Transcript for:
Menjadi Penulis yang Produktif dan Kreatif

Hai bagaimana menjadi seorang penulis yang produk kita Yang pertama, kita memang harus menjadikan aktivitas menulis itu sebagai hobi. Jadi kita punya rasa senang. Yang kedua, kita harus selalu berlatih. Harus berlatih. Yang ketiga, kita harus selalu mengembangkan diri dengan membaca karya-karya orang lain. Last but not least, terakhir itu kita harus menguasai bahasa Inggris. Kenapa? Karena pengetahuan itu banyak yang tertulis dalam bahasa Inggris. Sehingga kalau kita menguasai bahasa Inggris, berarti kita bisa meningkatkan pengetahuan kita. Jadi literasi kita itu semakin terbuka. Terima kasih. Terima kasih telah menonton Terima kasih. Intro Bagaimana menjadi seorang penulis yang produktif? Yang pertama, kita memang harus menjadikan aktivitas menulis itu sebagai hobi. Jadi kita punya rasa senang. Yang kedua, kita harus selalu berlatih. Harus berlatih. Yang ketiga, kita harus selalu mengembangkan diri dengan membaca karya-karya orang lain. Last but not least, terakhir itu kita harus menguasai bahasa Inggris. Kenapa? Karena pengetahuan itu banyak yang tertulis dalam bahasa Inggris. Sehingga kalau kita menguasai bahasa Inggris, berarti kita bisa meningkatkan pengetahuan kita. Jadi literasi kita itu semakin terbuka. Hai baik Bapak Ibu dan seluruh peserta acara akan segera dimulai yang terhormat kepala kantor pengelolaan perpustakaan Universitas Pajajaran Ibu dokter utuh yang kami hormati yang kami hormati yang kami hormati Ibu Rema Karyanti Sunandar Seraku, Direktur Penerbit Simbiosa. Yang kami hormati, Dr. Sri Sety Indriani, SIP MSI. Serta hadirin yang berbahagia. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Shalom, Om Swastiastu. Namo Buddhaya, salam kebajikan. Salam sejahtera untuk kita semua. Mari kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmatnya kita semua bisa hadir pada acara hari ini yakni Knowledge Sharing Scholarly Communication seri kedua, Teori-Teori Komunikasi Aplikasi Praktis Selasa 19 November 2024, di mana acara ini merupakan kerjasama antara Kantor Pusat Pengelolaan Perpustakaan dengan Penerbit Sintiosa. Baik, Bapak Ibu, sebelum kita masuk ke acara inti, akan ada pengaparan laporan dan juga sambutan. Yang pertama, kita akan mendengarkan laporan dari Kepala Pusat Pengelolaan Pengetahuan Periode 2020-2024 kepada Ibu DRA Wina Erwina MAPHD. Silakan. Baik, terima kasih. Terima kasih. Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Waalaikumsalam. Selamat bergabung Ibu Bapak semuanya dalam kegiatan hari ini. Pertama-tama saya ucapkan kepada Ibu Dr. Udalis Khodijan Esos MSI yang sekarang menjadi Kepala Kantor Pengelolaan Perpustakaan. Kemudian Prof. Haji Dedy Mulyana MA, PhD sebagai narasumber pada hari ini. Selanjutnya Ibu Dr. Randa Rema Karyanti Sunandar, dia adalah Direktur Pendidik Simbiosa dan Ibu Dr. Sri Seti Andriani SIP MSI selaku moderator pada kegiatan ini. Kegiatan knowledge sharing ini adalah kegiatan kedua yang diadakan dimulai oleh pusat pengelolaan pengetahuan dengan komitmen keinginan untuk berbagi pengetahuan yang dimiliki oleh guru besar-guru besar kami di Universitas Panjajaran guru besar salah satu kewajibannya adalah membuat tulisan atau buku ya, Prof. Deddy dan oleh karena itu pemikiran guru besar-guru besar yang kami miliki di Universitas Panjajaran kami tuangkan dalam perjalanan ini semoga tulisannya, ilmunya bisa benar-benar di-sharing pada siapapun yang membutuhkan ilmuwan yang sudah tercapai. Ini adalah dasar dari kegiatan ini, karena memang waktu itu kami memiliki tugas dalam penyimpanan pengetahuan di Pusat Pengelolaan Pengetahuan. Dan mulai hari kemarin, Pusat Pengelolaan Pengetahuan berubah nama menjadi Kantor Pengelolaan Perpustakaan, dipimpin langsung oleh... Dr. Udhra Kodija yang tentunya nanti akan hadir dengan berbagai kajian ataupun kesempatan lainnya yang tentunya disiapkan untuk semua. Ada pun yang hadir hari ini sudah 165. Kami sebar undangan ke berbagai perguruan tinggi yang memiliki poli komunikasi khususnya. Juga ada mahasiswa, mahasiswi. Dari mulai program S1, S2, S3 yang akan bergabung di sini. Siapa yang tidak tahu beliau, guru besar kita, Pak Prof. Deddy Mulyana, yang produktif selalu menghasilkan karya-karyanya. Oleh karena itu, kami berterima kasih untuk semua yang sudah bergabung. Walaupun karena acaranya sifatnya offline, jadi tidak bisa bertatap muka langsung begitu ya. Tadi pagi kita mengobrol bahwa siapapun yang berminat untuk memiliki karya beliau, beliau janji akan menandatangani dalam diaprop ya. Mudah-mudahan menjadi semangat semuanya. Saya tidak akan berpanjang lebar, akan dilanjutkan berikutnya. Mohon kesediaan Ibu Ute untuk memberikan sambutan. Wabila hitafuq wa hidayah. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. silakan teknopat baik, sambutan selanjutnya akan ada dari kepala kantor pengelolaan perpustakaan kepada Ibu Dr. Utelis Sitihodija SOS MSI, disilakan terima kasih Bismillahirrahmanirrahim apakah surahnya sudah terdengar? sudah ada ya? Assalamualaikum Wr. Wb Yang terhormat Prof. Deddy Mulyana PhD yang saya banggakan. Ini dosen kesayangan saya, ini Prof. Deddy. Walaupun kita beda ruangan, tapi saya merasa Prof. Deddy ada di sini. Menulis buku yang terkenal, karya-karya fenomenal yang akan kita simak hari ini. Kemudian Ibu Wina Erwina PhD, Kepala Pusat Pengelolaan Pengetahuan 2020-2024. Terima kasih Ibu atas acaranya yang selalu mencerahkan. dan berbagi pengetahuan Ibu Rema Karyati dari Direktur Sibiosa kemudian rekan saya yang paling kompak ini ada Miss Indri saya menyebutnya Ibu Sriseti itu Miss Indri karena di Vkom itu selalu disebutkannya Miss Indri. Para tamu undangan rekan-rekan akademisi serta seluruh mahasiswa yang ada pada acara ini terima kasih kemudian puji syukur dan atas kita kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena rahmat dan karunia dapat berkumpul di sini pada kesempatan ini dalam acara knowledge sharing yaitu untuk mengungkapkan bagaimana teori-teori komunikasi dalam aplikasi praktis yang tentunya akan diungkapkan semua oleh Prof. Deddy. Terima kasih juga saya ucapkan kepada pihak yang telah mendukung acara ini mulai dari Bu Wina Erwina tentunya yang sudah menginisiasi acara ini para pustakawan juga pengelola perusahaan di Universitas Bajajaran, juga kepada peserta yang sudah hadir di sini. Hadirnya karya ini merupakan sumbangan besar dalam dunia ilmu komunikasi dan masyarakat khususnya. Tentu kita sudah tidak, ya seorang Prof. Deddy ya, itu begitu terkenalnya. Jadi kalau saya pergi ke mana-mana, Prof. Dinsalam, ya untuk Prof. Deddy itu tuh dari Sabang sampai Merauke pasti Prof. Deddy lah yang selalu ditanya kalau kita menunjukkan bahwa kita dosen VKOM gitu ya Prof ya. Alhamdulillah, jadi saya juga terkenal nih Prof dengan adanya Prof. Deddy kalau kemana-mana. Acara Knowledge Sharing ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif pada kita semua tentang isi dan pesan yang disampaikan oleh Prof. Deddy. Kami berharap diskusi ini menjadi ajang untuk memperdaya mawasan. berbagi pemikiran serta menjadi inspirasi bagi kita semua dalam berkarya. Seperti tadi Prof. Deddy sampaikan, harus rajin untuk latihan katanya Prof. Nah itu yang rajin untuk latihan itu yang agak susah. Jadi mudah-mudahan dengan adanya acara ini kita bisa mendengarkan bagaimana kiat-kiat dalam menulis buku juga bagaimana kita mengembangkan ilmu melalui sebuah karya. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas karyawan Prof. Deddy, Ibu Wina Erwina, Ibu Rema, Miss Indri dan semua peserta. Semoga acara ini bermanfaat untuk kita semua dan menginspirasi kita untuk terus belajar dan berkembang. Selamat mengikuti acara ini. Semoga diskusi ini berjalan lancar dan akan menjadi ide-ide bermanfaat. Terima kasih. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih banyak Ibu atas sambutannya. Selanjutnya kita akan mendengarkan sambutan dari Direktur Penerbit Simbiosa kepada Ibu DRA Rima Karyanti Sunandar. Disilakan. Terima kasih Ibu MC. Suara saya bisa didengar dengan baik? Bisa. Oke, yang terhormat Prof. Deddy Mulyana, MAPHD. Yang saya hormati Ibu Dravina Erwina, MAPHD. Yang saya hormati Dr. Ute Lis Siti Hadija, SOS MSE. Yang saya banggakan hadirin peserta acara ini. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah saya bersyukur sekali hari ini bisa bergabung bersama-sama dengan Bapak Ibu sekalian. Secara yang sangat menarik ya. Knowledge sharing scholarly communication seri kedua. Ini kalau saya lihat namanya jadi khusus untuk komunikasi ya. Mudah-mudahan tidak. Dan saya sangat bersyukur karena acara ini memang membedah buku para guru besar, tahun 4 gitu ya. Alhamdulillah hari ini yang dibedah adalah buku dari penulis simbiosa Prof. Deddy Mulyana. Sedikit saya bicara memperkenalkan simbiosa. Jadi simbiosa ini adalah penerbit yang saya didikan pada 2003. yang core penerbitannya adalah dalam bidang komunikasi dan dakwah, karena dakwah sekarang, kemudian pendidikan, manajemen, dan buku umum. Jadi buku Pak Deddy ini sebenarnya adalah buku kedua beliau yang terbit di Simbiosa. Buku pertama beliau itu terbit 2008, jadi sudah sangat lama ya. 16 tahun yang lalu beliau menerbitkan buku. Walaupun sebenarnya saya kenal beliau sudah sejak lama. Saya adalah mahasiswa komunikasi angkatan 81-4. Kemudian saya berkenalan dengan beliau itu tahun 83-84. Beliau juga menulis di Peter Maja Rosda Karya, atau dikenal Rosda. Sekarang pada saat saya... bekerja di perusahaan keluarga saya. Jadi ketika beliau datang lagi, ketemu lagi pada lebaran Idul Fitri, itu beliau datang ke kantor, lalu kami ngobrol-ngobrol, dan beliau menawarkan naskah. Itu bulan April ya. Naskah itu saya sambut dengan semangat, dengan energi yang luar biasa, karena saya kira... Saya pikir ini bisa meningkatkan peneditan buku-buku komunikasi di tim BIOSA. Saya sendiri langsung turun untuk mengeditnya, dan dua bulan kami melakukan diskusi yang luar biasa, sambil saya juga jadi kuliah umum ya, karena diskusinya bisa lewat handphone, bisa lewat beliau datang sendiri ke kantor. Dan