Transcript for:
Menggali Sejarah Muhammad Hatta

[Musik] Muhammad Hatta wakil presiden pertama Indonesia yang tidak hanya dikenal sebagai proklamator kemerdekaan ataupun dwi tunggal Soekarno, tetapi juga sebagai arsitek ekonomi yang sangat visioner bagi bangsa Indonesia. Hatta yang sangat sederhana cukup terkenal dengan pemikiran ekonominya yang dalam di mana dia selalu menekankan prinsip-prinsip keadilan dan kemandirian pada setiap kebijakannya. Ironisnya, kontribusi Hatta dalam bidang ekonomi yang sangat gemilang ini seringki terabaikan. Tertutup oleh gemerlap peran politiknya yang bertabur kontroversi. Sebenarnya mengapa pemikiran ekonomi Hatta ini justru seolah tenggelam dalam ingatan kolektif? Apa saja konsep ekonomi yang ditawarkan Hatta dan apakah cukup relevan dengan kondisi Indonesia saat ini? Kali ini kita akan membicarakan dan memahami Hatta untuk menemukan warisan berharga dari pemikiran-pemikirannya yang mungkin saja dapat menjadi solusi bagi permasalahan ekonomi bangsa. [Musik] Muhammad Atta sebenarnya lahir dengan nama Muhammad Atar pada tanggal 12 Agustus di tahun 1902 di Fort The Cok atau saat ini bernama Bukittinggi. Saat masih dalam kekuasaan Hindia Belanda, Hatta lahir sebagai anak kedua dari pasangan Muhammad Jamil dan Siti Salehah yang berasal dari Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama Naksyabandiah di Batu Hampar dekat Payu Kumbuah, Sumatera Barat. Sementara ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi. Nama Atar sendiri berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti harum kata memiliki kakak perempuan bernama Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Hanya berbeda 2 tahun darinya. Sejak kecil Hatta tumbuh dan dididik dalam keluarga yang sangat taat dengan ajaran agama Islam. Tidak mengherankan karena keluarganya memang keturunan ulama. Kakek buyutnya dari pihak ayah yakni Abdurrahman Batu Hampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batu Hampar. Sedikit dari surau yang bertahan setelah perang padri. Sedangkan dari pihak ibunya terlihat jelas kalau Hatta juga keturunan pedagang. Dan diketahui bahwa banyak dari keluarga ibunya yang menjadi pengusaha besar di Jakarta. Dari sini dapat disimpulkan kalau Hatta hidup berkecukupan sejak dia lahir. Namun sayangnya ayah Hatta meninggal dunia pada saat Hatta masih berumur 7 bulan. Setelah kematian ayahnya ini, akhirnya sang ibu menikah lagi dengan Agus Hajiing, seorang pedagang dari Palembang yang memang akrab dan memiliki hubungan dagang dengan Ilias Bagindo Marah. kakek Hatta dari pihak ibunya. Perkawinan ibu Hatta dengan Agus Hajiing ini membuat Hatta memiliki empat orang adik perempuan yang berbeda ayah. Hatta meski tanpa kehadiran ayah kandungnya tetap tumbuh dengan baik dan gemilang. Dia diketahui pertama kali mendapat pendidikan formal di sekolah swasta. Tapi kemudian setelah 6 bulan berjalan, dia memilih pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah kakaknya. Pendidikannya di sekolah rakyat ini sempat terhenti di pertengahan semester kelas 3 di mana berikutnya Hatta dipindahkan ke Eurovisi Negeri School atau ILS sekolah Belanda di Padang. Hatta menempuh pendidikan di LS sampai tahun 1913 lalu melanjutkan pendidikannya ke MIR OG Gate Breht Leder of the Wis atau Mulo sekolah Belanda yang setingkat dengan SMP. Tercatat kalau Hatta lulus dari Mulo di Padang pada tahun 1917. Selain pendidikan formalnya ini, Hatta juga menempuh pendidikan agama dengan berguru kepada Muhammad Jamil Jambek. Abdullah Ahmad dan beberapa ulama lain di daerahnya. Keluarga Hatta mendukung penuh setiap jalannya. Ini menjadi salah satu faktor yang membuatnya kian gemilang. Di masa remaja, perdagangan telah merebut perhatiannya untuk mempelajari ekonomi ketika masih berada di Padang. Dalam beberapa sumber dikatakan kalau Hatta mengenal banyak pedagang yang terdaftar sebagai anggota serikat OSAH di mana Hatta juga aktif di dalamnya. Bahkan Hatta pun aktif dalam Jong Sumantranen Bon dengan memegang posisi penting sebagai bendahara. Kegiatan yang menyibukkan Hatta muda ini terus berlanjut hingga Hatta bersekolah di Prince Hendrick School yang ada di Batavia. Di dalam organisasi Yong Sumatera Bon yang ada di Batavia atau sekarang telah menjadi Jakarta ataupun tetap dipercaya menjadi bendaharanya. Tidak lama setelah menemu pendidikan di Prince Hendrick School, diketahui kalau kakek Hatta memiliki rencana untuk pergi ke Makkah dan ingin membawa Hatta bersamanya supaya Hatta dapat melanjutkan pendidikan agamanya di Mesir, tepatnya di Universitas Al-Azhar. Kakeknya memiliki niat itu bukan tanpa tujuan, tetapi karena memang ingin membuat Hatta dapat meningkatkan kualitas surau di Batu Hampar yang mengalami kemunduran semenjak meninggalnya Kakek Buyut Hatta. Sayangnya niat dan rencana kakeknya tidak berjalan mulus karena mendapat penolakan dari keluarga dan justru muncul usulan supaya paman Hatta yang bernama Idris untuk menggantikannya. Menurut catatan Amrin Imran dalam buku biografi tentang Hatta disebut kalau kakeknya yang bernama Syekh Arsyad kecewa atas penolakan tersebut dan akhirnya menyerahkan keputusan Hatta kepada Tuhan tanpa menerima usulan untuk membawa Idris bersamanya pergi ke Makkah. Hatta tampaknya sudah memiliki rencana dan jalan lain dalam kisah hidupnya. Dia memang tidak pergi ke Makkah, tetapi melanjutkan pendidikannya di Belanda sejak tahun 1921. Di negeri itulah Hatta memulai pergerakan politiknya sambil bersekolah di Handels Hog School atau sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam. Selama bersekolah, Hatta masuk ke dalam organisasi sosial yang bernama Indiski Farening yang kemudian menjadi organisasi politik setelah ada pengaruh dari tiga serangkai, yakni Ki Hajar Dewantara, Dr. Cipto Mangun Kusumo, dan Does Deker. Di dalam organisasi inilah Hatta terus bertumbuh dan menyelami pergerakan politik. [Musik] Lalu pada tahun 1923, Hatta ditunjuk sebagai bendahara organisasi dan diberi kewenangan untuk mengelola majalah Hindia Putra yang kemudian berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Sekitar tahun 1926, Hatta semakin jauh sepak terjangnya dalam pergerakan dan terpilih menjadi pimpinan dari indis vereneging atau perhimpunan Indonesia. Di bawah kepemimpinannya inilah Hatta memberikan dampak dan