Transcript for:
Konservasi dan Budaya Burung Maleo

Terima kasih. Seperti penyu, malu itu lahir di kuburan. Dan begitu sampai di atas, mereka harus lihat kiri-kanan, mereka harus bisa berlari, bahkan kalau perlu, mereka harus bisa terbang minimal 1 meter. Yaitu semuanya untuk menghindari predator, seperti misalnya biawak, ular, tikus. Hewan ini memang hewan endemik yang hanya terdapat di Sulawesi dan Buton dan tidak ada di tempat lain manapun di dunia. Kenyataan sedikit pahit harus saya ungkapkan di sini bahwa Maleo itu hari ini justru hanya lebih mudah ditemukan dalam bentuk ilustrasi. Entah itu dia dalam bentuk foto, entah itu dia dalam bentuk patung. Kenapa dia tidak bisa berkembang biak di sini? Karena habitatnya ini sudah tidak ada. Ini dua kilo saja dari sini, ini sudah sawit semua. Tetap saya perjuangkan karena ini benar-benar hak milik kami, dari leluhur orang tua kami. Jadi sampai mati saya untuk keluar tidak. Jadi ini salah satu sampel dari telur maleo yang diritualkan di tahun lalu. Nanti setelah ada telur maleo baru, nanti ini ikut diganti. Ketika Batui menyebut Maleo sebagai maskot, tetapi memang sangat kesulitan untuk menemukan di alam liar, dalam sebuah wacana sederhana saya sebutkan, berakhirnya Maleo, maka itu sama juga berakhirnya dengan adanya budaya yang ada di Batui. Nama saya Abdiwali Ahmad Maleto. Saya pemuda asli suku Batui. Suku Batui adalah salah satu suku asli yang berdiam di Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Yang notabene, suku ini memang secara emosional memiliki kedekatan erat dengan burung maleo itu sendiri. Catatan ringan yang saya peroleh sampai dengan hari ini, ada perbandingan yang cukup ironi, Maleo itu hari ini justru hanya lebih mudah ditemukan dalam bentuk ilustrasi. Entah itu dalam bentuk patung, entah itu dalam bentuk pajangan lainnya, atau entah itu dalam bentuk suveren. dibanding menemukan maleo itu dalam bentuk aslinya atau bentuk nyatanya di alam liar. Pasca data yang dirilis UCN yang menyatakan bahwa maleo itu masuk dalam critical and danger atau terancam punah, maka ada ketertarikan. Saya secara emosional untuk melihat langsung apakah memang benar-benar data yang dirilis oleh IUCN ini sejalan dengan fakta yang ada di lapangan. Apakah memang sulit menemukan maleo di alam liar atau memang ini hanya data yang ditulis di atas kertas. Sebagai pemuda adat, maka saya harus melakukan kewajiban saya secara moral, di mana saya harus melaporkan setiap bentuk kegiatan yang mau saya eksplor di Adat dan Kebudayaan Batu I sebagai bentuk penghormatan saya kepada Adat dan Kebudayaan Batu I itu sendiri. Saya berada di salah satu situs budaya atau lebih dikenal dengan sebutan kantir disini ya. Kantir ini merupakan salah satu tempat yang harus disambangi oleh setiap pengunjung yang ingin mengakses apapun soal adat ibadah dalam hal ini terkait isin ya. Ada hal yang menarik bagi saya yaitu saya menemukan satu butir telur ya, satu butir telur maleo yang tersedia di kancer itu. Dimensi rata-ratanya memang di atas dari telur biasa ya. Kalau perbandingan menurut ilmu kearifan lokal, 1 banding 5 telur ayam. Pemilik kantir tadi ini, beliau menyebutkan bahwa ini nanti dipersiapkan untuk pengantaran tumpe. Nanti ada telur baru yang masuk untuk diritualkan ke ritual tumpe. Begitu keterangan yang saya peroleh. Tumpeya itu sendiri adalah sebuah seremonial adat yang dilakukan oleh suku kami, suku adat Batui dimana suku adat di Batui itu mengantarkan amanah yang dititipkan oleh lohur berupa telur maleo yang nanti disampaikan ke keraton bangga itu. Hai sekarang kurang lebih pukul 5 pagi saya akan menuju ke rumah salah seorang campion lokal yang banyak mengetahui tentang burung endemik ini hai hai Masuk Pak Iwan sendiri ini adalah orang yang sudah bergeliat puluhan tahun berkecimpung dalam pencarian telur maleo karena beliau sendiri Pak Iwan ini adalah masyarakat adat dari kecamatan kami kecamatan Batui yang mencari telur maleo dimana pencarian beliau ini nanti diserahkan ke para pemangku adat untuk