Alhamdulillah ini hanya dalam 2 bulan saya bisa menerbitkan buku ini. Dan Alhamdulillah insya Allah minggu ini kami akan cepat ulang untuk cepakan kedua. Alhamdulillah ya Prof. Terima kasih. Berserah berarti ya. Berserah ya. Penerbit lebih tahu. 5 bulan Prof. Dari Juni sampai sekarang 5 bulan ini rekor baru untuk di... simbiosa. Alhamdulillah, terima kasih kepada Prof. Deddy yang sudah bersedia menerbitkan buku kembali di simbiosa. Luar biasa pengalaman saya dengan Pak Deddy ini sejak zaman saya kuliah, kemudian sempat off sebentar, jeda beberapa tahun karena saya sudah tidak di Rosda, dan mulai lagi berhubungan tahun 2008. Terakhir 2024 dan Prof. Deddy memberikan naskah yang luar biasa, memberikan energi baru untuk simbiosa. Saya juga mengimbau kepada Bapak dan Ibu dosen yang hadir di sini, mari bergabung bersama penelit simbiosa. Insya Allah ada beberapa cara yang bisa kita kerjasamakan, termasuk tadi juga saya sudah. Nagih nih ke Bu Wina. Karena siap ketemu Bu Wina ini pasti yang ditanya adalah gimana gitu ya. Insya Allah ya Bu ya, nanti setelah acara ini mungkin kita bisa bekerja sama lagi. Ibu, mungkin sekarang nanti kegiatannya akan lebih ringan, jadi bisa menulis buku ya Bu ya. Oke, mungkin itu yang bisa saya sampaikan. Sekali lagi terima kasih kepada Panitia yang telah mengundang simbiosa untuk bekerja sama. Juga kepada Prof. Deddy yang luar biasa semangatnya untuk menulis buku sampai turun sendiri. Pak Deddy ini all out ya kalau meneditkan buku. Ngedit langsung ikut nongkrong di kantor untuk mengoreksi naskah. Jadi semangat seperti ini mungkin yang perlu ditiru oleh para calon penulis di Simbiosa. Terima kasih. Mudah-mudahan buku ini, acara ini memberi manfaat bagi semua. juga memberi manfaat bagi simbiosa. Seperti tadi saya katakan, pada dikatakan bahwa Kalau ada pesanan buku-buku setelah hari ini, itu bisa ditandatangani. Kami akan sediakan buku-buku yang sudah ditandatangani. Tapi kalau misalnya jumlahnya ada sampai 100, mungkin harus menunggu minggu depannya, karena bukunya sudah ketepak ulang. Begitu, terima kasih. Semoga acaranya bermanfaat. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Waalaikumsalam. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih banyak, Ibu. untuk kesambutannya. Baik Bapak Ibu sebelum kita masuk ke acara inti kita akan melakukan sesi foto bersama terlebih dahulu untuk itu mangga kepada Bapak Ibu peserta untuk dibuka kameranya, dinyalakan kameranya supaya kita terdokumentasikan di acara pagi hari ini saya akan memimpin untuk Foto bersama, di sini ada beberapa slide, saya akan memimpin 3 slide. Untuk slide selanjutnya bisa di capture oleh Panitia. Untuk slide pertama, 1, 2, 3. Untuk slide kedua, 1, 2, 3. Untuk slide ketiga, 1, 2, 3. Baik, terima kasih banyak Bapak Ibu untuk slide-slide selanjutnya boleh di-capture oleh Panitia. Baik, untuk sekedar informasi dan untuk membuat kita lebih semangat pada acara pagi hari ini, saya akan memberikan informasi bahwa nanti akan ada door prize, buku-buku dari tim... Prof. Deddy, tim penulis dan juga penerbit simbiosa, juga dari tim kandaga yang akan dibagikan kepada para peserta. Nanti akan ada G-Form untuk diisi karena nanti akan diundi. Selain itu juga akan diberikan hadiah kepada tiga penanya terbaik. Jadi jangan lupa disimak acaranya supaya bisa mendapatkan darprice-nya. Untuk lebih menambah semangat, saya akan... akan membacakan beberapa judul buku yang akan diberikan. Ada mengenai teori-teori komunikasi, teori-teori new media, transformasi dan model bisnis digital, komunikasi pariwisata, komunikasi gender, communication technology and society, the power of silaturahmi, humanisme silaturahmi menembus batas, berkarya dan peduli sosial gaya generasi milenial. Luar biasa sekali dari judul bukunya saja sudah sangat menarik untuk dibaca. Tanpa berlama-lama kita akan memasuki ke acara inti. Dan pemaparan ini akan dipimpin oleh seorang moderator. Baik kepada panitia boleh dibantu untuk di-share CV-nya. Baik beliau memiliki... bidang kajian di literasi media and film, film sadis, interkultural communication, dan health and risk communication. Beliau juga menempuh pendidikan di Universitas Katolik Parahyangan dan lulus pada tahun 2003. Beliau lulus master degree pada tahun 2009 di Universitas Pejajaran. Beliau juga lulus doktor di Universitas Pejajaran pada tahun 2018. Salah satu publikasi terkini beliau yaitu mengenai... Communication Patterns of Indonesian Diaspora Women in Their Mixed Culture yang terbit di Journal of International Migration and Integration pada tahun 2021. Mari langsung saja kita sambut. Ini dia Ibu Dr. Sri Seti Indriani SIP MFI. Disilakan Ibu. Ya, halo. Alhamdulillahirrahmanirrahim. Terima kasih ya Mbak. selamat pagi Prof Dedy selamat pagi juga ke Ibu Dr. Naswina Erwina PhD Ibu Dr. Ute teman saya yang sudah naik jawabannya saya sebenarnya ikut bangga dan bersyukur bisa ikut terlibat dalam acara hari ini perkenalkan saya lagi saya sebagai mandirata hari ini biasa memang dipanggil Miss Indri oleh mahasiswa-mahasiswa di sini entah kenapa ya dari sejak awal sudah dipanggil Miss Indri sampai semuanya juga dipanggil Miss Indri oke Saya akan menyapa dulu ke semua pemirsa yang di sini dari Sabang sampai Marukaya. Halo para pemirsa, Assalamualaikum, selamat pagi. Selamat datang di acara Knowledge Sharing, Colory Communication seri kedua, Teori-teori komunikasi, aplikasi praktis yang telah kita nantikan bersama-sama. Nah, dalam acara hari ini kita akan membedah dan berdiskusi bersama mengenai teori komunikasi-optikasi praktis, buku yang dipulis oleh salah satu penulisan saya yang sangat saya hormati sekali, yaitu Prof. Deddy, Uliana, MA, PhD. Buku ini unik ya, unik banget dan berbeda banget dengan buku-buku sejenisnya. Sepertinya kayak gaya penulisannya aja udah seperti pada buku-buku Prof. Deddy yang selalu ada itu selalu... mengalir dan mudah banget di kena biasanya tuh ya kalau kita melihat buku-buku teritu kan mungkin aduh teori lagi nih gitu ya tapi kalau buku ini itu membuat kita tuh justru atau banyak mikir karena langsung ke poin langsung ke kasus langsung aplikasikan dengan kasus-kasus yang seperti ini sehingga mudah banget untuk dipahami jika kita melihat daftar isi dari buku ini juga Jadi penasaran gitu ya judulnya. Contohnya nih yang saya mau baca nih. Contohnya kayak sadar dan masker. Atau misalnya teori penjulutan dan odigin. Odi, geje. Terus ada pubertas politik akteria dan helan. So the title itself makes us really curious gitu. Soalnya gak seperti biasa pada umumnya sebuah teori. Buku-buku teori gitu. Pemirsa di sini semua tampak sangat bersemangat untuk menggali lebih dalam tentang isi buku ini, karena saya menggunakan sebuah quote, A writer only begins a book, but a reader will finish it. Namun sebelumnya kita mulai, saya akan bacakan sedikit mengenai si dari penulis kami, Prof. Deddy Mulyana. Prof. Deddy ini merupakan guru besar dan dekan ke-9 dari Fikom 4. Dan sudah sering banget, banyak banget menjadi dosen tamu di berbagai tempat secara nasional maupun di secara internasional termasuk di Northern Ionist University, Leiden University, Monash, dan lainnya. Kau juga telah menghasilkan lebih dari 50 buku, 80 lebih dari 80 artikel ini ya, dan 500 tulisan di media masa. Beliau aktif dalam berbagai konferensi, sebagai keynote speaker, dan telah memperoleh berbagai penghargaan di tingkat nasional maupun internasional. Termaksud beliau juga adalah mendapatkan award, salah satunya adalah inspirational award dari pemerintahan Australia. Maka dengan ini saya mau nyapain ke Prof. Halo, apa kabar Prof? Sehat Prof? Terima kasih. Sehat Miss Indri. Oh, saya jadi ikutan Miss Indri. Ya, nggak apa-apa Prof. Siap Prof untuk membedah buku hari ini Prof Ya gimana Siap Prof untuk membedah hari ini Membedah buku ya oke Mungkin Kita bikinnya Ala-ala talk show sedikit ya Prof Tapi Prof udah nyiapin slide belum Udah dong Ada filmnya jadi jangan Supaya tidak Pokoknya kita lentur aja fleksibel ya Nggak usah terlalu serius Dan juga peserta boleh kok kalau mau motong di tengah-tengah ya. Biasanya kalau saya udah ngomong tuh suka kemalinaan orang-orang. Keasikan, prof. Di potongannya dulu, gak apa-apa. Ingatkan saya kalau nanti waktunya lamaan ya. Oke, mangga prof dari prof. Without further ado, the time is yours prof untuk memaparkan slide yang sudah prof siapkan. Terima kasih Miss Indri ya. Baik, saya sapa dulu ya. Ibu Wina Erwina, PhD, Kepala Perpustakaan yang baru selesai. Kemudian yang digantikan oleh Ibu Dr. Ute Mis Hadijah. Selamat pagi, Assalamualaikum. Juga Ibu Dr. Rana Rema Karyanti, Direktur Simbiosa. Tentu Miss Indri sendiri. Dan mungkin ada teman-teman dosen, saya kira di VKOM atau dimanapun, para mahasiswa saya, baik di UNPAD ataupun dimanapun. Senang sekali kita bisa ketemu dalam... forum daring ini. Baik, betul tadi ya, kalau kita bicara teori itu belum apa-apa sudah membuat kepala ini jadi pusing gitu ya. Teori, metode, padahal sebenarnya sesuatu yang Rumit itu bisa dipermudah, tapi itu butuh semacam kompetensi atau keterampilan untuk menulis. Jadi tulisan yang berkualitas itu bukan tulisan yang susah untuk dipahami dengan bahasa yang rumit, kata-kata asing, dan lain sebagainya. Bagaimana sesuatu yang rumit itu bisa dipahami dengan mudah. Ini intinya. Dan sekali lagi, ini membutuhkan semacam pengalaman, jam terbang. kreativitas. Dan itu yang coba saya lakukan. Dan sejak dulu mungkin teman-teman dosen mahasiswa tahu bagaimana cara menulis saya. Mungkin salah satu yang fenomenal itu misalnya buku ilmu komunikasi suatu pengantar yang kalau tidak salah sudah mencapai cetakan ke-24. Itu gayanya gaya mengalir saja, kayak ngobrol sehari-hari bukan sesuatu yang bersifat kaku. terlalu ilmiah, dan lain sebagainya. Meskipun di sana juga penuh dengan rujukan atau referensi. Buku teori-teori komunikasi yang saya tulis itu berbeda dengan yang mungkin ditulis oleh teman-teman dosen sebelumnya. Juga barangkali yang ditulis oleh para pakar barat yang saya kira menulis sedemikian rupa runtut bagus, tapi ketika saya berpikir untuk