di Nusantara, termasuk Singapura, Malaysia, dsb. itu jauh lebih kokoh dan jauh lebih saintifik sebenarnya. Karena orang memeluk Islam dengan kesadaran dan sebagai pilihan, dan Islam diperkenalkan sebagai satu agama yang gagah secara rasional, gagah secara kebudayaan, dsb.
Sehingga sebenarnya Indonesia bisa menjadi Qiblat kedua atau Qiblat baru untuk memulai revolusi itu. memulai corak Islam yang baru dalam segala hal. Dalam sains dan teknologi, kemudian yang kedua dalam toleransi, karena jerjah toleransi kita jauh lebih besar. Dari awal memang toleransi masuk Islam ke sini. Kemudian dengan kebudayaan, kemudian dengan isu kebangsaan.
Kalau di Timur Tengah dari dulu sampai sekarang nggak kelar-kelar pan-islamisme, pan-arabisme. Itu sulit orang Islam di Timur Tengah itu menyatukan Arabisme dan Islamisme itu sulit. Di sini kan enggak. Mudah sekali. Kita ya Pancasila iya, Islam iya.
Dan itu gagasan yang jenuin, yang revolusioner, yang seharusnya menjadi titik bagi kita untuk berperan lebih besar. Apalagi kita bukan hanya unggul dalam keislaman, dalam demokrasi kita juga unggul. Secara geopolitik juga kita strategis.
Tapi itu lagi-lagi soal kesadaran itu. Sebenarnya almarhum Gus Dur luar biasa kan? Dia pergi ke sana kemari untuk kemudian menaikkan daya tawar Indonesia dalam segala hal di pergaulan internasional. Saya mau tarik ke poin-poin yang Anda baru angkat seperti kecintaan, toleransi, dan geopolitik.
Tapi pertanyaan terakhir saya yang terkait sains dari seiring teknologi. Saya pernah tanya ke narasumber yang lain, Mengenai gimana semakin mendigitalisasi diri, dimana kita berkonsultasi jauh lebih banyak dengan Google dibanding kita berkonsultasi dengan pendeta, ustadz, ataupun biku. Dan jawaban yang saya dengar sebelumnya adalah itu tergantung kita. Teknologi itu hanya alat.
Saya penasaran, pandangannya gimana? Apakah ini akan terus mengubah spiritualitas dikarenakan peran teknologi? Pasti teknologi di dalamnya ada bias, ada efek samping pastinya.
Salah satunya adalah misalnya reduksi di sana-sini karena teknologi. Karena teknologi semua orang bisa bicara sekarang. Sebodoh apapun dia bisa punya media, yaitu media sosial. Kemudian teknologi menyebabkan hilangnya kepakaran. Seorang pakar bicara tentang satu hal bisa dibantah oleh seorang yang nggak ngerti apa-apa.
Apaan lu? Kemudian dia bicara tentang teori ngawur. Bisa saja kan sekarang di era teknologi.
Seakan-akan punya otoritas untuk ngebully lagi. Iya. Tapi tetap saya percaya bahwa Kita diciptakan oleh Tuhan sebagai pribadi yang berdaulat, pribadi yang merdeka.
Bahkan lebih jauh itu, kata Nabi dalam salah satu hadisnya, Kamu ini pemimpin, utamanya kepada diri kamu. Sehingga seharusnya manusia, apalagi Muslim, tidak teralienasi dari dirinya sendiri, apalagi oleh teknologi, oleh sesuatu yang dibuat oleh dirinya sendiri. Kan sebenarnya tantangan Muslim atau manusia di era digital seperti saat ini tidak teralienasi dari dirinya sendiri, dan digantikan oleh digital. Itu tantangannya sebenarnya. Kedaulatan itu yang sebenarnya harus ada.
Bahwa bagaimanapun teknologi diciptakan untuk diri kita, jadi jangan sampai kemudian teknologi itu yang mengontrol kita. Jangankan itu nafsu saja yang jelas-jelas ada dalam diri kita, sebaiknya tidak mengontrol diri kita, apalagi teknologi. Problemnya sekarang teknologi yang secara bias mengontrol kita.
Terima kasih. Misalnya saya pernah ditegor, YouTube isinya dakwah, tapi iklannya porno. Padahal algoritma Anda yang bermasalah, berarti Anda suka buka porno, makanya iklannya porno.
Saya sering bilang sekarang iman dan takwa orang itu bisa dicek dari FBP TikToknya. Kalau isinya hal-hal yang nyerempet-nyerempet pornografi, berarti iman dan takwanya sekelas itu. Jadi, Algoritma itu yang kemudian mendidik kita, bukan kita yang menciptakan algoritma. Karena itu saya mendorong...
Mengikuti dan menggiring. Menggiring. Makanya saya nggak mendorong orang untuk tidak digiring oleh algoritma. Misalnya di era polarisasi seperti sekarang, jangan mau...
dibuat dalam kelompok-kelompok seperti Heina, Eko Chamber gitu. Ketika algoritma mau ke kanan, ya sudah kamu ke kanan saja, nggak pernah membaca kiri, sehingga kamu terus mendapatkan pembenaran, bukan kebenaran. Ini menarik. Banyak orang mengatakan bahwasannya agama itu malleable, sifat lunaknya itu bisa dibentuk.
oleh apapun yang kita tuangkan. Ibarat kata kalau ada rampok sama Ustadz, dua-duanya baca ayat yang sama dari Quran, si rampok ini bisa menggunakan ayat yang sama untuk menjustifikasi perampokan dibanding seorang Ustadz untuk menjustifikasi perilakunya dia untuk memberikan dakwah yang bijaksana. Itu kan tergantung nilai hidup seseorang. Ujung-ujungnya pemberdayaan teknologi, pemberdayaan apapun, dan pemberdayaan apapun yang kita baca, interpretasinya tergantung konstruksi sosial kita.
Gimana untuk kita bisa mengindahkan konstruksi tersebut atau mengrekonstruksi konstruksi awal yang mungkin kurang berkenan? Sebenarnya kalau dalam sejarah Islam memang sering terjadi fenomena-fenomena seperti itu. Sama-sama orang Islam saling mendeligitimasi dengan ayat yang sama. Misalnya kalau dalam sejarah Islam ada konflik antara Sayyidina Ali bin Abi Talib.
Ini bukan di Islam, di agama lainnya. Ayat yang sama itu bisa diinterpretasi untuk kepentingan yang berbeda. Iya, bahkan kita bisa lebih jauh bicara di aspek yang sekuler.
Misalnya kalau dalam aspek hukum sekuler UU ITE. bisa ditarik sekaret mungkin. Dan ayat-ayat suci itu bisa lebih melar dari UU ITE kalau ditarik oleh nafsu kita.