perubahan yang cukup besar terhadap organisasi. Perhimpunan Indonesia semenjak dalam Kendali Hatta lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia dengan memberikan banyak komentar serta ulasan di media massa di Indonesia. Setahun kemudian ketika jabatannya harusnya berganti, tetapi Hatta kembali dipercaya untuk memegang jabatan ketua tersebut setelah pemilihan dan terus berada di posisinya sampai tahun 1930. Dalam catatan yang lain, pada bulan Desember 1926 diketahui kalau semuen dari organisasi PKI datang menemui Hatta untuk menawarkan posisi pimpinan pergerakan nasional secara umum kepada perhimpunan Indonesia. Selain itu, Hatta dan Samuen juga diketahui membuat suatu perjanjian yang dikenal dengan nama Konvensi Samuen Hatta. Sebuah perjanjian yang kemudian menjadi alasan pemerintah Belanda ingin menangkap Hatta karena dianggap terlibat dengan komunis. Padahal waktu itu sebenarnya Hatta belum menyetujui paham komunis. Dari sini suasana menjadi cukup keruh. Terlebih setelah Stalin membatalkan keinginan Samuel untuk bekerja sama dengan Hatta. Sehingga hubungan Hatta dengan komunisme pun mulai memburuk. Sikap Hatta yang tidak menyukai komunisme ini membuatnya ditentang oleh anggota perhimpunan Indonesia yang saat itu sudah dikuasai oleh komunis. Situasi terus memburuk. Terlebih di tahun 1927 ketika Hatta menghadiri sidang liga menentang imperialisme, penindasan kolonial, dan untuk kemerdekaan nasional yang berlangsung di Frankfurt Jerman. Sidang ini menjadi titik balik penting dalam pandangan politik Hatta, terutama terhadap komunisme. Ini disebabkan dalam sidang tersebut Hatta menyaksikan upaya dominasi yang dilakukan oleh pihak komunis dan utusan dari Rusia yang membuatnya kehilangan kepercayaan terhadap ideologi tersebut. Pengalaman ini membentuk sikap antikomunis yang akan terus melekat pada dirinya. Di saat yang hampir bersamaan, majalah Indonesia Merdeka milik perhimpunan Indonesia yang masih dikotai oleh Hatta akhirnya berhasil masuk ke Indonesia melalui jalur penyelundupan. Penyeludupan itu bisa terjadi berkat didukung situasi politik di Hindia Belanda saat itu. Di mana pihak kepolisian Hindia Belanda sedang sibuk melakukan penggeledahan terhadap tokoh-tokoh pergerakan yang dicurigai sehingga celah penyelundupan terbuka lebar. Sayangnya setelah keberhasilan penyelundupan tersebut pada tanggal 25 September 1927, Hatta bersama Ali Sastro Ami Jojo Nazir Datuk Pamujak dan Abdul Majid Jojo Adiningrat ditangkap oleh pemerintah Belanda dengan didasari oleh tuduhan serius yaitu keterlibatan mereka dengan partai terlarang yang dikaitkan dengan Samuen yang berpartisipasi dalam pemberontakan PKI di tahun 1926 hingga 1927 di Indonesia serta ditambah dengan tuduhan penghasutan terhadap kerajaan Belanda. Akibatnya, Hatta dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dan ditahan di penjara Rotterdam. Selain dua tuduhan tadi, Hatta sendiri dituduh ingin melarikan diri. Sebuah tuduhan yang muncul di tengah aktivitasnya memperkenalkan Indonesia ke berbagai kota di Eropa sehingga dia sengaja mempercepat kepulangannya setelah mendengar kabar tersebut. Namun perlu diketahui bahwa tindakan yang dilakukan Hatta bukan karena dia takut, melainkan Hatta telah mempersiapkan rencananya sendiri. Dihadapkan pada tuduhan-tuduhan serius yang mengaitkan namanya, Hatta menunjukkan keberanian dan ketegasannya dengan lantang. menolak semua tuduhan melalui pidatonya yang terkenal yaitu Indonesia Merdeka atau Indonesia Fridge yang disampaikan pada sidang kedua pengadilannya pada tanggal 22 Maret 1928. Pidatonya itu bukan hanya sekedar pidato pembelaan diri, tetapi juga menjadi manifesto perjuangan kemerdekaan Indonesia yang isinya berhasil diselundupkan dan disebarkan di kalangan pergerakan di tanah air. Dalam proses hukum yang tengah dihadapinya tersebut, Hatta pun akhirnya mendapatkan dukungan kuat dari tiga pengacara Belanda. Salah satunya adalah pengacara bernama JW Doys. Seorang anggota parlemen yang menaruh simpati terhadap perjuangan Hatta. Setelah melalui beberapa bulan penahanan Hatta dan ketiga rekannya akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan. Pembebasan ini terjadi karena pihak pengadilan tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhan yang diajukan. Setelah pembebasan kemudian di tahun 1931, Hatta memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua perhimpunan Indonesia. Keputusan ini diambil karena Hatta ingin fokus menyelesaikan studinya dan mengikuti ujian. sarjana. Tapi meskipun Hatta mundur dari jabatannya sebagai ketua, dia tetap berkomitmen untuk membantu perhimpunan Indonesia dengan mundurnya Hatta. Sebenarnya di perhimpunan Indonesia akhirnya terjadi kekosongan kepemimpinan yang justru dimanfaatkan oleh pihak komunis. Perhimpunan Indonesia kemudian berada di bawah pengaruh dan arahan Partai Komunis Belanda dan Moskow. Perubahan ini memicu konflik dengan Hatta yang memuncak setelah tahun 1921. Sehingga perhimpunan Indonesia akhirnya mengeluarkan kecaman keras terhadap kebijakan Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi. Selain itu, perhimpunan Indonesia di Belanda juga mengecam sikap Hatta dan Sujadi yang secara terbuka terus mengkritik organisasi tersebut. Akibatnya, hubungan Hatta dan perhimpunan Indonesia pun semakin memburuk dan organisasi tersebut mengambil sikap tegas terhadap keduanya. Pada bulan Desember 1931, terjadi perpecahan dalam perhimpunan Indonesia yang dipicu oleh dominasi kelompok komunis. Para pengikut Setia Hatta kemudian membentuk gerakan tandingan yang dikenal sebagai Gerakan Merdeka yang kemudian berganti nama menjadi pendidikan nasional Indonesia atau PNI baru. Langkah ini mendorong Hatta dan Sultan Syahrir yang saat itu masih menempuh pendidikan di Belanda untuk mengambil tindakan nyata dalam mempersiapkan kepemimpinan di tanah air. Hatta ia menyadari betapa pentingnya pendidikan formal merasa perlu menyelesaikan studinya terlebih dahulu. Oleh karena itu, Syahrir yang memutuskan untuk kembali ke Indonesia lebih awal akhirnya memimpin PNI baru. Rencana ini disusun dengan harapan bahwa setelah Hatta menyelesaikan studinya dan kembali pada tahun 1931, maka Syari dapat melanjutkan pendidikannya di Belanda. Posisinya digantikan oleh Hatta. Setelah Hatta kembali dari