menulis buku ini, apa yang harus saya lakukan? Salah satu, Strateginya adalah sebagaimana yang saya kira juga dianut oleh para pemasar atau marketer yang biasa mempromosikan produk atau jasa, memang harus ada yang disebut dengan perbedaan, jadi positioning tertentu. Harus tampil beda dari yang sudah ada. Makanya selain teori-teori yang saya sampaikan dengan cara yang mengalir itu saya masukkan sejumlah kasus. Dan kasus-kasus ini bukan kasus-kasus di luar negeri, internasional, ada tapi sedikit. Kebanyakan itu adalah kasus-kasus yang ada di dalam negeri, termasuk kasus-kasus politik. Bahkan untuk revisi buku ini ke depan, saya sudah mempersiapkan sejumlah kasus yang berasal dari rezim Jokowi dan juga Prabowo. Banyaklah. Tapi kita harus menunggu barangkali meskipun dalam kesempatan ini saya akan ulas juga sebagian. Di sisi saya untuk mulai share screen. Baik, bisa dilihat. Subjudul buku ini adalah aplikasi praktis. Paling tidak ada dua aspek dari kepraktisan buku ini. Pertama adalah Kalau kita bicara teori, sebenarnya bukan sesuatu yang melangit, yang diawang-awang. Teori itu bisa kita gunakan untuk memandu kehidupan kita sehari-hari supaya komunikasi kita itu lebih efektif. Kalau kita menganut prinsip inti teori dari teori fenomenologi misalnya, bahwa makna itu bersifat apa? Makna itu bersifat kontekstual. Tidak bisa digeneralisasikan. makna suatu pesan, baik verbal atau non-verbal, itu bersifat objektif atau kontekstual. Saya memberikan contoh misalnya dalam buku ini bagaimana dulu kata jutawan, itu tampaknya hebat sekali. Jadi ada sebuah cerita, seseorang menjadi jutawan, tapi kok dia menangis? Kenapa dia menangis? Dia sedih. Ya sedilah. Karena sebelumnya dia seorang miliarder. Jadi turun tuh, turun pangkat dari seorang miliarder, bangkrut menjadi seorang jutawan. Jadi dia nangis. Tapi kata miliarder itu dan jutawan sekarang sudah mengalami perubahan makna. Dia seorang jutawan. Orang punya beberapa juta masih termasuk miskin. Maka kata miliarder itu mengalami degradasi makna. Atau dalam fenomenologi Alfred Schultz misalnya dikatakan bahwa makna itu bersifat retrospektif. makna sesuatu itu akan muncul kalau sesuatu itu sudah lewat. Seseorang mungkin sedih menderita ketika menderita COVID-19 sampai dirawat di rumah sakit, hampir mati. Tapi setelah dia sembuh, dia bahkan bersyukur sekali. Jadi maknanya itu jadi positif. Kenapa dia bersyukur? Karena lewat penderitaan itulah dia bertobat dan menjadi orang yang lebih baik, orang yang soleh dan soleha. Jadi makna dalam fenomenologi itu itu sebetulnya merujuk kepada makna yang lebih hakiki. Kemudian aspek kedua kepraktisan teori adalah bahwa Teori bisa digunakan untuk menganalisis berbagai kasus realitas sosial, termasuk realitas komunikasi. Tapi biasanya kalau kita menggunakan istilah teori, seolah-olah teori itu hanya bisa kita terapkan kalau kita ingin menulis skripsi, menulis tesis, atau desertasi, atau monograf, atau artikel di jurnal ilmiah, baik yang dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa Inggris. Tidak juga. Teori-teori itu dapat kita gunakan untuk menganalisis kejadian-kejadian sehari-hari, baik itu dalam dunia politik, budaya, bisnis, pendidikan, dan lain sebagainya. Seperti yang juga saya terapkan dalam menulis buku ini. Misalnya, contohnya, mungkin kita paham, saya kira banyak yang sudah paham teori dramaturgi, bahwa manusia itu berkomunikasi sering. dengan cara menampilkan drama berpura-pura yang disebut dengan panggung depan. Maka kalau kita berhadapan dengan seseorang, katakanlah seorang kandidat politik, dia berjanji, dia ngasih bansos, BLT, apapun, renungkan bahwa dia sangat boleh jadi, sebetulnya dia menampilkan panggung depan. Berjanji kepada kita untuk ngasih duit kepada ketua RT, pokoknya gedung akan dibangun, dll. Itu sekadar janji. Banyak bukti yang menunjukkan sebaliknya. Nanti akan saya lengkapi dengan contoh-contoh lain. Alasan kenapa teori-teori ini perlu dipelajari secara lebih saksama, karena juga saya melihat ketika kita melakukan analisis ini masih terjadi kesalahan-kesalahan yang dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa S1, S2, S3. Bahkan yang sudah lulus S3 sekalipun. Saya belum lama ini menjadi seorang penguji sebuah desertasi di luar UNPAD. Dia menggunakan teori fenomenologi yang mengasumsikan manusia itu aktif, kreatif, dinamis, punya kesadaran. Tapi dia menggunakan istilah komunikator dan komunikan. Ini lucu. Kenapa? Karena istilah komunikator dan komunikan itu merujuk kepada proses komunikasi yang linier, satu arah yang mengasumsikan manusia itu dalam konteks ini halayak. atau komunikan, itu pasif. Dia tidak berdaya, begitu diberi pesan langsung berubah. Tapi rupanya konsep komunikator-komunikan itu saking terkenalnya, masih terus nempel ketika dunia sudah berubah, ketika teori-teori itu sudah berubah. Bukan hanya itu, dalam tataran yang lebih kompleks, saya pernah misalnya memeriksa seorang peneliti menggunakan teori interaksi simbolik yang mengasumsikan manusia itu aktif Kreatif. Tapi pelitiannya kuantitatif. Ini nggak bisa. Karena kalau pelitian itu kuantitatif, apalagi menggunakan statistik, statistik diferensial, asumsinya manusia itu pasif, bisa dikuantifikasikan, bisa diramalkan. Seperti perilaku alam atau perilaku hewan yang diatur oleh hukum-hukum yang bersifat tetap, yang ditandai dengan hubungan sebab dan akibat. Tapi juga bisa sebaliknya. teorinya itu agenda setting, atau uses and gratification, atau teori kultivasi, atau semua teori yang mengasumsikan bahwa halayak itu pasif. Tapi peneliti menggunakan penelitian kualitatif. Jadi terbalik. Ini nggak bisa. Jadi harus ada kesesuaian antara paradigma, teori, metode, dan analis data. Kalau kita persempit, teori dengan metode itu harus harmonis, harus nyambung. Jadi kalau misalnya peneliti itu menggunakan teori yang mengasumsikan manusia itu aktif, kreatif seperti interaksi simbolik, fenomenologi, dramaturgi, jelas dong, metodenya harus kualitatif. Begitu juga sebaliknya. Kalau asumsinya adalah manusia itu pasif, metodenya bisa kuantitatif. Saya sudah sampaikan, dari dulu kita selalu dicekoki dengan konsep bahwa komunikasi itu komunikator, komunikasi linier. Orientasinya pada efek saja. Padahal komunikasi itu sangat rumit, dinamis, dan terikat oleh konteks ruang, waktu, dan budaya. Sehingga perlitian kuantitatif tidak lagi memadai sekarang ini. Tidak lagi memadai. Kalau sudah terikat oleh budaya, apalagi ya, suatu kata, isarat, itu bisa bermakna beda. Misalnya, katakanlah kalau perilaku non-verbal itu berbeda. mengacungkan ibu jari, itu bisa berarti bagus. Tapi di Jepang ini artinya seorang laki-laki. Dan di Jerman, ini bisa berarti satu. Jadi kalau orang Jerman itu memesan satu gelas bir lagi, mereka suka sekali Jerman, cukup ibu jari saja. Kalau di Indonesia, di warung, kita minta satu lagi dengan mengacukan ibu jari, mungkin orang nggak akan ngerti. Apalagi bahasa, jauh lebih rumit. Yang namanya realitas itu kompleks. Seakan sikat saja. Realitas sehari-hari, kehidupan sehari-hari. Nah ini adalah... bahannya untuk penelitian kualitatif yang harus kita angkat, kita reduksi, kita polakan menjadi proposisi, model, tipologi, konstruk derajat kedua, dsb. Ada realitas ilmiah. Ini yang menandai sebetulnya realitas ilmu alam yang ditandai dengan hubungan sebab dan akibat. Yang mutlak tentu ada pada ilmu alam. Kalau benda itu dipanaskan besi sekalipun dia akan memuei, selalu begitu. Air dipanaskan akan mendidih. Tapi manusia nggak selalu begitu. Kita mengucapkan Assalamualaikum, belum tentu dijawab Waalaikumsalam. Dan seterusnya. Banyak sekali. Bahkan melamun, imajinasi, mimpi, kegilaan, kesintingan itu, itu adalah realitas. Kita pikir kalau ada orang makan sampah, itu gila. Tapi buat orang gila, kita mungkin yang sinti. Apakah yang nyata itu kehidupan sekarang, atau alam kubur, atau di akhirat nanti? Semua itu adalah realitas. Dalam fenomenologi semua itu adalah sah. Jadi realitas itu bukan berarti fakta, kenyataan. Makanya realitas itu kalau bisa jangan diartikan sebagai kenyataan, sudah, apa saja. Seolah-olah kalau kenyataan itu berarti fakta, objektif. Jadi dalam hidup ini sebenarnya, kalau kita menggunakan perspektif yang lebih holistik, tidak ada yang namanya fakta, tidak ada yang namanya objektifitas, tidak ada yang namanya kebenaran. Kebenaran itu hanya milik Allah. Kalau ada k-nya k kecil, itu adalah persepsi manusia. Makanya tidak heran, teori itu sendiri sebetulnya yang berasal dari kata teater. Itu sejak awal memang bersifat dramatistik, semacam topeng. Kalau kita mengenakan topeng, itu kan bukan wajah kita yang sebenarnya. Jadi teori itu seperti topeng yang merujuk kepada realitas yang sebenarnya, yang diteorikan, tergantung kepada topengnya. Ada topeng yang mirip dengan wajah yang sebenarnya, ada yang mungkin... jauh berbeda. Sering kita terjebak pada sebuah teori, di waktu S1 juga saya diajarkan seperti ini, mungkin ketika S2, S3 juga kita mendapatkan teori ini, yang sebenarnya menjebak. Kenapa menjebak? Karena teori ini dari Fred Kerlinger, itu didefinisikan sebagai teori yang cocoknya itu untuk ilmu alam, atau untuk ilmu sosial positifis, yang tadi yang ditandai dengan kata komunikator dan komunikan itu, yang orientasinya efek. Disebutkan misalnya, komunikasi adalah seperangkat konstruk atau konsep yang saling berhubungan atau definisi, proposisi yang menyajikan pandangan sistematik atas suatu fenomena dengan menggoreikan hubungan di antara variable-variable. Jadi kata kuncinya variable, variable bebas, variable terikat. Dengan tujuan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tersebut. Untuk ilmu alam kita bisa meramalkan, kita bisa meramalkan kapan nih hari raya Idul Fitri, lebaran, tahun depan, atau 10 tahun lagi, bisa. Kapan gerhana? Bisa. Tapi untuk ilmu sosial, untuk manusia, enggak. Kita enggak yakin apakah kita yang di luar rumah hari ini bisa sampai di rumah dengan selamat. Dulu kita pikir Jokowi itu akan, kita tahu sendirilah, mungkin hebat, presiden yang dulu idealis, merakyat, dan lain sebagainya. Tapi