Ada dalam sejarah Islam, Seidna Ali dan Mu'awwad, Kemudian sejarah itu selalu ada, sekarang apa lagi? Polarisasi di internal umat Islam atau internal umat beragama masih saling mendelikitimasi dengan ayat dan hadis yang sama. Sebenarnya kalau dalam Islam, konstruksi itu sudah disiapkan. Ada misalnya transmisi ke ilmuwan yang disebut dengan sanat.
Orang silakan belajar kepada teknologi, tapi ustadz yang mengisi di teknologi itu harus memiliki sanat yang kuat, sehingga punya kompetensi. Atau hoax dalam Islam itu ada dalam ilmu hadis, jangan gampang percaya. Bahkan dalam ilmu hadis, orang kalau pernah kelihatan kencing sembarangan, dan kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian kemudian interpretasi itu menjadi sangat penting.
Quran itu suci, tapi interpretasi, penafsirannya itu tidak suci. Maka dia bisa ditarik ke mana-mana, sehingga poinnya adalah penafsir-penafsir Al-Quran, pembaca-pembaca dan penginterpretasi ayat-ayat suci, baik itu Islam maupun non-Muslim, itu termasuk juga ayat-ayat KUHP dan undang-undang, itu harus memastikan dirinya bebas dari pertama nafsu, yang kedua bebas dari kepentingan. Karena itu di Quran, يَمَسْحُو إِلَّا الْمُتَخَّرُونَ Seharusnya yang memegang Al-Qur'an, kata Quran, adalah seorang yang suci. Secara hukum, suci secara lahir, pegang Al-Qur'an harus berutuh, tapi yang jauh lebih mendalam secara batin, harus suci juga ketika dia mau membaca dan menafsirkan Al-Qur'an.
Suci hatinya, jernih pikirannya, tidak bias kepentingan, tidak bias ego. Sehingga kemudian... Dia yang tunduk kepada kitab suci, bukan kitab suci yang ditundukkan kepada nafsunya. Dia mencari kebenaran di kitab suci, bukan dia mencari pebenaran di kitab suci.
Itu murni soal kembali kemudian otot. otoritas secara kognitif, intelektual, maupun secara spiritual. Dia harus punya alat-alatnya bahasa Arab, ilmu hadis, ilmu Quran, ulumul Quran, dan punya itu. Tidak ada bias ini dan itu dalam dirinya. Dengan kenyataan seperti ini, nggak bisa dimungkiri bahwasannya Harus dilakukannya social re-engineering.
Agar kita bisa menuangkan nilai-nilai yang lebih positif, agar interpretasi dari apapun yang dibukukan, diayatkan. itu lebih berkenan ke depan. Itu gimana untuk melakukan re-engineering sosial atau re-engineering kultur? Kalau yang diproyekkan oleh saya dalam pengajaran atau dakwah Islam adalah mengembalikan Islam pada aspek spiritualitasnya. Kalau dalam bahasa Islamnya adalah tasawuf.
Ya. yang kemudian kalau disebutkan tasawuf, mungkin generasi milenial agak apaan nih, tasawuf-tasawuf, agak asik. Maka saya kemudian kemas menjadi Islam cinta, disebutnya Islam cinta.
Islam yang berorientasi kepada spiritualitas, yang utamanya berorientasi ke dalam, untuk kritik sebelum mengkritik keluar. Karena kejernihan itu yang dibutuhkan, kejernihan pikiran dan kejernihan hati. Tanpa kejernihan itu, tidak akan lahir otoritas-otoritas agama yang kompeten, yang bisa menjadi rujukan.
Dan tanpa itu, tidak akan lahir generasi Muslim yang Islami. Cari muslim itu banyak. Riset dari Ma'arif Institute, itu menyebutkan kota paling islami di Indonesia itu Denpasar. Justru yang mayoritas non-muslim. Dan yang di bawah-bawah itu justru kota-kota yang Islamnya banyak.
Kalau kita nggak percaya kepada riset Ma'arif Institute, riset dari Kementerian Agama tentang indeks kerukunan agama, itu yang rukun justru Bali dan Pasar. Karena memang banyak orang Muslim, tapi tidak ada Islam di sana. Dia tidak menginternalisasi dan tidak menteladankan nilai-nilai Islam. Karena itu dakwah saya adalah dakwah Islam Cinta, dakwah ke dalam.
Mari kita benahi diri kita agar kemudian menjadi agen perubahan, agen Islam, agen Quran, dll. Karena tanpa itu sulit kita berharap kepada luar biasa. Kalau ke dalam diri saja tidak melakukan otokritik, bagaimana kita bisa mengkritik secara jenuin, secara adil ke luar.
Karena itu saya lebih kemudian mengajak generasi musliminil secara umum, secara khusus, secara umum generasi beragama atau bahkan generasi yang nggak beragama, moralitas ke dalam itu yang harus dibangun. Agar kemudian segala sesuatu dikonsumsi. itu ditanam atau dibangun di atas fondasi kejernihan, tidak fondasi pragmatisme, egoisme, dll.
Memupuk, merawat hal-hal seperti itu, itu bagus sekali. Dan saya tetap percaya itu ada korelasinya dengan kapasitas kita untuk membuahkan kesejahteraan yang inklusif. Sulit juga untuk kita memupuk kecintaan dan segalanya tapi nggak ada makanan di atas meja.
Anda beberapa kali menyebut polarisasi. Polarisasi ini sangat berkorelasi dengan kesenjangan. Orang semakin ke kiri, semakin ke kanan, secara empiris ini nyata karena kesenjangan. Rasio koefisien gini meningkat 37-38 dibanding angka yang lebih rendah beberapa tahun yang lalu, kalau itu nggak diobati, semakin sulit untuk kita merawat atau memupuk atau memperbaiki hal-hal yang perlu diperbaiki ke depan.
Kita bisa ambil contoh beberapa negara yang multi ras, multi etnis, multi agama. Indonesia sangat multi ras, multi etnis, multi agama. Tapi ada negara lain, contohnya Singapura, turunan India, Melayu, sama Cina.
Tapi mereka itu cukup konsisten, bisa meng-redistribusi kesejahteraan. Dan itu bekal mereka untuk bisa terus merawat dan memupuk kerukunan antar multi ras, multi agama, multi etnis. Jadinya, Mungkin itu dasar yang kita harus lakukan untuk supaya ke depan ini kerukunan, toleransi, kecintaan, dan segalanya satu sama lain, itu lebih bisa diokumentasi atau diperbaiki.