Belanda, dia mendapat tawaran dari Partai Sosialis Merdeka, Socialitisk Party yang disingkat sebagai OSB untuk menjadi anggota parlemen Belanda. Tawaran ini segera menjadi perbincangan panas di Indonesia mengingat sikap HT yang selama ini dikenal menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial. Pada tanggal 6 Desember 1932 diketahui bahwa OSP mengirimkan telegram kepadanya menyatakan kesediaannya menerima percalonan sebagai anggota parlemen. Namun sebenarnya Hatta justru menolak tawaran tersebut karena dia berpendirian bahwa perjuangan harus dilakukan di Indonesia bukan di parlemen Belanda. Masalahnya rumor yang tersebar di Indonesia justru menyebutkan bahwa Hatta menerima tawaran tersebut sehingga menimbulkan kesalahpahaman di antara berbagai pihak. Salah satunya Soekarno yang akhirnya menuduh Hatta tidak konsisten dalam menerapkan prinsip nonkooperatif yang selama ini kata anut. [Musik] Masalah bergejola ketika Hatta tiba di Indonesia. Seharusnya dalam rencana yang ada, jika Hatta pulang ke Indonesia, maka Sultan Sharir yang akan kembali ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya. Saynya mereka tidak dapat mewujudkan rencana itu karena keduanya lebih dulu ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 25 Februari di tahun 1934. Mereka berdua kemudian diasingkan ke Boven Digul, sebuah kem tahanan politik di Papua yang dikenal dengan kondisi keras dan penuh penderitaan bagi para tahanan. Selama masa pembuangan di Digul. Diketahui kalau Hatta masih aktif menulis untuk berbagai media di Indonesia, terutama untuk surat kabar di Jakarta dan beberapa majalah di Medan. Namun, artikel-artikel yang ditulis Hatta tidak terlalu berbau politis. Dia justru menuliskan hal-hal yang sifatnya analitis dan edukatif. Hatta lebih fokus mengupas berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik dengan pendekatan yang mendalam. Salah satu topik yang dibahasnya adalah dinamika kekuasaan di kawasan Pasifik yang saat itu menjadi pusat perhatian akibat meningkatnya ketegangan geopolitik di antara negara-negara besar. Selama diasingkan di Bovenendig diketahui kalau Hatta membawa serta semua buku-bukunya menjadikannya sebagai teman setia dalam keterasingan. Hatta sangat disiplin dalam mengatur waktunya sehari-hari, terutama saat dia membaca. Karena Hatta tidak pernah ingin diganggu oleh siapapun saat dia sibuk tenggelam dalam buku-bukunya. Sikapnya yang serius dan tertutup ini terkadang membuat beberapa kawannya menganggap kalau Hatta adalah orang yang sombong. Meskipun sebenarnya itu hanyalah bentuk ketekunan Hatta yang ingin terus memperdalam ilmu pengetahuan yang ia miliki. Lagi pula Hatta tetap punya waktu bersosialisasi dan mempedulikan kawan-kawannya yang sesama tahanan politik. Meskipun Hatta sendiri selama di pengasingan hidup dalam keterbatasan, dia tetap memperhatikan kondisi rekan-rekannya yang mengalami kesulitan. Hatta tetap teguh menolak bekerja sama dengan Belanda ketika pemerintah kolonial menawarkan pekerjaan untuk memberantas malaria dengan imbalan gaji sebesar 7,50 golden per bulan kepada Hatta. Dia dengan tegas menolak akibatnya Hatta hanya menerima gaji sebesar 2,50 golden saja per bulan. Pendapatan yang sangat kecil tapi masih selalu dia bagi dengan kawan-kawan tahanan yang lebih membutuhkan. Hatta selama menjadi tahanan politik terus berupaya memanfaatkan waktunya dengan kegiatan-kegiatan yang sangat bermanfaat. Selain bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Hta juga menyelenggarakan kursus untuk para tahanan lain yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta keterampilan mereka, jadi tetap ikut berkembang meskipun berada dalam pengasingan. Suatu kali Hatta pernah menulis surat kepada kakak iparnya meminta agar dikirimkan alat-alat pertukangan seperti paku dan gergaji. Dalam surat itu pula Hatta menceritakan kondisi para tanan yang hidup dalam keterasingan dan kesulitan. Surat ini tanpa sepengetahuan Hatta ternyata dikirimkan oleh kakak iparnya ke surat kabar pemandangan di Jakarta yang kemudian dimuat dan menarik perhatian Menteri Jajahan Belanda saat itu, Hendrikus Colin. Setelah membaca isi surat tersebut, Colin merasa marah terhadap kebijakan pemerintah kolonialnya sendiri yang terasa sewenang-wenang dan segera mengutus residen Ambon untuk menemui Hatta di Digul. Sebagai respon atas peristiwa ini, pemerintah kolonial memberikan sejumlah uang kepada Hatta sebagai bentuk perhatian terhadap kondisinya di pengasingan. Namun Hatta dengan tegas menolak bantuan tersebut, dia menyatakan bahwa jika pemerintah ingin menambah bantuan bagi para tahanan, maka seharusnya bantuan itu diberikan kepada semua tahanan yang juga hidup dalam pengasingan, bukan hanya kepadanya. Setelah peristiwa ini pada tahun 1937, Hatta menerima Telegram yang memberitahukan bahwa dia akan dipindahkan dari Bondi Gol ke Bandar Nera di Kepulauan Banda Maluku. Pemilian ini terjadi pada bulan Februari dan Hatta diberangkatkan bersama Sultan Syahrir. Sesampainya di Bandan Eera, mereka menyewa sebuah rumah yang cukup besar dengan beberapa kamar serta satu ruangan luas. Ruangan besar tersebut dimanfaatkan Hatta sebagai tempat dia menyimpan koleksi bukunya sekaligus sebagai ruang kerja untuk membaca dan menulis di Banda Nera. Hatta tetap menjalani kehidupannya yang kian produktif. Dia masih senang bercocok tanam sembari tetap aktif menulis untuk berbagai media seperti koran Shintitpo yang dipimpin oleh Lim Kunhian. Koran ini terbit dalam bahasa Belanda dan Hatta menerima honorarium sebesar 75 golden untuk tulisannya. Sanyait pop berhenti terbit pada tahun 1938 sehingga Hatta melanjutkan aktivitas menulisnya di Nationale Kommentaren atau komentar nasional yang dipimpin oleh Sam Ratulangi. Serta kemudian dikoran pemandangan di mana Hatta menerima honorarium sebesar 50 golen per bulan untuk satu atau dua tulisannya. Pada suatu kesempatan, Khatta menerima tawaran dari K. H. Imas Mansur untuk pindah ke Makassar. Tetapi Hatta menolak tawaran tersebut dengan alasan bahwa ke mana pun dia pindah statusnya tetap akan sebagai tahanan politik. Maka Hatta tetap memilih di bandanera dan terus meningkatkan produktivitasnya. Selain menulis dan bercocok tanam, Hatta juga mulai mengabdikan dirinya ke dunia pendidikan dengan mengajari beberapa