buktinya setelah 10 tahun berkuasa, banyak orang yang kecewa karena sudah jauh berubah daripada yang kita pikirkan dulu. Makanya manusia itu mudah berubah. Mungkin ini adalah definisi yang lebih sesuai dari West dan Turner. Teori adalah suatu sistem abstrak yang menguraikan hubungan konsep-konsep yang membantu kita untuk memahami suatu fenomena. Jadi tidak otomatis berarti hubungan kausal. Satu arah. Bisa jadi hubungan itu bersifat korelasional. Meskipun... korelasional tapi tidak semutlak seperti dalam hubungan kausal. Karena realitas itu dianggap sebagai sebuah sistem seperti tubuh manusia atau seperti mesin mobil yang saling berhubungan, di mana kalau ada satu perubahan pada satu unsur atau satu subsistem akan membuat subsistem atau sistem secara keseluruhan itu berubah. Tapi realitas juga tidak hanya bersifat kausal atau korelasional, tapi juga... bisa bersifat transaksional. Mengasumsikan bahwa para aktor itu memang sangat aktif. Mereka bernegosiasi. Kalau di dunia barat itu rasanya sulit sekali ya, apa yang terjadi di Indonesia. Jokowi menjadi presiden, kemudian putranya yang baru jadi wali kota, juga belum bersetelah bisa menjadi wakil presiden. Itu sulit sekali. Mungkin bisa 100 tahun, 200 tahun sekali kejadian itu bisa terjadi. Tapi bisa terjadi, kenapa? Karena ada transaksi-transaksi yang dibuat oleh manusia. Nanti saya akan sampaikan, misalnya ini bisa ditelah dengan teori groupthink. Ketika kita menelah manusia, termasuk komunikasinya, kita harus bisa membedakan antara perilaku yang disebut behavior dalam bahasa Inggris, ini umum, tapi untuk manusia sebetulnya ada satu bagian dari perilaku yang disebut dengan tindakan, disebut dengan action. Makanya action itu hanya berlaku untuk manusia. Sering disebut dengan apa? Human action. Tidak pernah ada animal action. Tapi kalau behavior... bisa human behavior, bisa animal behavior. Kalau behavior itu ditandai dengan hubungan sebab-akibat yang positifis, seperti perilaku alam, meskipun sebagai metafor, perilaku matahari, besok akan terbit, atau mungkin perilaku hewan. Perilaku hewan itu bisa diramalkan, suara hewan berdasarkan pelitian, seperti apa ketika hewan itu kucing anjing sedang lapar, sedang sakit, sedang bercinta, itu bisa diramalkan seperti apa suaranya, karakter suaranya. Tapi manusia itu sedang marah, dia seolah-olah tidak marah. Kamu marah ya? Enggak, enggak marah, biasa saja. Padahal marah banget. Tapi kalau tindakan manusia, ini jauh lebih kompleks. Susah sekali untuk diramalkan. Bisa berubah dari waktu ke waktu. Bahkan dari ruangan ke ruangan. seorang direktur yang galak di perusahaannya, bisa jadi dia adalah seorang laki-laki atau suami yang takut istri di rumahnya. Makanya yang pertama yang di atas itu, perilaku itu, itu menuntut pelitian positifis, kuantitatif. Yang bawah itu menuntut pelitian yang bersifat kualitatif. Jadi untuk memastikan teori seperti apa yang menuntut, metode seperti apa, salah satu caranya itu dengan... mencoba, dan ini juga dilakukan oleh beberapa pakar, seperti juga yang saya lakukan, mencoba untuk menempatkan teori-teori itu pada sebuah spektrum, sebuah kontinum atau sebuah rentang. Dari yang subjektif, saya menempatkannya ini sebelah kiri, yang subjektif, yang mengasumsikan manusia itu aktif, kreatif, dinamis, bahkan punya kepentingan, punya kehendak, punya agenda, tersembunyi agenda kekuasaan, bisnis. Makanya di sini... tempatkan teori kritis. Jadi tugas penelitian itu untuk membawangkan kepentingan-kepentingan itu. Ekstrim sebalik ini, sebelah kanan, itu adalah teori stimulus response yang mengasumsikan manusia itu pasif. Barangkali Anda masih ingat teori belajar sosial Bandura, atau mungkin percobaan-percobaan klasik dari pelajiman klasik Ivan Favlop yang... meneliti bagaimana anjing itu mengeluarkan ludah ketika diperlihatkan sekerat daging. Tapi ketika anjing yang lapar itu diperdengarkan lonceng, tanpa ada dagingnya, tapi dia dalam keadaan lapar, si liur itu juga menetes. Ini yang ekstrim. Di antara itu, ada teori-teori lainnya. Yang saya bahas dalam buku itu adalah teori dari mulai fenomenologi yang ada sebelah kiri. tapi tidak terlalu ujung, sampai teori sistem dan struktural fungsional yang masing-masing dilengkapi dengan secumlah artikel atau kasus-kasus yang saya bahas tadi, yang saya sebut tadi, yang mayoritas berasal dari kasus-kasus di dalam negeri. Dan semuanya bersifat kualitatif. Salah satu asumsi teori mana yang harus digunakan, kalau kita bicara teori, Sebenarnya tidak ada teori yang benar dan salah, tapi teori yang paling bermanfaat, yang paling praktis. Jadi tidak ada sekali lagi teori yang benar dan yang salah. Tapi teori mana yang bisa menjelaskan sebuah realitas itu sejelas mungkin? Kita bisa membongkar sebuah realitas itu semaksimal mungkin, sampai kelihatan sub-sub aspek-aspek apa saja yang bisa kita lihat dari realitas itu. Dan ini tentu saja berlaku untuk... teori-teori yang diterapkan untuk menganalisis kasus-kasus yang sederhana. Saya akan ambil contoh. Misalnya teori abjeksi Julia Christepa. Ini Bu Rema, ini belum saya masukkan, tapi saya akan masukkan dalam revisi. Saya akan singgung. Mungkin tanpa harus ada artikelnya. Saya akan jelaskan bagaimana teori abjeksi Julia Christepa, teori tentang kejijikan terhadap perempuan, ini bisa kita terapkan misalnya untuk menganalisis film-film horror di Indonesia dari dulu sampai sekarang. Mulai dari beranak dalam kubur, kalau tidak salah, sampai... KKN di Desa Penari yang baru-baru ini. Ini bisa menjelaskan kenapa di Indonesia itu hantu-hantu itu banyak yang berjenis kelamin perempuan dari Nyiroro Kidul, Mak Lampir, Kuntilanak, Susar Ngesot, Sunda Bologna, dsb. Ini sebenarnya untuk menjelaskan bahwa posisi perempuan itu memang rendah di Indonesia. Karena masyarakat Indonesia itu patriarki. Dan nggak usah khawatir, tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara Asia lainnya. Kemudian teori kritis. teori kenikmatan visual atau teori visual pleasure dari Laura Mulvey, ini bisa kita gunakan untuk menganalisis bagaimana sinema, terutama dari Amerika, yang bahkan tidak menuntut adegan sensual, tidak menuntut perempuan yang setengah telanjang, tapi dalam film-film itu, itu selalu dimasukkan sebagai daya tarik. Ini juga sama untuk merendahkan perempuan. Bahkan mohon maaf, dalam acara ratu-ratuan, lomba ratu ini, ratu itu, ratu dunia, Miss World, dan lain sebagainya, kan suka ada syarat-syarat untuk bisa terpilih harus pakai baju bikini. Ini sebenarnya karena para laki-laki sudah terjebak dalam menganut teori kenikmatan visual itu. Kita sedikit saja sebagai selingan. Ini adalah film pengabdi setan yang bisa dianalisis. Saya nggak tahu apakah sudah ada yang menganalisinya atau belum. Sedikit saja. Udah ya, cukup aja. Pokoknya nanti lihat sendiri ya. Saya kira ada di Netflix sekarang ini. Nah, setelah teori kritis, itu adalah teori fenomenologi. Saya sudah jelaskan tadi. Satu kasus lagi, kalau kita bicara mudik, lebaran. Kita bicara mudik, banyak orang yang mudik, dan mudik itu dianggap satu hal yang penting. Tapi ada mudik yang jauh lebih hakiki lagi. Apa? Mudik. Dalam arti meninggalkan dunia ini untuk menghadap Allah SWT. Banyak orang yang mementingkan mudik. Bagus, nggak apa-apa. Ketemu orang tua kampung halaman, menengok makam, leluhur, dan lain sebagainya. Tapi ada mudik yang jauh lebih penting lagi. Apakah kita sudah siap atau belum. Jadi mudik yang lebih hakiki itu adalah ketika kita dipanggil oleh Allah SWT. Mudik yang paling bagus itu atau yang paling... penting kita pikirkan itu adalah ketika saatnya kita harus menghadap Allah SWT. Ada satu metafora yang bagus sekali, bagaimana ikan-ikan salmon itu yang sudah menebar, mertebaran di samudera, mereka bisa mudik ke muara, ke sungai yang melahirkan mereka. Dan mereka itu datang ke sana dengan izin mereka, dan mereka melahirkan, kemudian mereka mati. Jadi kita itu sebenarnya... Tidak beda seperti ikan salmon itu pada akhirnya. Ada yang kedua yang disebut dengan etnometodologi. Etnometodologi ini adalah suatu teori yang mengasumsikan bahwa memang realitas kehidupan itu, termasuk realitas komunikasi itu, itu sangat rentan, sangat ringkih. Tidak ada yang pasti dalam kehidupan ini. Prinsipnya kehidupan begitu cair dan berisiko. Apapun bisa terjadi dalam interaksi sosial. Saya pernah membaca, Menikah, besoknya langsung cerai. Ada yang menikah di Masjidil Haram, berapa bulan kemudian, cerai. Tapi ada yang dijodohkan, tapi akur loh. Sampai punya anak cucu. Bisa terjadi. Para aktor tidak menyadari hal ini. Jadi seolah-olah segala sesuatu itu pasti. Dalam acara-acara, misalnya kalau ada pembicara, kalau ada pembicara yang berpantun, jawaban kita apa? Tahu kan? Setelah pantun, cakep. Itu dikonstruksi ya, seolah-olah jawaban itu harus cakep. Coba sekali-sekali keluar dari itu. Kalau ada yang berbicara atau menyampaikan. Pantun, luar biasa, bagus, hebat. Sama, bong apa kabar? Baik. Padahal mungkin lagi bokeh, lagi sakit, dan lain sebagainya. Mengapa manusia itu berpikir seolah segala sesuatu ini tidak masalah? Karena mereka memiliki kemampuan praktis yang diperlukan untuk menciptakan seolah dunia ini teratur. Dan itu yang menjebak para aktor di pengadilan, sehingga mereka akhirnya... termasuk hakim, itu menghasilkan vonis, seperti yang akan saya sampaikan. Menurut Howard Garfinkel, para juri di pengadilan Amerika itu memutuskan tindakan berdasarkan penafsiran atas apa yang disebut fakta, bukti, opini. Jadi fakta, bukti, atau opini ini sebenarnya bersifat subjektif. Disebut kesalahan apa yang sudah terjadi, apa yang disebut dengan kesaksian, apa yang disebut dengan logis, adil, objektif, tidak memihak. Semua itu omong kosong sebenarnya, hanya kata-kata. Makanya jangan heran kalau ada orang yang melakukan kesalahan membunuh, sama gitu. Gradasinya sama, kesalahannya sama. Tapi kenapa para hakim suka salah, suka berbeda dalam memberikan hukuman di Indonesia? Ada yang membunuh karena disengaja, tapi 10 tahun, ada yang 20 tahun, ada yang seumur hidup. Di kita itu bisa berbeda-beda. Korupsi, koruptor