Gimana menurut Anda? Sebagian ulama bilang, jangan bicara tentang Tuhan dan Kitab Suci kepada orang yang lapar. Karena terlalu imajinatif. Bahkan makroh itu sholat ketika kita dihidangkan makanan. Sholat di depan makanan itu makroh hukum.
Karena itu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika hijrah ke Madinah, itu setelah membangun masjid adalah membangun pasar. Yang kedua dibangun adalah pasar. Karena visi ekonomi itu sangat penting dalam peradaban.
Dan karena itu di agama menjadi sangat ditekankan. Salah satu dari lima tujuan agama Islam yang disebut dengan makosidus syariah, itu adalah hifdul mal, menjaga harta benda. Karena ekonomi ini menjadi salah satu dasar, termasuk tindak radikalisme dan terorisme, itu meskipun akarnya adalah ideologi, Aspek sekundernya itu adalah ekonomi. Biasanya yang dijadikan pengantin-pengantin teroris itu kadang orang-orang miskin, dan diajak karena kemiskinannya. Kemudian diprovokasi atau bahkan lebih murah lagi diprovokasi karena aspek ekonominya.
Wah kamu telah diperlakukan tidak baik. Mari kita melakukan reformasi, revolusi melalui ngebom dsb. Karena itu saya sepakat bahwa visi ekonomi muslim itu harus. Sebenarnya harapan itu sempat muncul ketika wakil presiden kita punya konsen di sana.
Tapi memang sekarang masih belum tampak menebal, tampak lebih... aplikatif, implementatif aspek itu. Padahal potensi ekonomi umat Islam di Indonesia apalagi, itu kan sangat besar. Potensi zakatnya saja bisa puluhan atau bahkan ratusan triliun.
80 atau 800 triliun potensi zakatnya. Belum ekonomi, kalau dikembangkan ekonomi, misalnya ekonomi santri. Apalagi kelas menengah Muslim itu kan di era 90-an itu sempat meningkat, sekarang juga sempat meningkat. Bahkan semua brand sekarang dalam nama petik mainan Islam.
Di Islam-Islamkan agar kemudian masuk ke segmen Islam. Akhirnya perlu ada duduk perkara dan pemikiran serta aksi tentang hal ini. Karena kalau enggak, ya Buddha itu kan utamanya ekonomi aspeknya. Kalau enggak, kita akan terus menjadi Buddha bagi siapa yang membayari kita. Kalau nanti Anda berarti.
Saya beberapa waktu yang lalu diminta bicara mengenai apa yang terjadi di Gaza. Ya tentunya, Posisi saya adalah mengutuk apapun yang dilakukan oleh kedua pihak. Itu bukan cermin dari kecintaan dan kerukunan yang dilakukan oleh Hamas ataupun Israel.
Tapi kalau mau ditingkatkan konteks yang terjadi di Gaza, mereka itu sangat tinggi keterbatasannya akses ke air bersih. Dan banyak yang nggak menyadari bahwa tingkat pengangguran di sana untuk yang anak-anak muda itu di atas 50%. Kalau itu nggak diperbaiki, nggak dijahit, ya sulitlah untuk menurunkan ekstremisme. Dan itu kalau menurut saya simbolik untuk apapun yang siapapun harus lakukan di mana pun.
Untuk membina kerukunan, cintaan satu sama lain, dan segalanya. Iya, karena... kepemilikan akan akses air, akses sumber daya, itu sesuatu yang sangat mendasar dalam Islam. Bahkan secara hukum, apa yang ada di dalam bumi ini kan kalau dalam logika Islam harus dimiliki oleh negara.
Agar kemudian... terdistribusi dengan baik bagi halayak ramai. Tanpa itu kemudian akan terjadi konflik kelas, kecemburuan ekonomi, sosial, dsb. Payahnya ini seolah-olah tidak menjadi urusan umat Islam, seolah-olah tidak menjadi urusan para pendakwah.
kecuali paling hanya aspek donasi, itu saja yang dikerjakan. Ekonomi juga begitu. Apa yang disebut dengan ekonomi syariah lebih masih kecenderungannya pada aspek akad saja.
festival-festival labeling-labeling saja, tidak mengakar kepada aspek paradigmanya. Karena paradigma ekonomi Islam sebenarnya adalah pendistribusian properti, pendistribusian kepemilikan. Jangan sampai mengendap di satu titik, atau satu orang, atau satu kelompok. Itu yang sebenarnya dikendaki oleh Nabi.
Karena itu Nabi itu selain bikin pasar, itu bikin. di bikin suffah. Ahlus suffah itu orang yang miskin, tunawisma, nggak punya istri, nggak punya apa-apa, ditampung di samping masjidnya Nabi.
Baru dari sana Nabi ngajar, muncullah nama-nama seperti sahabat Nabi Abu Hurairah itu muncul karena setelah dikasih makan dulu, dikasih tempat tinggal, baru kemudian belajar dan kemudian mengembangkan ilmu. semua pengetahuan Islam dalam hal ini hadis. Kalau kita merujuk ke sana, itu yang seharusnya dilakukan. Dan gimana Nabi juga bisa bersahabat dengan orang Yahudi juga di Medina. Salah satunya Abdullah bin Salman yang konvert ke Islam juga akhirnya.
Nabi juga melakukan transaksi menggadaikan barangnya ke orang Yahudi. Oke, saya mau bicara. Oke, Indonesia ini kan negara Muslim terbesar di dunia, demokrasi terbesar nomor 3 di dunia, populasi terbesar nomor 4 di dunia.
Bisa dibilang kita lebih bisa berperan untuk menjembatani antara A dengan B, apapun yang terjadi di Timur Tengah, apapun yang bisa dianggap semakin runcing antara Tiongkok dengan Amerika, kita punya posisi geopolitik, geostrategis yang nggak bisa dianggap. Saya ingin tahu pandangannya Habib gimana ke depannya ini? Ini sudah di bagian dimana kita sudah mulai bicara mengenai Indonesia the future. Gimana?
Sebenarnya Indonesia punya modal besar, modal sosial maupun modal sejarah yang besar. Pertama, Indonesia punya modal sejarah berupa non-blok. Kita dari sejarah kita adalah sejarah anti-proksi.
Dan salah satu problem dunia, apalagi kita bicara problem konflik Israel-Palestina, Tiongkok-Amerika, Perang Dagang, kita bicara Timur Tengah, itu pure soal proksi. Ada proksi Iran, China, dan kawan-kawan, ada proksi Saudi-Amerika, dan kawan-kawan. Terima kasih. Kita punya bekal sejarah, kita non-blok. Kita punya bekal sejarah Islam yang tidak terjebak pada aspek politik.