pemuda yang ingin memperdalam ilmu pengetahuannya. Salah satu dari muridnya adalah anak dari dr. Cipto Mangun Kusumo yang mempelajari tata buku dan sejarah kepada Hatta. Murid Hatta semakin banyak sering berjalannya waktu. Ada beberapa pemuda asli Bandar Nera. Ada pula seorang kenalan Hatta dari Sumatera Barat yang mengirimkan dua keponakannya untuk belajar ekonomi dan sejarah. Lalu dari Bukit Tinggi diketahui bahwa seorang tokoh bernama Anwar Sultan Saidi juga mengirimkan empat orang pemuda dari daerahnya untuk menimba ilmu dari Hatta. Bahkan dalam keterasingannya, Hatta tetap memberikan kontribusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. [Musik] Pada tahun 1941 menjelang Perang Dunia 2, Hatta menulis sebuah artikel di surat kabar pemandangan. Dalam tulisannya tersebut, Hatta menegaskan bahwa rakyat Indonesia tidak seharusnya memiak salah satu kubu dalam konflik global yang sedang terjadi, baik kepada negara-negara barat maupun kepada fasisme Jepang. Hatta berpendapat bahwa Indonesia harus tetap menjaga posisi netral demi kepentingan nasionalnya sendiri. Namun ketika di tanggal 8 Desember 1941, serangan mendadak angkatan perang Jepang menghancurkan Pearl Harbor di Hawai akhirnya memicu perang Pasifik. Jepang akhirnya dapat menguasai berbagai wilayah di Asia Tenggara termasuk Hindia Belanda. Situasi yang genting itu membuat pemerintah kolonial Belanda khawatir kalau para tahanan politik di pengasingan khususnya di Boven Gold bisa saja bekerja sama dengan Jepang jika tetap dibiarkan di sana. Oleh karena itu, mereka yang ada di Boven gol akhirnya dibuang ke Australia untuk mencegah kemungkinan tersebut. Berbeda dengan Hatta dan Sultan Syahrir yang justru dikirim ke Sukabumi, Jawa Barat pada bulan Februari di tahun 1942. Dalam perjalanan ke Sukabumi, mereka sempat singgah di Surabaya sehari lalu melanjutkan perjalanan ke Jakarta dengan menggunakan kereta api. Dalam perjalanan ada tiga orang anak dari Banda Nera yang ikut bersama mereka di mana ketiganya adalah anak angkat Syahrir selama masa pengasingan. Pembinaan ini terjadi hanya beberapa minggu sebelum Jepang akhirnya mendarat dan menduduki Indonesia di bulan Maret 1942 yang resmi mengakhiri pemerintahan kolonial Belanda dan masa pengasingan Hatta. Dengan masuknya Jepang, tulisanata di surat kabar pemandangan telah menarik perhatian penguasa Jepang dan justru dijadikan alasan oleh penguasa Jepang untuk meragukan kesetiaannya dan mencurigainya sebagai bibit pemberontak. Tulisan Hatta telah menarik perhatian Murase, seorang wakil kepala kampeai atau Dinas Intelijen Militer Jepang yang menganggap Hatta perlu lebih memahami semangat Jepang sehingga dia menyarankan agar Hatta mengikuti program Nippon Session di Tokyo pada bulan November 1943. Program tersebut sebenarnya bertujuan untuk menanamkan ideologi Jepang kepada para pemimpin lokal di wilayah yang mereka duduki. Tapi tampaknya Hatta tidak menerima tawaran program tersebut. Meski begitu, pemerintah Jepang tidak henti membujuk Hatta untuk memihak pada mereka. Setelah dipindahkan ke Sukabumi, Hatta akhirnya dibawa kembali ke Jakarta yang saat itu sudah dalam kendali penuh Jepang. Di sana dia bertemu dengan Mayor Jenderal Harada, seorang pejabat militer Jepang yang ingin mencoba kemungkinan kerja sama dengan para pemimpin Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, Hatta langsung menanyakan apa sebenarnya tujuan Jepang datang ke Indonesia. Harada dengan terang-terangan langsung menawarkan posisi penting dalam pemerintahan Jepang kepada Hatta dengan harapan agar Hatta mau bekerja sama dalam mendukung kepentingan Jepang di tanah air. Namun, sikap Hatta masih sama. Dia dengan tegas menolak tawaran jabatan tersebut karena tidak ingin menjadi alat penjajah. Di sisi lain, Hatta sadar betul kalau menolak mentah-mentah kerja sama tersebut bisa berakibat buruk bagi perjuangan rakyat Indonesia. Maka Hatta mengambil jalan tengah yang dia rasa paling baik untuk perjuangan, yaitu dengan mengajukan dirinya sebagai penasihat. Jepang setuju dengan keinginan Hatta dan menunjuknya sebagai penasihat resmi. Bahkan memberi Hatta sebuah kantor di Pegangsan Timur serta sebuah rumah di Orange Boulevard yang sekarang menjadi jalan di Ponorogo. Dalam menjalankan perannya sebagai penasihat ini, Hatta bekerja sama dengan sejumlah tokoh terkenal baik dari kalangan pergerakan nasional maupun mereka yang sebelumnya bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda. Beberapa di antaranya adalah Abdul Karim, Pringodigdo, Surraahman, Sujitno, Mangun Kusumo, Sunarjo, Kolopaking, Supomo, dan Sumargo Jojo Hadi Kusumo. Di tempat ini dia mendapat tenaga-tenaga baru yang turut membantunya dalam berbagai tugas. Namun meskipun Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasihat yang menguntungkan kepentingan mereka, tetapi Hatta justru memanfaatkan posisinya untuk membela rakyat Indonesia. Dengan cermat, Hatta menggunakan kesempatan tersebut untuk menyuarakan aspirasi rakyat dan memperjuangkan kepentingan nasional. tanpa secara langsung berseberangan dengan pemerintah [Musik] Jepang. Menjelang proklamasi kemerdekaan pada tanggal 22 Juni 1945, BPU PKI membentuk sebuah panitia kecil yang dikenal sebagai panitia 9. Panitia ini bertugas untuk merumuskan dasar negara berdasarkan berbagai usulan dan gagasan yang diajukan oleh anggota BPU PKI. Panitia 9 ini diketuai oleh Ir. Soekarno dan beranggotakan delan tokoh lainnya termasuk Hatta. Panitia 9 berhasil menyusun sebuah dokumen penting yang kemudian dikenal sebagai piagam Jakarta yang berisi rumusan awal dasar negara Indonesia yang nantinya menjadi cikal bakal pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu poin penting dalam piagam Jakarta adalah perumusan sila pertama Pancasila yang awalnya berbunyi ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun demi menjaga persatuan dan agar dapat diterima oleh seluruh golongan di Indonesia, terutama dari kelompok nonmuslim, maka rumusan ini kelak diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan. Seiring dengan perkembangan situasi politik dan militer di Asia, maka pada tanggal 9 Agustus 1945, Hatta bersama Soekarno dan Dr. Rajiman Widio Did Ningrat diundang oleh pemerintah Jepang Kedat, Vietnam. Di sana mereka bertemu dengan panglima Asia