itu rendah. Sementara di Jepang, di Korea itu bisa dihukum. Itu akibatnya di Amerika yang sudah maju, dunia pengadilan sekalipun, antara tahun 1989 sampai 2013, berarti 24 tahun, setelah didakwa atas pembunuhan atau perkosaan, 340 orang ternyata tak bersalah, bayangkan. Walau mereka dihukum mati atau di penjara. Jadi setiap tahun itu belasan orang. yang dihukum mati atau diumur hidup, itu mereka tidak bersalah. Dan di kita pun ada kasus yang terjadi. Mungkin yang paling awal itu kasus Sentong dan Karta. Termasuk juga kasus Jessica dan Vina yang relatif baru. Jadi peradilan Jessica dan Vina masih berlangsung. Jessica juga ada peninjauan kembali. Tapi ingat nggak ketika Jessica itu diadili tahun 2016, tidak ada bukti. yang konkret, yang objektif, yang menunjukkan bahwa Jessica itu memang melakukan pembunuhan dengan mencampurkan si Adida itu ke dalam kepingnya. Tidak ada. Dan pertarungan itu di pengadilan adalah pertarungan simbolik. Seorang, bayangkan ya, seorang jaksa sampai mempermasalahkan status visa dari Beng-Beng Ong. penasihat hukum, Jessica, apa hubungannya antara status visa dengan kesaksian, dengan bukti? Nggak ada. Tapi orang akan mencari, bahkan dengan cara berperilaku. Termasuk dalam kasus Sambo, itu menampilkan panggung depan. Sambo itu nggak pernah mengenakan baju putih jarang sekali, apalagi kacamata. Tapi dalam peradilan itu, Verdi Sambo mengenakan kacamata supaya kelihatan intelek baju putih, supaya kelihatan ada niat suci, bagus, dan lain sebagainya. Dan ini bisa melembutkan hati siapa? Para hakim. Supaya mungkin diharapkan memberikan hukuman lebih ringan. Kita sudah sering melihat bagaimana para terdakwa itu kalau perempuan itu mengenakan hijab, dan kalau laki-laki mengenakan baju putih, mengenakan peci. Buat apa? Itu dramaturgi. Supaya hukumannya itu diperingan. Ini adalah tontonan... Kata metodologi, tapi karena waktunya mungkin ini saya lewat aja ya. Oke. Teori interaksi simbolik. Kita bisa gunakan misalnya untuk menganalisis. Nah ini juga nggak ada di buku itu, tapi saya akan masukkan nanti dalam revisi ini Ibu Rema ya. Kita bisa bertanya ya, kenapa setelah 10 tahun itu keluarga Jokowi, terutama Jokowinya dan juga anak-anaknya berubah ya. Anak-anaknya dari tukang apa? tukang martabak, tukang pisangok, sekarang ingin jadi penguasa. Dan memang sudah jadi penguasa. Bobby, Kibran, dan Jokowi sendiri setelah 10 tahun. Kalau kita menggunakan teori interaksi semuanya, kita nggak usah heran. Kenapa? Karena konsep diri manusia itu memang berubah. Cuma konsep diri manusia itu memang dibentuk oleh orang-orang di sekelilingnya. Dan kita tahu bagaimana Jokowi itu dikelilingi oleh para menterinya, orang-orang yang punya kepentingan, sebagian orang. menyebutnya penjilat, ada yang buzzer, influencer. Konsep diri Jokowi itu kemudian berubah yang tadinya orang yang mungkin memang sederhana niatnya, ingin mengabdi dan lain sebagainya. Tapi dalam perjalanan itu dibentuk. Sehingga mungkin dia sempat menderita semacam gegar budaya, culture shock. Kalau kita bicara harta itu menjadi OKB, menjadi orang yang terlalu percaya diri, sehingga dia bahkan meninggalkan PDIP, dan dia menjadi orang yang kita sudah kenal sejauh ini. Jadi dalam teori interaksi simbolik itu hal-hal yang biasa saja. Bahkan kalau kita menggunakan teori interaksi simbolik yang juga dalam konteks ini juga setara dengan teori semiotika, salah satu teori semiotika, kita bisa paham kenapa Jokowi itu terobsesi dengan IKN. Kita ingat nggak? Sebelum Lengser digantikan Prabowo, Jokowi itu sudah rapat di IKN, kabinet terakhir, rapat kabinet terakhir itu di IKN. Kalau dipikir-pikir, kalau kita menggunakan teori komunikasi organisasi yang efisien, itu kan terlalu mahal, ribet. hari ulang tahun, kemudian dikayakan di sana. Bukankah mahal sekali? Sampai 40 hari terakhir katanya mau ngantor di sana. Meskipun nggak juga sih. Tapi kalau kita memahami bahwa simbol ini bisa juga merupakan sebuah kota, sebuah gedung, kita paham bahwa inti kehidupan manusia itu adalah simbol, simbolik. Manusia itu antara lain ingin dikenang sebagai simbol. Boleh jadi Jokowi ingin dikenang sebagai simbol dari IKN. Dan yang namanya kota itu bukan hanya struktur mati, kota itu bersifat simbolik. Kenapa orang ingin ke Paris? Karena ada menaranya sebagai kota yang romantis. Mekah, kenapa ingin ke Mekah? Sebagai pusat kota Muslim. Moskow, itu pusat komunis. Angker. Tajmahal sebagai gedung, sebagai bangunan, masjid, atau istana. Cantik sekali. itu adalah simbol kasih sayang seorang raja kepada istrinya yang meninggal dunia. Makanya ikan ini menjadi penting juga buat Jokowi. Jadi tidak bisa dianalisis berdasarkan prinsip logis semata-mata. Kita beralih kepada teori lain, analisis dramaturgis, bagaimana, sebagaimana yang saya sampaikan tadi, panggung depan ini, atau taktik-taktik pulang kosan ini, Pengelolaan kesan ini bisa digunakan oleh politisi, pebisnis, dosen, militer, hakim, jaksa, penasihat hukum, terdapat, dan sebagainya untuk kepentingan mereka. Kita tahu di Indonesia ini, orang-orang mereka sudah menjadi jeneral, sudah menjadi CEO, sudah menjadi apa yang tertinggi lah jabatan mereka, hartanya sudah banyak. Tapi kenapa mereka masih kebelet pengen jadi profesor? Karena mereka juga ingin tampil seolah-olah mereka itu intelektual. Karena profesori ini adalah simbol akademis. Tapi menarik ya, ini terjadi hanya di sejumlah negara, sebagian kecil negara, termasuk di Indonesia. Kenapa? Karena dulu kita, dan sekarang pun kita masih menganut budaya feudalisme. Jadi sekarang kita mungkin sudah tidak musim lagi untuk menggunakan gelar raden. Tapi... Mentalnya masih ada, makanya kita menggunakan profesor, dokter, dokter honoris causa, dan lain sebagainya. Di Amerika ada Elon Musk, ada Obama. Apakah mereka harus jadi profesor, dokter? Enggak. Cuma di Indonesia saja dan beberapa negara lainnya. Ini adalah teori dramaturgi. Akibatnya apa? 11 profesor, saya tidak usah menyebut, di sebuah perguruan tinggi negeri, belum lama ini 11 profesor dicabut. SK Guru Besarnya. Kenapa? Karena mereka menggunakan jurnal abal-abal selain proses penilaiannya itu yang dianggap bermasalah. Bahkan saya dengar perguruan tingginya akreditasnya turun dari A sampai C. Kenapa? Karena para profesor itu ingin menampilkan dramaturgi sebagai profesor. Bukan profesor itu seharusnya dokter atau siapapun, itu seharusnya melambangkan isi kepalanya. isi otaknya. Sekarang sedikit lagi teori konstruksi sosial. Ini lebih mengarah dari teori subjektif ke objektif. Kita sudah pernah dengar ini, tapi berapa banyak orang yang paham teori ini dan juga yang memandu kehidupan mereka. Bayangkan, karena tidak memahami bahwa waktu itu dikonstruksi secara sosial, sampai ada peneliti Brin yang mengancam membunuh seorang warga Muhammadiyah. Karena apa? Karena perbedaan. pemahaman mereka tentang satu idul fitri, satu sawal. Kita tahu kan kalau Brin itu menggunakan hisab. Berikut itu menggunakan hisab. Sebetulnya sama dengan Muhammadiyah. Sementara NU menggunakan ruyah. Makanya dari dulu NU dan Muhammadiyah itu selalu beda-beda saja. Karena perbedaan penapsiran, pemahaman, dan keputusan apa yang disebut dengan satu sawal itu. Waktu itu memang dikonstruksi oleh manusia itu secara sosial. Tahun baru ini kan dianggap lebih penting di seluruh dunia. Bahkan oleh orang Islam sekalipun dibandingkan dengan... Satu Muharam tahun baru Islam. Tapi karena tidak ada pemahaman ini, bayangkan. Seorang peneliti Brin yang seorang ilmuwan seharusnya sampai mengancam seorang warga Muhammadiyah karena perbedaan pemahaman tentang makna satu hilal itu. Nah ini ada dalam buku. Ini adalah bagaimana, sebagaimana yang saya sampaikan, Gibran sebagai calon Cawapres kok bisa terjadi? Karena Kim Plus itu ya, Kim Plus itu Golkar PBB. dan lain sebagainya, mereka terjebak dalam sebuah fenomena, sebuah gejala yang disebut dengan grouping, kalau kita menggunakan teori Irving Janis. Grouping itu ditandai dengan delapan gejala. Saya tidak akan bacakan semuanya, nanti lihat dalam buku. Oh, nggak. Ini saya akan berikan nanti kalau bukunya sudah direvisi. Saya sampaikan. Jadi grouping itu sebuah fenomena yang menjebak sebuah kelompok, baik disadari atau tidak, yang ditandai dengan delapan. 8 gejala ini. Merasa optimis, terlalu berlebihan. Jadi kimplus itu, keyakinan atas prioritas kelompok, menyalahkan yang lain, tekanan langsung pada kelompok, sensor diri. Yang menarik ini, kemunculan para pembeli keputusan, mindguards, atas inisiatif sendiri untuk melindungi kelompok dan pemimpin kelompok dari pendapat yang merugikan dan informasi yang tak diinginkan. Salah satunya misalnya Yusril Ihja Mahendra. Bayangkan ya, seorang profesor tata negara. seorang ketua PBB, ketua Partai Islam, dalam tanda petik, tapi sampai mendukung Gibran. Ini menarik. Apakah Islam membenarkan? Apakah hukum tata negara membenarkan? Silahkan Anda. Bahkan sampai seorang ulama, Prabowo sendiri, ada Fahri Hamzah, semua itu mendukung. Kita tahu, karena mereka ingin sama-sama juga naik gerbong kekuasaan. Tapi kalau kita tanya hatinya apakah mereka itu benar-benar mendukung, mungkin masalahnya lain. Saya kira itu yang ingin saya sampaikan. Terima kasih atas perhatian semuanya. Saya nggak tahu nih, Bu Indri, berapa lama presentasi saya? Tadi sudah 4, Prof. Setengah jam mudah-mudahan tadi ya? Ya, 35 menit lah, Prof. Terima kasih, Prof, atas pemaparan yang sangat berharga. Ya, penirsa semua ini udah banyak banget yang udah mulai pengen nanya nih, Prof. Bingung juga. Tapi sebelumnya nih, Prof, saya mau tanya dulu. Prof, kalau misalnya di bukunya Prof ini kan pasti ada proses kreatifnya ya. Gimana sih proses kreatifnya Prof dalam menulis buku ini? Terus misalnya, sebenarnya buku ini target dan sasarannya itu ke siapa? Terus kendala-kendalanya dalam penulisan ini di mana? Proksegom ke pemirsa ya? Ya, terima kasih ya Miss Indri. Gini, memang kita harus pikirkan terlebih dahulu ya. Pertama target, sasaran itu siapa? Apakah umum atau buku akademis? Biasanya kalau buku-buku umum itu jarang yang bertahan lama. Ada sih, tapi