Islam kita lebih berorientasi ke masalahatan, tidak politis. Beda dengan Islam di Timur Tengah. Kemudian kita juga tidak punya logika proksi. Kita nggak terjebak dalam proksi-proksi itu, mau proksi Iran dan kawan-kawan, proksi Saudi dan kawan-kawan, kita nggak terjebak.
Kita dekat dengan semua kelompok, sekaligus bisa jauh dari semua kelompok ketika ada bias-bias proksi di dua kelompok tersebut. Itu sebenarnya modal yang penting. Dan sebenarnya isu Palestina itu menjadi menarik bagi politik luar negeri kita karena kita mayoritas Muslim, tidak terproksi, kemudian jelas bebas aktif politik luar negerinya, sehingga isu Palestina seharusnya bisa menjadi panggung diplomasi politik kita untuk bicara dalam skala yang jauh lebih luas.
Itulah sebenarnya posisi daya tawar diplomasi luar negeri Indonesia. Palestina itu bisa menjadi panggung bagi kita. Untuk kita bicara tentang Palestina dan banyak hal. Bukan semata hanya untuk nyari panggung, Tapi dikarenakan relevansinya.
Iya relevansinya. Dan bukan hanya Palestina dan Israel, dunia, karena di sana pusatnya, di Timur Tengah itulah konsep panggung bagi Amerika dan Tiongkok, kemudian bagi semua kepentingan. Timur Tengah akan jadi panggungnya.
Sebenarnya Indonesia, Afganistan, kita sudah mulai berperan melalui Nahdlatul Ulama diundang untuk menjadi Dan kita tergolong sukses, karena Timur Tengah itu satu suku banyak negara, kita banyak suku satu negara. Dan populasi Muslimnya minoritas dibanding di luar Timur Tengah. Betul.
Dan Afganistan itu problemnya ada 7 suku yang terus bertengkar, sehingga bangsanya hancur. Kita 7 itu bukan suku, kita suku kan ratusan atau bahkan ribuan. Kita itu 7 perkara yang harus kita lakukan. Perkara menyebut martabak manis itu riset menyebutkan. Kita ada 7. Ada yang menyebutnya di kampung saya disebutnya terang bulan.
Di Jakarta disebutnya martabak manis. Ada yang menyebutnya kue Bandung. Itu ada 7. Ini keragaman, ini berkah atau bencana, kan kita yang menentukannya. Dan kita selama ini sudah terbukti bisa mengelola keragaman ini dengan baik, tinggal kemudian modul itu yang namanya di bawah ke kontestasi yang lebih luas yaitu global. Tapi lagi-lagi kita masih belum punya keberanian, punya formulasi untuk berdiri di sana, berdiri di panggung internasional.
Dan sebenarnya itu utamanya soal diplomasi. Karena kan... Setelah Perang Dunia II itu relatif tidak ada kemungkinan atau peluang perang fisik lagi.
Semua perang uras-saraf. Kalaupun ada invasi ke Irak, ke Afganistan, itu dalam skala yang sangat kecil. dibandingkan Perang Dunia I dan II.
Artinya sebenarnya kekuatannya ada pada diplomasi. Dan Indonesia memiliki peluang besar untuk itu dengan realitas demokrasinya, dengan realitas muslimnya, dengan realitas geografisnya. Apa kira-kira yang struktural yang perlu disikapi supaya kita bisa lebih berperan?
Kalau saya selama ini... Berpikir bahwasanya kita itu kurang, naratornya. Storyteller-nya kurang. Saya penasaran pandangannya, Habib, gimana atau apa?
Apa kira-kira yang bisa dilakukan untuk supaya kita bisa lebih berperan seperti yang kita inginkan? Yang struktural? Yang sumber daya manusia sebenarnya. yang mengerti paradigma kebinekaan kita, paradigma Pancasila kita, untuk kemudian secara paradigmatik dibawa ke global. Dan dinarasikan dengan...
Itu kan yang dulu dimiliki Bung Karno. Bagaimana kemudian berdiplomasi, bernarasi dengan baik. Itu yang dimiliki oleh Agus Salim. Dan mungkin juga, Soal mentalitas ya Pak Gita. Kalau Agus Salim itu kan menganggap orang barat, orang luar negeri itu ah...
Iya, dia dengan diplomasi rokoknya. Dijabanin. Sekarang... Saya pengen lihat orang Indonesia itu berani ngejabanin siapa saja.
Secara intelektual ya. Sekarang jangankan di luar. Di Bali saja, kasus bule nggak pakai masker, kita nggak berani negor. Itu kan sempat banyak berita dan viral.
Kita negor sesama orang Indonesia, tapi bule dibiarkan saja. Itu di negeri kita sendiri padahal. Kemudian banyak beberapa kasus bule yang merusak lingkungan di Bali, tapi kita nggak bisa.
Itu problemnya ya problem mentalitas. Dan sebenarnya, ini biar lebih santai juga, soal mentalitas ini kita perlu belajar kepada orang Madura. Orang Madura itu punya mentalitas yang sangat tinggi dalam segala hal.
Misalnya, hanya orang Madura yang berani jual bensin eceran di pintu keluar SPBU. Itu logika ekonomi macam apa. Dan ketika ditanya kenapa, ya rezeki sudah punya Tuhan, nggak kira ketukar. Kata saya kalau ketukar kan Anda yang untung, Anda nggak punya SPBU tapi rezekinya SPBU.
Dan kemudian misalnya ada anekdot tentang Pak Habibie, presiden kita katanya ketika ke Mandura... Mereka bisa jualan es ke orang Eskimo nggak? Nah, makanya jualan es ke orang Eskimo, atau jualan pulsa di depan kontar. O'Connor anekdot, Pak Habibie pernah ke Madura, kemudian tiang benderanya ketika upacara tinggi, kemudian kata Pak Habibie, tinggi banget ini tiang bendera.
Berapa kira-kira tingginya? Ramadura naik, langsung dia ukur, 7 meter Pak Habibie. Wah bahaya, kamu ngapain naik? Kan tinggal dibuka bawahnya itu ditidurin. Pak Habibie ini gimana?
Kan nanya tingginya bukan planjangnya. Kalau tinggi itu dari bawah ke atas, kalau dari kanan ke kiri itu panjang. Hahaha.
Ada satu Kiai Madura yang sedang talkin mayid. Kalau datang nanti tiga malaikat, kata dia, terus dicolek sama santri. Kiai bukan tiga yang datang, kan dua malaikat nanti dikubur. Ah diem saja, kata dia. Kalau datang tiga malaikat kepada kamu, Kiai, dua.