Tenggara, Jenderal Hasaisi Terauchi yang menyampaikan bahwa pemerintah Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan pada Indonesia. Dan Soekarno serta Hatta ditunjuk sebagai ketua dan wakil ketua PPKI yang dibentuk untuk melanjutkan tugas BPU PKI yaitu menyiapkan sistem pemerintahan dan memastikan pemindahan kekuasaan dari Jepang ke tangan bangsa Indonesia. Masalahnya keadaan politik semakin mendesak setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus dan disusul Nagasaki pada tanggal 9 Agustus yang menyebabkan Jepang berada di ambang kekalahan. Situasi ini memicu kelompok pemuda di Indonesia mendesak para pemimpin untuk segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa menunggu keputusan dari Jepang. Maka di tanggal 16 Agustus 1945 terjadilah peristiwa Rengkas Dengklok di mana sekelompok pemuda menculik Soekarno dan Hatta lalu dibawa ke sebuah rumah milik Jauki Siong yang berada di kota kecir Renggas Denglok dekat Karawang, Jawa Barat. Penculikan ini terjadi karena para pemuda khawatir bahwa jika menunggu lebih lama Jepang akan mengambil alih kendali atas proses kemerdekaan. Makanya mereka mendesak agar Soekarno Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan dari Jepang. Meski di bawah desakan, tetapi Soekarno dan Hatta tetap berhati-hati karena menyadari bahwa deklarasi kemerdekaan harus dilakukan dengan dukungan yang kuat agar sah di mata rakyat dan dunia internasional. Mereka akhirnya berunding di Rengas Denglock. Lalu kemudian Soekarno dan Hatta dibawa kembali ke Jakarta pada malam harinya untuk mengadakan rapat darurat persiapan kemerdekaan di kediaman Laksamada Tadashimaida yang berlokasi di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat mereka sempat menemui Soma Buko atau Kepala Pemerintah Umum Mejen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut ternyata tidak menghasilkan tujuan yang sama sehingga meyakinkan Soekarno dan Hatta untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan tanpa berkaitan dengan Jepang. Sebab Jepang tampaknya tidak mau membantu atau memberikan kemerdekaan seperti janjinya. Setelah melewati berbagai pertimbangan dan dorongan dari berbagai pihak, akhirnya Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah melakukan perumusan teks proklamasi di rumah Laksamanda Tadimaida, akhirnya Hatta bersama Soekarno secara resmi memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di kediaman Soekarno yang berada di Jalan Pegangstan Timur nomor 56, Jakarta tepat pada jam 10. pagi. Acara tersebut memang berlangsung sederhana tetapi sangat sakral dengan dihadiri oleh para tokoh pergerakan nasional serta masyarakat sekitar yang antusias menyaksikan momen bersejarah tersebut. Setelah teks proklamasi dibacakan oleh Soekarno, bendera merah putih dikibarkan oleh Latif Henr Ningrat dan Suhud yang diiringi dengan teriakan merdeka dari para hadirin di lokasi. Peristiwa ini menadai berdirinya sebuah negara baru, yaitu negara Indonesia yang bebas dari penjajahan. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang pertama mereka untuk menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi pertama bagi negara Indonesia. Selain itu, PPKI secara resmi memilih Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama dan Hatta dijadikan sebagai wakil presiden pertama bagi Republik Indonesia ini. Pemilihan tersebut dilakukan secara aklamasi tanpa pemukutan suara karena para anggota PPKI sepakat kalau pasangan Soekarno Hatta adalah sosok yang paling tepat untuk memimpin negara yang baru merdeka ini. Sebagai wakil presiden, Hatta kini memiliki peran yang sangat penting dalam pemerintahan. H tidak hanya sekedar menjadi pendamping bagi Soekarno, melainkan juga bertindak sebagai pemikir strategis dan konseptor dalam menyusun kebijakan negara. Salah satu peran Hatta yang paling menonjol adalah ketika Hatta menyusun sistem pemerintahan dan membantu merancang berbagai kebijakan ekonomi untuk Indonesia yang baru merdeka, masih dalam suasana semara kemerdekaan dan Hatta yang baru mengemban tanggung jawab baru yang jauh lebih besar. Hatta memutuskan untuk menikah pada tanggal 18 November 1945 dengan Rahmi Rahim atau kelak akan dikenal sebagai Siti Rahmiate Hatta di Megamendung, Bogor. Hatta sendiri sudah lama bertemu dan mengenal Rahmi dalam sebuah kunjungan ke Institut Paster Bandung. Saat itu meski sudah langsung jatuh hati pada Rahmi, tetapi Hatta tidak segera meminangnya karena Hatta telah berjanji tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Makanya setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia barulah Hatta dengan ditemani oleh Soekarno mendatangi kediaman Rahmi untuk melamarnya. Pada saat itu Hatta sudah berusia 43 tahun sementara Rahmi baru berusia 19 tahun. Rahmi menyetujui lamaran tersebut dan 3 hari setelah mereka menikah Hatta memboyong Rahmi ke Yogyakarta untuk tinggal di sana. Mereka kelak dikaruniai tiga anak perempuan yang bernama Mutia Farida Hatta, Gemala Rabiah Hatta, dan Khalida Nuriah Hatta. Kembali pada karir politiknya sebagai wakil presiden, Hatta terus memainkan peran yang sangat krusial dalam menjaga eksistensi negara yang masih sangat muda. Salah satu momen penting di masa jabatannya adalah ketika Hatta berjuang mati-matian untuk mempertahankan Perjanjian Lingar Jati dalam sidang pleno komit Nasional Indonesia Pusat atau KNIP yang diadakan di Malang pada tanggal 25 Februari hingga 6 Maret 1947. Perjanjian Ligar Jati sendiri merupakan kesepakatan yang ditandatangani antara Republik Indonesia dan Belanda pada tanggal 15 November 1946 yang disahkan pada 15 Desember 1946. Dalam perjanjian ini, Belanda mengakui secara de facto kekuasaan Republik Indonesia atas Jawa, Sumatera, dan Madura serta berjanji untuk menarik pasukannya dari wilayah tersebut. Sebagai imbalannya, Indonesia setuju untuk membentuk negara Indonesia Serikat atau Republik Indonesia Serikat yang merupakan bagian dari persemakmuran Belanda sebelum akhir tahun 1949. Namun, perjanjian ini menuai banyak kritik di dalam negeri, terutama dari kelompok yang menganggapnya sebagai bentuk kompromi yang terlalu menguntungkan Belanda. Dalam sidang pleno KNIP di Malang terjadi perdebatan sengit mengenai persetujuan perjanjian tersebut. Banyak anggota KNIP yang menolak perjanjian Linggar Jati