saya kira... umumnya itu mungkin sampai best seller sekalipun, tapi biasanya terkendala waktu. Tidak ada yang best seller terus-menerus. Karena itu kalau Anda ingin buku ini misalnya best seller dari waktu ke waktu, targetnya itu harus jelas. Misalnya targetnya itu mahasiswa. Karena mahasiswa itu akan selalu ada. Kemudian juga meskipun akademis, kita harus pilih juga judul. Apakah judulnya itu judul yang menarik, tapi selintas atau cuma konteksual saat itu? Atau judulnya ini judul yang baku, yang sesuai dengan mata kuliah? Kalau saya, saya lebih cenderung untuk memilih judul yang sesuai dengan mata kuliah. Misalnya teori-teori komunikasi. Karena ada mata kuliahnya teori-teori komunikasi. Metodologi riset. Itu ada. Dan kita tinggal merevisi saja. dengan memperbaharui kontennya dari waktu ke waktu. Tapi kalau judulnya misalnya apa ya? Nah, komunikasi efektif. Setahu saya, nggak ada judul mata kuliah komunikasi efektif. Sebagai mata kuliah, nggak ada. Kecuali mungkin seminar atau ceramah, bisa. Tapi sebagai mata kuliah, nggak ada. Jadi usahakan memang judul itu sesuai dengan nama mata kuliah. Memang tidak mudah untuk membuat buku yang bisa dibaca. Saya katakan lagi, orang sering menganggap bahwa buku yang bagus itu yang berat dengan istilah-istilah yang justru sebaliknya. Saya kalau menulis buku, ini salah satu taktik yang menurut saya sudah terbukti. Kita harus menulis dengan cara-cara seolah-olah kita itu ngobrol dengan pembaca itu. Meskipun yang membaca itu banyak halayak, ketika baca kan tidak bareng, cuma sendiri-sendiri saja. Jadi boleh kok kita menggunakan kata, misalnya kata pengganti. Pertama, saya... Atau kalau jama kita, kalau kata pengganti kedua itu misalnya, Anda atau kalian, boleh-boleh saja. Dan ketika pembaca itu disapa, dia merasa ada hubungan yang personal. Dan caranya pun harus mengalir dengan menggunakan kata-kata yang populer, diksi. Dan kalau perlu itu ada cerita, ada humor, bahkan ada gambar. Tapi jangan berlebihan. Humor itu penting sekali untuk dimasukkan. Bahkan menurut penelitian, orang akan lebih ingat humor daripada statistik. Makanya matri humor itu penting juga bahkan untuk orang-orang yang misalnya memberikan ceramah kuliah tentang ilmu alam, tentang apapun, misalnya biologi. seorang guru atau dosen biologi yang mengajar biologi, ilmu alam. Dia bisa bertanya ketika masuk kelas itu, ikan paus bernapas dengan apa? Miss Indri tahu nggak jawabannya? Ayo. Ikan paus bernapas dengan apa? Paru-paru. Paru-paru. Bukan. Dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ya benar, Pak. Akhirnya ceritalah dia tentang materi biologi. Tapi jangan berlebihan. Dan berdasarkan riset juga, guru dan dosen yang disenangi itu memang yang humoris. Kalau sudah suka dengan gurunya, dengan dosenya, akan masuk. Ini bisa diterapkan juga untuk menulis buku. Jadi tulislah segala sesuatu yang memang menyenangkan kita, yang menjadi perhatian kita. Tapi itu bisa dipelajari. tak kenal maka tak sayang. Kalau kita misalnya awalnya tidak senang, tapi kemudian kita terus membaca, belajar, kita akan selalu akan senang juga. Makanya saya katakan tadi di awal, tadi akan ada tayangan, terus membaca, membaca, membaca. Tidak mungkin kita bisa menjadi penulis yang baik tanpa membaca. Bahkan untuk menulis novel pun yang tidak ada rujukannya, kita harus sering membaca karya fiksi orang lain dan kuasai. saya tekankan sekali lagi, kuasai bahasa Inggris, bahasa asing, supaya literasi kita itu makin meningkat. Saya kira untuk sementara itu jawaban saya, kecuali kalau ada yang terlewat. Terima kasih, Prof. Nah, itu pemirsa ini katanya udah di streaming YouTube-nya udah lebih dari 300 penonton, Prof. Streaming YouTube-nya? Iya, YouTube-nya. Jadi, mungkin mereka juga yang mau nulis nih, jangan lupa judul, diksi populer ya, Prof ya. Terus ada cerita-cerita humor, terus udah gitu. Sifatnya harus personal ya kepada para audience atau pembacanya. Nah, mungkin kita masuk ke tanyaannya, Prof ya. Soalnya udah banyak nih yang mau nanya. Iya, boleh. Boleh kita lihat dulu. yang mana ya, atau kita raise hand aja ya soalnya banyak juga oke, ini raise hand nih, ada nih prof nih dari Mbak Aziza dari, ya Mbak Aziza silahkan aja langsung introduce yourself ya ya boleh langsung ya ya langsung aja baik, terima kasih kesempatannya kepada MC perkenalkan nama saya Aziza Nurfikriah salah satu mahasiswi KPI dari Taskiah sebelumnya dikabarkan acara ini Masya Allah yang sangat insightful dari Pak Fajar Pak Fajar Nugraha, baik kepada Bapak Deddy, saya izin bertanya Pak. Jadi tadi selama penjelasan Bapak itu saya terbesit gitu sebagai mahasiswa yang baru belajar gitu ya Pak, baru belajar ilmu komunikasi gitu. Itu tuh tadi kan di awal Bapak bilang menggunakannya sebagai pisau analisis gitu ya Pak, sebagai pisau analisa. Nah, untuk kita itu bisa mempelajari segala macam teori-teorinya, terus sampai pada tahap bisa menjadikannya sebagai pisau analisa itu, harus menempuh proses pembelajaran yang seperti apa gitu, Pak. Mungkin dari Bapak bisa memberikan nasihat dan juga tips-tipsnya gitu, Pak, bagi yang pemula sebagai pembelajar gitu. Tadi juga udah nanya sih ke adminnya untuk mau CO bukunya. baru buka Shopee-nya. Insya Allah nanti di-check out, Pak, bukunya. Terima kasih. Kalau di Shopee nggak tahu ada penerbitnya, saya nggak tahu ya. Kalau ke penerbit, ke Bu Rema ya. Jadi pesannya bukan ke saya, ke penerbit, ke Bu Rema ya. Iya, insya Allah nanti dibaca juga, Pak, bukunya. Tapi mungkin ada nasihat dan juga tips-tipsnya gitu untuk menjadikan pembelajaran kita itu bisa sampai, seperti tadi, Bapak itu bisa sampai menganalisa dengan adanya realita apa. apapun gitu. Mungkin itu Pak. Ya, makasih Ajisya. Waduh pertanyaannya berat Ajisya nih. Iya Prof, luar biasa nih Ajisya. Ini pertanyaannya sebenarnya sederhana menjawabnya. Berat tapi sederhana. Maksudnya harus kuliah terus ya, sampai S2, kalau bisa tuh sampai S3 gitu. Ya, itu aja sih. Bener ya. Nah tentu kalau sekadar S1 tuh kecuali yang mungkin cukup rajin ya, cukup rajin, mungkin bisa ya. Karena memang sangat pelik. Jadi, Ini sebagai contoh begini, saya dulu waktu S1 itu pernah belajar fenomenologi dari Pak Puspo. Ini teman-teman dosen yang pernah mendapatkan Pak Puspo. Tapi masih abstrak dengan konsep-konsep yang juga abstrak. Saya nggak ngerti. Mungkin otak saya nggak sampai saat itu. Tapi waktu S2, saya belajar positifisme bahkan. Jadi yang berbeda. Kalau kita belajar positifisme, ini sebagai catatan saja, kalau kita belajar teori-teori dan metode pelitian yang kuantitatif, saya merasa, nanti koreksi kalau saya salah, saya merasa ini sulit buat kita untuk menjadi analis kehidupan sehari-hari apapun dari lokal sampai nasional, politik, bisnis, dsb. Karena... kata kuncinya adalah itu terdapat lapisan-lapisan makna yang beraneka beragam yang menuntut kita untuk berpikir, untuk menganalisis dengan teori-teori yang sudah kita kuasai. Sebagian mungkin belum kita kuasai, tapi lewat belajar kita bisa kuasai. Setelah saya belajar misalnya S2, dulu teori apa yang saya sampaikan tadi, teori apa? Grouping. Saya mengetahui, oh ini ada kasus-kasus yang bisa diteliti. lewat teori ini atau lewat teori apapun yang ada. Jadi kata kuncinya, Anda berarti harus belajar paradigma teori pendekatan yang disebut dengan interpretif atau konstruktifis. Bahkan ditambah dengan kritis. Bukan berarti teman-teman yang menganut perspektif. objektif atau positifis, yang melakukan pelitian-pelitian kuantitatif lewat statistik sekalipun, bukan berarti mereka keliru, bukan. Jadi itu sama-sama sah, cuma dua-duanya itu punya keterbatasan. Kita nggak mungkin bisa menganalisis secara lebih holistik, kasus-kasus katakanlah kasus Jokowi, kasus Dibran, kasus apapun, politik itu dengan melakukan pendekatan secara kuantitatif. Apalagi kalau... Kalau komunikasi politik di Indonesia itu sangat kental dengan budaya. Jadi komunikasi politiknya itu bermuatan budaya. Orang itu bisa loncat pagar, bisa menjadi kutu loncat, bisa apapun bisa terjadi. Dan komunikasinya itu tidak terbuka. Karena kita menganut budaya konteks tinggi, yang komunikasinya konteks tinggi. Orang tidak selalu mengatakan apa yang mereka maksudkan, dan tidak selalu memaksakan. Tidak selalu memaksudkan apa yang orang katakan. Komunikasinya Jokowi itu beda loh dengan... komunikasi Prabowo. Komunikasi Prabowo itu lebih tegas, lebih jelas. Tapi komunikasi Jokowi itu sebagian orang mengatakannya pembohong, hoax, atau sendnya ke kiri, tapi beloknya ke kanan. Ya nggak apa-apa sih, tapi itu komunikasi khas Jawa. Orang tidak selalu mengatakan apa yang mereka maksudkan, dan tidak selalu memaksudkan apa yang mereka katakan. Kita tahu nggak secara resmi kenapa sebelum Jokowi itu lengser, akhirnya ngehartarto, itu mundur sebagai ketua Golkar. Tahu nggak apa sebabnya? Tidak pernah jelas kan? Air Langah Hartarto mengatakan, ini demi stabilitas partai Golkar menjelang kabinet berakhir, kok baru mengundurkan. Kenapa nggak dari dulu? Tapi saya lihat belakangan itu ada informasi. Karena ada utusan dari istana. air langah harta-harta itu mundur. Kalau tidak, ada resikonya. Itu kan tidak terbuka. Kayak gitu. Jadi nggak bisa kita menggunakan analisis kuantitatif, objektif, apalagi menggunakan statistik skala-skala. Ketika kita misalnya mengisi atau ketika kita sebagai peneliti, katakanlah meminta orang untuk mengisi questionnaire dengan menggunakan skala Likert. dari sangat tidak setuju yang nilainya 1 sampai sangat setuju nilainya 5, apa yakin bahwa angka 1, angka 2, angka 3 itu menunjukkan isi hati yang sebenarnya kita nggak tahu. Makanya dibutuhkan pengamatan. Tapi ingin saya tambahkan, bukan hanya membaca dalam artian secara harfiah objektif membaca buku. Jadi kalau bisa, kita harus punya sensitivitas. Berarti kita harus banyak bergaul dengan masyarakat. Meskipun misalnya kita sudah menjadi profesor, sudah menjadi orang kaya, jangan menjaga jarak dengan masyarakat. Jadi sekali-sekali naik angkot, sekali-sekali pergi ke pasar becek, sekali-sekali dicukur di tempat yang... Dan kita ngobrol dengan mereka. Apa