menjadi bagian dari ritual Tumpe tadi itu Rekomendasi yang diberikan oleh Bang Iwan adalah beberapa nesting ground atau tempat yang sering beliau temui, sering beliau melihat aktivitas maleo di alam liar yaitu maleo raja. Medannya lumayan terjal, jadi memang kita harus berjalan sejauh 2-3 km dari jalan trans dengan medan berbatu, di kirinya juga terjal, kanan juga terjal, batu-batuannya juga lumayan besar. Malio itu merupakan bagian dari suatu famili yang mempunyai sifat luar biasa karena mereka berkaki besar, sehingga disebut Megapodidae. Istimewa karena berkaki besar itu berarti mereka bisa memindahkan pasir atau tanah dalam jumlah yang besar, bisa ratusan kilo. Dan Tuhan menciptakan bukannya tanpa tujuan, karena ternyata mereka menaruh telurnya di bawah permukaan tanah. Di antara famili Megapodidae yang ada 22 spesies itu, hanya ada satu genus bernama Makrokepalan, dan hanya ada satu Malio di dalam genus Makrokepalan itu. Jadi ini adalah spesies yang monotipik dan tidak ada kerabatnya di antara Megapodidae yang lain. burung maleonya dari bawah sana ke arah kemari ya tempat bertelur disini terus sampai di atas sana oke biasa sahabat untuk memburu telur maleo ini disini tempat bertelurnya burung maleo bisa ditunjukkan pak iwan disini untuk bertelurnya burung maleo ini ada sedikit kira-kira ini sudah berapa hari atau bagaimana Kalau saya ini yang kemarin punya ini. Kemarin berarti kemarin sempat ada ini ya aktivitas maleo di sini? Kalau di daerah sini Pak Iwan itu biasa lihat sekitar berapa pasang kira-kira? Sepuluh pasangan. Sepuluh pasang. Pandangan Pak Iwan kayaknya di sekitar sini nggak ada ya? Kalau dengan situasi seperti ini memang tidak ada. Memang ternyata sangat sulit ya menemukan maleo. Ketika saya turun dari rumah, harapannya adalah saya bisa melihat secara langsung di lapangan, di spot yang ditunjukkan oleh Bang Iwan tadi itu, tapi kemudian sampai di sana kita tidak menemukan apa-apa, tentu ada kekecewaan yang besar di sana. Karena campur aduk, kecewa iya, sedih pun iya karena sebagai masyarakat adat yang paham betul bahwa Malio ini punya tempat tersendiri di adat Batui. Tetapi hari ini harus kita akui bahwa memang untuk menemukan Malio itu di habitat aslinya di alam liar itu memang ternyata tidak semudah membalikan telapak tangan dan itu memang sangat susah. Tapi saya masih punya sedikit harapan. Sedikit harapan saya adalah saya bisa menemukan di salah satu center point terbesar dari partnership ground yang ada di Kecamatan Batui dalam hal ini, Suwaka Marga Satwa, Hutan Lindung, Bakiriang. Saya belum langsung menuju ke Suwaka Marga Satwanya. Saya harus langsung dulu menemui Pak Jaling sebagai jurukunci. daripada hutan lindung Suwaka Margasatwa, Bakiriang. Ada satu statement sederhana dari beliau yang menggunggah saya secara emosional sebagai pemuda adat di mana memang beliau mengakui secara tegas populasi maleo yang ada di nesting ground di Suwaka Margasatwa, hutan Bakiriang memang ternyata mengalami penurunan yang sangat drastis. Mantannya burung maleo itu banyak. Di udara ada orang, di atas tanah begini ada ular, ada diawa. Tapi tidak habis itu burung melewati. Manusia yang paling ketat betul, manusia. Berjalan ke hutan linusua kamarga Satobakir yang ini didampingi oleh anak beliau Pak Sudin. Tantangan pertama yang saya hadapi memang ternyata adalah medan yang super sulit untuk dilewati. Karena memang saya harus melatih medan pasir lebih awal, karena itu memang berada di pesisir pantai. Ada jembatan penghubung yang sudah hampir tidak layak lagi, tidak layak untuk dilintasi. Jalannya juga sudah agak susah untuk dilihat karena memang dari model jalan yang kita lalui, saya meyakini bahwa jalan ini memang sudah jarang dilalui oleh orang. Kalau disini biasanya turun sepanjang Pak Sudin pernah disini, yang pernah Pak Sudin lihat, dia berapa pasang? Yang paling banyak lah, paling maksimal. Paling maksimal itu 4 pasang. Karena malio ini termasuk daripada hewan yang pemalu, itu minimal kita harus melakukan pengintaian dari