Ah diem saja, kata dia. Kalau datang tiga malaikat kepada kamu, pastikan yang sama. yang satu itu palsu, karena yang seharusnya datang dua. Ini gaya ngeles, kemudian kepercayaan diri yang sangat tinggi, sehingga orang Madura ada di mana-mana.
Bahkan beberapa kontes sains nasional, fisika, itu kan beberapa pemenangnya itu orang Madura yang kemudian sempat difilmkan. Dan... Yoramadu, karena itu.
Karena dia punya kepercayaan diri, mentalitas yang seperti itu sebenarnya yang dibutuhkan. Apalagi pernah polisi beli ke toko kelontongan di pelabuhan Suramadu dulu ketika belum ada jalan. saya mau kata polisi ini, dia nggak berseragam, saya mau nyebrang. Tapi saya ini mabuk perjalanan, ada nggak obatnya?
Oh ada, kata dia, ini obatnya, anti mabuk. Oh ya sudah. Dia minum.
Jamin ya nggak mabuk. Jamin pulang pergi. Pas pulang, dia datang gebrang meja.
Jebret, kata dia pakai seragam polisi. Kamu ini gimana? Katanya jamin nggak mabuk. Saya minum obat kamu, itu tetap mabuk.
Bapak ini gimana? Saya ini polisi, kata dia. Jangan remehkan lo.
Kamu jangan main-main dengan saya. Bapak ini justru, Bapak karena polisi nggak bilang waktu itu. Ini obat, Pak. Baru untuk darat, laut, dan udara, Pak. Belum ada untuk polisi.
Sambilan polisi ini, kalau bilang dari awal sambilan polisi, nggak saya kasih, Pak. Karena ini baru untuk darat, laut, dan udara. Jadi kita sebenarnya butuh kepercayaan diri, mentalitas.
Sekingga orang Madura kan di mana-mana ada hidup. Bahkan anekdotnya di Kutub Utara aja dia bisa jual sate. Dan ketika jual sate, dia pasti paling enak nomor 2 di dunia.
Kenapa kok nomor 2? Soalnya yang nomor 1 pasti Allah. Tadi nggak boleh kita bilang nomor 1. Jadi itu kan diplomasi juga, ngeles-ngeles itu. Jadi ya... Kayak orang India.
Selalu ada aja jawaban. Nah ini kita bisa mengindahkan humor dalam konteks pendidikan. Kalau mendidik orang dengan humor, itu lengket, nempel.
Dan saya tuh beberapa menit terakhir tuh saya berimajinasi, Anda itu bisa menarasikan banyak hal dengan cara yang sangat indah. Saya ngebayang kalau ini bisa dilakukan di seluruh masjid yang ada di Indonesia. Dan Anda memang saya tahu mengambil keputusan yang konsis untuk mendigitalisasi. Karena tentunya penyelesaiannya jauh lebih luas, lebih besar. Nah gimana sih menurut Anda Indonesia ke depan dalam konteks Islam?
Islam yang benar untuk Indonesia itu gimana? Tentunya dalam konteks yang luas untuk memupuk. kerukunan, interfaith dengan keyakinan atau agama-agama yang lain.
Ya, pertama soal humor, saya itu menjadikan humor sebagai medium dakwah saya. Mengajak komika stand-up komedian untuk mendampingi saya dalam. Mengapa?
Karena humor itu paling tidak selain yang disampaikan Pak Gita tadi, punya dua keunggulan yang penting sekali untuk dakwah sebagai medium dakwah. Yang pertama, humor adalah bahasa yang dimengerti oleh orang lain. bahasa ekonomi nggak dimengerti orang awam, bahasa filsafat apalagi, bahasa agama pun tidak semua orang mengerti. Tapi humor, semua orang bisa tertawa dengan humor. Dia bahasa yang paling awam.
Dan karena itu dia dibutuhkan untuk peningkatan yang luas dalam dakwah. Kemudian yang kedua, humor itu sangat efektif sebagai medium kritik. Ada nama Nasruddin Hoja, Bahlul, Abu Nawas yang mengkritik rezim-rezim Islam pada saat itu dengan humor tanpa tersinggung si rezim ini, si raja, si sultan ini. Itu juga dibutuhkan untuk mengkritik keberagamaan kita yang mungkin perlu dikritik, yang kalau secara langsung mungkin akan menyebabkan kita menyinggung orang lain, maka humor menjadi efektif untuk ini.
Termasuk mengkritik kebijakan, dan lain sebagainya. Jadi karena itu penting menjadikan humor sebagai medium. Dan juga digital. Karena 2019 data yang saya punya dari VR sosial itu 58% orang Indonesia tersambung dengan gadget.
Dan rata-rata menghabiskan waktu 8,5 jam dengan gadgetnya orang Indonesia. Makanya saya sering bercanda, 8 jam kerja, 8 jam tidur, 8 jam main gadget. Pantesan banyak yang gerai. Karena nggak punya waktu.
waktu untuk keluarganya. Makanya kemudian didigitalisasi. Sekaligus yang paling penting adalah dakwah itu kan mengajak orang yang belum agar masuk. Ini yang sering tidak dilakukan. Orang berdakwah di masjid, di musyola, di majlis ta'lim, hanya memperbaiki orang yang sudah baik.
Padahal reach-nya yang luas justru yang di luar sana. Santri itu hanya mungkin angkanya 4%. atau 8% di Indonesia.
Yang di luar itu. Karena itu saya misalnya bikin yang namanya kayak pemuda tersesat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang senyeleneh apapun, yang tapi mungkin ada di kepala orang. Tapi tidak mungkin dia tanyakan di masjid.
Karena khawatir dicurigai apa-apa kalau di masjid. Nggak dijawab, malah dimarah-marahin dia. Misalnya ada orang yang membayangkan, kalau dosa dan pahala itu tidak ada di masjid, kita 50-50 nanti di akhirat masuk surga atau neraka.
Ini kan bayang imajinasi yang mungkin bagi orang bercanda, padahal di suratul a'raf di Al-Qur'an dibahas secara khusus. Yaitu nanti ada ashabul a'raf, orang yang pahala dan dosanya 50-50, dia dimasukkan ke surga tapi di akhir perhitungan karena rahmatnya Allah. Jadi itu pertanyaan yang muncul dari pikiran yang tulus artinya. Hati yang tulus.
Sehingga muncul pertanyaan seperti itu. Tapi nggak mungkin ditanyakan di forum-forum yang mainstream dari agama, karena dianggap, ah bercanda lu. Apalagi ada yang lebih nyeleneh.
Habib, kiamat itu kan hari Jumat. Nah negara-negara yang masih hari Kamis atau sudah hari Sabtu gimana? Jadi itu kan bisa jadi memang itu nggak begitu penting pertanyaannya, atau bahkan bercanda. Tapi itu orang sudah mau menanyakan itu, artinya sudah mulai tertarik kepada agama. Itu yang kemudian saya manfaatkan untuk menarik mereka ke agama.