karena mereka melihatnya sebagai bentuk kelemahan pemerintah dalam menghadapi Belanda. Mereka khawatir bahwa perjanjian ini justru akan mempersempit kedaulatan Indonesia. Namun Hatta memiliki pandangan lain. Dia memahami betapa pentingnya perjanjian Linggar Janti tersebut sebagai langkah diplomatik untuk menjaga eksistensi Republik Indonesia di tengah tekanan internasional dan ancaman militer Belanda. Sehingga Hatta dengan tegas terus membela perjanjian tersebut. Dalam sidang, Hatta dengan nada sangat marah dan penuh semangat. terus memberikan argumentasi bahwa Linggar Jati adalah satu-satunya jalan sementara untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari serangan militer Belanda yang lebih besar. Hatta pun menjelaskan kalau perjanjian tersebut ditolak, Belanda semakin memiliki alasan untuk melancarkan agresi militernya yang pada saat itu hampir tidak mungkin dihadapi oleh Indonesia yang masih lemas secara militer dan ekonomi. Setelah diskusi dan pertimbangan yang cukup panjang, Hatta akhirnya berhasil meyakinkan sebagian besar anggota KNIP untuk percaya pada idenya. Sehingga ketika sidang KP berakhir di tanggal 6 Maret 1947, hasilnya adalah KNP menerima perjanjian linggar Jati tersebut. Keputusan ini menjadi kemenangan bagi diplomasi Indonesia meskipun akhirnya Belanda tetap mengkhianati perjanjian tersebut dengan melancarkan agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947. Serangan besar-besaran yang dilakukan Belanda ini terjadi sangat tiba-tiba tanpa deklarasi perang sebelumnya. Di mana Belanda bertujuan untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya telah diakui sebagai bagian dari Republik Indonesia melalui Perjanjian Linggar Jati. Dikarenakan mendapat serangan dadakan, Indonesia tidak siap dan menyebabkan banyak wilayah strategis akhirnya jatuh lagi ke tangan Belanda. Dalam situasi gending tersebut, Hatta yang sedang berada di Pematang Siantar berhasil meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda yang berusaha menangkapnya. Dia bersama Gubernur Sumatera yakni Teh Hasan bergerak menuju Bukit Tinggi yang sedang dijadikan pusat pemerintahan darurat di Sumatera. Sebelumnya Hatta baru saja menghadiri Kongres Koperasi 1 di Tasikmalaya pada tanggal 12 Juli 1947 untuk membicarakan pentingnya koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat yang berlandaskan gotongroyong. Hatta meyakini bahwa koperasi adalah solusi bagi perekonomian rakyat kecil yang selama ini mengalami kesulitan akibat eksploitasi kolonial dan dominasi ekonomi kapitalis. Maksudnya dalam keyakinan dan pandangan Hatta ekonomi harus berbasis pada kerja sama dan kebersamaan. Bukan monopoli atau kapitalisme yang merugikan rakyat kecil. Tanggal di mana kongres pertama tersebut dilaksanakan kelak akan ditetapkan sebagai Hari Koperasi Nasional. Lalu 6 tahun kemudian di tanggal dan bulan yang sama tepatnya pada tahun 1953 diadakan Kongres Koperasi 2 di Bandung. Dan dalam kongres kali ini Hatta mendapatkan penghormatan besar atas dedikasinya dalam memajukan koperasi di Indonesia. Para anggota kongres secara resmi menjadikannya sebagai Bapak Koperasi Indonesia sebagai bentuk pengakuan atas gagasannya yang menjadikan koperasi sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. kembali pada perannatnya sebagai wakil presiden hatta terus berjuang di jalur diplomasi untuk mempertahankan kelangsungan Indonesia. Dia bahkan terlibat dalam perundingan perjanjian Renfield yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas kapal perang USS Renfi milik Amerika Serikat yang berlabuh di Teluk Jakarta. Dalam perjanjian tersebut dibuat jelas kalau wilayah Indonesia semakin sempit karena Indonesia harus mengakui garis fanmuk yang ini artinya banyak wilayah harus diserahkan ke Belanda. Perjanjian Renfield tersebut sebenarnya merupakan tanggung jawab Kabinet Amir Syarifuddin yang kemudian dianggap terlalu kompromis terhadap Belanda sehingga kehilangan dukungan dari masyarakat serta para pemimpin lainnya. Kabinet Amir Syarifuddin pun jatuh dan digantikan oleh kabinet Hatta pada tanggal 29 Januari 1948. Dalam kabinet Hatta tersebut, Hatta ditunjuk untuk menjabat sebagai Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan. Di tengah kepemimpinannya ini, suasana negeri makin bergejolak hampir tidak terkendali. Terlebih pada bulan September 1948 terjadi pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin oleh Muso. Pemberontakan ini jelas mengancam kestabilan negara yang masih sangat mudah karena PKI mencoba merebut kekuasaan dengan mendirikan pemerintahan sendiri di Madiun. Hatta yang memimpin saat itu segera bertindak cepat dengan memerintahkan pengiriman pasukan TNI untuk menumpas pemberontakan dengan menangkap bahkan membunuh para pemimpinnya termasuk musuh. Namun ketika baru saja selesai mengatasi pemberontakan, Indonesia kembali menghadapi ancaman dari agresi Belanda I pada tanggal 19 Desember 1948 dengan menyerang ibu kota yang saat itu berlokasi di Yogyakarta. Ketidakpastian militer Indonesia membuat Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan menangkap para pemimpin utama Indonesia termasuk Hatta dan Soekarno yang langsung dibawa oleh tentara Belanda untuk diasingkan ke menumbing Bangka yang merupakan lokasi terpencil. Di tengah kondisi pengasingan tersebut, Hatta tetap mengikuti perkembangan politik dan terus menjaga semangat perjuangan republik. Kegiatan diplomasi internasional pun tetap berjalan. Salah satunya adalah keterlibatan Hatta dalam perundingan yang dimediasi oleh Komisi Tiga Negara atau KTN di Kaliurang untuk mencari solusi damai antara Indonesia dan Belanda. KataN ini terdiri dari wakilan dari tiga negara, yakni Australia yang diwakili oleh Richard Kirby dan Tritley, lalu Amerika Serikat yang diwakili oleh Frank Graham dan Kokran serta Belgia yang diwakili oleh Paul Van Zeiland. Hatta sendiri menjadi bagian dari perundingan sebagai penasehat yang memberikan pandangan strategis dalam negosiasi yang pada akhirnya berkontribusi pada upaya penyelesaian konflik dengan Belanda melalui perundingan Romyen di tahun berikutnya. [Musik] Pada bulan Juli 1949, perundingan antara Indonesia dan Belanda mencapai titik krusial berkat mediasi Merley Kokran perwakilan dari Amerika Serikat dalam Komisi Tiga Negara. Keberhasilan