jarak jauh. Itu memang disana sudah disediakan beberapa pelindung yang terbuat dari seng. Harapannya adalah mudah-mudahan di dalam beberapa menit atau beberapa jam ke depan kita bisa menyaksikan dengan pandangan langsung berharap ada satu atau dua paling tidak maliwa yang bisa turun untuk bisa kita abadikan momennya. Setelah berjam-jam, kita melakukan pengintaian dari balik semak-semak pun, itu ternyata tidak ada sama sekali tanda-tanda bahwa burung itu, burung maleo itu datang atau beraktivitas di habitat yang ditunjukkan, di nesting ground itu sendiri. Baik itu secara nampak atau hanya sekedar suara pun itu hampir tidak terdengar. Yang ada memang hanya tumpukan pasir dan itu sama sekali tidak ada tanda-tanda. Tentu ada kekecewaan, tentu kekecewaannya sangat mewakili dari kekecewaan masyarakat adat Batuwi karena memang maleo ini tidak hanya sekedar hewan endemik tetapi maleo itu jauh dalam pengertian kita itu sebagai ruh dan model daripada adat dan kebudayaan kita di Batuwi tentunya dengan tidak mampu menyaksikan hari ini adalah ada sedikit kekecewaan Kalau persalahan puna itu saya kira tidak. Cuma persoalan yang kami alami di sini ini habitat yang tidak ada. Maleo itu adalah, kalau bahasa Batu itu manuk, manuk mamua. Artinya manuk mamua itu adalah sama dengan ayam peliharaan. Kalau seandainya dia puna sejak peratus tahun kemarin itu sudah puna. Sudah dari tahun 70-an ini. Itu sudah hutan bakir yang itu sudah dipegang oleh pemerintah. Sudah beralih dari adat ke pemerintah. Jadi sehingga ketika tiba saat musim tumpih, pengumpulan telur ini, biasa dari kepala desa itu kampung pergi minta waktu untuk mau gali. Kalau kemarin itu kalau sudah satu minggu. Itu sampai 500 butir. Yang langka kita, tapi tetap kita bawa sekalipun hanya berapa butir. Karena kita mengingat adalah amanah ini. Dalam hukum Islam, kan kalau amanah itu kita tidak laksanakan, baru kita sudah punya. Ketika sudah ada transmigrasi, tambah lagi dengan sawit yang ada di sini, sudah tidak lagi bagian. Itu kan suaka margasatwa, jelas-jelas disitu area perlindungan, tapi malah diberikan konsesi sawit. Meskipun konsesi sawitnya bukan dalam suaka alam margasatwa, tapi pemerintah daerah tahu sebenarnya ada sawitnya KLS disana. Tapi yang anehnya penegakan hukum sangat lemah terkait dengan itu. Karena rata-rata juga banyak transmigrasi, jual-beli lahan itu tidak bisa dikontrol. Sehingga proses dari 2007 sampai sekarang ini orang jual-beli itu sudah pokoknya hanya modal SKPT. Nah faktor-faktor itu yang mempengaruhi diferentiasi atau alih fungsi lahan alam pangkiri yang ini. Kita sudah sama-sama baik, kita melulu untuk mahu. Tapi saya tidak bisa dikasih keluar tanpa penyelesaian. Karena saya sudah hidup dari 2 tahun sampai sini. Jadi buktinya sekarang yang saya tunggu. Penyelesaian apa yang bisa kita lakukan? 2004 itu sudah mulai penanaman, pengusuran langsung penanaman. Dari kesebelah dulu baru kemari. Janjinya untuk dipelasmakan, itu yang memang saya harapkan. Saya tidak mau menjual, apalagi ini hutan lindung, saya takut. Tidak ada 40-60 itu tidak ada, bahwa palasma tidak ada. Pokoknya habis. Sapurata, sudah digusur ke sebelah koala, sagu sudah digusur, sawanya orang juga sudah digusur, tapi pembicaraannya tidak tahu. Usir ke sekaluar dengan secara paksa, kalau ke sekaluar dilempar-lempar, pokoknya semua ini apa-apa semua. Barang-barang artinya kita orang punya peralatan rumah, semua dihabiskan, baru diusir. Dan upamanya saya di sini bertahan atau mengambil, itu urusan polisi terus. Ya, yang menjadi harapanku ini, perjuanganku ini, tetap saya perjuangkan karena ini benar-benar hak milik kami. Dari leluhur orang tua kami, jadi sampai mati saya untuk keluar, tidak. Skema menurut aturan itu ada ruang untuk kawasan, tapi sesuai peruntukannya ya kan? Sekarang ini skema mempertahankan kawasan konservasi itu tidak strik lagi. Kita mengakomodir perkembangan peradaban kan? Contoh populasi manusia itu kan saya pikir berkembang ya, tetapi paling tidak mempertahankan fungsi mas. Jadi