Dan agama dalam pengertian yang Insya Allah saya upayakan sejenuin mungkin. Artinya ramah kepada sains, ramah kepada teknologi, ramah kepada perempuan, ramah kepada lingkungan, ramah kepada hak asasi manusia yang saleh bukan hanya secara ritual, tapi saleh secara sosial dan spiritual. Ramah kepada nilai-nilai kebangsaan, dan lain sebagainya. Jadi plus juga ramah.
yang juga penting kepada perbedaan. Karena itu saya mencoba memberikan referensi yang luas kepada orang tentang perbedaan itu sendiri. Karena orang akan cenderung membenci dan berkonflik dengan kelompok atau orang yang tidak dia kenal.
sehingga kita perkenalkan saja. Karena itu saya duduk bersama seorang tokoh Buddha, duduk bersama tokoh Kristen, itu bagi saya duduk bersama saja sudah satu pemandangan yang harus dibiasakan. Karena itu saya mendorong misalnya gerakan untuk media sosial diisi dengan monumen-monumen toleransi.
Setiap orang kan pasti punya pengalaman, atau punya entitas, atau punya monumen di sekitarnya tentang toleransi. Misalnya mungkin ada keluarganya yang non-Muslim, ada rekan kerjanya yang non-Muslim, duduk bareng, ngopi bareng, foto, masukin ke media sosial. Agar ketika ada foto seorang ustadah bergandengan dengan biarawati, nggak lagi viral. Bukan.
Bukan karena apa-apa, karena sudah nggak biasa toleransi di Indonesia. Ketika masih viral berarti toleransi kita masih minus. Karena itu saya mendorong, ayo kita bikin konten-konten toleransi di sekitar kita.
Misalnya ada gereja yang berdampingan dengan masjid, dengan pura, di foto, di-share di media sosial, agar kemudian itu menjadi bagian dari hidup kita, dan kemudian toleransi itu betul-betul terinternalisasi. pada diri kita bahkan di ruang-ruang privat. Karena kalau di ruang-ruang media sosial, ruang-ruang seminar, mungkin kita akan bicara toleransi, tapi kadang di ruang privat kita tidak melakukan itu. Intoleransi yang terjadi. Misalnya yang paling gampang di grup-grup WhatsApp.
Itu biasanya mengapa hoax dan intoleransi banyak di grup WhatsApp, beberapa riset menyebutkan seperti itu, atau di grup Facebook, karena ekocamber itu. Sesama orang Islam akhirnya ngomongin kristal. Sesama orang Kristen akhirnya ngomongin Buddha. Terus begitu. Karena itu perlu relasi dan komunitas yang inklusif untuk kemudian membentuk kebinekaan kita pada aspek yang paling privat sekali itu.
Saya punya keyakinan, beberapa kali saya menyampaikan bahwasannya selama 2000 tahun terakhir ini, kita dikunjungi Buddha 400 tahun, Hindu 600 tahun, Islam, kolonialisme, kemerdekaan, demokratisasi selama 600-700 tahun, itu korbannya itu kecil sekali dibanding apa yang kita lihat di Eropa, jedah 30-40 tahun antara Perang Dunia Pertama dan Dua, makan lebih dari 100 juta nyawa. Itu banyak anak-anak muda di Indonesia itu nggak paham mungkin bahwasannya selama 2 tahun. kita sangat kental dengan kedamaian. Itu kalau menurut saya bekal untuk 2000 tahun ke depan.
Dan kalau kita fokus ke kekayaan kita dalam konteks kerukunan, interfaith, dan segalanya, nggak ada alasan kita nggak bisa bukan hanya merawat tapi bahkan mengogmentasi kekayaan-kekayaan seperti itu. Iya kan? Bekal kita terlalu besar. Bahkan bekal itu bukan hanya untuk kita, bisa kita. Ekspor ke mana-mana, ke Timur Tengah, ke Eropa, ke Afrika, Amerika.
Saya mau tanya mengenai topik korupsi di Indonesia. Dari sisi kacamata Anda, saya pernah nanya ke Narasumber yang lain, jawaban beliau adalah, kita ini mungkin kurang budaya malu, kita kurang budaya takut. Gimana ke depan supaya Indonesia bersih dari korupsi perilaku? Bukan korupsi uang saja.
Sebenarnya tegas sikap Nabi kepada korupsi, segala tindak koruptif, baik itu material ataupun imaterial, itu tempatnya di neraka. Dan bahkan Nabi menciptakan dalam hadis yang lain, korupsi itu kata Nabi, menjangkit kamu. Dia akan membuat ruang gerak kamu menjadi sempit.
Nggak bisa ke mana-mana. Karena sudah dikunci oleh praktek. yang menggantikan korupsi itu sendiri, sehingga ruang gerak kita nggak mudah untuk mengkritik karena sudah ada jejak korupsi itu. Dan biasanya kan saling mengunci antar lembaga, antar person, antar golongan dengan korupsi itu. Memang utamanya menurut saya adalah soal mentalitas.
Yang entah itu mau diimpor dari mana terserah, mau diimpor dari agama, mau diimpor dari budaya, tidak sama sekali. karena rasa malu pun dalam Islam menjadi sangat penting. Sehingga dalam salah satu hadis dikatakan, Allah malu kalau ada hambanya yang menengadahkan tangan, tapi Allah tidak mengabulkan hajatnya.
Karena malu itu sifat Tuhan. Dan Nabi katakan dalam salah satu hadisnya, memang seorang yang beriman atau berislam, dia harus memiliki rasa malu. Al-hayyau minal iman.
al-hayya ufarkul minal iman. Bagian dari keimanan, kata Nabi Muhammad. Malu itu yang sebenarnya juga bisa mengontrol kita.
Dan puncak dari rasa malu itu adalah malu pada diri sendiri dan malu kepada Tuhan. Karena mungkin rasa malu kepada orang lain bisa diatasi dengan kesenyapan, kegelapan. Karena korupsi biasanya kalau sifatnya material begitu. Atau kemaksiatan secara umum biasanya dalam kegelapan.
itu kegelapan, digambarkan dalam Al-Qur'an, itu kemaksiatan, sihir, dll. Kalau dalam penggambaran Al-Qur'an, dalam surat Al-Falaq dan An-Nas, itu dalam kegelapan. Artinya dilakukan rahasia, dalam kesendirian. Makhluk puncaknya adalah pada diri sendiri dan kepada Tuhan. Dan kesadaran bahwa yang terpenting adalah kegagalan yang tidak sekuler.
bahwa kita tidak hanya hidup di dunia ini, bahwa pengadilan itu tidak hanya ada di dunia dan bukan yang utama justru di dunia, tapi bahwa kita akan hidup nanti di kehidupan selanjutnya. Itu yang kemudian menjadi intisari dari semua ajaran agama. Kalau di Hindu-Buddha ada karma, ada dharma, dll.