isyati suara mereka? Jadi supaya kita berempati dengan mereka. Jadi kalau kita sudah memahami ini, sudah memahami teori-teori ini, Insya Allah kita bisa menganalisis segala cara itu. Bahkan mungkin kita bisa memulai dengan cara-cara yang tidak konvensional. Ada satu hal misalnya, buat sebagian orang, ingat nggak kasus Ariel? Ariel, anaknya Ridwan Kamil. Ridwan Kamil kan meninggal di sungai Arles di Bern, di Swiss. Tapi mengapa begitu... Banyak usaha yang dilakukan untuk bisa membawa Ariel itu, jenazahnya itu ke Indonesia. Bahkan sampai ada ritual-ritual. Kalau dipikir-pikir ya sudah lah, kalau kita menggunakan prinsip agama aja, yang sudah meninggal ya sudah lah. Dimakamkan di sana aja sih, nggak apa-apa ya. Yang penting kita doakan. Jadi yang penting itu ketika orang meninggal, bukan matinya bagaimana, dimakamkan di mana, yang penting itu orang meninggalnya soleh. Benar nggak? Dan masuk surga. Tapi kita ini manusia gitu. Manusia ya. Jadi kita tuh... melakukan ritual-ritual sebagai manusia. Dan itu bisa kita analisis dengan teori, misalnya dengan teori dramaturgi interaksi simbolik. Suka melihat nggak bagaimana kalau pejabat meninggal dunia dimakamkan di taman makam pahlawan. Padahal belum tentu juga pahlawan. Boleh jadi mereka koruptor. Tapi ada penghormatan, ada tembakan salvo. Itu menarik. Itulah kehidupan manusia. Dalam kehidupan masyarakat biasa, kenapa ada orang yang ingin dimakamkan di San Diego Hills? Satu lubangnya berapa? Terserah pilih. Ada yang miliaran, ada ratusan juta, ada puluhan juta juga, nggak ada. Apa itu membuat mereka masuk surga? Nggak juga. Jadi ritual itu buat orang yang hidup, buat orang yang mati? Nggak. bukan buat orang yang mati, buat orang yang hidup, sebenarnya gitu. Benar nggak? Ya oke lah. Salah satu mungkin alasannya kelebihan duit. Jadi memang untuk menganalisis kehidupan manusia itu menarik. Kalau kita bicara komunikasi politik, para analis atau Indonesianis itu melihat komunikasi politik di Indonesia itu tidak bisa diramalkan. Mungkin tidak muncul ke permukaan, tapi dalam pemilihan presiden, gubernur, jangan lupa mereka kadang-kadang itu melakukan tindakan-tindakan klinik menghubungi misalnya dukun, ada yang mencari ayam hitam. ada yang minta orang pintar untuk mengerahkan puluhan ratusan jin, itu ada, tapi memang tidak muncul ke permukaan. Saya pernah bertemu dengan calon, bakal calon gubernur salah satu provinsi di Kalimantan. Saya belum lama ketemu dengan dia. Dia pergi dari mana? Dari Banten sampai ke Madura. Menghabiskan uang lebih dari satu miliar untuk apa? Untuk ketemu orang-orang pintar, supaya dia bisa menjadi Calon, bukan balon lagi. Setelah saya ketemu lagi, berhasil nggak? Nggak berhasil sebagai calon pun. Kayak gitu. Jadi di Indonesia itu memang menarik. Jadi perlu kita untuk memahami teori-teori memang yang beraneka hargaan. Mudah-mudahan ini bisa dipahami. Jadi apa tadi kata kuncinya? Belajar terus. Baca terus. Bukan hanya buku-buku yang diwajibkan di kuliah. Baca saja. Dari berbagai perspektif. Nanti itu akan mengkristal dalam pikiran kita. Kita akan penuh dengan ide-ide, dengan gagasan-gagasan, dengan melihat segala sesuatu yang orang tidak bisa melihatnya, tapi kita bisa melihatnya dan kita bisa menganalisi. Sehingga orang itu, oh gitu, saya nggak kepikiran. Jadi misalnya di buku itu ada satu tulisan saya yang berjudul Ethno-Methodologi Kasus Sambu. dari teori etnometodologi. Dan ini bukan dari saya, tapi dari orang lain. Saya belum pernah membaca kasus, sebuah kasus pengadilan yang dianalisis dengan teori etnometodologi. Karena teori ini memang meskipun sudah cukup lama di Amerika, tapi di Indonesia itu masih baru. Dan saya suka mengajarkannya di kampus itu. Bahkan dengan simulasi, dengan permainan peran. Terima kasih Aziza. Mungkin ada lagi. Ya gitu Aziza. Cukup. Insya Allah. Terima kasih Bapak. Terima kasih. Ya oke. Prof ini banyak banget. Tapi sebelum ke pertanyaan berikutnya. Saya mau menginfortkan juga. Kalau pemesahan buku masih dibuka ya. Ibu Bapak, Tete, Saka. Silahkan ke CP. Nanti di-share di. Kayaknya di-share di. Chat room, cuman kayaknya banyak pertanyaan juga Kayaknya ketumpuk ya, mungkin nanti di-share lagi oleh Pak Nitya ya Kalau salah sampai tanggal berapa? Sampai tanggal 23 itu pemesan buku Yang diskon 25% itu kalau tidak salah ya Batasi tapi sampai tanggal 23 24 bro Oh 24 Sekali lagi ada tanda tangannya ya Oke, mari kita ke pertanyaan berikutnya Di sini kebetulan di chat ada Ini bapaknya juga raise hand Bapak Dewan Ta Diwanto Putra Fajar Mangga, Pak. Silahkan dengan pertanyaannya, Pak. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Prof. Deddy. Waalaikumsalam. Semoga Prof. Deddy sehat. Insya Allah saya akan... Ya, Mas Diwanto, terima kasih. Prof, ada satu pertanyaan, Prof, terkait dengan apa yang Prof. Fajar tadi sampaikan. Bahwa kasus Jessica itu diketahui tidak ada bukti yang konkret untuk menjerat... Jessica di peranah hukum. Jadi saya jadi teringat ada satu adegium yang saya pernah dengar, bahwa jika kamu good looking, maka setengah masalahmu selesai. Setengah lagi harus ada uang dan kekuasaan. Saya jadi terpikir, karena Jessica itu good looking, maka mayoritas orang menganggap dia tidak bersalah karena good lookingnya. Sementara sebaliknya, andai kata Jessica tidak good looking, Maka saya bisa berani jamin bahwa meros orang mengatakan dia bersalah. Hal itu sama seperti yang ada di kisah Yunani. Ada pelacur yang melakukan pembunuhan, kemudian ketika mau dihukum, karena pelacur itu cantik, pengacaranya bilang, si baju pelacur ini dilepas, didapat di hadapan hakim. Kemudian si hakim menyatakan bahwa tidak ada yang bisa menghukum ciptaan dewa yang begitu indah seperti ini. Menurut Prof. Deddy, bagaimana dengan adikim seperti itu, Prof? Mohon penjelasannya. Ya, terima kasih. Terima kasih. Oke ya, terima kasih Mas Dewanto. Dalam psikologi komunikasi, atau dalam komunikasi secara umum ya, itu ada sebuah model atau konsep yang disebut dengan efek halo. Efek halo itu apa ya? kesan pertama kita itu akan mempengaruhi kesan kita berikutnya gitu ya kita kita terjebak pada efek halo. Kalau orang itu ahli berbicara dalam satu bidang, kita pikir dia ahli dalam bidang-bidang lainnya. Seorang presiden belum tentu loh dia bisa jadi imam sholat. Belum tentu dia bisa baca al-fatihah, beda dengan di zaman Nabi. Jadi seorang yang good looking itu cenderung dianggap lebih jujur, lebih ikhlas, lebih pintar, dll. Jadi kita terjebak dalam efek halo. Sebenarnya tidak begitu. Itu tidak begitu. Sekiranya dalam kehidupan sehari-hari, kita jadi kaget, oh nggak nyangka ya, ternyata dia itu orangnya seperti kiai, tapi koruptor besar. Saya tidak menyebut siapa-siapa, tapi ada kasus seperti itu. Nah, dalam konteks itu Anda ada benarnya, karena di Amerika pun, penelitian-penelitian psikologi menunjukkan seperti itu. Jadi orang-orang yang good looking, yang tinggi badannya itu lebih dari rata-rata, bahkan gajinya itu lebih tinggi. Dan mereka dianggap lebih ramah. Jadi kalau ada misalnya kecurigaan, mana yang mencuri, mana yang tidak, kita lebih curiga kepada orang yang kurang good looking. Tapi Anda mungkin nggak sempat untuk membandingkannya dengan Mirna, yang dibunuhnya itu. Saya akan menggunakan pandangan orang. Karena kalau kita bandingkan, ini saya mohon maaf ya. Berdasarkan pandangan masyarakat itu, Mirna itu lebih good looking daripada Jessica. Makanya orang berpendapat Mirna ini dia dibunuh. Karena orang lebih bersimpati kepada Mirna. Sementara Jessica itu karena kurang cantik, dia bersalah. Sebagian pengamat bahkan ketika belum diputuskan oleh hakim, di pengadilan itu, itu halayak seolah-olah menonton pengadilan itu seperti menonton sepak bola. Belum ada skor, tapi mereka sudah berpihak. Dan bagaimanapun, halayak itu butuh kepastian. Makanya, pengadilan itu, panggung pengadilan itu tidak mungkin menggantung keputusan itu. Keputusan itu harus dibuat. Apakah benar atau salah? Kita nggak tahu. Tapi dalam proses pengadilan itu, kalau hakimnya itu dia hakim yang punya integritas, kalau dia orang Islam, dia harus melakukan sholat istihoroh. Sebenarnya gitu. Kalau kita sudah tahu, kalau keputusannya itu benar, pahalanya dua. Tapi kalau sudah istihoroh, keputusannya salah, dianggap tidak adil, dia tetap dapat pahala, cuma satu. Cuma saya nggak tahu. Apa yang dilakukan oleh hakim-hakim itu. Karena dalam kasus-kasus lain kan kadang-kadang itu ada transaksi kerjasama antara hakim, jaksa, pengacara, dan lain sebagainya. Tapi yang pasti itu mereka sebetulnya bertarung secara simbolik. Tidak ada kepastian penafsiran. Saya sering menyebutnya kalau kita menjadi hakim, menjadi pengacara, mencari jaksa, kita harus pandai detektif Sherlock Holmes. Atau dalam Agatha Christie itu protagonisnya adalah Hercules Poirot. Mereka itu bisa menganalisis lewat penampilan manusia apapun, sampai ke jari-jari kuku-kukunya, sampai ke busanya. Sehingga motif manusia itu bisa dibongkar. Tapi yang penting itu adalah apa? Yang penting itu adalah memang kejujuran. Kejujuran dari masing-masing orang. Tidak hanya membela karena ingin dapat imbalan sebagai pengacara misalnya. Tidak seperti itu. Akhirnya apa? Tidak apa-apa. Tidak usah khawatir. Kita akan ada pengadilan yang lebih tinggi lagi. Sering orang menyebutnya pengadilan akhirat. Jadi benar, sampai derajat tertentu. Saya kira... kasus fina yang masih ini juga kan sama kan, kasus fina yang terjadi di Cirebon tahun 2016 juga kan, itu sampai berapa tahun orang bahkan seumur hidup yang dianggap, padahal itu kasus kecelakaan. Orang sepasangan belajar naik motor, kecelakaan meninggal dunia. Tapi di situ dikonstruksi seolah-olah itu adalah pembunuhan. Kan saksi-saksi itu kan bisa dihubung untuk bekerja sama. Itu seperti itu. Jadi pengadilan itu terjebak dalam pandangan deduktif. Memang kan hukum-hukum itu, KUHP itu undang-undang dasar, termasuk undang-undang dasar, KUHP itu kan dibuat sedemikian rupa sehingga yang dihukum itu yang terbukti bersalah. Tapi kan ada orang semacam bahli apa-apa melanggar aturan, yang penting kan tidak ketahuan, dan