tidak lagi bicara luasan tuh fungsinya. Tetapi... Nanti itu kan ukuran-ukurannya itu kita akan melibatkan ahli-ahli ya Masukan dari masyarakat, NGO Kemudian kita melihat rujukan aturan yang tersedia itu bagaimana mengharmonisasinya Setelah melihat situasi di nesting ground hutan lindung Bakiriang dan ternyata penantian tadi yang berjam-jam tidak membuahkan hasil, maka saya harus bisa terhubung ke beberapa orang yang punya kompetensi untuk dimintai keterangan sesuai dengan basic ilmuwan tentang kondisi sebenarnya daripada maleo itu di alam liar seperti apa, supaya kemudian saya bisa sampai pada kesimpulan yang tepat tentang maleo itu sendiri seperti apa. Mungkin saya mau spesifik bertanya tentang hutan pelindung dalam hal ini Bakiriang yang hampir sampai hari ini menjadi polemik. Bagaimana kami menerima informasi sejarah dimana dulu itu di Bakiriang itu sangat... Banyak maleo yang bisa berturut-turut di sana, yang hari ini justru itu menjadi pemandangan paling langka. Bakir Yang itu memang tadinya harapannya sangat besar, karena Bakir Yang itu adalah kawasan pelindungan. Jadi saya ingat... Ingat tahun 1979 itu dilaporkan ahli konservasi namanya Dick Watling bahwa ada 200 ekor sekaligus di Bakiriang. Dan itulah yang saya saksikan ketika saya berkunjung tahun 1991. Tapi sekarang mungkin bisa dihitung dengan tangan hanya ada berapa pasang di Bakiriang. Perbuluan telur itu juga menjadi salah satu ancaman sangat besar di samping yang deforestasi. akibat transmigrasi dan akibat dari investasi perkebunan. Dan untuk yang perlu dilakukan itu perlu konservasi habitat malio, yaitu di hutan. Perlu melakukan konservasi tempat malio itu bertelur. Seringkali jarak antara hutan habitat mereka dengan tempat bertelur itu jauh, bisa berkilometer-kilometer. Sehingga antara keduanya itu perlu dilakukan pelindungan yang kita kenal sebagai... sebagai pelindungan koridor habitat. Dengan situasi Pak Kirian, kalau tidak diambil langkah punah tidak kira-kira apa? Kalau tidak diambil langkah, tentu secara alami tidak sampai 30 tahun itu akan punah. Untuk menjawab ya dan sekaligus menuntaskan rasa penasaran saya terkait bagaimana saya bisa melihat maleo di habitat aslinya di alam liar, maka masih ada satu pilihan terakhir buat saya, yaitu saya mengunjungi salah satu konservasi KEE di desa Taimah, kecamatan Bualemo, yang memang spesialis dalam penangkaran atau konservasi daripada burung maleo itu sendiri. Sesampainya saya di lokasi, saya mungkin sedikit bisa tersenyum. Karena Alhamdulillah ya saya bisa melihat langsung maleo. Menarik sekali momentum yang tidak boleh saya lewatkan tentunya karena memang yang saya tunggu-tunggu dari beberapa hari semenjak saya berusaha untuk mencari maleo itu di habitat aslinya. Biar tidak ketemu di beberapa titik daripada nesting ground. Akhirnya mata saya bisa langsung bersentuhan langsung dengan burung maleo. Setelah melihat secara langsung bagaimana kembali konservasi institut ini ternyata cukup berhasil dalam menjaga populasi Malewa dari kepunahan. Nah, sisi yang paling ironis adalah ketika Batui menyebut Malewa sebagai maskot. tetapi memang sangat kesulitan untuk menemukan di alam liar. Tentu sebuah wacana yang sangat berbeda, bagaimana kemudian di daerah lain Malewa berkembang dengan cukup baik, tetapi di Suwaka Markasatwa Bakiri yang khususnya, yang menjadi awal daripada tempat konservasi Malewa itu sendiri, justru hampir mustahil kita menemukannya dengan secara pandangan mata, dan ini tentu pembangunan yang sangat ironi bagi kita semua. Bagaimana kita punya koordinasi antara batui sebagai pengguna dan penerima amanah Bengkai. Di sana ini bagaimana kalau kita mau duduk bersama, untuk tidak usah lagi terlalu banyak dulu dibawa ke sana. Mungkin hanya sekian-sekian saja baru dia, dan sisanya itu kita tanggarkan supaya dia bisa berkembang. Saya sangat berharap sebenarnya bahwa Malio ini tetap lestari. Bahwa Malio ini kemudian tidak sampai pada kata punah. Karena punahnya Malio itu sama artinya dengan punahnya adat di Batu Ibu.