Ada reinkarnasi kehidupan selain. Dalam Islam juga begitu. Pola pikirnya harus tidak terlalu berpikir.
tidak hanya dunia ini, tapi juga akhirat. Sehingga kemudian kita lebih mawas diri dalam segala tindakan kita. Dan keimanan juga adalah kunci agar kita selalu merasa bahwa walaupun tidak ada bos, walaupun tidak ada pengawas, walaupun tidak ada CCTV, ada mata Tuhan di mana-mana.
Sehingga kita akan hati-hati dan mawas diri dalam setiap langkah kita. Menarik. Oke, ini yang terakhir.
Oke. Kita ngobrol Indonesia 2045. Anda sudah usia 57 tahun. Gambarannya gimana sih?
Saya melihat begini, ada bonus demografi yang akan kita hadapi di 2030. Beberapa negara gagal dengan bonus demografi ini, Afrika Selatan misalnya. Beberapa negara berhasil dengan bonus demografi ini, Korea Selatan misalnya. Kita sedang berada di persimpangan itu. Dan pola pikir, paradigma tokoh agama, tokoh bangsa, pemimpin negara, pemimpin agama harus memberikan orientasi pada visi Indonesia 45 ini. Fokusnya adalah pada generasi muda akhirnya, karena mempertimbangkan bonus demografi itu.
Itu menurut saya yang masih belum mendapatkan perhatian besar, perhatian kepada generasi muda pada aspek khususnya pendidikan, pada aspek kalau kita bicara agama, agama. Perubahan paradigmatik pada generasi muda kita. Dan itu yang masih belum kelihatan sekarang.
Anak muda direformasi begitu berperan, tapi nyatanya tidak memberikan apa-apa dalam jangka panjang. Jangka pendek, ya, melakukan reformasi, tapi jangka panjang. Kemudian anak muda masuk politik dalam kurun waktu lima tahun.
yang tahun ini juga ternyata juga mengecewakan banyak pihak. Problemnya adalah pada mentalitas dan paradigma. Tidak ada perubahan.
Yang berubah hanya semangatnya mungkin, atau yang berubah hanya aktornya. Kita mengetuk maling dengan landasan kenapa bukan kita yang maling. Jadi akhirnya menurut saya kuncinya adalah pada perubahan paradigma, perubahan mentalitas yang itu harus disupport oleh semua pihak, dan utamanya pada generasi muda ini menumbuhkan kesadaran paradigmatik, kesadaran mentalistik.
untuk kemudian menjadi pribadi baru, pribadi Indonesia yang baru, manusia Pancasila yang baru, manusia Indonesia yang baru, manusia Muslim yang baru, dengan yang kembali kepada nilai-nilai kearifan kita yang sudah ada tadi, atau kalau paling dekat 1928 Sumpah Pemuda, atau lebih dekat lagi 1945 Pancasila dan Undang-Undang Dasar Setahun NKRI. Kembali ke nilai-nilai itu kebinekaan. Kalau kita melihat gelasnya setengah penuh, bukan setengah kosong, dengan asumsi hal-hal seperti itu, kita bisa sikapi secara bijaksana dan positif. Lukisan mengenai Indonesia tahun 2045 kayak gimana?
Ya, itu yang saya inginkan. dari kacamata Anda? Mungkin di kacamata saya, apakah kita lebih bisa berperan untuk perdamaian di Timur Tengah?
Apakah kita bisa lebih berperan atau sangat berperan dalam penjembatan antara... Barat dan Islam, antara Tiongkok dan Amerika, dan pengamanan kawasan dan segalanya, terus secara spiritual gimana? Normatifnya kan kita harus optimis.
Tapi sulit, karena kita tidak melihat gejalanya. Kita tidak melihat tanda-tandanya. Tanda-tanda perbaikan.
Paling mudah kan itu... Jadi gelasnya setengah kosong, bukan setengah isi. Karena artinya gelasnya diminum, bukan diisi.
Kalau setengah kosong, berarti diminum. Berarti akan berkurang terus. Karena paling mudahnya kan bahkan secara saintifik itu bisa dipertanggung jawab. dari media sosial. Saya pernah mengikuti pelatihan dari orang Twitter langsung beberapa tahun yang lalu, pelatihan digital.
Itu dia membandingkan dari topik trending saja. Topik trending orang Indonesia dengan orang Eropa, orang Asia. itu jauh berbeda. Orang Indonesia itu yang diributin hal-hal yang enggak jelas. Bahkan sekarang ada kekerisauan beberapa bulan ini, trending topik kita selalu pornografi di Twitter.
Atau permasalahan yang kita ributkan, bumi datar, bumi bulat. Hijrah juga hijrah ritual keagamaan, padahal Amerika dan Eropa sudah bicara hijrah ke Mars. Media sosial kita masih hoax di mana-mana. Data yang pernah saya baca 100 ribu atau 10 ribu website yang penuh dengan hoax yang menyelimut di media digital kita. Netizen kita masih bermental netijen.
Jadi akhirnya sulit kita untuk kemudian optimis. Tapi kan itu otokritik. Kita bukan sedang membangun pesimisme, tapi itu otokritik bagi kita.
Bahwa kita belum siap apa-apa. Dan konstruktif. Artinya kita perlu mempersiapkan banyak hal, khususnya menurut saya di bidang digital dan pendidikan, selain juga agama. Saya beberapa kali ngomong mengenai pendidikan di mana salah satu isu yang sangat struktural itu adalah guru, kurangnya guru yang berkualitas. Dan kalau saya bandingkan dengan negara-negara lain, yang jadi guru itu yang sangat...
Top banget lulusan dari universitas, dari perguruan tinggi manapun. Tapi kalau di sini, ini hal yang belum dan sangat perlu disikapi. Kalau itu bisa disikapi, itu sangat bisa berkorelasi.
Makanya saya melihat gelasnya setengah penuh. Karena ini struktural, tapi ini sangat dalam kontrol kita untuk kita sikapi. Dan kalau kita bisa pastikan dalam 10-24 tahun ke depan, bahwasannya guru-guru yang boleh ngajar itu adalah lulusan top 5% dari perguruan tinggi, itu sangat bisa berkorelasi dengan budaya yang bisa dibina. Dan budaya apapun itu yang akan dituangkan dalam interpretasi agama apapun. Dan itu kita bisa berspiritualitas, kita bisa berekonomi, bersosial, berbudaya, apapun, dengan cara yang kalau menurut saya keren banget.