saya yakin banyak orang yang sebenarnya melakukan kesalahan termasuk korupsi, tapi tidak dihukum karena tidak ada bukti yang kasat mata. tidak bisa dilihat, tidak ada transport tidak ada apa, gitu tapi secara hati nurani, mereka tetap bersalah, jadi jawabannya see you on the day of judgment nah gitu aja terima kasih banyak Prof atas insight-nya, just a follow up Bu Indri jangan lupa nih waktu kita kan terbatas kan ada ini ya, ada apa namanya door prize, betul ini banyak banget yang hmm yang bertanya, tapi karena kita tinggal punya waktu 5 menit lagi, mungkin saya akan bacakan dari chat ya Prof, soalnya dari chat belum ya. Ini dari Elfa, dari Universitas Andalas. Pertanyaannya adalah, bagaimana fenomenologi membantu kita memahami pengalaman komunikasi individu dalam kehidupan sehari-hari? Namun seorang peneliti seringkali sesuai taruh ketika membedakan mana yang pengalaman komunikasi dan mana yang pengalaman biasa. Mohon pencerahannya Prof terkait pengalaman komunikasi dan pengalaman biasa itu. Terima kasih katanya Prof. Ini Dr. Elva Rona. Jadi saya sering sekali itu... membaca karya ilmiah dengan menggunakan kata pengalaman. Jadi intinya gini, pengalaman dan komunikasi itu bukan dua hal yang terpisah. Kalau diibaratkan koin itu, itu satu sisi pengalaman, satu sisi komunikasi yang sebenarnya menempel. Dan pengalaman itu... itu bisa diperoleh, bisa dirasakan, bisa dideteksi lewat komunikasi. Karena pengalaman itu bersifat simbolik. Dengan kata lain, pengalaman itu harus disampaikan, harus dideteksi, didengarkan lewat bahasa. Meskipun itu tidak terungkapkan, tidak terekspresikan secara verbal. Makanya yang punya pengalaman itu hanya manusia, kalau hewan tidak punya pengalaman. Justru potensi simbol itu bisa memungkinkan manusia untuk mendengarkan pengalaman orang lain meskipun atau menangkap pengalaman orang lain meskipun orang lain itu tidak hadir. Bagaimana pengalaman misalnya makhluk sebelum homo sapiens, sebelum manusia yang cerdas seperti kita, kan ada makhluk-makhluk sebelumnya. Atau bagaimana misalnya pengalaman orang-orang yang sudah meninggal dunia yang mati suri atau mati beneran, tapi disampaikan oleh anggota keluarganya, penelitiannya, dsb. Itu semua disampaikan lewat bahasa. Jadi kalau kita ingin melakukan pelatihan lewat fenomenologi, saya kira konsep-konsep atau tujuan pelatihan kita itu harus harus lebih spesifik, Ibu Elvarona. Jadi menurut saya, kita jangan lagi menggunakan konsep pengalaman. Bagaimana pengalaman itu terlalu luas, terlalu generik. Jadi dalam penelitian kualitatif dengan menggunakan fenomenologi, itu sebenarnya yang lebih penting itu kedalamannya, bukan keluasannya. Jadi pengalamannya bukan komunikasi apa. Misalnya gini, dalam komunikasi kesehatan, ya. dalam komunikasi kesehatan, kita lebih spesifik. Bagaimana pengalaman para dokter atau perawat ketika menghadapi orang-orang yang sekeratul maut. Nah, itu caranya. Itu menarik sekali. Saya pernah mendengar bahkan seorang ulama yang ditugaskan di sebuah rumah sakit Islam yang membimbing orang-orang yang akan meninggal dunia. Dia membimbing, karena di rumah sakit Islam, jadi jelas ya, orang-orang yang meninggal dunia itu orang-orang Islam. Jadi ketika dia mengucapkan, la ilaha illallah, ini mohon maaf, ini bukan kata saya, ini kata Ustadz itu. kebanyakan itu tidak mampu untuk mengucapkan la ilaha illallah. Bayangkan gitu. Tapi kalau kita bicara dokter dan perawat, kita akan melihat, sebagian dokter dan perawat itu, bahkan sebelum kita ngobrol dengan mereka, lewat observasi, kita akan melihat bahwa kematian itu hal yang biasa saja sehari-hari, yang rutin. Bahkan itu ada... instruksi atau ada pelajaran, ada imbauan dari lembaga dan institusi untuk dokter dan perawat itu jangan sampai mereka terpengaruh. Jangan sampai sedih, jangan sampai menangis. Jangan. Harus profesional saja. Tapi mereka manusia, bukan anjing. Benar nggak? Ini menarik. Kalau kita ingin benar-benar meneliti mereka, bagaimana sikap mereka yang sebenarnya? Saya kira itu akan... akan banyak sekali yang beraneka ragam. Mungkin ada yang sudah terbiasa juga, tapi ada yang mungkin tidak kuat juga karena mereka adalah manusia. Jadi misalnya bagaimana komunikasi antara dokter dan pasien, antara dokter dan keluarganya, dsb. Dulu ada imbauan kalau ada pasien itu yang meninggal dunia. yang mau meninggal dunia dan penyakitnya itu penyakit terminal sudah parah, jangan sampai diceritakan kepada pasien yang bersangkutan itu. Sebab dia boleh jadi justru penyakitnya itu akan parah. Tapi ternyata temuan terbaru berdasarkan pelitian kualitatif, itu harus disampaikan. Itu cuma persepsi kita saja. Kita pikir mereka nggak akan kuat. penyakitnya sudah penyakit terminal, kalau penyakitnya sudah terminal, mungkin akan meninggal dunia juga, justru disampaikan bahwa Anda akan diduga, dan itu akan membuat mereka itu mungkin lebih ikhlas, lebih tenang, lebih banyak berdoa, dsb. Jadi sekali lagi, dalam penelitian fenomenologi, lebih baik kita cari topik-topik yang, topik-topik itu kan kalau kita belajar metodologi, topik-topik itu harus menarik. topik-topik yang membuat kita penasaran. Ini adalah inti dari penelitian fenomenologi. Terima kasih. Terima kasih, Prof. Well, waktunya sudah jam 11.16. Tapi yang nanya masih banyak, Prof. Gimana dong, Prof? Iya, tapi janjinya kan sampai 11.30 ya. Kita ada door price juga sih, Prof. Jadi teman-teman, ibu bapak yang mau nanya mungkin. di lain waktu ya Prof ya kita bikin lagi kali ya ya mungkin ya ada di drop price semangat saya serahkan kembali ke MC ya baik sepertinya masih banyak sekali pertanyaan-pertanyaan dari para peserta ya Prof Ibu moderator tapi Kita memiliki waktu yang cukup terbatas, jadi mungkin nanti bisa kita kumpulkan pertanyaan-pertanyaannya, bisa disampaikan kembali. Saya tegaskan kembali untuk Bapak Ibu yang belum mengisi form undian untuk dollar price bisa diisi. Kemudian sudah disampaikan juga oleh Panitia di room chat akan kontak untuk bagi Bapak Ibu yang ingin membeli buku seperti itu. Sepertinya kita akan langsung mengundi dollar price saja. Apakah sudah siap pada panitia yang akan mulai diundi? Oke, baik. Kita akan melihat siapa yang menjadi pemenang. Terima kasih. belum? Nah ini ada lagi Sepertinya banyak sekali Kita akan mulai mengundi Puter Mama siapa yang kira-kira keluar Priska Nur Salvitri Selamat kepada Priska Nur Salvitri Menjadi salah satu pemenang D'Arprise Selanjutnya Anissa Alvia Ulfah, selamat. Nama selanjutnya. Selanjutnya, Natalina Nilamsari. Wah ini perempuan semua nih ya Iya Yang beruntung, ayo keluar Afia Raisya Mutmainawa Sepertinya ini masih perempuan ya Hai selanjutnya Fitri Ariana Putri ini kayak mayoritas perempuan emangnya ikut nih kayaknya kebun masih ada dua slot terakhir mungkin nanti kalau yang belum sudah tidak ada di room chat kita akan undi ulang mungkin ya Oh namanya Hai Alexandria katanya saya dapat jalur istri Pak barengan kerjasama yang luar biasa ya Pak Oke baik hai hai Mohon diberi waktu sebentar Kami akan cek satu-satu dulu Apakah masih ada di room chat atau tidak Ketujuh orang Pemenang ini Bisa jadi ada yang sudah left Jadi kesempatannya bisa saja gugur gitu ya Jadi memberikan kesempatan untuk Orang yang masih Stand by dari awal sampai akhir Seperti itu Bapak Ibu peserta, Prof dan Ibu moderator Sepertinya nama-nama yang Ada pemenang hari ini Semuanya masih standby Berarti selamat kepada para pemenang Nanti mungkin bisa menghubungi Panitia untuk Kelanjutan tim buku Untuk mengirimnya Selanjutnya saya akan mengumumkan Pemenang dari tiga penanya Yaitu tadi ada Azizah, Dewa Dan juga Elva Seperti itu Jadi silakan menghubungi panitia, nomernya nanti bisa ditanyakan untuk kelanjutannya. Seperti itu, nanti bukunya akan dikirimkan. Dan pemenang bukunya dari beberapa judul yang tadi di awal saya sebutkan, itu akan random ya, pemenang bukunya, seperti itu. Tidak usah khawatir, tadinya saya mau yang ini, tapi dapet yang ini. Karena semua buku yang akan diberikan isinya ilmu yang bermanfaat. Karena tidak ada yang tidak bermanfaat, seperti itu. Bukan begitu, Pak? Ya, betul. Baik. Seru sekali acara pada pagi hari ini sampai siang. Dan serta juga masih 200 lebih dari pagi sampai sekarang. Luar biasa, antusiasnya. Terima kasih Bapak Ibu semuanya. Mungkin masih banyak pertanyaan yang ingin disampaikan. Semoga bisa kita tampung. Dan semoga selanjutnya kita akan mengadakan acara seperti ini. Bahkan mungkin akan di-dua dengan pros. Siapa tahu. Terus pantengin saja. Sosial media kita ya di Kandaga Unpad akan semakin banyak acara-acara bermanfaat seperti ini insya Allah. Karena seperti Ibu Kepala di awal bilang bahwa tujuan kami adalah untuk memberikan ilmu dan informasi yang bermanfaat seperti itu. Baik, kita sudah berada di penghujung acara. Dan untuk Bapak Ibu peserta jangan lupa untuk mengisi link absensi yang sudah diberikan oleh Panitia di kolom chat seperti itu. Baik. Untuk itu, saya Raffa Noviatu Insis, laku Master of Ceremony. Terima kasih kepada Prof. Dedy dan Ibu Moderator, Ibu Sri Indriani. Terima kasih atas kehadirannya. Dan seluruh peserta pada pagi hari ini hingga siang hari yang masih stand by dalam acara hari ini. Saya pamit undur diri. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Waalaikumsalam Terima kasih ya semuanya Terima kasih Prof Terima kasih Prof Teddy Terima kasih Prof Terima kasih Salam Prof Assalamualaikum Waalaikumsalam Waalaikumsalam Terima kasih Prof Terima kasih telah menonton Terima kasih telah menonton! Hai menjadi seorang penulis yang produktif. Yang pertama, kita memang harus menjadikan aktivitas penulis itu sebagai hobi. Jadi kita punya rasa senang. Yang kedua, kita harus selalu berlatih. Harus berlatih. Yang ketiga, kita harus selalu... mengembangkan diri dengan membaca karya-karya orang lain mungkin last but not least, terakhir itu kita harus menguasai bahasa Inggris kenapa? karena pengetahuan itu banyak yang tertulis dalam bahasa Inggris sehingga kalau kita menguasai bahasa Inggris berarti kita bisa meningkatkan pengetahuan kita jadi literasi kita itu semakin terbuka