diplomasi ini membuka jalan bagi diadakannya konferensi meja bundar atau KMB di Denk, Belanda yang dimulai pada tanggal 23 Agustus di tahun 1949 dan berlangsung selama 3 bulan lamanya. Dalam konferensi tersebut, Republik Indonesia yang dipimpin oleh Hat berunding dengan pihak Belanda yang dipimpin oleh Perdana Menteri William Dres serta delegasi dari negara-negara bagian Indonesia yang telah dibentuk oleh Belanda dalam sistem Republik Indonesia Serikat atau RIS sebagai bagian dari strategi federalismenya. Bangsa Indonesia dan bangsa Belanda kedua-duanya akan memperoleh bahagianya. Anak cucu kita angkatan kemudian akan berterima kasih kepada kita. Moga-moga Tuhan yang maha kuasa memberkati pekerjaan kita pada konferensi meja bundar ini. Sekianlah dan terima kasih. Setelah perundingan yang panjang dan penuh ketegangan, akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia dalam sebuah upacara yang diselenggarakan di Amsterdam dan Jakarta secara bersamaan. Ratu Juliana dari Belanda secara langsung menyerahkan dokumen pengakuan kedaulatan kepada Hatta yang bertindak sebagai ketua delegasi Republik Indonesia. Sementara itu di Jakarta pengakuan serupa dilakukan oleh wakil tinggi mahkota Belanda AHA Jeloving kepada Sri Sultan Hamkubuono 9. Pengakuan kedaulatan ini menjadi babak baru dalam sejarah Indonesia di mana Indonesia secara sah dan diakui sebagai negara merdeka oleh dunia internasional. Namun saat itu dalam kesepakatan KMB wilayah Irian Barat dan Papua masih berada dalam kendali Belanda dengan janji akan dirundingkan kembali dalam waktu 1 tahun setelah pengakuan kedaulatan. Setelah pengakuan kedaulatan, Indonesia berubah bentuk menjadi Republik Indonesia Serikat. Dalam sistem ini, Soekarno menjadi Presiden RIS. Sementara Hatta ditunjuk sebagai Perdana Menteri RIS sekaligus menteri luar negeri RIS dengan kedudukan di Jakarta. Saat itu, bagi Hatta sendiri keberhasilan KMB adalah puncak dari perjuangan panjangnya di bidang diplomasi yang telah dia mulai sejak era pergerakan nasional. Dengan kemampuannya dalam negosiasi dan strategi politik, ia berhasil membawa Indonesia mendapatkan pengakuan internasional tanpa harus melalui perang berkepanjangan. Namun, sistem RIS ternyata tidak bertahan lama karena banyaknya penolakan dari berbagai kalangan di Indonesia yang menginginkan bentuk negara kesatuan. Dalam waktu kurang dari 1 tahun, negara-negara bagian dalam RIS mulai membubarkan diri dan bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950, tepat 5 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ibu kotanya bertempat di Jakarta. Setelah perubahan ini, Muhammad Nsir diangkat sebagai Perdana Menteri NKRI. Sementara Hatta kembali menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia dan berkantor di Jalan Medan Merdeka Selatan nomor 13, Jakarta. Setelah menjabat sekitar 5 tahun, Hatta mengumumkan niatnya di tahun 1955 untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden setelah parlemen dan konstituente hasil pemilihan rakyat terbentuk. Menurut Hatta, dalam sistem kabinet parlementer, Wakil Presiden tidak lagi memiliki peran yang signifikan karena kepala negara hanya bersifat simbolis. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah tujuan utama Hatta untuk memimpin bangsa ini, melainkan sebagai salah satu caranya untuk mengabdi kepada rakyat. Makanya ketika melihat bahwa posisinya tidak lagi memiliki peran nyata, dia memilih mengundurkan diri. Keputusan ini bukanlah sesuatu yang mendadak. Hatta sudah lama merasa bahwa sistem pemerintahan di Indonesia semakin berpusat pada kekuasaan Soekarno yang mulai condong ke arah otoritarianisme. Dia percaya bahwa demokrasi parlementer harus dijalankan dengan baik dan perannya sebagai wakil presiden sudah tidak lagi diperlukan dalam sistem tersebut. Maka pada tanggal 20 Juli 1956, Hatta mengirimkan surat resmi kepada Ketua DPR yang dijabat oleh Sartono yang isinya merupakan pengumuman rencananya untuk mengundurkan diri. Namun DPR menolak secara halus permintaan tersebut dengan cara mendiamkan surat itu tanpa tanggapan resmi. Hatta tetap teguh pada pendiriannya dan pada tanggal 23 November 1956 dia mengirimkan surat susulan menegaskan kembali niatnya untuk berhenti sebagai wakil presiden tepat pada tanggal 1 Desember 1956. Akhirnya DPR MaU tidak mau menyetujui pengunduran diri Hatta pada tanggal 30 November setelah 11 tahun menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Pengunduran diri ini selain karena perbedaan pandangan mengenai sistem pemerintahan sebenarnya juga didorong oleh faktor ketidaksepaman antara Hatta dan Soekarno yang semakin tajam di tahun 1956. Salah satu faktor utamanya adalah ketidaksepakatan Hatta terhadap kebijakan Soekarno yang mulai melibatkan unsur komunis dalam pemerintahan. Hatta dengan tegas menolak ide tersebut karena khawatir akan dampaknya terhadap demokrasi di Indonesia. Pengunduran diri Hatta telah memperjelas perpecahan resmi antara dirinya dan Soekarno. Hatta sendiri tampak menjauh dari dunia politik. Dan semenjak pengunduran dirinya, Hatta lebih banyak berfokus pada pendidikan, menulis, dan membangun ekonomi kerakyatan, terutama melalui koperasi. Sebelum resmi mundur, Hatta menerima gelar doktor honoris Kausa dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tanggal 27 November 1956. Sebenarnya UGM telah lama menawarkan gelar tersebut sejak tahun 1951, tapi Hatta belum bersedia menerimanya. Bahkan Universitas Indonesia pun telah menyatakan keinginan untuk memberikan gelar kehormatan kepada Hatta di tahun 1951. Tetapi Hatta menolaknya dengan alasan bahwa dia ingin menerimanya setelah berusia 60 tahun. [Musik] [Tepuk tangan] [Musik] Setelah resmi mundur dari jabatannya sebagai wakil presiden pada tanggal 1 Desember 1956, pengunduran diri Hatta disahkan melalui keputusan Presiden RI nomor 13 tahun 1957 pada 5 Februari 1957. Setelah pensiun, Hatta dan keluarganya berpindah rumah dari Jalan Medan Merdeka Selatan 13 ke Jalan Diponegoro 57, Jakarta. Dia menjalani kehidupan yang lebih sederhana dan tenang jauh dari hiruk pikuk politik pemerintahan harta tidak pernah menyesali keputusannya untuk mundur. Sebaliknya, ia merasa lebih bebas dalam menjalankan prinsip-prinsipnya tanpa harus terikat oleh kepentingan politik tertentu. Kesehariannya