Mungkin 2-3 tahun kemudian kita bisa berbicara. 3 tahun ke depan agak-agak sulit. Tapi kalau trajektorinya ini 24 tahun ke depan, nggak tahu gimana saya agak-agak optimis.
Iya. Sebenarnya optimisme juga bisa dibangun dari bahwa apalagi kalau ada 100 orang kayak Habib Jafar. Saya dikasih beban. Gimana Anda bisa mengklonkan? Karena saya beda loh ngobrol dengan Anda, rasanya itu sejuk.
Karena Anda benar-benar bisa menarasikan banyak dimensi dengan cara yang nyambung dengan milenial. Apalagi milenial. Kita bisa juga membangun optimisme dari rujukan sejarah bahwa bahwa Indonesia akan dibangun dari rumah kosnya Hos Cokroaminoto dengan tiga tokoh yang kemudian mewakili tiga ideologi, Bung Karno dan kawan-kawan. Jadi menurut saya paling tidak setiap kita harus punya proyeksi Cokroaminotoisme itu. Membangun sesuatu sekecil apapun untuk bangsa ini.
Oke lah kita enggak proyeksi terlalu besar. Setiap orang memikirkan punya kosan seperti Hos Cokro Aminoto. Tentunya bukan dalam pengertian yang sebenarnya, itu simboli. Punya kosan dalam pengertian, punya garapan kecil untuk kemudian menciptakan.
dan dia mengerjakan orang per orang, sesedikit apapun yang bisa mengubah. Jadi dia mengerjakan sesuatu yang besar. Saya teringat quote-nya Steve Jobs yang ketika dia mau cari tenaga marketing, itu dia melakukan marketing untuk Apple, kemudian dia duduk di pabrik Pepsi, kemudian ketika keluar manajer marketingnya, lu mau tetap jualan air gula ini atau ikut gua mengubah dunia? Perlu ada pikiran-pikiran seperti itu. Untuk orang itu melakukan sesuatu yang lebih punya legasi.
Nggak hanya 10-20 tahun, bahkan nggak hanya semasa hidup dia, tapi masih diisi dia setelah mati. Walaupun Steve Jobsnya didepak sama si sekali. Iya. Dan itu makanya saya selalu bilang bahwa orang besar itu berbicara iti. Orang setengah besar itu bicara peristiwa.
Orang kecil bicara orang. Ngomongin orang lain, giba dia. Nah kita ini kan masih sebatas bahkan bicara peristiwa paling jauh.
Kita nggak bicara ide, apalagi di media sosial. Kita di sini... khusus mau hanya berbicara mengenai ide.
Misi kita di sini edukasi, edukatif. Anda juga. Anda punya misi pengabdian.
Kita juga secara nggak langsung kita ingin mengabdi. supaya konten edukatif di Indonesia ini lebih bisa membuahkan skenario di mana orang Indonesia itu bisa lebih bervisi ke depan. Mau ngomong kecerdasan artifisial, mau ngobrol mengenai spiritualitas, ngobrol mengenai entrepreneurship, ngobrol mengenai apapun, oke, kita jabanin. Kayak orang Madura tadi.
Kalau menurut saya, mungkin yang saya ambil dari sini adalah kita harus bisa menjabatnya. Apa saja. Dan kalau kita tekad begitu, kayaknya bisa.
2045 keren banget Indonesia. Karena itu perlu konten-konten semacam ini, orang duduk bersama dengan dua perspektif yang berbeda, dua umur yang berbeda. berbicara tentang ide. Dan dialektika.
Itu penting sekali. Iya, semangatnya dialektika, bukan dogma, bukan mau menghabisi. Bukan menutup diri.
Itu yang kalau kata seorang filosof Jerman Habermas itu, ruang publik. Dia berharapkan ruang digital ini menjadi ruang publik yang sehat, ketahunya jadi ruang publik yang toksik akhirnya. Itu yang perlu diciptakan.
Karena itu saya punya bayangan, Pak Gita. Punya ruang publik yang sehat secara keagamaan dan secara kebudayaan serta kebangsaan. ada ruang temu, saya itu dari dulu membayangkan.
Alih-alih tokoh agama lain membayangkan punya pesantren, kalau saya membayangkan punya ruang publik. Punya ruang publik yang cukup besar untuk orang di sana bertukar ide, mengaktualisasikan diri. dengan gagasan-gagasan yang besar. Entah itu melalui lukisan, artificial intelligence, aplikasi, agama, dan lain sebagainya. Ruang publik.
Itu yang dibutuhkan. Yang kemudian bisa melahirkan kalau konteks musisi seperti Iwan Fals, Didi Kempot, dan lain sebagainya. Konteks agama melahirkan seperti Syed Kurey Syihab, dan lain sebagainya.
Menurut saya butuh ruang publik. yang kita desain sedemikian rupa untuk orang, termasuk sudah ketika orang masuk sana, dia sudah nggak punya pikiran tentang sandang pangan dan bapa, sudah kita penuhi urusan itunya. Karena itu saya...
Saya membayangkan punya ruang publik, sekarang masih digital, tapi punya ruang publik secara fisik yang bisa menjadi ruang titik temu dari berbagai agama, berbagai gagasan, berbagai ideologi yang sehat ketika sampai sana bicara ide, pikiran terbuka, hati terbuka, dan berbicara tentang 50 dan 100 tahun ke depan. Dan saya berharap space itu atau ruang publik itu bisa terus mendemokratisasikan ide. Yang beberapa kali saya sampaikan dengan beberapa narasumber adalah kita telah melihat demokratisasi pipa komunikasi. Tapi kita nggak melihat demokratisasi ide.
Itu sangat paradoksikal. Dan itu paradoks yang kalau menurut saya harus diobati dengan fasilitasi forum-forum publik kayak begini untuk gimana kita bisa bisa terus mendemokratisasikan ide. Dan demokratisasi itu sejauh ini kan hanya bekerja pada level elektoral, nggak secara substansial.
Memang semua orang mulai bisa mencalonkan diri, dsb. Tapi secara paradigmatik, substansi demokrasi kan nggak bergerak maju. Paling hapus kita bisa bilang bergerak di tempat kalau nggak mundur. Wow!
Ada lagi pesan-pesan akhir, Habib? Itu saja mungkin, agar tidak menjadi yang terakhir. Jadi enggak kita kasih pesan akhir.
Terima kasih banyak, Pak Atun. Teman-teman, itulah Habib Jafar, pendakwah milenial. Terima kasih.