banyak diisi dengan menulis buku dan mengajar. Ia tetap berkontribusi dalam dunia pemikiran ekonomi, sosial, dan politik. Terutama melalui tulisan-tulisannya yang banyak membahas konsep ekonomi kerakyatan dan koperasi. Meski tidak lagi menjabat sebagai wakil presiden, reputasi dan wibawa Hatta tetap dihormati di dalam maupun luar negeri. Pada tahun 1957, dia menerima undangan dari Pemerintah Republik Rakyat Cina atau RRC untuk berkunjung ke sana. Dalam kunjungan ini, dia mendapatkan sambutan luar biasa yang umumnya hanya diberikan kepada seorang kepala negara. Perdana Menteri Zo andL sendiri turun langsung untuk menyambutnya menunjukkan betapa besar penghormatan rakyat Tiongkok terhadapnya. Mereka tetap menganggap Hatta sebagai a great son of his country. atau putra hebat dari negerinya. Seiring bertambahnya usia, kesetan HTA mulai menurun. Pada tahun 1963, dia pertama kali jatuh sakit dan harus mendapatkan perawatan di Stockholm, Swedia. Atas perintah Presiden Soekarno, dia dikirim ke Swedia dengan biaya negara karena fasilitas medis di sana lebih lengkap dibandingkan dengan yang ada di Indonesia. Begitu pulih dari sakitnya, Hatta terus memberikan kontribusi dalam berbagai upaya pembangunan bangsa. Salah satu langkah besarnya adalah keterlibatannya memberantas korupsi. Setelah Soekarno lengser dari jabatannya dan digantikan oleh Soeharto pada tanggal 31 Januari 1970, Soeharto membentuk Komisi 4 melalui keputusan Presiden nomor 12 tahun 1970. Komisi ini bertugas mengusut berbagai kasus korupsi di Indonesia dan Hatta ditunjuk sebagai penasihat presiden dalam pemberantasan korupsi sekaligus menjadi penasihat Komisi 4. Komisi ini dipimpin oleh Wilopo. Sayangnya upaya pemberantasan korupsi ini menemui hamatan besar. Secara kontroversial, Soeharto membarkan komisi tersebut dan hanya mengizinkan mereka mengusut dua kasus korupsi saja. Sehingga langkah besar untuk memberantas korupsi terhambat. Di tengah kondisi politik yang semakin terkonsolidasi dalam kendali Orde Baru, Hatta tetap dihormati dan dipercaya menjadi anggota Dewan Penasihat Presiden. Lalu di tanggal 15 Agustus 1972, pemerintah Indonesia menganugerahinya penghargaan Bintang Republik Indonesia kelas 1 sebagai bentuk penghormatan atas jasanya bagi bangsa. Pada tahun yang sama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengangkatnya sebagai warga utama ibu kota dan memberinya berbagai fasilitas, termasuk perbaikan jumlah uang pensiunnya serta penetapan rumahnya sebagai salah satu bangunan bersejarah di Jakarta. 3 tahun kemudian, tepatnya di tahun 1975, Hatta kembali berperan dalam penguatan nilai-nilai dasar negara dengan menjadi anggota panitia lima yang dibentuk untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai Pancasila sesuai dengan pemikiran dan semangat para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Hatta sendiri dipercaya untuk menjadi ketua dari panitia lima tersebut karena kontribusinya yang besar dalam perumusan dasar negara sejak awal kemerdekaan. Di tahun yang sama pula, UI akhirnya menganugerahkan gelar Dr. Honoris Kausa sebagai tokroh proklamator setelah menunggu cukup lama. Gelar tersebut diberikan langsung oleh Rektor UI saat itu, yakni Mahar Marjono. Dalam sebuah upacara resmi di Jakarta masih di era Orde Baru. Meski pernah menjadi bagian dari pemerintahan, Hatta tetap berpegang teguh pada prinsip demokrasi dan konstitusi yang selama ini diyakininya. Maka pada tahun 1978, Hatta bersama Jenderal Abdul Haris Nosution mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran berkonstitusi yang bertujuan untuk mengkritik penyalahgunaan Pancasila dan Undang-Undang 1945 oleh pemerintahan Orde Baru yang semakin otoriter di bawah kepemimpinan [Musik] Soeharto. Sayangnya karena usianya semakin bertambah dan mempengaruhi kesehatannya, Hatta tidak bisa lagi terlalu berfokus untuk mengurus dan mengawasi jalannya pemerintahan bangsa ini. Tapi tetap Hatta terus berusaha mengikuti perkembangan politik dunia dan tetap bersuara mengenai kepentingan rakyat serta prinsip-prinsip demokrasi yang diyakininya. Meski sudah semakin rajin keluar masuk rumah sakit pun, Hatta memilih menghabiskan tahun-tahun terakhirnya dengan tetap aktif dalam berbagai diskusi, menulis, serta memberikan nasihat bagi generasi penerus bangsa, Muhammad Hatta. Bapak Koperasi Indonesia dan pahlawan bangsa ini akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 14 Maret di tahun 1980 pada pukul 1856 di Rumah Sakit Cipto Bangun Kusumo Jakarta setelah selama 11 hari dirawat di sana. Keesokan harinya jenazah Hatta disemayamkan di kediamannya yang ada di jalan di Ponogoro 57 dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir Jakarta. Prosesi pemakamannya disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin secara langsung oleh Wakil Presiden saat itu, yakni Adam Malik. Setelah wafat, Hatta terus dikenang sebagai salah satu tokoh terpenting dalam sejarah Indonesia. Pemerintah Indonesia pun memberikan penghormatan tinggi atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Pada tanggal 23 Oktober 1986, pemerintah secara resmi menganugerahkan harta gelar pahlawan proklamator kemerdekaan bersamaan dengan mendiang Ir. Soekarno yang lebih dulu wafat. Gelar ini diberikan sebagai penghormatan atas peran mereka dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 serta perjuangan mereka dalam membangun negara di masa awal kemerdekaan. Tidak hanya itu, pada tanggal 7 November 2012, Presiden Sosilo Bangbang Yudoyono secara resmi menetapkan Hatta sebagai pahlawan nasional Indonesia bersama dengan Soekarno. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi luar biasa Hatta dalam perjuangan kemerdekaan, pembangunan bangsa, serta pengabdiannya terhadap negara sepanjang hidupnya. Hatta masih sering dikenang sebagai negarawan yang jujur dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat. Selama menjadi pemimpin bangsa, dia bersih dari korupsi, jujur, dan hidup sederhana. Hatta diketahui menolak fasilitas negara yang berlebihan dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya. Faktanya saat beliau wafat pun dia tidak meninggalkan banyak harta benda. Bahkan Hatta tidak memiliki rumah pribadi karena sepanjang hidupnya dia dedikasikan untuk mengabdi kepada bangsa. [Musik] Yeah.